Anda di halaman 1dari 27

Jurnal Hukum & Pembangunan Vol. 51 No.

2 (2021): 262-288
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)

NALAR MAZHAB SOSIOLOGIS DALAM PENEMUAN HUKUM YANG


BERKEADILAN OLEH HAKIM
Christiani Widowati*, Herliana**
* Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga
** Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Korespondensi: widowati@fh.unair.ac.id, herliana@mail.ugm.ac.id
Naskah dikirim: 12 Februari 2020
Naskah diterima untuk diterbitkan: 13 Mei 2020

Abstract
The issue of justice is a philosophical and contemporary issue. As a philosophical
study, justice is examined from several schools of thoughts within the philosophy of
law. This study focuses on the sociological jurisprudence discipline which basically
states that law as a social norm which is inseparable from the values prevailing in a
society because there is a close correlation between law and society. In relation to
judicial authority, the denotation of justice in the judge's decision is that it should be
in accordance with the law prevailing in the community. This research was conducted
through the statute approach method by collecting and analyzing laws and regulations
related to the focus of this study, complemented by a conceptual approach based on
the legal principles found in the laws and regulations and legal doctrines. Thus, it is
perceivable that the sociological jurisprudence is the synthesis of the dialectical
studies between normative and positivist views on the legal findings made by judges by
interpreting justice as an accord between judges' decisions and legal values living in
the society.
Keywords: Sociological jurisprudence, Legal Finding, Judge, Justice, Normative,
Legal Positivism.

Abstrak
Isu keadilan merupakan isu yang bersifat filosofis serta kontemporer. Sebagai suatu
kajian yang filosofis, keadilan ditelaah dari beberapa mazhab yang ada di dalam
filsafat hukum. Kajian ini akan memfokuskan diri pada mazhab sosiologis yang pada
dasarnya menyatakan bahwa hukum sebagai suatu norma sosial tidak dapat terlepas
dari nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat karena terdapat keterkaitan yang
erat antara hukum dan masyarakat. Dalam kaitannya dengan kekuasaan kehakiman,
maka makna keadilan dalam putusan hakim yaitu seharusnya sesuai dengan hukum
yang hidup di masyarakat. Melalui metode statute approach dengan mengumpulkan
dan menelaah peraturan perundang-undangan terkait dengan fokus kajian ini,
kemudian dilengkapi conceptual approach dengan beranjak pada prinsip-prinsip
hukum yang dapat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan maupun doktrin-
doktrin hukum, maka didapatkan pemahaman bahwa mazhab sosiologis merupakan
sinthesis dari kajian dialektis antara pandangan normatif dan pandangan positivis
terhadap penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim dengan memaknai keadilan
sebagai suatu kesesuaian antara putusan hakim dengan nilai-nilai hukum yang hidup di
masyarakat.

Kata Kunci: Mazhab Sosiologis, Penemuan Hukum, Hakim, Keadilan, Normatif,


Positivisme Hukum.

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id


DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol51.no2.3050
Nalar Mazhab Sosiologis, Christiani Widowati, Herliana 263

I. PENDAHULUAN

Hukum sebagai obyek kajian keilmuan ilmu hukum dapat dimaknai dari
beberapa perspektif atau aliran atau mazhab yang ada dalam tataran filsafat hukum,
begitu pula halnya dengan pemaknaan keadilan sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan
manakala dilakukan pembahasan tentang hukum, mengingat antara hukum dan
keadilan terdapat hubungan yang erat. Pemahaman ilmu hukum dalam arti sempit
adalah dogmatika hukum yang berkenaan dengan penyelesaian masalah hukum
konkrit sebagai bentuk pengembanan hukum praktis (legal problem solving), akan
tetapi ketika memahami ilmu hukum dalam arti luas maka meliputi meta teori yang
melandasi dogmatika hukum yaitu teori hukum dan filsafat hukum. Untuk semakin
memperjelas mengenai lapisan ilmu hukum, kiranya perlu disampaikan bagan lapisan
ilmu hukum dalam arti luas sebagaimana berikut:1

FILSAFAT HUKUM

meta – teori meta – teori

TEORI HUKUM
meta - teori

DOGMATIK HUKUM

teori teori teori

Hukum Positif

Pada dasarnya filsafat hukum mempelajari secara mendalam hakekat keberadaan


hukum dengan mempelajari manifestasi asas yang mendasarinya. Walaupun berada
dalam tataran yang abstrak, namun filsafat hukum membimbing kegiatan dogmatikus
hukum dalam melakukan kegiatan pengembanan hukum praktis, salah satunya adalah
kegiatan penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim ketika menghadapi perkara, di
mana hakim selalu dianggap sebagai sosok yang selalu mengetahui hukumnya
sehingga hakim secara prinsip tidak diperbolehkan menolak perkara dengan dalih
tidak mengetahui hukumnya. Dalam melakukan kegiatan penemuan hukum, terutama
di dalam pertimbangan hukum hakim, akan tercermin nalar filsafat hukum yang
digunakan hakim sehingga sampai pada suatu putusan hakim.
Dalam perbincangan filsafat hukum, akan nampak begitu banyak mazhab di
dalamnya yang mengkaji hukum dari perspektifnya masing-masing. Beberapa
diantaranya berseberangan, ada pula yang sejalan, atau bahkan membentuk sinthesis
diantara dua atau lebih mazhab yang ada. Pemahaman yang harus dimiliki sejak awal
ketika akan mengkaji hukum secara filosofis adalah, pada prinsipnya, tidak ada
monopoli kebenaran, karena kebenaran yang satu akan berdampingan dengan
kebenaran yang lain, yang boleh jadi hal ini akan memberikan tawaran bagi tiap-tiap
orang untuk melakukan pilihan dengan disertai dasar penalaran yang masuk akal tentu

1
Bernard Arief Sidharta, Alih Bahasa J. J. H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 172.
264 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021

saja. Di dalam kajian ini akan membatasi diri pada mazhab sosiologis (sociological
jurisprudence) sebagai landasan bagi hakim dalam melakukan kegiatan penemuan
hukum dalam kerangka menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana telah
diamanatkan di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Kesalahan awal yang kadang sering dijumpai adalah seringnya menyamakan
antara mazhab sosiologis dan sosiologi hukum yang justru di antara keduanya terdapat
perbedaan yang prinsip meskipun keduanya sama-sama menjadikan hukum sebagai
obyek kajiannya. Mazhab sosiologis merupakan salah satu mazhab atau aliran dari
ilmu hukum, sedangkan sosiologi hukum adalah cabang dari ilmu sosiologi. Sebagai
suatu ilmu yang mempelajari hubungan manusia satu dengan manusia lainnya di
dalam masyarakat, maka sosiologi tidak dapat menghindarkan diri untuk memasukkan
hukum sebagai obyek kajiannya, mengingat hukum merupakan suatu gejala sosial
yang selalu dijumpai di dalam masyarakat.
Ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan “Hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Kemudian di bagian penjelasan pasal yang
diberikan oleh Undang-Undang tersebut menyatakan “Ketentuan ini dimaksudkan agar
putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan
masyarakat.” Ketentuan ini telah mengarahkan hakim untuk menginterpretasikan
keadilan sebagai suatu kesesuaian dengan rasa keadilan yang hidup di masyarakat,
sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat keterkaitan yang erat antara hukum dan
masyarakat yang telah diamanatkan oleh ketentuan tersebut. Hal inilah yang
melatarbelakangi penulis untuk menyusun kajian ini, akan tetapi hal yang harus
diberikan penekanan bahwa penulisan ini merupakan penulisan hukum, sehingga lebih
menitikberatkan kajian pada mazhab sosiologis sebagai bagian dari kajian ilmu
hukum. Fokus telaah kajian ini adalah pemaknaan keadilan dalam kegiatan penemuan
hukum yang dilakukan oleh hakim dari perspektif mazhab sosiologis.
Kajian ini akan semakin memperdalam analisisnya dengan melakukan kajian
dialektis. Sebagai salah satu metode penalaran, maka kajian dialektis membandingkan
argumentasi baik pro maupun kontra, sehingga ada dua pihak yang berdialog ataupun
berdebat, yang bisa saja pada akhirnya tidak menemukan jawaban karena sama-sama
kuatnya.2 Akan tetapi dimungkinkan pula menghasilkan sinthesis dari suatu thesis dan
antithesis berupa sinergi antara dua hal yang diperdebatkan tersebut. Dalam penulisan
ini menggunakan metode penalaran dialektis dengan membandingkan antara falsafah
normatif dan falsafah positivisme hukum, di mana keduanya merupakan falsafah yang
saling bertolak belakang. Falsafah positivisme hukum merupakan reaksi sekaligus
kutub lawan dari falsafah normatif. Pembandingan diantara keduanya dilakukan
dengan cara mengkaji pokok-pokok pemikiran falsafah normatif sekaligus kritik yang
diajukan terhadapnya yang kemudian diperbandingkan dengan mengkaji pula pokok-
pokok pemikiran falsafah positivisme hukum berikut kritik yang ditujukan terhadap
falsafah positivisme, dari sini akan diformulasikan makna keadilan yang proporsional
untuk diterapkan pada kegiatan penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim ketika
menghadapi perkara yang ada. Uraian ini akan sampai pada suatu rumusan masalah
yang akan dianalisis dalam penulisan kajian ini yaitu apa makna keadilan sebagai
suatu output kegiatan penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim menurut mazhab
sosiologis.

2
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2005), hal. 18.
Nalar Mazhab Sosiologis, Christiani Widowati, Herliana 265

II. TINJAUAN PUSTAKA

Berdasarkan judul dalam kajian ini yaitu “Nalar Mazhab Sosiologis Dalam
Penemuan Hukum Yang Berkeadilan Oleh Hakim”, maka dalam tinjauan pustaka ini
akan dilakukan pengkajian terhadap beberapa hal sebagaimana berikut untuk semakin
memperjelas fokus telaah kajian ini.
2.1. Mazhab Sosiologis
Mazhab sosiologis (sociological jurisprudence) merupakan salah satu mazhab
yang dikenal dalam ilmu hukum. Aliran ini berpangkal pada pembedaan antara hukum
positif (ius positum) sebagai hukum yang dibuat dan atau ditetapkan oleh negara dan
hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law). Hukum positif hanya akan
efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat yang merupakan
cerminan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Hukum harus dipandang sebagai suatu
lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
sosial, dan merupakan tugas ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka yang
dapat memenuhi kebutuhan sosial secara maksimal. 3 Pada prinsipnya, mazhab
sosiologis memandang bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan
hukum yang hidup di dalam masyarakat, frasa “sesuai” berarti hukum itu
mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.4
Hakekat keberadaan hukum memang tidak dapat dilepaspisahkan dengan
manusia dalam konteks kemasyarakatan. Sebagaimana diketahui, manusia adalah
makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa manusia lainnya, hanya dengan hidup
bermasyarakat manusia dapat mempertahankan eksistensinya. Dalam hidup
bermasyarakat, manusia dapat memenuhi kepentingannya namun di sisi lain sekaligus
juga dalam hidup bermasyarakat berpotensi besar merusak, mengurangi, atau bahkan
merampas kepentingannya karena adanya kesamaan kepentingan antara manusia yang
satu dengan manusia yang lain sebagai sesama anggota masyarakat. Hal ini merupakan
dasar ontologis bagi keberdaan hukum yaitu untuk memberikan pengaturan dalam
kehidupan bermasyarakat yang dengan pengaturan tersebut maka akan memberikan
jaminan kontinuitas kehidupan bermasyarakat. Dalam memberikan pengaturan, hukum
memberikan perlindungan kepentingan tiap-tiap anggota masyarakat secara
proporsional sehingga terdapat perlindungan kepentingan bagi tiap-tiap anggota
masyarakat tersebut.
Itulah mengapa, perbincangan tentang mazhab sosiologis ini sangat menarik
karena mazhab ini menekankan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat mengingat hukum eksis karena
senyatanya untuk masyarakat. secara singkatnya, hukum seharusnya mengikuti
masyarakat dalam hal responsif terhadap dinamika di masyarakat sehingga
kepentingan masyarakat akan selalu terlindungi oleh hukum, bukan lantas dimaknai
secara keliru bahwa masyarakat mengikuti hukum.
2.2. Penemuan Hukum
Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat
hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada
peristiwa konkrit, lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses
konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das Sollen) yang bersifat umum

3
Muhammad Syukri Albani Nasution, et. al., Hukum Dalam Pendekatan Filsafat, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015), hal. 144.
4
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori Hukum, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2004), hal. 66.
266 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021

dengan mengingat akan persitiwa konkrit (das Sein) tertentu.5 Ketentuan pasal 10 ayat
1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan ”Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya” merupakan dasar kewenangan
hakim dalam melakukan penemuan hukum, di mana hakim tidak boleh menolak
perkara yang ada di hadapannya.
Jika dikaitkan dengan fokus telaah penulisan ini yaitu penerapan nalar mazhab
sosiologis, maka hakim melakukan penemuan hukum dalam memeriksa, mengadili,
dan memutus setiap perkara yang ada di hadapannya senantiasa menyesuaikan
putusannya dengan rasa keadilan di masyarakat. Merujuk pada ketentuan yang
terdapat di dalam peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum dalam
melakukan penemuan hukum oleh hakim adalah benar dan tepat, akan tetapi hal ini
harus diimbangi oleh hakim yang seharusnya peka terhadap perasaan keadilan
menurut masyarakat dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat
sebagai perwujudan rasa keadilan di masyarakat. Bahkan secara ekstrim, ketika hakim
menjumpai peraturan perundang-undangan telah mencederai rasa keadilan di
masyarakat, maka hakim dapat menerapkan asas ius contra legem dengan
mengabaikan peraturan perundang-undangan demi menegakkan keadilan. Hal ini
dilandasi oleh nalar filsafat yang pada prinsipnya memandang bahwa peraturan
perundang-undangan merupakan manifestasi dari asas-asas hukum yang ada yang
dalam hal ini adalah asas keadilan, sehingga peraturan perundang-undangan yang
tidak mencerminkan keadilan maka sejatinya itu bukanlah hukum melainkan hanya
kekuasaan yang dibungkus menyerupai hukum belaka yang boleh jadi peraturan
perundang-undangan tersebut memang memiliki keberlakuan hukum secara empiris
dan normatif saja tetapi tidak memiliki keberlakuan hukum secara evaluatif filosofis.
Sistem hukum Indonesia telah memberikan pengaturan mengenai penemuan
hukum oleh hakim yang diarahkan pada pentingnya untuk menggali nilai-nilai hukum
yang hidup di masyarakat dalam melakukan penemuan hukum yang menghasilkan
pada putusan hakim yang berkeadilan. Ketentuan ini terdapat di dalam Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Kemudian di bagian
penjelasan pasal yang diberikan oleh Undang-Undang tersebut menyatakan
“Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan
hukum dan rasa keadilan masyarakat.”
2.3. Hakim
Secara umum, pengertian hakim menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
orang yang mengadili perkara (dalam pengadilan atau mahkamah).6 Sedangkan hakim
dikonsepkan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman yaitu pada Pasal 1 angka 5 yang menyatakan bahwa “Hakim adalah hakim
pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan
khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.” Ketentuan ini kemudian
dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang ini yang menyatakan

5
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2009), hal.
37.
6
Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, 2016, <https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/hakim>, diakses tanggal 26 September
2019.
Nalar Mazhab Sosiologis, Christiani Widowati, Herliana 267

“Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud


dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Sehingga
hakim dimaknai termasuk juga hakim konstitusi. Lebih lanjut dapat pula dirujuk
ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 19 Undang-Undang ini yang menyatakan
“Hakim dan Hakim Konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang diatur dalam undang-undang.”
Memang benar adanya bahwa hakim sebagai organ negara akan menghasilkan
putusan yang dapat dikategorikan sebagai hukum positif yang merupakan terjemahan
bebas dari ius positum yaitu hukum yang dibuat dan atau ditetapkan oleh negara
sebagai pengemban kewenangan hukum yang berwenang yang dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan. 7 Jika demikian halnya, dapat dikatakan hakim
mengambil peran dalam mazhab positivisme hukum, di mana menurut mazhab ini
bahwa hukum hanyalah hukum produk negara. Akan tetapi dalam kajian mazhab
sosiologis, hakim dalam memberikan putusan seharusnya menyesuaikan dengan rasa
keadilan di masyarakat yang tercermin dalam nilai-nilai hukum yang ada di
masyarakat yang perlu digali untuk dijadikan rujukan dalam menyusun pertimbangan
hukum oleh hakim di dalam putusannya.
2.4. Keadilan
Keadilan merupakan suatu isu yang sifatnya filosofis yang perlu dikonkritkan
sehingga dapat aplikatif dalam tataran praktis. Selain itu, keadilan merupakan isu
kontemporer dalam pembahasan hukum karena keadilan merupakan suatu cita hukum
yang ingin selalu diimplementasikan dalam hukum. Upaya pengkonkritan keadilan
adalah dengan cara mengkonsepkan keadilan dan mewujudkannya dalam
pertimbangan hukum oleh hakim yang berujung pada suatu putusan, yang hal ini
merupakan hal yang tidak mudah, mengingat ada begitu banyak perspektif yang
digunakan sebagai titik anjak pengkonsepan tersebut. Ketika menemui kesulitan
mengkonsepkan keadilan maka perlu kiranya dirujuk mengenai prinsip dari keadilan
sebagaimana berikut,
The general principle of the idea of justice is that individuals are entitled in
respect of each other to a certain relative positon of equality or inequality. This is
something to be respected in the vicissitudes of social life when burdens or
benefits fall to be distributed; it is also something to be restored when it is
disturbed. Hence justice is traditionally thought of as maintaining or restoring a
balance or proportion, and its leading precept is often formulated as “treat like
cases alike” though we need to add to the latter “and treat different cases
differently”.8

Jadi prinsip utama dari keadilan bukanlah penyamarataan keadaan tapi justru
memperlakukan sesuatu secara proporsional sehingga terhadap hal yang sama
memang diperlakukan sama, akan tetapi terhadap hal yang berbeda juga harus
diperlakukan berbeda pula. Pemahaman ini hendaknya dimiliki oleh tiap-tiap manusia
sehingga antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya akan dapat saling
menghormati mengenai makna keadilan ini.
Tidak dapat dipungkiri, ketika memaknai hukum, maka pemaknaan tersebut
akan merujuk pada aturan-aturan hukum yang berlaku di suatu negara tertentu yang
wujudnya telah ditetapkan oleh negara yaitu hukum positif, namun hal ini akan
menjadi lain pemaknaannya jika dikaitkan dari sudut pandang masyarakat itu sendiri.
Masyarakat akan cenderung memaknai hukum sebagai suatu pengaturan yang adil

7
Bernard Arief Sidharta Alih Bahasa J. J. H. Bruggink, Op. Cit., hal. 92 dan 94.
8
Anthony D’amato, Analytic Jurisprudence Anthology, (Ohio: Anderson Publishing Co., 1996),
hal. 251-252.
268 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021

yang memberikan perlindungan bagi kepentingan tiap-tiap individu sebagai anggota


masyarakat. Jadi terdapat nilai (value) yang melampaui suatu aturan-aturan yang
ditetapkan oleh negara. Nilai inilah yang kemudian dimaknai sebagai suatu nilai
keadilan dalam konteks kemasyarakatan. 9 Jika beranjak pada pemikiran ini, maka
konsep keadilan tidak secara sempit meliputi apa yang tertuang di dalam peraturan
perundang-undangan belaka, melainkan perlindungan kepentingan manusia sebagai
anggota masyarakat dengan memberikan apa yang menjadi hak dan kewajibannya
secara proporsional.
2.5. Falsafah Normatif
Dalam pandangan normatif, hukum bukan hanya dimaknai sebagai peraturan
perundang-undangan semata. Menurut pandangan normatif, hukum harus didasarkan atas
moral sehingga apabila terdapat peraturan perundang-undang yang bertentangan dengan
moral, maka pada hakekatnya itu bukan merupakan hukum. Menurut pandangan
normatif, bila terjadi benturan antara asas hukum dengan aturan hukum, maka yang
harus didahulukan adalah asas hukum bukan aturan hukum karena asas hukum
merupakan praxis dari moral yang berisi rasa keadilan. Kepastian hukum hanya
merupakan sarana untuk memperoleh keadilan, di mana keadilan yang harus
didahulukan. 10 Falsafah normatif seringkali secara keliru dimaknai sama dengan
falsafah positivisme hukum, hal ini disebabkan pemaknaan norma secara sempit hanya
berupa peraturan perundang-undangan belaka. Justru di dalam falsafah normatif,
norma dimaknai secara luas sebagai pedoman bertingkah laku bagi tiap-tiap manusia
sebagai anggota masyarakat yang berupa pengkonkritan moral yang ditujukan untuk
mempertahankan keberlangsungan hidup bermasyarakat sebagai satu-satunya cara
manusia mempertahankan eksistensinya mengingat manusia adalah makhluk sosial
yang tidak bisa hidup tanpa hidup berdampingan dengan sesamanya dalam kehidupan
berkelompok yang disebut sebagai masyarakat.
Falsafah normatif menempatkan moral sebagai dasar dari hukum sekaligus
sebagai batu uji untuk menjustifikasi apakah sesuatu itu hukum ataukah bukan,
sehingga ketika peraturan perundang-undangan tidak mencerminkan moral maka
menurut falsafah ini, peraturan perundang-undangan tersebut bukanlah hukum.
Keadilan merupakan perwujudan dari moral, oleh karena itu pembahasan mengenai
keadilan tidak dapat dilepaspisahkan dengan pembahasan tentang moral. Secara
konseptual, moral adalah keseluruhan kaidah dan nilai berkenaan dengan perbuatan
baik manusia. 11 Dalam kaitannya dengan hukum, moral merupakan seperangkat
prinsip yang bersifat universal yang mendasari perintah atau larangan atau anjuran
untuk berbuat sesuatu sebagai landasan bagi terpeliharanya kelangsungan kehidupan
masyarakat manusia.12 Dapat dikatakan bahwa moral berkaitan dengan perbuatan baik
dari manusia yang satu dengan manusia yang lainnya yang ditujukan untuk membuat
suatu aturan hidup bermasyarakat yang harus dipatuhi oleh tiap-tiap anggota
masyarakat tersebut dalam kerangka mempertahankan keberlangsungan hidup
bermasyarakat sebagai satu-satunya cara bagi manusia untuk mempertahankan
eksistensinya, mengingat manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa

9
Christiani Widowati dan Indira Retno Aryatie, UU Kekuasaan Kehakiman Mensinergikan
Mazhab Positivisme Dan Mazhab Historis Dengan Menempatkan Hukum Adat Sebagai Sumber Hukum,
Hasil Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2017, hal. 19.
10
Peter Mahmud Marzuki, “Normatif Dan Positivistis”, Makalah Pleno, Konferensi Nasional
Ke-3 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia “Melampaui Perdebatan Positivisme Hukum Dan Teori
Hukum Kodrat” pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 25-27 Agustus 2013, hal. 13-
14.
11
Bernard Arief Sidharta Alih Bahasa J. J. H. Bruggink, Op. Cit., hal. 223.
12
Peter Mahmud Marzuki, Handout Perkuliahan Pengantar Filsafat Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Airlangga Surabaya, 2019.
Nalar Mazhab Sosiologis, Christiani Widowati, Herliana 269

manusia lainnya. Uraian ini telah membumikan makna dari moral dengan
mengkaitkannya dengan manusia dalam konteks kemasyarakatan, hal ini
berkesesuaian dengan fokus kajian ini.
2.6. Falsafah Positivisme Hukum
Secara umum, positivisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa setiap
metodologi untuk menemukan kebenaran harus memperlakukan realitas sebagai
sesuatu yang eksis sebagai sesuatu obyek yang harus dipisahkan dari segala macam
prakonsepsi metafisis yang subyektif sifatnya. Penerapan positivisme dalam hukum
berupa dilepaskannya pemikiran metayuridis mengenai hukum, sehingga eksistensi
setiap norma hukum ditentukan oleh keberadaannya secara obyektif sebagai norma-
norma positif yang merupakan manifestasi kesepakatan kontraktual yang konkrit di
antara warga masyarakat atau melalui wakil-wakilnya. Hukum tidak dikonsepsikan
sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak mengenai hakikat keadilan,
melainkan semata untuk menjamin kepastian tentang apa yang hukum dan bukan
hukum. 13 Positivisme hukum menganut teori kebenaran empiris di mana sesuatu
dinyatakan benar hanya jika berkesesuaian dengan kenyataan empiris yang dapat
diobservasi demi adanya suatu obyektivitas, itulah mengapa menurut pandangan ini,
hukum adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat dan atau ditetapkan oleh
negara. Di luar peraturan perundang-undangan pada prinsipnya bukanlah hukum
sehingga tidak memiliki akibat hukum, adapun pengakuan sumber hukum di luar
peraturan perundang-undangan hanya dimungkinkan ketika sumber hukum tersebut
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum yang diakui
keberadaannya oleh falsafah ini hendaknya mengakomodir nilai-nilai hukum yang
hidup di masyarakat sehingga di satu sisi akan memberikan perlindungan kepentingan
tiap-tiap anggota masyarakat, sedangkan di sisi lain tingkat kepatuhan masyarakat
dapat dimaksimalkan mengingat substansi dari peraturan perundang-undangan
tersebut merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri karena bersumber dari apa yang
dirasakan adil bagi masyarakat dalam wujud nilai-nilai hukum yang ada di masyarakat.
Begitu pula halnya, putusan hakim yang merupakan bagian dari hukum positif yang
merupakan produk dari penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim seharusnya
bersumber tidak hanya dari peraturan perundang-undangan belaka, melainkan pula
juga senantiasa menyesuaikan dengan nilai-nilai hukum yang ada di masyarakat
sehingga tercapailah apa yang dirasakan adil oleh masyarakat tersebut.

