OLEH :
3. Ernawati (19010003)
Perawatan hospis belum begitu dikenal dan diaplikasikan dalam manajemen kesehatan di
Indonesia. Hospice care merupakan pelayanan terpadu yang memberikan dukungan kepada pasien
supaya merasa hidup lebih nyaman dan damai di akhir kehidupan. Masyarakat menganggap
perawatan paliatif hanya untuk pasien dalam kondisi terminal yang akan segera meninggal. Konsep
baru perawatan paliatif menekankan pentingnya integrasi perawatan paliatif lebih dini agar
masalah fisik, psikososial dan spiritual dapat diatasi dengan lebih baik.
Oleh karena itu, kami melakukan kegiatan kunjungan rumah di jalan Harapan Jaya Rumbai
untuk melakukan pendidikan kesehatan/ penyuluhan perawatan paliatif pada pasien yang
mengalami penyakit stadium terminal.
B. Tujuan
Prinsip perawatan paliatif yaitu menghormati dan menghargai martabat serta harga diri
pasien dan keluarganya (Ferrel & Coyle, 2007). Menurut Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia (KEMENKES, 2013) dan Aziz, Witjaksono, dan Rasjidi (2008) prinsip pelayanan
perawatan paliatif yaitu
1. menghilangkan nyeri dan mencegah timbulnya gejala serta keluhan fisik lainnya,
penanggulangan nyeri,
2. menghargai kehidupan dan menganggap kematian sebagai proses normal ,
3. tidak bertujuan mempercepat atau menghambat kematian,
a. Masalah Fisik
Masalah fisik yang seringkali muncul yang merupakan keluhan dari pasien paliatif
yaitu nyeri (Anonim, 2017). Nyeri merupakan pengalaman emosional dan sensori yang tidak
menyenangkan yang muncul akibat rusaknya jaringan aktual yang terjadi secara tiba-tiba dari
intensitas ringan hingga berat yang dapat diantisipasi dan diprediksi. Masalah nyeri dapat
ditegakkan apabiladata subjektif dan objektif dari pasien memenuhi minimal tiga kriteria
(NANDA, 2015).
b. Masalah Psikologi
Masalah psikologi yang paling sering dialami pasien paliatif adalah kecemasan. Hal yang
menyebabkan terjadinya kecemasan ialah diagnosa penyakit yang membuat pasien takut sehingga
menyebabkan kecemasan bagi pasien maupun keluarga (Misgiyanto & Susilawati, 2014).
Durand dan Barlow (2006) mengatakan kecemasan adalah keadaan suasana hati yang
ditandai oleh afek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmani dimana seseorang mengantisipasi
kemungkinan datangnya bahaya atau kemalangan di masa yang akan datang dengan perasaan
khawatir. Menurut Carpenito (2000) kecemasan merupakan keadaan individu atau kelompok saat
mengalami perasaan yang sulit (ketakutan) dan aktivasi sistem saraf otonom dalam berespon
terhadap ketidakjelasan atau ancaman tidak spesifik. NANDA (2015) menyatakan bahwa
kecemasan adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang diseratai oleh respon otonom,
perasaan takut yang disebabkan olehantisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan tanda waspada
yang member tanda individu akan adanya bahaya dan mampukah individu tersebut mengatasinya.
c. Masalah Spiritual
Menurut Carpenito (2006) salah satu masalah yang sering muncul pada pasien paliatif
adalah distress spiritual. Distres spiritual dapat terjadi karena diagnose penyakit kronis, nyeri,
gejala fisik, isolasi dalam menjalani pengobatan serta ketidakmampuan pasien dalam melakukan
ritual keagamaan yang mana biasanya dapat dilakukan secara mandiri. Distres spiritual adalah
kerusakan kemampuan dalam mengalami dan mengintegrasikan arti dan tujuan hidup seseorang
dengan diri, orang lain, seni, musik, literature, alam dan kekuatan yang lebih besr dari dirinya
(Hamid, 2008).Definisi lain mengatakan bahwa distres spiritual adalah gangguan dalam prinsip
hidup yang meliputi seluruh kehidupan seseorang dan diintegrasikan biologis dan psikososial
(Keliat dkk, 2011)
d. Masalah Sosial
Masalah pada aspek sosial dapat terjadi karena adanya ketidak normalan kondisi hubungan
social pasien dengan orang yang ada disekitar pasien baik itu keluarga maupun rekan kerja
(Misgiyanto & Susilawati, 2014). Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh
seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam ( Twondsend, 1998 ).
