Anda di halaman 1dari 5

Nama : Fazriah

NPM : 1906288713
Mata kuliah dan kelas : Geografi Kesehatan
Ujian Tengah Semester

Tata Ruang Pro Disabilitas di Kota Depok

Penyandang disabilitas merupakan kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan


yang bisa mengganggu peran aktif mereka dalam kehidupan sosial (Diono et al., 2014).
Disabilitas dapat disebabkan oleh gangguan kesehatan pada usia muda, penyakit kronis atau
akut, cedera akibat kecelakaan, perang, huru-hara dan bencana (Diono et al., 2014). Menurut
Mawardianto (2018) Disabilitas terdiri dari 4 jenis meliputi disabilitas fisik, mental,
intelektual dan sensorik dalam jangka waktu panjang. Hal tersebut selaras dengan Undang
Undang No 8 tahun 2016 yang menyebutkan bahwa penyandang disabilitas merupakan setiap
orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka
waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan
kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya
berdasarkan kesamaan hak.Sejak pemerintah Indonesia meratifikasi Convention on the Rights
of Persons with Disabilities (CRPD) melalui UU No. 19 tahun 2011, semangat penghapusan
praktik diskriminasi yang kerap dialami penyandang disabilitas di Indonesia semakin
meningkat (Tan dan Ramadani, 2020).
Konvensi Hak Penyandang Disabilitas merupakan titik awal dan titik terang untuk
mempromosikan dan meningkatkan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas karena
Konvensi Hak Penyandang Disabilitas menekankan pada hak-hak umum dan memberikan
spesifikasi bagi penyandang disabilitas. CRPD juga mengatur kekuasaan dan kewajiban
negara pihak dalam pelaksanaan hak-hak penyandang disabilitas (Nasution dan
Marwandianto, 2019). Berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 468/KPTS
tahun 1998, aksesibilitas merupakan “kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat
guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan”.
Ini mengasumsikan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk memperoleh akses
kenyamanan secara setara dalam hidup. Aksesibilitas difokuskan pada fasilitas umum
(Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 468 / KPTS / 1998)
Amanat Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 13 Tahun 2013 sebagaimana pasal 59
ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal tunggal
dan rumah deret sederhana, harus menyediakan fasilitas dan aksesibilitas untuk menjamin
terwujudnya kemudahan bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia untuk masuk dan keluar
dari bangunan gedung serta beraktivitas dalam bangunan gedung secara mudah, aman,
nyaman, dan mandiri. Dilihat dari segi organisasi dapat dinilai dari kualitas pelayanan yang
diberikan, dari perkembangan di wilayah Kota Depok yang semakin meningkat jumlah
pertumbuhan penduduknya dan rumah tumbuh atau rumah tinggal yang bertambah sehingga
semakin meningkatnya kebutuhan akan pembangunan fisik di wilayah tersebut.
Gambar 1. Peta Infrastruktur Kota Depok

Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat 6º19’00” – 6º28’00” LS dan
106º43’00” – 106º55’30” BT. Kota Depok memiliki luas wilayah 200,29 km2 atau 0,58%
dari luas Provinsi Jawa Barat, yang berbatasan langsung dengan tiga kabupaten/kota dan dua
provinsi dimana bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Tangerang Selatan, Provinsi
Banten dan Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sebelah timur berbatasan dengan
Kecamatan Pondok Gede Kota Bekasi dan Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor,
bagian selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Bojonggede
Kabupaten Bogor, dan bagian barat berbatasan dengan Kecamatan Parung dan Kecamatan
Gunung Sindur Kabupaten Bogor. Berdasarkan Perda No. 8 tahun 2008 tentang pembentukan
wilayah Kecamatan di Kota Depok, Pemerintah Kota Depok terbagi menjadi 11 kecamatan,
diantaranya : Kecamatan Sawangan, Kecamatan Bojongsari, Kecamatan Pancoran Mas,
Kecamatan Cipayung, Kecamatan Sukmajaya, Kecamatan Cilodong, Kecamatan Cimanggis,
Kecamatan Tapos, Kecamatan Beji, Kecamatan Limo dan Kecamatan Cinere.
Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan untuk mewujudkan kesamaan
kesempatan dalam segala aspek kehidupan. Aksesibilitas merupakan bagian dari kehidupan
manusia dalam kehidupannya, sehingga aksesibilitas sangat penting karena untuk memadai
aktivitas manusia begitupula aksesibilitas sangat penting untuk penyandang disabilitas.
Kesamaan kesempatan diartikan sebagai keadaan yang memberikan peluang atau
menyediakan akses kepada difabel untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek
penyelenggaraan negara dan masyarakat. Tujuan dari aksesibilitas adalah untuk memberikan
kemudahan bagi penyandang disabilitas dalam melakukan aktivitas sehari-hari serta memiliki

