KELAINAN VISUS
Ani, Dokter Muda jaga di Bagian Mata mendapatkan 2 pasien dengan keluhan yang sama yaitu
pandangan kabur. - Pasien pertama, laki-laki 15 tahun dengan hasil pemeriksaan VOS : 6/6, VOD : 6/15,
mata tenang, setelah dilakukan koreksi dengan S-4,00 VOD : 6/6. - Pasien kedua, laki-laki 50 tahun,
kondisi mata kanan normal. Mata kiri VOS : 3/60, mata tenang, sering merasa nyeri pada bola mata.
Pada OS dilakukan pemeriksaan pinhole tidak maju, dilakukan koreksi tidak maju juga maka Dokter Mata
menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan persepsi warna, proyeksi sinar, tonometri, konfrontasi dan
refleks fundus. Ani merasa bingung mengapa pasien dengan keluhan yang hampir sama tapi beda
penatalaksanaannya, bagaimana Anda menjelaskan kasus di atas?
Jump 1 : Terminologi
1. Kelainan visus : penurunan tajam penglihatan, berupa gejala pada pasien dengan gangguan
penglihatan
2. Tes pinhole : pemeriksaan mata dg alat bantu berbentuk kacamata dg satu bidang gelap dan
satu bidang terang, digunakan untuk menilai minus pada mata
3. Tonometry : tes mata untuk menghitung tekanan intraokuler dg alat yg disebut tonometer
4. Konfrontasi : pemeriksaan lapang pandang, untuk mengetahui lokasi gangguan pada mata, dg
membandingkan lapang pandang pasien dg pemeriksa
5. Mata tenang : mata yg tidak iritasi, tidak merah, tidak terdapat adanya kelainan, tidak ada
pelebaran pembuluh darah yg menandakan tidak adanya inflamasi
2. Apakaha ada hubungan dengan keluhan yg dialami pasien?selain usia, apa faktor yg dapat
meningkatkan keluhan tersebut?
Semakin bertambah usia, maka akan menyebabkan mata kabur akibat faktor penuaan.
Selain itu dpt jg terjadi akibat sering mengucek mata, kurang memperhatikan kebersihan
lensa kontak saat menggunakannya, terlalu lama memandang layar computer.
Pd pasien kedua, bisa jg akibat riwayat keluarga, cidera, atau riw. Penyakit penyerta (mis :pd
pasien anemia, dm, hipertensi)
6. Mengapa dokter menyarankan px pd pasien kedua pinhole tidak maju, persepsi warna,
konfrontasi, proyeksi sinar, tonometry, dan reflex fundus?
Persepsi warna digunakan utk mengukur kemampuan pasien melihat warna, proyeksi sinar
bisa menilai apakah fungsi retina masih baik atau terganggu, tonomteri utk mengukur
tekanan dalam mata, umumnya utk menilai gloukoma.
Semua px tsb adalah standar utk memeriksa mata. Px pinhole dilakukan ketika visus mata
kurang dari 6/6, untuk menilai apakah ada kelainan refraksi pd mata. Px konfrorntasi utk
menilai kelainan lapang padang dg membandingkan lapang pandang pasien dg pemeriksa.
Px proyeksi sinar diindikasikan bila pasien sudah dilakukan metode snellen, hitung jari, dan
lambaina tangan tp masih juga tidak terlihat. Px tonometry utk menilai tekanan bola mata
dg tonometer ataupun palpasi. Px reflex fundus utk mmengetahui hal yg mengganggu pd
mata, biasanya pada org katarak dg kekeruhan pd kornea ataupun lensa
Jump 5 : Learning Objective (bahas rujukan pasien dan penanganan pertama sebelum rujukan)
o Teknik Pemeriksaan:
a) Pasien duduk menghadap optotipe Snellen dengan jarak 6 meter.
b) Pasang trial frame pada mata.
c) Satu mata ditutup dengan occluder.
d) Pasien diminta membaca huruf pada optotip Snellen dimulai dari huruf yang terbesar sampai ke
huruf yang terkecil pada baris – baris selanjutnya yang masih dapat terbaca.
