Anda di halaman 1dari 8

“PANDANGAN IMAM SYAFI'I TENTANG IJMA SEBAGAI SUMBER PENETAPAN

HUKUM ISLAM DAN ISSU KOTEMPORER”

Oleh

M.Yopie Ardana

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam

Email : genius.kps91@gmail.com

Abstract

This paper is entitled Imam Shafi'i's view of ijma as a source of determination of Islamic law
and contemporary issues, so the emphasis in this discussion is on the concept of ijma, Imam
Shafi'i and contemporary issues. Islamic law as a regulator of community life in all its
aspects, both individual and collective, occupies an important position in the view of life of
Muslims. So to be able to understand Islamic law, it is necessary to know the methods in
determining Islamic law. As we now know that the source of the determination of Islamic law
is the Al-Quran, Sunnah, Ijma and Qiyas. Seeing the various problems that arise in the era of
globalization and modern technology, it seems that ijma which is one method of instimbating
the law, especially the concept of ijma ummah held by Imam Syafi'i is very necessary.

Keywords: Ijma, Imam Shafi'i View, Contemporary Issues.

Abstrak

Paper ini berjudul pandangan imam syafi'I tentang ijma sebagai sumber penetapan hukum
islam dan issu kotemporer, jadi yang menjadi titik penekanan dalam pembahasan ini adalah
konsep ijma-nya, imam syafi'i dan issu kotemporer. Hukum Islam sebagai pengatur hidup
masyarakat dalam seluruh aspeknya baik bersifat individu maupun kolektif, menempati posisi
yang penting dalam pandangan hidup umat Islam. Maka untuk dapat memahami hukum
Islam maka harus mengetahui metode-metode dalam penetapan hukum Islam. Seperti yang
sekarang kita ketahui bahwa yang menjadi sumber penetapan hukum Islam adalah Al-Quran,
Sunnah, Ijma dan Qiyas. Melihat berbagai masalah yang timbul di era globalisasi dan
teknologi modern, nampaknya ijma yang merupakan salah satu metode menginstimbatkan
hukum, terutama konsep ijma umat yang dipegang oleh imam Syafi'i sangatlah diperlukan.

Kata kunci : Ijma, Pandangan Imam Syafi’i, Issu Kotemporer.

1|M . Yo pie Ar da na
PENDAHULUAN

Ijma’ merupakan salah satu metode yang dipakai ulama mujtahidin dalam
menentapkan hukum, apabila mereka dihadapkan suatu persoalan hukum yang tidak
ditemukan nash dalam al-qur’an maupun dalam al-sunnah yang dapat dijadikan landasan
hukum setelah Rasulullah meninggal dunia. 1

Berdasarkan definisi Ijma’ yang dkemukan oleh ulama ushul fiqh tersebut, agak sulit pada
zaman sekarang akan terjadi ijma’ karena ada beberapa hal yang harus diperhatikan dari
definisi tersebut yaitu:

1. Harus ada beberapa mujtahid, karena kesepakatan bisa terjadi apabila ada beberapa
orang mujtahid
2. Sejumlah mujtahid tersebut harus ada kesepakatan diantara mereka, oleh karena itu
tidak bisa disebut ijma’ apabila disepakat oleh mujtahid dari Irak saja, atau mujtahid
Hijaz saja atau mujtahid Mesir saja, atau ulama mujtahid Syi’ah saja, karena ijma’
harus bisa terjadi apabila ada keepakatan dari seluruh mujtahid dunia Islam.
3. Kesepakatan kelihatan jelas, nyata, misalnya diungkapan dalam bentuk fatwa, tidak
diam dan tidak ada perbedaan pendapat.
4. Kebulatan pendapat oleh orang-orang yang bukan mujtahid tidak disebut sebagai
ijma.2

Apabila telah terjadi ijma’ pada suatu masa tentang masalah hukum, maka kita wajib
hukumnya mengikuti hukum hasil ijma tersebut, karena kekuatan hukum hasil ijma’ ulama
mujtahid sudah mempunyai nilai yang qothiy, tidak bisa dihapus dan tidak bisa ditentang
karena hasil kesepakatan seluruh ulama mujtahid, kebenarannya sudah dianggap memenuhi
jiwa syar’i seperti dalam surat al Nisa’ ayat 59:

“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dn taatilah RasulNya, dan Ulil Amri
diantara kamu”.

