Anda di halaman 1dari 22

Hukum Perkawinan

Abstrak
Makalah ini menjelaskan tentang hukum perkawinan. Perjanjian
perkawinan merupakan perjanjian yang mengatur akibat suatu dari adanya ikatan
perkawinan. Di Indonesia, perjanjian perkawinan diperbolehkan untuk dibuat sejak
diberlakukannya KUH Perdata. Perihal perjanjian perkawinan ini kemudian
dipertegas kembali dalam UU Perkawinan No 1 tahun 1974.Perjanjian perkawinan
merupakan bagian dari lapangan hukum keluarga diatur dalam Buku I KUHPerdata
(BW). Pengaturan perjanjian perkawinan dijelaskan pada Bab VII pasal 139 s/d 154.
Secara garis besar perjanjian perkawinan berlaku dan mengikat para
pihak/mempelai dalam perkawinan. Dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
Perjanjian Perkawinan didapati dalam Bab V, berisi satu pasal, yaitu pasal 29. Salah
satu azas yang terkandung dalam UU ini terkait dengan perjanjian perkawinan
adalah hak dan kedudukan suami istri yang seimbang. Masing-masing pihak dapat
melakukan perbuatan hukum secara mandiri. Perjanjian perkawinan dalam pasal 29
tidak mengatur secara tegas, sehingga secara implisit dapat ditafsirkan perjanjian
perkawinan tersebut tidak terbatas hanya mengatur mengenai harta perkawinan saja,
namun juga hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan norma agama, ketertiban
umum dan kesusilaan. Esensi Perjanjian Perkawinan yang diatur dalam Undang-
Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 lebih luas dari pada makna perjanjian
perkawinan yang terdapat dalam KUH Perdata (BW).

KataKunci : perjanjian perkawinan, hukum positif indonesia.

A. Latar Belakang
Sesuai dengan kodratnya, manusia mempunyai naluri untuk untuk selalu
ingin hidup bersama, saling berinteraksi, serta mempertahankan keturunan. Untuk
itu manusia melakukan perkawinan. Perkawinan dilakukan antara dua jenis kelamin
manusia yang berbeda yakni laki-laki dan perempuan yang bisanya didahului
dengan saling ketertarikan satu sama lain untuk hidup bersama. 1Tambahan pula,
bahwa dalam kehidupan sosial, manusia berinteraksi dan interaksi tersebut
merupakan perbuatan hukum yang melahirkan hak dan dan kewajiban. 2
Sebagai perbuatan hukum, perkawinan memerlukan ketentuan yang
mengatur agar perkawinan dan keturunan yang dilahirkan dikatakan sah menurut
hukum (syariah). 3 Perbuatan hukum dikelompokan menjadi dua; pertama
perbuatan hukum sepihak, yakni perbuatan yang dilakukan oleh satu pihak saja dan
menimbulkan hak dan kewajiban pada satu pihak pula, seperti pemberian surat

1
Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan di Indonesia,Sumur Bandung,
Bandung,1981, hlm. 7.
2
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,PN Balai Pustaka,
Jakarta, 1984, hlm. 119.
3
Achmad Ichsan,Hukum Perkawinan Islam,Pradya ParamithaI, Jakarta, 1960, hlm. 15.

1
wasiat, pemberian hibah dan lain sebagainya; kedua perbutan hukum dua pihak,
yakni perbuatan yang dilakukan dua pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban
bagi keduanya, sepertipembuatan perjanjian perkawinan, perjanjian jual-beli dan
lain-lain.4
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
memberikan pengertian mengenai perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.Atas dasar ini, perkawinan diharapkan dapat membentuk keluarga bahagia dan
kekal, serta diharapkan berjalan lancar, tanpa hambatan, dan bahagia selama-
lamanya sesuai dengan prinsip atau azas dari suatu perkawinan. 5
Perkawinan sebagai lembaga hukum, mempunyai akibat hukum yang
sangat penting dalam kehidupan para pihak yang melangsungkan perkawinan.
6
Perjanjian dalam suatu perkawinan merupakan perjanjian yang mengatur akibat
dari adanya ikatan perkawinan, yang salah satunyaialah dalam bidang harta
kekayaan. Perjanjian perkawinan jarang terjadi di Indonesia asli, disebabkan masih
kuatnya hubungan kekerabatan antara calon suami istri, serta kuatnya pengaruh
hukum adat. Pada dasarnya perkawinan merupakan suatu perjanjian yang mengikat
lahir dan batin dengan dasar iman. Itu sebab sebagian orang berpendapat, bahwa
suatu perkawinan merupakan persetujuan belaka dalammasyarakat antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan, seperti persetujuan dalam jual beli, sewa
menyewa dan lain sebagainya.7
Perkawinan merupakan masalah yang esensial bagi kehidupan manusia,
karena disamping perkawinan sebagai sarana untuk membentuk keluarga,
perkawinan tidak hanya mengandung unsur hubungan manusia dengan manusia
tetapi juga menyangkut hubungan keperdataan, perkawinan juga memuat unsur
sakralitas yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya. Karena hubungan itulah
untuk melakukan sebuah perkawinan harus memenuhi syarat maupun rukun
perkawinan, bahwa perkawinan harus di catat dan dilakukan di hadapan di Pegawai
Pencatat Perkawinan untuk mendapatkan kepastian hukum.
Bahwa sesungguhnya seseorang yang akan melaksanakan sebuah
perkawinan diharuskan memberitahukan dahulu kepada Pegawai Pencatat
Perkawinan. Pemberitahuan tersebut dapat dilakukan secara lisan oleh seorang
maupun oleh kedua mempelai. Dengan adanya pemberitahuan tersebut, K. Wantjik
Saleh berpendapat bahwa maksud untuk melakukan perkawinan itu harus
dinyatakan pula tentang nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat

4
Achmad Ichsan,Hukum...., Pradya ParamithaI, Jakarta, 1960, hlm. 17.
5
Soemiyati,Hukum Perkawinan Islam Dan UU.Perkawinan UU No 1 Tahun 1974,
Liberti, Yogyakarta, 1974, hlm. 55.
6
J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1993, hlm. 28.
7
Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan di Indonesia,Sumur Bandung, Jakarta, 1981,
hlm. 8.