a. Tajam penglihatan dicatat sebagai VA OD (visual acuityokuli dextra) UCVA (uncorrected visual acuity)
untuk tajam penglihatan mata kanan dan VA OS (visual acuity oculi sinistra)untuk mata kiri. Setelah
didapatkan hasil pemeriksaan UCVA dilanjutkan dengan trial lense untuk mendapatkan hasil BCVA (Best
corrected visual acuity).
b. Bila huruf terkecil yang masih dapat dibaca pada baris dengan tanda 6, dikatakan tajam penglihatan
6/6.
c. Bila dalam membaca huruf terdapat kesalahan menyebut 2 huruf maka ditulis 6/6 false 2 (F2).
d. Bila huruf terkecil yang masih dapat dibaca pada baris 30, dikatakan tajam penglihatan adalah 6/30
tanpa koreksi (sine correction / SC). Dilanjutkan dengan pin hole test. Bila didapatkan perbaikan tajam
penglihatan menentukan adanya kelainan refraksi, bila tidak terdapat perbaikan maka dapat dipikirkan
kemungkinan penurunan tajam penglihatan karena kelainan media refraksi atau kelainan makula/saraf
optik.
e. Bila pasien tidak dapat membaca huruf terbesar pada optotipe Snellen, maka pemeriksaan dilanjutkan
dengan uji hitung jari.
f. Pasien diminta untuk menghitung jumlah jari dari pemeriksa yang dimulai dari jarak 5 m hingga jarak
terdekat 1 m dengan pasien. Bila jari yang terlihat dan dapat dihitung jumlahnya tanpa salah pada jarak
3 m maka tajam penglihatan pasien adalah 3/60. Bila pasien tetap tidak bisa melihat dan menghitung
jari hingga jarak 1 m maka pemeriksaan dilanjutkan dengan uji lambaian tangan.
g. Pemeriksa melambaikan tangan dari jarak maksimal1 m dengan pasien dan pasien diminta
menyebutkan arah lambaian keatas - kebawah atau kekanan kekiri. Bila Pasien dapat melihat lambaian
tangan dan dapat menentukan arah lambaian tangan, maka visusnya adalah 1/ 300 proyeksi baik BUKU
PANDUAN BELAJAR KOAS 12 (1/ 300 PB). Jika dengan uji lambaian tangan, pasien masih belum bisa
melihat maka dilanjutkan dengan pemeriksaan proyeksi sinar.
h. Senter diarahkan kedepan mata pasien yang akan diperiksa dan pasien diminta menyatakan melihat
sinar atau tidak serta menyatakan arah datangnya sinar. Bila pasien dapat melihat sinar maka visusnya
1/ ~ (LP) dan bila mampu menyatakan arah datangnya sinar dengan baik, maka visusnya 1/ ~ dengan
proyeksi baik (GP). Bila pasien dapat melihat sinar maka visusnya 1/ ~ (LP) dan bila tidak mampu
menyatakan arah datangnya sinar, maka visusnya 1/ ~ dengan proyeksi buruk (BP).
Bila pasien tetap tidak dapat melihat sinar maka visusnya adalah No light perception / NLP (buta total).
Teknik Pemeriksaan:
a. Setelah mendapatkan koreksi terbaik untuk penglihatan jauh (BCVA) pasien diinstruksikan untuk
membaca tulisan pada Jaeger Chart pada jarak 33 cm.
b. Cek mata kanan terlebih dahulu, setelah itu cek mata kiri baru kemudian cek dengan kedua mata
terbuka. Catat sampai angka berapa pasien dapat membaca dengan jelas dan benar.
c. Apabila pasien tidak dapat membaca tulisan yang paling kecil maka diberikan koreksi tambahan
dengan lensa plus hingga pasien dapat melihat dengan jelas seluruh tulisan pada Jaeger Chart.
Tekanan bola mata rata-rata adalah 15,5 mm Hg dengan standar deviasi +/- 2.6 mm Hg. Hal ini yang
menentukan nilai “normal” dari tekanan bola mata yaitu 2 tingkat ke atas dan ke bawah dari rata-rata
yaitu sekitar 10-21 mmHg (AAO).