2
kesempatan dan peluang yang sama dalam memperoleh pelayanan publik untuk aksesibilitas
fisik maupun non fisik.
Berdasarkan catatan BPS Provinsi Jawa Barat tahun 2016, Depok memiliki 1.050
penyandang disabilitas. dimana disabilitas fisik sebanyak 661, 309 penyandang disabilitas
tuna daksa. 13 orang dengan gangguan pendengaran (tuli), 339 tunanetra, penyandang
disabilitas mental sebanyak 191 orang dengan rincian tuna grahita sebanyak 45 orang, tuna
laras, sebanyak 46, penyandang disabilitas fisik dan mental (ganda) sebanyak 108 orang.
Dengan bertambahnya jumlah penyandang disabilitas, saat ini mulai bermunculan
pembangunan sarana dan prasarana yang ramah bagi penyandang disabilitas, khususnya di
ruang publik. Seiring berjalannya waktu, hampir setiap elemen masyarakat berpartisipasi
dalam pembangunan sarana dan prasarana bagi kelompok penyandang disabilitas (Jefri,
2016). Difabel adalah salah satu istilah yang diusulkan untuk menggantikan kata difabel
dengan makna sembarangan. Istilah disabilitas berasal dari pengertian orang dengan
kemampuan yang berbeda, yaitu orang dengan kemampuan fungsional yang terbatas dan
gerakan fisik yang berbeda (Haryanti & Sari, 2017). Artinya penyandang disabilitas mendapat
kesempatan yang sama di semua bidang kehidupan mereka melalui penyediaan aksesibilitas.
Oleh karena itu, perwujudan fasilitas yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas harus
dilakukan untuk menjamin kesetaraan kesempatan dalam hidup. (Kurniati, 2017). Merancang
aksesibilitas di ruang kota juga harus bermanfaat bagi masyarakat umum dalam berbagai
tindakan. Juga, jika fungsi ruang publik kota adalah tempat dimana seseorang secara sadar
dapat melepaskan diri dari kebosanan kehidupan sehari-hari di kota. Tentu saja, itu tidak
hanya berlaku untuk pengalaman sekelompok warga kota, tetapi juga secara komprehensif.
Oleh karena itu, ide mendesain ruang publik perkotaan harus diterapkan secara konsisten
kepada semua orang, termasuk penyandang disabilitas (Dewang & Leonardo, 2010).
Tata ruang, akses, dan fasilitas umum ramah bagi penyandang disabilitas dapat berupa
Ramp yang digunakan sebagai pengganti tangga untuk naik ke transportasi umum, portal S
yang digunakan sebagai pelindung pengguna kursi roda yang terletak di ujung trotoar dan
terbuat dari besi, Guiding Block yang merupakan jalur pemandu ubin berwarna kuning
dengan garis lurus dan bertekstur bulat, jembatan penyebrangan yang bisa dilalui kursi roda,
Zebra cross, alat bantu naik turun dari sarana transportasi, lift prioritas, informasi khusus dan
tersedia dengan tulisan braille, kursi prioritas dan toilet khusus.
Pemkot Depok telah berupaya membangun akses jalan bagi penyandang disabilitas,
seperti yang disebut “jalan ramah masyarakat” dimana jalan yang dibangun pemkot depok
berupa Guiding Block dengan warna kuning cerah memudahkan untuk melihat rute yang
dapat diakses oleh tunanetra, dan bukan tunanetra. Aksesibilitas yang dijanjikan pemerintah
dalam Perda Depot Kota ternyata belum memberikan kemudahan untuk benar-benar
mengakses pergerakan mereka. Hasil survei menunjukkan masih kurangnya layanan yang
dibutuhkan penyandang disabilitas, termasuk akses layanan publik yang memudahkan
kehidupan penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas kehilangan hak mereka atas
jabatan yang baik. Misalnya, jalur disabilitas menjadi lahan parkir dan blok atas dan bawah
rusak dan tidak diperbaiki, jalur disabilitas terhalang tumpukan sampah, dan beberapa ruas
jalan belum terpelihara atau diperbaiki. Demikian pula pada jalur ramah disabilitas terletak
pada akses Jalan Margonda Raya Kota Depok, masih pula ditemukan beberapa titik akses
jalan yang tak ramah untuk dilintasi para penyandang disabilitas, terlihat pemasangan

