Secara garis besar, pelaksanaan demokrasi parlementer ini terbagi ke dalam tiga
periode: periode pertama pada kurun waktu1945-1949, kedua pada kurun waktu 1949-
1950, dan ketiga yakni dalam kurun waktu 1950-1959.
A. Pada masa pasca revolusi kemerdekaan (18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949)
Pada masa ini ternyata masih terbagi lagi ke dalam dua periode, yakni:
18 Agustus 1945 - 14 November 1945 dimana berlaku sistem
pemerintahan presidensiil, dan
14 November 1945 - 27 Desember 1949 dimana berlaku sistem
pemerintahan parlementer.
Tanggal 17 Agustus 1945, tepatnya pada awal-awal deklarasi kemerdekaan
Indonesia, Indonesia menjalankan sistem presidensial dengan bentuk negara kesatuan
yang berbentuk republik (sesuai dengan pasal 1 ayat 1 UUD 1945) yang menyatakan
bahwa Presiden memiliki kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan.
Pada tanggal 23 Agustus 1945, Belanda dan negara sekutu mendarat di
Indonesia. Negara lain bermaksud untuk mengamankan Indonesia pasca revolusi
kemerdekaan.Sementara lain halnya dengan Belanda yang bermaksud untuk kembali
menguasai Indonesia. Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia menghadapi
berbagai rongrongan untuk mempertahankan kemerdekaannya.Padahal pada masa ini
terdapat indikasi dan keinginan kuat dari para pemimpin negara untuk membentuk
pemerintahan demokratis. Namun karena Indonesia harus berjuang untuk
mempertahankan kemerdekaan maka belum bisa sepenuhnya mewujudkan
pemerintahan demokratis sesuai dengan UUD 1945. Akhirnya dalam perjalanannya
terjadilah berbagai penyimpangan-penyimpangan.Contohnya saja beberapa bulan
setelah Proklamasi kemerdekaanadanya kesempatan besar untuk mendirikan partai
politik, sehingga bermunculanlah partai-partai politik Indonesia. Dengan demikian kita
kembali kepada pola sistem politik multipartai.
Pada zaman awal kemerdekaan ini, partai politik tumbuh menjamur dengan
berbagai haluan ideologi politik yang berbeda satu sama lain. Hal ini dikarenakan
adanya Maklumat Pemerintah Republik Indonesia 3 November 1945 yang berisi anjuran
mendirikan partai politik dalam rangka memperkuat perjuangan kemerdekaan. Akhirnya
secara resmi muncul 10 partai politik. Bukan hanya itu, tetapi penyimpangan
konstitusional juga sempat terjadi dengan berubahnya sistem kabinet presidensiil
menjadi sistem kabinet parlementer atas usul badan pekerja KNIP yakni pada tanggal 11
November 1945. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Maklumat pemerintah
tanggal 14 November 1945 yang mengubah sistem pemerintahan presidensiil menjadi
parlementer berdasarkan asas-asas demokrasi liberal yang di pimpin oleh perdana
mentri Syahrir. Dalam kabinet ini mentri-mentri tidak lagi menjadi pembantu dan
bertanggung jawab kepada Presiden, tetapi bertanggung jawab kepada KNIP.
Disamping itu, KNIP menjadi lembaga yang menjadi cikal bakal DPR yang berfungsi
sebagai badan legislatif. Hal ini sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan dalam UUD
1945 dan maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 yang
memutuskan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan bersama-sama dengan
Presiden berfungsi menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Hal ini dilakukan
karena MPR dan DPR belum terbentuk.
Bagi bangsa Indonesia, hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan hak
yang harus dipertahankan dan diperjuangkan. Sebagai konsekuensinya, banyak
perlawanan-perlawanan dari rakyat kepada tentara sekutu dan NICA dimana-mana.
Terbukti dengan adanya pertempuran di Bandung, Surabaya, dan tempat-tempat lain
yang mereka datangi.
Munculnya perlawanan-perlawanan sengit tersebut memaksa Belanda
melakukan perundingan dan perjanjian dengan Indonesia. Akhirnya setelah melalui
perjuangan panjang, Belanda mau mengakui kedaulatan Indonesia dengan disetujuinya
perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 27 Desember 1949 di Istana
Dam, Amsterdam. Namun, bangsa Indonesia harus menerima berdirinya negara yang
tidak sesuai dengan cita-cita proklamasi dan kehendak UUD 1945, sehingga Negara
Kesatuan Republik Indonesia berubah menjadi Negara Republik Indonesia Serikat
berdasarkan konstitusi RIS.
Tanpa kita sadari, ternyata masa tahun 1950 sampai 1959 ini sering disebut
sebagai masa kejayaan partai politik, karena partai politik memainkan peranan yang
sangat penting dalam kehidupan bernegara melalui sistem parlementer yang berujung
pada sistem partai politik yang multipartai. Berikut dampak positif dan negatif adanya
multipartai.