2
kediaman calon mempelai. Dalam hal salah seorang atau kedua calon mempelai
pernah kawin, harus disebutkan juga nama suami atau istri terdahulu. 8
Berdasarkan uraian diatas makalah ini dirumuskan sebagai berikut : (1)
bagaimana syarat dan perjanjian dalam perkawinan?; (2) bagaimana syarat
pelangsungan perkawinan campuran dan pencatatan perkawinan campuran?; (3)
bagaimana pencegahan dan pembatalan perkawinan?; (4) apa yang menyebabkan
putusnya hubungan perkawinan?. Sebab itu, makalah ini bertujuan untuk (1)
mengetahui syarat dan perjanjian dalam perkawinan; (2) mengetahui syarat
pelangsungan perkawinan campuran dan pencatatan perkawinan campuran; (3)
mengetahui pencegahan dan pembatalan perkawinan; (4) mengetahui apa yang
menyebabkan putusnya hubungan perkawinan.

B. Pembahasan
1. Pengertian Perkawinan
Dalam Bahasa Indonesia Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang
menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal
dari kata nikah )‫(النكاح‬ yang arti bahasa artinya mengumpulkan, saling
memasukan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah” sendiri
sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.
Menurut istilah hukum Islam , perkawinan menurut syara‟ untuk membolehkan
bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-
senangnya perempuan dengan laki-laki.9
Di dalam ketentuan pasal 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dikemukakan bahwa, “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang
Maha Esa”. 10 Dari bunyi pasal tersebut arti dari perkawinan adalah ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri.
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika sebagaimana dikutip dalam buku Cakap
Hukum Bidang Perkawinan dan Perjanjian karya Muttaqien Dadan, berpendapat:
“Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila yang sila pertamanya ialah
Ketuhanan Yang Maha Esa, maka antara perkawinan dengan agama atau
kerohanian mempunyai hubungan yang sangat erat, karena perkawinan bukan saja
mumpunyai unsur jasmani tetapi juga mempunyai unsur rohani yang memegang
peran penting”.11

8
Mohd. Idris Ramulyo (1), Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm. 44.
9
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 7.
10
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Arkola, Surabaya. hlm. 5.
11
Muttaqien Dadan, Cakap Hukum Bidang Perkawinan dan Perjanjian, Insania Cita Pres,
Yogyakarta, 2006, hlm. 59.

3
Pengertian perkawinan seperti yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 apabila dirincikan sebagai berikut:
a) Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri.
b) Ikatan batin ditunjukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia, kekal dan sejahtera.
c) Ikatan batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan pada ketuhanan
Yang Maha Esa.
Menurut Anwar Haryono, pernikahan adalah suatu perjanjian yang suci antara
seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga bahagia.
Pernikahan itu adalah suatu akad (perjanjian) yang suci untuk hidup sebagai suami-
istri yang sah, membentuk keluarga bahagia dan kekal.
Menurut Saleh Al Utsaimin, nikah ditinjau dari segi syariat ialah pertalian
hubungan (akad) antara laki-laki dan perempuan dengan maksud agar masing-
masing dapat menikmati yang lain (istimta’) dan untuk membentuk keluaga yang
salih dan membangun masyarakat yang bersih. 12

2. Syarat Perkawinan
Menurut hukum perdata, Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang
dilakukan di muka petugas kantor pencatatan sipil. Perkawinan yang dilakukan
menurut tata cara suatu agama saja tidaklah sah. 13 Ketentuan tersebut berbeda
dengan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, sebagai ius
constitutum telah merumuskan norma hukum mengenai perkawinan yang sah
secara imperatif pada pasal 2, yang berbunyi :
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaan;
2. Tiap-yiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku
Dalam penjelasan pasal 2 tersebut diterangkan bahwa, “Dengan perumusan
pada pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan undang-undang dasar 1945”.
Selanjutnya, yang di maksud dengan hukum masing-masing agamanya dan
keagamaannya adalah sepanjang tidak bertentangan atau di tentukan lain dalam
undang-undang ini.
Ada 2 (dua) macam syarat perkawinan, yaitu syarat materiil dan syarat formal.
Syarat materiil adalah syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang
melangsungkan perkawinan, syarat materiil ini disebut juga dengan syarat subjektif.

12
Wahbah Al-zuhaili, Al Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, Beriut, Cet. Ke-3, Dár al-
fikr,1989, hlm. 36.
13 Ali afandi, hukum keluarga menurut kitab undang-undang hukum perdata (burgelijk

wetboek), (yogyakarta : Yayasan gadjah mada ), hlm. 5.

4
Sedangkan syarat formal adalah tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan
menurut hukum agama dan undang-undang, disebut juga “ syarat objektif”. 14
Syarat-syarat perkawinan dalam hukum nasional diatur dalam ketentuan
pasal 6 sampai dengan pasal 12 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang
pekawinan, yang di dalamnya meliputi persyaratan materiil maupun syarata formal.
Dalam melaksanakan perkawinan, maka para pihak juga harus memenuhi
persyaratan perkawinan yang di atur atau ditentukan di dalam hukum agamanya
atau kepercayaan agamanya masing-masing, termasuk ketentuan dalam perundang-
undangan lain yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu.
Persyaratan materiil berkenaan dengan calon mempelai yang hendak
melangsungkan perkawinan, yang meliputi:
1. Persyaratan terhadap orangnya (Para pihak)
Persyaratan berikut berlaku umum bagi semua perkawinan, yaitu :
a. Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai;
b. Calon mempelai sudah berumur 19 tahun bagi pria dan 18 tahun bagi
wanita;15
c. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali bagi laki-laki
yang beristri lebih dari seorang;
d. Bagi wanita tidak sedang dalam jangka waktu tunggu atau masa iddah.
Adapun ketentuan yang berlaku khusus bagi perkawinan orang tertentu adalah :
a. Tidak terkena larangan atau halangan melakukan perkawinan, baik
menurut undang-undang maupun hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu;
b. Tidak terkena larangan kawin kembali untuk ketiga kalinya setelah
kawin dan bercerai lagi untuk kedua kalinya berdasarkan hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Memperoleh izin dari orang tua atau wali calon mempelai, dan mendapat
izin pengadilan bagi mereka yang hendak beristri lebih dari seorang
(berpoligami).
Syarat meteriil maupun syarat formil yang terkandung dalam ketentuan pasal 2
tersebut memiliki aspek perdata dan aspek administratif. Aspek perdata
membicarakan fungsi substansi dan aspek pendaftaran membicarakan fungsi
administratif. Fungsi yang terakhir adalah untuk kejelasan dan kepastian hukum
adanya perkawinan yang sudah dilakukan oleh suami-istri bagi masyarakat dan
negara.
Menurut Tan Kamello dalam bukunya yang berjudul hukum Orang dan
Keluarga, bahwa syarat-syarat perkawinan yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 terdiri dari syarat substantif dan syarat ajektif. Syarat
substantif adalah syarat-syarat yang menyangkut diri pribadi calon suami dan calon