III. PEMBAHASAN

3.1. Penemuan Hukum Yang Berkeadilan Oleh Hakim


Penemuan hukum merupakan salah satu bentuk pengembanan hukum praktis
karena menetapkan apa hukumnya yang seharusnya berlaku bagi suatu situasi yaitu
memilih norma hukum dan maknanya yang paling tepat dari berbagai kemungkinan
norma hukum yang terkait dalam hubungan dengan situasi kemasyarakatan yang
bersangkutan. Pengajuan alasan atau argumen untuk secara rasional mendukung apa
yang dipandangnya sebagai fakta relevan dan norma hukum serta maknanya yang
paling tepat dalam proses pemilihan, sehingga kegiatan pengembanan ilmu hukum
berintikan argumentasi, yakni argumentasi yuridis atau penalaran hukum (legal

13
A. Mukthie Fadjar, Teori-Teori Hukum Kontemporer: Edisi Revisi, (Malang: Setara Press,
2014), hal. 9.
270 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021

reasoning).14 Hal ini sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi “Dalam
memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan
putusan yang dibuatnya”, ketentuan ini semakin dilengkapi di ayat (2) yang berbunyi
“Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat
pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat
dan benar.”
Penemuan hukum berkaitan dengan norma hukum yang terdapat dalam suatu
aturan hukum, yang dibutuhkan karena konsep norma yang terbuka (open texture) dan
norma yang kabur (vague norm). Dalam menghadapi suatu masalah hukum tertentu,
boleh jadi terdapat dua atau lebih aturan hukum yang secara bersama-sama diterapkan
pada masalah hukum tersebut. 15 Hakim melalui pertimbangan hukumnya harus
melakukan pemilihan solusi yang tepat dalam memecahkan masalah hukum tersebut
(legal problem solving) yang tentu saja harus disertai dengan argumentasi yang tepat.
Di dalam pertimbangan hukum hakim yang melandasi putusan hakim akan
tercermin nalar filsafat yang melandasi pertimbangan hakim. Terdapat filsafat hukum
yang melatari dan menjadi inti dari adanya putusan hakim yaitu keadilan. Filsafat dan
inti hukum tersebut yang seharusnya dijadikan pegangan oleh semua hakim dalam
proses pembuatan dan pengambilan putusan, tidak hanya sebatas teks-teks hukum
yang normatif dan tekstual semata. 16 Keadilan sebagai suatu cita hukum yang
melandasi sistem norma hukum sebagai norma mendasar merupakan suatu hal yang
bersifat abstrak sehingga dalam tataran praktis, keadilan sebagai suatu asas perlu
dikonkritkan dalam suatu norma hukum dan aturan hukum. Konsekuensi logis
yuridisnya, jika suatu norma hukum dan aturan hukum secara substansial bertentangan
dengan keadilan maka norma hukum dan aturan hukum tersebut tidak memiliki
keberlakuan normatif dan evaluatif.
Pembahasan tentang keadilan hukum hendaknya senantiasa diarahkan pada
pembahasan keadilan dalam arti materiil yaitu isi hukum harus adil, maknanya adalah
untuk mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang adil sehingga suatu hukum yang
tidak adil bukan hukum. Persoalan utamanya bukanlah pertanyaan etis tentang apa
kriteria obyektif keadilan, melainkan apa yang oleh masyarakat dianggap adil,
sehingga tuntutan keadilan dapat diterjemahkan ke dalam tuntutan bahwa hukum harus
sesuai mungkin dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat yang bersangkutan.
Masyarakat tidak menilai menurut prinsip-prinsip abstrak, melainkan menuntut apa
yang dalam situasi konkrit dirasa adil. 17 Hal ini dapat dikaitkan dengan ketentuan
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyatakan “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.” Kemudian di bagian penjelasan pasal yang diberikan oleh Undang-
Undang tersebut menyatakan “Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan
hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.” Ketentuan ini
mengarahkan hakim untuk menginterpretasikan keadilan sebagai suatu kesesuaian
dengan rasa keadilan yang hidup di masyarakat.

14
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian Tentang
Fundasi Kefilsafatan Dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum
Nasional Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 162.
15
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Op. Cit., hal. 31.
16
Ahmad Zaenal Fanani, Berfilsafat Dalam Putusan Hakim (Teori Dan Praktik), (Bandung:
Mandar Maju, 2014), hal 31.
17
Arbijoto, Kebebasan Hakim: Analisis Kritis Terhadap Peran Hakim Dalam Menjalankan
Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Diadit Media, 2010), hal. 56-57.
Nalar Mazhab Sosiologis, Christiani Widowati, Herliana 271

Sebagai penganut civil law system, sistem hukum Indonesia telah menempatkan
peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum yang utama dalam segala
bentuk pengembanan hukum praktis yang ada, termasuk di dalamnya adalah
penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim. Penempatan peraturan perundang-
undangan sebagai sumber hukum yang utama ini memiliki kelebihan dalam memenuhi
tujuan kepastian hukum, namun juga memiliki kelemahan karena sifatnya akan
menjadi tidak fleksibel, kaku dan statis. Hal ini disebabkan peraturan perundang-
undangan sebagai aturan hukum tertulis di mana penuangan norma-norma hukum
dalam bentuk tulisan adalah pembatasan dalam konteks materiil dan pembatasan
dalam konteks waktu seperti halnya value consciousness masyarakat ke dalam suatu
peraturan perundang-undangan secara logis akan membawa kepada konsekuensi
ketertinggalan secara substansial atas bahan pembentuknya berupa nilai-nilai
masyarakat.18 Civil law system ini dipengaruhi oleh falsafah positivisme hukum.
Positivisme hukum menghendaki dilepaskannya pemikiran metayuridis
mengenai hukum, sebagaimana dianut pemikir hukum kodrat, karena itu, setiap norma
hukum harus eksis dalam alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif,
ditegaskan sebagai wujud kesepakatan kontraktual yang konkrit antara warga
masyarakat melalui wakil-wakilnya. Hukum tidak lagi dikonsepsi sebagai asas moral
metayuridis yang abstrak tentang hakekat keadilan, melainkan ius yang telah
mengalami positivisasi sebagai lege atau lex.19 Dari sini terlihat bahwa makna hukum
telah direduksi menjadi hanya semata peraturan perundang-undangan belaka atas
nama obyektivitas. Ketegasan positivisme hukum untuk menghilangkan persyaratan
koneksitas antara hukum dan moral membuat ranah aksiologis aliran ini hanya terbatas
pada pencapaian kepastian hukum, yang berintikan prediktabilitas, yakni kemampuan
mempersepsikan “an individual ought to behave in a certain way.” 20 Pandangan
positivisme hukum berpegang teguh pada pemahaman bahwa antara hukum dan moral
harus diadakan pembedaan, yang sesungguhnya hal ini berkenaan dengan suatu
pembedaan pada tataran teoretik yang abstrak, dan pembedaan tersebut berkaitan
dengan model ilmu dalam pandangan yang bersangkutan. Para kaum positivis akan
tidak menyangkal bahwa dalam kehidupan sehari-hari, hukum dan moral sulit untuk
dipisahkan. Mereka bertolak dari suatu pemisahan secara tajam antara keduanya untuk
sampai pada suatu batasan pengertian yang jelas tentang kaidah hukum.21
Sebagai suatu falsafah yang melandasi hukum dalam tataran praktis, falsafah
positivisme hukum mengkonsepkan hukum dengan menampilkan sosok hukum yang
obyektif dan tersedia dalam pemaknaan yang disampaikan melalui penuangan dalam
bentuk tulisan-tulisan di peraturan perundang-undangan sebagai obyek yang
independen. Hukum juga merupakan closed logical system, yang berarti peraturan
dapat dideduksikan dari peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa perlu
meminta bimbingan dari norma sosial, politik dan moral.22 Obyektivitas hukum yang
dibangun oleh positivisme hukum ini berkaitan erat dengan teori kebenaran
korespondensi yaitu sesuatu hal dinyatakan benar jika dan hanya jika berkesesuaian
dengan fakta empiris yang dapat diobservasi secara kasat mata, selain itu menurut
pandangan ini, peraturan perundang-undangan ditempatkan pada posisi yang istimewa
sebagai sumber hukum sehingga dari dalamnya dapat diketemukan pengaturan
18
Ahmad Zaenal Fanani, Op. Cit., hal 32-33.
19
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka
Kembali, (Bandung: Refika Aditama, 2015), hal. 80.
20
Shidarta, Hukum Penalaran Dan Penalaran Hukum: Buku 1 Akar Filosofis, (Yogyakarta:
Genta Publishing, 2013), hal. 200.
21
Bernard Arief Sidharta, Alih Bahasa J. J. H. Bruggink, Op. Cit., hal. 233.
22
Aditya Yuli Sulistyawan, Mempersoalkan Objektivitas Hukum: Suatu Perbincangan Filsafat
Hukum, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 41, Nomor 4, Oktober 2012, 505-512, hal. 508.
272 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021

