Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH KEPANITERAAN

STASE KERUMAHSAKITAN RSUP DR SARDJITO

MANAJEMEN DENTAL PADA


CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

Disusun Oleh:
Ericka Winda 19/450667/PKG/01357

BAGIAN PERIODONSIA KSM GIGI MULUT


RSUP DR SARDJITO
YOGYAKARTA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

Gagal ginjal kronik atau chronic kidney disease (CKD) merupakan penurunan fungsi

ginjal secara progresif dan ireversibel yang berkaitan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus.

Hipertensi kronik, diabetes melitus dan glomerulonefritis merupakan penyebab paling sering dari

1
gagal ginjal kronik. Hemodialisis menjadi salah satu terapi yang sangat dibutuhkan oleh

2
penderita gagal ginjal kronik untuk mengeluarkan sisa- sisa metabolisme dalam darah.

1
Gagal ginjal kronik telah menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia. Penderita gagal

ginjal kronik setiap tahun di Amerika terus meningkat, hingga pada tahun 2010, terdapat sekitar

3
383.992 pasien yang menjalani terapi hemodialisis. Menurut Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia

(YGDI) tahun 2012, angka penderita gagal ginjal di Indonesia mencapai 70 ribu lebih, dengan

4
prevalensi 200–250 per 1 juta penduduk. Berdasarkan data Rumah Sakit Umum Daerah dr.

Zainoel Abidin Banda Aceh, hingga Juli 2012, terdapat 200 pasien gagal ginjal kronik yang

menjalani perawatan hemodialisis di rumah sakit tersebut.

Gagal ginjal kronik serta hemodialisis dapat mempengaruhi kondisi rongga mulut.

Diperkirakan 90% pasien gagal ginjal kronik mengalami perubahan pada jaringan lunak mulut

5
serta tulang rahang. Keluhan pada mulut kemungkinan terkait dengan proses penyakit ginjal

sendiri, penggunaan obat, terapi dialisa, atau terapi pengganti ginjal. Kelainan gigi dan mulut

pada penderita penyakit ginjal kronik meliputi hiperplasia gingiva, karies gigi, kalkulus gigi,
disgeusia, halitosis, penurunan aliran saliva, uremik stomatitis, serositis, hipoplasia email, infeksi

rongga mulut dan keganasam rongga mulut. Kebersihan mulut penderita PGK terutama yang

menjalani hemodialisa cenderung buruk, sehingga rentan terhadap infeksi gigi. Infeksi dapat

menyebar sehingga menyebabkan kemunduran kondisi sistemik penderita. Oleh karena itu

pengenalan dini, pencegahan dan tatalaksana kelainan gigi dan mulut pada penderita PGK

menjadi penting untuk meningkatkan kulaitas hidup pasien.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Chronic Kidney Disease

Chronic Kidney Disease (CKD) atau gagal ginjal kronis adalah destruksi struktur ginjal

yang progresif dan terus menerus. Gagal ginjal kronis timbul pada individu yang rentan,

nefropasti analgesik, destruksi papila ginjal yang terkait dengan pemakaian harian obat-

obatan analgesik selama bertahun-tahun. Apapun sebabnya, terjadi perburukan fungsi ginjal

secara progresif yang ditandai dengan penurunan Glomelurus Filter Rate (GFR) yang

progresif (Corwin, 2009).

Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme

serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif

dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin &

Sari, 2011).

1. Etiologi

Penyebab gagal ginjal pasien hemodialisis di Indonesia dari data tahun 2010 adalah

Glumerulopati Primer/GNC (8%), nefropati diabetika (22%), nefropati lupus/SLE (1%),

penyakit ginjal hipertensi (44%), ginjal polikistik (1%), nefropati asam urat (1%),

nefropati obstruksi (5%), pielonefritis chronico/PNC (7%), lain-lain (8%) dan tidak

diketahui (3%) (Indonesian Renal Registry, 2015).