14
Ali afandi, hukum keluarga menurut kitab undang-undang hukum perdata (burgelijk
wetboek), (yogyakarta : Yayasan gadjah mada ), hlm. 5.
15
Mahkamah konstitusi nomor 30-74/PUU-XII/2014 tentang batas usia perkawinan

5
istri, sedangkan syarat ajektif adalah syarat yang berhubungan dengan tata caraatau
formalitas perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan.
Persyaratan substantif tersebut adalah sebagai berikut:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan (kata sepakat) calon
suami-istri (pasal 6 ayat (1));
2. Umur dari calon suami sekurang-kurangnya 19 tahun dan calon istri
berumur 18 tahun (Pasal 7 ayat (1)); jika belum berumur 21 tahun harus
mendapat izin kedua orang tua. Kalau orang tua sudah meninggal
diperoleh dari wali, dan jika tak ada wali diperoleh izin pengadilan
setempat;
3. Calon istri tidak terikat pada pertalian perkawinan dengan pihak lain
(Pasal 3 ayat (9));
4. Adanya waktu tunggu bagi wanita yang putus perkawinannya apabila
akan melangsungkan perkawinannya yang kedua (Pasal 11 jo Op No. 9
Tahun 1975);
5. Calon suami-istri memiliki agama yang sama.
Persyaratan ajektif adalah sebagai berikut:
1. Kedua calon suami-istri atau kedua orang tua atau wakilnya
memberitahukan kepada pegawai pencatat perkawinan di tempat
perkawinan akan dilangsungkan secaralisan atau tertulis;
2. Pemberitahan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan;
3. Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan meneliti semua
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan identitas calon suami-istri;
4. Pengumuman tentang waktu dilangsungkan perkawinan pada kantor
pencatatan perkawinan untuk diketahui umum. Lazimnya ditempel pada
papan pengumuman di kantor tersebut agar mudah dibaca oleh
masyarakat;
5. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman;
6. Perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri 2
(dua) orang saksi;
7. Akta perkawinan ditanda tangani oleh kedua calon suami-istri, diikuti
saksi dan pegawai pencatat. Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2
(dua). Helai pertama disimpan oleh pencatat, dan helai kedua disimpan
pada Panitera Pengadilan dalam wilayah kantor pencatat perkawinan
tersebut. Kepada suami-istri diberikan kutipan akta perkawinan. 16

3. Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan adalah suatu jenis perjanjian. Ia merupakan species
dari genus perjanjian. Dengan demikian, ia harus memenuhi syarat-syarat dari

16
Tan Kamello, Orang dan keluarga..... hlm. 44.

6
genusnya dan di samping itu ia mengandung pula sesuatu unsur yang
menjadikannya sebagai species. Dengan demikian kita terdampar ke dalam bidang
hukum perjanjian. Kalau kita sudah sampai ke bidang ini, maka jelas kelihatan
kepada kita, bahwa kita belum mempunyai hukum perjanjian (perikatan) yang
bersifat unifikasi. Pernyataan ini berarti, bahwa kita masih tetap bergelimang dalam
arus pluralisme. Yang harus di perhatikan ialah apa syarat-syarat untuk membuat
sesuatu perjanjian, masing-masing menurut:
a. KUH Perdata;
b. Hukum Adat;
c. Aturan Hukum Intergentil;
d. Aturan Hukum Perdata Internasional17
Perjanjian dapat di lihat dalam arti formal maupun materiil. Rumus perjanjian
perkawinan, seperti yang terdapat dalam ketentuan pasal 29 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu suatu jenis perjanjian, yang
dibuat pada waktu atau sebelum dilangsungkannya perkawinan oleh suami-istri atas
dasar persetujuan bersama, dan yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan,
ketentuan tersebut merupakan rumus yang bersifat formal. Artinya adalah rumus
itu hanya menggambarkan kulit (siapa yang membuat, apabila dibuat disahkan oleh
siapa), sama sekali tidak menyinggung isi. Sebenarnya, perjanjian perkawinan
selain mempunyai kulit, juga mempunyai isi. Apabila rumus mementingkan isi,
maka dikatakan bahwa rumus itu bersifat material. Masalah yang sama terdapat
juga pada huwelijkvoorwaarden, yang dapat diberi rumus formal, tapi juga rumus
material.
Rumus formal untuk huwelijkvoorwaarden, pernah diberikan oleh seorang
sarjana Belanda, Hamaker, lebih kurang pada penghujung abad yang lampau.
Rumus formal itu berbunyi, bahwa: “ Tiap perjanjian yang dilangsungkan sesuai
dengan ketentuan undang-undang antara calon suami-istri mengenai perkawinan
mereka, tidak dipersoalkan apa isinya”. 18 Syarat penting pada rumus ialah
disebutnya tujuan perjanjian, yaitu mengatur dan sebagainya.
Perjanjian perkawinan tidak hanya sebatas memperjanjikan masalah keuangan
atau harta, ada hal lain yang juga penting diperjanjikan, misalnya kejahatan rumah
tangga, memperjanjikan salah satu pihak untuk tetap berkarir meski sudah menikah
dan lain sebagainya. 11 Perjanjian kawin menurut KUH Perdata Pasal 139
sebenarnya merupakan persetujuan antara calon suami dan istri, untuk mengatur
akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Oleh karena itu, perjanjian
perkawinan dapat diadakan baik dalam hal suami-istri akan kawin campur harta
secara bulat, maupun dalam hal mereka memperjanjikan adanya harta yang terpisah,
atau harta diluar persatuan.

