Anda di halaman 1dari 17

PEMIMPIN IDEAL DALAM PERSPEKTIF HADIS

Anisatun Muthi’ah
Jurusan Ilmu Hadis
Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon
Email: anisatun@syekhnurjati.ac.id

Abstrak
Pemimpin ideal dalam anjuran islam seharusnya sekaligus
berarti penolong, karena pemimpin bertugas melindungi orang-
orang yang dipimpinnya dan berusaha menolong serta
menyelamatkan mereka saat kesulitan dan bencana menimpa,
karena pemimpinlah yang bertanggung jawab atas segala hal
yang ada dan yang terjadi dalam wilayahnya serta ihwal orang-
orang yang dipimpinnya. Seorang pemimpin dipilih adalah
untuk memimpin anggota kelompoknya untuk dapat
mewujudkan tujuan bersama.
Kata kunci: Pemimpin ideal, dan Hadis

Abstract
The ideal leader in Islamic advice should be included in the
sense of a helper, for the leader is in charge of protecting the
people he leads and trying to help and rescue them when
hardships and disasters strike, for the leader is responsible for
everything that is and what is happening in his territory and
about the people he leads. A chosen leader is to lead members
of his group to be able to realize common goals.
Keywords: Ideal Leader, and Hatdits

PENDAHULUAN
Alquran menunjukkan bahwa manusia dibebani tugas untuk
memakmurkan bumi.1 Tugas yang disandangnya ini menempatkan setiap
manusia sebagai pemimpin (khali>fah).2 Setiap orang harus memimpin
dimulai dari dirinya sendiri, dengan berbuat amal kebajikan bagi dirinya,
orang lain (masyarakat) dan lingkungan sekitarnya, baik yang bernyawa
maupun tidak bernyawa agar mencapai tujuan hidupnya berupa keselamatan,

1
Q.S. al-Baqarah: 30.
2
Dalam bahasa Arab, ada beberapa istilah yang menunjuk kepada arti pemimpin, di
antaranya Khali>fah, Ima>m dan Ami>r.
Anisatun Muthi’ah

kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat kelak. Setiap manusia


harus mengendalikan dirinya baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun
sebagai makhluk Allah yang memikul kewajiban dan menyampaikan
pertanggungjawaban atas segala tingkah laku perbuatannya selama hidup di
muka bumi. Tanggung jawab ini akan semakin berat, apabila seseorang
menjadi pemimpin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa karena
hakikat kepemimpinannya memiliki dua dimensi. Pertama adalah
pertanggungjawaban yang harus dipimpinnya. Kedua adalah yang
disampaikan pada orang-orang, kesungguhan tentang Allah kepada
pertanggungjawabannya, sesuai dengan petunjuk Allah serta keteladanan
Nabi Muhammad dalam memimpin. Dua dimensi ini akan berpadu menjadi
satu kesatuan, apabila tanggung jawab yang kedua tersebut telah ditunaikan
secara baik semata-mata karena Allah Swt., maka secara pasti dimensi
pertama juga terpenuhi.3 Dengan demikian, jelas bahwa kepemimpinan
berkenaan dengan hubungan vertikal dengan Tuhan (h}abl minalla>h) dan
hubungan secara horizontal dengan sesamanya (h}abl minanna>s).

PEMBAHASAN
A. Kajian Hadis tentang Pemimpin
1. Hadis-Hadis Pemimpin
Sah}i>h} Muslim Kita>b al-Ima>rah, bab Khiya>r al-A‘immah wa
Shira>ruhum.4

َ ‫ﻳﺪ ﺑْ ِﻦ ﻳَ ِﺰ‬ ِ ‫اﳊْﻨﻈَﻠِﻲ أَﺧﺒـﺮَ ِﻋﻴﺴﻰ ﺑﻦ ﻳﻮﻧُﺲ ﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ْاﻷَوز‬


َ ‫اﻋ ﱡﻲ َﻋ ْﻦ ﻳَِﺰ‬
ِ ِ ِ
‫ﻳﺪ‬ َْ َ َ ُ ُ ْ َ َ َ ْ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ إ ْﺳ َﺤ ُﻖ ﺑْ ُﻦ إﺑْـَﺮاﻫ َﻴﻢ َْ ﱡ‬
ِ‫ﻮل ﱠ‬ ِ ‫ﻚ َﻋﻦ رﺳ‬ ٍ ِ‫ف ﺑ ِﻦ ﻣﺎﻟ‬ ِ ِ ِ
ُ,‫ا‬‫ﺻﻠﱠﻰ ﱠ‬ َ ,‫ا‬ َُ ْ َ ْ ‫ﺑْ ِﻦ َﺟﺎﺑ ٍﺮ َﻋ ْﻦ ُرَزﻳْ ِﻖ ﺑْ ِﻦ َﺣﻴﱠﺎ َن َﻋ ْﻦ ُﻣ ْﺴﻠ ِﻢ ﺑْ ِﻦ ﻗَـَﺮﻇَ َﺔ َﻋ ْﻦ َﻋ ْﻮ‬
‫ﺼﻠﱡﻮ َن َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ َو ِﺷَﺮ ُار‬ ِ ِ ‫ﺎل ِﺧﻴﺎر أَﺋِ ﱠﻤﺘِ ُﻜﻢ اﻟﱠ ِﺬ‬ ِ
َ ُ‫ﺼﻠﱡﻮ َن َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ َوﺗ‬
َ ُ‫ﻳﻦ ُﲢﺒﱡﻮﻧـَ ُﻬ ْﻢ َوُﳛﺒﱡﻮﻧَ ُﻜ ْﻢ َوﻳ‬ َ ْ ُ َ َ َ‫َﻋﻠَْﻴﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬
ِ‫ﻮل ﱠ‬
‫ أَﻓَ َﻼ ﻧـُﻨَﺎﺑِ ُﺬ ُﻫ ْﻢ‬,‫ا‬ َ ‫ َر ُﺳ‬Hَ ‫ﻴﻞ‬ ِ ِ ِ ِ‫ِ ِ ﱠ‬
َ ‫ﻀﻮﻧَ ُﻜ ْﻢ َوﺗَـ ْﻠ َﻌﻨُﻮﻧـَ ُﻬ ْﻢ َوﻳـَْﻠ َﻌﻨُﻮﻧَ ُﻜ ْﻢ ﻗ‬
ُ ‫ﻀﻮﻧـَ ُﻬ ْﻢ َوﻳـُْﺒﻐ‬ُ ‫ﻳﻦ ﺗـُْﺒﻐ‬
َ ‫أَﺋ ﱠﻤﺘ ُﻜ ْﻢ اﻟﺬ‬
‫ﺼ َﻼةَ َوإِذَا َرأَﻳْـﺘُ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ُوَﻻﺗِ ُﻜ ْﻢ َﺷْﻴـﺌًﺎ ﺗَﻜَْﺮُﻫﻮﻧَﻪُ ﻓَﺎ ْﻛَﺮُﻫﻮا َﻋ َﻤﻠَﻪُ َوَﻻ‬ ‫ﺎل َﻻ َﻣﺎ أَﻗَ ُﺎﻣﻮا ﻓِﻴ ُﻜ ْﻢ اﻟ ﱠ‬ َ ‫ﻒ ﻓَـ َﻘ‬ِ ‫ﻟ ﱠﺴْﻴ‬Rِ
‫ﺎﻋ ٍﺔ‬ ِ
َ َ‫ﺗَـْﻨ ِﺰﻋُﻮا ﻳَ ًﺪا ﻣ ْﻦ ﻃ‬
“Telah bercerita kepada kami Isha>q bin Ibra>hi>m al-Hanz}ali> bahwa:
telah memberitahukan kepada kami ‘I<sa bin Yu>nus bahwa: telah
bercerita kepada kami al-Auza>‘i> dari Yazi>d bin Yazi>d bin Ja>bir dari

