Anda di halaman 1dari 26

DEMOKRASI PARLEMENTER

Demokrasi parlementer (liberal) adalah suatu demokrasi yang menempatkan


kedudukan badan legislatif lebih tinggi daripada badan eksekutif. Kepala pemerintahan
dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Perdana menteri dan menteri-menteri dalam
kabinet diangkat dan diberhentikan oleh parlemen. Dalam demokrasi parlementer
Presiden menjabat sebagai kepala negara. Demokrasi liberal dikenal pula sebagai
demokrasi parlementer karena pada saat itu berlangsung sistem pemerintahan
parlementer dan berlaku UUD 1945 periode pertama, konstitusi RIS, dan UUDS 1950.
Berikut adalah beberapa ciri dari demokrasi parlementer :
1. Kedudukan DPR lebih kuat atau lebih tinggi daripada pemerintah
2. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh kabinet/Dewan menteri dibawah pimpinan
Perdana menteri dan bertanggung jawab pada parlemen.
3. Presiden hanya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dipegang Perdana
Menteri.
4. Program kebijakan kabinet disesuaikan dengan tujuan politik anggota parlemen
5. Kedudukan kepala negara terpisah dari kepala pemerintahan, biasanya hanya
berfungsi sebagai simbol Negara
6. Jika pemerintah dianggap tidak mampu, maka anggota DPR dapat meminta mosi
tidak percaya kepada parlemen untuk membubarkan pemerintah
7. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh badan pengadilan yang bebas.

Secara garis besar, pelaksanaan demokrasi parlementer ini terbagi ke dalam tiga
periode: periode pertama pada kurun waktu1945-1949, kedua pada kurun waktu 1949-
1950, dan ketiga yakni dalam kurun waktu 1950-1959.

A. Pada masa pasca revolusi kemerdekaan (18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949)
Pada masa ini ternyata masih terbagi lagi ke dalam dua periode, yakni:
 18 Agustus 1945 - 14 November 1945 dimana berlaku sistem
pemerintahan presidensiil, dan
 14 November 1945 - 27 Desember 1949 dimana berlaku sistem
pemerintahan parlementer.
Tanggal 17 Agustus 1945, tepatnya pada awal-awal deklarasi kemerdekaan
Indonesia, Indonesia menjalankan sistem presidensial dengan bentuk negara kesatuan
yang berbentuk republik (sesuai dengan pasal 1 ayat 1 UUD 1945) yang menyatakan
bahwa Presiden memiliki kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan.
Pada tanggal 23 Agustus 1945, Belanda dan negara sekutu mendarat di
Indonesia. Negara lain bermaksud untuk mengamankan Indonesia pasca revolusi
kemerdekaan.Sementara lain halnya dengan Belanda yang bermaksud untuk kembali
menguasai Indonesia. Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia menghadapi
berbagai rongrongan untuk mempertahankan kemerdekaannya.Padahal pada masa ini
terdapat indikasi dan keinginan kuat dari para pemimpin negara untuk membentuk
pemerintahan demokratis. Namun karena Indonesia harus berjuang untuk
mempertahankan kemerdekaan maka belum bisa sepenuhnya mewujudkan
pemerintahan demokratis sesuai dengan UUD 1945. Akhirnya dalam perjalanannya
terjadilah berbagai penyimpangan-penyimpangan.Contohnya saja beberapa bulan
setelah Proklamasi kemerdekaanadanya kesempatan besar untuk mendirikan partai
politik, sehingga bermunculanlah partai-partai politik Indonesia. Dengan demikian kita
kembali kepada pola sistem politik multipartai.
Pada zaman awal kemerdekaan ini, partai politik tumbuh menjamur dengan
berbagai haluan ideologi politik yang berbeda satu sama lain. Hal ini dikarenakan
adanya Maklumat Pemerintah Republik Indonesia 3 November 1945 yang berisi anjuran
mendirikan partai politik dalam rangka memperkuat perjuangan kemerdekaan. Akhirnya
secara resmi muncul 10 partai politik. Bukan hanya itu, tetapi penyimpangan
konstitusional juga sempat terjadi dengan berubahnya sistem kabinet presidensiil
menjadi sistem kabinet parlementer atas usul badan pekerja KNIP yakni pada tanggal 11
November 1945. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Maklumat pemerintah
tanggal 14 November 1945 yang mengubah sistem pemerintahan presidensiil menjadi
parlementer berdasarkan asas-asas demokrasi liberal yang di pimpin oleh perdana
mentri Syahrir. Dalam kabinet ini mentri-mentri tidak lagi menjadi pembantu dan
bertanggung jawab kepada Presiden, tetapi bertanggung jawab kepada KNIP.
Disamping itu, KNIP menjadi lembaga yang menjadi cikal bakal DPR yang berfungsi
sebagai badan legislatif. Hal ini sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan dalam UUD
1945 dan maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 yang
memutuskan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan bersama-sama dengan
Presiden berfungsi menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Hal ini dilakukan
karena MPR dan DPR belum terbentuk.
Bagi bangsa Indonesia, hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan hak
yang harus dipertahankan dan diperjuangkan. Sebagai konsekuensinya, banyak
perlawanan-perlawanan dari rakyat kepada tentara sekutu dan NICA dimana-mana.
Terbukti dengan adanya pertempuran di Bandung, Surabaya, dan tempat-tempat lain
yang mereka datangi.
Munculnya perlawanan-perlawanan sengit tersebut memaksa Belanda
melakukan perundingan dan perjanjian dengan Indonesia. Akhirnya setelah melalui
perjuangan panjang, Belanda mau mengakui kedaulatan Indonesia dengan disetujuinya
perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 27 Desember 1949 di Istana
Dam, Amsterdam. Namun, bangsa Indonesia harus menerima berdirinya negara yang
tidak sesuai dengan cita-cita proklamasi dan kehendak UUD 1945, sehingga Negara
Kesatuan Republik Indonesia berubah menjadi Negara Republik Indonesia Serikat
berdasarkan konstitusi RIS.