17 Mahadi, Perjanjian Perkawinan, (Medan: Perpustakaan fakultas hukum Universitas


USU), hlm.16.
18 Mahadi, Perjanjian...., (Medan: Perpustakaan fakultas hukum Universitas USU), hlm.

18.

7
Perjanjian perkawinan di Indonesia mulai diperbolehkan dibuat sejak
diberlakukannya KUHPerdata pada tanggal 1 Mei 1848. Dalam hal perjanjian
perkawinan ini, kemudian dimuat dan dipertegas kembali dengan diundangkannya
Undang-Undang Perkwinan Nomor 1 Tahun 1974. Sementara itu akibat daripada
perkembangan zaman yang semakin pesat serta adanya tuntutan persamaan derajat
antara laki-laki dengan wanita, menyebabkan perjanjian perkawinan tersebut lebih
sering dibuat sebelum calon pasangan suami istri melangsungkan perkawinan.
Eksistensi Pasal 29 ayat (1) pada Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974,
dikehendaki adanya perjanjian sebagai pengiring tuntutan zaman akan persamaan
status dan derajat serta kebebasan untuk menentukan kebutuhan bagi rakyat sendiri.
Manfaat perjanjian dalam perkawinan bagi negara sangatlah besar. Adanya
perjanjian perkawinan memberikan batasan bagi pasangan suami isteri guna
mencegah dan mengurangi konflik terutama yang terjadi di dalam lembaga
perkawinan. Perjanjian perkawinan dapat menjadi acuan jika suatu saat nanti timbul
konflik, meskipun konflik tersebut tidak dikehendaki. Namun manakala terjadi juga
konflik yang harus berakhir dengan perceraian, maka perjanjian tersebut dapat
dijadikan rujukan sehingga masing-masing mengetahui hak dan kewajibannya.
Perjanjian dalam perkawinan menurut asalnya merupakan terjemahan dari kata
“huwelijksevoorwaarden” yang ada dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Istilah ini
terdapat dalam KUH Perdata, Undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam. Kata huwlijk menurut bahasa berarti: perkawinan antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan, sedangkan voorwaard berarti syarat. Perjanjian
perkawinan yaitu, persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu
atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan
mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pegawai
pencatat nikah.19

4. Syarat Pelangsungan Perkawinan Campuran dan Pencatatan Perkawinan


Campuran
Lembaga perkawinan sangat penting bagi kehidupan manusia, bangsa dan
negara, dan oleh karena itu sudah seharusnya negara memberikan suatu
perlindungan yang selayaknya pada keselamatan perkawinan tersebut, Undang-
undang yang mengatur tentang perkawinan secara Nasional yang berlaku bagi
semua Warga Negara Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan. Saat ini banyak Warga Negara Indonesia yang melaksanakan
perkawinan campuran dengan orang asing, sejalan dengan era globalisasi dan
dengan semakin cepatnya arus informasi dari luar ke dalam, keadaan inilah yang
merupakan salah satu penyebab banyaknya orang Indonesia yang menikah dengan
orang asing. Menurut Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan) disebutkan bahwa

19
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Bandar Maju, 2007),
Hlm. 52.

8
Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah
satu pihak berkewarganegaraan asing dan pihak yang lain berkewarganegaraan
Indonesia.20 Dari definisi Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan ini dapat diuraikan
unsur-unsur perkawinan campuran itu sebagai berikut :
a. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita;
b. Di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan;
c. Karena perbedaan kewarganegaraan;
d. Salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Unsur pertama menunjuk kepada asas monogami dalam perkawinan. Unsur
kedua menunjuk kepada perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan bagi wanita
yang melangsungkan perkawinan itu. Tetapi perbedaan hukum tersebut bukan
karena perbedaan agama, suku bangsa, golongan di Indonesia melainkan karena
unsur ketiga yaitu perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan ini
pun bukan kewarganegaraan asing semuanya, melainkan unsur keempat
menyatakan bahwa salah satu kewarganegaraan itu adalah kewarganegaraan
Indonesia. Tegasnya, perkawinan campuran menurut undang-undang Perkawinan
adalah perkawinan antara Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing.
Karena berlainan kewarganegaraan, tentu saja hukum yang berlaku bagi mereka
juga berlainan. Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur dengan tegas
mengenai akibat hukum yang timbul dari perkawinan campuran. Ketentuan yang
mengatur mengenai akibat hukumnya adalah Pasal 62 yangmenagtur bahwa
kedudukan anak dari perkawinan campuran diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1)
dimana kewarganegran yang diperoleh menentukan hukum yang berlaku.
Perkawinan campuran dapat dilangsungkan di luar Indonesia (luar negeri) dan
dapat pula dilangsungkan di Indonesia. Apabila dilangsungkan di luar negeri maka
perkawinan tersebut sah bilamana perkawinan tersebut menurut hukum negara yang
berlaku menurut di negara mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi Warga
Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-Undang Pokok Perkawinan
(Pasal 56 ). Apabila dilangsungkan di Indonesia, perkawinan campuran dilakukan
menurut Undang-Undang Perkawinan ini (Pasal 59 Ayat (2)). Mengenai syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan harus dipenuhi syarat-syarat perkawinan
materiil yang berlaku menurut hukum masing-masing pihak (Pasal 60 Ayat (1) ).
Pejabat yang berwenang memberikan keterangan tentang telah dipenuhi syarat-
syarat perkawinan menurut hukum yang berlaku bagi masing-masing pihak ialah
pegawai pencatat menurut hukum masing-masing pihak (Pasal 60 Ayat (2)).
Apabila pejabat pencatat menolak memberikan surat keterangan itu, yang
berkepentingan mengajukan permintaan kepada Pengadilan, dan Pengadilan
memberikan keputusannya. Jika keputusan Pengadilan itu menyatakan bahwa

20
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung,
1993, hlm. 103.