1. Tonometri Schiotz
Tonometer Schiotz merupakan alat praktis sederhana. Pengukuran tekanan bola mata dinilai secara
tidak langsung, yaitu dengan teknik melihat daya tekan alat pada kornea.Dengan tonometer schiotz
dilakukan indentasi (penekanan) terhadap permukaan kornea. Bila suatu beban tertentu memberikan
kecekungan pada kornea maka akan terlihat perubahan pada skala schiotz. Makin rendah tekanan bola
mata makin mudah bola mata ditekan, yang pada skala akan terlihat skala yang lebih besar, hal ini juga
berlaku sebaliknya.
Pembacaan skala dikonversi dengan nilai pada tabel konversi (terdapat dalam kemasan alat) untuk
mengetahui tekanan bola mata dalam satuan millimeter air raksa (mmHg). Selain mencatat hasil
pembacaan dan beban yang digunakan, tekanan bola mata dalam mm Hg juga harus dituliskan.
b. Bila tekanan lebih tinggi dari 25 mmHg, pasien menderita glaucoma. Untuk konversi nilai skala
tonometri schiotz, menggunakan tabel konversi Friedenwald sebagai berikut:
C. Pemeriksaan Konfrontasi
Merupakan uji pemeriksaan lapang pandang yang paling sederhana karena tidak memerlukan alat
tambahan. Lapang pandang pasien dibandingkan dengan lapang pandang pemeriksa. Pasien
diinstruksikan untuk melihat gerak dan jumlah tangan pemeriksa di arah:
- Lateral : 90o
- Caudal: 70o
- Cranial: 55o
- Medial: 60o
Pasien dan pemeriksa atau dokter berdiri berhdapan dengan bertatapan mata pada jarak 60 cm.
Pemeriksa memeriksa mata kanan pasien dengan menggunakan mata kanannya dan memegang
funduskopi dengan tangan kanan. Pemeriksa menggerakkan jaridari arah temporalnyadengan jarak yang
sama dengan mata pasien kearah sentral. Bila pemeriksa telah melihat benda atau jari dalam lapang
pandangannya, maka bila lapang pandang pasien normal ia juga dapat melihat benda tersebut. Bila
lapang pandang pasien menyempit maka akanmelihat benda atau jari tersebut bila benda telah berada
lebih ketengah dalam lapang pandang pemeriksa. Dengan cara ini dapat dibandingkan lapang pandang
pemeriksa dengan lapang pandang pasien pada semua arah. Selain itu apabila pasien memiliki skotoma
fokal, maka biasanya pasien akan mengatakan jari sempat terlihat, namun menghilang untuk beberapa
saat, sebelum akhirnya terlihat lagi. Hal ini tergantung dimana posisi titik butanya.
3. Gangguan refraksi
- Definisi
Kelainan refraksi atau ametropia merupakan suatu defek optis yang mencegah berkas-berkas
cahaya membentuk sebuah fokus di retina. Kondisi dimana tidak ditemukannya kelainan refraksi
disebut emetropia. (Riordan-Eva, 2009) Sehingga emetropia dapat diartikan sebagai suatu
kondisi optis dimana mata tidak mengalami kelainan refraksi, sehingga pada saat tidak
berakomodasi berkas-berkas cahaya yang masuk sejajar dengan sumbu optis dapat membentuk
bayangan tepat di fovea sentralis.
- Epidemiologi
Secara umum, diperkirakan sekitar 5-15% dari seluruh anak mengalami kelainan refraksi
(Dunaway, 2003). Berbagai penelitian mengenai prevalensi kelainan refraksi pada anak juga
sudah dilakukan di berbagai negara. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pi Lian-Hong
dkk. (2010) di Cina, ditemukan bahwa dari 3070 anak usia 6-15 tahun yang diteliti ditemukan
bahwa 384 diantaranya mengalami hipermetropia, 422 anak mengalami miopia, dan 343 anak
mengalami astigmatisme.
Sementara itu, pada tahun 2011 di Poliklinik Mata Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah,
diperoleh hasil 54 anak usia 1-10 tahun mengalami kelainan refraksi dari total 579 pasien
- Klasifikasi
a. Miopi : Miopia atau nearsightedness merupakan suatu kelainan refraksi dengan berkas-
berkas cahaya dari sebuah objek yang jauh difokuskan di sebelah anterior retina pada
kondisi mata tidak berakomodasi.
