Anda di halaman 1dari 9

golongan darah sistem ABO

BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Banyak penyebab keguguran berulang yang telah diidentifikasi di dunia kedokteran
khususnya kandungan. Salah satu penyebab yang sekarang ini makin sering ditemukan adalah
adanya inkompatibilitas golongan darah sistem ABO Pada kasus ini, terjadi reaksi imunitas
antara antigen dan antibody. Inkompatibilitas ini sering menimpa golongan darah A dan B, O
dan A/B. Prinsipnya, janin atau bayi memiliki antigen yang tidak dimiliki ibunya. Karena
suplai darah ke janin berasal dari ibu, maka antigen ini akan sedikit menolak dengan
memunculkan reaksi. Akibatnya dalam dunia kedokteran akan menimbulkan klinis seperti
kematian janin dalam kandungan atau reaksi hemolisis darah bayi. Ada dua keadaan, yaitu A
inkompatilitas atau B inkompatibilitas. Anti-A dan Anti-B ini termasuk Ig-M. Namun pada
kasus ibu berdarah O, Ig nya berjenis Ig-G, menyebrangi plasenta dan menyebabkan
hemolisis pada bayi. Kejadian kasus ini berkisar dibawah 3% dari seluruh kejadian kematidan
dan hemolisis bayi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 SISTEM ABO
 Diketemukan oleh Karl Landsteiner pada tahun 1901
 Merupakan antigen yang sangat penting untuk transfusi darah
 Pemberian transfusi darah oleh karena ABO inkompatibilitas akan mengakibatkan
terjadinya hemolisis intravaskuler
2.2 REAKSI TRANSFUSI HEMOLITIK (UJI SILANG SERASI)
Mencakup pemeriksaan :
 ABO dan Rhesus baik pada darah donor maupun resipien
 Skrining dan identifikasi antibodi pada donor dan resipien
 Uji silang serasi
2.3 PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH ABO
Inter-
Cell typing Serum typing Presentase (%)
pretasi
Anti- Sel Gol.
Anti-A Anti-B Sel A Sel B White Indonesia
AB O Drh
- - - + + - O 45 41
+ - + - + - A 41 25
- + + + - - B 10 27
+ + + - - - AB 4 7
2.4 KETIDAK COCOKAN GOLONGAN DARAH ABO
1. Ketidak cocokan terjadi, bila reaksi cell typing tidak sesuai / didukung dengan reaksi
serum typing
2. Bila diketemukan hasil pemeriksaan yang menyimpang, maka harus dilakukan :
 Hasil pemeriksaan harus dicatat dan didokumentasikan
 Interpretasi hasil golongan darah ABO harus ditunda hingga ketidak cocokan
diketahui dan diputuskan
2.5 PENYEBAB KETIDAK COCOKAN GOLONGAN DARAH ABO
1. Problem dengan sel darah merah
2. Problem yang berhubungan dengan test atau kesalahan tehnis
2.6 HASIL FALSE NEGATIP PADA PEMERIKSAAN ABO
 Lupa menambahkan reagen atau test serum
 Reaksi hemolisis tidak dinyatakan sebagai reaksi posistip
 Perbandingan antara serum (reagen) dengan sel darah merah tidak sesuai
 Goyangan pada slide test atau putaran sentrifus tidak akurat untuk metoda tube test
 Test diinkubasi pada suhu diatas 20 – 240C
 Pembacaan atau penulisan hasil salah
2.7 HASIL FALSE POSITIP PADA PEMERIKSAAN ABO
 Untuk metoda tube test, putaran sentrifus terlalu lama / kuat
 Reagen, sel darah merah atau saline terkontaminasi
 Menggunakan peralatan yang kotor
 Pembacaan atau penulisan hasil salah