3
terhalang oleh beberapa motor yang tengah parkir, Pemasangan jalur Disabilitas yang tidak
merata, Jalur Ramah Disabilitas yang terlihat tidak terawat, terhalangnya Jalur ramah
disabilitas oleh tumpukan sampah dan tiang listrik. Ukuran dasar ruang pejalan kaki tidak ada
hubungannya dengan esensi ukuran dasar tiga dimensi (panjang, lebar, tinggi) karena Pemkot
Depok telah membuat rute yang cocok untuk penyandang disabilitas sesuai dengan kriteria
penamaannya. Artinya pembangunan jalan khusus penyandang disabilitas tidak ada kaitannya
dengan ukuran tubuh manusia dewasa, peralatan yang digunakan, dan ruang gerak yang
dibutuhkan pengguna (Hasanah, 2017). Namun demikian, masih ada jalur pejalan kaki yang
dibangun khusus untuk penyandang disabilitas yang tidak memenuhi syarat sangat sempit dan
tidak terhubung. Hal yang sama berlaku untuk tunanetra (Syafi`ie, 2014), tetapi yang paling
dibutuhkan adalah sistem audio seperti lift berbicara, bangunan dengan Braille di pegangan
tangga, dan blok peringatan di jalan umum.
tata ruang dan fasilitas untuk penyandang disabilitas telah dibangun seperti di jalan
margonda namun kurangnya sosialisasi Pemkot Depok kepada masyarakat menyebabkan
pembangunan ini teralih fungsikan menjadi trotoar yang dipenuhi pedagang kaki lima,
tumpukan sampah, tempat parkir motor sembarangan yang mengakibatkan pembangunan ini
masih belum dirasakan secara utuh oleh penyandang disabilitas. Selain itu, dalam pembuatan
jalur ramah disabilitas di trotoar Jalan Margonda Kota Depok diperlukan adanya jalur
sirkulasi yang memiliki bidang dengan kemiringan tertentu dengan menggunakan bantuan
ramp jalan. Permasalahan yang dihadapi Pemkot Depok terkait dengan penyediaan
aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, yaitu minimnya alokasi anggaran rutin untuk
memelihara jalur akses dimana pelayanan aksesibilitas terhadap jalur penyandang disabilitas
di trotoar Jalan Margonda Kota Depok masih memiliki berbagai permasalahan dan
ketersediaan fasilitas yang belum efektif. Hal ini menunjukkan bahwa ada banyak jalur
khusus yang seharusnya berfungsi untuk pejalan kaki penyandang disabilitas di antaranya
telah dimodifikasi. Oleh karena itu, jalur khusus tersebut dikatakan sangat tidak ramah bagi
penyandang disabilitas baik dari segi kenyamanan maupun keamanan. Akibatnya, hak-hak
penyandang disabilitas sebagai warga kota Depok tidak terpenuhi dengan baik.
Fasilitas dan sarana bagi penyandang disabilitas pada taman-taman kota tidak
seluruhnya aksesibel. Beberapa trotoar tidak aksesibel karena tidak dilengkapi dengan ramp
yang berguna untuk memudahkan bagi para penyandang disabilitas terutama pengguna kursi
roda dan minimnya toilet untuk difabel dimana pembangunan toilet khusus disabilitas
seharusnya disediakan dan harus memperhatikan ukuran toilet tersebut dan juga belum
tersedianya rambu serta marka yang berguna untuk memberi petunjuk area-area tertentu pada
taman tersebut. setiap fasilitas di Kota Depok sudah mencoba menyediakan tetapi belum
sepenuhnya dimana toilet yang sudah menyediakan handrail dan lebar pintu yang memadai
namun pada toilet tersebut menyediakan kloset dengan model jongkok sehingga masih
menjadi penghalang bagi penyandang disabilitas, rumah sakit dan puskesmas memang sudah
menyediakan plengsengan (ramp) namun bangunannya masih terlalu tinggi dan tidak
dilengkapi dengan handrail, serta belum tersedianya huruf braille yang bermanfaat untuk
penyandang disabilitas.

4
Referensi :
Dinas Kesehatan Kota Depok. 2018. Profil Kesehatan Kota Depok tahun 2017. Depok
Nuraviva L. 2017. Aksesbilitas Penyandang Disabilitas terhadap Fasilitas Publik di Kota
Surakarta. FISIP, UNDIP. Semarang
Avianto N, Fauziah. 2020. Pelayanan Aksesibilitas Jalur Ramah Disabilitas di trotoar Jalan
Margonda Kota Depok. FISIP UNJ. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai