Laporan IPD FIKS
Laporan IPD FIKS
Disusun Oleh:
Ericka Winda 19/450667/PKG/01357
PENDAHULUAN
Gagal ginjal kronik atau chronic kidney disease (CKD) merupakan penurunan fungsi
ginjal secara progresif dan ireversibel yang berkaitan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus.
Hipertensi kronik, diabetes melitus dan glomerulonefritis merupakan penyebab paling sering dari
1
gagal ginjal kronik. Hemodialisis menjadi salah satu terapi yang sangat dibutuhkan oleh
2
penderita gagal ginjal kronik untuk mengeluarkan sisa- sisa metabolisme dalam darah.
1
Gagal ginjal kronik telah menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia. Penderita gagal
ginjal kronik setiap tahun di Amerika terus meningkat, hingga pada tahun 2010, terdapat sekitar
3
383.992 pasien yang menjalani terapi hemodialisis. Menurut Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia
(YGDI) tahun 2012, angka penderita gagal ginjal di Indonesia mencapai 70 ribu lebih, dengan
4
prevalensi 200–250 per 1 juta penduduk. Berdasarkan data Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh, hingga Juli 2012, terdapat 200 pasien gagal ginjal kronik yang
Gagal ginjal kronik serta hemodialisis dapat mempengaruhi kondisi rongga mulut.
Diperkirakan 90% pasien gagal ginjal kronik mengalami perubahan pada jaringan lunak mulut
5
serta tulang rahang. Keluhan pada mulut kemungkinan terkait dengan proses penyakit ginjal
sendiri, penggunaan obat, terapi dialisa, atau terapi pengganti ginjal. Kelainan gigi dan mulut
pada penderita penyakit ginjal kronik meliputi hiperplasia gingiva, karies gigi, kalkulus gigi,
disgeusia, halitosis, penurunan aliran saliva, uremik stomatitis, serositis, hipoplasia email, infeksi
rongga mulut dan keganasam rongga mulut. Kebersihan mulut penderita PGK terutama yang
menjalani hemodialisa cenderung buruk, sehingga rentan terhadap infeksi gigi. Infeksi dapat
menyebar sehingga menyebabkan kemunduran kondisi sistemik penderita. Oleh karena itu
pengenalan dini, pencegahan dan tatalaksana kelainan gigi dan mulut pada penderita PGK
TINJAUAN PUSTAKA
Chronic Kidney Disease (CKD) atau gagal ginjal kronis adalah destruksi struktur ginjal
yang progresif dan terus menerus. Gagal ginjal kronis timbul pada individu yang rentan,
nefropasti analgesik, destruksi papila ginjal yang terkait dengan pemakaian harian obat-
obatan analgesik selama bertahun-tahun. Apapun sebabnya, terjadi perburukan fungsi ginjal
secara progresif yang ditandai dengan penurunan Glomelurus Filter Rate (GFR) yang
Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme
serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif
dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin &
Sari, 2011).
1. Etiologi
Penyebab gagal ginjal pasien hemodialisis di Indonesia dari data tahun 2010 adalah
penyakit ginjal hipertensi (44%), ginjal polikistik (1%), nefropati asam urat (1%),
nefropati obstruksi (5%), pielonefritis chronico/PNC (7%), lain-lain (8%) dan tidak
2. Patofisiologi
Patogenesis gagal ginjal kronis melibatkan penurunan dan kerusakan nefron yang diikuti
kehilangan fungsi ginjal yang progresif. Total laju filtrasi glomerulus (GFR) menurun dan
klirens menurun, BUN dan kreatinin meningkat. Nefron yang masih tersisa mengalami
hipertrofi akibat usaha menyaring jumlah cairan yang lebih banyak. Akibatnya, ginjal
urine yang dibuang mengandung banyak sodium sehingga terjadi poliuri (Bayhakki,
2013).
disertai dengan gejala-gejala khusus.Pada tahap awal, gagal ginjal kronis ditandai dengan
adanya penurunan cadangan ginjal, kemudian terjadinya indufisiensi ginjal, gagal ginjal,
dan tahap akhir penyakit ini diakhiri dengan uremia. Berikut tahap- tahap perkembangan
Pada tahap ini, ada beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita, diantaranya:
d) Pasien asimtomatik.
