Anda di halaman 1dari 9

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/324280567

Kajian Mikrofisis Awan Menggunakan Satelit Himawari 8 pada Kejadian Hail


(Studi Kasus: Kejadian Hail di Jakarta Tanggal 28 Maret 2017) - Study of Cloud
Microphysic Using Himawari 8...

Research · March 2018


DOI: 10.13140/RG.2.2.36376.08968

CITATION READS

1 593

2 authors:

Bony Septian Pandjaitan Mentari Ika Damayanti


Meteorological Climatological and Geophysical Agency Meteorological Climatological and Geophysical Agency
12 PUBLICATIONS   3 CITATIONS    2 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Mesoscale Convective System View project

IDENTIFIKASI KEBAKARAN HUTAN DI PAPUA DAN PAPUA BARAT MENGGUNAKAN SATELIT HIMAWARI 8 View project

All content following this page was uploaded by Bony Septian Pandjaitan on 08 April 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017

Kajian Mikrofisis Awan Menggunakan Satelit Himawari 8 pada Kejadian


Hail (Studi Kasus: Kejadian Hail di Jakarta Tanggal 28 Maret 2017)

Study of Cloud Microphysic Using Himawari 8 Satellite on the Hail Stone


Event (Case Study: Hail Stone Event in Jakarta on 28 March 2017)
Bony Septian Pandjaitan*), Mentari Ika Damayanti

Sub Bidang Pengelolaan Citra Satelit Cuaca BMKG


*)
E-mail: bony.pandjaitan@bmkg.go.id; bonyseptian89@gmail.com

ABSTRAK - Keberadaan satelit Himawari 8 dengan 16 kanal membuka peluang untuk kajian lebih dalam terhadap
kondisi mikrofisis awan konvektif yang dapat menghasilkan fenomena hail (hujan batu es) di wilayah Indonesia.
Berdasarkan beberapa kajian baik menggunakan radar cuaca maupun satelit cuaca GOES dan MSG menyebutkan bahwa
fenomena hail bisa terjadi pada kondisi awan konvektif tebal yang memiliki updraft kuat. Pada kajian ini, penulis akan
mengkaji kondisi mikrofisis awan pada kejadian hail tanggal 28 Maret 2017 sore di Jakarta bagian selatan sebagai studi
kasus. Kajian ini terdiri dari 4 tahap yaitu pemetaan wilayah terdampak hail dari laporan kejadian dan data produk hail
probability radar cuaca; pengolahan citra day convective Storm RGB satelit Himawari 8 (red=6.2μm-7.3μm; green=
3.9μm-10.4μm; blue=1.6μm-0.64μm) untuk mengetahui wilayah severe dari awan konvektif; melakukan analisis terhadap
distribusi spasial dan temporal dari selisih nilai suhu kecerahan dan nilai reflektifitas beberapa kanal (6.2μm - 7.3μm,
3.9μm - 10.4μm, dan 1.6μm - 0.64μm); serta melakukan analisis beberapa produk turunan satelit (radius efektif droplet
puncak awan, optical thicknes, dan tinggi puncak awan). Berdasarkan analisis, dapat disimpulkan bahwa satelit Himawari
8 pada saat kejadian hail (hujan batu es) telah mendeteksi kondisi mikrofisis awan konvektif berupa updraft yang sangat
kuat, puncak awan yang tinggi dan mengandung kristal es, wilayah overshooting CB, serta pertumbuhan awan yang cepat
ditandai dengan perubahan selisih nilai kanal 6.2μm-7.3μm, 3.9μm-10.4μm, dan 1.6μm-0.64μm yang cukup signifikan
hanya dalam durasi singkat. Hal tersebut bisa dijadikan sarana untuk mendeteksi dini kemunculan hail.