3
Dalam bahasa Arab, ada beberapa istilah yang menunjuk kepada arti pemimpin, di
antaranya Khali>fah, Ima>m dan Ami>r.
4
Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qushayri> al-Naisabu>ri>
(selanjutnya disebut Muslim), al-Jami>‘ al-S{ah}i>h} (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Jilid IV, 24

76 Diya> al-Afka>r Vol. 5, No. 1, Juni 2017


Pemimpin Ideal dalam Perspektif Hadis

Ruzaiq bin Hayya>n dari Muslim bin Qaraz}ah dari ‘Auf bin Ma>lik dari
Rasulullah SAW. telah bersabda: “Sebaik-baik pemimpinmu adalah
mereka yang kamu cintai dan mereka pula mencintai kamu, mereka
yang mendoakanmu dan kamu doakan mereka. Sedangkan seburuk-
buruk pemimpinmu adalah mereka yang kamu benci dan mereka pun
membencimu, yang kamu laknat dan mereka melaknatmu pula.”
Dikatakan: “Wahai Rasulullah, jika demikian, tidakkah kita
menumbangkannya dengan pedang?” Beliau bersabda: “Tidak,
selama mereka menegakkan salat di tengah-tengah kamu. Jika kalian
melihat dari penguasa-penguasamu kejelekan yang kamu benci, maka
bencilah perbuatan jeleknya itu saja dan jangan sekali-kali
membangkang terhadapnya.”

Musnad Ah}mad bin Hanbal Kita>b Ba>qi Musnad al-Ansa>r, bab Hadi>th
‘Auf bin Ma>lik al-Ashja>‘i> al-Ans}a>ri>.5

‫ﺎل‬َ َ‫ﻳﺪ ﺑْ ِﻦ َﺟﺎﺑِ ٍﺮ ﻗ‬ َ ‫َﺧﺒَـَﺮِﱐ َﻋْﺒ ُﺪ اﻟﱠﺮ ْﲪَ ِﻦ ﺑْ ُﻦ ﻳَِﺰ‬ ْ ‫ﺎل أ‬َ َ‫ ﻗ‬,‫ا‬ِ‫ﺎل أَﻧْـﺒﺄَ َ ﻋﺒ ُﺪ ﱠ‬
َْ َ َ َ‫ﺎق ﻗ‬ َ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﻋﻠِ ﱡﻲ ﺑْ ُﻦ إِ ْﺳ َﺤ‬
ِ َ َ‫ﻚ ﻗ‬ ٍ ِ‫ف ﺑ ِﻦ ﻣﺎﻟ‬ ِ ِ
‫ﺖ‬ُ ‫ﺎل َﲰ ْﻌ‬ َ ْ ‫َﺣ ﱠﺪﺛَِﲏ ُزَرﻳْ ٌﻖ َﻣ ْﻮَﱃ ﺑَِﲏ ﻓَـَﺰ َارَة َﻋ ْﻦ ُﻣ ْﺴﻠ ِﻢ ﺑْ ِﻦ ﻗَـَﺮﻇَ َﺔ َوَﻛﺎ َن اﺑْ َﻦ َﻋ ِّﻢ َﻋ ْﻮ‬
‫ﻮل ِﺧﻴَ ُﺎر أَﺋِ ﱠﻤﺘِ ُﻜ ْﻢ َﻣ ْﻦ ُِﲢﺒﱡﻮﻧـَ ُﻬ ْﻢ‬ُ ‫ُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳـَ ُﻘ‬,‫ا‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ﱠ‬ ِ‫ﻮل ﱠ‬ ِ ُ ‫ﻚﻳ‬ ٍِ
َ ,‫ا‬ َ ‫ﺖ َر ُﺳ‬ ُ ‫ﻘﻮل َﲰ ْﻌ‬ َ ‫ف ﺑْ َﻦ َﻣﺎﻟ‬ َ ‫َﻋ ْﻮ‬
‫ﻀﻮﻧَ ُﻜ ْﻢ‬ ِ ِ ِ‫ِ ِ ﱠ‬ ِ ‫ﺼﻠﱡﻮ َن َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ َوﻳُ َ ﱡ‬ ِ
ُ ‫ﻀﻮﻧـَ ُﻬ ْﻢ َوﻳـُْﺒﻐ‬ ُ ‫ﻳﻦ ﺗـُْﺒﻐ‬ َ ‫ﺼﻠﻮ َن َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ َوﺷَﺮ ُار أَﺋ ﱠﻤﺘ ُﻜ ْﻢ اﻟﺬ‬ َ ُ‫َوُﳛﺒﱡﻮﻧَ ُﻜ ْﻢ َوﺗ‬
ِ ِ‫ﻮل ﱠ‬
‫ﺼ َﻼ َة‬ ‫ﺎل َﻻ َﻣﺎ أَﻗَ ُﺎﻣﻮا ﻟَ ُﻜ ْﻢ اﻟ ﱠ‬ َ َ‫ﻚ ﻗ‬ َ ‫ أَﻓَ َﻼ ﻧـُﻨَﺎﺑِ ُﺬ ُﻫ ْﻢ ِﻋْﻨ َﺪ َذﻟ‬,‫ا‬ َ ‫ َر ُﺳ‬Hَ ‫َوﺗَـ ْﻠ َﻌﻨُﻮﻧـَ ُﻬ ْﻢ َوﻳـَْﻠ َﻌﻨُﻮﻧَ ُﻜ ْﻢ ﻗُـ ْﻠﻨَﺎ‬
ِ‫ﺼﻴ ِﺔ ﱠ‬ ِ ِ ِ ِ‫ﺼﻴ ِﺔ ﱠ‬ ِ ِ ٍ ِ ِ ِّ‫أََﻻ وﻣﻦ و‬
‫ َوَﻻ‬,‫ا‬ َ ‫ِْﰐ ﻣ ْﻦ َﻣ ْﻌ‬dَ ‫ ﻓَـ ْﻠﻴُـْﻨﻜ ْﺮ َﻣﺎ‬,‫ا‬ َ ‫ِْﰐ َﺷْﻴـﺌًﺎ ﻣ ْﻦ َﻣ ْﻌ‬dَ ُ‫ﱄ َﻋﻠَْﻴﻪ أَﻣ ٌﲑ َوال ﻓَـَﺮآﻩ‬ َ ُ ْ ََ
ٍ‫ﻳـْﻨ ِﺰﻋ ﱠﻦ ﻳ ًﺪا ِﻣﻦ ﻃَﺎﻋﺔ‬
َ ْ َ َ َ
“Telah bercerita kepada kami ‘Ali> bin Ish}a>q, ia telah berkata:
‘Abdulla>h telah bercerita kepada kami, ia telah berkata: telah
bercerita kepadaku ‘Abdurrah}ma>n bin Yazi>d bin Jabi>r, ia berkata
bahwa Ruzayq, seorang budak dari Bani Fazarah dari Muslim bin
Qaraz}ah, yaitu putra paman ‘Auf bin Ma>lik, telah bercerita
kepadanya, ia berkata bahwa ia telah mendengar Rasulullah Saw.
bersabda: “Sebaik-baik pemimpinmu adalah pemimpin yang kamu
cintai dan mereka pula mencintai kamu, yang kamu doakan dan
mereka pula mendoakanmu. Sedangkan seburuk-buruk pemimpinmu

Ah}mad bin Hanbal, Musnad li> al-Ima>m Ah}mad bin Hanbal wa bihamishihi
5

Muntakhab Kanz al-‘Umma>l fi> suna>n al-Aqwa>l wa al-Af‘a>l (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), jilid
VI, 24.