B. Kurun waktu kedua (27 Desember 1949-17 Agustus 1950)


Pada periode ini sistem pemerintahan Indonesia masih menggunakan sistem
pemerintahan parlementer yang merupakan lanjutan dari periode sebelumnya (1945-
1949). Dalam sistem parlementer, artinya kabinet bertanggung jawab kepada parlemen
(DPR).
RIS intinya terdiri dari negara-negara bagian dan kesatuan kenegaraan.
Berubahnya NKRI menjadi negara RIS merupakan konsekuensi diterimanya hasil
Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dituangkan dalam Konstitusi Republik Indonesia
Serikat (RIS). Hal ini karena adanya campur tangan dari PBB yang
memfasilitasinya.Wujud dari campur tangan PBB tersebut adanya konfrensi KMB
yaitu:
 Indonesia merupakan Negara bagian RIS
 Indonesia RIS yang di maksud Sumatera dan Jawa
 Wilayah diperkecil dan Indonesia di dalamnya
 RIS mempunyai kedudukan yang sama dengan Belanda
 Indonesia adalah bagian dari RIS yang meliputi Jawa, Sumatera dan Indonesia
Timur.
Berdasarkan Konstitusi RIS yang menganut sistem pemerintahan parlementer
ini, Kekuasaan negara terbagi dalam 6 lembaga negara (alat-alat kelengkapan federal
RIS) yakni sebagai berikut:
 Badan Eksekutif yakni Presiden dan Menteri-menteri –
 Badan Legislatif yang dibagi menjadi dua bagian yakni Senat dan Dewan
Perwakilan Rakyat, dan
 Badan Yudikatif terdiri dari Dewan Pengawas Keuangan dan MA.
Rancangan konstitusi RIS pada saat itu berada di bawah pengawasan PBB,
dengan menetapkan :
I. Menentukan negara yang berbentuk serikat (federalistis) yang dibagi dalam
16 derah bagian, yakni :
1. Negara Republik Indonesia
2. Negara Indonesia Timur
3. Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
4. Negara Jawa Timur
5. Negara Madura
6. Negara Sumatera Timur
7. Negara Sumatera Selatan
Di samping itu, ada juga wilayah yang berdiri sendiri (otonom) dan tak
tergabung dalam federasi, yaitu:
8. Jawa Tengah
9. Kalimantan Barat (Daerah Istimewa)
10. Dayak Besar
11. Daerah Banjar
12. Kalimantan Tenggara
13. Kalimantan Timur (tidak temasuk bekas wilayah Kesultanan Pasir)
14. Bangka
15. Belitung
16. Riau
II. Konstitusi RIS menentukan sifat pemerintahan yang liberalistis atau
pemerintahan yang berdasarkan demokrasi parlementer.
III. Mukaddimah konstitusi RIS telah menghapuskan semangat jiwa, maupun isi
pembukaan UUD proklamasi.
Sebenarnya dari awal tidak seluruh rakyat setuju terhadap pemberlakuan sistem
pemerintahan parlementer yang menggunakan konstitusi RIS, namun keadaanlah yang
memaksa demikian. Banyak aturan di dalam konstitusi tersebut yang menyimpang dari
isi jiwa dan cita-cita bangsa Indonesia. Selain itu, dasar pembentukannya juga sangat
lemah dan tidak didukung oleh suatu ideologi yang kuat dan satu tujuan kenegaraan
yang jelas Oleh karena tidak mendapatkan dukungan rakyat terhadap sistem
pemerintahan ini, akhirnya dalam waktu singkat RIS mulai goyah. Sistem federal
seperti apapun juga telah dianggap rakyat sebagai alat Belanda untuk memecah belah
bangsa Indonesia agar Belanda dapat berkuasa di Indonesia, sehingga tanggal 17
Agustus 1950 Presiden Soekarno menyatakan kembali ke Negara Kesatuan dengan
UUDS 1950.
C. Kurun waktu ketiga (17 Agustus 1950-5 Juli 1959)
Pada tanggal 17 Agustus 1950 negara RIS secara resmi dibubarkan. Sebelum
Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, terjadi demo besar-besaran menuntut
pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara bagian,
Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur
dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan berdasarkan UUD Sementara
1950.
Menurut UUD ini, sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan
parlementer. Dalam kabinet parlementer, para menteri bertanggung jawab kepada
parlemen. Oleh karena itu, jatuh bangunya kabinet sangat tergantung pada parlemen..
Hal ini menyebabkan ketidakstabilan politik, terbukti dengan adanya perpecahan
daerah, pertentangan antar partai, bahkan pemberontakan di daerah-daerah seperti
pemberontakan DI/TII di berbagai kota, pemberontakan APRA, pemberontakan RMS,
pemberontakan PPRI dan Permesta yang tidak dapat dielakkan lagi. Masalah sering
terjadinya pergantian kabinet pun tak urung menjadi salah satu penyebab kekacauan
yang ada. Dalam sejarahnya saja sudah tercatat dalam kurun waktu sekitar 9 tahun
Indonesia telah berganti kabinet sebanyak 7 kali. Kabinet-kabinet tersebut diantaranya :
1. Kabinet Natsir (7 September 1950-21 Maret 1951)
Kabinet ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad
Natsir (Masyumi) sebagai perdana menteri. Kabinet ini merupakan kabinet
koalisi yang dipimpin Masyumi.
Program kerja :
a. Menggaitkan usaha mencapai keamanan dan ketentraman
b. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat
c. Mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan umum untuk
Konstituante.
d. Mencapai konsolidasi dan penyempurnaan susunan pemerintahan
serta membentuk peralatan negara yang kuat dan daulat.
e. Menyempurnakan organisasi Angkatan perang dan pemulihan bekas
bekas anggota tentara dan gerilya dalam masyarakat.
f. Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat secepatnya.
g. Mengembangkan dan memperkokoh kesatuan ekonomi rakyat
sebagai dasar bagi pelaksanaan ekonomi nasional yang sehat.
h. Membantu pembangunan perumahan rakyat serta memperluas usaha
usaha meninggikan derajat kesehatan dan kecerdasan rakyat.

2. Kabinet Soekiman (27 April 1951-23 Februari 1952)


Merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI. Dipimpin oleh
Soekiman Wiryosanjoyo. Program kerja :
a. Menjalankan berbagai tindakan tegas sebagai negara hukum untuk
menjamin keamanan dan ketentraman serta menyempurnakan
organisasi alat-alat kekuasaan negara.
b. Membuat dan melaksanakan rencana kemakmuran nasional dalam
jangka pendek untuk mempertinggi kehidupan sosial ekonomi rakyat
dan mempercepat usaha penempatan bekas pejuang dalam
pembangunan
c. Menyelesaikan persiapan pemilu untuk membentuk Dewan
Konstituante dan menyelenggarakan pemilu itu dalam waktu singkat
serta mempercepat terlaksananya otonomi daerah
d. Menyampaikan Undang-Undang pengakuan serikat buruh, perjanjian
kerja sama, penetapan upah minimum,dan penyelesaian pertikaian
buruh
e. Menyelenggarakan politik luar negeri bebas aktif
f. Memasukkan Irian Barat ke wilayah RI secepatnya

3. Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953)


Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para
pakar yang ahli dalam bidangnya.Dipimpin oleh Mr. Wilopo.
Program kerja :.
a. Mempersiapkan pemilu
b. Berusaha mengembalikan Irian Barat ke dalam pangkuan RI
c. Meningkatkan keamanan dan kesejahteraan d.
d. Perbaharui bidang pendidikan dan pengajaran
e. Melaksanakan politik luar negeri bebas dan aktif

4. Kabinet Ali Sastroamijoyo ( 1 Agustus 1953-24 Juli 1955 )


Kabinet ini merupakan koalisi antara PNI dan NU. Dipimpin oleh Mr.
Ali Sastroamijoyo. Program kerja :
a. Menumpas pemberontakan DI/TII di berbagai daerah
b. Memperjuangkan kembalinya Irian Barat kepada RI
c. Menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika
d. Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera
menyelenggarakan Pemilu.
e. Pembebasan Irian Barat secepatnya.
f. Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan
KMB.
g. Penyelesaian Pertikaian politik

5. Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955–3 Maret 1956)


Dipimpin oleh Burhanuddin Harahap. Program kerja :
a. Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan
kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
b. Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah
ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru.
c. Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi.
d. Perjuangan pengembalian Irian Barat.
e. Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas
aktif.