terhadap segala hubungan-hubungan hukum yang ada di masyarakat yang hal ini
dipisahkan dengan moral yang dinilai subyektif dalam kerangka menjunjung tinggi
obyektivitas tersebut.
Menurut pola pikir positivisme hukum, maka hukum tidak bersifat abstrak,
tetapi hukum harus mempunyai konstruksi tertentu yang konkrit. Konkritisasi dan
konstrukturisasi tersebut harus ditunjukkan dengan suatu bentuk hukum tertulis,
selanjutnya diskursus tersebut akhirnya menjadi cikal bakal rumusan konsep tradisi
pengembangan sistem hukum modern yang dipakai di dunia, termasuk Indonesia,
hingga kini. 23 Civil law system yang dianut oleh sistem hukum Indonesia dengan
menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum yang utama serta
kecenderungan untuk menuliskan dalam artian mengkodifikasi aturan hukum,
dipengaruhi oleh pandangan positivisme hukum ini, sebagai wujud konkritisasi
sekaligus konstrukturisasi hukum dikaitkan dengan tujuan keberadaan hukum sebagai
pedoman bertingkah laku bagi tiap-tiap individu dalam konteks kemasyarakatan.
Hukum yang pada umumnya dimaknai dengan menyamakan artinya dengan moral
keadilan, akan tetapi tidak demikian halnya bagi para ahli hukum yang merupakan
kaum legis. Kaum legis (lege: Undang-Undang) yang juga disebut kaum positivis atau
kaum formalis ini mengartikan hukum dalam artinya yang khusus yaitu peraturan
perundang-undangan yang merupakan produk badan legislatif yang berlegitimasi
nasional.24
Jika beranjak pada pemikiran tersebut, terlihat bahwa falsafah positivisme
hukum telah menempatkan kepastian hukum sebagai tujuan hukum yang melampaui
keadilan. Supremasi hukum yang selama ini diidentikkan dengan kepastian hukum
sehingga mengkultuskan peraturan perundang-undangan menjadi titik awal timbulnya
masalah penegakan hukum. Peraturan perundang-undangan memang harus
ditempatkan sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan karena merupakan manifestasi
konsensus sosial, namun konsensus tersebut adalah sebuah momentum sesaat yang
tidak mampu mengikuti arah gerak keadilan yang terus bergerak mengikuti waktu dan
ruang. Konsensus tersebut sifatnya hanya sementara dan bukan permanen, sebab rasa
keadilan akan bergerak cepat mengimbangi suksesi ritme dan ruang.25 Menyikapi hal
ini, hendaknya diarahkan untuk menempatkan kepastian hukum sebagai sarana untuk
mewujudkan keadilan, maknanya adalah ketika peraturan perundang-undangan
senyatanya tidak lagi mencerminkan keadilan maka kepastian hukum harus
dikorbankan demi menegakkan keadilan. Uraian ini akan sampai pada pemahaman
bahwa tujuan utama yang dituju oleh falsafah positivisme hukum bukanlah keadilan
sebagai wujud konkrit dari moral, melainkan kepastian hukum, karena falsafah
positivisme hukum mengutamakan hal yang sifatnya jelas dan pasti di atas segalanya
dengan alasan bahwa hanya hal yang bersifat pasti saja yang dapat dijadikan ukuran
kebenaran. Pada akhirnya, apa yang adil tidaklah diukur dari seberapa mampukah
masyarakat merasakannya sebagai suatu hal yang sesuai dengan rasa keadilan mereka,
melainkan seberapa sesuaikah putusan hakim yang ada dengan bunyi aturan dalam
peraturan perundang-undanga26 Jikalaupun konsep keadilan ingin dicoba dimunculkan
dalam perspektif positivisme hukum, maka keadilan akan dikonsepkan sebagai
kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan (legal justice).
23
Ami Rizal, Kajian Kritis Tentang Cita Keadilan: Suatu Pendekatan Filosofi Hukum Terhadap
Penegakan Hukum Dalam Konteks Positivisme Yuridis, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2, Nomor 1,
Tahun 2015, 126-144, hal. 133.
24
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Konsep Dan Metode, (Malang: Setara Press, 2013), hal.
25.
25
Sukarno Aburaera, et. al., Filsafat Hukum: Teori Dan Praktik, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2013), hal. 178-179.
26
Ahmad Zaenal Fanani, Op. Cit., hal. 33.
Nalar Mazhab Sosiologis, Christiani Widowati, Herliana 273

Pembahasan hubungan antinomi antara kepastian hukum dan keadilan bukanlah


sesuatu hal yang baru sebagai topik perbincangan filsafat hukum karena isu ini akan
selalu muncul ketika membahas mengenai keadilan. Dalam menghadapi antinomi
tersebut, peran hakim sangat penting, di mana hakim harus mampu untuk melakukan
pilihan mana yang harus dikorbankan, kepastian hukum ataukah keadilan, dengan
menjadikan moral sebagai acuan. Jika kepastian hukum yang dikedepankan, penerap
hukum harus pandai-pandai memberikan interpretasi terhadap peraturan perundang-
undangan yang ada, agar tidak terjadi lex dura sed tamen scripta (Undang-Undang
memang keras, tetapi mau tidak mau memang demikian bunyinya). 27 Interpretasi
merupakan salah satu metode teknis dalam melakukan penemuan hukum yang
dilakukan oleh hakim yang beranjak pada peraturan perundang-undangan yang ada
(based on rules) yang kemudian diperjelas makna yang ada di dalamnya sehingga
dapat diterapkan sebagai pemecahan masalah hukum yang ada (legal problem
solving). Secara lebih jelas berikut di bawah ini adalah tabel terkait dengan metode
interpretasi hukum yang dilakukan oleh hakim dalam melakukan penemuan hukum.28
No. Nama Interpretasi Hukum Keterangan
1. Gramatikal (objektif) Penafsiran menurut bahasa, antara lain
dengan melihat definisi leksikalnya. Contoh:
istilah “menggelapkan barang” (Pasal 41
KUHP) diartikan sebagai “menghilangkan
atau mencuri barang yang dipercayakan
kepadanya.”
2. Otentik Penafsiran menurut batasan yang
dicantumkan dalam peraturan itu sendirinya,
yang biasanya diletakkan dalam bagian
penjelasan (memorie van toelichting),
rumusan ketentuan umumnya, maupun dalam
salah satu rumusan pasal lainnya. Contoh:
semua kata “penyidik” yang ada dalam
KUHAP harus ditafsirkan sesuai dengan
bunyi Pasal 1 KUHAP tersebut, yaitu pejabat
polisi negara Republik Indonesia atau pejabat
pegawai negeri sipil yang diberi wewenang
khusus oleh Undang-Undang untuk
melakukan penyidikan.
3. Teleologis (Sosiologis) Penafsiran berdasarkan tujuan
kemasyarakatan. Contoh: Pasal 534 KUHP
tentang tindakan mempertunjukkan alat
mencegah kehamilan mengalamai
dekriminalisasi demi tujuan sosiologis
(sejalan dengan Program Keluarga
Berencana).
4. Sistematis (logis) Penafsiran yang mengaitkan suatu peraturan
dengan peraturan lainnya. Contoh: ketentuan
tentang pengakuan anak dalam KUHPerdata
ditafsirkan sejalan dengan ketentuan Pasal
278 KUHP.

27
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum: Edisi Revisi, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2015), hal. 139-140.
28
Shidarta, Op. Cit., hal. 169.
274 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021

5. Historis (subyektif) Penafsiran dengan menyimak latar belakang


sejarah hukum atau sejarah perumusan suatu
ketentuan tertentu (sejarah Undang-Undang).
Contoh: kata “Indonesia asli” dalam Pasal 6
UUD 1945 (sebelum perubahan III)
ditafsirkan menurut pemikiran yang muncul
dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI
tahun 1945.
6. Komparatif Penafsiran dengan cara memperbandingkan
peraturan pada suatu sistem hukum dengan
peraturan yang ada pada sistem hukum
lainnya. Contoh: syarat-syarat “gugatan
kelompok” dalam Pasal 46 UU Perlindungan
Konsumen ditafsirkan dengan
memperbandingkannya dengan syarat-syarat
class action menurut Pasl 23 US Federal Rule
of Civil Procedure.
7. Futuristis (antisipatif) Penafsiran dengan mengacu kepada rumusan
dalam rancangan Undang-Undang atau
rumusan yang dicita-citakan (ius
constituendum). Contoh: rumusan delik
“pencurian” atas informasi elektronik via
internet ditetapkan dengan berpedoman pada
rumusan dalam RUU Teknologi Informasi
(yang belum secara formal berlaku sebagai
sumber hukum).
8. Restriktif Penafsiran dengan membatasi cakupan suatu
ketentuan. Contoh: istilah “tetangga” dalam
Pasal 666 KUHPerdata harus berstatus
pemilik rumah di sebelah tempat tinggal
seseorang.
9. Ekstensif Penafsiran dengan memperluas cakupan suatu
ketentuan. Contoh: istilah “tetangga” dalam
Pasal 666 KUHPerdata ditafsirkan tidak harus
si pemilik, tetapi juga mereka yang berstatus
penyewa dari rumah di sebelah tempat tinggal
seseorang.

Lebih lanjut, perdebatan filosofis yang kontemporer antara kepastian hukum dan
keadilan ini kiranya dapat dijelaskan dengan:
Membandingkan hubungan antara kedua arti hukum, yakni hukum yang pasti dan
hukum yang adil, dengan hubungan antara badan dan jiwa. Memang jelas bahwa
badan tanpa jiwa tidak ada artinya, di lain pihak benar juga bahwa jiwa tidak
dapat berdikari. Jiwa hanya dapat hidup bila bersatu dengan badan untuk bersama-
sama membentuk manusia, namun persatuan yang erat antara badan dan jiwa
tidak menyebabkan bahwa kedua bagian ini dapat disamakan sehingga tidak
berbeda lagi. Baik badan maupun jiwa, menunjuk suatu segi yang lain dalam
hidup manusia. Seperti badan dan jiwa bersatu dalam manusia demikian pula
peraturan-peraturan dan prinsip-prinsip keadilan bersatu dalam hukum yuridis,
yakni hukum positif yang benar. Namun seperti badan dan jiwa tidak pernah
menjadi satu, demikian juga peraturan-peraturan dan prinsip-prinsip keadilan
Nalar Mazhab Sosiologis, Christiani Widowati, Herliana 275

tidak pernah menjadi satu. Betapa besar juga usaha untuk mewujudkan suatu
hukum positif yang benar hasilnya tidak pernah akan sempurna. Tetap akan ada
dualisme antara norma-norma keadilan dan hukum yang diciptakan manusia
sebagai hukum positif.29
Hubungan antinomi yang kontemporer inilah yang mencoba disinergikan dan
disinthesiskan oleh mazhab sosiologis. Melalui kajian dialektis sebagai metode
penalaran yang mengkaji sekaligus dua pemikiran yang bertolakbelakang yaitu
falsafah normatif dan falsafah positivisme hukum, didapatkan pemahaman keberadaan
mazhab sosiologis sebagai sinthesis diantara kedua falsafah tersebut. Dalam falsafah
positivisme hukum, dinyatakan bahwa satu-satunya yang diakui keberadaannya
sebagai hukum adalah hukum positif yaitu hukum yang dibuat dan atau ditetapkan
oleh negara dalam kerangka menjamin kepastian hukum. Tujuan hukum berupa
kepastian hukum ini melampaui keadilan sebagai perwujudan moral itu sendiri.
Sedangkan di dalam falsafah normatif, hukum merupakan manifestasi dari keadilan
sebagai perwujudan dari moral berupa keinginan manusia untuk berbuat baik kepada
manusia lainnya yang diwujudkan dengan membuat aturan hidup bersama dalam
kehidupan bermasyarakat dalam rangka mempertahankan kontinuitas kehidupan
bermasyarakat tersebut. Mazhab sosiologis telah mensinergikan kedua falsafah
tersebut dengan mengkonsepkan hukum sebagai produk negara, sehingga disebut
sebagai hukum positif, yang di dalamnya mengandung nilai moral berupa kesesuaian
hukum dengan rasa keadilan yang ada di masyarakat sehingga menurut mazhab ini,
formulasi hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai hukum yang
ada di masyarakat yang dalam tataran praktisnya adalah hukum mampu memberikan
perlindungan kepentingan tiap-tiap anggota masyarakat secara proporsional. Alokasi
kepentingan masyarakat secara proporsional inilah yang disebut sebagai keadilan.
Hakim sebagai instrumen utama pelaksanaan kekuasaan kehakiman sekaligus
sebagai tumpuan harapan masyarakat untuk memperoleh keadilan, hendaknya
menginsyafi peran besarnya ini dengan senantiasa peka terhadap nilai-nilai hukum
yang ada di masyarakat dalam setiap menyusun pertimbangan hukum putusannya.
Bahkan dapat dikatakan di dalam putusan hakim akan tercermin moralitas hakim yang
bersangkutan. Hakim sebagai organ negara hendaknya tidak terjebak dalam kekakuan
peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga ketika peraturan perundang-
undangan senyatanya tidak memberikan keadilan berupa perlindungan kepentingan
masyarakat, maka hakim seharusnya berani melakukan terobosan hukum berupa
pelenturan atau bahkan pengabaian peraturan perundang-undangan untuk kemudian
memutus sendiri dengan berdasarkan keadilan sebagai asas hukum yang sejatinya
melandasi peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam kerangka untuk
menegakkan sekaligus mewujudkan konsep keadilan, maka hakim dalam melakukan
penemuan hukum untuk menyelesaikan perkara yang terjadi di masyarakat
menggunakan metode berpikir yuridis yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a)
Argumentasi (penalaran hukum) yaitu berusaha mewujudkan konsistensi dalam
aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dasar pemikirannya adalah
keyakinan bahwa hukum harus berlaku sama bagi semua orang; b) Dalam penalaran
hukum terjadi penalaran dialektikal, yakni menimbang-nimbang klaim yang
berlawanan, baik perdebatan pada pembentukan undang-undang maupun dalam proses
pertimbangan pandangan dan fakta yang diajukan para pihak dalam proses peradilan.
30

29
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hal.
277-278.
30
Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2017), hal. 146.
276 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021