Kemudian banyak hadits yang menjelaskan dan mendukng bahwa hasil kesepakatan ulama
mujtahid itu yang menunjukan bahwa tidak mungkin mujtahid itu akan berbuat bohong. 3

METODE

Adapun metode penulisan yang penulis gunakan adalah metode pustaka, yaitu metode yang
dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka yang berhubungan
dengan Ijma dan Issu kotemporer, baik berupa buku maupun informasi di internet. Dalam
pembuatan paper ini, penulis mengumpulkan beberapa buku dan jurnal dari internet
mengenai Ijma.

1
Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Multazam al-thobi’u wan-Nasru Darul Fkr al-‘Araby
2
A.Djazuli dan I.Nurol Aen, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam, PT.Raja Grafindo Persada,Jakarta
3
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,Yayasan Penyelenggar Penterjemahan/Penafsir al-
Qur’an, Jakarta

2|M . Yo pie Ar da na
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma

Kata ijma’ secara bahasa bearti “ kebulatan tekad terhadap suatu persoalan atau
kesepakatan tentang suatu masalah. Menurut istilah ushul Fiqh, seperti yang dikemukan
Abdul Karim Zaidan, adalah “kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Islam tentang
hukum syara’ pada suatu masa setelah Rasulullah wafat”. Menurut Mazhab Maliki,
kesepakatan sudah dianggap ijma; meskipun hanya merupakan kesepakatan penduduk
Madinah yang dikenal dengan ijma’ ahl al madinah. Menurut ulama Syi’ah, ijma adalah
kesepakatan para Imam di kalangan mereka, sedangkan menurut Jumhur ulama, ijma, sudah
dianggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid, dan menurut Abdul
Karim Zaidan, ijma’ baru dianggap terjadi bilamana kesepakatan seluruh ulama mujtahid .4

B. Pengertian Hukum Islam

Kata Hukum Islam merupakan ragkaian dari kata hukum dan islam kedua kata
terpisah merupakan kata yang di gunakan dalam bahasa arab dan terdapat dalam al-Qur'an
juga berlaku dalam bahasa indonesia kata hukum islam itu sendiri itu sendiri tidak di temukan
sama sekali dalam Al-Qur'an dan literlatur hukum dalam, yang ada dalam Al-Qur'an adalah
kata syari'ah, figh dan hukum Allah. Karena kata hukum islam itu merupakan terjemahan dari
Islamic Law yang berasal dari literatur barat. Yang telah di gunkan dalam bahasa indonesia
namun bukan merupakan kata yang terpakai dalam bahasa arab. Kata hukum itu sendiri
memiliki pengertian seperangkat peratur tentang tingkah laku manusia yang di akui
sekelompok masyarakat, di susun oleh orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat
tertentu, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.

Dari pengertian tersebut apabila di kaitkan dengan islam maka di dapat pengertian
seperangkat peratur berdasarkan wahyu allah dan sunah rasul tentang tingkah laku manusia
mukallaf yang di akui dan di yakini masyarakat untuk semua yang beragama islam.
Sedangkan menurut pendapat menurut sejumlah ahli bidang hukum islam dan mayoritas
reformis dan juris muslim, bahwa prinsip-prinsip hukum sabagai pertimbangan mashlah ah,
fleksibilitas hukum islam dalam praktek dan penekanan pada ijtihad cukup menujukan bahwa
hukum islam bisa beradaptasi dengan perubahan sosial karena hukum islam itu sendiri
bertujuan untuk mewudukan mashlahah manusia sehingga secara logis hukum islam harus
menyebutkan setiap perubahan sosial yang melayani tujuan ini. Lebih jauh lagi bahwa hukum
islam tidk bisa kaku dan lamban menghadapi perubahan sosial. 5

4
Ushul Fiqh, cet, ke-3, Prenada Media Group, Jakarta
5
Faturahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Cet. Ke-1, jakarta : Logos Wacana Ilmu)

3|M . Yo pie Ar da na
C. Sumber Dan Dalil Hukum Islam

Sumber menurut bahasa adalah asal dari segala sesuatu atau tempat merujuk segala
sesuatu. Dalam ushul figh, sumber diartikan sebagai rujukan utama dalam menetapkan
hukum islam yaitu Al-Qur'an dan sunnah. Sedangkan dalil menurut bahasa adalah petunjuk
kepada sesuatu baik yang bersifat material maupun non material (maknawi). Secara
terminologi dalil berarti suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam
memperoleh hukum syara yang bersifat praktis baik yang statusnya qat'i maupun zhanni.