Atau suatu keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak
mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa ditolak, tidak
diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dan tidak mampu membina
hubungan yang berarti dengan orang lain (Kelliat, 2006 ).
Green dalam Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa perilaku manusia dari tingkat kesehatan
dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu faktor perilaku (behaviour cause) dan faktor di luar
perilaku (non-behaviour cause).
Penyakit yang tidak dapat disembuhkan mengubah status sosial pasien. Selain rasa sakit,
dan gejala serta komplikasi yang menghancurkan lainnya, pasien mungkin menderita efek yang
tidak diinginkan dari penyakit yang mempengaruhi penampilan pasien; hilangnya peran sosial,
profesional, dan keluarga; kemampuan untuk tetap mandiri dan berfungsi secara normal, dan
sebagian besar penting persepsi masa depan. Menurut Sherbourne dan Stewart, dukungan sosial
melayani berbagai dimensi termasuk
4. Dukungan penuh kasih sayang yang terdiri memiliki seseorang yang mengekspresikan
cinta dan kasih sayang.
Helgeson menunjukkan bahwa hubungan sosial menempatkan pasien dalam suasana hati yang
lebih baik dan memberi mereka rasa identitas dan persahabatan. Sosial dukungan mungkin
memengaruhi kualitas hidup dan kebermaknaan pasien hidup dengan membantu mereka
mengatasi lebih efektif dengan penderitaan mereka dan membuat mereka merasa dihargai,
dicintai, dan diperhatikan. Selain itu, Schwartz dan Frohner menemukan bahwa semakin banyak
dukungan sosial yang dirasakan pasien, semakin sedikit rasa sakit yang diderita, dan semakin baik
ia menilai kesehatan umum dan kesejahteraan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada
pasien dewasa yang sakit parah didiagnosis menderita kanker, untuk memahami makna
kesejahteraan sosial pada akhir kehidupan, Pangeran-Paul menemukan bahwa semua peserta
dalam studi mengidentifikasi kebutuhan untuk dikelilingi oleh keluarga dan berpartisipasi dalam
kegiatan sosial.
e. Masalah Budaya
Budaya adalah istilah yang menggabungkan konsep ras, etnis, agama, bahasa, asal
kebangsaan, dan faktor lainnya. Ras dan etnis bisa dipertukarkan sebagai variabel yang
digunakan untuk mengidentifikasi budaya. Menurut Johnson, Kuchibhatla, dan Tulsky (2008),
etnisitas adalah pembuat kepercayaan budaya dan nilai-nilai yang dapat memengaruhi
pengambilan keputusan di akhir kehidupan. Selanjutnya, Peneliti dan cendekiawan telah
menyarankan bahwa pandangan dunia budaya pada kelompok orang tertentu menentukan
bagaimana mereka memahami kehidupan dan kematian, dan pendekatan pengambilan keputusan
akhir kehidupan (Braun et al., 2000; Parry & Ryan, 2000). Pengetahuan dan kesadaran akan
nilai-nilai budaya, sikap, dan perilaku dapat membantu praktisi menghindari stereotip dan bias,
sementara menciptakan interaksi positif dengan pasien yang mengarah pada hasil pasien yang
lebih baik dibandingkan ketika penyedia kurang sadar budaya (Reith & Payne, 2009).
Praktek kompetensi budaya telah diterima secara luas dalam pekerjaan sosial sebagai a
standar yang mengurangi kesenjangan dalam kualitas layanan yang disampaikan ke etnis
kelompok minoritas. NASW (2007) Standar untuk Kompetensi Budaya termasuk pedoman yang
membahas beberapa bidang utama praktik kerja sosial— termasuk etika dan nilai-nilai, kesadaran
diri, pengetahuan lintas budaya, keterampilan lintas budaya, pemberian layanan, pemberdayaan
dan advokasi, keanekaragaman tenaga kerja, pendidikan profesional, keanekaragaman bahasa, dan
kepemimpinan lintas budaya. Namun, pedoman tidak cukup tanpa pemahaman yang lebih jelas
tentang apa yang penting bagi pasien dan keluarga mereka. Studi ras dan perbedaan etnis dalam
preferensi perawatan akhir hidup (Caralis, Davis, Wright, & Marcial, 1993; Tulsky, Cassileth, &
Bennett, 1997; Blackhall et al., 1999) telah digunakan untuk membuat kesimpulan terhadap
perbedaan budaya pengambilan keputusan perawatan akhir hidup. Sebagai contoh, praktisi sangat
menyadari bahwa banyak pasien, terlepas dari apa pun latar belakang budaya, melibatkan keluarga
ketika mereka menerima paliatif dan perawatan akhir kehidupan (Kehl, Kirchhoff, Kramer, &
Hovland-Scafe, 2009; Hudson, Remedios, & Thomas, 2010; Kovacs, Bellin, & Fauri, 2006;
Kramer, Boelk, & Auer, 2006; Townsend, Ishler, Shapiro, Pitorak, & Matthews, 2010).