2. Patofisiologi

Patogenesis gagal ginjal kronis melibatkan penurunan dan kerusakan nefron yang diikuti

kehilangan fungsi ginjal yang progresif. Total laju filtrasi glomerulus (GFR) menurun dan

klirens menurun, BUN dan kreatinin meningkat. Nefron yang masih tersisa mengalami
hipertrofi akibat usaha menyaring jumlah cairan yang lebih banyak. Akibatnya, ginjal

kehilangan kemampuan memekatkan urine. Tahapan untuk melanjutkan ekskresi,

sejumlah besar urine dikeluarkan, yang menyebabkan klien mengalami kekurangan

cairan. Tubulus secara bertahap kehilangan kemampuan menyerap elektrolit. Biasanya,

urine yang dibuang mengandung banyak sodium sehingga terjadi poliuri (Bayhakki,

2013).

Tahap-Tahap Perkembangan penyakit gagal ginjal kronis meliputi beberapa tahapan,

disertai dengan gejala-gejala khusus.Pada tahap awal, gagal ginjal kronis ditandai dengan

adanya penurunan cadangan ginjal, kemudian terjadinya indufisiensi ginjal, gagal ginjal,

dan tahap akhir penyakit ini diakhiri dengan uremia. Berikut tahap- tahap perkembangan

penyakit gagal ginjal kronis (Muhammad, 2012):

1) Penurunan Cadangan Ginjal

Pada tahap ini, ada beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita, diantaranya:

a)  Sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi,

b)  Laju filtrasi glomerulus 40-50% normal,

c)  BUN dan kreatinin serum masih normal, dan

d)  Pasien asimtomatik.

Tahap ini merupakan tahap perkembangan penyakit ginjal yang paling ringan, karena

faal ginjal masih dalam kondisi baik. Oleh karena itu, penderita juga belum

merasakan gejala apa pun. Bahkan, hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan

bahwa faal ginjal masih berada dalam batas normal.

Selain itu, kreatinin serum dan kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) masih berada

dalam batas normal dan penderita asimtomatik. Gangguan fungus gunjal baru
diketahui setelah pasien diberi beban kerja yang berat, seperti tes pemekatan kemih

dalam waktu lama atau melalui GFR dengan teliti.

2) Insufisiensi Ginjal

Pada tahap ini, beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita, diantaranya:

a)  Sekitar 75-80% nefron tidak berfungsi,

b)  Laju filtrasi glomerulus 20-40% normal,

c) BUN dan kreatinin serum mulai meningkat,

d)  Anemia dan azotemia ringan, serta

e)  Nokturia dan poliuria.

Pada tahap ini, penderita masih dapat melakukan tugas- tugas seperti biasa, walaupun

daya dan konsentrasi ginjal menurun. Pengobatan harus dilakukan dengan cepat untuk

mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, dan gangguan jantung. Selain itu,

penderita juga harus diberi obat untuk mencegah gangguan faal ginjal. Apabila langkah-

langkah ini dilakukan dengan cepat dan tepat, perkembangan penyakit ginjal yang lebih

berat pun dapat dicegah.

Pada stadium ini, lebih dari 75% jaringan ginjal yang berfungsi telah rusak. Selain itu,

kadar BUN dan kreatinin serum juga mulai meningkat melampui batas normal.

3) Gagal Ginjal

Pada tahap ini, beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita, diantaranya:
a)  Laju filtrasi glomerulus 10-20% normal,

b)  BUN dan kreatinin serum meningkat,

c)  Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik,

d)  Poliuria dan nokturia, serta

e)  Gejala gagal ginjal

Pada tahap ini, penderita merasakan beberapa gejala, antara lain mual, muntah, nafsu

makan berkurang, sesak napas, pusing, sakit kepala, air kemih berkurang, kurang tidur,

kejang-kejang, dan mengalami penurunan kesadaran hingga koma. Oleh karena itu,

penderita tidak dapat melakukan tugas sehari-hari.

4) End-stage Meal Disease (ESRD)

Pada tahap ini, beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita, diantaranya:

a)  Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi,

b)  Laju filtrasi glomerulus kurang dari 10% normal,

c)  BUN dan kreatinin tinggi,

d)  Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik,

e)  Berat jenis urine tetap 1.010,

f)  Oliguria, dan
g)  Gejala gagal ginjal

Pada stadium akhir, kurang lebih 90% massa nefron telah hancur. Nilai GFR 10% di

bawah batas normal dan kadar kreatinin hanya 5-10 ml/menit, bahkan kurang dari jumlah

tersebut. Selain itu, peningkatan kreatinin serum dan kadar BUN juga meningkat secara

mencolok.

Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita tidak sanggup mempertahankan homeostatis

cairan dan elektrolik di dalam tubuh. Biasanya, penderita menjadi oliguria (pengeluaran

kemih kurang dari 500 ml/hari karena kegagalan glomerulus). Pada stadium akhir gagal

ginjal, penderita harus mendapatkan pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau

dialisis.

e. Diagnosis Gagal Ginjal Kronis

Untuk menentukan seseorang positif menderita gagal ginjal kronis atau tidak harus dilakukan

diagnosis berdasarkan beberapa tes sebagai berikut (Muhammad, 2012):

1)  Pemeriksaan Urine

Pemeriksaan urine bertujuan untuk mengetahui volume, warna, sedimen, berat jenis,

kadar kreatinin, dan kadar protein dalam urine.

2)  Pemeriksaan Darah

Pemeriksaan darah ini meliputi BUN/kreatinin, hitung

darah lengkap, sel darah merah, natrium serum, kalium,


magnesium fosfat, protein, dan osmolaritas serum.

1. 3)  Pemeriksaan Pielografi Intravena

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui abnormalitas pelvis ginjal dan ureter, serta

pielografi retrograde. Pemeriksaan dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversible.

Selain itu, pemeriksaan ini juga untuk mengetahui arteriogram ginjal serta mengkaji

sirkulasi ginjal, mengidentifikasi ekstravaskular, dan adanya masssa.

13

4. 4)  Sistouretrogram Berkemih

Pemeriksaan ini menunjukkan ukuran kandung kemih,

refpluks ke dalam ureter, dan retensi.

5. 5)  Ultrasono Ginjal

Pemeriksaan ini untuk menunjukkan ukuran kandung kemih, adanya massa, kista, dan

obstruksi pada salurah kemih bagian atas.

6. 6)  Biopsi Ginjal

Biopsi ginjal dilakukan secara endoskopi untuk

menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologis.

7. 7)  Endoskopi Ginjal Nefroskopi


Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, seperti ada atau tidaknya batu

ginjal, hematuria, dan pengangkatan tumor selektif.

8. 8)  EKG

Keadaan abnormal menunjukkan adanya

ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa, aritmia,

hipertrofi ventrikel, dan tanda-tanda perikarditis.

B. Konsep Perawatan Dental dengan Penyakit Sistemik

Perubahan-perubahan kondisi lokal dan sistemik pada pasien dengan penyakit sistemik,

seperti pada penderita CHF membuat para praktisi kesehatan membutuhkan suatu modifikasi

perawatan dalam menangani pasien tersebut. Beberapa klasifikasi yang biasa digunakan

sebagai acuan dalam manajemen pasien dengan penyakit sistemik adalah ASA (The

American Society of Anesthesiologist) dan ORA (Oral Risk Assesment).

Klasifikasi ASA adalah sistem subyektif yang mengklasifikasikan pasien berdasarkan

tingkat keparahan penyakit tersebut mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Setiap pasien

dapat menunjukkan kategori yang berbeda pada setiap kunjungannya tergantung kontrol dan

stabilitas penyakitnya. Klasifikasi ASA :.