Tetapi antar keduapengertian ini tetap terdapat perbedaan. Sumber yang menurut
pengertian bahwasanya adalah rujukan utama yang menjadi asal sesuatu maka yang menjadi
sumber hukum yng paling utama dalam islam itu hanya Al-Qur'an dan sunnah. Al-Qur'an
sebagai sumber utama tidak ada perbedaan pendapat tentang kehujjahanya karena merupakan
sumber hukum yang berasal dari Allah, sementara sunnah tidak di ragukan lagi merupakan
sumber tersendiri namun tetap berkaitan erat dengan Al-Qur'an. Otoritas dari Al-Qur'an dan
sunnah tidak berubah dalam setiap waktu dan keadaan, ijma dan Qiyas sesungguhnya hanya
merupakan alat bantu atau metode untuk menjawab masalah-masalah baru dimana tidak ada
bimbingan lengkap dari Al-Qur'an dan Sunnah untuk menyelesaikanya.6

Sedangkan untuk imam Syafi'i sendiri lebih mengunakan istilah ushul al-ahkam
dasar-dasar hukum) dan adillah al ahkam (dalil-dalil hukum) seperti yang di krangkannya
dalam kitab al umm. Dasar-dasar hukum atau dalil-dalil hukum yamg di pakai Syafi'i dalam
hukum islam yaitu Al-Qur'an, sunnah ijma, dan Qiyas. Tata urutan sumber hukum ini juga di
pakai oleh mazhab-mazhab awal terutama oleh gurunya, Imam Maliki. Menurut teori hukum
klasik landasan hukum islam itu ada 4 dengan tata urutan al-Qur'an sunnah, ijma dan qiyas.

Pertama, empat landasan ini dengan tata urur-Quran, sunnah, ijma qiyas merupakan
hasil perkembangan sejarah yang berasal dari masa para sahabat. Kedua urutan sumber-
sumber hukum tersebut, sesungguhnya adalah produk yang datang kemudian ketiga ide
tentang a'immat al huda atau pemimpin-pemimpin yang berbimbing lurus tentunya baru
muncul setelah empat khalifah pertama.

Sedangkan pada masa sahabat, sumber atau dalil yang di gunakan dalam penetapan
hukum islam, al-Quran sunnah dan Ijtihad (ray). Dalam melakukan ijtihad kolektif para
sahabat berkumpul dan bermusyawarah. Dialog Imam Syafi'i dengan lawan-lawanya
memperjelas bahwa para ahli-ahli hukum awal menempatkan qiyas sebelum ijma. Perubahan
tata urut hukum islam menjadi al-Quran, sunnah, ijma, qiyas untukk pertama kalinya muncul
dalam karyanya, al Risalah. Al-Quran itu sendiri merupakan sumber pokok legalisasi
menjadi dasar dan sumber utama hukum Islam. Terlepas dari perselisihan yang terjadi
mengenai jumkah ayat-ayat hukum dalam al-Quran adalah jelas bahwa al-Quran bukanlah
suatu undang-undang hukum modern ataupun suatu kumpulan etika. Tapi al-Quran
merupakan way of life yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan hubungan
manusia dengan Allah.

6
Ahmad Hasan, Pintu ijtihad sebelum tertutup, (Bandung : hlm 38)

4|M . Yo pie Ar da na
D. Pandangan Imam Syafi’i

Imam Syafi'i memandang ijma sebagai sumber hukum setelah al-Qur'an dan sunah
Rasul. Di samping itu, keberadaan dalil-dalil ini tidak boleh bertantangan dengan ketentuan
yang ada dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Oleh sebab itu para ulama ushul figh juga sering
menyebut adillah al ahkam ini sebagai metode dalam meng-istinbath-kan hukum. 7 Dari
pendapat Imam Syafi'i tersebut secara umum mengenai ijma terlihat bahwa beliau sangat
responsif terhadap permasalahan khususnya dalam pandangan atau pendapat secara kolektif
terutama pendapat masyarakat. Lebih jauh lagi Syafi'i mengemukakan keberatannya tentang
ijma yang di tetapkan secara diam-diam atau ijma sukuti. 8