Kata kunci: mikrofisis awan, cumulunimbus, hail, Himawari 8

ABSTRACT - The existence of Himawari 8 satellite with 16 channels provides an opportunity for a deeper study of the
convective cloud microphysic conditions that can produce hail phenomena in the region of Indonesia. Based on several
studies using both of weather radar and weather satellites GOES and MSG mentioned that hail phenomena can occur in
thick convective clouds which have strong updraft. In this study, the authors will examine the microphysical condition of
clouds on hail event on March 28th, 2017 afternoon in southern part of Jakarta as a case study. This study consists of
four stages such mapping of impacted areas from incident reports and hail probability product data of weather radar;
doing the image processing of day convective Storm RGB Himawari 8 (red = 6.2μm-7.3μm; green = 3.9μm-10.4μm; blue
= 1.6μm-0.64μm) to determine the severe region of the convective cloud; Analyzing the spatial and temporal distributions
of the difference value of some brightness temperature and reflectivity channels (6.2μm - 7.3μm, 3.9μm - 10.4μm, and
1.6μm - 0.64μm); analyzing some of the satellite derivative products (effective cloud top droplet radius, optical thicknes,
and cloud top height). Based on the analysis, it can be concluded that the Himawari 8 satellite at the time of hail event
has detected the convective cloud microphysical conditions in the form of a very powerful updraft, a high cloud top height
which is containing the ice crystals, existance of CB overshooting areas, and rapid cloud growth characterized by the
significant change of difference channels value of 6.2μm-7.3μm, 3.9μm-10.4μm, and 1.6μm-0.64μm in short duration.
Furthermore, it can be used as a tool to detect early occurrence of hail.

Keywords: cloud microphysic, cumulonimbous, hail, Himawari 8

1. PENDAHULUAN
Keberadaan satelit Himawari 8 dengan 16 kanal membuka peluang untuk kajian lebih dalam terhadap
kondisi mikrofisis awan konvektif di Wilayah Indonesia dimana awan konvektif berupa awan Cumulunimbous
memiliki peran besar dalam menghasilkan cuaca buruk baik berupa hujan lebat, angin kencang bahkan di
beberapa waktu bisa menghasilkan fenomena hail (hujan batu es).
Fenomena hujan es biasanya terjadi pada wilayah ekstra-tropis karena memiliki lapisan beku (freezing
level) yang relatif lebih rendah (Fadholi, 2012). Freezing level ini adalah ketinggian dimana lapisan atmosfer
memiliki suhu 0ºC sehingga tetes air membeku. Freezing level pada wilayah tropis lebih tinggi dibanding
dengan wilayah ekstra-tropis karena suhu permukaan wilayah tropis lebih tinggi daripada wilayah ektra-tropis
yang suhunya lebih rendah. Hujan es juga dapat terjadi di wilayah tropis seperti Indonesia yang memiliki suhu
413
Kajian Mikrofisis Awan Menggunakan Satelit Himawari 8 pada Kejadian Hail. Studi Kasus Kejadian Hail di Jakarta Tanggal 28
Maret 2017 (Pandjaitan, dkk.)

udara permukaan yang hangat dan kelembaban udara yang cukup tinggi meskipun pada musim kemarau
(Karmini, 2000). Berdasarkan beberapa kajian baik menggunakan radar cuaca maupun satelit cuaca GOES
dan MSG menyebutkan bahwa fenomena hail bisa terjadi pada kondisi awan konvektif tebal yang memiliki
updraft kuat (Rosenfeld dkk., 2008), (Merino dkk., 2014), (Liu dkk., 2015).
Walaupun begitu, kajian di wilayah di tropis Indonesia terhadap fenomena hail masih tetap harus dilakukan
untuk memastikan karakter awan konvektif seperti apa yang bisa menghasilkan hail. Hal tersebut dapat
bermanfaat sebagai dasar dalam peringatan dini cuaca buruk pada wilayah yang tidak berada dalam cakupan
radar cuaca. Pada kajian ini, penulis akan mengkaji kejadian hail tanggal 28 Maret 2017 sore di Jakarta bagian
selatan sebagai studi kasus.