ASA PHYSICAL STATUS CLASSIFICATION SYSTEM


Last approved by the ASA House of Delegates on October 15, 2014
Klasifikasi ASA DEFINISI CONTOH
ASA I Pasien sehat Sehat, tidak merokok atau
mengonsumsi alcohol secara
minimal
ASA II Pasien dengan gangguan Penyakit ringan saja tanpa
sistemik ringan batasan aktivitas fungsional .
Contohnya termasuk (namun
tidak terbatas pada): perokok
saat ini, peminum alkohol
sosial, kehamilan, obesitas
(30<BM <40), wellcontrolled
DM / Hipertensi, penyakit
paru-paru ringan, stable
angina pectoris
ASA III Pasien dengan gangguan Keterbatasan fungsional
sistemik yang parah substantif; Satu atau lebih
penyakit moderat/sedang
hingga penyakit berat.
Contohnya termasuk (namun
tidak terbatas pada): DM tidak
terkontrol atau hipertensi,
PPOK, obesitas morbid (BMI
≥40), hepatitis aktif,
ketergantungan alkohol atau
penyalahgunaan, implan alat
pacu jantung, pengurangan
moderat fraksi ejeksi, ESRD
menjalani secara teratur
dijadwalkan dialisis, bayi
prematur PCA <60 minggu,
sejarah (> 3 bulan) dari MI,
CVA, TIA, atau CAD / stent.
ASA IV Seorang pasien dengan Contohnya termasuk (namun
penyakit sistemik berat yang tidak terbatas pada): (<3
merupakan ancaman konstan bulan) MI, CVA, TIA, atau
bagi kehidupan pasien tersebut CAD / stent, iskemia jantung
yang sedang berlangsung atau
disfungsi katup yang berat,
penurunan berat fraksi ejeksi,
sepsis, DIC, ARD atau ESRD
yang tidak menjalani dialisis
secara teratur., serta unstable
angina pectoris, recent
myocardial infarction,
congestive heart failure yang
tidak terkontrol
ASA V Seorang pasien sekarat yang Contohnya termasuk (namun
tidak diharapkan untuk tidak terbatas pada): ruptur
bertahan hidup tanpa operasi aneurisma / dada, trauma
besar, berdarah intrakranial
dengan efek massa, usus
iskemik dalam menghadapi
kelainan jantung yang
signifikan atau beberapa organ
/ disfungsi sistem
ASA VI Seorang pasien mati otak
menyatakan organnya diambil
untuk tujuan donor

Bricker dkk (1994) menyatakan bahwa pengambilan keputusan dalam manajemen pasien

dengan penyakit sistemik merupakan suatu keputusan yang sulit karena bergantung pada 4

variabel, yaitu : 1) keinginan pasien, 2) rencana perawatan, 3) emosi dan kondisi fisik pasien,

dan 4) saran dari ahli, misalnya dokter spesialis. Rencana perawatan disusun menurut tingkat

stres pasien dan resiko yang mungkin terjadi. Pendekatan untuk menentukan tingkat resiko

adalah Oral Risk Assesment (ORA). Penilaian Oral Risk Assesment (ORA) adalah:

a. ORA tipe I

Perawatan meliputi diagnosis dan prosedur dental pencegahan yang tidak menimbulkan
reaksi lanjut. Pengamatan klinis dan radiograf, kesan pertama, dan prosedur pengumpulan data.

b. ORA tipe II

Perawatan meliputi prosedur dental rutin yang memiliki resiko kecil untuk menimbulkan

reaksi lanjut, termasuk tindakan dental sederhana dengan administrasi anestesi local, terapi

saluran akar standar tanpa administrasi anestesi local, perawatan orto sederhana, prosedur untuk

meminimalkan perdarahan (skaling dan polishing, penggantian tumpatan), dan perawatan

darurat.

c. ORA tipe III

Perawatan termasuk prosedur dental yang mempunyai resiko sedang untuk menimbulkan

reaksi lanjut. Prosedur yang termasuk ORA tipe 3 antara lain : prosedur invasive dan hemoragi

sedang (pencabutan gigi yang sederhana) dan perawatan yang membutuhkan beberapa waktu (1-

2 jam) yang melibatkan fase 2 tindakan dental rekonstruktif kompleks, ortodonsia, periodonsia,

atau endodontic. Juga termasuk prosedur yang memerlukan administrasi obat-obatan intravena

(agen ankiolitik, antibiotic, atau beberapa karpul anestesi local untuk kontrol rasa sakit).

d. ORA tipe IV

Prosedur meliputi prosedur perdarahan (ekstraksi multiple, bedah flap mukoperiosteal, dan

bedah endodontic). Prosedur berlangsung lebih dari 2 jam, infeksi orofacial dengan

pembengkakan wajah, rasa sakit yang sulit dikontrol dan memerlukan sedasi sadar atau terapi

ankilotik intravena, dan perawatan darurat yang menimbulkan tekanan fisik dan emosional

pasien (contohnya adanya infeksi, perdarahan, trauma kraniofasial).

e. ORA tipe V

Perawatan meliputi prosedur dental yang menimbulkan resiko reaksi lanjut yang tinggi

seperti infeksi orofacial yang parah, prosedur sedasi yang dalam, prosedur bedah ekstensif, dan
prosedur yang memerlukan anestesi umum.

BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

1. Nama pasien : Djafar Wow


2. Umur : 54 Tahun 6 Bulan

3. Jenis Kelamin : Laki-laki

4. No. Rekam Medis : 01.78.86.46

5. Alamat : Sorong Masuk Mts RT 11 RW 1, Dufa Dufa, Ternate Utara,

Ternate

6. Tanggal Masuk : 24 Oktober 2016

7. Ruang : Dahlia 2

B. Keluhan Utama

Hendak kateterisasi jantung

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Kurang lebih 4 bulan sebelum masuk RS, os sering merasakan nyeri dada. Nyeri dada terasa

berat, membaik dengan istirahat.Os periksa SpJP di Ternate diberi obat Tromboaspilet,

Candesartan, Simarc, Concor, Furosemide, namun keluhan masih ada dan membaik setelah

pemberian ISDN sub lingual. Os meminta dirujuk ke RSS untuk penanganan lebih lanjut.

Kurang lebih SHSMRS os periksa ke RSS, disarankan oleh SpJP untuk kateterisasi stand by

PCI.

D. Riwayat Penyakit Sistemik

HT (+)

E. Pemeriksaan Fisik

KU : compos mentis

Tanda Vital

Tekanan darah : 110/80 mmHg

Nadi : 80 x/menit
Temperatur : 36,5oC

Respirasi : 20 x/menit

Kepala : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-),

Perut : supel (+), flat (+), nyeri tekan (-)

Leher : JVP 5 + 2 cmH20

Hati : tidak membesar

Limpa : tidak membesar

Dada : Simetris (+), ketinggalan gerak (-)

Paru : Vesikuler (+/+), RBB (-/-), RBK (-/-)

Jantung : Cardiomegali (+)

Ekstremitas : edema (-)

F. Pemeriksaan Penunjang :

Hb : 14,2 M : 7,1 Na : 143

AL : 12,2 E :3,2 K : 3,6

AT : 290 B : 0,6 Cl : 104

AE : 5,44 alb : 4,2 PPT : 13,4 (13,4)

Hmt : 42,9 GDS : 103 APTT : 31,9 (31,4)

MCV : 78,9 SGOT : 32 INR : 0,97

MCH : 26,1 SGPT : 55 HbsAg : NR

N : 59,4 BUN : 17,0

L : 297 Creat : 0,84

Ekokardiografi :

 LA.LV dilatasi
 EF 36%

 Tapse 2,5

 MR moderate

G. Diagnosis Kerja:

 Angina Pectoris Stabil CCS II pro cath. stand by PCI

 CHF CF II et causa HHD / IHD

H. Riwayat Pengobatan di Bangsal:

 Tromboaspilet  Furosemide

 Concor  ISDN

 Candesartan  CPG

 Simvastatin  Nitrokaf

I. Hasil Pemeriksaan Gigi dan Mulut Pasien

PEMERIKSAAN SUBYEKTIF

Keluhan Utama:

Pasien mengeluhkan adanya nyeri pada rahang bawah kiri sejak 2 bulan lalu. Nyeri yang

dirasakan hilang timbul dan membaik semenjak dirawat inap di RSS

Keadaan Sakit Sekarang:

Sudah tidak dikeluhkan nyeri semenjak dirawat inap di RSS. Sebelumnya pernah

mengkonsumsi dexamethasone atas inisiatif sendiri untuk mengobat nyeri.

Riwayat Dental:
Pernah memeriksakan keadaan rongga mulutnya ke Puskemas dan ingin mencabutkan

giginya, namun dokter gigi di Puskesmas menyarankan untuk berkonsultasi terlebih dahulu

mengenai penyakit jantungnya.