6. Kabinet Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956–4 Maret 1957)


Kabinet ini merupakan koalisi antara tiga partai yaitu PNI, Masyumi, dan
NU. Dipimpin oleh Ali Sastroamijoyo. Program kerjanya disebut Rencana
Pembangunan Lima Tahun, yaitu :
a. Menyelesaikan pembatalan KMB
b. Pembentukan provinsi Irian Barat
c. Menjalankan politik luar negeri bebas aktif
d. Perjuangan pengembalian Irian Barat
e. Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya
anggota anggota DPRD.
f. Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
g. Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
h. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional
berdasarkan kepentingan rakyat.
i. Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun,
menjalankan politik luar negeri bebas aktif
j. Melaksanakan keputusan KAA.

7. Kabinet Djuanda ( 9 April 1957-10 Juli 1959 )


Kabinet ini merupakan zaken kabinet yatu kabinet yang terdiri dari para
pakar yang ahli dalam bidangnya. Dibentuk karena kegagalan konstituante
dalam menyusun Undang-Undang Dasar pengganti UUDS 1950 serta
terjadinya perebutan kekuasaan politik. Dipimpin oleh Ir. Juanda.Program
kerjanya disebut Panca Karya (Kabinet Karya ), yaitu :
a. Membentuk dewan nasional
b. Normalisasi keadaan RI
c. Melanjutkan pembatalan KMB
d. Memperjuangkan Irian Barat kembali ke RI
e. Mempercepat pembangunan
Ternyata dengan adanya kinerja kabinet yang berbeda-beda ini telah
memunculkan pertentangan dari perlemen karena konstituante nya gagal
membentuk undang-undang. Konsekuensi dari kejadian kabinet yang
berulang-ulang tersebut adalah munculnya tuntutan rakyat untuk segera
dilakukan pemilihan umum, tujuannya adalah untuk menjembatani aspirasi
rakyat yang belum tersalurkan oleh wakil dari partai-partai yang ada, serta
diharapkan dapat mengakhiri ketidakstabilan politik. Akhirnya pada masa
kabinet Ali Sastroamijoyo I diselenggarakan pemilihan umum.
 Pemilu I, tanggal 29 Desember 1955 untuk memilih anggota parlemen
(DPR).
 Pemilu II, tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Badan
Konstituante.
Pada saat Indonesia menganut Demokrasi Parlementer dengan sistem
multi partai, banyak sekali bermunculan partai politik. Buktinya pemilu
pertama dalam sejarah Republik Indonesia pada tahun 1955 berdasarkan UU
No. 7 tahun 1953 diikuti oleh 28 parpol yaitu : diantaranya Perti, Parkindo,
Partai Katolik, PSI, PSII, Murba, dan IPKI dan yang lain partai gurem
(partai kecil) dan beberapa partai dominan lainnya yakni: Masyumi, PNI,
NU dan PKI. Alasan mengapa empat partai tersebut menjadi partai dominan
adalah karena :
 PNI merupakan partai politik tertua yang terbentuk sebelum Indonesia
merdeka, dan ikut berperan dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan
dari penjajah. Oleh karena itu partai ini telah mempunyai basis masa
yang kuat.
 Masyumi dan Nahdatul ulama adalah partai politik yang berlandaskan
agama islam. Karena Indonesia mempunyai jumlah penduduk muslim
yang besar maka basis masa dari kedua partai politik ini juga kuat.
 PKI dekat dengan orang-orang pemerintahan diantaranya Ir. Soekarno.
Dan PKI juga membentuk beberapa perkumpulan dibawah naungannya
diantaranya serikat buruh, Gerakan Wanita Indonesia.

Tanpa kita sadari, ternyata masa tahun 1950 sampai 1959 ini sering disebut
sebagai masa kejayaan partai politik, karena partai politik memainkan peranan yang
sangat penting dalam kehidupan bernegara melalui sistem parlementer yang berujung
pada sistem partai politik yang multipartai. Berikut dampak positif dan negatif adanya
multipartai.
Dampak Positif :
1. Menghidupkan suasana demokratis di Indonesia.
2. Mencegah kekuasaan presiden yang terlalu besar, karena wewenang
pemerintah di pegang oleh partai yang berkuasa
3. Menempatkan kalangan sipil sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dan
pemerintahan.
Dampak Negatif :
1. Sejumlah partai cenderung menyuarakan kepentingan kelompok sendiri,
bukan banyak rakyat.
2. Ada kecenderungsn persaingan tidak sehat, baik dalam parlemen maupun
kabinet yang berupa saling menjatuhkan.
Walaupun pemilu dapat berlangsung dengan aman, lancar dan tertib, tetapi
keadaan politik dan keamanaan belum stabil, hal ini di sebabkan oleh :
a. Badan kontituante gagal menyusun UUD. Partai politik tidak dapat
melaksanakan fungsinya dengan baik, sehingga kabinet jatuh bangun dan
tidak dapat melaksanakan program kerjanya. Sebagai akibatnya
pembangunan tidak dapat berjaan dengan baik.
b. Sering terjadi pertentangan antar politik. Rapuhnya Koalisi antar partai
sehingga sering terjadi pergolakan politik di parlemen.
c. Anggota DPR hasil pemilu belum dapat memenuhi harapan rakyat. Peranan
partai politik pada masa tersebut sudah menjadi sarana penyalur aspirasi
rakyat, namun kurang maksimal karena situasi politik yang panas dan tidak
kondusif. Dimana setiap partai hanya mementingkan kepentingan partai
sendiri tanpa memikirkan kepentingan yang lebih luas yaitu kepentingan
bangsa.
d. Partai politik hanya mempertahankan keyakinan partainya. Partai politik
pada zaman liberal diwarnai suasana penuh ketegangan politik, saling curiga
mencurigai antara partai politik yang satu dengan partai politik lainnya. Hal
ini mengakibatkan hubungan antar politisi tidak harmonis karena hanya
mementingkan kepentingan (Parpol) sendiri.
e. Kebijkaan-kebijakan yang dalam pandangan parlemen tidak menguntungkan
Indonesia ataupun dianggap tidak mampu meredam pemberontakan-
pemberontakan di daerah.
Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang
dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa
UUDS1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan
jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ini
membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara sehingga pada tanggal 5 Juli
1959 mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta
tidak berlakunya UUDS 1950, serta pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu
singkat. Dekrit presiden 5 Juli 1959 ini menjadi akhir dari sistem demokrasi parlementer
dan mengawali sistem pemerintahan pada demokrasi terpimpin.

DEMOKRASI TERPIMPIN

Demokrasi Terpimpin merupakan reaksi terhadap Demokrasi Liberal atau


Parlementer. Karena pada masa Demokrasi Parlementer kekuasaan Presiden hanya
terbatas sebagai kepala negara saja. Sedangkan kekuasaan pemerintah dilaksanakan oleh
partai.

 Pelaksanakan demokrasi terpimpin


Pelaksanakan Demokrasi Terpimpin di Indonesia dimulai dengan
dikeluarkannya Dekrit presiden Pada tanggal 5 Juli 1959 oleh presiden soekarno. Dekrit
pada tanggal 5 juli 1959 menandakan masa baru .Yang mana Indonesia meninggalkan
Demokrasi Parlemen berganti dengan Demokrasi Terpimpin.
Demokrasi Terpimpin diartikan sebagai Demokrasi yang dipimpin oleh
kebijakan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Pada pelaksanaannya pengertian
Demokrasi Terpimpin lebih cenderung kepada Demokrasi yang dipimpin oleh Presiden
sebagai panglima besar revolusi.