2. METODE
Pada penelitian ini, hal yang dilakukan pertama kali adalah pengumpulan data penelitian berupa laporan
wilayah terjadinya hujan batu es (hail) dari sumber media massa online dan laporan masyarakat yang masuk
ke BMKG, data produk hail probability (zhail) radar cuaca BMKG, data satelit himawari 8, data produk radius
efektif droplet puncak awan Himawari 8, data produk optical thickness Himawari 8, dan data produk tinggi
puncak awan Himawari 8. Data penelitian yang diambil pada penelitian ini dibatasi pada lokasi DKI Jakarta
pada hari kejadian hail tanggal 28 Maret 2017.
Setelah melakukan pengumpulan data penelitian, selanjutnya dilakukan pemetaan wilayah di DKI Jakarta
dimana terjadi hujan batu es (hail) yang bersumber dari laporan di media massa online dan laporan masyarakat
yang masuk ke BMKG. Selain menggunakan berita dari media massa dan laporan masyarakat, dilakukan juga
pemetaan sebaran hail di DKI Jakarta hasil estimasi dari produk hail probability (zhail) radar cuaca BMKG.
Berdasarkan hasil pemetaaan dari data laporan di media massa online dan laporan masyarakat yang masuk ke
BMKG serta hasil pemetaan data produk hail probability (zhail) radar cuaca BMKG maka akan diketahui
wilayah mana saja di DKI Jakarta yang terdampak huja batu es (hail). Selanjutnya fokus penelitian akan
dilakukan pada daerah tersebut.
Hal yang dilakukan selanjutnya adalah melakukan pengolahan data satelit himawari 8 untuk mendapatkan
citra RGB day convective storm. Citra ini dibuat dengan menggunakan teknik pengolahan citra Red Green
Blue (RGB) dengan komponen merah (red) menggunakan pengurangan nilai suhu kecerahan antara kanal
6.2μm dengan kanal 7.3μm. Komponen hijau (green) menggunakan pengurangan nilai suhu kecerahan antara
kanal 3.9μm dengan kanal 10.4μm. Komponen biru (blue) menggunakan pengurangan nilai reflektansi antara
kanal 1.6μm dengan kanal 0.64μm. Citra RGB day convective storm ini digunakan untuk mengetahui bagian
severe dari awan yang terdeteksi pada wilayah penelitian seperti yang dilakukan oleh Lensky dan Rosenfeld
(2008).
Berdasarkan Lensky dan Rosenfeld (2008), pada skema RGB day convective storm, perbedaan suhu
kecerahan / Brightness Temperature Difference (BTD) antara kanal 6.2 dan 7.3μm (BTD6.2-7.3) mengatur
komponen warna merah (red), yang dimodulasi oleh kelembaban ketinggian menengah. Overshooting awan
Cb mempunyai nilai BTD6.2-7,3 mendekati nol atau bahkan sedikit positif (merah). Puncak awan Cb yang
tidak menembus ke tropopause akan menunjukkan nilai negatif kecil sedangkan permukaan (surface)
menunjukkan nilai BTD6.2-7.3 negatif yang besar (tidak merah). Nilai BTD antara kanal 3.9 μm dan 10.8 μm
(BTD3.9-10.8) memodulasi warna hijau dan menunjukkan kondisi mikrofisik. Pada siang hari (daytime), nilai
reflektansi matahari yang besar dari partikel awan kecil pada kanal 3.9 μm ditambahkan ke kontribusi termal
pada panjang gelombang ini, yang berkontribusi pada nilai BTD 3.9-10,8 yang lebih besar. Efek ini lebih kuat
untuk awan dingin karena fraksi radiasi matahari yang ditambahkan lebih besar bila radiasi termal relatif kecil.
Perbedaan antara nilai reflektansi (Reflectance Difference) 1,6 μm dan 0,6 μm (RD1.6-0.6) memodulasi warna
biru, dimana nilai RD1.6-0.6 negatif besar mengindikasikan awan es dan nilai RD1.6-0.6 yang jauh lebih besar
merupakan tipikal untuk permukaan/surface.
Setelah mengetahui jenis awan melalui citra RGB day convective storm, maka dilakukan pengolahan dan
analisis terhadap distribusi spasial dan temporal dari selisih nilai suhu kecerahan antara kanal 6.2μm dengan
kanal 7.3μm, kanal 3.9μm dengan kanal 10.4μm, serta selisih nilai reflektansi antara kanal 1.6μm dengan kanal
0.64μm. Analisis selisih nilai suhu kecerahan antara kanal 6.2μm dengan kanal 7.3μm dilakukan untuk
mengetahui adanya wilayah overshooting awan cumulunimbous (Lensky dan Rosenfeld, 2008). Analisis
selisih nilai suhu kecerahan antara kanal 3.9μm dengan kanal 10.4μm dilakukan untuk mengetahui apakah
partikel es pada puncak awan cumulunimbous berukuran besar atau kecil (Lensky dan Rosenfeld, 2008).
Analisis selisih nilai reflektansi antara kanal 1.6μm dengan kanal 0.64μm dilakukan untuk menunjukkan
adanya puncak awan dalam bentuk es (Lensky dan Rosenfeld, 2008). Setelah melakukan analisis tersebut
diharapkan dapat diketahui kondisi mikrofisis awan di wilayah terjadinya hujan batu es (hail).
414
Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017

