Anda di halaman 1dari 17

1.

Mengapa bisa terjadi bengkak pada pasien seluruh tubuh pasien,dan di mulai dari
mata ,dan ke tungkai dan scrotum ?
 Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan edema.
Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan
onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial.
Adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin
keluar sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia. Sebagaimana
diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari albumin adalah sebagai penentu
tekanan onkotik. Maka kondisi hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan
onkotik koloid plasma intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan
transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang
interstisial kemudian timbul edema
 Overfilled theory, karena retensi natrium renal dan air tidak bergantung pada
stimulasi sistemik perifer tetapi pada mekanisme intrarenal primer. Retensi
natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan
ekstraseluler. Overfilling cairan ke dalam ruang interstisial menyebabkan
terbentuknya edema
(Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, Edisi VI, hal: 2086 - 2087)

Istilah edema anasarka?


2. Mengapa bisa terjadi konjungtiva anemis dan shifting dullness
Edem di abdomen, mata, kaki, pitting edem. Abdomen -> shifting dullnes ada
perubahan suara dari timpani ke pekak

Perubahan protein, tekanan pada pembuluh darah →Adanya perubahan tekanan pada
pembuluh darah di daerah peritoneum → cairan keluar → adanya keadaan cairan pada
daerah peritoneum → Shifting Dullness (+)
(Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, Edisi VI, hal: 2086 - 2087)
Anemia dapat terjadi pada SN dengan fungsi ginjal yang masih baik. Hal ini
disebabkan oleh defisiensi eritropoietin dan kehilangan protein dalam urin. Pada
kondisi ini pemberian eritropoietin dapat bermanfaat.
IPD jilid II

Anemia salah satu komplikasi dari SN.

Sindrom nefrotik merupakan manifestasi glomerulonefritis terbanyak pada anak,


dengan gejala utama berupa proteinuria masif dan selektif. Sindrom ini
mempengaruhi eritropoiesis melalui 2 cara, yaitu mempengaruhi kadar
eritropoietin (EPO) dan transferin dalam darah. Pada pasien sindrom nefrotik,
terjadi kehilangan EPO melalui urin, sehingga kadarnya di dalam darah
menurun. Pada SN relaps, kadar EPO di dalam darah sangat menurun dan
berhubungan dengan peningkatan proteinuria. Keadaan ini menyebabkan
anemia, yang dapat kembali normal seiring dengan pencapaian keadaan remisi.
Di samping defisiensi EPO, pasien SN juga kehilangan transferin melalui urin.
Transferin ialah glikoprotein ukuran sedang yang terutama disintesis di hati.
Transferin bertugas mengikat ion atom feri ke prekursor eritroid. Pada keadaan
SN relaps, transferin hilang melalui glomerulus. Karena transferin mengikat 2
atom ion feri, maka kehilangan transferin melalui urin mengakibatkan defisiensi
zat besi. Defisiensi zat besi pada SN dapat teratasi pada keadaan remisi atau dengan
penggantian cadangan besi. Transferinuria menyebabkan disosiasi zat besi di
dalam lumen tubulus proksimal, sehingga zat besi yang bebas akan
menghasilkan zat radikal bebas di dalam lumen tubulus ginjal yang kemudian
memicu kerusakan tubulointerstisial ginjal, selanjutnya menyebabkan
kerusakan ginjal progresif.
Kehilangan protein yang masif melalui urin dan peningkatan katabolisme protein akan
mengakibatkan pasien SN mengalami balans nitrogen yang negatif pada saat relaps.
Keadaan kekurangan protein secara umum ini pada pasien SN berperan pada
terjadinya anemia. Di samping itu, pada SN terdapat disfungsi sel T dan
hipogamaglobulinemia yang menyebabkan pasien SN sangat rentan terhadap infeksi.
Infeksi yang berulang, mempunyai peran pula dalam terjadinya anemia pada SN.
Anemia pada SN akan membaik seiring dengan berkurangnya proteinuria seperti pada
keadaan remisi.
3. Mengapa terjadi pitting edema
Pitting edem merupakan bentuk cekungan pada daerah yang
bengkak setelah ditekan, ini disebabkan oleh perpindahan cairan ke dalam
jaringan melalui titik tekan. Dengan penekanan jari cairan didalam jaringan
edema tidak digerakkan kepermukaan lain (Hidayat dan Musrifatul (2015)).
Hal ini dikarenakanadanya kadar albumin yang menurun akan mengakibatkan
penurunan tekanan onkotik plasma sehingga terjadi perpindahan cairan dari
intravaskular ke intersisial, sehingga jika ditekan tampak lunak dan berbentuk
cekungan hal ini karena yang ditekan berisi cairan.
Hipoalbuminemia  menjaga tekanan onkotik  tekanan onkotik trun 
caian pindah k intersisial  edem.