 Latar belakang demokrasi terpimpin

Di awali dari Deklarasi Dr. H. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden waktu
itu. Dimana dalam Deklarasi tersebut menganjurkan perlunya pembentukan partai-
partai. Yang ternyata mendapat sambutan luas hingga pada waktu itu kurang lebih 40
partai telah lahir di Indonesia.
Tetapi pada faktanya dalam kondisi yang seperti itu, bukannya menambah
majunya sistem Demokrasi di Indonesia. Kenyataannya Kabinet-kabinet yang ada pada
waktu itu tidak pernah bertahan sampai 2 tahun penuh. Dan terjadi pergantian-
pergantian dengan kabinet yang baru.
Bahkan menurut penilaian dari Presiden Soekarno banyaknya partai hanya
menambah masalah dan hanya menjadi penyebab gotok- gotokan. Penyebab
perpecahannya, dalam pidatonya Presiden Soekarno menilai partai itu adalah semacam
pertunjukan adu domba. Yang tidak bakalan berpengaruh baik bagi Bangsa dan Negara
Indonesia.
Presiden Soekarno mengamati Demokrasi tidak semakin mendorong bangsa
Indonesi untuk mendekati tujuan revolusi yang dicita-citakan. Tapi malah sebaliknya
dari tujuan yang sudah dicita-citakan bangsa Indonesia. Sehingga Presiden Soekarno
mencetuskan sistem Demokrasi Terpimpin dengan alasan sebagai berikut :
 Dari segi keamanan nasional, banyaknya gerakan separatis pada masa
Demokrasi Liberal, menyebabkan ketidakstabilan negara.
 Dari segi perekonomian, sering terjadinya pergantian kabinet pada masa
Demokrasi Liberal. Menyebabkan program-program yang dirancang oleh
kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi
tersendat.
 Dari segi politik, Konstituante gagal dalam merumuskan UUD baru untuk
menggantikan UUDS 1950.
Masa Demokrasi Terpimpin yang telah dicetuskan oleh Presiden Soekarno.
Diawali dengan anjuran Soekarno agar Undang-undang yang digunakan untuk
menggantikan UUDS 1950 yakni UUD 1945. Namun usulan itu menimbulkan pro dan
kontra dikalangan anggota Konstituante.
Sebagai tindak lanjut usulannya diadakan pemungutan suara, yang diikuti oleh
seluruh anggota Konstituante. Pemungutan suara ini dilakukan dalam rangka mengatasi
konflik yang timbul dari pro dan kontra usulan Presiden Soekarno tersebut.

 Tujuan demokrasi terpimpin


1. Mengembalikan keadaan politik negara yang tidak stabil sebagai warisan
masa Demokrasi Parlementer atau Liberal menjadi lebih stabil
2. Demokrasi Terpimpin meerupakan reaksi terhadap Demokrasi Parlementer
atau Liberal. Hal ini disebabkan karena pada masa Demokrasi Parlementer
kekuasaan presiden hanya sebatas sebagai kepala negara. Sedangkan
kekuasaan pemerintah dilaksanakan oleh partai.

 Ciri-ciri demokrasi terpimpin


1. Kekuasaan Presiden
Dalam sistem Demokrasi Terpimpin mempercayai asas Presidensil. Asas
yang mengedepankan Presiden sebagai pemilik kekuasaan tertinggi. Dengan
diberlakukannya Demokrasi Terpimpin sejak Dekrit 5 Juli 1959, secara
otomatis negara Indonesia berada di bawah perintah Presiden Soekarno pada
masa itu.
Hal itu dapat memicu munculnya kesenjangan peran dari wakil rakyat
dan memengaruhi sistem kerja Kabinet. Presiden lah yang memimpin segala
pergerakan pemerintahan. Sehingga dapat dengan mudah menggeser peran-
peran yang dianggap tidak sesuai dengan kehendaknya, terutama dalam
bidang politik.
2. Peran Partai Politik Dibatasi
Terpecahnya sistem partai politik bagi Indonesia pada masa Demokrasi
Terpimpin, mengakibatkan pecahnya peran partai politik waktu itu.
Kehadiran partai politik bahkan tidak dilaksanakan untuk mengisi
kedudukan di pemerintahan. Melainkan untuk menjadi pendukung dari
segala kebijakan Presiden.
Maka dapat diartikan peran partai politik hanya akan bertujuan dengan
keputusan presiden tanpa adanya pembaharu dalam pergerakan
pemerintahan.
3. Peran Militer Semakin Kuat
Perkembangan militer di Indonesia dimanfaatkan sebagai bendung
pertahanan yang sekalian menjadi dwifungsi peran pemerintahan. Kekuatan
Angkatan Bersenjata pada masa ini sangat memiliki kekuasaaan yang tinggi.
Bahkan lembaga pemerintahan berada di bawah komando kemiliteran.
Militer telah banyak terlibat dalam kekacauan politik domestik karena
adanya dwifungsi.
4. Berkembangnya Paham Komunisme
Partai Komunis Indonesia mengalami peralihan kekuasaan pada masa
demokrasi terpimpin. Karena adanya hubungan timbal balik antara Presiden
Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Hubungan tersebut
terjadi karena ketenaran Soekarno, yang sedang naik dimanfaatkan oleh PKI
sebagai daya tarik untuk memeroleh masa.
Dukungan ketika MPRS melantik Soekarno sebagai Presiden seumur
hidup pun diberikan oleh PKI. Dengan hubungan baik tersebut tidak kagum
apabila paham komunis menjadi berkembang di lingkungan masyarakat
Indonesia.
5. Anti Kebebasan Pers
Pers berperan penting dalam sebuah negara sebagai penyalur suara
masyarakat untuk sistem politik yang lebih baik.Tapi, pada masa demokrasi
terpimpin kebebasan mengajukan pendapat bagi individu pers mulai dibatasi
oleh oknum- oknum pendukung pemerintah dalam hal ini presiden yang
berkuasa.
Kebijakan itu menyebabkan sebagian besar media yang biasanya
memberitakan segala hal dengan terbuka mulai menjadi menutup diri.
Bahkan sampai beberapa surat kabar tidak berani mengedarkan beritanya di
masyarakat karena takut dicekal.
6. Sentralisasi Pihak Pusat
Pelaksanaan Demokrasi terpimpin juga mengalami penyimpangan dalam
perkembangannya sehingga menimbulkan gesekan situasi politik di
Indonesia. Penyimpangan tersebut antara lain :
 Hak sebagai warga negara Indonesia tidak dianggap dan tidak ada
jaminan yang kuat didalamnya.
 Kebebasan berpendapat terutama oleh pers kian dibatasi sehingga
banyak media massa yang tidak berani menerbitkan pemikirannya.
 Sistem kepartaian tidak jelas kemana arahnya.
 Peran partai politik melemah seiring dengan kepentingan yang tidak
sejalan.
 Adanya sentralisasi kekuasaan oleh pusat dan daerah.
 Pusat berkuasa sepenuhnya dalam sistem pemerintahansehingga
muncul kesenjangan.
Penyimpangan yang terjadi pada saat pelaksanaan demokrasi
terpimpin mengakibatkan adanya kesenjangan antara PKI dan kaum borjuis
Indonesia. Mereka itu berpengaruh besar dalam mendesak pergerakan kaum
buruh dan petani. Serta mengakibatkan peristiwa politik semakin membara.
Pendapatan ekspor menurun serupa dengan cadangan devisa yang membuat
inflasi semakin tinggi, sehingga menimbulkan banyaknya demonstrasi.