9
penolakan itu tidak beralasan, maka keputusan Pengadilan itu menjadi pengganti
surat keterangan tersebut (Pasal 60 Ayat (3)) dan Ayat (4) ).
Setelah surat keterangan atau keputusan Pengadilan diperoleh, maka
perkawinan segera dilangsungkan. Pelangsungan perkawinan dilakukan menurut
hukum masing-masing agama. Pelangsungan perkawinan dilakukan di hadapan
pegawai pencatat. Tata cara ini menurut Undang-Undang Perkawinan, jika
perkawinan dilangsungkan di Indonesia. Jika perkawinan dilangsungkan di negara
pihak lainnya itu, maka berlakulah ketentuan tata cara menurut hukum di negara
yang bersangkutan (Pasal 56 Ayat (1) ).
Ada kemungkinan setelah mereka memperoleh Surat Keterangan atau Putusan
Pengadilan, perkawinan tidak segera mereka lakukan. Apabila perkawinan mereka
tidak dilangsungkan dalam masa enam bulan sesudah keterangan atau putusan itu
diberikan, maka surat keterangan atau putusan Pengadilan itu tidak mempunyai
kekuatan lagi (Pasal 60 ayat (5)).
Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang (Pasal 61
Ayat (1)). Pegawai pencatat yang berwenang bagi yang beragama Islam ialah
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai
Rujuk (P3NTCR). Sedangkan bagi yang bukan beragama Islam ialah Pegawai
Kantor Catatan Sipil.
Apabila perkawinan campuran dilangsungkan tanpa memperlihatkan lebih
dahulu kepada pegawai pencatat surat keterangan atau keputusan pengganti
keterangan, maka yang melangsungkan perkawinan campuran itu dihukum dengan
hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan (Pasal 61 Ayat ( 2)). Pegawai
pencatat yang mencatat perkawinan, sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan
atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman
kurungan selama-lamanya tiga bulan dan dihukum jabatan (Pasal 61 Ayat ( 3)).21

5. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan


a. Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan
larangan hukum islam yang diundangkan. Pencegahan perkawinan dilakukan bila
tidak terpenuhi dua persyaratan ini. Pertama, syarat materiil adalah syarat yang
berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta nikah, dan larangan perkawinan.
Kedua, syarat administratif adalah syarat perkawinan yang melekat pada setiap
rukun perkawinan, yang meliputi calon mempelai laki-laki dan wanita, saksi, wali,
dan pelaksanaan akad nikahnya. 22
Perspektif UU No. 1/1974, Pencegahan perkawinan diatur dalam UU No.
1/1974 dalam pasal 13 yang berbunyi: “Perkawinan dapat dicegah, apabila ada
pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.”

21
Libertus Jehani dan Atanasius Harpen, Hukum Kewarganegaraan, Citra Adytia Bakti,
Bandung, 2006, hlm. 8.
22
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000, Hlm. 85

10
Tidak memenuhi persyaratan seperti yang dimaksud didalam ayat diatas
mengacu kepada dua hal yaitu syarat administratif dan syarat materiil. Syarat
administratif berhubungan dengan administratif perkawinan pada bagian tata cara
perkawinan. Adapun syarat materiil menyangkut hal-hal mendasar seperti larangan
perkawinan.
Perkawinan dapat dicegah bila salah seorang ataupun kedua calon pengantin
masih terikat dalam perkawinan dengan orang lain (pencegahan ini tidak termasuk
bagi suami yang telah mendapatkan dispensasi dari pengadilan untuk berpoligami)
dan seorang bekas istri yang masih dalam keadaan berlaku waktu tunggu (iddah)
baginya, begitu juga dengan mereka yang belum mencapai umur 19 tahun bagi pria
dan 16 tahun bagi wanita dapat dicegah untuk melangsungkan perkawinan kecuali
telah mendapat dispensasi dari pengadilan. 23
Adapun mekanisme yang ditempuh bagi pihak-pihak yang akan melakukan
pencegahan adalah dengan cara mengajukan pencegahan perkawinan ke pengadilan
agama dalam daerah hukum dimana perkawinan itu dilangsungkan dan
memberitahukannya kepada pegawai pencatat nikah. Pencegahan perkawinan dapat
dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan yang telah dimasukkan
ke pengadilan agama oleh yang mencegah atau dengan putusan pengadilan agama,
selama pencegahan belum dicabut maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan,
kecuali ada putusan pengadilan agama yang memberikan dispensasi kepada para
pihak yang akan melangsungkan perkawinan.
Disamping itu undang-undang perkawinan juga mengenal pencegahan
perkawinan secara otomatis yang dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan
meskipun tidak ada pihak yang melakukan pencegahan perkawinan (pasal 20).
Pencegahan otomatis ini dapat dilakukan apabila pegawai pencatat perkawinan
dalam menjalankan tugasnya mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam
pasal 7 ayat 1, pasal 8, pasal 9, pasal 10, dan pasal 12 undang-undang perkawinan.
Berkenaan dengan orang-orang yang dapat melakukan pencegahan dimuat
dalam pasal 14 UUP yang berbunyi :
1. Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis
keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali pengampu
dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
2. Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah
berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang calon mempelai berada
dibawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata
mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai lainnya, yang
mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1)
pasal ini.

23
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
kritis perkembangan hukum islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampoi KHI: Kencana Prenadamedia
Group, 2014. hlm. 99.