Tahap ini merupakan tahap perkembangan penyakit ginjal yang paling ringan, karena
faal ginjal masih dalam kondisi baik. Oleh karena itu, penderita juga belum
Selain itu, kreatinin serum dan kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) masih berada
dalam batas normal dan penderita asimtomatik. Gangguan fungus gunjal baru
diketahui setelah pasien diberi beban kerja yang berat, seperti tes pemekatan kemih
2) Insufisiensi Ginjal
Pada tahap ini, beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita, diantaranya:
Pada tahap ini, penderita masih dapat melakukan tugas- tugas seperti biasa, walaupun
daya dan konsentrasi ginjal menurun. Pengobatan harus dilakukan dengan cepat untuk
mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, dan gangguan jantung. Selain itu,
penderita juga harus diberi obat untuk mencegah gangguan faal ginjal. Apabila langkah-
langkah ini dilakukan dengan cepat dan tepat, perkembangan penyakit ginjal yang lebih
Pada stadium ini, lebih dari 75% jaringan ginjal yang berfungsi telah rusak. Selain itu,
kadar BUN dan kreatinin serum juga mulai meningkat melampui batas normal.
3) Gagal Ginjal
Pada tahap ini, beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita, diantaranya:
a) Laju filtrasi glomerulus 10-20% normal,
Pada tahap ini, penderita merasakan beberapa gejala, antara lain mual, muntah, nafsu
makan berkurang, sesak napas, pusing, sakit kepala, air kemih berkurang, kurang tidur,
kejang-kejang, dan mengalami penurunan kesadaran hingga koma. Oleh karena itu,
Pada tahap ini, beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita, diantaranya:
f) Oliguria, dan
g) Gejala gagal ginjal
Pada stadium akhir, kurang lebih 90% massa nefron telah hancur. Nilai GFR 10% di
bawah batas normal dan kadar kreatinin hanya 5-10 ml/menit, bahkan kurang dari jumlah
tersebut. Selain itu, peningkatan kreatinin serum dan kadar BUN juga meningkat secara
mencolok.
Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita tidak sanggup mempertahankan homeostatis
cairan dan elektrolik di dalam tubuh. Biasanya, penderita menjadi oliguria (pengeluaran
kemih kurang dari 500 ml/hari karena kegagalan glomerulus). Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita harus mendapatkan pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau
dialisis.
Untuk menentukan seseorang positif menderita gagal ginjal kronis atau tidak harus dilakukan
1) Pemeriksaan Urine
Pemeriksaan urine bertujuan untuk mengetahui volume, warna, sedimen, berat jenis,
2) Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui abnormalitas pelvis ginjal dan ureter, serta
pielografi retrograde. Pemeriksaan dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversible.
Selain itu, pemeriksaan ini juga untuk mengetahui arteriogram ginjal serta mengkaji
13
4. 4) Sistouretrogram Berkemih
5. 5) Ultrasono Ginjal
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan ukuran kandung kemih, adanya massa, kista, dan
6. 6) Biopsi Ginjal
8. 8) EKG
Perubahan-perubahan kondisi lokal dan sistemik pada pasien dengan penyakit sistemik,
seperti pada penderita CHF membuat para praktisi kesehatan membutuhkan suatu modifikasi
perawatan dalam menangani pasien tersebut. Beberapa klasifikasi yang biasa digunakan
sebagai acuan dalam manajemen pasien dengan penyakit sistemik adalah ASA (The
dapat menunjukkan kategori yang berbeda pada setiap kunjungannya tergantung kontrol dan
Bricker dkk (1994) menyatakan bahwa pengambilan keputusan dalam manajemen pasien
dengan penyakit sistemik merupakan suatu keputusan yang sulit karena bergantung pada 4
variabel, yaitu : 1) keinginan pasien, 2) rencana perawatan, 3) emosi dan kondisi fisik pasien,
dan 4) saran dari ahli, misalnya dokter spesialis. Rencana perawatan disusun menurut tingkat
stres pasien dan resiko yang mungkin terjadi. Pendekatan untuk menentukan tingkat resiko
adalah Oral Risk Assesment (ORA). Penilaian Oral Risk Assesment (ORA) adalah:
a. ORA tipe I
Perawatan meliputi diagnosis dan prosedur dental pencegahan yang tidak menimbulkan
reaksi lanjut. Pengamatan klinis dan radiograf, kesan pertama, dan prosedur pengumpulan data.
b. ORA tipe II
Perawatan meliputi prosedur dental rutin yang memiliki resiko kecil untuk menimbulkan
reaksi lanjut, termasuk tindakan dental sederhana dengan administrasi anestesi local, terapi
saluran akar standar tanpa administrasi anestesi local, perawatan orto sederhana, prosedur untuk
darurat.