 Dampak-dampak masa demokrasi terpimpin


Setelah Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 maka Indonesia
memasuki babak baru dalam sejarah. Dekrit Presiden menandai berdirinya rezim
demokrasi terpimpin atau orde lama.
Dalam pelaksanaan demokrasi terpimpin ini banyak menimbulkan dampak-
dampak yang terjadi ketika masa demokrasi terpimpin.
 Dampak Positif Demokrasi Terpimpin
o Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis yang berkepanjangan.
o Memberikan pedoman yang jelas yakni UUD 1945.
o Merintis pembentukan Lembaga Tinggi Negara yakni MPRS dan DPAS.
 Dampak Negatif Demokrasi Terpimpin
o Memberikan kekuasaan besar kepada kepala negara atau Presiden, MPR
dan lembaga tinggi negara lainnya.
o Memberi peluang terhadap militer untuk ikut terjun ke dalam dunia
politik.
Pada Demokrasi Terpimpin masa pemerintahan Presiden Soekarno kekuasaan
mutlak terletak pada Presiden. Presiden memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam
pengambilan keputusan dan kebijakan, sedangkan aktivitas partai sendiri dibatasi.
 Dampak Demokrasi Terpimpin Terhadap Situasi Politik
Demokrasi Terpimpin membawa dampak besar bagi Pemerintahan
Indonesia waktu itu. Sebab Demokrasi Terpimpin juga diwarnai oleh
kepemimpinan PKI dan kaum Borjunis Nasional.
Hal ini membawa pengaruh yang besar terhadap bangsa Indonesia
diantaranya pendapatan ekspor Indonesia yang menurun, infasi yang terus
merangkak naik dan juga mewabahnya korupsi oleh kaum birokrat dan
militer.

 Berakhirnya Demokrasi Terpimpin


Demokrasi Terpimpin berakhir setelah terjadinya peristiwa G 30 S/PKI yang
diikuti berbagai peristiwa lainnya. Dalam menganggapi aksi Demo Mahasiswa yang
terkenal dengan tuntutannya, yakni TRITURA, presiden Soekarno memberikan Surat
Perintah Sebelas Maret (Supersemar) kepada Letjen Soeharto untuk mengambil
tindakan untuk menjamin keamanan, ketenangan, dan kestabilan jalannya pemerintahan,
demi keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia. Keluarnya Supersemar ini
kemudian menimbulkan dualisme kepemimpinan yang mana Presiden Seokarno masih
sah sebagai presiden Indonesia, sedangkan dalam menjalankan kebijkan dilakukan oleh
pengemban Supersemar, yakni Letjen Soeharto. Keputusan tentang pengemban
Supersemar diperkuat dengan adanya Sidang Umum MPRS IV yang salah satu hasilnya
adalah Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 mengesahkan dan mengukuhkan Supersemar.
Selain itu juga keluar Tap MPRS No. XV/MPRS/1966 yang menyatakan bahwa
apabila presiden berhalangan, pemegang Supersemar berfungsi sebagai pemegang
jabatan presiden. Pada tahun 1967, MPRS melakukan sidang meminta
pertanggungawaban Presiden Seokarno. Pada sidang tersebut presiden Soekarno
membacakan pidato Nawaksara dan kemudian ditambah dengan Pelengkap
Nawaksawa. Akan tetapi pidato pertanggungjawaban presiden tersebut ditolak. Hasil
Sidang Istimewa dikeluarkannya Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang
pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat
Letjen Soeharto sebagai pejabat presiden. Pada tanggal 21-30 Maret 1968 diadakan
Sidang Umum V MPRS menghasilkan keputusan pengangkatan Soeharto dari Pejabat
Presiden menjadi Presiden Republik Indonesia ke-2. Pengangkatan Soeharto sebagai
presiden ke-2 dilakukan pada tanggal 27 Maret 1968.
Berbagai peristiwa dari keluarnya Supersemar hingga berujung dengan
pengangkatan Soeharto sebagai presiden Indonesia ini menandakan berakhirnya
Demokrasi Terpimpin berganti dengan masa Orde Baru.
SEJARAH PEMILU DI INDONESIA
1. PEMILU 1955 ( 29 September 1955)
Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama yang diadakan oleh Republik Indonesia.
Pemilu ini merupakan reaksi atas Maklumat No X/1945 tanggal 3 November 1945
dari wakil presiden Moh. Hatta. Pemilu ini pun, menurut maklumat harus diadakan
secepat mungkin. Namun, akibat belum siapnya aturan perundang-undangan dan
logistik (juga kericuhan politik dalam negeri seperti pemberontakan), pemilu tersebut
baru bisa diadakan tahun 1955 dari awalnya direncakan Januari 1946.
Landasan hukum pemilu 1955 adalah UU No. 7 tahun 1953 yang diundangkan 4
April 1953. Dalam UU tersebut, pemilu 1955 bertujuan memilih anggota bikameral :
Anggota DPR 4 proporsional. Menurut UU No. 7 tahun 1953 tersebut, terdapat
perbedaan sistem bilangan pembagi pemilih (BPP) untuk anggota konstituante dan
anggota parlemen.
Sesuai tujuannya, pemilu 1955 ini dibagi menjadi 2 tahap yaitu :
Tahap 1 : Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada
tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan
individu.
Tahap 2 : Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan
pada tanggal 15 Desember 1955.
Pemilu ini diikuti oleh 28 partai politik, yaitu :
1)     Partai Nasional Indonesia (PNI)
2)     Masyumi
3)     Nahdatul Ulama (NU)
4)     Partai Komunis Indonesia (PKI)
5)     Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
6)     Parkindo (Partai Keristen Indonesia)
7)     Partai Katholik
8)     Partai Sosialis Indonesia (PSI)
9)     Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
10)     Perti (Pergerakan Tarbiyah Indonesia)
11)     Partai Rakyat Nasional (PRN)
12)     Partai Buruh
13)     Gerakan Pembela Pancasila
14)     Partai Rakyat Indonesia (PRI)
15)     Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)
16)     Murba
17)     Baperki
18) Persatuan Indonesia Raya Wongsonegoro
19) Persatuan Indonesia Raya Hazairin
20) Grinda
21) Permai
22) Partai Persatuan Dayak
23) AKUI
24) Partai Politik Tarikat Islam (PPTI)
25) Persatuan Rakyat Desa (PRD)
27) Partai Republik Indonesia Merdeka (PRIM)
28) Angkatan Comunis Muda (ACOMA)
29) R Soedjono Prawirisoedarso
Namun, hanya 4 partai besar yang memenangkan pemilu diantaranya adalah :
1)     PNI                  (22,3 %)
2)     Masyumi         (20,9 %)
3)     NU                   (18,4 %)
4)     PKI                  (16,4 %)