11
Selanjutnya pasal 15 menyatakan : “Barangsiapa karena perkawinan dirinya
masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar adanya
perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi
ketentuan pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 undang-undang ini.”24
Undang-undang perkawinan seperti yang terdapat dalam pasal 16 ayat 1 dan 2,
juga memberi wewenang kepada pejabat untuk melakukan pencegahan perkawinan.
Mengenai pejabat yang berwenang diatur dalam paraturan perundang-undangan.
Sebaliknya pejabat yang berwenang dilarang membantu melangsungkan
perkawinan bila ia mengetahui terjadinya pelanggaran terhadap UU tersebut.
Dalam pasal 20 UU No. 1/1974 dinyatakan dengan tegas.
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau
membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari
ketentuan dalam pasal 7 ayat 1, pasal 9, pasal 10, dan pasal 12 undang-undang ini
meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

b. Pembatalan Perkawinan
Pembatalan perkawinan adalah usaha untuk tidak dilanjutkannya hubungan
perkawinan setelah sebelumnya perkawinan itu terjadi. Dalam memutus
permohonan pembatalan perkawinan, pengadilan harus selalu memperhatikan
ketentuan agama mempelai. Jika menurut agamanya perkawinan itu sah maka
pengadilan tidak bisa membatalkan perkawinan.
Dalam pasal 22 UU perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan
perkawinan. Namun bila rukunnya yang tidak terpenuhi berarti pernikahannya yang
tidak sah. Perkawinan dapat dibatalkan berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 pasal 22,
24, 26 dan 27 serta berdasarkan KHI pasal 70 dan 71.
Dalam hukum islam suatu pernikahan dianggap sah jika dalam suatu akad
nikah tersebut sudah terpenuhi syarat serta rukunnya. Jika suatu perkawinan kurang
salah satu syarat maupun rukunnya maka akad nikah tersebut dianggap tidak sah.
Jika yang tidak terpenuhi hanya salah satu rukunnya, akad tersebut adalah batal.
Adapun jika yang tidak terpenuhi adalah salah satu dari syaratnya maka akad nikah
tersebut dianggap fasid.
1. Dasar hukum pembatalan perkawinan
a. Perspektif UU No. 1/1974
Berbeda dengan pencegahan, masalah pembatalan perkawinan diatur di
dalam fikih Islam yang dikenal dengan sebutan nikah batil. Di dalam pasal 22 UU
No. 1/1974 dinyatakan dengan tugas, Perkawinan dapat dibatalkan apabila para
pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

24
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 148.

12
Di dalam penjelasannya kata “dapat” dalam pasal ini bisa diartikan bisa batal
atau tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing
tidak menentukan lain.istilah “batal”-nya perkawinan dapat menimbulkan salah
paham, karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal tersebut. Batal
berarti tidak ada kekuatan dan tidak ada nilai. Dapat dibatalkan berarti tidak ada
kekuatan. Istilah dapat dibatalkan dalam undang-undang ini berarti dapat difasidkan.
Dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi
perkawinan lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran terrhadap aturan-aturan
tertentu.25
Adapun Pasal 27 undang-undang Perkawinan, sebagaimana Pasal 71
Kompilasi Hukum Islam mengatu hak-hak suami atau isteri untuk mengajukan
pembatalan manakala perkawinan dilangsungkan dalam keadaan diancam ditipu
atau salah sangka.
Pasal 27 UU Perkawinan menyebutkan bahwa :
1. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang
melanggar hukum.
2. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah
sangka mengenai diri suami atau isteri.
3. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari
keadaanya, dan dalam jangka waktu 6 buka setelah itu masih tetap hidup
sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan
permohonan pembatalan maka haknya gugur.
Istilah “batalnya” perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena terdapat
berbagai rargam tentang pengetian batal tersebut. Batal berarti tidak ada ketentuan.
Istilah dapat dibatalkan dalam Undang-undang perkawinan ini berarti dapat
difasidkan. Dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah

25
Martiman Prodjohamifjdjo, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Indonesia Legal
Center Publishing, 2002. Hlm. 21.

13
terjadi perkawinan lalu dibatalkan Karena adanya pelanggaran terhadap aturan-
aturan tertentu.
Ada kesan pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak berfungsinya
pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga perkawinan
itu terlanjur terlaksana kendati setelah itu ditemukan pelanggaran terhadap Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 atau hukum munakahat. Jika ini terjadi maka
Pengadilan Agama dapat membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan
pihak-pihak yang berkepentingan. Suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan
bisa dibatalkan oleh pengadilan. Secara sederhana ada dua sebab terjadinya
pembatalan perkawinan. Pertama, pelanggaran procedural perkawinan. Kedua,
pelanggaran terhadap materi perkawinan.
Di dalam Pasal 24 disebutkan bahwa: “Barang siapa karena perkawinan masih
terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya
perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak
mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang ini.”
Di dalam Pasal 26 disebutkan :
1. Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan
yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan
tanpa dihadiri oleh 2 orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para
keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan
suami atau istri.
2. Hak untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan.
Dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai istri
dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat
perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbarui supaya sah.
Di dalam Pasal 27 menyebutkan :
1. seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang
melanggar hukum.

14
2. seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah
sangka mengenai diri suami atau istri.
b. Perspektif KHI
Di dalam Pasal 70 KHI dinyatakan perkawinan batal (batal demi hukum)
apabila:
a. Kamu melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad
nikah Karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari
keempat istrinya itu dalam iddah talak raj’i;
b. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya;
c. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dijatuhi tiga kali talak olehnya,
kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang
kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa
iddahnya;
d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah,
semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi
perkawinan.26
6. Putusnya Hubungan Perkawinan
Perkawinan merupakan penyatuan 2 (dua) jiwa lain jenis menjadi satu
kesatuan yang utuh dalam menuju kesempurnaan hidup. Maka perkawinan adalah
suatu perjanjian suci untuk hidup bersama sebagai suami-istri, tetapi kehidupan
bersama ini tidak semudah seperti yang dibayangkan, karena adakalanya
perkawinan yang tadinya berjalan baik, penuh keharmonisan di dalam suatu rumah
tangga, bisa saja tiba-tiba muncul kesuraman dalam kehidupan berumah tangga
tersebut.
Perceraian pada dasarnya tidak dilarang apabila alasan-alasan perceraian
tersebut berdasarkan atas ketentuan-ketentuan yang mengatur, yaitu berdasarkan
Undang-undang Perkawinan. Walaupun perceraian tidak dilarang, akan tetapi itu
merupakan sesuatu yang paling dibenci oleh Tuhan. Akibat yang paling pokok dari

26
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata...., : Kencana
Prenadamedia Group, 2014. hlm. 112.