Perawatan termasuk prosedur dental yang mempunyai resiko sedang untuk menimbulkan
reaksi lanjut. Prosedur yang termasuk ORA tipe 3 antara lain : prosedur invasive dan hemoragi
sedang (pencabutan gigi yang sederhana) dan perawatan yang membutuhkan beberapa waktu (1-
2 jam) yang melibatkan fase 2 tindakan dental rekonstruktif kompleks, ortodonsia, periodonsia,
atau endodontic. Juga termasuk prosedur yang memerlukan administrasi obat-obatan intravena
(agen ankiolitik, antibiotic, atau beberapa karpul anestesi local untuk kontrol rasa sakit).
d. ORA tipe IV
Prosedur meliputi prosedur perdarahan (ekstraksi multiple, bedah flap mukoperiosteal, dan
bedah endodontic). Prosedur berlangsung lebih dari 2 jam, infeksi orofacial dengan
pembengkakan wajah, rasa sakit yang sulit dikontrol dan memerlukan sedasi sadar atau terapi
ankilotik intravena, dan perawatan darurat yang menimbulkan tekanan fisik dan emosional
e. ORA tipe V
Perawatan meliputi prosedur dental yang menimbulkan resiko reaksi lanjut yang tinggi
seperti infeksi orofacial yang parah, prosedur sedasi yang dalam, prosedur bedah ekstensif, dan
prosedur yang memerlukan anestesi umum.
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Ternate
7. Ruang : Dahlia 2
B. Keluhan Utama
Kurang lebih 4 bulan sebelum masuk RS, os sering merasakan nyeri dada. Nyeri dada terasa
berat, membaik dengan istirahat.Os periksa SpJP di Ternate diberi obat Tromboaspilet,
Candesartan, Simarc, Concor, Furosemide, namun keluhan masih ada dan membaik setelah
pemberian ISDN sub lingual. Os meminta dirujuk ke RSS untuk penanganan lebih lanjut.
Kurang lebih SHSMRS os periksa ke RSS, disarankan oleh SpJP untuk kateterisasi stand by
PCI.
HT (+)
E. Pemeriksaan Fisik
KU : compos mentis
Tanda Vital
Nadi : 80 x/menit
Temperatur : 36,5oC
Respirasi : 20 x/menit
F. Pemeriksaan Penunjang :
Ekokardiografi :
LA.LV dilatasi
EF 36%
Tapse 2,5
MR moderate
G. Diagnosis Kerja:
Tromboaspilet Furosemide
Concor ISDN
Candesartan CPG
Simvastatin Nitrokaf
PEMERIKSAAN SUBYEKTIF
Keluhan Utama:
Pasien mengeluhkan adanya nyeri pada rahang bawah kiri sejak 2 bulan lalu. Nyeri yang
Sudah tidak dikeluhkan nyeri semenjak dirawat inap di RSS. Sebelumnya pernah
Riwayat Dental:
Pernah memeriksakan keadaan rongga mulutnya ke Puskemas dan ingin mencabutkan
giginya, namun dokter gigi di Puskesmas menyarankan untuk berkonsultasi terlebih dahulu
Mempunyai riwayat penyakit jantung, gejala awal yang dirasakan berupa nyeri dada dan
sesak nafas. Selama ini mengkonsumsi Cedocard yang dihisap di bawah lidah dan membaik.
Namun, akhir-akhir ini sesak yang dirasakan semakin parah dan membuat pasien ingin
Riwayat Sosial:
Pasien merupakan seorang pria berumur 54 tahun, purnawirawan TNI, merupakan perokok
aktif selama 1 tahun (1986-1987), namun hingga sekarang berada di lingkungan perokok
Riwayat Keluarga:
PEMERIKSAAN OBYEKTIF
Mukosa : tampak pucat, tampak lesi putih di bagian bukal inferior dextra
Dx/ nekrosis
J. Rekomendasi Oral:
a. Mengkomunikasikan kepada pasien bahwa terdapat karang gigi yang menyebabkan pasien
mengalami gingivitis atau radang pada gusinya. Menginformasikan bahwa karang gigi yang
terdapat pada gigi pasien merupakan akumulasi plak yang termineralisasi dan menempel
pada permukaan gigi. Mengedukasi pasien untuk melakukan pembersihan karang gigi setiap
6 bulan sekali.
b. Mengkomunikasikan kepada pasien bahwa terdapat beberapa gigi pasien yang berlubang.