2. PEMILU 1971 (3 Juli 1971)


Pemilu 1971 merupakan pemilu pertama pada masa pemerintahan Orde Baru.
Pemilu ini diselenggarakan pada tanggal 3 Juli 1971.
Dasar hukum pemilu tahun 1971 adalah Tap MPRS No. XLII/MPRS/1968
(perubahan dari Tap MPRS No.XI/MPRS/1966), UU no. 15 tahun 1969 tentang
pemilu dan UU No. 16 tahun 1969 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan
DPRD.
Pemilu ini diikuti oleh 9 partai pilotik dan 1 organisasi masyarakat, yaitu :
1)     Partai Katholik                                                           (1,10 %)
2)     Partai Syarikat Islam Indonesia                                (2,39 %)
3)     Partai Nahdatul Ulama                                             (18,68 %)
4)     Partai Muslim Indonesia                                           (5,36 %)
5)     Golongan Karya                                                          (62,82 %)
6)     Partai Kristen Indonesia                                           (1,34 %)
7)     Partai Musyawarah Rakyat Banyak                         (0,08 %)
8)     Patrai Nasional Indonesia                                         (6,93 %)
9)     Partai Islam PERTI                                                     (0,69 %)
10) Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (0,69 %)
Pemenang pemilu 1971 yaitu Golongan Karya (GOLKAR) yang dianggap sebagai
organisasi sosial politik milik pemerintah yang berfungsi melanggengkan
pemerintahan pada era Orde Baru.

3. PEMILU 1977 (2 Mei 1977)


Pemilu 1977 merupakan pemilu kedua pada masa pemerintahan Orde Baru. Dasar
hukum pemilu 1977 adalah Tap MPR No. VIII/MPR/1973, UU No. 4 tahun 1975
tentang pemilu dan UU No. 5 tahun 1975 tentang susunan dan kedudukan MPR,
DPR, dan DPRD. Pemilu ini diadakan setelah fusi partai politik dilakukan pada
tahun 1973. Sistem yang digunakan pada pemilu 1977 serupa dengan pemilu 1971,
yaitu sistem proporsional dengan daftar tertutup.
Pada pemilu tahun 1977 ini mengacu pada UU No. 3 tahun 1975 tentang partai
politik dan golongan karya. Dari UU ini muncul politisasi dari UU yang dikeluarkan
oleh pemerintah. Golkar sesuai dengan UU No. 3 tahun 1975 dianggap bukan partai
politik melainkan organisasi sosial politik. Pelaksanaan pemilu 1977 diatur dengan
UU No. 14/1975 tentang perubahan UU no. 16/1969. UU ini memperjelas organisasi
politik yang diperbolehkan mengikuti pemilu.
Pemilu DPR dan DPRD 1977 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 2 Mei
1977 untuk memilih anggota DPR serta anggota DPRD tingkat I provinsi maupun
DPRD tingkat II kabupaten/kotamadya se-Indonesia periode 1977-1982.
Pemilu ini diikuti oleh 2 partai politik dan 1 golongan karya, yaitu :
1)     Partai Persatuan Pembangunan (PPP)               (29,29 %)
2)     Golongan Karya (Golkar)                                 (62,11 %)
3)     Partai Demokrasi Indonesia (PDI)                    (8,60 %)
Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya
(Golkar).

4. PEMILU 1982 (2 April 1982)


Pemilu 1982 merupakan pemilu pada masa pemerintahan Orde Baru. Dasar
hukum pemilu 1982 adalah Tap MPR No. VII/MPR/1978, UU No. 2 tahun 1980
tentang pemilu dan UU No. 3 tahun 1980 tentang susunan dan kedudukan MPR,
DPR, dan DPRD. Pada pemilu 1982, organisasi peserta pemilu terdiri dari 2 partai
politik dan golongan karya.
Pemilu tahun 1982 dilaksanakan di 27 provinsi, karena integrasi Timor-Timor ke
Indonesia sehingga mempengaruhi pembagian kursi di DPR dan MPR. Pemilu 1982
kembali menempatkan Golongan Karya sebagai partai yang memperoleh suara
terbanyak disusul PPP dan PDI.
Pemilu DPR dan DPRD 1982 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 4 mei
1982 untuk memilih anggota DPR serta anggota DPRD tingkat I provinsi maupun
DPRD tingkat II kabupaten/kotamadya se-Indonesia periode 1982-1987.
Pemilu ini diikuti 2 partai politik dan I golongan karya, yaitu :
1)     PPP           (25,54 %)
2)     Golkar       (64,34 %)
3)     PDI            (7,24 %)
Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya
(Golkar).
5. PEMILU 1987 (27 April 1987)
Dalam pemilihan umum tahun 1987, dasar hukum yang digunakan terdiri dari
ketetapan MPR dan UU yang berlaku saat itu. Berikut dasar-dasar hukum yang
digunakan. Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 tentang GBHN dan ketetapan MPR
No. III/MPR/1983 tentang pemilu; Uu No. 1 tahun 1980 tentang perubahan atas UU
No. 15 tahun 1969 tentang pemilu anggota-anggota Badan
Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat; UU no. 4 tahun 1975 tentang perubahan UU
No. 15 tahun 1969 tentang pemilu anggota BPR; UU No. 2 tahun 1980 tentang
pemilu anggota BPR sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 tahun 1975;
Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1980 sebagai pengganti Peraturan Pemerintah
No. 1 tahun1976 tentang Pelaksanaan Pemilu; UU No. 1 tahun 1985 dan Keputusan
Presiden No. 70 tahun 1985.
Pemilihan umum DPR dan DPRD 1987 diselenggarakan secara serentak pada
tanggal 23 April 1987 untuk memilih anggota DPR serta anggota DPRD tingkat I
provinsi maupun DPRD tingkat II kabupaten/kotamadya se-Indonesia periode 1987-
1992.
Pemilihan umum ini diikuti oleh 2 partai politik dan 1 golongan karya, yaitu :
1)     PPP           (15,97 %)
2)     Golkar       (73,16 %)
3)     PDI            (10,87 %)
Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya
(Golkar).
6. PEMILU 1992 (9 Juni 1992)
Pemilu 1992 meripakan pemilu kelima pada masa Orde Baru. Dasar hukum
pemilu 1992 adaah Tap MPR No. III/MPR/1988. UU No. 1 tahun 1985 dan
peraturan pemerintah No. 37 tahun 1990. Pemilu tahun 1992 kembali menempatkan
Golongan Karya sebagai pemenang pemilu disusul PPP dan PDI.
Pemilu 1992 dilaksanakan dengan dasar sistem pemilu yang digunakan sama
seperti pemilu sebelumnya yaitu proporsional dengan varian party-list. Tujuan
pemilu 1992 adalah memilih secara langsung 400 kursi DPR.
Pemilihan umum DPR dan DPRD 1992 diselenggarakan secara serentak pada
tanggal 9 Juni 1992 untuk memilih anggota DPR serta anggota DPRD tingkat I
provinsi maupun DPRD tingkat II untuk kabupaten/kotamadya se-indonesia periode
1992-1997.
Pemilihan umum ini diikuti oleh 2 partai politik dan 1 golongan karya, yaitu :
1)     PPP           (17,01 %)
2)     Golkar       (68,10 %)
3)     PDI            (10,87 %)
Sebagai pemenang meyoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya
(Golkar).
7. PEMILU 1997 (29 Mei 1997)
Pemilu 1997 merupakan pemilu keenam pada masa pemerintahan Orde Baru.
Dasar hukum pemilu 1997 adalah Tap MPR No. III/MPR/1988. UU No. 1 tahun
1985 dan peraturan pemerintah No. 37 tahun 1995. Hasil pemilu tahun 1997 masih
menempatkan Golongan Karya (Golkar) sebagai partai pemenang pemilu disusul
PPP dan PDI.
Pemilu 1997 erupakan pemilu terakhir dimasa administrasi Presiden Suharto.
Tujuan pemilu ini adalah memilih 424 orang anggota DPR. Sistem pemilu yang
digunakan adalah proporsional dengan varian Party-List.
Pemilu 1997 ini menuai sejumlah protes. Di kabupaten Sampang, Madura,
puluhan kotak suara dibakar massa oleh sebab kecurangan pemilu dianggap sudah
keterlaluan. Sementara itu, PDI mengalami penurunan suara yang signifikan akibat
intervensi pemerintah terhadap kepemimpinan partai. Megawati Soekarno Putri
dihabisi secara politik dengan cara pemerintah mendukung tandingan Suryadi dan
Fatimah Ahmad.
Pemilihan umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 partai Golongan Karya, yaitu :
1)     PPP           (22,43 %)
2)     Golkar       (74,51 %)
3)     PDI            (3,06 %)
Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya
(Golkar). Pemilu ini diwarnai oleh aksi golput Megawati Soekarno Putri, yang
tersingkir sebagai ketua umum PDI yang tidak di akui oleh pemerintah waktu itu.
8. PEMILU 1999 (7 Juni 1999)
Pemilu 1999 berdasarkan pada Tap MPR No. XV/MPR/1998. UU No. 3 tahun
1999 tentang pemilu. UU No. 4 tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan MPR,
DPR, dan DPRD.
Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, jabatan
Presiden digantikan oleh wakil presiden Baharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan
masyarakat, Presiden Habibie mengeluarkan keputusan untuk mempercepat pemilu
yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2003 menjadi dilakasanakan pada 7 Juni
1999.
Pada saat itu, alasan yang digunakan dipercepatnya pemilu adalah untuk
pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena
pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk pemilu 1997 sudah
dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan
sidang umum MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang baru.
Pemilu berikutnya, sekaligus pemilu pertama setelah runtuhnya Orde Baru, yaitu
pemilu 1999 dilangsungkan pada tanggal 7 Juni 1999 dibawah pemerintahan
Presiden B. J Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.
Pemilu 1999 menggunakan sistem proporsional dengan daftar stelsel tertutup dan
diikuti oleh 48 partai politik, yaitu :
1)     Partai Indonesia Baru
2)     Partai Kristen Nasional Indonesia
3)     Partai Nasional Indonesia- Supeni
4)     Partai Aliansi Demokrat Indonesia
5)     Partai Ummat Islam
6)     Partai Kebangkitan Ummat
7)     Partai Masyumi Baru
8)     Partai Persatuan Pembangunan
9)     Partai Syarikat Islam Indonesia
10) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
11) Partai Kebangkitan Muslim Indonesia
12) Partai Abul Yatama
13) Partai Kebangsaan Merdeka
14) Partai Demokrasi Kasih Bangsa
15) Partai Amanat Nasional
16) Partai Rakyat Demokrat
17) PSII 1985
18) Partai Katholik Demokrat
19) Partai Pilihan Rakyat
20) Partai Rakyat Indonesia
21) Partai Politik Islam Indonesia Masyumi
22) PBB (Partai Bulan Bintang)
23) Partai Solidaritas Pekerja
24) Partai Keadilan
25) Partai Nahdatul Ummat
26) PNI-Front Marhaenis
27) Partai IPKI
28) Partai Republik
29) Partai Islam Demokrat
30) PNI-Massa Marhaen
31) Partai Musyawarah Rakyat Banyak
32) PDI
33) Golkar
34) Partai Persatuan
35) Partai Kebangkitan Bangsa
36) Partai Uni Demokrasi Indonesia
37) Partai Buruh Nasional
38) Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong
39) Partai Daulat Rakayat
40) Partai Cinta Damai
41) Partai Keadilan dan Persatuan
42) Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia
43) Partai Nasional Bangsa Indonesia
44) Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia
45) Partai Nasional Uni Nasional Indonesia
46) Partai Nasional Demokrat
47) Partai Ummat Muslimin Indonesia
48) Partai Pekerja Indonesia
Walaupun PDIP meraih suara terbanyak dengan perolehan suara sekitar 35%),
yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu Megawati
Soekarno Putri, melainkan dari partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman
Wahid. pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini
dimungkinkan untuk terjadi karena pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih
anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
dilakukan oleh anggota MPR, maka MR pun memilih Abdurrahman Wahid sebagai
presiden Ri ke-4 menggantikan Presiden B. J Habibie.