15
putusnya hubungan perkawinan adalah masalah hubungan suami-istri, pembagian
harta bersama, nafkah dan pemeliharaan bagi kelangsungan hidup anak-anak
mereka.
1. Pengertian Perceraian
Pengertian mengenai perceraian tidak terdapat dalam Undangundang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun bukan berarti perceraian tidak
diperbolehkan. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal hingga akhir hayat, maka undang-undang ini menganut prinsip
untuk mempersukar atau mempersulit terjadinya perceraian. Perceraian
dimungkinkan, namun ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan
sidang pengadilan.
Perceraian adalah sebagai upaya atau jalan terakhir setelah segala upaya
untuk mendamaikan suami-istri telah ditempuh namun tidak berhasil dan kalupun
suami-istri harus mempertahankan perkawinannya dalam keadaan tidak bahagia,
kekal dan sejahtera akan menimbulkan masalah-masalah lebih lanjut. Perceraian
ialah penghapusan perkawinan dengan putusan haki, atau tuntutan salah satu pihak
dalam perkawinan itu.27
Djamil Latif dalam bukunya Aneka Hukum Perceraian di Indonesia
diakatakan bahwa : Perceraian adalah suatu malapetaka, tetapi suatu malapetaka
yang perlu untuk tidak menimbulkan malapetaka lain yang lebih besar bahayanya.
Perceraian hanya dibenarkan penggunaannya dalam keadaan darurat untuk tidak
menimbulkan mudlarat yang lebih besar. Karena itu perceraian adalah pintu
daruratnya perkawinan guna keselamatan bersama. Untuk itulah Tuhan
mengadakan peraturan-peraturan perceraian disamping peraturan perkawinan dan
atas dasar ini pulalah Negara Republik Indonesia mengatur hal-hal yang tidak diatur
hukumnya dalam agama tentang perceraian disamping perkawinan, demi
kebahagiaan, kesejahteraan dan ketentraman keluarga, masyarakat dan Negara.

27
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. XXIX, (Jakarta: PT. Intermasa, 2001),
hlm. 42.

16
2. Faktor-faktor Penyebab Putusnya Hubungan Perkawinan Menurut
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
KUHPerdata
Menurut Undang-undang Perkawinan, ada beberapa hal yang dapat
menyebabkan putusnya hubungan perkawinan. Hal tersebut dapat dilihat dalam
Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi,
perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian
b. Perceraian
c. Atas keputusan pengadilan 28
Putusnya hubungan perkawinan karena kematian dari salah satu pihak ini
tidak banyak menimbulkan persoalan. Sebab putusnya hubungan perkawinan
tersebut bukan atas kehendak bersama ataupun kehendak dari salah satu pihak, akan
tetapi karena kehendak Tuhan. Serta sudah jelas bahwa dengan meninggalnya salah
seorang satu pihak sehingga dengan sendirirnya perkawinan menjadi putus. Maka
akibat putusnya perkawinan karena kematian ini tidak diuraikan lebih lanjut.
Putusnya hubungan perkawinan dapat disebabkan karena kematian suami
atau istri. Dengan kematian salah satu pihak, maka pihak lain berhak menjadi ahli
waris atas peninggalan yang meninggal. Walaupun dengan kematian suami tidak
dimungkinkan hubungan mereka disambung lagi, namun bagi istri yang ditinggal
mati oleh suaminya, tidak boleh melaksanakan atau melangsungkan perkawinan
sebelum masa iddahnya habis atau berakhir, yakni selama 4 (empat) bulan 10
(sepuluh) hari atau 130 (seratus tiga puluh) hari (Pasal 39 ayat (1) huruf a). apabila
perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang
bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh)
hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari (Pasal
39 ayat (1) huruf b). serta apabila ketika pada saat istrinya sedang hamil, maka

28
UU No.1 Tahun 1974, Pasal 38

17
jangka waktu bagi istri untuk dapat kawin lagi adalah sampai dengan ia melahirkan
anaknya (Pasal 39 ayat (1) huruf c) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. 29
Kemudian dari ketentuan-ketentuan tentang perceraian dalam Undang-
undang Perkawinan dan dalam peraturan pelaksanaan, maka dapat adanya 2 (dua)
macam perceraian, yaitu :
a. Cerai talak
Talak adalah suatu bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami kepada
istrinya di depan sidang pengadilan, yang dikenal umum dan banyak terjadi di
Indonesia.
Dalam hal ini, seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan
menurut agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada
Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud
menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasan serta meminta kepada
Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu (Pasal 14 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975).
Pengertian cerai talak diatur dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Amandemen Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989.
b. Cerai gugat
Yaitu perceraian yang diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya. Dalam
hal ini, gugatan perceraian dimaksud dapat dilakukan oleh seorang istri yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh seorang suami atau
seorang istri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan
kepercayaan nya itu selain agama Islam (Penjelasan Pasal 20 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975).
Pengertian cerai gugat diatur dalam Pasal 73 ayat (1) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Amandemen Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989.30

29
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, cet. I, (Medan: CV Zahir Trading,
1975), hlm. 110.
30
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, cet. 5,
(Bandung: Alumni, 1986), hlm. 15.