Apabila miopia disebabkan oleh sumbu bola mata yang terlalu panjang, maka kondisi ini
dapat disebut dengan miopia aksial. Indeks bias media atau indeks refraksi kornea dan lensa
yang terlalu kuat juga dapat menimbulkan miopia, dimana kondisi ini disebut dengan miopia
refraktif
Berdasarkan derajatnya myopia dapat dibagi menjadi tiga, antara lain: myopia ringan
dimana kekuatan lensa yang digunakan kurang dari tiga dioptri, myopia sedang dimana
kekuatan lensa yang digunakan antara tiga hingga enam dioptri, dan myopia berat dimana
kekuatan lensa yang digunakan lebih dari enam dioptri (AOA, 2006). Selain itu, myopia berat
juga dapat didefinisikan dengan panjang sumbu aksial mata yang melebihi 26mm
Penatalaksanaan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan koreksi dengan lensa
negatif yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal
b. Hipermetropia : Hipermetropia atau yang dikenal juga dengan istilah hipermetropia dan
farsightedness adalah keadaan mata tak berakomodasi yang memfokuskan bayangan di
belakang retina
Sama seperti miopia, hal ini disebabkan oleh karena berkurangnya panjang sumbu bola
mata yang disebut dengan hipermetropia aksial dan menurunnya indeks refraksi seperti
pada afakia yang disebut dengan hipermetropia refraktif
Pada pasien hipermetropia keluhan yang sering terjadi meliputi lelah, pusing, sakit kepala
terutama di bagian frontal, dan sebagainya akibat pasien harus terus berakomodasi untuk
mendapatkan tajam penglihatan terbaik (astenopia akomodatif).
Hipermetropia dapat ditangani dengan pemberian lensa positif dimana jika pasien juga
mengalami esophoria maka hipermetropia dikoreksi penuh, sebaliknya jika pasien
mengalami exophoria maka diberikan under koreksi
c. Asigmatisma : Astigmatisma merupakan kelainan refraksi yang mencegah berkas cahaya
jatuh sebagai suatu focus titik di retina karena perbedaan derajat refraksi di berbagai
meridian kornea atau lensa kristalina.
Astigmatisma reguler merupakan tipe astigmatisma yang memiliki dua meridian utama
dengan orientasi dan kekuatan konstan disepanjang lubang 13 pupil sehingga terbentuk dua
garis fokus. Selanjutnya astigmatisma reguler dapat dibagi lagi menjadi tiga tipe yaitu:
astigmatism with the rule dimana daya bias yang lebih besar terletak pada meridian vertikal,
astigmatism against the rule dimana daya bias yang lebih besar terletak di meridian
horizontal, dan astigmatisma oblik yang merupakan astigmatisma reguler yang meridian-
meridian utamanya tidak terletak dalam 20 derajat horizontal dan vertikal.
4. Glaucoma
- Definisi
Glaukoma merupakan kelainan mata yang berupa suatu neuropati kronik yang ditandai oleh
pencekungan diskus optikus, menciutnya lapang pandang, dan biasanya disertai dengan
peningkatan tekanan intraocular
- Epidemiologi
Glaukoma menduduki peringkat kedua sebagai penyebab kebutaan di dunia, dengan persentase
sebanyak 8%, dan glaukoma juga merupakan penyebab ketiga terbanyak gangguan pengelihatan
dengan persentase sebesar 2% setelah katarak dan kelainan refraksi
- Patogenesis
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan kematian sel ganglion retina antara lain: faktor
primer dan faktor sekunder. Faktor primer terdiri dari kenaikan tekanan intraokular atau yang
sering disebut (mechanical theory) dan faktor tekanan independen atau vascular insufficiency
theory. Faktor sekunder atau yang biasa disebut excitotoxicity theory menyebutkan bahwa
degenerasi neuron dapat disebabkan oleh bahan 11 toksin yang dikeluarkan pada saat kematian
sel ganglion retina oleh faktor primer, seperti glutamate, radikal bebas,dan nitrat
- Patogenesis
Faktor umum antara lain sebagai berikut:
a. Usia Rata-rata tekanan bola mata akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur,
kemungkinan karena adanya penurunan fasilitasi aliran humor aquos. Biasanya kenaikan terlihat
mulai usia 40 tahun (Newell,1996) .