9. PEMILU 2004 (5 April 2004)


Dasar hukum pemilu 2004 adalah UU Ri No. 12 tahun 2003 tentang pemilu
anggota DPR, DPR, dan DPRD. UU RI No. 22 tentang susunan dan kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, DPD, dan DPRD, serta UU RI No. 23 tahun
2003 tentang pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Pemilu 2004 adalah pemilu pertama yang memungkinkan rakyat untuk memilih
Presiden dan Wakil Presiden (sebelumnya Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh
MPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui Presiden)secara langsung dan cara
pemilihannya benar-benar berbeda dari pemilu sebelumnya. Selain itu, pada pemilu
ini pemilihan Presiden dan Wakilnya tidak dilakuan secara terpisah (seperti pemilu
1999). Pada pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan calon(pasangan calon Presiden
dan wakil Presiden), bukan calon Presiden dan calon wakil Presiden secara terpisah.
Pelaksanaan pemilu tahun 2004 dilakukan dalam 3 tahap, yaitu :
Pemilu Legislatif
Pemilu legislatif adalah tahap pertama dari rangkaian tahapan pemilu 2004.
Pemilu legislatif ini diikuti 24 partai politik dan dilaksanakan pada tanggal 5 April
2004. Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota DPR, DPD< dan DPRD tingkat
provinsi serta kabupaten/kota. Pemilu tahap pertama juga ditujukan untuk memilih
anggota DPD. Partai-partai politik yang memperoleh suara lebih besar/sama dengan
3 % dapat mencalonkan pasangan calonnya untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu
pada pemilu Presiden putaran pertama. Pada pemilu legislatif ini Partai Golkar
memperoleh suara terbanyak disusul Partai Demokrat Indonesia Perjuangan (PDIP),
Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai
Kebangkitan Bangsa dan Partai Keadilan Sejahtera.
Pemilu Presiden Putaran Pertama
Setelah pemilu legislatif selesai, partai yang memiliki suara lebih besar/sama
dengan 3% dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presidennya untuk
maju ke pemilu presidem putaran pertama. Apabila dalam pemilu ini ternyata ada
pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 505, maka pasangan calon itu
langsung di tetapkan menjadi presiden dan wakil presiden. Selebihnya pemilu
presiden putaran kedua akan diikuti oleh 2 pasangan calon yang memperoleh suara
terbanyak pada pemilu presiden putaran pertama. Pemilu presiden putara pertama
2004 ini diikuti oleh 5 pasangan calon presiden dan wakil presiden, dan
diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004. Hasil pemilu ini sendiri telah diumumkan
pada tanggal 26 Juli 2004. Dengan hasil masih perly diadakan pemilu presiden
putaran kedua karena belum adanya pasangan calon yang mendapatkan suara paling
tidak 50%.
Ada 5 pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang dicalonkan di
pemilu Presiden putaran pertama, yaitu :
H. Wiranto, Sh dan Ir. H. Salahuddin Wahid
(dicalonkan oleh partai Golongan Karya)
Hj. Megawati Soekarno Putri dan KH. Ahmad Hasyim Muzadi
(dicalonkan oleh PDIP)
Prof. Dr. HM. Amien Rais dan Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo
(dicalonkan oleh partai PAN)
H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muh. Jusuf Kalla
(dicalonkan oleh partai Demokrat, Pbb, dan PKI)
Dr. H. Hamzah Haz dan H. Agum Gumelar. M. Sc
(dicalonkan oleh partai Persatuan Pembangunan)
Hasil pemilu Presiden putaran pertama belum ada pasangan calon yang
memperoleh suara lebih dari 50%, sehingga harus diadakan pemungutan suara lagi.
Pemilu Presiden Putaran Kedua
Sesuai hasil pemilu presiden putaran pertama diatas, yaitu belum ada pasangan
calon yang memperoleh suara lebih dari 50%, maka diadakanlah pemilu Presiden
putara kedua. Pasangan-pasangan calon yang mengikuti pemilu Presiden putaran
kedua ini adalah 2 pasangan calon dengan yang memperoleh suara terbanyak pada
pemilu Presiden putaran pertama 2004 yang lalu. Pemilu ini diadakan pada tanggal
20 September 2004.
Ada 2 pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden (yang memperoleh
suara terbanyak pada pemilu Presiden putaran pertama) yang dicalonkan di Pemilu
Presiden putaran kedua yaitu:
Hj. Megawati Soekarno Putri dan KH. Ahmad Hasyim Muzadi
(dicalonkan oleh PDIP)
H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muh. Jusuf Kalla
(dicalonkan oleh partai Demokrat, PBB, dan PKI)
Pemilu 2004 menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka dan diikuti
oleh 24 partai politik, yaitu :
1)     Partai Golkar                                                 (21,58 %)
2)     PDIP                                                    (18,58 %)
3)     Partai Kebangkitan Bangsa              (10,57 %)
4)     PPP                                                     (8,15 %)
5)     Partai Demokrat                                (7,45 %)
6)     Partai Keadilan Sejahtera                 (7,34 %)
7)     PAN                                                     (6,44 %)
8)     PBB                                                     (2,62 %)
9)     Partai Bintang Reformasi                 (2,44 %)
10) Partai Damai Sejahtera                    (2,13 %)
11) Partai Merdeka
12)   Partai Pelopor
13)   Partai Persatuan Daerah
14)  Partai Nasional Indonesia Marhaenisme
15)   Partai Buruh Sosial Demokrat
16)   Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan
17)   Partai Perhimpunan Indonesia Baru
18)   Partai Nasional Banteng Kemerdekaan
19)   Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
20)   Partai Penegak Demokrasi Indonesia
21)    Partai Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia
22)    Partai Rakyat Peduli Bangsa
23)    Partai Patriot Pancasila
24)    Partai Serikat Indonesia.
Ketika UU pemilu untuk pemilu 2004 yang mayoritas dibuat PDIP, pemenang
pemilu adalah Partai Golkar.

10. PEMILU 2009 (9 Aril 2009)


Pemilu 2009 dilaksanakan menurut UU No. 10 tahun 2008 tentang pemilu
anggota DPR, DPD, dan DPRD. Jumlah kursi DPR ditetapkan sebesar 560 dimana
daerah dapil anggota DPR adalah provinsi/bagian provinsi. Jumlah kursi ditiap dapil
yang diperebutkan meinimal tiga dan maksimal sepuluh kursi.
Pelaksanaan pemilu tahun 2009 dilakukan dalam 2 tahap, yaitu :
Tahap I     : Pemilu legislatif (DPR) yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009.
Tahap II    : Pemilu legislatif (Presiden dan Wakil Presiden) yang dilaksanakan pada
tanggal 8 Juli 2009.
Pemilu 2009 menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka dan diikuti
oleh 38 partai politiknasional, yaitu :
1)     Partai Demokrat                                      (20,85%)
2)     Partai Golkar                                           (14,45%)
3)     PDIP                                                         (14,03%)
4)     Partai Keadilan Sejahtera                        (7,88%)
5)     PAN                                                         (6,01%)
6)     PPP                                                           (5,32%)
7)     Partai Kebangkitan Bangsa                    (4,94%)
8)     Gerindra                                                   (4,46%)
9)     Hanura                                                     (3,77%)
10) PBB                                                          (1,79%)
11) Partai Kedaulatan
12) Partai Pelopor
13) Partai Patriot
14) Partai Merdeka
15) Partai Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia
16) Partai Serikat Indonesia
17) Partai Buruh
18) Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB)
19) Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)
20) PNI Marhaenisme
21) Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI)
22) Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK)
23) Partai Damai Sejahtera (PDS)
24) Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK Indonesia)
25) Partai Bintang Reformasi (PBR)
26) Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI)
27) Partai Peduli Rakayat Nasional (PPRN)
28) Partai Barisan Nasional (Barnas)
29) Partai Perjuangan Indonesia Baru (PIB)
30) Partai Persatuan Daerah (PPD)
31) Partai Pemuda Indonesia (PPI)
32) Partai Demokrasi Pembaruan (PDP)
33) Partai Karya Perjuangan PKP)
34) Partai Matahari BAngsa (PMB)
35) Partai Rebuplika Nusantara
36) Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI)
37) Partai Indonesia Sejahtera (PIS)
38) Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU)
Sebagai pemenang hasil pemilihan umum ini adalah Partai Demokrat.

11. PEMILU 2014 (9 April 2014)


Pemilu 2014 dilaksanakan menurut UU No. 42 tahun 2008 tentang pemilu
Presiden dan Wakil Presiden; UU No. 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD; UU No. 2 tahun 2011 tentang partai politik; UU No. 15 tahun 2011 tentang
penyelenggara pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2011 No. 101,
tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 5246); UU No. 8 tahun 2012
tentang pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 2012 No. 117, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.
5316).
Pelaksanaan pemilu tahun 2014 dilakukan dalam 2 tahap, yaitu :
Tahap I     : Pelaksanaan pemilu legislatif tingkat nasional dan daerah dijadwalkan
[ada tanggal 9 April 2014.
Tahap II    : Pelaksanaan pemilu Presiden dijadwalkan pada tanggal 9 Juli 2014 dan
pada bulan September 2014 untuk putaran kedua.
Berikut adalah daftar 12 partai politik yang ditetapkan oleh KPU sebagai peserta
pemilu 2014 :
1)     Partai Nasdem
2)     Partai Kebangkitan Bangsa
3)     Partai Keadilan Sejahtera
4)     PDIP
5)     Golkar
6)     Gerindra
7)     Demokrat
8)     PAN
9)     PPP
10) Hanura
11) PBB
12) Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.
Pemenang sementara pada pemilu 2014 ini, yaitu :
1)     PDIP                      (18,9% – 19,7%)
2)     Golkar                   (14,3% – 14,9%)
3)     Gerindra               (11,7% – 12,2%)
4)     Demokrat               (9,6% – 10%)

Anda mungkin juga menyukai