Diya> al-Afka>r Vol. 5, No. 1, Juni 2017 77


Anisatun Muthi’ah

adalah mereka yang kamu benci dan mereka pun membencimu, yang
kamu laknat dan mereka melaknatmu pula.” Kami berkata: “Wahai
Rasulullah, tidakkah kita menumbangkannya jika demikian?” Ia
menjawab: “Tidak, selama mereka menegakkan salat di tengah-
tengah kamu. Ketahuilah! Barangsiapa di antara kamu mendapatkan
seorang amir terpilih, dan menemukannya berbuat pelanggaran
(maksiat) kepada Allah, maka ingkarilah (tidak membenarkan)
perbuatan maksiatnya itu, dan jangan kamu membangkang
terhadapnya.”

2. Kajian Otentisitas Hadis


Kajian otentisitas hadis ini merupakan tahapan penting. Hal ini
berdasarkan asumsi bahwa tidak mungkin akan terjadi pemahaman yang
s}ah}i>h} bila tidak ada kepastian bahwa apa yang dipahami itu secara historis
otentik.6
Berbeda dengan Alquran, ia merupakan teks kitab suci yang otentik,
karena pengalihan (transmisi) Alquran adalah transmisi tekstual. Alquran
merupakan wahyu in verbatim, yakni sama persis dengan kata-kata yang
diucapkan pertama kali karena ditulis segera setelah pewahyuan di bawah
pengawasan dan koreksi Nabi sendiri, sedangkan hadis mengalami
perjalanan historis yang panjang sebelum menjadi wacana tekstual seperti
dalam kitab-kitab hadis. Hadis masih mengalami transmisi lisan, transmisi
praktek kemudian baru memasuki tahap tradisi pengalihan tulisan.
Untuk itu, sebelum memasuki tahap penafsiran dan pemahaman,
problem otentisitas dan orisinalitas ini harus diselesaikan terlebih dahulu.
Memperoleh pemahaman yang tepat terhadap hadis perlu ditemukan
indikasi-indikasi yang relevan dengan teks hadis yang bersangkutan, yang
dapat diketahui melalui ijtiha>d. Namun, kegiatan pencarian indikasi ini baru
dilakukan setelah diketahui secara jelas bahwa sanad hadis yang
bersangkutan berkualitas s}ah}i>h} atau minimal h}asa>n.7

3. Analisis Sanad
Meskipun Imam Muslim dalam muqaddimah (pendahuluan) kitabnya
menyebutkan bahwa hadis-hadis yang dimasukkan dalam kitab hadisnya

6
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya Pada Perkembangan
Hukum Islam (Semarang: Aneka Ilmu, 2000), 155-156.
7
Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah
Ma’an al-Hadis Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Jakarta: Bulan
Bintang, 1987), 5.

78 Diya> al-Afka>r Vol. 5, No. 1, Juni 2017


Pemimpin Ideal dalam Perspektif Hadis

adalah hadis-hadis yang disepakati ke-s}ah}i>h-}annya,8 hal ini tidaklah


menjamin bahwa semua hadis dalam kitab hadisnya termasuk hadis tentang
seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan salat yang diriwayatkannya
adalah berkualitas s}ah}i>h}.
Oleh karena itu, dalam menilai kualitas hadis yang diteliti ini dari
segi sanadnya menggunakan asumsi ulama hadis lain yang men-s}ah}i>h}-
kannya. Di antara ulama yang men-s}ah}i>h-}kan hadis riwayat Muslim dari
Da>wud bin Rushayd adalah al-Alba>ni>, al-Suyu>t}i> dan al-Bagha>wi>.

4. Analisis Matan
Penelitian matan hadis pada bagian ini tidak sama dengan upaya
ma’a>ni> al-h}adi>th. Penelitian matan ini berupaya meneliti kebenaran teks
sebuah hadis (informasinya) yaitu apakah matan hadis benar-benar (orisinal)
berasal dari Nabi Saw. Adapun kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam
ma’a>ni> al-h}adi>th berupaya untuk memahami hadis dan sharh} hadis, bukan
bertujuan mencari validitas sebuah matan.
Jika matan hadis diamati dan dianalisa, maka apa yang disampaikan
di dalamnya dapat masuk akal. Seorang pemimpin yang mencintai dan
mendoakan rakyatnya, dan begitu sebaliknya dengan rakyatnya yang juga
mencintai dan mendoakannya bisa disebut sebagai sebaik-baik pemimpin.
Rasa cinta yang dimiliki seorang pemimpin terhadap rakyatnya akan
berwujud kepedulian dan perhatian kepada yang dicintanya, yaitu rakyat
yang dipimpinnya, berupa usaha untuk mensejahterakan kehidupan
rakyatnya. Dengan melihat besarnya perhatian dan usaha yang pemimpin
lakukan demi rakyatnya, tentunya rakyat akan mencintainya pula. Oleh
karena itu, tidak mengherankan apabila kedua belah pihak saling mendoakan
dan mendukung.
Begitu pula seburuk-buruk pemimpin akan dibenci dengan sendirinya
oleh rakyat, akibat ulahnya yang tidak melaksanakan amanat yang
diembannya, bahkan menyengsarakan rakyat. Pemimpin dapat berbuat
demikian, karena ketidakcintaannya kepada rakyat, malah sebaliknya ia

8
Yah}ya> bin Sharaf al-Nawawi> (selanjutnya disebut al-Nawa>wi>), S{ah}i>h} Muslim:
Sharh} al-Ima>m al-Nawawi> (Beirut: Da>r al-Fikr, 1983), jilid I, 16. Menurut Ibn S{ala>h}
perkataan Muslim dalam Muqaddimah kitabnya memiliki dua makna. Pertama, ia tidak
memasukkan di dalam kitabnya hadis-hadis yang menurutnya telah memenuhi syarat-syarat
hadis s}ah}i>h} yang disepakati, walaupun terpenuhinya syarat-syarat ini hanya pada sebagian
ulama, tidak jelas pada sebagian ulama yang lain. Kedua, ia tidak memasukkan ke dalam
kitab hadisnya, hadis-hadis yang didebatkan oleh ulama thiqah secara keseluruhan meliputi
matan dan sanad, tetapi ia hanya memasukkan hadis yang tidak didebatkan rawinya saja.
Ibnu Salah juga mengatakan bahwa semua hadis yang dihukumkan s}ah}i>h} menurut Imam
Muslim dalam kitabnya dapat dipastikan ke-s}ah}i>h-}annya. Lihat: al-Nawa>wi>, S{ah}i>h} Muslim:
Sharh} al-Ima>m al-Nawawi>, jilid I, 19.
Diya> al-Afka>r Vol. 5, No. 1, Juni 2017 79
Anisatun Muthi’ah

membenci rakyat yang dipimpinnya sendiri. Dengan demikian, isi matan


ditinjau dari akal dapat diterima.
Selanjutnya, jika dilihat dari sisi susunan lafalnya, terdapat beberapa
perbedaan ketika diterapkan metode muqa>ranah (perbandingan) antara
susunan lafaz masing-masing redaksi hadis. Perbandingan ini tidak hanya
dimaksudkan untuk upaya konfirmasi atas hasil penelitian yang telah ada
saja, tetapi juga sebagai upaya lebih mencermati susunan matan yang lebih
dapat dipertanggungjawabkan keorisinalannya berasal dari Nabi Saw.
Kegiatan perbandingan susunan lafazh hadis ini, menghasilkan beberapa hal
sebagai berikut.
a. Pada hadis yang diriwayatkan Muslim dari Da>wud bin Rushayd,
Ish}a>q bin Mu>sa> al-Ans}a>ri> dan Mu‘a>wiyah bin S{a>lih} mempunyai
redaksi yang sama, artinya tidak ada perbedaan lafaz.9 Hal ini berarti
hadis diriwayatkan secara lafz}iy.
b. Redaksi hadis lain yang serupa dengan redaksi yang diriwayatkan
Muslim dari Da>wud bin Rushayd adalah hadis riwayat Ah}mad bin
H{anbal dari jalur ‘Ali> bin Ish}a>q dan hadis riwayat al-Da>rimi dari jalur
al-H{akam bin al-Muba>rak. Namun perbedaan susunan lafaz di
dalamnya tidak mengubah makna, sehingga hal ini dapat ditoleransi.
c. Adapun hadis riwayat Muslim dari Is}ha>q bin Ibrahim al-Hanz}a>li>
memang serupa dengan hadis riwayat Muslim dari Da>wud bin
Rushayd, namun di dalamnya terdapat tambahan kata bi> al-shayf
yang tidak disebutkan dalam riwayat lain. Tambahan (ziya>dah)10
kata tersebut dapat diartikan sebagai penegas dari kata afala>
nunabizuhum dan tidak mengubah makna. Tambahan ini juga bisa
9
Sebenarnya perbedaan lafal dalam matan dapat terjadi karena telah terjadi
periwayatan secara makna dalam periwayatan hadis, di samping ada kemungkinan
periwayat hadis yang bersangkutan telah mengalami kesalahan. Menurut ulama hadis,
perbedaan lafal yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, asalkan sanadnya sama-sama
s}ah}i>h}, maka hal itu dapat ditoleransi. Lihat: M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian
Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 131.
10
Arti bahasa kata ziya>dah adalah “tambahan”. Menurut istilah ilmu hadis, ziya>dah
pada matan adalah tambahan lafal ataupun kalimat (pernyataan) yang terdapat dalam
matan, tambahan itu dikemukakan oleh periwayat tertentu, sedang periwayat yang lainnya
tidak mengemukakannya. Menurut Ibnu S}alah, ziya>dah ada tiga macam, yakni: (a) ziya>dah
yang berasal dari periwayat yang thiqah yang isinya bertentangan dengan yang
dikemukakan oleh banyak periwayat yang bersifat thiqah juga; ziya>dah ini ditolak dan
ziya>dah ini termasuk hadis sha>dh (b) ziya>dah yang berasal dari periwayat yang thiqah yang
isinya tidak bertentangan dengan yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang bersifat
thiqah juga; ziya>dah ini dapat diterima. (c) ziya>dah yang berasal dari periwayat thiqah
berupa sebuah lafal yang mengandung arti tertentu, sedang para periwayat lain yang bersifat
thiqah tidak mengemukakannya. Lihat: M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis
Nabi, 137.

80 Diya> al-Afka>r Vol. 5, No. 1, Juni 2017


Pemimpin Ideal dalam Perspektif Hadis

disebut idra>j11 jika tambahan itu merupakan tafsiran dari periwayat,


bukan dari Nabi Saw.
d. Hadis riwayat Ah}mad bin H{anbal dari jalur Yazi>d menyebutkan
redaksi yang berbeda dengan adanya penambahan lafal khiya>rukum
dalam matan hadis. Berikut redaksinya:

ِ ‫ﻳﺪ ﻋﻦ ﻣﺴﻠِ ِﻢ ﺑ ِﻦ ﻗَـﺮﻇَﺔَ ﻋﻦ ﻋﻮ‬


‫ف ﺑْ ِﻦ‬ ْ َ ْ َ َ ْ ْ ُ ْ َ َ ‫ﻀﺎﻟَﺔَ َﻋ ْﻦ َرﺑِ َﻴﻌﺔَ ﺑْ ِﻦ ﻳَِﺰ‬ َ َ‫ﺎل أَﻧْـﺒَﺄَ َ ﻓَـَﺮ ُج ﺑْ ُﻦ ﻓ‬
َ َ‫ﻳﺪ ﻗ‬ُ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﻳَِﺰ‬
‫ﻳﻦ ُِﲢﺒﱡﻮﻧـَ ُﻬ ْﻢ َوُِﳛﺒﱡﻮﻧَ ُﻜ ْﻢ‬ ِ‫ِ ِ ِ ﱠ‬ ِ َ َ‫ ﻋﻠَﻴ ِﻪ وﺳﻠﱠﻢ ﻗ‬,‫ا‬ ‫ﱠﱯ َ ﱠ‬ ِ ٍِ
َ ‫ﺎل ﺧﻴَ ُﺎرُﻛ ْﻢ َوﺧﻴَ ُﺎر أَﺋ ﱠﻤﺘ ُﻜ ْﻢ اﻟﺬ‬ َ َ َ ْ َ ُ ‫ﺻﻠ ﻰ ﱠ‬ ِّ ‫َﻣﺎﻟﻚ َﻋ ْﻦ اﻟﻨ‬
‫ﻀﻮﻧَ ُﻜ ْﻢ‬ ِ ِ ِ‫ِ ِ ﱠ‬ ِ ِ ‫ﺼﻠﱡﻮ َن َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ َوﻳُ َ ﱡ‬
ُ ‫ﻀﻮﻧـَ ُﻬ ْﻢ َوﻳـُْﺒﻐ‬ ُ ‫ﻳﻦ ﺗـُْﺒﻐ‬َ ‫ﺼﻠﻮ َن َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ َوﺷَﺮ ُارُﻛ ْﻢ َوﺷَﺮ ُار أَﺋ ﱠﻤﺘ ُﻜ ْﻢ اﻟﺬ‬ َ ُ‫َوﺗ‬
‫ﺲ أََﻻ َوَﻣ ْﻦ‬ َ ‫اﳋَ ْﻤ‬ ْ ‫ﺻﻠﱠ ْﻮا ﻟَ ُﻜ ْﻢ‬َ ‫ﺎل َﻻ َﻣﺎ‬ َ َ‫ِ أَﻓَ َﻼ ﻧـُ َﻘﺎﺗِﻠُ ُﻬ ْﻢ ﻗ‬,‫ا‬
‫ﻮل ﱠ‬َ ‫ َر ُﺳ‬Hَ ‫َوﺗَـ ْﻠ َﻌﻨُﻮﻧـَ ُﻬ ْﻢ َوﻳـَْﻠ َﻌﻨُﻮﻧَ ُﻜ ْﻢ ﻗَﺎﻟُﻮا‬
‫ﺎﻋﺘِ ِﻪ‬ ِ ِ‫ﺎﺻﻲ ﱠ‬ِ ‫ِْﰐ َﺷﻴـﺌًﺎ ِﻣﻦ ﻣﻌ‬d ‫ﻋﻠَﻴ ِﻪ و ٍال ﻓَـﺮآﻩ‬
َ َ‫ ﻓَـ ْﻠﻴَﻜَْﺮْﻩ َﻣﺎ أَﺗَﻰ َوَﻻ ﺗَـْﻨ ِﺰﻋُﻮا ﻳَ ًﺪا ﻣ ْﻦ ﻃ‬,‫ا‬ ََ ْ ْ َ ُ َ َ ْ َ
Redaksi hadis di atas dapat dikatakan sebagai hadis yang
diriwayatkan secara makna (riwa>yah bi> al-ma‘na>). Riwa>yah bi> al-ma‘na> ini
diperbolehkan sepanjang tidak mengubah artinya. Sedangkan dalam hadis
riwayat Ah}mad bin H{anbal ini tidak mengubah arti, hanya saja
menambahkan bahwa kriteria baik dan buruk seorang pemimpin sama
dengan kriteria baik dan buruk orang secara umum. Namun karena hadis ini
mempunyai sanad lemah diakibatkan salah satu rawinya yang bernama
Farra>j bin Fad}a>lah dinilai d}a’i>f,12 maka dengan sendirinya tambahan
(ziya>dah) dalam hadis ini tidak dapat diterima, meskipun tidak
bertentangan.