Untuk semakin memperjelas peran besar hakim dalam penemuan hukum untuk
menegakkan keadilan dengan memberikan perlindungan kepentingan masyarakat
dalam kerangka menyesuaikan putusan hakim dengan rasa keadilan di masyarakat,
maka akan dikemukakan putusan hakim berupa putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 3199K/Pdt/1986. Putusan ini mengenai sengketa hukum waris adat
Minahasa yang terkait dengan adanya Baku Piara sebagai lembaga hukum perkawinan
adat yang masih diakui pada masyarakat Minahasa. Berikut di bawah ini adalah
ringkasan perkaranya secara singkat:
a) Kristina Ganap Aling merupakan istri sah dari almarhum Hermanus Ganap
yang memiliki 7 orang anak yaitu Juliana H. Ganap, Rodi Netty H. Ganap,
Antonius H. Ganap (telah meninggal dunia), Boie Marie H. Ganap (telah
meninggal dunia), Adolfina Mientje H. Ganap, Sipora H. Ganap, dan Julien H.
Ganap; b) Selama perkawinan berlangsung antara Kristina Ganap Aling dan
almarhum Hermanus Ganap terdapat beberapa harta bersama, yang salah satunya
adalah berupa sebidang tanah beserta tanaman di atasnya yang dibeli oleh
almarhum Hermanus Ganap yang merupakan obyek sengketa; c) Ketika masa
perkawinan tersebut, almarhum Hermanus Ganap telah hidup bersama dengan
Martensi Harimisa secara Baku Piara dan mempunyai seorang anak; d) Tanpa ada
pemberitahuan terlebih dahulu, Martensi Harimisa telah mendirikan rumah semi
permanen di atas tanah sengketa sehingga merugikan Kristina Ganap Aling dan
anak-anaknya; e) Pada tingkat Pengadilan Negeri, putusan dimenangkan oleh
Martensi Harimisa. Sedangkan di tingkat banding di Pengadilan Tinggi
dimenangkan oleh pihak Kristina Ganap Aling dengan membatalkan putusan
Pengadilan Negeri; f) Hingga sampailah pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung
yang akhirnya dimenangkan oleh Martensi Harimisa dengan pertimbangan bahwa
adanya hukum adat Baku Piara yang berlaku di Minahasa. Hubungan Baku Piara
diakui oleh hukum adat Minahasa sebagai lembaga hukum perkawinan adatnya,
dan menyatakan bahwa tanah sengketa adalah harta sekutu antara almarhum
Hermanus Ganap dan Kristina Ganap Aling sekaligus juga harta sekutu antara
almarhum Hermanus Ganap dan Martensi Harimisa walaupun mereka berdua
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dianggap
tidak kawin.31
Hakim telah mengakomodir hubungan Baku Piara sebagai lembaga hukum
perkawinan adat Minahasa yang senyatanya masih diakui di dalam kehidupan
bermasyarakat, sehingga pasangan Baku Piara almarhum Hermanus Ganap yaitu
Martensi Harimisa diakui sah secara adat, yang kemudian secara argumentum per
analogiam (analogi) Baku Piara telah dianalogikan sebagai perkawinan yang sah.
Majelis hakim juga memutuskan untuk menjadikan obyek sengketa sebagai harta
bersama antara almarhum Hermanus Ganap dan Kristina Ganap Aling sekaligus juga
merupakan harta bersama antara almarhum Hermanus Ganap dan Martensi Harimisa.
Sehingga Martensi Harimisa dan anak yang dilahirkan pada hubungan Baku Piara
tersebut ikut berhak dan menjadi ahli waris terhadap harta almarhum Hermanus Ganap
yang menjadi obyek sengketa tersebut.32 Putusan ini telah memberikan perlindungan
kepentingan pasangan Baku Piara dan anak yang dilahirkan di dalam hubungan
tersebut. Hakim telah memperluas wilayah penerapan ketentuan Pasal 1 Undang-

31
Aulia Chandra dan Christiani Widowati, Model Konstruksi Hukum Dalam Yurisprudensi
(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 3199K/Pdt/1986), Hasil Penelitian, Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, Surabaya, 2006, hal. 16-19.
32
Christiani Widowati, Model Konstruksi Hukum Yurisprudensi Baku Piara Sebagai
Perkawinan Adat Masyarakat Minahasa, Jurnal Spektrum Hukum, Volume 13, Nomor 2, Oktober
2016, 71-84, hal. 83.
Nalar Mazhab Sosiologis, Christiani Widowati, Herliana 277

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan “Perkawinan


adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Lebih lanjut, pada Pasal 2 ayat (1)
menyatakan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya itu”, serta di ayat (2) menyatakan “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” dengan
melakukan konstruksi hukum berupa argumentum per analogiam dengan
menganalogikan Baku Piara dengan perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tersebut.
Dari uraian di atas didapatkan pemahaman bahwa penemuan hukum yang
dilakukan oleh hakim yang berujung pada suatu putusan diarahkan untuk menegakkan
hukum dan keadilan sebagaimana telah diamanatkan di dalam ketentuan Pasal 1 angka
1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyatakan “Kekuasaan Kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia.” Hukum tidak hanya dimakna sebagai hukum tertulis yang
dituangkan di dalam peraturan perundang-undangan belaka, melainkan juga meliputi
hukum tidak tertulis yang hidup di masyarakat meskipun tidak dituangkan di dalam
peraturan perundang-undangan. Itulah mengapa di dalam melakukan kegiatan
penemuan hukum, hakim tidak hanya merujuk pada peraturan perundang-undangan
saja, tetapi juga merujuk pada hukum tidak tertulis sebagaimana diatur di dalam
ketentuan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “Putusan pengadilan selain harus memuat
alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar
untuk mengadili”.
Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, bahwa pelaksanaan kekuasaan
kehakiman oleh hakim yang terwujud dalam kegiatan penemuan hukum selain
ditujukan untuk menegakkan hukum, juga untuk menegakkan keadilan. Secara prinsip,
keadilan tidak dapat dimaknai sebagai penyamarataan melainkan proporsionalitas
dalam memberikan perlindungan kepentingan tiap-tiap anggota masyarakat dengan
memberikan kepada tiap-tiap orang hak dan kewajibannya secara proporsional. Jika
dikaitkan dengan fokus kajian ini, maka keadilan akan senantiasa disesuaikan dengan
rasa keadilan di masyarakat berupa nilai-nilai hukum yang ada di masyarakat.
Memang benar adanya, rujukan bagi hakim dalam melakukan penemuan hukum
adalah sumber hukum tertulis berupa peraturan perundang-undangan yang ada, akan
tetapi hal ini tidak dapat dimaknai bahwa hakim menjadi positivistik dengan hanya
terpaku pada ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan, melainkan juga harus
memegang teguh prinsip bahwa hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan
nilai-nilai hukum yang ada di masyarakat termasuk di dalamnya nilai keadilan di
masyarakat. Jika peraturan perundang-undangan sudah mengakomodir nilai-nilai
hukum di masyarakat maka hakim menerapkan peraturan perundang-undangan yang
ada untuk memecahkan perkara yang ada. Secara a contrario, jika peraturan
perundang-undangan justru mencederai rasa keadilan di masyarakat, maka hakim
seharusnya berani untuk mengesampingkan peraturan perundang-undangan dan
memutus sendiri berdasarkan keadilan dengan memberikan perlindungan hukum bagi
kepentingan masyarakat.
3.2. Mazhab Sosiologis Sebagai Sinthesis Falsafah Normatif Dan Falsafah
Positivisme Hukum
278 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021

Mazhab sosiologis (sociological jurisprudence) adalah mazhab atau aliran


pemikiran dalam filsafat hukum sebagai model penalaran yang lahir dalam sistem
hukum Anglo-American dalam rumpun common law system, di mana model penalaran
ini telah banyak dimodifikasi ketika sistem hukum negara lain mencoba
mengakomodasikannya. Orientasi berpikir yuridis mazhab ini dipelopori oleh Roscoe
Pound, di mana aspek ontologisnya adalah mengidentifikasi hukum sebagai putusan
hakim in-concreto dan hukum adalah judge-made-law. 33 Mazhab sosiologis ini
seringkali dipersamakan dengan sosiologi hukum mengingat keduanya sama-sama
menempatkan hukum sebagai obyek kajiannya yang dikaitkan dengan masyarakat,
padahal hal tersebut adalah tidak tepat. Mazhab sosiologis dan sosiologi hukum
berbeda secara prinsip meskipun keduanya menjadikan hukum sebagai obyek
kajiannya. Kekeliruan yang mempersamakan keduanya dilatarbelakangi oleh
kekeliruan mengidentifikasikan karakteristik keilmuan ilmu hukum sebagai ilmu sui
generis yang berbeda dengan ilmu sosial. Ilmu hukum menempatkan hukum sebagai
obyek keilmuannya ini dari dua sisi, yaitu sisi eksternal hukum sebagai gejala sosial
yang ada di masyarakat, sekaligus juga memandang hukum dari sisi internal sebagai
suatu sistem nilai yang memberikan ukuran nilai bagi pedoman bertingkah laku dalam
hidup bermasyarakat. Kekeliruan ini akan dicoba untuk diluruskan dengan
mengetengahkan perbedaan dalam tataran praktis sebagaimana berikut:
Mazhab sosiologis meliputi a) Apakah dalam memberikan putusan, pengadilan
telah mempertimbangkan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan
pandangan-pandangan mengenai kelayakan atau kepantasan yang berkembang
dalam masyarakat sehingga putusannya sesuai dengan prinsip-prinsip hukum; b)
Apakah dalam pembuatan aturan hukum juga mengingat prinsip-prinsip moral
yang dianut oleh masyarakat tertentu; c) Hasil akhir yang hendak dicapai adalah
apakah aturan hukum atau putusan pengadilan sesuai prinsip-prinsip hukum yang
merefleksikan nilai-nilai keadilan dalam hidup bermasyarakat. Sedangkan,
sosiologi hukum akan mulai dari masyarakat dan perilaku individu dalam
masyarakat terhadap hukum, dengan isu yang dikembangkan adalah a) Efektivitas
hukum terhadap perilaku tertentu; b) Pengaruh aturan hukum terhadap suatu
keadaan tertentu; c) Implementasi aturan hukum terhadap sesuatu atau kepatuhan
individu terhadap aturan hukum; d) Hasil akhir yang hendak dicapai dengan studi
ini adalah faktor-faktor yang menghambat atau mendorong efektivitas aturan
hukum, berpengaruh tidaknya adanya aturan hukum terhadap keadaan tertentu,
apakah impelementasi telah dilakukan secara benar atau faktor-faktor yang
menghambat atau mendorong individu taat akan hukum.34
Nalar filsafat hukum menurut mazhab sosiologis ini adalah a) Titik berat hukum
secara konseptual bukan pada hukum positif, melainkan pada hukum yang secara
faktual hidup di masyarakat; b) Jikalaupun dibuat suatu hukum positif, maka isi dari
hukum positif ini harus sesuai dengan aturan yang hidup dalam keseharian
masyarakat.35 kajian tentang mazhab sosiologis yang menitikberatkan kajian hukum
dan masyarakat ini dipengaruhi oleh karakteristik dari common law system
sebagaimana berikut: 36 a) Hukum adalah bagian dari kultur masyarakat: hukum
merupakan subsistem dari kebudayaan masyarakat yang dipertahankan secara tidak
tertulis dari generasi ke generasi; b) Hukum adalah ciptaan masyarakat; dan c) Hukum