Riwayat Penyakit Sistemik:

Mempunyai riwayat penyakit jantung, gejala awal yang dirasakan berupa nyeri dada dan

sesak nafas. Selama ini mengkonsumsi Cedocard yang dihisap di bawah lidah dan membaik.

Namun, akhir-akhir ini sesak yang dirasakan semakin parah dan membuat pasien ingin

periksa lebih lanjut.

Riwayat Sosial:

Pasien merupakan seorang pria berumur 54 tahun, purnawirawan TNI, merupakan perokok

aktif selama 1 tahun (1986-1987), namun hingga sekarang berada di lingkungan perokok

aktif dengan intensitas kuat sebagai perokok pasif.

Riwayat Keluarga:

Tidak ada penyakit sistemik yang diderita keluarga.

PEMERIKSAAN OBYEKTIF

Bibir : tampak kering dan mengelupas

Mukosa : tampak pucat, tampak lesi putih di bagian bukal inferior dextra

Lidah : tampak kering

Gingiva : tampak pucat dan membesar di semua regio

Kalkulus : (+), di regio anterior bawah lingual

TMJ : tidak ada kelainan

Lnn. : tidak teraba

Mata : non anemis, non ikterik


Gigi geligi

18 Terdapat karies pada permukaan oklusal kedalaman dentin

Dx/ karies dentin

17 Terdapat karies pada permukaan distal kedalaman dentin

Dx/ karies dentin

28 Terdapat karies pada permukaan oklusal kedalaman dentin

Dx/ karies dentin

38 Terdapat karies pada permukaan oklusal kedalaman dentin

Dx/ karies dentin

37 Terdapat kavitas dengan pulpa terbuka

Dx/ nekrosis

32 Terdapat kegoyahan gigi derajat 2

Dx/ luksasi gigi derajat 2

31 Terdapat kegoyahan gigi derajat 2

Dx/ luksasi gigi derajat 2

41 Terdapat kegoyahan gigi derajat 2

Dx/ luksasi gigi derajat 2

J. Rekomendasi Oral:

1. Dental Health Education (DHE)

a. Mengkomunikasikan kepada pasien bahwa terdapat karang gigi yang menyebabkan pasien

mengalami gingivitis atau radang pada gusinya. Menginformasikan bahwa karang gigi yang

terdapat pada gigi pasien merupakan akumulasi plak yang termineralisasi dan menempel

pada permukaan gigi. Mengedukasi pasien untuk melakukan pembersihan karang gigi setiap
6 bulan sekali.

b. Mengkomunikasikan kepada pasien bahwa terdapat beberapa gigi pasien yang berlubang.

Menginformasikan bahwa lubang gigi (karies gigi) merupakan suatu proses kronis regresif

yang dimulai dengan larutnya mineral email sebagai akibat terganggunya keseimbangan

antara email dan sekelilingnya yang disebabkan oleh pembentukan asam mikrobial dari

substrat sehingga timbul destruksi komponen-komponen organik yang akhirnya terjadi

kavitas. Mengedukasi pasien untuk menambalkan giginya.

c. Mengkomunikasikan kepada pasien bahwa terdapat gigi yang telah mati (nekrose pulpa).

Menginformasikan pada pasien bahwa gigi tersebut mengalami kematian pada pulpa gigi

yang diakibatkan oleh karies gigi yang dalam hingga melibatkan pulpa. Mengedukasi pasien

untuk melakukan perawatan saluran akar pada gigi 37.

d. Mengkomunikasikan kepada pasien bahwa terdapat kegoyahan gigi derajat 2 (kegoyahan 2

mm) pada beberapa gigi bawah depan. Menginformasikan bahwa kegoyahan gigi tersebut

terjadi karena adanya penurunan tulang alveolar pada apeks gigi tersebut dan penumpukan

karang gigi. Mengedukasi pasien untuk dilakukan splinting dan graft agar gigi kembali

cekat dan tidak goyah

e. Mengkomunikasikan kepada pasien bahwa terdapat lesi putih di pipi bawah sebelah kanan

menyerupai lichenoid. Menginformasikan bahwa lesi ini muncul akibat efek konsumsi obat

