Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Nyeri merupakan salah satu gejala dari penyakit ataupun kerusakan jaringan atau
organ tubuh yang paling sering terjadi. Kerusakan jaringan ataupun terjadinya
gangguan pada jaringan dapat menimbulkan rasa nyeri. Impuls nyeri bisa terjadi
karena adanya rangsangan yang menyebabkan sel-sel melepaskan enzim proteolitik
(enzim pengurai protein) dan polipeptida yang merangsang ujung saraf. Prostaglandin
dapat bereaksi dengan senyawa kimia untuk membuat ujung saraf menjadi sensitif
terhadap rangsangan nyeri oleh polipeptida.
Apabila seseorang merasa nyeri, maka akan segara meminum obat penghilang
rasa nyeri. Obat-obat penghilang rasa nyeri ini sering disebut obat-obat analgetik.
Obat analgesik adalah obat yang mempunyai efek menghilangkan atau mengurangi
nyeri tanpa disertai hilangnya kesadaran atau fungsi sensorik lainnya. Obat analgesik
bekerja dengan meningkatkan ambang nyeri, mempengaruhi emosi (sehingga
mempengaruhi persepsi nyeri), menimbulkan sedasi atau sopor (sehingga nilai
ambang nyeri naik) atau mengubah persepsi modalitas nyeri.Obat analgesik akan
merubah persepsi dan interpretasi nyeri dengan jalan mendepresi sistem saraf pusat
pada thalamus dan korteks cerebri. Analgesik akan lebih efektif diberikan sebelum
klien merasa nyeri yang berat dibandingkan setelah mengeluh nyeri.
Tanaman obat tradisional merupakan salah satu modal dasar pembangunan
kesehatan nasional. Di Indonesia disamping pelayanan kesehatan formal, pengobatan
dengan cara tradisional dan pemakaian obat tradisional masih banyak dilakukan oleh
masyarakat secara luas, baik di daerah pedesaan maupun daerah perkotaan.
Temu kunci (Kaempferia pandurata Roxb.) yang biasanya digunakan oleh
masyarakat sebagai penyedap pada masakan tradisional, dipercaya juga merupakan
obat tradisional yang dapat digunakan sebagai obat analgesik. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui apakah ekstrak seduhan rimpang temu kunci memiliki efek
analgesik, yaitu mengurangi rasa nyeri.

B. PERMASALAHAN

1. Apakan infusa rimpang temu kunci memiliki efek analgetik?

2. Apakah pemberian infusa rimpang temu kunci per oral dapat mengurangi
jumlah geliat mencit betina galur Swiss yang diinduksi asam asetat?

C. MANFAAT

Penelitian mengenai efek analgetik infusa rimpang temu kunci (Kaempferia


pandurata Roxb.) ini memiliki beberapa manfaat di bidang farmasi antara lain:
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi
mengenai efek analgetik dari infusa rimpang temu kunci.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian yang diperoleh dapat digunakan sebagai acuan untuk
menentukan simplisia yang memiliki efek farmakologis besar terutama efek
analgetik.

D. TUJUAN

1. Membuktikan bahwa infusa rimpang temu kunci memiliki efek analgetik.

2. Membuktikan bahwa infusa rimpang temu kunci dapat mengurangi jumlah


geliat mencit betina galur Swiss yang diinduksi asam asetat
BAB II

PENELAHAAN PUSTAKA

A. SISTEMATIKA TANAMAN

1. Sistematika tanaman temu kunci

Sistematika temu kunci (Boesenbergia rotunda (L.) Mansf. syn. Curcuma


rotunda L., B. pandurata (Roxb.) Schlechter, Kaempferia pandurata Roxb.)

Kerajaan:Plantae
Divisi:Magnoliophyta
Kelas:Liliopsida
Ordo:Zingiberales
Famili:Zingiberaceae
Genus:Boesenbergia
Spesies: B. rotunda
(Plantus, 2008).