2.8 MASALAH PADA PEMERIKSAAN CELL TYPING
1. Transfusi darah atau transplantasi sumsum tulang
2. Antigen lemah atau missing antigen :
 Subgroup lemah dari A atau B antigen
 Penyakit lekemia atau keganasan lainnya
3. Polyagglutinasi
4. Konsentrasi serum protein yang tidak normal :
 Infus makromolekular
 Wharton jelly
5. Konsentrasi substance A dan B yang tinggi dalam serum
6. Penggunaan warna untuk reagen anti-A dan anti-B yang berperan sebagai antibodi
7. Cold reactive auto agglutinins
8. pH atau pengenceran auto antibodi
2.9 MASALAH PADA PEMERIKSAAN SERUM TYPING
1. Gumpalan fibrint
2. Konsentrasi protein yang abnormal :
 Rouleaux formasi
 Ratio serum protein
 Makromolekular plasma expander
3. Terdapatnya antibodi selain anti-A dan anti-B
4. Bahan pengencer mengandung antibodi dan sebagai pengawet sel A dan B
5. Kadar Immunoglobulin yang rendah
6. Hasil neg. atau pos. lemah pada bayi usia > 4 – 6 bulan
7. Titer komplemen yang tinggi pada anti-A da -B
8. Transplantasi dengan ABO berbeda
9. Sebelumnya mendapat transfusi komponen plasma
2.10 TINDAK LANJUT PADA KETIDAK COCOKAN ABO
1. Ulangi seluruh pemeriksaan
2. Gunakan sel darah merah yang telah dicuci dengan saline
3. Pemeriksaan lanjutan
2.11 PEMERIKSAAN LANJUTAN PADA KETIDAK COCOKAN ABO
1. Periksa ulang dengan sampel darah baru
 Cuci SDM dan test dengan anti-A, -B, anti-A1 dan anti-H
 Periksa serum ulang dengan SDM A2, O, cord blood dan auto kontrol
 Baca hasil setelah pemutaran
 Inkubasi pada suhu kamar selama 30 menit
 Hangatkan serum dan SDM
 Baca semua reaksi dan beri gradasi pos :
 dengan menggunakan mikroskop
 adakah mixed field aglutinasi
2. Lakukan pemeriksaan DCT
3. Cari informasi mengenai penyakit pasien seperti :
 Usia
 Diagnosa
 Kehamilan
 Transfusi
 Pengobatan
4. Reaksi lemah atau missing reaction :
 Karena usia pasien atau penyakit
 Kadar substance A atau B yang tinggi
 Subgroup A atau B
 Reaksi serologi yang karakteristik
 Teknik absorbsi dan elusion
 Periksa saliva / sekretor
 Mixed field agglutination
 Subgroup
 Chimera
 Transplantasi
 Transfusi masif
 Reagen terkontaminasi atau kadaluwarsa
 Validasi reagen setiap hari
 Ulangi pemeriksaan dengan reagen baru
5. Pemeriksaan tambahan
a. Sel O positif (auto kontrol negatif)
- Alloantibodi
- Identifikasi alloantibodi
- Test dengan sel yang neg. untuk mencocokkan antigen
b. Autoantibodi tipe dingin
- Teknik pre warmed
- Autoadsorption untuk pemeriksaan reverse grouping
- Gunakan SDM yang telah dicuci (saline hangat)
- Rouleaux
 Infus makromolekular, penyakit
c. Sel O negatif (auto kontrol positif)
- Nonspesifik atau spontan aglutinasi
 Silica gel
 Wharton jelly
 Antibody coated cells
- DCT positif
d. Sel O negatif (auto kontrol negatif)
1. Subgroup A dan B
- Anti – A1
- Sel A1, A2 dan O (3 contoh darah)
- Teknik pre warmed
2. Polyaglutinasi
3. Acquired B–like (enzim deacethylase mengubah N–Acethylgalaktosamin dari gol
A menjadi galaktosamin  E Coli K12 dan Clostridium tertium A).
2.12 POLYAGGLUTINASI
- Bila eritrosit mengaglutinasi semua atau banyak serum.