Selanjutnya untuk menguatkan analisis yang dilakukan pada tahap sebelumnya, maka dilakukan analisis
terhadap produk turunan satelit himawari 8 yang diambil dari website JAXA berupa radius efektif droplet
puncak awan, optical thicknes, dan tinggi puncak awan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Peta Lokasi Terdampak Hujan Batu Es (Hail) di Jakarta Tanggal 28 Maret 2017 berdasarkan berita
media massa online dan laporan masyarakat ke BMKG

Gambar 1 menunjukkan hasil pemetaan terhadap lokasi kemunculan hail di wilayah DKI Jakarta pada
tanggal 28 Maret 2017 yang didapat dari berita media massa online dan laporan masyarakat ke BMKG.
Berdasarkan peta tersebut terlihat bahwa pada tanggal 28 Maret 2017, kemunculan hail terjadi di hampir
sebagian besar kecamatan yang ada di wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Berdasarkan laporan yang
diterima, kejadian hail ini terjadi sekitar siang menjelang sore hari. Jika dibandingkan antara sumber dari media
massa online dan laporan masyarakat ke BMKG seperti pada Gambar 1 dengan Gambar 2 yang merupakan
peta peta lokasi hujan batu es (hail) di Jakarta tanggal 28 Maret 2017 berdasarkan data komposit produk hail
probability (zhail) radar cuaca BMKG, maka terlihat kemiripan sebaran lokasi kemunculan hail di sekitar
Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.

Gambar 2. Peta Lokasi Terdampak Hujan Batu Es (Hail) di Jakarta Tanggal 28 Maret 2017 berdasarkan data
komposit produk hail probability (zhail) radar cuaca BMKG

415
Kajian Mikrofisis Awan Menggunakan Satelit Himawari 8 pada Kejadian Hail. Studi Kasus Kejadian Hail di Jakarta Tanggal 28
Maret 2017 (Pandjaitan, dkk.)

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)


Gambar 3. Citra RGB day convective storm himawari 8 tanggal 28 Maret 2017 pada pukul (a) 08.00 utc,
(b) 08.10 utc, (c) 08.20 utc, (d) 08.30 utc, (e) 08.40 utc, (f) 08.50 utc

Selanjutnya bila dilihat Gambar 3 yang merupakan Citra RGB day convective storm himawari 8 tanggal
28 Maret 2017, maka di wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur pada pukul 08.00 dan 08.10 utc masih
menunjukkan awan-awan rendah yang bersifat konvektif. Namun pada pukul 08.20 utc, terlihat wilayah
Jakarta Selatan dan Jakarta Timur awan-awan rendah yang bersifat konvektif tadi telah berubah menjadi awan
konvektif yang bersifat severe yang ditandai dengan warna citra RGB yang berwarna kuning. Wilayah awan
konvektif yang bersifat severe memiliki warna kuning cerah dalam skema warna ini karena nilai BTD 6.2-7,3
yang hampir mendekati nol yang berasal dari wilayah overshooting awan CB (menguatkan komponen warna
merah). Kondisi updraft yang kuat di awan ini menghasilkan partikel es kecil di puncak awan karena proses
homogeneous freezing pada tetes awan / cloud drops (Rosenfeld dkk., 2006), yang akan menghasilkan nilai
BTD 3.9-10.8 yang besar (menguatkan komponen warna hijau). Selanjutnya, nilai negatif yang besar dari
RD1.6-0.6 terjadi karena penyerapan yang besar pada 1,6 μm oleh partikel es yang akhirnya membuat
komponen warna biru sangat rendah.
Perubahan kondisi signifikan dalam waktu sekitar 10 menit dari jam 08.10 utc yang masih menunjukkan
awan-awan rendah yang bersifat konvektif menjadi awan konvektif yang bersifat severe pada pukul 08.20 utc
menandakan adanya aktifitas konvektif yang sangat kuat pada awan di wilayah itu.