Namun, ketika bekerja dengan pasien ras dan etnis minoritas, yang cenderung untuk lebih
mengandalkan dukungan informal daripada dukungan formal, keluarga mungkin seorang aspek
yang lebih besar dari rencana perawatan. Bagi para praktisi, yang beroperasi pada a Model
perawatan medis berbasis Barat, ini mungkin menjadi sumber pertengkaran.
2. Penilaian budaya
12. Identifikasi pengaruh agama atau kerohanian pada harapan dan perilaku pasien dan
keluarga.
13. Pastikan persepsi pasien tentang diskriminasi atau rasisme.
16. Menilai sikap, kepercayaan, dan praktik yang terkait dengan kesehatan, penyakit,
penderitaan, dan kematian.
17. Tentukan preferensi pasien dan keluarga mengenai lokasi kematian.
19. Tentukan tingkat fatalisme atau aktivisme dalam menerima atau mengendalikan
perawatan dan kematian.
20. Mengevaluasi pengetahuan dan kepercayaan pasien mengenai sistem perawatan
kesehatan.
21. Menilai nilai dan penggunaan terapi komplementer.
22. Diskusikan bagaimana harapan dipertahankan
Respons psikologis yang dialami seseorang karena kehilangan oleh Kubler-Ross (1969)
dikemukakan dalam teori yang disebut “The Five Stages of Grief”, teori ini membagi respons
psikologis dalam lima tahap, yaitu penyangkalan (denial), marah (anger), tawar-menawar
(bargaining), depresi (depression) dan penerimaan (acceptance).
Kelima tahap respons psikologis ini sering diidentikkan dengan lima tahap model duka cita
yang disebabkan oleh proses kematian. Namun akhirnya berkembang tidak hanya sebatas itu, lima
tahap respons psikologis ini juga bisa digunakan untuk mengidentifikasi individu pasca
pemutusan hubungan kerja, adanya bencana sehingga terpaksa harus mengungsi, kehilangan
anggota tubuh, hukuman, kebangkrutan, korban kejahatan atau kriminal dan keputusasaan.
Sehingga teori ini berkembang lebih luas dan dapat digunakan untuk memahami reaksi pasca
kejadian traumatik yang dialami oleh seseorang.
Peran perawat di perawatan paliatif perawat memiliki peranan penting dalam memberikan
dukungan bagi penderita kanker dalam mengatasi gejala yang di alami (Mackenzie & Mac
Callam, 2009). Menurut Matzo & Sherman (2014) peran perawat dalam perawatan paliatif
meliputi sebagai praktik di klinik, pendidik, peneliti, bekerjasama (Collaborator), penasihat.
Perawat sebagai salah satu petugas praktik di klinik memiliki kemampuan untuk memahami
dan mengevaluasi nyeri beserta keluhan dari nyeri yang dialami pasien. Perawat dapat
berkolaborasi dengan tim kesehatan lainnya dalam mengembangkan dan menerapkan perencanaan
perawatan yang komprehensif. Perawat mengidentifikasi pendekatan baru dalam mengatasi nyeri
dan dikembangkan sesuai dengan standar rumah sakit sehingga dapat dipraktekkan sesuai denga
aturan di rumah sakit.
Perawat sebagai pendidik memfasilitasi filosofi yang kompleks, etik dan diskusi tentang
penatalaksanaan di klinik sehingga semua tim dapat mencapai hasil yang positif. Perawat
memperlihatkan dasar keilmuannya yang meliputi : mengatasi nyeri neuropatik, berperan
mengatasi konflik profesi, mencegah dukacita dan resiko kehilangan.