- SDM donor dengan poliaglutinasi tidak boleh untuk transfusi.
- Tersering tipe T polyaglutinasi : melalui sialidase invivo membran SDM dirusak oleh
karena infeksi pneumococcus atau influenza virus atau invitro akibat kontaminasi bakteri
pada sampel, sehingga cryptantigan disaccharid Gal B1  3 GalNAca  Serine (
Threonine) terbuka. Anti–T yang terbentuk akan mengakibatkan hemolisa berat.
- tn Polyaglutinasi terjadi akibat kerusakan enzim Galactosyl – transferase pada
hematopoietic stamn cells  persistent mixed field polyagglutinability), sering diikuti
dengan Thrombocytopenie dan Leucocytopenie. Pada pasien kebanyakan tidak terbentuk
anti – Tn, namun bila ada anti – Tn  Hemolitik anemia.
- Reaksi antara sel normal dengan sel polyagglutinasi.
Reaksi test dengan
Tipe sel
AB serum dewasa Cord Sera
Normal sel O 0 0
T + 0
Tn + 0
Tk + 0
+ = Aglutinasi 0 = tidak beraglutinasi
- Membedakan sel polyagglutinasi dengan reagen lectin
Tipe sel Glycine soja Arachishypogaea Dolichosbiflorus
Normal sel O 0 0 0
T + + 0
Tn + 0 +
Tk 0 + 0
+ = Aglutinasi 0 = tidak beraglutinasi
ACQUIRED B-LIKE ATAU A-LIKE ANTIGEN
Acquired A :
- Tn Aktivasi
- B (A) phenotypy
Acquired B :
- Ulserasi atau obstruksi lesi pada saluran pencernaan
- Golongan darah pasien A (genetik)
- Reaksi dengan anti-B lemah (1+ - 2+), tetapi anti-B pada serum pasien tidak bereaksi
dengan selnya sendiri.
- Transfusi PRC dengan golongan A atau O
CONTOH KASUS
Pada pemeriksaan golongan darah seorang donor yang sehat memberikan hasil sebagai
berikut :
Cell grouping Serum grouping
Anti-A Anti-B Anti-AB Anti-D Rh Ko Sel A1 Sel B
1+ 3+ 3+ 3+ - 3+ O
1. Golongan darah apa pada kasus diatas ?
2. Penambahan test apa yang harus dilakukan ?
KASUS 2 :
Seorang pasien usia 40 tahun, pernah mendapatkan 4 kantong darah golongan B Rh pos 5
tahun yang lalu. Pada pemeriksaan ditemukan hasil sebagai berikut :
Anti- Anti- Anti- Sel A1 Sel B Sel O Auto Anti- Rh ko
A B AB D
- 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ - 4+ -
1. Golongan darah apa pada kasus diatas ?
2. Penambahan test apa yang harus dilakukan ?
RHESUS SISTEM
 Diketemukan oleh Levine dan Stetson pada tahun 1939
 Antigen D merupakan antigen yang penting setelah antigen A dan B dalam bidang tranfusi
 Anti – D selalu timbul setelah transfusi atau kehamilan
 D antigen merupakan antigen yang kuat dan lebih dari 80 % resipien dengan Rh neg (D-)
yang mendapat transfusi dengan rh pos (D+) akan membuat anti -D
 Prosentase D antigen pada kulit putih (85 %), kulit hitam (92 %)
 D weak antigen
- D weak genetik : antigen D komplit jarang ditemukan pada kulit putih
- C trans : position effect atau gene interaction effect Dce/dCe, kekuatan antigen D tidak
berpengaruh pada posisi cis Dce/dce
- Partial D : satu atau lebih bagian dari D antigen missing/hilang. Semua sampel harus
diperiksa secara duplo dengan menggunakan IgM monoclonal yang tidak dapat
mendeteksi D
2.13 PENTINGNYA ARTI D – WEAK PADA DARAH DONOR
 Immunogenik D weak lebih lemah dibandingkan dengan D pos yang normal bila
ditransfusikan pada resipien D neg
 Dapat terjadi reaksi transfusi hemolitik
 Dapat terjadi HDN tapi jarang
2.14 PENTINGNYA ARTI D–WEAK PADA RESIPIEN
 Resipien dengan D weak harus ditransfusikan dengan D neg untuk menghindari
terbentuknya anti –D
 Untuk menghindari kesalahan pemeriksaan darah Rh neg resipien sebagai Rh pos,
harus ada sistem kontrol anti –D
 Semua wanita yang sedang hamil, abortus atau dalam perawatan kandungan harus
diperiksa Rhesus sistemnya
 D neg dan D weak harus diperlukan seperti Rh neg.