Menginformasikan bahwa lubang gigi (karies gigi) merupakan suatu proses kronis regresif
yang dimulai dengan larutnya mineral email sebagai akibat terganggunya keseimbangan
antara email dan sekelilingnya yang disebabkan oleh pembentukan asam mikrobial dari
c. Mengkomunikasikan kepada pasien bahwa terdapat gigi yang telah mati (nekrose pulpa).
Menginformasikan pada pasien bahwa gigi tersebut mengalami kematian pada pulpa gigi
yang diakibatkan oleh karies gigi yang dalam hingga melibatkan pulpa. Mengedukasi pasien
mm) pada beberapa gigi bawah depan. Menginformasikan bahwa kegoyahan gigi tersebut
terjadi karena adanya penurunan tulang alveolar pada apeks gigi tersebut dan penumpukan
karang gigi. Mengedukasi pasien untuk dilakukan splinting dan graft agar gigi kembali
e. Mengkomunikasikan kepada pasien bahwa terdapat lesi putih di pipi bawah sebelah kanan
menyerupai lichenoid. Menginformasikan bahwa lesi ini muncul akibat efek konsumsi obat
ACEIs pada pasien, yaitu Concor. Mengedukasi pasien bahwa lesi tersebut tidak perlu
dikhawatirkan dan bukan merupakan keganasan, dan akan hilang dengan sendirinya apabila
f. Mengkomunikasikan kepada pasien bahwa keadaan lidah kering yang dirasakan pada pasien
pasien untuk minum minimal 8 gelas perhari agar lidah tidak kering.
kebersihan rongga mulutnya. Pada pasien diajarkan untuk menyikat gigi dan lidah dengan
baik dan benar, serta waktu sikat gigi yang tepat yaitu sehabis makan dan sebelum tidur,
Kolaborasi dilakukan dengan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah yang merawat
pasien tersebut terkait obat-obatan antiplatelet yang dikonsumsi oleh pasien, yaitu tromboaspilet
dan CPG dapat dihentikan untuk sementara waktu atau tidak (selama 1 minggu), karena pasien
akan dilakukan tindakan scaling yang memiliki risiko perdarahan. Penghentian obat 1 minggu
karena pertimbangan masih adanya konsentrasi obat yang menempel pada trombosit sampai
3. Tindakan Dental
Tindakan dental untuk pasien dengan penyakit jantung hanya bersifat emergency, pada
Tindakan dental sebaiknya dilakukan pagi hari untuk meminimalisir tingkat stress pasien.
Posisi pasien pada dental chair semi-supine dengan pergerakan perlahan untuk menghindari
hipotensi orthostatic
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil visitasi pada pasien di bangsal Dahlia 2 RSUP Dr. Sardjito, didapatkan
pasien bernama Djafar Wow dengan jenis kelamin laki-laki dan berusia 54 tahun 6 bulan. Pasien
memiliki komplikasi beberapa penyakit, dengan diagnosis penyakitnya antara lain angina
pektoris stabil CCS II dan Congestive Heart Failure CF II et causa Hypertensive Heart Diseases
Anamnesis secara langsung pada pasien untuk mengetahui keluhan pada rongga mulut
pasien dapat dilakukan dengan baik pada pasien dan keluarga pasien. Berdasarkan anamnesis
diketahui bahwa terdapat keluhan pada rongga mulutnya adalah adanya rasa nyeri pada rahang
bawah sebelah kiri. Pemeriksaan gigi dan mulut pasien didapatkan bahwa kebersihan gigi dan
mulut sedang, terdapat banyak kalkulus di regio anterior bawah sisi lingual, terdapat xerostomia
pada bibir, lidah, dan mukosa mulut, , ditemukan beberapa gigi dengan karies kedalaman dentin,
terdapat nekrosis gigi 37, dan terdapat kegoyahan gigi pada gigi bawah depan.