B. Fenomena Kepemimpinan dalam Dunia Politik Indonesia Kekinian13


Berbicara tentang Indonesia sampai detik ini adalah -tidak luput
dari- berbicara tentang Islam di Indonesia, meskipun hanya karena alasan
statistik, demografis dan sosiologis saja bahwa umat Islam adalah mayoritas
di Indonesia. Oleh karena itu, setiap visi tentang Indonesia pada dasarnya

Idra>j secara bahasa berarti memasukkan atau menghimpunkan. Menurut


11

pengertian ilmu hadis, idra>j berarti memasukkan pernyataan yang berasal dari periwayat ke
dalam suatu matan hadis yang diriwayatkannya sehingga menimbulkan dugaan bahwa
pernyataan itu berasal dari Nabi karena tidak adanya penjelasan dalam matan hadis itu.
Lihat: M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, 138.
12
Mengenai silsilah ra>wi> hadis dan statusnya dapat dilihat dalam: CD Mawsu>‘ah al-
H{adi>th al-Shari>f al-Kutub al-Tis‘ah, Produksi Sakhr, 1991, edisi 1.2.
13
Indonesia Kekinian di sini dimaksudkan pada kondisi pemerintahan saat ini yaitu
pemerintahan Presiden Megawati yang juga dikaitkan dengan pemerintahan-pemerintahan
sebelumnya.

Diya> al-Afka>r Vol. 5, No. 1, Juni 2017 81


Anisatun Muthi’ah

adalah visi tentang Islam di Indonesia juga, begitu menurut Nurcholis


Madjid.14
Namun sebagaimana pernyataan Presiden Indonesia kedua, Soeharto,
pada pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1966, negara Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila bukan negara agama tetapi bukan negara
sekular.15 Negara Indonesia tidak mempunyai agama resmi. Meskipun
hampir 90 % dari seluruh bangsa Indonesia beragama Islam,16 tetapi Islam
bukanlah agama resmi negara. Sesuai dengan Kedaulatan Rakyat, sumber
hukum di Indonesia adalah kehendak rakyat yang tersalurkan melalui
lembaga-lembaga legislatif. Pimpinan negara aadalah seorang warga negara
biasa yang dipilih oleh rakyat secara langsung dan disahkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebagai kepala negara,17 bukan dari kalangan
ulama atau pendeta. Dengan demikian, jelas Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 bukanlah negara agama.
Negara Indonesia juga bukan negara sekular, dapat terlihat adanya
lembaga pemerintahan yang mengurus masalah kehidupan dan kerukunan
beragama yang dikenal dengan Departemen Agama. Sebenarnya yang
disebut sekularisme dalam politik praktis adalah penolakan terhadap campur
tangan negara atau pemerintah di dalam kehidupan keagamaan rakyat, dan
pada waktu yang sama penolakan terhadap campur tangan tokoh-tokoh atau
lembaga-lembaga keagamaan dalam kehidupan kenegaraan atau politik,
dengan kata lain adanya pemisahan antara agama dan negara. Sedangkan
apabila diamati, kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di
Indonesia menunjukkan adanya peran positif agama di dalamnya. Bahkan
tokoh Nasionalis Indonesia, Sukarni mengatakan dalam sejarah perjuangan
kemerdekaan Indonesia, agama justru menjadi motor revolusi, penggerak
perjuangan kemerdekaan.18
Posisi Indonesia sebagai posisi tengah antar negara agama dan negara
sekular, dianggap oleh beberapa kalangan sebagai sikap yang tidak
berpendirian. Oleh beberapa kalangan dari umat Islam di Indonesia, sudah
seharusnya Indonesia menjadi negara Islam dan berpedoman kepada Alquran

14
Nurcholish Madjid, xv.
15
Munawir Sjadzali, Islam: Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa
(Jakarta: UI Press, 1993), 80.
16
Walaupun hanya bisa dikatakan sebagai kelompok mayoritas (numerical
majority) bukan minoritas teknis (technical minority). Lihat: Nurcholis Madjid, 45.
17
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Amandemen Undang-Undang Dasar 1945:
Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat (dalam Satu Naskah) (Yogyakarta: Media
Pressindo, 2002), 6-7.
18
Munawir Sjadzali, 82-85.

82 Diya> al-Afka>r Vol. 5, No. 1, Juni 2017


Pemimpin Ideal dalam Perspektif Hadis

dan hadis, karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun di lain


pihak, baik dari kalangan Islam dan non Islam, ada yang mengatakan bahwa
seharusnya Indonesia menjadi negara demokratis, karena jika negara Islam,
aspirasi seluruh lapisan masyarakat tidak terakomodasi. Hingga kini pun,
perbincangan masalah negara Islam ini masih meninggalkan polemik yang
tidak kunjung selesai.
Permasalahan lain yang juga mengundang polemik adalah masalah
kepemimpinan di Indonesia. Sebagian umat Islam menginginkan presiden
Indonesia harus beragama Islam, sedangkan sebagian yang lain tidak
mensyaratkan keislamannya, melainkan pada kapabilitasnya dalam
memimpin bangsa, meskipun sejak kemerdekaan RI, dari kursi presiden
pertama Sukarno hingga kelima Megawati Sukarnoputri, belum pernah
diduduki oleh selain Muslim.
Terlebih lagi menjelang Pemilihan Presiden langsung pertama yang
dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 2004, para anggota parpol dan tim sukses
calon presiden, baik dari kalangan yang berbasis agama maupun nasionalis
gencar mengeluarkan "fatwa-fatwa"-nya demi kepentingan golongannya.
Misalnya tentang presiden wanita, ada beberapa ulama di Indonesia yang
ikut andil dalam partai politik mengeluarkan fatwanya tentang haramnya
presiden wanita, sedangkan lawan politiknya –padahal berasal dari
organisasi keagamaan yang sama- menyatakan sebaliknya.19
Namun yang penting di sini bukanlah ia salat atau tidak salat. Karena
apa pentingnya ia mengerjakan salat –berupa gerakan saja tanpa
penghayatan- tetapi ia berlaku tidak adil. Jika dibandingkan dengan seorang
kafir tetapi ia menjalankan kepemimpinannya dengan penuh adil dan
bertanggung jawab, maka ia lebih baik daripada seorang muslim yang hanya
memikirkan kepentingan perutnya sendiri. Dengan demikian, nilai keadilan
yang ditegakkan dalam masyarakat yang dipentingkan.
Sebenarnya penolakan bangsa Indonesia terhadap ajaran Islam
sebagai dasar negara sebenarnya bukanlah persoalan demokratis atau tidak
demokratis, tetapi mengenai adanya pelabelan Islam dan kesalahpahaman
mereka tentang Islam. Keengganan sebagian bangsa Indonesia menerapkan
Islam di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (politik),
adalah karena mereka menganggap bahwa Islam itu kejam, tidak berperi
kemanusiaan karena adanya penerapan hukum qisas, potong tangan, rajam
dan lain-lain, yang semua ini akibat kesalahpahaman dan provokasi dari
kalangan musuh Islam yang menimbulkan islamofobia seperti yang
diistilahkan Taufik Abdullah.20

19
Kompas, 5 Juni 2004, hlm. 6; Kompas, 8 Juni 2004 hlm. 4.
20
Abu Zahra (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 1.