2.15 PEMERIKSAAN RHESUS YANG BERMASALAH
- Siapkan SDM segar yang telah dicuci dengan saline, buat suspensi
- Periksa ulang dengan anti –D dan Rh kontrol
- Hasil yang lemah lanjutkan dengan inkubasi pada suhu 370 C  IAT
- Bila perlu lakukan DCT
2.16 REAKSI FALSE POSITIF DENGAN REAGEN RHESUS
1. Cold agglutinin
2. Inkubasi terlalu lama sehingga kering pada metoda slide
3. Rouleaux
4. Fibrin
5. Polyagglutinasi
6. Reagen terkontaminasi dengan bakteri
7. Penggunaan reagen yang salah
2.17 REAKSI FALSE NEGATIF DENGAN REAGEN RHESUS
1. Pemeriksaan tidak sesuai prosedur kerja dari reagen
2. Pengenceran sel terlalu tinggi
3. Penggunaan reagen yang salah
4. Adanya variant antigen
5. Kekuatan reagen sudah melemah
2.18 MILTENBERGER SISTEM
Miltenberger sistem mempunyai 5 antigen satelit, yaitu :
1. Mia (miltenberger)
2. Vw (Verweyst) atau Graydon
3. Mur (Murrell)
4. Hil (Hill)
5. Hut (Hutchinson)
Ke 5 antigen ditemukan dalam darah dalam beberapa kombinasi menurut susunan dari
Cleghorn dan dikembangkan oleh Wirrwarr.
Ada 5 kelas yang berbeda yang termasuk dalam Miltenberger komplex. Dan nama diberikan
sesuai dengan pembuat antibodi pertama. Miltenberger complex termasuk dalam phenotype
MNSs sistem.
Reaksi anti serum Diketemukan
Kelas
Hil 0/00 Gen
Eritrosi Verweys Miltenberge Murrel Hutchinso
l Phenotyp Komple
t t Vw r Mia l Mur n Hut
Hil e x
England Ms, Ms,
= 0.570 Ns, Ns
I + + - - -
Zurich =
0.905
England Ms, Ms,
II - + - - +
= 0.644 Ns
III - + + + + England Ms, Ns
= 0.100
Thailand
= 96.400
England Ns
IV - + + - +
= 0.020
England Ms, Ns
=0
V - - - + -
Zurich =
0.484
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Merupakan antigen yang sangat penting untuk transfusi darah Pemberian transfusi darah
oleh karena ABO inkompatibilitas akan mengakibatkan terjadinya hemolisis
intravaskuler. ABO dan Rhesus baik pada darah donor maupun resipien Skrining dan
identifikasi antibodi pada donor dan resipien
DAFTRA PUSTAKA
Cunningham FG, MacDonald PC, et al. Williams Obstetrics. 18th edition 1995. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1995: 706-721.
Markum AH, Ismail S, Alatas H. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Jakarta: Bagian IKA
FKUI, 1991: 332-334
Tudehope DI, Thearle MJ. A primer of neonatal medicine. Queensland: William Brooks
Queensland, 1985: 144-149
Wagle S. Hemolytic disease of the newborn. www. Neonatology.org. 2002

Anda mungkin juga menyukai