ACEIs pada pasien, yaitu Concor. Mengedukasi pasien bahwa lesi tersebut tidak perlu

dikhawatirkan dan bukan merupakan keganasan, dan akan hilang dengan sendirinya apabila

pasien berhenti mengonsumsi obat tersebut.

f. Mengkomunikasikan kepada pasien bahwa keadaan lidah kering yang dirasakan pada pasien

merupakan kondisi xerostomia. Menginformasikan bahwa keadaan tersebut terjadi akibat


pengaruh obat diuretik yang dikonsumsi oleh pasien, yaitu Furosemide. Mengedukasi

pasien untuk minum minimal 8 gelas perhari agar lidah tidak kering.

g.Mengkomunikasikan, menginformasikan, serta mengedukasi pasien untuk menjaga

kebersihan rongga mulutnya. Pada pasien diajarkan untuk menyikat gigi dan lidah dengan

baik dan benar, serta waktu sikat gigi yang tepat yaitu sehabis makan dan sebelum tidur,

minimal dilakukan sehari 2 kali.

2. Melakukan kolaborasi dengan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah

Kolaborasi dilakukan dengan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah yang merawat

pasien tersebut terkait obat-obatan antiplatelet yang dikonsumsi oleh pasien, yaitu tromboaspilet

dan CPG dapat dihentikan untuk sementara waktu atau tidak (selama 1 minggu), karena pasien

akan dilakukan tindakan scaling yang memiliki risiko perdarahan. Penghentian obat 1 minggu

karena pertimbangan masih adanya konsentrasi obat yang menempel pada trombosit sampai

terbentuknya trombosit baru di dalam tubuh.

3. Tindakan Dental
Tindakan dental untuk pasien dengan penyakit jantung hanya bersifat emergency, pada

pasien ini rencana perawatan yang perlu dilakukan:

a. Pembersihan karang gigi (scaling dan root planning)

b. Restorasi pada gigi 18. 17, 28

c. Perawatan saluran akar gigi 37

d. Splinting gigi 32, 31, 41

Tindakan dental sebaiknya dilakukan pagi hari untuk meminimalisir tingkat stress pasien.

Posisi pasien pada dental chair semi-supine dengan pergerakan perlahan untuk menghindari

hipotensi orthostatic

BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil visitasi pada pasien di bangsal Dahlia 2 RSUP Dr. Sardjito, didapatkan

pasien bernama Djafar Wow dengan jenis kelamin laki-laki dan berusia 54 tahun 6 bulan. Pasien

memiliki komplikasi beberapa penyakit, dengan diagnosis penyakitnya antara lain angina

pektoris stabil CCS II dan Congestive Heart Failure CF II et causa Hypertensive Heart Diseases

(HHD) / Ischemic Heart Disease (IHD).

Anamnesis secara langsung pada pasien untuk mengetahui keluhan pada rongga mulut

pasien dapat dilakukan dengan baik pada pasien dan keluarga pasien. Berdasarkan anamnesis

diketahui bahwa terdapat keluhan pada rongga mulutnya adalah adanya rasa nyeri pada rahang

bawah sebelah kiri. Pemeriksaan gigi dan mulut pasien didapatkan bahwa kebersihan gigi dan

mulut sedang, terdapat banyak kalkulus di regio anterior bawah sisi lingual, terdapat xerostomia

pada bibir, lidah, dan mukosa mulut, , ditemukan beberapa gigi dengan karies kedalaman dentin,

terdapat nekrosis gigi 37, dan terdapat kegoyahan gigi pada gigi bawah depan.