Dampak Positif :
1. Menghidupkan suasana demokratis di Indonesia.
2. Mencegah kekuasaan presiden yang terlalu besar, karena wewenang
pemerintah di pegang oleh partai yang berkuasa
3. Menempatkan kalangan sipil sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dan
pemerintahan.
Dampak Negatif :
1. Sejumlah partai cenderung menyuarakan kepentingan kelompok sendiri,
bukan banyak rakyat.
2. Ada kecenderungsn persaingan tidak sehat, baik dalam parlemen maupun
kabinet yang berupa saling menjatuhkan.
Walaupun pemilu dapat berlangsung dengan aman, lancar dan tertib, tetapi
keadaan politik dan keamanaan belum stabil, hal ini di sebabkan oleh :
a. Badan kontituante gagal menyusun UUD. Partai politik tidak dapat
melaksanakan fungsinya dengan baik, sehingga kabinet jatuh bangun dan
tidak dapat melaksanakan program kerjanya. Sebagai akibatnya
pembangunan tidak dapat berjaan dengan baik.
b. Sering terjadi pertentangan antar politik. Rapuhnya Koalisi antar partai
sehingga sering terjadi pergolakan politik di parlemen.
c. Anggota DPR hasil pemilu belum dapat memenuhi harapan rakyat. Peranan
partai politik pada masa tersebut sudah menjadi sarana penyalur aspirasi
rakyat, namun kurang maksimal karena situasi politik yang panas dan tidak
kondusif. Dimana setiap partai hanya mementingkan kepentingan partai
sendiri tanpa memikirkan kepentingan yang lebih luas yaitu kepentingan
bangsa.
d. Partai politik hanya mempertahankan keyakinan partainya. Partai politik
pada zaman liberal diwarnai suasana penuh ketegangan politik, saling curiga
mencurigai antara partai politik yang satu dengan partai politik lainnya. Hal
ini mengakibatkan hubungan antar politisi tidak harmonis karena hanya
mementingkan kepentingan (Parpol) sendiri.
e. Kebijkaan-kebijakan yang dalam pandangan parlemen tidak menguntungkan
Indonesia ataupun dianggap tidak mampu meredam pemberontakan-
pemberontakan di daerah.
Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang
dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa
UUDS1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan
jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ini
membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara sehingga pada tanggal 5 Juli
1959 mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta
tidak berlakunya UUDS 1950, serta pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu
singkat. Dekrit presiden 5 Juli 1959 ini menjadi akhir dari sistem demokrasi parlementer
dan mengawali sistem pemerintahan pada demokrasi terpimpin.
DEMOKRASI TERPIMPIN
Di awali dari Deklarasi Dr. H. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden waktu
itu. Dimana dalam Deklarasi tersebut menganjurkan perlunya pembentukan partai-
partai. Yang ternyata mendapat sambutan luas hingga pada waktu itu kurang lebih 40
partai telah lahir di Indonesia.
Tetapi pada faktanya dalam kondisi yang seperti itu, bukannya menambah
majunya sistem Demokrasi di Indonesia. Kenyataannya Kabinet-kabinet yang ada pada
waktu itu tidak pernah bertahan sampai 2 tahun penuh. Dan terjadi pergantian-
pergantian dengan kabinet yang baru.
Bahkan menurut penilaian dari Presiden Soekarno banyaknya partai hanya
menambah masalah dan hanya menjadi penyebab gotok- gotokan. Penyebab
perpecahannya, dalam pidatonya Presiden Soekarno menilai partai itu adalah semacam
pertunjukan adu domba. Yang tidak bakalan berpengaruh baik bagi Bangsa dan Negara
Indonesia.
Presiden Soekarno mengamati Demokrasi tidak semakin mendorong bangsa
Indonesi untuk mendekati tujuan revolusi yang dicita-citakan. Tapi malah sebaliknya
dari tujuan yang sudah dicita-citakan bangsa Indonesia. Sehingga Presiden Soekarno
mencetuskan sistem Demokrasi Terpimpin dengan alasan sebagai berikut :
Dari segi keamanan nasional, banyaknya gerakan separatis pada masa
Demokrasi Liberal, menyebabkan ketidakstabilan negara.
Dari segi perekonomian, sering terjadinya pergantian kabinet pada masa
Demokrasi Liberal. Menyebabkan program-program yang dirancang oleh
kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi
tersendat.
Dari segi politik, Konstituante gagal dalam merumuskan UUD baru untuk
menggantikan UUDS 1950.
Masa Demokrasi Terpimpin yang telah dicetuskan oleh Presiden Soekarno.
Diawali dengan anjuran Soekarno agar Undang-undang yang digunakan untuk
menggantikan UUDS 1950 yakni UUD 1945. Namun usulan itu menimbulkan pro dan
kontra dikalangan anggota Konstituante.
Sebagai tindak lanjut usulannya diadakan pemungutan suara, yang diikuti oleh
seluruh anggota Konstituante. Pemungutan suara ini dilakukan dalam rangka mengatasi
konflik yang timbul dari pro dan kontra usulan Presiden Soekarno tersebut.