Sumber : Upaya mencegah kelebihan volume cairan Pada pasien chronic kidney
disease Dirsud dr.soehadi prijonegoro, UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA 2016. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid 1

4. Apa etiologi dari scenario


Etiologi
Sindrom nefrotik biasanya terjadi akibat dari perjalanan penyakit
glomerular primer dan sekunder. Kelainan primer ini dapat berupa sindrom
nefrotik kelainan minimal, sklerosis segmental fokal, glomerulonefritis
membranoproliferatif, glomerulonefritis membranosa, nefritis proliferatif
mesangium, glomerulonefritis proliferatif dan nefrosis kongenital.
Sindrom nefrotik sekunder berhubungan dengan penyakit yang telah
terdiagnosis dengan jelas yaitu sistemik lupus eritematosus, purpura
anafilaktoid, diabetes mellitus, dan lain-lain (Travis, 2002; Haycock,
2003).
Etiologi sindrom nefrotik juga tergantung pada usia, dimana bila
terjadi pada tiga bulan pertama kehidupan maka disebut sindrom nefrotik
kongenital. Sindrom nefrotik yang terjadi di atas 1 tahun, kasus terbanyak
disebabkan oleh sindrom nefrotik primer atau idiopatik, sedangkan
sindrom nefrotik sekunder lebih sering terjadi pada usia di atas 10 tahun
(Gbadegesin dan Smoyer, 2008).
Sindrom nefrotik primer
- Terjadi karena ada kelaina glomerulus atau penyebab lainnya
Dibagi menjadi 4
- Penyakit perubahan minimal : terjadi perubahan pdaa glomerulusnya
- Glomerulo sclerosis fokal segmental
- Glomerulo nefritis mebranopolimeratif
- Disebabkan oleh IgA

Sindrom nefrotik sekunder : disebabkan penyakit penakit sisteik


- Obat-obatan
- LES
- DM
Factor resiko
a) Kondisi medis dari pasien
b) Obat-obatan seperti anti-radang non-steroid atau beberapa antibiotik.

Sumber : Aspek Genetik Sindrom Nefrotik Resisten Steroid, Dedi Rachmadi


Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit
Hasan Sadikin, Bandung MKB, Volume 42 No. 1, Tahun 2010

5. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan di scenario


 Tekanan darah 95/60, normalnya sistol 95-107, diastole 60-71
 Pernafasan 24x/mnt, normal 20-25x / mnt
 Nadi 90-100x/mnt, normal 65-100 x/mnt
 Suhu 37 C, normal 36 – 37,5 C
 Protein masif 4+  protein dalam urinnya >500 mg/dl, bila > 3,5 g dalam 24
jam maka sudah proteinuria
 Protein total, normal 6,1 – 8,2 g/dL
 Albumin, normal 3,5 – 5,4 g/dl
 Kolesterol, normal <200 mg/dl
 Globulin, normal 2,3 – 3,2 g/dl
 Ureum, normal 15 – 40 mg/dl
 Kreatinin, normal 0,5 – 1,5 ml/dL