Pasien dengan Congestive Heart Failure (CHF) yang akan menjalani perawatan gigi
harus pasien yang memiliki status terkontrol dan perlu diperhatikan American Society of
Anesthesiologists (ASA) dan Oral Risk Assessments (ORA). Kondisi pasien termasuk dalam
klasifikasi risiko ASA II karena pasien menderita penyakit sistemik ringan yang tidak
mengganggu aktivitas sehari-hari. Untuk klasifikasi penilaian risiko terhadap keadaan yang
dijumpai di rongga mulut, pasien termasuk dalam ORA III yaitu perawatan termasuk prosedur
dental yang mempunyai resiko sedang untuk menimbulkan reaksi lanjut yaitu scaling dengan
resiko perdarahan. Hal tersebut berarti pasien boleh menerima tindakan dental (dental treatment)
sesuai prosedur. Pada pasien tersebut tindakan pembersihan karang gigi dilakukan setelah pasien
diizinkan oleh dokter spesialis jantung dan pembuluh darah untuk menghentikan konsumsi
antiplatelet yang berupa CPG dan Tromboaspilet selama 7 hari. Untuk beberapa kasus pasien
dengan riwayat penyakit jantung sebelum dilakukan tindakan dental dengan resiko perdarahan
ringan sampai sedang dapat dipertimbangkan untuk tidak dilakukan pemberhentian konsumsi
obat pengencer darah, namun tetap harus dilakukan cek laboratorium mengenai keadaan APTT,
PPT, dan INR. Apabila hasil laboratorium menunjukkan tidak ada kelainan maka tindakan dental
dengan resiko perdarahan ringan sampai sedang dapat dilakukan tanpa pemberhentian obat
pengencer darah.
Tindakan dental untuk pasien dengan penyakit jantung hanya bersifat emergency, dan
sebaiknya dilakukan pagi hari untuk meminimalisir tingkat stress pasien, posisi pasien pada
dental chair semi-supine dengan pergerakan perlahan untuk menghindari hipotensi orthostatic,
serta proses perawatan yang tidak terlalu lama. Rekomendasi oral yang paling utama disarankan
untuk pasien tersebut adalah Dental Health Education (DHE). Dental Health Education (DHE)
yang diberikan berupa informasi mengenai keadaan rongga mulutnya, hal-hal yang bisa
dilakukan secara mandiri untuk menjaga kebersihan mulut, menyarankan untuk melakukan
tindakan pembersihan karang gigi serta pemasangan split dan graft untuk mengatasi kegoyahan
pada giginya, serta melakukan penambalan dan perawatan saluran akar untuk gigi-giginya yang
BAB V
PENUTUP
Pasien geriatri sering dijumpai memiliki lebih dari satu penyakit sistemik yang kompleks.
Perawatan dental untuk pasien dengan penyakit sistemik harus dilakukan secara holistik dan
mempertimbangkan penilaian ASA dan ORA, serta dapat berkolaborasi dengan tim medis
spesialis bagian lain. Pemeriksaan subyektif dan obyektif, serta pemeriksaan penunjang harus
dilakukan serinci mungkin untuk menghindari terjadinya resiko ketika dilakukan tindakan dental.
DAFTAR PUSTAKA
Arunkumar, S., Kalappanavar, A.N., Annigeri, .G., dan Shakuntala, G.K., 2013. Adverse Oral
Manifestations of Cardiovascular Drugs. Journal of Dental and Medical Sciences vol 7,
issue 55, hal: 64-71.
"ASA Physical Status Classification System". American Society of Anesthesiologists.
Bricker SL, langlais RP, dan Miller CS. 1994. Oral Diagnosis, Oral Medicine, and Treatment
Planning. Lea and Febriger. Philadelphia.
Greenberg, M.S., Glick, M., 2003, Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment, Hamilton :
BC Decker inc.
Guyton, A.C., Hall, J.R., 2006, Medical Physiology, Philadelphia : Elsevier Sounders.
Hadisaputro S, Martono HH., 1999, Infeksi pada Usia Lanjut, Buku Ajar Geriatri, In : Darmojo
B, Martono H. editors. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Hal 323-338.
Hosenpud, J.D., Barry, H.G., 2007, Congestive Heart Failure, Lippincot Williams and Wilkins :
USA.
Notoatmodjo, S., 2007, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Cetakan I, PT. Rineka Cipta,
Jakarta.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal
Jantung, edisi pertama, hal: 34.
WHO, 2013. Cardiovascular Disease (CVDs). Mei 22, 2013.
http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/HeartFailure/AboutHeartFailure/Classesof-
Heart-Failure_UCM_306328_Article.jsp , diakses pada 6 November 2016