Pasien dengan Congestive Heart Failure (CHF) yang akan menjalani perawatan gigi

harus pasien yang memiliki status terkontrol dan perlu diperhatikan American Society of

Anesthesiologists (ASA) dan Oral Risk Assessments (ORA). Kondisi pasien termasuk dalam

klasifikasi risiko ASA II karena pasien menderita penyakit sistemik ringan yang tidak

mengganggu aktivitas sehari-hari. Untuk klasifikasi penilaian risiko terhadap keadaan yang

dijumpai di rongga mulut, pasien termasuk dalam ORA III yaitu perawatan termasuk prosedur

dental yang mempunyai resiko sedang untuk menimbulkan reaksi lanjut yaitu scaling dengan

resiko perdarahan. Hal tersebut berarti pasien boleh menerima tindakan dental (dental treatment)

sesuai prosedur. Pada pasien tersebut tindakan pembersihan karang gigi dilakukan setelah pasien
diizinkan oleh dokter spesialis jantung dan pembuluh darah untuk menghentikan konsumsi

antiplatelet yang berupa CPG dan Tromboaspilet selama 7 hari. Untuk beberapa kasus pasien

dengan riwayat penyakit jantung sebelum dilakukan tindakan dental dengan resiko perdarahan

ringan sampai sedang dapat dipertimbangkan untuk tidak dilakukan pemberhentian konsumsi

obat pengencer darah, namun tetap harus dilakukan cek laboratorium mengenai keadaan APTT,

PPT, dan INR. Apabila hasil laboratorium menunjukkan tidak ada kelainan maka tindakan dental

dengan resiko perdarahan ringan sampai sedang dapat dilakukan tanpa pemberhentian obat

pengencer darah.

Tindakan dental untuk pasien dengan penyakit jantung hanya bersifat emergency, dan

sebaiknya dilakukan pagi hari untuk meminimalisir tingkat stress pasien, posisi pasien pada

dental chair semi-supine dengan pergerakan perlahan untuk menghindari hipotensi orthostatic,

serta proses perawatan yang tidak terlalu lama. Rekomendasi oral yang paling utama disarankan

untuk pasien tersebut adalah Dental Health Education (DHE). Dental Health Education (DHE)

yang diberikan berupa informasi mengenai keadaan rongga mulutnya, hal-hal yang bisa

dilakukan secara mandiri untuk menjaga kebersihan mulut, menyarankan untuk melakukan

tindakan pembersihan karang gigi serta pemasangan split dan graft untuk mengatasi kegoyahan

pada giginya, serta melakukan penambalan dan perawatan saluran akar untuk gigi-giginya yang

berlubang dan sudah mati.

BAB V
PENUTUP

Pasien geriatri sering dijumpai memiliki lebih dari satu penyakit sistemik yang kompleks.

Perawatan dental untuk pasien dengan penyakit sistemik harus dilakukan secara holistik dan

mempertimbangkan penilaian ASA dan ORA, serta dapat berkolaborasi dengan tim medis

spesialis bagian lain. Pemeriksaan subyektif dan obyektif, serta pemeriksaan penunjang harus

dilakukan serinci mungkin untuk menghindari terjadinya resiko ketika dilakukan tindakan dental.

DAFTAR PUSTAKA
Arunkumar, S., Kalappanavar, A.N., Annigeri, .G., dan Shakuntala, G.K., 2013. Adverse Oral
Manifestations of Cardiovascular Drugs. Journal of Dental and Medical Sciences vol 7,
issue 55, hal: 64-71.
"ASA Physical Status Classification System". American Society of Anesthesiologists.
Bricker SL, langlais RP, dan Miller CS. 1994. Oral Diagnosis, Oral Medicine, and Treatment
Planning. Lea and Febriger. Philadelphia.
Greenberg, M.S., Glick, M., 2003, Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment, Hamilton :
BC Decker inc.
Guyton, A.C., Hall, J.R., 2006, Medical Physiology, Philadelphia : Elsevier Sounders.
Hadisaputro S, Martono HH., 1999, Infeksi pada Usia Lanjut, Buku Ajar Geriatri, In : Darmojo
B, Martono H. editors. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Hal 323-338.
Hosenpud, J.D., Barry, H.G., 2007, Congestive Heart Failure, Lippincot Williams and Wilkins :
USA.
Notoatmodjo, S., 2007, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Cetakan I, PT. Rineka Cipta,
Jakarta.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal
Jantung, edisi pertama, hal: 34.
WHO, 2013. Cardiovascular Disease (CVDs). Mei 22, 2013.
http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/HeartFailure/AboutHeartFailure/Classesof-
Heart-Failure_UCM_306328_Article.jsp , diakses pada 6 November 2016

Anda mungkin juga menyukai