6. Bagaimana patofisiologi dan pathogenesis dari scenario


Akumulasi cairan dalam ruang interstisial yang terlihat pada wajah atau udem
anasarka, merupakan gejala kardinal pada anak dengan sindrom nefrotik. Udem
pada sindrom nefrotik umumnya akibat dari proteinuria masif yang kemudian
menyebabkan hipoalbuminemia, retensi natrium dan air untuk mengkompensasi
kekurangan volume intravaskular (Gbadegesin dan Smoyer, 2008).
Hipoalbuminemia terjadi pada sindrom nefrotik ketika kadar protein yang hilang
pada urin melebihi kemampuan hepar mensintesis albumin. Resultan
hipoalbuminemia menyebabkan rendahnya tekanan onkotik kapiler yang
meningkatkan tekanan hidrostatik kapiler sehingga terbentuk udem. Pembentukan
udem kemudian menyebabkan volume di intravaskular berkurang sehingga
mencetuskan mekanisme kompensasi neurohumoral. Mekanisme tersebut
dimediasi oleh sistem saraf simpatik, sistem renin angiotensin aldosteron (SRAA)
dan vasopressin arginin, dengan hasilnya retensi natrium dan air oleh ginjal
(Gbadegesin dan Smoyer, 2008).
Dua hipotesis yang menjelaskan keadaan intravaskular pada sindrom nefrotik
yaitu hipotesis underfill dan hipotesis overfill (Gbadegesin dan Smoyer, 2008):
1. Hipotesis underfill Hipotesis ini menyebutkan adanya penurunan sirkulasi
efektif volume darah pada sindrom nefrotik. Hal ini didukung dengan
ditemukannya kadar natrium 12 urin yang rendah, dimana sering disebabkan
oleh aktivasi SRAA dengan resultan peningkatan aldosteron dan ekskresi
natrium pada urin. Selanjutnya, supresi atrial natriuretik peptide (ANP) juga
berkontribusi pada rendahnya natrium urin.
2. Hipotesis overfill Hipotesis ini menyebutkan banyaknya volume intravaskular
pada sindrom nefrotik. Hal ini disebabkan oleh kelainan pada ekskresi natrium
dari tubulus distal yang kemudian menyebabkan supresi SRAA. Reabsorpsi
natrium juga dipertahankan oleh ANP

Sumber : Aspek Genetik Sindrom Nefrotik Resisten Steroid, Dedi Rachmadi


Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung MKB, Volume 42 No. 1, Tahun 2010

Terjadi inflamsi glomerulus dan hialinasisai  menyabbkan albumin masuk


keedalam urin albumin terus menerus hilang  hipoaluminea protein hilang
terjadi penurunan onotik  enyebabkan edema  edema(berpindahnya
cairan…) RRAS megakibatkan sekseri hormone ADH dan aldosterone
reabsorpsi Na dan air  akan terjadi penamhan volue pada intravaskulr

7. Bagaimana alur dd dan dx dari scenario


Diagnosis :
Sindrom nefrotik pada anak dengan proteiunuria, hipoalbuminoi, hiperkalesterol,
edema  tanda sindrom nefrotik
• Edema dan bendungan paru akutHampir semua pasien dengan riwayat edema pada
kelopak mata atau pergelangan kaki bawah, timbul pagi hari
dan hilang siang hari. Bila perjalanan penyakit berat dan progresif, edema ini akan
menetap atau persisten, tidak jarangdisertai dengan asites dan efusi rongga pleura
Diagnosis banding / DD :

 Sindrom Nefrotik Sekunder  SN sekunder adalah SN berhubungan dengan


penyakit/kelainan sistemik, atau disebabkan oleh obat, alergen, maupun
toksin.

Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom


Alport,miksedema.
o Infeksi : hepatitis B, malaria, Schistosomiasis mansoni, Lues, Subacute
BacterialEndocarditis, Cytomegalic Inclusion Disease, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS.
o Toksin dan alergen: logam berat (Hg), trimethadion, paramethadion,
probenecid, penisillamin, vaksin polio, tepung sari, racun serangga, bisa
ular.
o Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus Eritematosus Sistemik,
purpuraHenoch-Schonlein, sarkoidosis.
Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, leukemia, tumor gastrointestinal