E. Aplikasi Ijma’ terhadap Isu-isu Kotemporer

Ulama yang pro pada pendapat bahwa ijma’ tidak mungkin terjadi lagi, karena pada
waktu terjadi pristiwa pengambil hukum dengan cara ijma’, pada masa itu para ulama
mujtahid masih saling kenal, tempat tinggal mereka masih berdekatan, wilayah umat Islam
atau negara belum begitu luas seperti sekarang, dan masih memungkin masing-masing
mujtahid dapat memperhatikan pendapat mereka masing-masing, tentang persoalan hukum
yang di ajukan kepada mereka. Ulama klasik seperti Imam as-Syafi’i, Ibnu Taimiyah dan
Ibnu Qayyim alJauziah , (dari mazhab Hanbali), begitu juga pandagan ulama yang sudah
modern seperti Muhammad Abu Zahrah, Muhammad Hudri Bek dan Fath adDuraini ( guru
besar fiq dan Ushul Fiqh dari Unversitas Suriah, Damacus, dan Wahbah az-Zuhaili, mereka
berpendapat tidak mungkin akan terjadi ijma’ seperti pada masa sahabat. Maka persoalan isu-
isu seperti keputusan anggota MPR RI, atau DPR RI tentang Undang-undang atau keputusan
kepala daerah seperti Gubernur/Bupati/Walikota seperti PERDA tentang larang judi,
minuman keras dan sebagainya yang muncul pada zaman kotemporer atau globalisasi tidak
akan mungkin dapat mengakomodasi persoalan hukum baru, artinya ijma’ tidak dapat
diterapkan sebagai metode penetapan hukum baru pada era sekarang. Mereka memberikan
dasar pemikiran bahwa ijma dapat terjadi karena mengharuskan semua mujtahid disemua
negara harus hadir dan memberikan respon pada persoalan yang diajukan kepada mereka,
kemudian persyaratan yang masuk dalam kategori mujtahid juga sangat ketat. Menurut
Wahbah az-Zuhaili, syarat ijma’ adalah.

1. yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan


ijtihad.
2. kesepakatan itu muncul dari mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap
agamanya).
3. Mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau dari
perbuatan bid’ah. Ketiga syarat ini disepakati oleh seluruh ulama.

7
Djamil faturrahman, filsafat hukum islam, jakarta, logos wacana ilmu, h.46
8
Amir Mu’allim dan yusdani kofigurasi pemikiran hukum islam, (Yogyakarta h.52)

5|M . Yo pie Ar da na
Sedangkan pada zaman sekarang sangat sulit dan langka ulama yang menguasai
semua bidang ke ilmuan apalagi yang masuk dalam kategori mujtahid. Akan tetapi kalau kita
melihat dari subtansi dari tujuan ijma’ sebagai salah satu metode penetapan hukum, di
karenakan ada persoalan baru yang muncul ditengah-tengah kehidupan masyarakat,
sedangkan dalilnya dalam al-Qur’an dan al-Hadits tidak ditemukan. Maka perlu kita
mempertimbangkan pendapat Abdul Wahab Khallaf, bahwa Ijma’ akan mungkin terjadi
apabila masalahnya diserahkan kepada pemerintah, karena pemerintah sebagai ulil Amri
dapat mengetahui mujtahid-mujtahidnya, dan setiap pemerintah dapat mengetahui dan
menentukan mujtahid suatu bangasa dan disepakati juga oleh mujtahid seluruh dunia Islam”.

Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, bahwa ijma’ sama dengan mengumpulkan para ahli
permusyawaratan untuk bemusyawarah sebagai wakil rakyat atas perintah/undangan kepala
Negara, itulah yang mungkin terjadi sepanjang masa. Inilah ijma’ yang terjadi di masa Abu
bakar dan Umar” Kalau memperhatikan pengertian dari subtansi pengertian ijma’ tersebut,
kemudian didukung oleh pendapat Abdul Wahab Khallaf dan Hasbi ash-Shidieqy, ada
kemungkinan bahwa Keputusan MPR RI, DPR RI dan keputusan kepala daerah atau
menghimpun berbagai macam fatwa yang dikeluarkan oleh ulama dari berbagai lembaga
seperti fatwa ulama NU dan fatwa ulama majlis Tarjih Muhammadiyah dan Fatwa MUI, yang
kebetulan subatansi dari isi fatwa tersebut sama-sama menyatakan bahwa merokok itu haram
karena merusak kesehatan manusia.dapat dianggap sebagai ijma’, paling dapat kita sebut
sebagai ijma’ lokal. 9

Pada zaman sekarang, ada kemungkinan untuk menghimpun pendapat para ulama
atau mujtahid lokal maupun pendapat mujtahid seluruh dunia, tidak musti harus bertemu
dalam satu majlis, akan tetapi dapat di akses melalui teknologi Internet, atau melalui akun
facebook, atau akun Twitter. Tetapi memberikan persoalan melalui media Internet dan
mengharapkan jawaban oleh orang yang berkualitas mujtahid tentu akan mengandung
beberapa kelemahan, karena pada media tersebut, kemungkinan orang yang bukan ulama
mujtahid juga dapat memberikan jawaban dan penipuan dalam memberikan jawaban yang
tidak di harapkan.