b. Jenis kelamin Tekanan intraokularpada orang yang berumur di antara 20-40 tahun tidak ada
bedanya antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi tekanan intraokular biasanya lebih tinggi
pada perempuan yang berusia di atas 40 tahun (Khurana,2007). Hal ini didukung pula dengan
angka kejadian 20 glaukoma sudut terbuka yang lebih tinggi pada perempuan berdasarkan
penelitian di RSMH Palembang (Fidalia,2006).
c. Riwayat keluarga Riwayat keluarga yang menderita glaukoma merupakan salah satu faktor
resiko khususnya pada glaukoma sudut terbuka (Ilyas dan Yulianti,2014).Sehingga pada pasien
yang memiliki riwayat keluarga dengan glaukoma disarankan untuk melakukan skrining teratur
(Salmon,2012).
d. Ras Pada glaukoma sudut terbuka, ras kulit hitam memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan
dengan ras putih dan Asia. (Rudnicka,dkk.,2006).
e. Penyakit penyerta Diabetes dan hipertensi dikatakan meningkatkan resiko seseorang untuk
menderita glaukoma (Ilyas dan Yulianti,2014). Katarak juga merupakan faktor resiko seseorang
untuk menderita glaukoma, karena katarak dapat menyebabkan glaukoma sekunder yang
dibangkitkan oleh lensa (Salmon,2012).
f. Variasi diurnal Biasanya tekanan intraokular akan lebih tinggi pada pagi hari dibandingkan
dengan sore hari. Hal ini dikaitkan dengan variasi diurnal plasma kortisol (Khurana,2007).
g. Penggunaan obat-obatan Penggunaan steroid, merokok dan mengkonsumsi kafein dikatakan
dapat meningkatkan tekanan intraocular
- Diagnosis
Setelah dilakukan anamnesis, jika dicurigai pasien menderita glaukoma, maka adapun
pemeriksaan yang sebaiknya dilakukan antara lain:
a. Tonometri Tonometri merupakan pemeriksaan untuk mengetahui tekanan intraokular.
Sebelum diukur, mata pasien terlebih dahulu diberikan anastesi topikal. Alat yang digunakan
dalam tonometri ini yaitu tonometer. Beberapa jenis tonometer yaitu: tonometer
Goldmann,tonometer TonoPen, tonometer Perkins,tonometer Schiotz(Salmon,2012).
b. Gonioskopi Gonioskopi digunakan untuk menentukan sudut bilik mata depan. Inspeksi sudut
bilik mata depan sangat penting untuk menentukan glaukoma sudut terbuka atau sudut
tertutup (Newell,1996). Apabila terlihat anyaman trabekular, taji sklera, dan prosesus iris maka
sudut dikatakan terbuka. Namun apabila hanya garis Schwalbe yang terlihat dan anyaman
trabekular terlihat sedikit maka sudut dikatakan sempit, dan apabila garis Schwalbe tidak
terlihat, maka sudut dikatakan tertutup 22 (Salmon,2012). Gonioskopi bisa dilakukan secara
direk maupun indirek (Newell,1996).
c. Penilaian diskus optikus Penilaian terhadap diskus optikus penting dalam menegakkan
diagnosis dari glaukoma. Alat yang digunakan dalam menilai diskus optikus adalah oftalmoskopi.
Normalnya terdapat cawan pada diskus optikus, akan tetapi pada pasien glaukoma, terjadi
pembesaran cawan diskus optikus disertai dengan pemucatan diskus di daerah cawan. Pada
pasien glaukoma biasa digunakan rasio cawan-diskus untuk mencatat ukuran diskus optikus
pasien. Jika rasio cawan-diskus sudah melebihi 0,5 dengan adanya tandatanda glaukoma lain
seperti peningkatan tekanan intraokular dan kehilangan lapang pandang maka diindikasikan
adanya atrofi glaukomatosa (Salmon,2012).
d. Pemeriksaan Lapang Pandang Alat untuk mengukur lapang pandang adalah perimeter.