 Sindrom Nefrotik KongenitalKelainan ini diturunkan melalui gen resesif


autosomal. Biasanya anak lahir premature(90%), plasenta besar (beratnya kira-
kira 40% dari berat badan). Lesi patognomonik adalah dilatasi kistik pada
tubulus proksimal ginjal. Gejala asfiksia dijumpai pada 75% kasus. Gejala
pertama berupa edema, asites, biasanya tampak pada waktu lahir atau dalam
minggu pertama. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan
hipoproteinemia, proteinuria masif dan hiperkolestrolemia. Gejala klinik yaitu
berupa kelainan congenital pada muka seperti hidung kecil, jarak kedua mata
lebar, telinga letaknya lebih rendah dari normal. Prognosis jelek dan
meninggal, karena infeksi sekunder atau kegagalan ginjal. Salah satu cara
untuk menemukan kemungkinan kelainan ini secara dini adalah pemeriksaan
kadar alfa feto protein cairan amnion yang biasanya meninggi
 Glomerulonefritis AkutGlomerulonefritis akut juga disebut dengan
glomerulonefritis akut poststerptokokus (GNAPS) adalah suatu proses radang
non-supuratif yang mengenai glomerulus, sebagai akibat infeksi kuman
streptokokus beta hemolitikus grup A, tipe nefritogenik di tempat lain.
Penyakit ini sering mengenai anak-anak. Glomerulonefritis akut (GNA) adalah
suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu.
 Glomerulonefritis merupakan suatu istilah untuk menjelaskan berbagai ragam
penyakit ginjal yang mengalami proliferasi daninflamasi glomerulus yang
disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis.
Infeksi StreptokokusRiwayat klasik didahului (10-14 hari) oleh faringitis,
tonsilitis atau infeksi kulit(impetigo).Data-data epidemiologi membuktikan,
bahwa prevalensiglomerulonefritis meningkat mencapai 30% dari suatu
epidemi infeksi salurannafas. Insiden glomerulonefritis akut pasca impetigo
relatif rendah, sekitar 5-10%.
o Gejala-gejala umum Glomerulonefritis akut pasca streptokokus tidak
memberikan keluhan dan cirikhusus. Keluhan-keluhan seperti anoreksia,
lemah badan, tidak jarang disertai panas badan, dapat ditemukan pada
setiap penyakit infeksi
o Keluhan saluran kemihHematuria makroskopis (gross) sering
ditemukan, hampir 40% dari semua pasien. Hematuria ini tidak jarang
disertai keluhan-keluhan seperti infeksi salurankemih bawah walaupun
tidak terbukti secara bakteriologis. Oligouria atau anuriamerupakan tanda
prognosis buruk pada pasien dewasa.
o HipertensiHipertensi sistolik dan atau diastolik sering ditemukan hampir
pada semua pasien. Hipertensi biasnaya ringan atau sednag, dan kembali
o Normotensi setelah terdapat diuresis tanpa pemberian obat-obatan
antihipertensi. Hipertensi beratdengan atau tanpa ensefalopati hanya
dijumpai pada kira-kira 5-10% dari semua pasien

8. pemeriksaan penunjang dari scenario


Jawab :
Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan proteinuria dipstik (≥ 2+), urinalisis, serta urin tampung
24 jam. Dianjuran untuk mengambil sampel urine pagi hari untuk
pengukuran protein total dan kreatinin. Sugestif sindrom nefrotik
apabila rasio protein terhadap kreatinin >0,5.
 Pemeriksaan kadar elektrolit serum, BUN, kreatinin (hitung bersihan
kreatinin), protein total, albumin, dan kolestrol
 Pengukuran strepotozyme, C3, C4, dan ANA jika dicurigaisindrom
nefrotik sekunder.
 Biopsi Ginjal
 INDIKASI BIOPSI GINJAL Biopsi ginjal terindikasi pada keadaan-
keadaan di bawah ini:
1. Pada presentasi awal
a. Awitan sindrom nefrotik pada usia <1 tahun atau lebih dari
16
tahun
b. Terdapat hematuria nyata, hematuria mikroskopik persisten,
atau kadar komplemen C3 serum yang rendah
c. Hipertensi menetap
d. Penurunan fungsi ginjal yang tidak disebabkan oleh
hipovolemia
e. Tersangka sindrom nefrotik sekunder
2. Setelah pengobatan inisial
a. SN resisten steroid
b. Sebelum memulai terapi siklosporin
 Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis
yang mengarah kepada infeksi saluran kemih.
 Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio
Konsensus Tata Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak –
Edisi kedua 3 protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
 Pemeriksaan darah
1.1 Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis
leukosit,
trombosit, hematokrit, LED)
1.2 Albumin dan kolesterol serum
1.3 Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik
atau dengan rumus Schwartz
1.4 Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus
sistemik pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA
(anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA
Sumber : KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA
ANAK Edisi kedua Cetakan kedua 2012 Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan
Dokter Anak Indonesia Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid 1