33
Shidarta, Op. Cit., hal. 214-215.
34
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., 2015, hal. 30-31.
35
Christiani Widowati dan E. Joeni Arianto Kurniawan, Nalar Filsafat Dalam Putusan Hakim
Di Indonesia, Hasil Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2013, hal. 22.
36
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2004), hal. 23-26
Nalar Mazhab Sosiologis, Christiani Widowati, Herliana 279

tidak memerlukan proses kodifikasi: hukum diidentikkan dengan hukum tidak tertulis
yang kemudian dikonkritkan oleh negara melalui badan peradilan untuk
menegakkannya sehingga pada sistem hukum ini berlaku asas stare decisis atau
precedent di mana putusan hakim merupakan sumber hukum (judge made law) yang
mengikat bagi hakim selanjutnya untuk perkara yang serupa.
Di dalam kepustakaan ilmu hukum, hukum di dalam peraturan perundang-
undangan diistilahi hukum in abstracto, sedangkan putusan hakim yang menerapkan
hukum di dalam peraturan perundang-undang disebut hukum in concreto karena
putusan hakim mendasarkan diri pada hukum yang in abstracto yang diciptakan oleh
hakim ketika harus menyelesaikan masalah-masalah hukum yang riil dihadapi in
concreto. Dalam common law system, hukum in concreto ini juga akan dapat berlaku
sebagai precedent bagi upaya menyelesaikan perkara-perkara serupa berikutnya oleh
hakim-hakim lain sehingga hukum yang semula sebagai yang in concreto berubah
menjadi hukum in abstracto. Perbedaan yang muncul kemudian adalah, hukum in
abstracto produk badan legislatif disebut law, sedangkan produk hakim adalah judge
made law.37 Hal inilah yang telah mempengaruhi penemuan hukum yang dilakukan di
Indonesia yang menganut civil law system di dalam sistem hukum nasionalnya. Akan
tetapi, meskipun mendapatkan pengaruh yang besar dari common law system, sistem
hukum Indonesia tetap menganut civil law system. Pernyataan ini senada dengan
pendapat Peter Mahmud Marzuki sebagaimana berikut,
Since Indonesia was a Dutch colony, the Indonesian legal system belongs to civil
law system. Just as continental legal system, which does not apply the doctrine of
stare decisis, the Indonesian judge is not bound to the case law. It is strongly
recommended, however, that the judge apply landmark decision. Despite the fact
that Indonesia belongs to civil law system, since 1967 the time when market
economy began taking place, there have been substantive laws much influenced
by the American laws. This, nevertheless, does not shift the system from civil law
to common law system.38
Hukum dalam bentuk norma sebagai obyek yang ditelaah baik oleh mazhab
sosiologis, maupun sosiologi hukum, menetapkan bahwa jika terjadi peristiwa atau
situasi tertentu, maka subyek tertentu dalam hubungan dengan subyek yang lain
tertentu atau masyarakat sebagai keseluruhan harus berperilaku dengan cara tertentu
berdasarkan nilai yang terkandung di dalam norma hukum tersebut. Ini berarti bahwa
norma hukum menetapkan hubungan yang memaksa antara syarat dan apa yang
seharusnya terjadi jika syarat itu terpenuhi, oleh karenanya norma hukum yang
diwujudkan dalam aturan hukum termasuk dalam dunia “das sollen”, dan tidak
termasuk namun bersumber dan mengarah balik pada dunia “das sein”. Hanya dalam
bentuk norma hukum saja, hukum itu dapat menjadi obyek pengetahuan manusia, baik
itu obyek mazhab sosiologis maupun obyek dari sosiologi hukum.39 Norma hukum
sebagai norma tingkah laku meliputi perintah, larangan, izin, dan dispensasi ini masih
perlu dikonkritkan di dalam suatu aturan hukum supaya dapat aplikatif untuk dijadikan
sebagai pedoman bertingkah laku di dalam kehidupan bermasyarakat.
Hukum pada hakekatnya adalah sesuatu yang abstrak, meskipun dalam
manifestasinya bisa berwujud konkrit. Persepsi orang tentang hukum bisa beraneka
ragam dalam kerangka pengkonkritan hukum tersebut, di mana persepsi ini tergantung

37
Soetandyo Wignjosoebroto, Op. Cit., hal. 28-29.
38
Peter Mahmud Marzuki, An Introduction To Indonesian Law, (Malang: Setara Press, 2011),
hal. 27.
39
Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya Pengembangan Ilmu Hukum
Sistematik Yang Responsif Terhadap Perubahan Masyarakat, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013),
hal. 101.
280 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021

dari sudut mana mereka memandangnya. Hakim akan memandang hukum itu dari
sudut pandang profesi sebagai hakim; ilmuwan hukum akan memandang hukum dari
sudut pandang profesi keilmuan hukum; dan rakyat kecil akan memandang hukum
dari sudut pandang mereka, dan sebagainya. Selain persepsi, perkembangan sejarah
kehidupan umat manusia juga menyebabkan terjadinya perubahan tentang apa yang
dimaksud sebagai hukum dari masa ke masa. Sebelum manusia mengenal perundang-
undangan, hukum identik dengan kebiasaan dan tradisi yang menjadi pedoman dalam
kehidupan. Ketika keberadaan dan kemampuan Undang-Undang sedemikian
diagungkan, muncul pandangan yang mengidentikkan hukum dengan perundang-
undangan. Bagi masyarakat yang religius, hukum diidentikkan sebagai hukum Tuhan
atau hukum agama. Ketika masyarakat tiba pada tahap perkembangan di mana pranata
peradilan sangat difungsikan, orang lantas mengidentikkan hukum dengan segala
sesuatu yang berhubungan dengan peradilan.40 Hal yang demikian ini adalah sesuatu
yang bersifat keniscayaan karena hukum sebagai sesuatu yang keberadaannya tidak
dapat dilepaspisahkan dengan masyarakat tempat di mana hukum tersebut melembaga,
sehingga persepsi masyarakat dan perkembangan sejarah manusia dalam konteks
kemasyarakatan berpengaruh besar dalam pemaknaan dan konseptualisasi hukum
sebagai kajian telaah ilmu hukum maupun ilmu lain yang juga menempatkan hukum
sebagai obyek kajian keilmuannya seperti halnya ilmu sosiologi yang mempunyai
cabang keilmuan berupa sosiologi hukum yang menempatkan hukum sebagai obyek
kajian keilmuannya.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa filsafat hukum sebagai suatu
meta teori dari teori hukum dan dogmatika hukum dalam tataran praktis, juga turut
memainkan peranan dalam kegiatan pengembanan hukum praktis. Di dalam filsafat
hukum dijumpai beberapa aliran atau mazhab yang mengkaji hukum dari
perspektifnya masing-masing. Hal inilah yang menyebabkan hukum sebagai obyek
penelitian sebagai suatu realitas yang multiinterpretatif sekaligus juga menghasilkan
keragaman konseptual tentang hukum, sehingga perbedaan pandangan tentang hukum
yang berbeda-beda adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan keberadaannya. Pada
dasarnya, hukum bisa dilihat dari dua sisi dengan menghasilkan dua pengertian yang
dikaji dari perspektif epistemologis jelas bersifat dualistik (meskipun tidak selalu
dikotomik). Hukum dapat diartikan dalam konsepnya yang normatif sebagai suatu
peraturan, dan di lain pihak, hukum dapat juga diartikan dalam konsepnya yang
faktual sebagai keteraturan.41 Dualisme dalam mengkonsepkan hukum ini didasarkan
pada dua sisi yang dimiliki oleh hukum, sisi eksternal terlihat bahwa hukum sebagai
suatu gejala sosial di dalam masyarakat mengingat di dalam suatu masyarakat selalu
dijumpai hukum sebagai pedoman bagi tiap-tiap manusia sebagai anggota masyarakat.
Sedangkan, hukum dari sisi internal merupakan suatu sistem nilai yang berisi ukuran
nilai yang digunakan sebagai pedoman bagi perumusan aturan dalam hidup
bermasyarakat, jika suatu tingkah laku bernilai dalam artian dapat mempertahankan
keberlangsungan hidup bermasyarakat maka hukum akan merumuskan untuk
“seharusnya dilakukan”, secara a contrario jika suatu tingkah laku tidak bernilai
karena dapat mengancam keberlangsungan hidup bermasyarakat maka hukum akan
merumuskan untuk “seharusnya tidak dilakukan”.
Ilmu hukum yang menempatkan hukum sebagai obyek kajian keilmuannya
ditinjau dari dua aspek sekaligus yaitu aspek eksternal sebagai fenomena sosial dan
juga aspek internal hukum sebagai suatu sistem nilai ini masuk dalam ilmu praktis
normologis atau ilmu normatif yang lazimnya digunakan juga untuk pengambilan

40
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Edisi Kedua, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2017), hal.
18.
41
Soetandyo Wignjosoebroto, Op. Cit., hal. 18.
Nalar Mazhab Sosiologis, Christiani Widowati, Herliana 281

keputusan. Ilmu hukum berusaha menemukan hubungan antara dua hal atau lebih
berdasarkan asas imputasi (menautkan tanggung jawab atau kewajiban) untuk
menetapkan apa yang seharusnya menjadi kewajiban subyek tertentu dalam situasi
konkrit tertentu, sehubungan dengan terjadinya perbuatan atau peristiwa atau keadaan
tertentu, namun dalam kenyataan apa yang seharusnya terjadi itu tidak niscaya dengan
sendirinya terjadi dengan menggunakan rumus logikal yaitu “jika A (terjadi), maka
seharusnya B (terjadi)”. 42 Keharusan normatif ini tidak dapat dipersamakan dengan
keharusan alamiah, karena terdapat kebebasan bagi individu-individu yang dikenai
aturan hukum tersebut untuk melakukan pilihan, apakah akan mematuhi atau tidak
mematuhi aturan hukum tersebut.
Bila negara mengeluarkan peraturan perundang-undangan sebagai norma yang
berlaku secara yuridis yaitu peraturan perundang-undangan itu mewajibkan, sehingga
seseorang yang tidak mematuhi dapat dikritik kelakuannya dan dapat dituntut
hukuman terhadapnya melalui pengadilan dan oleh karenanya hukum bersifat normatif
yang nampak dalam perumusan norma hukum sebagai penggabungan antara dua
kenyataan tertentu menurut prinsip tanggungan, yakni: bila hal ini terjadi, seharusnya
(ought) hal itu terjadi pula sebab situasi yuridis bukan situasi alamiah, di mana suatu
sebab selalu disusul akibatnya. Dalam situasi yuridis suatu sebab harus disusul
akibatnya, akan tetapi belum tentu terjadi karena situasi yuridis diatur melalui suatu
keharusan normatif, bukan melalui suatu keharusan alamiah sehingga suatu aturan
hukum dapat ditaati, dapat tidak ditaati. 43 Ada motivasi yang melandasi kepatuhan
seseorang terhadap suatu aturan hukum yang ada, motivasi itu bisa berupa takut
terhadap sanksi yang melekat pada aturan hukum, dapat pula karena adanya proses
evaluatif dan internalisasi ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam aturan hukum
bahwa ketentuan tersebut itu memang bernilai dan penting bagi keberlangsungan
kehidupan bermasyarakat dengan memberikan pedoman bertingkah laku terhadap tiap-
tiap individu sebagai anggota masyarakat.
Mazhab ini mengetengahkan tentang pentingnya living law yaitu hukum yang
hidup di masyarakat, dan eksistensinya dianggap sebagai suatu sinthesis dari thesisnya
positivisme hukum dan antithesisnya mazhab sejarah, di mana mazhab sosiologis
berpegang kepada pendapat pentingnya, baik akal maupun pengalaman. Pandangan ini
berintikan kedua konsepsi positivisme hukum dan mazhab sejarah ada kebenarannya,
hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal dapat hidup terus, dan yang
menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum itu hanyalah pernyataan-pernyataan akal
yang berdiri di atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman, sehingga hukum adalah
pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan
wibawa oleh badan-badan yang membuat peraturan perundang-undangan atau
mengesahkan peraturan perundang-undangan dalam masyarakat yang berorganisasi
politik dan dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu. 44 Sepintas lalu, jika dikaitkan
dengan uraian sebelumnya, bahwa mazhab sosiologis merupakan sinthesis antara
falsafah normatif dan falsafah positivisme hukum, maka mazhab sejarah dipersamakan
dengan falsafah normatif tersebut. Hal ini tidak tepat. Mazhab sejarah yang
keberadaannya dipelopori oleh Savigny bukanlah falsafah normatif yang dimaksudkan
di dalam tulisan ini.
Pertama kali akan diberikan paparan pemikiran Savigny dalam mazhab sejarah
yaitu mazhab sejarah dilatarbelakangi dengan upaya menganalogikan timbulnya
hukum itu dengan timbulnya bahasa suatu bangsa di mana masing-masing bangsa
memiliki ciri yang khusus dalam berbahasa, demikian juga halnya dengan hukum.