Kelemahan selanjutnya media internet belum ada ulama yang menggunakan, bahwa
madia ini dapat digunakan sebagai sarana untuk ijma’ (kesepakatan Mujtahid)’ untuk
mengakses atau menghimpun) pendapat para mujtahid lakal maupun secara internasional dari
berbagai negara didunia.

9
Wahbah az-Zuhaili, Ushul al Fiqh al Islami, Juz I, al-Maktabah al-Assad, h.512

6|M . Yo pie Ar da na
PENUTUP

KESIMPULAN

Hukum Islam yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah kategori hukum fiqh
dimana merupakan proses terbentuknya suatu hukum melalui dayanalar baik secara langsung
dari wahyu memerlukan daya pemahaman atau secara tidak langsung. Hukum islam selalu
bertujuan untuk kemaslahatan manusia dunia dan akhirat. Konsep ijma imam syafi'i adalah
merupakan dasar atau salah satu sumber dalam menetapkan hukum Pemikiran imam syafi'i
perlu banyak di gali dan di bahas sejalan dengan pemahaman beliu tentang hukum yang tidak
statis dan kaku namun tida bertentangan dengan al quran dan asunnah sehingga benar-benar
bisa mengatasi hambatan-hambatan yang berpengaruh terhadap cara pandang dalam
pemahaman hukum.

1. Kalau melihat metode ijma’ ulama klasik seperti Imam, asy-Syafi’i, Ibnu
Taimiyah,Ibnu Qayyim al-Jauziah dan ulama-ulama ushul fiqh yang sudah
mempunyai pemikiran modern seperti Muhammad Abu Zahrah, Muhammad Hudri
Bek dan Fath ad-Duraini. Dosen Ushul fiqh dari Institut Agama Islam Negeri,
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam juga berpendapat sama , artinya pada masa
sekarang tidak mungkin akan terjadi ijma’, ijma’ hanya terjadi pada masa sahabat
saja, tetapi bisa jadi masih ada kemungkinan akan menerapkan metode ijma’ pada
persoalan hukum yang muncul pada masyarakat, karena kondisi dulu dengan kondisi
sekarang sangat berbeda. Sekarang fasilitas media dapat digunakan untuk mengakses
informasi dari berbagai penjuru dunia melalui teknologi media internet, dengan
mengunakan akun Fecebook dan Twitter, sehingga segala persoalan dapat disebarkan
melalui akun tersebut, sehingga orang lain akan memberikan jawaban yang sangat
kita harapkan.
2. Penggunaan media elektronik masih mempunyai banyak kelemahan dan rawan akan
penipuan dan tidak semua orang mau mengakses jawaban dari persoalan hukum yang
kita sebarkan akan dijawab oleh orang yang kita harapkan, karena mungkin saja yang
menjawab pertanyaan kita melalui internet belum tentu dia seorang mujtahid dan
mungkin juga orang yang bukan ber agama Islam. Selanjutnya belum pernah ada
ulama yang memanfaatkan media ini sebagai serana untuk mencapai kesepakatan atau
ijma dalam bidang hukum.

7|M . Yo pie Ar da na
DAFTAR PUSTAKA

A.Djazuli dan I.Nurol Aen, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam, PT.Raja Grafindo
Persada, Jakarta

Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Multazam al-thobi’u wan-Nasru Darul Fkr al-‘Araby

Ahmad Hasan, Pintu ijtihad sebelum tertutup, (Bandung : hlm 38)

Amir Mu’allim dan yusdani kofigurasi pemikiran hukum islam, (Yogyakarta h.52)

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,Yayasan Penyelenggar


Penterjemahan/Penafsir al-Qur’an, Jakarta

Djamil faturrahman, filsafat hukum islam, jakarta, logos wacana ilmu, h.46

Faturahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Cet. Ke-1, jakarta : Logos Wacana Ilmu)

Ushul Fiqh, cet, ke-3, Prenada Media Group, Jakarta

Wahbah az-Zuhaili, Ushul al Fiqh al Islami, Juz I, al-Maktabah al-Assad, h.512

8|M . Yo pie Ar da na

Anda mungkin juga menyukai