Adapun jenisjenis perimeter yaitu: automated perimeter, perimeter Goldmann, Friedmann field
analyzer, dan layar tangent (Salmon,2012). Adapun perbedaan kehilangan lapang pandang pada
glaukoma tekanan normal dan glaukoma tekanan tinggi. Pada glaukoma tekanan normal, defek
yang lebih tinggi adalah pattern defect. Akan tetapi sebaliknya, pada glaukoma yang bertekanan
tinggi, defek yang terjadi adalah overall defect (IJSR,2014). Kehilangan lapang pandang yang
khas pada glaukoma adalah pada lapang pandang nasal
- Tatalaksana
1. Terapi menggunakan obat
a. Obat untuk mengurangi masuknya humor aqueous ke dalam mata Beta blockers
(Betaxolol,Timolol,Levobunolol) Karbonik anhidrase inhibitor sistemik (Acetazolamide,
Dorzolamide)
b. Obat untuk meningkatkan pengeluaran Humor aqueous melalui anyaman trabekular Miotika
(Pilocarpine,Carbachol) Adrenergik (Dipivefrine)
c. Obat untuk meningkatkan pengeluaran Humor aqueous melalui uveo sklera Lipid-receptor
agonis (Latanoprost,Travoprost)
d. Obat dengan kerja ganda yaitu menghambat masuknya Humor aqueous dan meningkatkan
keluarnya Humor aqueous uveosklera Alpha2 agonis (Brimonidine)
2. Terapi dengan pembedahan
a. Iridoplasti, iridektomi, iridotomi perifer
b. Trabekuloplasti laser
c. Bedah drainase glaukoma
d. Tindakan siklodestruktif
5. Katarak
- Definisi
Katarak adalah opasitas lensa kristalina yang normalnya jernih. Biasanya terjadi akibat proses
penuaan, tapi dapat timbul pada saat kelahiran (katarak kongenital). Dapat juga berhubungan
dengan trauma mata tajam maupun tumpul, penggunaan kortikosteroid jangka panjang, penyakit
sistemis, pemajanan radiasi, pemajanan sinar matahari yang lama, atau kelainan mata yang lain
(seperti uveitis anterior)
- Klasifikasi
Jenis- jenis katarak menurut (Vaughan, 2000) hal 177- 181 terbagi atas :
1. Katarak terkait usia (katarak senilis) Katarak senilis adalah jenis katarak yang paling sering
dijumpai. Satusatunya gejala adalah distorsi penglihatan dan penglihatan yang semakin kabur.
2. Katarak anak- anak Katarak anak- anak dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :
a. Katarak kongenital, yang terdapat sejak lahir atau segera sesudahnya. Banyak katarak kongenital
yang tidak diketahui penyebabnya walaupun mungkin terdapat faktor genetik, yang lain disebabkan
oleh penyakit infeksi atau metabolik, atau beerkaitan dengan berbagai sindrom.
b. Katarak didapat, yang timbul belakangan dan biasanya terkait dengan sebab-sebab spesifik.
Katarak didapat terutama disebabkan oleh trauma, baik tumpul maupun tembus. Penyyebab lain
adalah uveitis, infeksi mata didapat, diabetes dan obat.
3. Katarak traumatik Katarak traumatik paling sering disebabkan oleh cedera benda asing di lensa
atau trauma tumpul terhadap bola mata. Lensa menjadi putih segera setelah masuknya benda asing
karena lubang pada kapsul lensa menyebabkan humor aqueus dan kadang- kadang korpus vitreum
masuk kedalam struktur lensa.
4. Katarak komplikata Katarak komplikata adalah katarak sekunder akibat penyakit intraokular pada
fisiologi lensa. Katarak biasanya berawal didaerah sub kapsul posterior dan akhirnya mengenai
seluruh struktur lensa. Penyakit- penyakit intraokular yang sering berkaitan dengan pembentukan
katarak adalah uveitis kronik atau rekuren, glaukoma, retinitis pigmentosa dan pelepasan retina.