Perawat pendidik dengan tim lainnya, seperti komite dan ahli farmasi, berdasarkan pedoman
dan tim perawatan paliatif, maka memberikan perawatan yang berbeda dan khusus dalam
menggunaan obat-obatan intravena untuk mengatasi nyeri neuropatik yang tidak mudah di atasi.
Perawat sebagai peneliti menghasilkan ilmu pengetahuan baru melalui pertanyaan-
pertanyaan penelitian dan memulai pendekatan baru yang ditujukan pada pertanyaan- pertanyaan.
Perawat dapat meneliti dan terintegrasi pada penelitian perawatan paliatif.
Perawat sebagai salah satu tim pelayanan kesehatan akan bekerjasama (Collaborator)
melakukan pengkajian dalam mengkaji bio-psiko-sosial-spiritual serta penatalaksananya. Perawat
membangun dan mempertahankan kolaborasi dengan tim perawatan paliatif. Perawat
memfasilitasi dalam mengembangkan anggota dalam pelayanan, perawat bekerjasama dengan tim
perawatan paliatif dalam rangka mempersiapkan pelayanan dengan hasil yang terbaik.
Perawat sebagai penasihat (concultant) akan bekerjasama dan berdiskusi dengan dokter, tim
perawatan paliatif dan komite untuk menentukan strategi pengobatan yang tepat untuk menetukan
tindakan dan memenuhi kebutuhan pasien dan keluarga.
RENCANA PELAKSANAAN KEGIATAN
WAKTU
Pendidikan Kesehatan ini dilakukan pada :
Hari/Tanggal :
Waktu : 30 Menit
TEMPAT
Pendidikan Kesehatan ini dilaksanakan di : Di Rt.004 Rw.008 Harapan Jaya, Rumbai Pesisir.
SASARAN
Yang menjadi sasaran dari pendidikan kesehatan ini adalah Keluarga Klien Dengan Perawatan
Paliatif
MEDIA
Media yang digunakan dalam pendidikan kesehatan ini adalah PPT dan Leaflet
METODE
1. Diskusi
2. Ceramah
KEPANITIAAN
Moderator : Nadila Octavia
Pemateri : Selvi Elfa Yenti
Observer : Ernawati
Notulen : Atun Ani Safitri
Dokumentasi : Safria Ilham Harahap & Ridho Rizky
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perawatan paliatif merupakan pendekatan yang memiliki tujuan meningkatkan
kualitas hidup pasien yang terfokus pada pasien dan keluarga pasien dalam menghadapi
penyakit yang sedang dialami. Pada perawatan paliatif ini, kematian tidak dianggap sebagai
sesuatu yang harus dihindari, tetapi kematian merupakan suatu hal yang harus dihadapi
sebagai bagian dari siklus kehidupan normal setiap yang bernyawa. Permasalahan yang
sering muncul ataupun terjadi pada pasien dengan perawat paliatif meliputi masalah
psikologis, social, konsep diri, dukungan keluarga dan aspek spiritual.
Permasalahan yang sering digambarkan pasien yaitu kejadian-kejadian yang dapat
mengancam diri sendiri, misalnya nyeri, masalah fisik, psikologi, social, kultural dan
spiritual. Perawatan paliatifi ini bertujuan untuk membantu pasien yang sudah mendekati
ajalnya, agar pasien aktif dan dapat bertahan hidup selama mungkin.
Teori “The Five Stage of Grief” menyebutkan bahwa respon psikologis yang
dialami seseorang karena kehilangan terbagi atas lima tahap, yaitu penyangkalan (denial),
marah (anger), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression) dan penerimaan
(acceptance). Respons psikologi ini juga bias digunakan untuk memahami reaksi pasca
kejadian traumatic yang dialami oleh seseorang. Dapat dikatakan pula bahwa teori ini
berkembang sangat pesat.
Dalam hal ini peran perawat paliatif memiliki peran penting dalam memberikan
dukungan bagi penderita kanker dalam mengatasi gejala yang dialami. Sebagai salah satu
petugas klinik tentu perawat dapat memahami dan mengevaluasi keluhan-keluhan pasien.
Perawat dapat berkolaborasi dengan tim kesehatan lainnya, guna mengembangkan dan
menerapkan perencanaan perawatan yang komprehensif.