Diya> al-Afka>r Vol. 5, No. 1, Juni 2017 83


Anisatun Muthi’ah

Padahal Jika bangsa Indonesia menyelami kembali ajaran-ajaran


Islam dalam Alquran dan hadis, maka mereka akan menemui bahwa nilai-
nilai Islamlah yang mengandung dan menjunjung tinggi egalitarianisme,
demokrasi, partisipasi dan keadilan sosial, yang sesuai untuk diterapkan
dalam kehidupan manusia dalam mewujudkan kehidupan yang bahagia-
sejahtera lahir dan batin, yang sudah dibuktikan pada zaman Nabi
Muhammad. Agama hanya dijadikan sebagai “pelengkap penderita”. Namun
yang telihat di Indonesia sekarang, agama muncul ketika terjadi gejolak
nasional, istigha>sah sebagai doa bersama atau taubat nasional baru diadakan.
Adapun roda pemerintahan yang menyebabkan gejolak itu, justru
menginjak-nginjak nilai-nilai agama itu sendiri.21
Kemajemukan Indonesia akan budaya, bahasa dan agama tidak jauh
berbeda dengan kondisi yang ada pada penduduk Madinah ditambah dengan
kaum Muhajirin (umat Islam yang pindah dari Makkah ke Madinah). Malah
justru karena persamaan ini, bangsa Indonesia seharusnya bercermin pada
kehidupan Madinah pasca Hijrah,22 yaitu kedemokratisannya, keadilan dan
nilai persamaan yang dijunjung tinggi pada masa Nabi. Jika bangsa
Indonesia menganggap Islam tidak demokratis dan paham kenegaraan yang
dianut Indonesia menurutnya demokratis, maka mengapa Indonesia serasa
makin hancur dengan berbagai gejolak negatif yang muncul. Mestinya
bangsa Indonesia mengamati bahwa Nabi ditunjuk sebagai pemimpin di
Madinah bukan karena keislamannya penduduk Madinah yang ketika itu
belum masuk Islam., tetapi karena kredibilitas kepribadiannya. Ketika Nabi
bertindak sebagi pemimpin pun, masih banyak penduduk Madinah yang
tetap bersiteguh dengan agama, yaitu Yahudi dan Nasrani, dan kepercayaan
nenek moyangnya.23
Sejauh ini, Indonesia tidak surut dari kekacauan adalah karena belum
ditemukannya keadilan dalam masyarakat Indonesia. Masih banyak terjadi
kesenjangan sosial yang menimbulkan kecemburuan sosial di antara seluruh
lapisan masyarakat.
Masalah di Indonesia ditambah dengan lemahnya supremasi hukum
di Indonesia. Tindakan KKN (korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang semakin
merajalela dan dilakukan secara terang-terangan oleh orang pemerintahan
tidak diusut secara tuntas, sehingga semakin mengakar dan mentradisi.
Pemimpin pemerintahan pun tidak melakukan tindakan yang riil untuk

Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara:


21
Perspektif Modernis dan
Fundamentalis (Magelang: Indonesiatera, 2001), 119.
22
Nurcholis Madjid, 45.
Akram Ziauddin Umari, Masyarakat Madani, terj. Mun'im A. Sirry (Jakarta:
23

Gema Insani Press, 1999), 31.

84 Diya> al-Afka>r Vol. 5, No. 1, Juni 2017


Pemimpin Ideal dalam Perspektif Hadis

mengatasi berbagai gejolak di tanah air, malah mereka sepertinya hanya


menikmati gaji presidennya yang cukup untuk menghidupi 1000 rakyat
kecil, dan berjalan-jalan ke luar negeri seolah-olah tidak mendengar jeritan
anak-anak bangsa yang kelaparan.
Jika diamati, gejolak-gejolak yang terjadi di Indonesia adalah
disebabkan rasa ketidakpuasan warga negara Indonesia terhadap keadaan
bangsa dan negaranya yang membiarkan ketidakadilan bahkan memberikan
jalan yang mulus pada musuh-musuh negara yang hanya ingin mengeruk
kekayaan Indonesia. Jika Indonesia dapat menciptakan keadilan yang
menyeluruh dengan keamanan yang merata dan kesuburan tanah yang
berkesinambungan –terlebih karena Indonesia sebagai negara agraris- seperti
yang dikatakan al-Mawardi>,24 maka tentunya tidak akan terjadi gejolak yang
begitu besar seperti sekarang ini, krisis multidimensi –yaitu dari krisis
moneter hingga krisis moral dan kepercayaan- akan teratasi.
Jika masalah bangsa Indonesia ini ditarik lagi maka akan sampai
pada akar masalahnya yaitu sikap dan perilaku dari pemimpin yang terpilih
sebagai pemimpin bangsa. Baik-buruknya perilaku bisa merupakan pengaruh
dari perilaku beragamanya. Tapi jika kita lihat pada bangsa Indonesia yang
mayoritas beragama Islam, ibadah salat yang menjadi sarana komunikasi
langsung dengan Tuhannya hanya dikerjakan karena kewajiban saja bukan
kebutuhan, sehingga yang terlaksana hanya salat secara fisik saja tanpa
melibatkan batin. Akibatnya mereka kurang peka ketika melihat adanya
ketidakadilan dan penindasan dalam masyarakat. Mereka tidak peduli
dengan orang lain kecuali dirinya sendiri dan keluarganya.
Dalam rangka mereformasi pembangunan di Indonesia yang menurut
Amien Rais belum berakhir bahkan baru dimulai,25 Indonesia merubah
beberapa sistem dalam pemerintahannya. Misalnya dalam pemilihan
Presiden yang semula dipilih oleh MPR (majelis Permusyawaratan Rakyat)
dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) sebagai jelmaan rakyat Indonesia
secara keseluruhan, dirubah menjadi sistem pemilihan langsung oleh
rakyat.26 dengan pemilihan Presiden (pilpres) secara langsung oleh rakyat,
diharapkan dapat memenuhi aspirasi rakyat.
Dengan melihat kondisi Indonesia yang bisa dikatakan buruk ini –
karena Indonesia termasuk negara miskin dengan kekayaan alam yang
melimpah ruah- memang dibutuhkan sosok pemimpin yang cukup tangguh
24
Akram Ziauddin Umari, Masyarakat Madani, 42.
25
Kompas, 4 Juni 2004, hlm. 1.
26
Berdasarkan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 6 A ayat 1
yang berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasanagn secara langsung
oleh rakyat. Perubahan ini merupakan perubahan ketiga yang disahkan pada tanggal 10
November 2001. Lihat: Amandemen Undang-Undang Dasar 1945: Perubahan Pertama,
Kedua, Ketiga dan Keempat (dalam Satu Naskah) (Yogyakarta: Media Pressindo, 2002), 7.
Diya> al-Afka>r Vol. 5, No. 1, Juni 2017 85
Anisatun Muthi’ah