5. Katarak akibat penyakit sistemik Katarak bilateral dapat terjadi karena gangguan- gangguan
sistemik berikut: diabetes mellitus, hipoparatiroidisme, distrofi miotonik, dermatitis atropik,
galaktosemia, dan syndrome Lowe, Werner atau Down.
6. Katarak toksik Katarak toksik jarang terjadi. Banyak kasus pada tahun 1930-an sebagai akibat
penelanan dinitrofenol (suatu obat yang digunakan untuk menekan nafsu makan). Kortokosteroid
yang diberikan dalam waktu lama, baik secara sistemik maupun dalam bentuk tetes yang dapat
menyebabkan kekeruhan lensa.
7. Katarak ikutan Katarak ikutan menunjukkan kekeruhan kapsul posterior akibat katarak traumatik
yang terserap sebagian atau setelah terjadinya ekstraksi katarak ekstrakapsular
- Etiologi
Penyebab utama katarak adalah proses penuaan. Anak bisa mengalami katarak yang biasanya
merupakan penyakit yang diturunkan, peradangan di dalam kehamilan, keadaan ini disebut sebagai
katarak kongenital. Lensa mata mempunyai bagian yang disebut pembungkus lensa atau kapsul
lensa, korteks lensa yang terletak antara nukleus lensa atau inti lensa dengan kapsul lensa. Pada
anak dan remaja nukleus bersifat lembek sedang pada orang tua nukleus ini menjadi keras. Katarak
dapat mulai dari nukleus, korteks, dan subkapsularis lensa. Dengan menjadi tuanya seseorang maka
lensa mata akan kekurangan air dan menjadi lebih padat. Lensa akan menjadi keras pada bagian
tengahnya, sehingga kemampuannya memfokuskan benda dekat berkurang. Hal ini mulai terlihat
pada usia 45 tahun dimana mulai timbul kesukaran melihat dekat
- Manifestasi Klinis
Biasanya, pasien melaporkan penurunan ketajaman fungsi penglihatan, silau, dan gangguan
fungsional sampai derajat tertentu yang diakibatkan karena kehilangan penglihatan tadi, temuan
objektif biasanya meliputi pengembunan seperti mutiara keabuan pada pupil sehingga retina tak
akan tampak dengan oftalmoskop.
- Tatalaksana
Sampai saat ini belum ditemuka n obat yang dapat mencegah katarak. Beberapa penelitian
sedang dilakukan untuk memperlambat proses bertambah keruhnya lensa untuk menjadi
katarak (Ilyas, 2006). Meski telah banyak usaha yang dilakukan untuk memperlambat
progresifitas atau mencegah terjadinya katarak, tatalaksana masih dengan pembedahan (James,
2006). Untuk menentukan waktu katarak dapat dibedah ditentukan oleh keadaan tajam
penglihatan dan bukan oleh hasil pemeriksaan. Tajam penglihatan dikaitkan dengan tugas
sehari-hari penderita. Digunakan 25 nama insipien, imatur, matur, dan hipermatur didasarkan
atas kemungkinan terjadinya penyulit yang dapat terjadi (Prof. Dr Sidarta Ilyas, dkk, 2002).
Operasi katarak terdiri dari pengangkatan sebagian besar lensa dan penggantian lensa dengan
implant plastic
- Komplikasi
1. Hilangnya vitreous. Jika kapsul posterior mengalami kerusakan selama operasi maka gel
vitreous dapat masuk ke dalam bilik anterior, yang merupakan resikoterjadinya glaucoma atau
traksi pada retina. Keadaan ini membutuhkan pengangkatan dengan satu instrument yang
mengaspirasi dan mengeksisi gel (virektomi). Pemasanagan lensa intraocular sesegera mungkin
tidak bias dilakukan pada kondisi ini.
2. Prolaps iris. Iris dapat mengalami protrusi melalui insisi bedah pada periode pasca operasi
dini. Terlihat sebagai daerah berwarna gelap pada lokasi insisi. Pupil mengalami distorsi.
Keadaan ini membutuhkan perbaikan segera dengan pembedahan. 26
3. Endoftalmitis. Komplikasi infeksi ekstraksi katarak yang serius, namun jarang terjadi.