18
Karena walaupun perceraian itu merupakan urusan pribadi baik atas
kehendak salah satu pihak atau keduanya, yang seharusnya tidak perlu adanya
campur tangan dari Pemerintah, namun untuk menghindari tindakan sewenang-
wenangnya terutama dari pihak suami dan juga demi kepastian hukum, maka
perceraian harus melalui saluran lembaga peradilan.
Sehubungan dengan ketentuan yang mengatur bahwa perceraian harus
dilakukan di depan sidang pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi yang
beragama Islam. Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak menentukan bahwa
perceraian itu harus dilakukan di depan sidang pengadilan namun karena ketentuan
ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak maka sudah
sepantasnya apabila orang beragama Islam wajib mengikuti ketentuan ini. Adapun
pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan memutus tentang perceraian
adalah bagi mereka yang beragama Islam di Pengadilan Agama dan bagi yang
beragama lain selain Islam di Pengadilan Negeri setempat. 31
Serta putusnya hubungan perkwainan karena berdasarkan keputusan
pengadilan, yaitu perceraian yang dilakukan dengan putusan Pengadilan Agama
bagi menganut agama Islam ataupun dengan putusan Pengadilan Negeri bagi yang
menganut selain agama Islam yang didasarkan oleh suatu gugatan perceraian dari
salah satu pihak suami atau istri. 32

C. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah :
1. Syarat Perkawinan : Ada 2 (dua) macam syarat perkawinan, yaitu syarat
materiil dan syarat formal. Syarat materiil adalah syarat yang ada dan
melekat pada diri pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, syarat
materiil ini disebut juga dengan syarat subjektif. Sedangkan syarat formal
adalah tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum
agama dan undang-undang, disebut juga “ syarat objektif”.

31
A. Damanhuri HR, Segi-segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, (Bandung
: Mandar Maju, 2007), hlm. 27.
32
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet. 5, (Jakarta: Universitas Indonesia,
1986), hlm. 89.

19
Perjanjian Perkawinan : Perjanjian Perkawinan merupakan perjanjian atau
persetujuan yang dibuat oleh calon suami isteri, sebelum atau pada saat
perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan
terhadap harta kekayaan mereka. Perjanjian ini tidak hanya sebatas
memperjanjikan masalah keuangan atau harta, namun hal lainnya dapat pula
diperjanjikan.
2. Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan pihak
yang lain berkewarganegaraan Indonesia.
3. Pencegahan dan pembatalan perkawinan : Pencegahan perkawinan adalah
menghindari suatu perkawinan berdasarkan larangan hukum islam yang
diundangkan. Pencegahan perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi dua
persyaratan ini. Pertama, syarat materiil adalah syarat yang berkaitan
dengan pencatatan perkawinan, akta nikah, dan larangan perkawinan.
Kedua, syarat administratif adalah syarat perkawinan yang melekat pada
setiap rukun perkawinan, yang meliputi calon mempelai laki-laki dan
wanita, saksi, wali, dan pelaksanaan akad nikahnya. Sedangkan Pembatalan
perkawinan adalah usaha untuk tidak dilanjutkannya hubungan perkawinan
setelah sebelumnya perkawinan itu terjadi. Dalam memutus permohonan
pembatalan perkawinan, pengadilan harus selalu memperhatikan ketentuan
agama mempelai. Jika menurut agamanya perkawinan itu sah maka
pengadilan tidak bisa membatalkan perkawinan.
4. Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian. Putusnya hubungan
perkawinan karena kematian dari salah satu pihak ini tidak banyak
menimbulkan persoalan. Sebab putusnya hubungan perkawinan tersebut
bukan atas kehendak bersama ataupun kehendak dari salah satu pihak, akan
tetapi karena kehendak Tuhan. Serta sudah jelas bahwa dengan
meninggalnya salah seorang satu pihak sehingga dengan sendirirnya
perkawinan menjadi putus. Maka akibat putusnya perkawinan karena
kematian ini tidak diuraikan lebih lanjut.

20
DAFTAR PUSTAKA

Prodjodikoro, Wirjono. 1981. Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung : Sumur


Bandung.
Kansil, ST. 1984. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : PN
Balai Pustaka.
Ichsan, Achmad. 1960. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta : Pradya ParamithaI.
Soemiyati. 1974. Hukum Perkawinan Islam Dan UU Perkawinan UU No 1 Tahun
1974. Yogyakarta : Liberti.
Satrio , J. 1993. Hukum Harta Perkawinan. Bandung : Citra Aditya Bhakti.
Prodjodikoro, Wirjono. 1981. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta : Sumur
Bandung.
Idris Ramulyo, Mohd. 1995. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum
Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam. Jakarta : Sinar
Grafika.
Rahman Ghozali, Abdul. 2010. Fiqh Munakahat. Jakarta : Kencana.
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia. Surabaya : Arkola.
Dadan, Muttaqien. 2006. Cakap Hukum Bidang Perkawinan dan Perjanjian.
Yogyakarta : Insania Cita Pres.
Al-zuhaili, Wahbah. 1989. Al Fiqh Al-Islami wa Adillatuh. Cet. Ke-3, Dár al-fikr.
Beriut.
Afandi, Ali. hukum keluarga menurut kitab undang-undang hukum perdata
(burgelijk wetboek). Yogyakarta : Yayasan gadjah mada.
Mahkamah konstitusi nomor 30-74/PUU-XII/2014 tentang batas usia perkawinan
Mahadi. Perjanjian Perkawinan. Medan: Perpustakaan fakultas hukum Universitas
USU.
Hadikusuma, Hilman. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Bandar
Maju.
Abdulkadir, Muhammad. 1993. Hukum Perdata Indonesia. Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti.
Jehani, Libertus dan Harpen, Atanasius. 2006. Hukum Kewarganegaraan.
Bandung: Citra Adytia Bakti.
Azhar Basyir, Ahmad. 2000. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta : UII Press.
Nuruddin, Amiur dan Akmal Tarigan, Azhari. 2014. Hukum Perdata Islam di
Indonesia: Studi kritis perkembangan hukum islam dari Fikih, UU No 1/1974
sampoi KHI: Kencana Prenadamedia Group.
Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta : Grafindo Persada.
Prodjohamifjdjo, Martiman. 2002. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta:
Indonesia Legal Center Publishing.
UU No.1 Tahun 1974. Pasal 38.
Yahya Harahap, M. 1975. Hukum Perkawinan Nasional. cet. I. Medan: CV Zahir
Trading.
Soetojo Prawirohamidjojo, R. dan Safioedin, Asis. 1986. Hukum Orang dan
Keluarga. cet. 5. Bandung : Alumni.
Damanhuri HR, A. 2007. Segi-segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama.

21
Bandung : Mandar Maju.
Thalib, Sayuti. 1986. Hukum Kekeluargaan Indonesia. cet. 5. Jakarta : Universitas
Indonesia.

22

Anda mungkin juga menyukai