untuk membebaskan rakyat dari ketertindasan berkepanjangan, berpihak


kepada rakyat dan mau membimbingnya dengan nuraninya. Bagi seorang
pemimpin, kekuasaan sebenarnya bukan kesempatan untuk memerintah
tetapi merupakan amanah dan tanggung jawab yang harus dijalankan dengan
jujur, berani dan cerdas serta merupakan amanah melayani masyarakat untuk
menjamin serta menyejahterakan orang yang dipimpin. Secara garis besar
dapat dikatakan bahwa Indonesia membutuhkan seorang pemimpin yang
adil.
Akankah pemilihan Presiden secara langsung ini akan memunculkan
sosok pemimpin yang diidam-idamkan oleh rakyat? Ataukah yang akan
muncul adalah pemimpin diktator yang hanya memenuhi nafsu
kekuasaannya, pemimpin yang rajin menumpuk harta untuk kesejahteraan
keluarga dan golongannya, atau pemimpin yang hanya berdiam manis
menunggu “emas” datang, atau pemimpin yang selalu membuat rakyatnya
resah akibat pernyataan paginya berubah wujud di waktu sore. Semua
tergantung pada siapa yang rakyat pilih.27
Alquran sudah menjelaskan dalam surat al-Ma>‘idah: 55. Ayat
tersebut menggarisbawahi bahwa ciri pemimpin yang baik adalah : (1)
Beriman kepada Allah Swt, (2) Mendirikan salat, (3) Menunaikan zakat, (4)
Tunduk kepada peraturan dan ketentuan Allah. Syaikh Muhammad Mubarak
dalam kitabnya Nizam al-Islam, menyebutkan ada empat syarat seseorang
menjadi pemimpin, yaitu pertama, mempunyai akidah yang lurus. Kedua,
mempunyai wawasan yang luas. Ketiga, mempunyai dedikasi mengabdi
kepada umat. Keempat, mempunyai komitmen yang kuat terhadap ajaran
Islam. Dari segi sinilah, umat Islam perlu meninjau dan mempertimbangkan
kembali pilihannya.
Jika pemimpin bangsa menjalankan amanatnya dengan baik dan
semestinya, artinya bisa berbuat adil, maka tentunya rakyat tidak akan
menentang, bahkan justru mendukungnya. Namun ketika pemimpin berbuat
salah, rakyatpun tidak langsung menentang bahkan menumbangkannya,
karena hal yang mungkin terjadi bahwa ia melakukannya saat ia khilaf, yang
tidak diinginkannya. Seharusnya persatuan diutamakan. Selama hukum dan
keadilan ditegakkan, maka itu berarti pengurus negara masih menjalankan
amanatnya dengan baik, sehingga rakyatpun harus mentaatinya.

27
Namun dalam pemilihan ini, rakyat –terlebih rakyat miskin- sering dibuat
dilematis, karena harapan-harapan bahkan “bantuan” dari calon presiden bersama tim
suksesnya yang bermain kotor, menjadikannya bingung dalam menjatuhkan pilihan. Namun
tentunya bangsa Indonesia tidak perlu berkecil hati, malah harus optimis bahwa pemilihan
ini akan membawa bangsa kepada Indonesia baru.

86 Diya> al-Afka>r Vol. 5, No. 1, Juni 2017


Pemimpin Ideal dalam Perspektif Hadis

Penulis lebih berpendapat tentang sosok pemimpin yang ideal dalam


Islam sesuai dengan kepemimpinannya khali>fah Abu> Bakar, yaitu:

1. Sifat Rendah Hati


Pada hakikatnya kedudukan pemimpin itu tidak berbeda dengan
kedudukan rakyatnya. Ia bukan orang yang harus terus
diistimewakan. Ia hanya sekedar orang yang harus didahulukan
selangkah dari yang lainnya karena ia mendapatkan kepercayaan
dalam memimpin dan mengemban amanat. Ia seolah pelayan rakyat
yang di atas pundaknya terletak tanggungjawab besar yang mesti
dipertanggungjawabkan. Dan seperti seorang "partner" dalam batas-
batas yang tertentu bukan seperti "tuan dengan hambanya".
Kerendahan hati biasanya mencerminkan persahabatan dan
kekeluargaan, sebaliknya keegoan mencerminkan sifat takabur dan
ingin menang sendiri.

2. Sifat Terbuka Untuk Dikritik


Seorang pemimpin haruslah menanggapi aspirasi-aspirasi rakyat dan
terbuka untuk menerima kritik-kritik sehat yang membangun dan
konstruktif. Tidak seyogianya menganggap kritikan itu sebagai
hujatan atau orang yang mengkritik sebagai lawan yang akan
menjatuhkannya lantas dengan kekuasaannya mendzalimi orang
tersebut. Tetapi harus diperlakukan sebagai "mitra" dengan
kebersamaan dalam rangka meluruskan dari kemungkinan buruk yang
selama ini terjadi untuk membangun kepada perbaikan dan
kemajuan. Dan ini merupakan suatu partisipasi sejati sebab sehebat
manapun seorang pemimpin itu pastilah memerlukan partisipasi dari
orang banyak dan mitranya. Disinilah perlunya social-support dan
social-control. Prinsip-prinsip dukungan dan kontrol masyarakat ini
bersumber dari norma-norma islam yang diterima secara utuh dari
ajaran Nabi Muhammad Saw.

3. Sifat Jujur dan Memegang Amanah


Kejujuran yang dimiliki seorang pemimpin merupakan simpati rakyat
terhadapnya yang dapat membuahkan kepercayaan dari seluruh
amanat yang telah diamanahkan. Pemimpin yang konsisten dengan
amanat rakyat menjadi kunci dari sebuah kemajuan dan perbaikan.
Khalifah ‘Umar bin Abd al-‘Azi>z pernah didatangi putranya saat dia
berada di kantornya kemudian bercerita tentang keluarga dan
masalah yang terjadi di rumah. Seketika itu Umar bin Abdul Aziz
mematikan lampu ruangan dan si anak bertanya dari sebab apa sang

Diya> al-Afka>r Vol. 5, No. 1, Juni 2017 87


Anisatun Muthi’ah

ayah mematikan lampu sehingga hanya berbicara dalam ruangan


yang gelap. Dengan sederhana sang ayah menjawab bahwa lampu
yang kita gunakan ini adalah amanah dari rakyat yang hanya
dipergunakan untuk kepentingan pemerintahan bukan urusan
keluarga.

4. Sifat Berlaku Adil


Keadilan adalah konteks nyata yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin dengan tujuan demi kemakmuran rakyatnya. Keadilan bagi
manusia tidak ada yang relatif. Islam meletakkan soal penegakkan
keadilan itu sebagai sikap yang essensial. Seorang pemimpin harus
mampu menimbang dan memperlakukan sesuatu dengan seadil-
adilnya bukan sebaliknya berpihak pada seorang saja-berat sebelah.
Dan orang yang "lemah" harus dibela hak-haknya dan dilindungi,
sementara orang yang "kuat" dan bertindak zalim harus dicegah dari
bertindak sewenang-wenangnya.