42
Bernard Arief Sidharta, Op. Cit., 2000, hal. 111-112.
43
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal. 45.
44
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Op. Cit., hal. 67.
282 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021

Karena tidak ada bahasa yang universal, maka tidak ada pula hukum yang universal.
Pandangan mazhab ini jelas menolak cara berpikir penganut mazhab hukum alam,
yang justru penulis memaknai falsafah normatif sebagai mazhab hukum alam atau
mazhab hukum kodrat tersebut. Menurut Savigny, hukum timbul bukan karena
perintah penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak
di dalam jiwa bangsa itu (instinktif), dan jiwa bangsa (volkgeist) itulah yang menjadi
sumber hukum. seperti diungkapkannya “law is an expression of the common
consciousness or spririt of people”, jadi hukum tidak dibuat, tetapi ia tumbuh dan
berkembang bersama masyarakat seiring dengan sejarah pertumbuhan masyarakat
yang bersangkutan.45 Ketika mazhab sejarah menempatkan volkgeist sebagai sumber
hukum, maka kecenderungan yang muncul bahwa mazhab sejarah inilah falsafah
normatif tersebut, akan tetapi hal ini tidak tepat karena justru mazhab sejarah menolak
falsafah normatif dengan mengemukakan bahwa hukum tidak universal karena
dibatasi oleh dimensi ruang dan dimensi waktu yaitu volkgeist yang dimiliki oleh tiap-
tiap bangsa itu berbeda.
Pandangan Savigny berpangkal pada bahwa di dunia ini terdapat bermacam-
macam bangsa yang pada tiap-tiap bangsa tersebut mempunyai suatu volkgeist (jiwa
bangsa) yang berbeda-beda, baik menurut waktu maupun menurut tempat yang
tercermin pada kebudayaan dari bangsa yang berbeda-beda. Ekspresi itu tampak pula
pada hukum yang berbeda pula pada setiap tempat dan waktu sehingga tidak ada
hukum yang berlaku universal dan pada semua waktu. Hukum bersumber pada
volkgeist dan substansi hukum ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke
masa (sejarah). 46 Dalam pandangan mazhab sejarah, hukum tidak dibuat melainkan
tumbuh bersama dengan masyarakat. Keberadaan volkgeist sebagai sumber hukum
menurut mazhab ini dipersepsikan ada secara intuitif, bukan hasil karya rasio.
Volkgeist adalah kristalisasi nilai-nilai yang dibangun melalui penggemblengan
sejarah, yang terjadi dengan sendirinya, tidak didesain sehingga tidak memerlukan
lembaga untuk mendesainnya karena lahir secara alamiah melalui kesepakatan-
kesepakatan sosial seperti halnya bahasa tutur manusia.47 Dari sini dapat disimpulkan
bahwa menurut mazhab sejarah, tidak diperlukan adanya legal drafter karena hukum
tidak dibuat, melainkan yang diperlukan adalah jurist atau ahli hukum yang mampu
mencari hukum yang bersumber dari volkgeist masyarakat yang bersangkutan.
Falsafah normatif lazimnya juga disebut pula sebagai ajaran hukum doktrinal.
Kajian hukum dalam pendekatan doktrinal ini memiliki ciri khas sendiri yang berbeda
dengan ilmu-ilmu sosial yang telah dikembangkan seiring dengan kelahiran dengan
filsafat positivisme. Akan tetapi yang terjadi adalah salah kaprah: a) Kajian hukum
doktrinal seolah-olah hanya berkutat persoalan-persoalan keberlakuan dan
ketidakberlakuan hukum positif saja; b) Kajian hukum doktrinal identik dengan
positivisme hukum yang bersumber dari filsafat positivisme, yang itu justru
bertentangan dengan filsafat positivisme karena ajaran hukum doktrinal menunjuk
pada ajaran hukum yang didasarkan pada premis bahwa hukum merupakan norma
yang mengatur kehidupan masyarakat. 48 Maknanya adalah norma hukum yang
memberikan pedoman pengaturan tingkah laku dalam hidup bermasyarakat ini
tidaklah secara sempit dibatasi sebagai norma hukum yang dibuat dan atau ditetapkan
oleh negara berupa norma hukum yang dituangkan dalam hukum positif semata.

45
Darji Darmodiharjo Dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 124.
46
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Op. Cit., hal. 65.
47
Shidarta, Op. Cit., hal. 207-208.
48
F. X. Adji Samekto, Menggugat Relasi Filsafat Positivisme Dengan Ajaran Hukum Doktrinal,
Jurnal Dinamika Hukum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2012, 74-84, hal. 75.
Nalar Mazhab Sosiologis, Christiani Widowati, Herliana 283

Norma yang dimaksudkan senantiasa dilandaskan pada keadilan sebagai faktor yang
utama bagi penegakan hukum di masyarakat. Norma hukum yang dikonkritkan ke
dalam aturan hukum ini dilandasi oleh asas hukum sebagai dasar dari sistem norma.
Asas hukum tersebut adalah asas keadilan. Konsekuensinya adalah ketika norma
hukum dan aturan hukum secara substansial bertentangan dengan keadilan sebagai
asas yang melandasinya, maka norma hukum dan aturan hukum tersebut tidak
memiliki keberlakuannya secara substantif mengingat keduanya merupakan
manifestasi dari asas keadilan.
Falsafah normatif yang dimaksudkan di dalam tulisan ini adalah mazhab atau
aliran hukum alam atau mazhab hukum kodrat, di mana aliran ini menempatkan
ontologi hukum pada tataran yang sangat abstrak. Hakekat hukum dalam arti yang
sebenarnya dimaknai lebih sebagai asas-asas daripada norma. Keberadaan hukum
positif tetap diakui eksistensinya, namun hukum positif ini harus memenuhi
persyaratan moralitas yang dibebankan oleh hukum kodrat.49 Mazhab hukum kodrat
ini senantiasa membebaskan diri dari kekangan faktor waktu dan faktor ruang, maka
keadilan merupakan tujuan hukum yang diidamkannya. Keadilan adalah cita-cita
paling universal dan abadi. Keadilan ini absolut keberadaannya di dalam hukum,
sehingga tidak ada satu pun ketentuan normatif buatan manusia yang dapat
menghilangkannya. Jika ada ketentuan normatif yang tidak sesuai dengan standar
regulatif tersebut, maka norma itu harus disingkirkan, atau setidaknya diragukan
kelayakan dan keabsahannya sebagai hukum. 50 Eksistensi norma hukum dan aturan
hukum dilandasi oleh asas keadilan sebagai perwujudan moralitas.
Hakim sebagai ujung tombak pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang
diwujudkan dalam proses peradilan dengan melakukan kegiatan penemuan hukum
ditujukan untuk menegakkan keadilan. Sebagai isu yang bersifat filosofis, maka
keadilan akan ditelaah secara berbeda berdasarkan sudut pandang penalaran mazhab-
mazhab hukum yang ada. Begitu pula halnya hakim akan dituntun oleh nalar filsafat
hukum apa yang dianutnya, hal ini akan tercermin di dalam pertimbangan hukum
sebagai landasan putusan hakim. Jika menggunakan titik anjak nalar mazhab
sosiologis, maka hakim ketika melakukan penemuan hukum harus senantiasa
menyesuaikan putusannya dengan rasa keadilan yang ada di masyarakat yang terwujud
dalam nilai-nilai hukum yang ada di masyarakat dalam kerangka memberikan
perlindungan bagi kepentingan-kepentingan setiap anggota masyarakat. Hakim
merupakan harapan masyarakat untuk memperoleh keadilan, karena masyarakat yang
datang ke pengadilan adalah untuk mencari keadilan berupa perlindungan
kepentingan-kepentingan dalam hidup bermasyarakat. Hal ini hanya akan terwujud
jika hakim memaknai hukum tidak secara sempit hanya hukum positif berupa
peraturan perundang-undangan belaka, melainkan memaknai hukum sebagai
seperangkat norma yang memberikan pengaturan bagi kehidupan bermasyarakat,
norma ini kemudian dikonkritkan dalam aturan hukum, baik itu aturan hukum yang
dituangkan di dalam peraturan perundang-undangan, maupun aturan hukum yang tidak
tertulis dan tertuang di dalam peraturan perundang-undangan berupa nilai-nilai hukum
di masyarakat yang boleh jadi nilai-nilai hukum tersebut belum dikonkritkan dalam
suatu aturan hukum konkrit sehingga bentuk konkritnya diserahkan kepada
masyarakat pencari hukum. Hakim perlu menggali nilai-nilai hukum tersebut dan
kemudian memberi bentuk terhadapnya sehingga dapat digunakan untuk memecahkan
setiap perkara yang ada di hadapannya mengingat pada prinsipnya hakim tidak
diperbolehkan menolak perkara melainkan harus memeriksa, mengadili, dan memutus
setiap perkara yang ada.
49
Shidarta, Op. Cit., hal. 188.
50
Ibid, hal. 193.
284 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021

Hakim yang memiliki peran besar dalam penegakan hukum melalui kegiatan
penemuan hukum yang dilakukan dalam melaksanakan proses peradilan, seharusnya
memahami betul bahwa tiap-tiap aturan hukum yang ada, baik itu peraturan
perundang-undangan, maupun aturan hukum tidak tertulis di luar peraturan
perundang-undangan, kesemuanya merupakan manifestasi dari nilai hukum dan asas
hukum yang ada yang secara filosofi ditujukan untuk memberikan pengaturan
terhadap kontinuitas kehidupan bermasyarakat yang dikonkritkan dengan memberikan
perlindungan kepentingan bagi tiap-tiap anggota masyarakat secara proporsional.
Kegiatan penemuan hukum yang berujung pada suatu putusan hakim ini melandaskan
diri pada pertimbangan hukum hakim yang di dalamnya hakim akan memberikan
argumentasi atas putusannya dan tentu saja hakim harus mempertanggungjawabkan
putusannya. Hal ini sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan “Dalam
memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggungjawab atas penetapan dan
putusan yang dibuatnya”, kemudian di ayat (2) menyatakan “Penetapan dan putusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang
didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar”.
3.3. Pemaknaan Hukum Dan Keadilan Menurut Mazhab Sosiologis
Mazhab sosiologis memandang hukum sebagai suatu aturan dapat dilakukan
pembedaan menjadi dua kategori, yaitu a) Hukum positif sebagai hukum produk
negara yaitu hukum yang dibuat dan atau ditetapkan oleh negara, dimungkinkan
keseluruhan substansi aturan hukum memang dibuat dan ditetapkan oleh negara dalam
bentuk peraturan perundang-undangan, namun dapat pula dimaknai substansi aturan
hukum dibuat oleh masyarakat kemudian ditetapkan oleh negara. Hakim sebagai organ
negara sehingga produknya berupa putusan hakim merupakan bagian dari hukum
positif pula, ketika hakim merujuk pada sumber hukum di luar peraturan perundang-
undangan berupa hukum kebiasaan yang ada di masyarakat, maka sejatinya hakim
telah mempositifkan hukum kebiasaan tersebut. Hukum kebiasaan yang awalnya
adalah termasuk pada hukum tidak tertulis dan bukan termasuk di dalam hukum
positif, maka sejak ditetapkan dalam putusan hakim, hukum kebiasaan telah berubah
menjadi hukum positif; b) Hukum yang hidup di dalam masyarakat, meskipun tidak
dituangkan di dalam peraturan perundang-undangan, namun hukum ini ditegakkan di
dalam masyarakat. Hukum ini secara substansial merupakan bagian dari kehidupan
masyarakat sehingga memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi.
Menurut mazhab sosiologis, hukum yang baik adalah hukum yang memiliki
kesesuaian dan keselarasan dengan nilai-nilai hukum yang ada di masyarakat, bahkan
hukum positif hanya akan memiliki efektivitas yang tinggi apabila selaras dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat yang merupakan cerminan nilai-nilai hukum
yang hidup di dalamnya. Begitu pula halnya putusan hakim yang merupakan hasil dari
kegiatan penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim, putusan hakim seharusnya
memiliki kesesuaian dengan rasa keadilan yang ada di dalam masyarakat. Makna
keadilan dikaitkan erat dengan masyarakat, jadi adil jika masyarakat memandangnya
sebagai adil. Secara konkritnya dikatakan adil ketika alokasi perlindungan kepentingan
bagi tiap-tiap anggota masyarakat dilakukan secara proporsional.
Pembahasan mengenai keadilan tidak dapat dilepaspisahkan dengan pembahasan
tentang moral, yang secara konseptual dimaknai sebagai keseluruhan kaidah dan nilai
berkenaan dengan perbuatan baik manusia. 51 Pemahaman terkait moral dalam
kaitannya dengan hukum adalah moral merupakan seperangkat prinsip yang bersifat
universal yang mendasari perintah atau larangan atau anjuran untuk berbuat sesuatu