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)


Gambar 4. Citra selisih nilai kanal 6.2μm dengan kanal 7.3μm himawari 8 tanggal 28 Maret 2017 pada pukul
(a) 08.00 utc, (b) 08.10 utc, (c) 08.20 utc, (d) 08.30 utc, (e) 08.40 utc, (f) 08.50 utc

416
Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017

Berdasarkan Gambar 4 yang menunjukkan citra selisih kanal 6.2μm dengan kanal 7.3μm, terlihat bahwa
di sekitar Jakarta Selatan bagian selatan terdapat adanya wilayah overshooting awan Cumulunimbous pada
pukul 08.20 utc yang ditandai dengan warna kuning, oranye, dan merah yang memiliki nilai dengan rentang
0,6 hingga 1,8. Hal ini sangat terlihat signifikan berbeda bila dibandingkan pada pukul 08.00 utc dan 08.10 utc
yang masih belum menampakkan adanya overshooting cumulunimbous. Overshooting cumulunimbous
merupakan tonjolan pada puncak awan CB yang menembus wilayah tropopause yang menandakan adanya
updraft yang kuat pada awan di wilayah tersebut. Hal tersebut juga terkonfirmasi seperti yang juga ditunjukkan
dari produk optical thicknes dan tinggi puncak awan.

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)


Gambar 5. Citra selisih nilai kanal 3.9μm dengan kanal 10.4μm himawari 8 tanggal 28 Maret 2017 pada pukul
(a) 08.00 utc, (b) 08.10 utc, (c) 08.20 utc, (d) 08.30 utc, (e) 08.40 utc, (f) 08.50 utc

Berdasarkan Gambar 5 yang merupakan citra selisih antara kanal 3.9μm dengan kanal 10.4μm
menunjukkan adanya partikel es berukuran kecil pada puncak awan dengan nilai 45 hingga 70 yang ditandai
dengan warna kuning hingga merah. Hal tersebut juga menandakan adanya updraft kuat seperti hasil dari
produk radius efektif droplet awan pada Gambar 9 dimana wilayah awan konvektif yang terdapat updraft kuat
memiliki ukuran radius efektif droplet awan yang kecil (Rosenfeld dkk, 2006; Rosenfeld dkk, 2008).
Selain itu, berdasarkan Gambar 6 yang menunjukkan citra selisih nilai kanal 1.6μm dengan kanal 0.64μm
himawari 8 tanggal 28 Maret 2017 menunjukkan adanya puncak awan dalam bentuk es dengan nilai 0,5 hingga
0,8 yang ditandai warna kuning hingga merah.
Berdasarkan Gambar 7, terlihat bahwa hanya dalam waktu 10 menit terdapat perubahan nilai signifikan
dari selisih 6.2μm-7.3μm, 3.9μm-10.4μm, dan 1.6μm-0.64μm. Hal ini bisa dijadikan sarana untuk mendeteksi
dini kemunculan hail. Grafik selisih nilai suhu kecerahan antara kanal 6.2μm dengan kanal 7.3μm
menunjukkan adanya proses pertumbuhan overshooting awan cumulunimbous yang sangat cepat. Grafik
selisih nilai suhu kecerahan antara kanal 3.9μm dengan kanal 10.4μm menunjukkan adanya partikel es pada
puncak awan cumulunimbous berukuran kecil. Grafik selisih nilai reflektansi antara kanal 1.6μm dengan kanal
0.64μm menunjukkan adanya puncak awan dalam bentuk es.

417
Kajian Mikrofisis Awan Menggunakan Satelit Himawari 8 pada Kejadian Hail. Studi Kasus Kejadian Hail di Jakarta Tanggal 28
Maret 2017 (Pandjaitan, dkk.)