9. Bagaimana tatalaksana dari scenario


Non farmakologi
 Diitetik Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi
karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus.
Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP)
dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit
protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu
1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama
anak menderita edema.
 Tirah baring pada kasus dengan edema ansarka
Farmaklogi
 Diuretik Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya
diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu
dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik
hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu
disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih
dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan
natrium darah.
 Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya
terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/ dL),
dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama
2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri
dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak
mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara
pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi
dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat
diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan
dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga
mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.
Skema pemberian diuretik untuk mengatasi edema tampak pada
Gambar 1.
 Prednisolon dengan dosis awal 60 mg/m2.hari atau 2
mg/kgBB/hari, diberikan dengan dosis terbagi 3 selama 4 minggu.
Apabila terjadi remisi (proteinuria negatif 3 hari berturut-turut,
pemberian silanjutkan dengan 2/3 dosis awal (40 mg/m2/hari,
maksimum 60 mg/hari) dosis tunggal pagi selama sehari
(altermating dose) selama 4 minggu. Total pengobatan menjadi 8
minggu.
Namun apabila terjadi relaps, berikan prednison 60 mg/m2/hari
sampai terjadi remisi (maksimal 4 minggu), dilanjutkan 2/3 dosis
awal (40 mg/m2/hari) secara altermating selama 4 minggu.
Pemberian prednison jangka panjang dapat menyebabkan efek
samping hipertensi.
 Apabila sampai 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh belum
juga terjadi remisi, maka disebut steroid resistrn. Kasus dengan
resisten steroid atau toksis steroid, diterapi menggunakan
imunosupresan seperti siklofosfsmid per oral dengan dosis 2-3
mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal. Dosis dihitung berdasarkan
berat badan tanpa edema. Pemberian siklofosfamid dapat
menyebabkan efek samping depresi sumsum tulang (apabila
leukosit <3000/ul, terapi dihentikan).
Sumber : KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA
ANAK Edisi kedua Cetakan kedua 2012 Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan
Dokter Anak Indonesia Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid 1,

10.Bagaimana prognosis dan komplikasi


Prognosis
Angka kejadian relaps sindrom nefrotik pada anak yang responsif terhadap
steroid berkisar antara 60-80%. Namun, angka relaps tersebut semakin kecil
seiring bertambahnya usia anak.
Pada penyakit yang prognosisnya buruk, walaupun anak mempunyai
kesempatan untuk tumbuh kembang, tetapi gagal mendapatkannya. Pada
sindrom nefrotik dependen steroid saat masa anak, tidak lebih dari 10% akan
terjadi relaps saat dewasa. Beberapa survei sebelumnya angka relaps setelah
18 tahun antara 27-42%. Faktor risiko terjadinya relaps saat dewasa antara lain
onset terjadi saat usia yang muda, kekerapan relaps yang tinggi saat anak serta
penggunaan alkylating agent dan siklosporin. Luaran kondisi ginjal pada
sindrom nefrotik dependen steroid masih baik sepanjang masih berespon
terhadap steroid (Niaudet, 2009).
Edukasi
a) Konsumsi makanan agar tidak terjadi malnutrisi pada anak
b) Imunisasi Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid
>2 mg/ kgbb/ hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari,
merupakan pasien imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini
dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan
vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah
penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus
hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan
SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi
pneumokokus dan varisela.
Sumber : KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA
ANAK Edisi kedua Cetakan kedua 2012 Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid 1

Komplikasi
a. Hipokalsemia Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:
1. Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan
osteopenia
2. Kebocoran metabolit vitamin D
b. Infeksi : selulitis, peritonitis, bakterialis spontan (2-6%)
c. Gagak ginjal
d. Tromboemboli (1,8-5%)
e. Pada kasus sindrom nefrotik jangka panjang, telah dilaporkan komplikasi
kardiovaskuler pada anak.
f. Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan
penyakit SN akibat toksisitas steroid.
g. HIPOVOLEMIA Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan
SN relaps dapat terjadi hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia,
ekstremitas dingin, dan sering disertai sakit perut.

Sumber : KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA


ANAK Edisi kedua Cetakan kedua 2012 Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan
Dokter Anak Indonesia Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid 1
MAPPING

Anda mungkin juga menyukai