51
Bernard Arief Sidharta Alih Bahasa J. J. H. Bruggink, Op. Cit., hal. 223.
Nalar Mazhab Sosiologis, Christiani Widowati, Herliana 285

sebagai landasan bagi terpeliharanya kelangsungan kehidupan masyarakat manusia.52


Moral merupakan sesuatu hal yang bersifat universal, namun jika dikaitkan dengan
perbincangan mengenai hukum, maka makna moral akan dikaitkan dengan eksistensi
manusia dalam konteks kemasyarakatan, sehingga moral diarahkan pada sikap secara
naluriah dari tiap-tiap manusia untuk selalu ingin berbuat baik kepada sesamanya
dalam kehidupan bersama yang disebut sebagai masyarakat. Sikap ini kemudian
diwujudkan dalam pembentukan seperangkat norma hukum yang dikonkritkan dalam
aturan hukum, baik itu aturan hukum tertulis maupun aturan hukum tidak tertulis, yang
secara substantif memberikan pedoman bertingkah laku bagi tiap-tiap manusia sebagai
anggota masyarakat yang ditujukan untuk mempertahankan kontinuitas kehidupan
bermasyarakat sebagai satu-satunya cara manusia mempertahankan eksistensinya
mengingat manusia adalah makhluk sosial yang hanya dapat hidup jika berdampingan
dengan sesamanya dalam suatu kehidupan bersama. Jika beranjak pada pemikiran ini,
maka ketika dijumpai aturan hukum yang berisi norma hukum yang secara substansial
justru mengancam keberlangsungan hidup bermasyarakat, maka aturan hukum
tersebut tidak bermoral dan pada hakekatnya aturan tersebut bukanlah hukum. Jadi
ukuran untuk menjustifikasi, apakah suatu aturan hukum itu bermoral atau tidak
bermoral adalah dengan melihat substansinya dan dampaknya bagi keberlangsungan
hidup bersama.
Hakim sebagai ujung tombak kekuasaan kehakiman diamanatkan untuk
senantiasa menegakkan hukum dan keadilan. Penggunaan kekuasaan kehakiman oleh
hakim ini harus selalu dapat dilegitimasi berdasarkan dampaknya terhadap masyarakat
yang berkeadilan karena berdampak langsung terhadap kehidupan manusia yang
memerlukan pengaturan dan kepastian berkenaan dengan keberadaan dan penggunaan
kekuasaan sebagai jaminan bahwa kekuasaan akan digunakan secara bertanggung
jawab. Jaminan kepastian tersebut terwujud di dalam pengaturan yang dirumuskan
dengan memberikan pedoman yang memungkinkan tiap-tiap orang melakukan kajian
rasional terhadap semua penggunaan kekuasaan.53 Demikian halnya dengan kekuasaan
kehakiman yang telah dikonkritkan pengaturannya di dalam Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Model penalaran hukum yang diwujudkan dalam kegiatan penemuan hukum
yang senantiasa dilakukan oleh hakim tiap menghadapi perkara yang ada hendaknya
mampu menempatkan hakim pada posisi pengemban hukum yang mulia-cendekia
yang jelas bukan model penalaran yang hanya menempatkannya sebagai corong
peraturan perundang-undangan belaka karena hakim bukan abdi peraturan perundang-
undangan melainkan hakim adalah abdi kemanusiaaan dalam lingkaran
kebudayaannya. Model penalaran hukum yang tepat adalah model yang sejalan
dengan konteks ruang dan waktu yang sedang dihadapinya. 54 Maknanya hakim
hendaknya menegakkan hukum dan keadilan dalam pelaksanaan kekuasaan
kehakiman melalui kegiatan penemuan hukum dalam proses peradilan dengan
memaknai hukum dan keadilan sebagai sesuatu hal yang tidak dapat dilepaspisahkan
dengan masyarakat itu sendiri karena sejatinya keberadaan hukum adalah untuk
masyarakat dengan memberikan pedoman-pedoman bertingkah laku bagi tiap-tiap
individu sebagai anggota masyarakat dalam rangka mempertahankan keberlangsungan
hidup bermasyarakat sebagai satu-satunya cara manusia mempertahankan
eksistensinya mengingat manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa
manusia lainnya.

52
Peter Mahmud Marzuki, Handout Perkuliahan Pengantar Filsafat Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Airlangga Surabaya, 2019.
53
Bernard Arief Sidharta, Op. Cit., 2000, hal. 199.
54
Shidarta, Op. Cit., hal. 436.
286 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021

Peran besar hakim dalam penegakan hukum ini karena hakim melakukan
kegiatan penemuan hukum tidak hanya sekedar menerapkan peraturan perundang-
undangan belaka melainkan menggunakan hati nurani mengenai apa yang adil dan
tidak adil berdasarkan kemanusiaan. A judge is not only a law technician, but also a
social creature. Therefore, the duty of the judge is really noble because they do not
only using the brain in taking a decision, they are also using the conscience in making
decision. The judge whose good heart and conscience, must be also posses braveness
and high morality.55 Dapat dikatakan putusan hakim merupakan cerminan moralitas
hakim yang dikonkritkan dengan memberikan putusan yang memberikan perlindungan
kepentingan tiap-tiap anggota masyarakat.
Secara ontologis pemaknaan hukum dalam arti norma-norma positif dalam
sistem perundang-undangan harus diartikan secara terbuka. Sistem perundang-
undangan tetap menjadi sumber hukum yang utama, tetapi jelas bukan satu-satunya.
Norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan terbuka untuk ditafsirkan
melalui berbagai pola penalaran. Ini berarti penemuan hukum (rechtsvinding) dengan
menggunakan interpretasi hukum dan konstruksi hukum menjadi metode yang harus
dikuasai oleh para hakim.56 Interpretasi dilakukan dengan beranjak pada ketentuan-
ketentuan yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang ada (based on
rules) sedangkan konstruksi hukum dilakukan dengan beranjak pada asas atau prinsip
hukum yang diketemukan pada fakta hukum yang ada yang kemudian hakim
mengkonstruksikan hukumnya (based on principles) mengingat prinsip hukum
merupakan landasan dari norma hukum dan aturan hukum yang ada. Hal ini bermakna
bahwa norma hukum dan aturan hukum sebagai manifestasi asas hukum, secara
substansial merupakan konkritisasi dari asas hukum sehingga ketika terjadi
pertentangan secara substantif antara prinsip hukum dan norma hukum serta aturan
hukum maka prinsip hukumlah yang seharusnya diberikan keutamaan untuk
diterapkan sebagai pedoman. Dan secara prinsip, hukum ada untuk masyarakat
sehingga hukum yang baik adalah hukum yang memiliki kesesuaian dengan nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang ada di masyarakat.

IV. KESIMPULAN

Mazhab sosiologis sebagai hasil sinergi dari penalaran dialektis antara falsafah
normatif dan falsafah positivisme hukum menyatakan hukum positif akan memiliki
efektivitas ketika memiliki kesesuaian dan keselarasan dengan nilai-nilai hukum yang
ada di masyarakat. Mazhab ini telah membimbing nalar hakim dalam memaknai
hukum dan keadilan sebagai sesuatu hal yang tidak dapat dilepaspisahkan dengan
masyarakat bahwa hukum yang baik adalah hukum yang memiliki kesesuaian dengan
nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat dan keadilan dimaknai sebagai
keadilan yang berkesesuaian dengan rasa keadilan di masyarakat. Pemaknaan hukum
dan keadilan ini menjadi pedoman bagi hakim dalam memaknai amanat yang
diembannya dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia melalui kegiatan
penemuan hukum.

55
Fence M. Wantu, Antinomy in Law Enforcement by Judge, Mimbar Hukum, Volume 19,
Nomor 3, Oktober 2007, 321-330, hal. 328.
56
Shidarta, Op. Cit., hal. 437.
Nalar Mazhab Sosiologis, Christiani Widowati, Herliana 287

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Aburaera, Sukarno, et. al., Filsafat Hukum: Teori Dan Praktik, Jakarta: Prenadamedia
Group, 2013.
Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum: Edisi Kedua, Jakarta: Prenadamedia Group,
Jakarta, 2017.
Arbijoto, Kebebasan Hakim: Analisis Kritis Terhadap Peran Hakim Dalam
Menjalankan Kekuasaan Kehakiman, Jakarta: Diadit Media, 2010.
Chandra, Aulia, dan Christiani Widowati, Model Konstruksi Hukum Dalam
Yurisprudensi (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 3199K/Pdt/1986),
Hasil Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2006.
D’amato, Anthony, Analytic Jurisprudence Anthology, Ohio: Anderson Publishing
Co., 1996.
Darmodiharjo, Darji, dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Fadjar, A. Mukthie, Teori-Teori Hukum Kontemporer: Edisi Revisi, Malang: Setara
Press, 2014.
Fanani, Ahmad Zaenal, Berfilsafat Dalam Putusan Hakim (Teori Dan Praktik),
Bandung: Mandar Maju, 2014.
Hadjon, Philipus M., dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2005.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982.
------------------, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Kamil, Ahmad, dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Jakarta:
Prenadamedia Group, 2004.
Mappiasse, Syarif, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Jakarta:
Prenadamedia Group, 2017.
Marzuki, Peter Mahmud, An Introduction To Indonesian Law, Malang: Setara Press,
2011.
------------------------------, “Normatif Dan Positivistis”, Makalah Pleno, Konferensi
Nasional Ke-3 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia “Melampaui Perdebatan
Positivisme Hukum Dan Teori Hukum Kodrat” pada Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, Surabaya, 25-27 Agustus 2013.
------------------------------, Pengantar Ilmu Hukum: Edisi Revisi, Jakarta: Prenadamedia
Group, 2015.
------------------------------, Penelitian Hukum: Edisi Revisi, Jakarta: Prenadamedia
Group, 2016.
------------------------------, Handout Perkuliahan Pengantar Filsafat Hukum, Fakultas
Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2019.
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,
2009.
Nasution, Muhammad Syukri Albani, et. al., Hukum Dalam Pendekatan Filsafat,
Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
Rasjidi, Lili, Dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori Hukum,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.
Rizal, Ami, Kajian Kritis Tentang Cita Keadilan: Suatu Pendekatan Filosofi Hukum
Terhadap Penegakan Hukum Dalam Konteks Positivisme Yuridis, Jurnal Ilmu
Hukum, Volume 2, Nomor 1, Tahun 2015, 126-144.
Salman, Otje, dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan, dan
Membuka Kembali, Bandung: Refika Aditama, 2015.
288 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021

Samekto, F. X. Adji, Menggugat Relasi Filsafat Positivisme Dengan Ajaran Hukum


Doktrinal, Jurnal Dinamika Hukum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2012, 74-84.
Shidarta, Hukum Penalaran Dan Penalaran Hukum: Buku 1 Akar Filosofis,
Yogyakarta: Genta Publishing, 2013.
Sidharta, Bernard Arief, Alih Bahasa J. J. H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.
-----------------------------, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian
Tentang Fundasi Kefilsafatan Dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai
Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Bandung: Mandar
Maju, 2000.
-----------------------------, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya Pengembangan Ilmu Hukum
Sistematik Yang Responsif Terhadap Perubahan Masyarakat, Yogyakarta:
Genta Publishing, 2013.
Sulistyawan, Aditya Yuli, Mempersoalkan Objektivitas Hukum: Suatu Perbincangan
Filsafat Hukum, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 41, Nomor 4, Oktober
2012, 505-512.
Wantu, Fence M., Antinomy in Law Enforcement by Judge, Mimbar Hukum, Volume
19, Nomor 3, Oktober 2007, 321-330.
Widowati, Christiani, dan Indira Retno Aryatie, UU Kekuasaan Kehakiman
Mensinergikan Mazhab Positivisme Dan Mazhab Historis Dengan
Menempatkan Hukum Adat Sebagai Sumber Hukum, Hasil Penelitian, Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2017.
----------------------------, dan E. Joeni Arianto Kurniawan, Nalar Filsafat Dalam
Putusan Hakim Di Indonesia, Hasil Penelitian, Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya, 2013.
----------------------------, Model Konstruksi Hukum Yurisprudensi Baku Piara Sebagai
Perkawinan Adat Masyarakat Minahasa, Jurnal Spektrum Hukum, Volume 13,
Nomor 2, Oktober 2016, 71-84.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum: Konsep Dan Metode, Malang: Setara Press,
2013.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Internet
Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, 2016,
<https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/hakim>, diakses tanggal 26 September 2019.
.

Anda mungkin juga menyukai