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)


Gambar 6. Citra selisih nilai kanal 1.6μm dengan kanal 0.64μm himawari 8 tanggal 28 Maret 2017 pada pukul
(a) 08.00 utc, (b) 08.10 utc, (c) 08.20 utc, (d) 08.30 utc, (e) 08.40 utc, (f) 08.50 utc

(a) (b) (c)


Gambar 7. Grafik deret waktu nilai selisih (a). 6.2μm-7.3μm (b). 3.9μm-10.4μm, (c). 1.6μm-0.64μm

418
Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)


Gambar 8. Citra produk tinggi puncak awan himawari 8 tanggal 28 Maret 2017 pada pukul (a) 08.00 utc,
(b) 08.10 utc, (c) 08.20 utc, (d) 08.30 utc, (e) 08.40 utc, (f) 08.50 utc

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)


Gambar 9. Citra produk cloud effective radius himawari 8 tanggal 28 Maret 2017 pada pukul (a) 08.00 utc,
(b) 08.10 utc, (c) 08.20 utc, (d) 08.30 utc, (e) 08.40 utc, (f) 08.50 utc

4. KESIMPULAN
Satelit Himawari 8 mampu mendeteksi beberapa komponen mikrofisis awan konvektif yang bisa
menghasilkan fenomena hail (hujan batu es) di Jakarta seperti updraft yang sangat kuat, puncak awan yang
tinggi dan mengandung kristal es, pertumbuhan awan yang cepat dengan perubahan nilai masing-masing
parameter yang cukup signifikan hanya dalam durasi singkat yang berbeda dari keadaan tanpa hail. Hal ini
akan bersesuaian dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti di wilayah lain dengan
menggunakan data satelit selain Himawari 8 seperti penelitian oleh Rosenfeld dkk. (2008), Merino dkk.,
(2014), dan Liu dkk., (2015) yang menyatakan updraft yang kuat merupakan komponen yang penting pada
terjadinya hail. Hail terjadi pada CB sel baru yang muncul di sisi depan cluster CB sebelah barat daya nya.

5. UCAPAN TERIMA KASIH


Pada makalah ini, penulis ingin mengucapkan ucapan terima kasih kepada kepala sub bidang pengelolaan
citra satelit BMKG dan rekan kerja di lingkungan sub bidang pengelolaan citra satelit BMKG atas kelancaran
data satelit Himawari 8 yang digunakan pada penelitian ini. Selanjutnya ucapan terima kasih ditujukan kepada

419
View publication stats

Kajian Mikrofisis Awan Menggunakan Satelit Himawari 8 pada Kejadian Hail. Studi Kasus Kejadian Hail di Jakarta Tanggal 28
Maret 2017 (Pandjaitan, dkk.)

sub bidang peringatan dini cuaca BMKG atas ketersediaan data laporan kejadian hujan batu es (hail) yang
diterima dari masyarakat yang melapor pada BMKG.

6. DAFTAR PUSTAKA
Fadholi, A. (2012). Analisa Kondisi Atmosfer pada Kejadian Cuaca Ekstrem Hujan Es (Hail). Simetri, Jurnal Ilmu Fisika
Indonesia, 1 (2(D)), hlm. 74-80.
Karmini, M. (2000). Hujan Es (hail) di Jakarta, 20 April 2000. Jurnal Sains dan teknologi Modifikasi Cuaca, 1 (1), hlm.
27-32.
Lensky, M., dan Rosenfeld, D. (2008). Clouds-Aerosols-Precipitation Satellite Analysis Tool (CAPSAT). Atmos. Chem.
Phys., 8, 6739–6753.
Liu Guihua, Yu Xing, Jia Ling dan Dai Jin. (2009). Satellite Retrieval of a Strong Hailstorm Process, Atmospheric and
Oceanic Science Letters, 2:2, 103-107.
Merino, A., López, L., Sánchez, J. L., García-Ortega, E., Cattani, E., dan Levizzani, V. (2014). Daytime identification of
summer hailstorm cells from MSG data, Nat. Hazards Earth Syst. Sci., 14, 1017-1033.
Rosenfeld, D., W. L. Woodley, A. Lerner, G. Kelman, dan D. T. Lindsey. (2008). Satellite detection of severe
convectivestorms by their retrieved vertical profiles of cloud particle effective radius and thermodynamic phase, J.
Geophys. Res., 113, D04208.
Rosenfeld, D.,Woodley,W. L., Krauss, T.W., dan Makitov, V. (2006). Aircraft Microphysical Documentation from Cloud
Base to Anvils of Hailstorm Feeder Clouds in Argentina, J. Appl. Meteor., 45, 1261–1281.

420

Anda mungkin juga menyukai