5. Komitmen dalam Perjuangan


Sifat pantang menyerah dan konsisten pada konstitusi bersama bagi
seorang pemimpin adalah penting. Teguh dan terus istiqamah dalam
menegakkan kebenaran dan keadilan. Pantang tergoda oleh rayuan
dan semangat menjadi orang yang pertama di depan musuh-musuh
yang hendak menghancurkan konstitusi yang telah di sepakati
bersama. Bukan sebagai penonton di kala perang.

6. Bersikap Demokratis
Demokrasi merupakan "alat" untuk membentuk masyarakat yang
madani, dengan prinsip-prinsip segala sesuatunya dari rakyat untuk
rakyat dan oleh rakyat. Dalam hal ini pemimpin tidak sembarang
memutuskan sebelum adanya musyawarah yang mufakat. Sebab
dengan keterlibatan rakyat terhadap pemimpinnya dari sebuah
kesepakatan bersama akan memberikan kepuasan, sehingga apapun
yang akan terjadi baik buruknya bisa ditanggung bersama-sama.

7. Berbakti dan Mengabdi kepada Allah Swt


Dalam hidup ini segala sesuatunya takkan terlepas dari pantauan
Allah Swt, manusia bisa berusaha semampunya dan sehebat-
hebatnya namun yang menentukannya adalah tetap Allah Swt.
Hubungan seorang pemimpin dengan Tuhannya tak kalah
pentingnya; yaitu dengan berbakti dan mengabdi kepada Allah Swt.
Semua ini dalam rangka memohon pertolongan dan rida Allah Swt

88 Diya> al-Afka>r Vol. 5, No. 1, Juni 2017


Pemimpin Ideal dalam Perspektif Hadis

semata. Dengan senantiasa berbakti kepada-Nya terutama dalam


menegakkan sholat lima waktu misalnya, seorang pemimpin akan
mendapat hidayah untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang keji
dan tercela. Selanjutnya ia akan mampu mengawasi dirinya dari
perbuatan-perbuatan hina tersebut, karena dengan sholat yang baik
dan benar menurut tuntunan ajaran Islam dapat mencegah manusia
dari perbuatan keji dan mungkar (lihat Q.S.Al Ankabuut : 45 ). Sifat
yang harus terus ia aktualisasikan adalah rida menerima apa yang
dicapainya. Syukur bila meraih suatu keberhasilan dan memacunya
kembali untuk lebih maju lagi, sabar serta tawakkal dalam
menghadapi setiap tantangan dan rintangan, serta sabar dan tawakkal
juga saat menghadapi kegagalan.

Dari rangkaian syarat-syarat pemimpin diatas sedikit dapat kita


jadikan acuan dalam memilih sosok pemimpin, dan masih banyak lagi
ketentuan-ketentuan pemimpin yang baik dalam perspektif Islam yang bisa
kita gali baik yang tersurat maupun tersirat di dalam Alquran dan Hadis-
Hadis Nabi Saw.
Jadi pemimpin seperti apa yang sebaiknya diangkat di era seperti
sekarang ini? Secara umum Alquran sudah memberikan gambaran kriteria
pemimpin yag harus dipilih, yaitu seperti yang ditegaskan oleh Allah Swt
dalam firman-Nya yang artinya: "Dan sesungguhnya telah Kami tulis di
dalam Zabur sesudah (sesudah Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh,
bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang shaleh" (QS Al-
Anbiya' :105).
Jadi yang mendapat mandat mengurusi manusia beserta isinya di
muka bumi ini sesuai rekomendasi Allah Swt ternyata hanyalah orang-orang
shaleh, bukan orang-orang yang suka membuat kerusakan di muka bumi
yang pola fikir dan perilakunya tidak diridhai oleh Allah Swt.

SIMPULAN
Kajian hadis di atas kewajiban mentaati pemimpin sebagai realisasi
kesatuan jamaah kaum Muslimin dan penjagaannya, dan pelestarian
hubungan antara pribadi-pribadi umat dengan pemerintahnya, serta
memerintahkan untuk bersabar ketika menjumpai sesuatu yang tidak
disenangi dari pihak pemimpin. Dalam sikap tersebut terkandung
pencegahan bahaya dan keburukan yang merajalela dan fitnah yang menjadi-
jadi, agar umat tetap saling berpegangan sekuat tembok bangunan. Hadis ini
menyatakan: "Barang siapa melihat pada Amirnya sesuatu yang dibencinya,
maka hendaklah dia bersabar atasnya, karena barangsiapa memisahkan diri
dari jamaah sejauh sejengkal lalu mati, maka ia mati sebagai orang jahiliah."

Diya> al-Afka>r Vol. 5, No. 1, Juni 2017 89


Anisatun Muthi’ah

Kemunduran dan kekacauan yang terjadi di negara termasuk


Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam adalah sebagai
bukti ketidakseriusan dalam menjalankan amanat rakyat yang merupakan
kewajiban pemerintah yang diwajibkan oleh syariat Islam. Jika
pemerintahan dan pejabat kenegaraan lain menjalankan segala tugasnya
dengan adil dan penuh tanggung jawab yang sesuai dengan ajaran Islam,
maka yang tercipta adalah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang sejahtera lahir dan batin dan berkeadilan sosial bagi seluruh
lapisan rakyat, serta keutuhan serta persatuan dan kesatuan bangsa sebagai
bangsa yang optimis akan terjalin, tidak gentar dengan tekanan dan ancaman
dari bangsa lain.

90 Diya> al-Afka>r Vol. 5, No. 1, Juni 2017


Pemimpin Ideal dalam Perspektif Hadis

DAFTAR PUSTAKA

HAM, Musahadi. Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada


perkembanganHukum Islam. Semarang: Aneka Ilmu, 2000.
Hanbal, Ahmad Ibn. Musnad li al-Imam Ah}mad bin Hanbal wa bihamisyihi
Muntakhab Kanz al-‘Ummal fi sunan al-Aqwal wa al-Af‘al. Beirut:
Dar al-Fikr, t.th.
Ismail, Muhammad Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual:
Telaah Ma’an al-Hadis Tentang Ajaran Islam yang Universal,
Temporal dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
Kamaruzzaman. Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan
Fundamentalis. Magelang: Indonesiatera, 2001.
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Amandemen Undang-Undang Dasar
1945: Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat (dalam Satu
Naskah). Yogyakarta: Media Pressindo, 2002.
Al-Naisaburi, Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi.
al-Jami‘ al-S}ah}i>h}. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Rahman, Taufiq. Moralitas Pemimpin dalam Perspektif Alquran. Bandung:
Pustaka Setia, 1999.
Sjadzali, Munawir. Islam: Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa.
Jakarta: UI Press, 1993.
_______________. Islam and Government Sistem: Teaching, History and
Reflection. Jakarta: Indonesia-Nederland Cooperationin Islamic
Studies (INIS), 1991.
Umari, Akram Ziauddin. Masyarakat Madani. Terj. Mun'im A. Sirry.
Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Zahra, Abu. Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia.
Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
Zainuddin, Muhadi dan Abdul Mustaqim. Studi Kepemimpinan Islam:
Telaah Normatif dan Historis. Yogyakarta: al-Muhsin Press, 2001.

Diya> al-Afka>r Vol. 5, No. 1, Juni 2017 91

Anda mungkin juga menyukai