2. Nama latin dan nama daerah


Nama latin dan nama daerah dari temu kunci adalah:
Nama Latin : Boesenbergia pandurata (Roxb.), Curcuma rotunda L., B.
pandurata (Roxb.) Schlechter, Kaempferia pandurata Roxb.).

Nama Indonesia : Temu kunci


Nama Daerah : Temu kunci (Sunda), kunci (Jawa), temu konci (Bali), dumu kunci
(Bima), temo kunce (Madura), tampute (Ternate), tamu konci (Makasar), suo shi, ow sun
zhiang (Cina), chinese key (Inggris) (Plantus, 2008).

3. Morfologi tanaman
Temu kunci berperawakan herba rendah, merayap di dalam tanah. Dalam
satu tahun pertumbuhannya 0,3-0,9 cm. Batangnya merupakan batang asli di
dalam tanah sebagai rimpang, berwarna kuning coklat, aromatik, menebal,
berukuran 5-30 x 0,5-2 cm. Batang di atas tanah berupa batang semu (pelepah
daun). Daun tanaman ini pada umumnya 2-7 helai, daun bawah berupa pelepah
daun berwarna merah tanpa helaian daun. Tangkai daun tanaman ini beralur,
tidak berambut, panjangnya 7-16 cm, lidah-lidah berbentuk segitiga melebar,
menyerupai selaput, panjang 1-1,5 cm, pelepah daun sering sama panjang
dengan tangkai daun; helai daunnya tegak, bentuk lanset lebar atau agak jorong,
ujung daun runcing, permukaan halus tetapi bagian bawah agak berambut
terutama sepanjang pertulangan, warna helai daun hijau muda, lebarnya 5-11
cm (Plantus, 2008).
Bunga tanaman ini berupa susunan bulir tidak berbatas, di ketiak daun,
dilindungi oleh 2 spatha, panjang tangkai 41 cm, umumnya tangkai
tersembunyi dalam 2 helai daun terujung. Kelopak bunganya 3 buah lepas,
runcing. Mahkota bunganya 3 buah, warnanya merah muda atau kuning-putih,
berbentuk tabung 50-52 mm, bagian atas tajuk berbelah-belah, berbentuk lanset
dengan lebar 4 mm dan panjang 18 mm. Benang sarinya 1 fertil besar, kepala
sarinya bentuk garis membuka secara memanjang. Lainnya berupa bibir-bibiran
(staminodia) bulat telur terbalik tumpul, merah muda atau kuning lemon,
gundul, 6 pertulangan, dan ukurannya 25×7 cm. Putik bunganya berupa bakal
buah 3 ruang, banyak biji dalam setiap ruang (Plantus, 2008).

4. Kandungan kimia
Rimpang temu kunci mengandung minyak atsiri, saponin, flavonoid,
kurkumin, tannin, d-burneol, d-pinen sesquiterpen (Plantus, 2008).

5. Manfaat
Rimpang temu kunci memiliki manfaat sebagai peluruh dahak atau untuk
menanggulangi batuk, peluruh kentut, penambah nafsu makan, menyembuhkan
sariawan, bumbu masak, dan pemacu keluarnya Air Susu Ibu (ASI), Perasan
dan infusa rimpang temu kunci memiliki daya analgetik dan antipiretik
(Plantus, 2008)..

B. OBAT TRADISIONAL
Obat tradisional adalah obat yang berasal dari bahan tumbuh-tumbuhan, hewan,
mineral dan atau persediaan galeniknya atau campuran dari bahan-bahan tersebut
yang belum mempunyai data klinis dan dipergunakan dalam usaha pengobatan
berdasarkan pengalaman (Anonim, 1983).
Penggunaan bahan alam sebagai obat cenderung mengalami peningkatan
dengan adanya isu back to nature dan krisis berkepanjangan yang mengakibatkan
turunnya daya beli masyarakat terhadap obat-obat modern yang relatif lebih mahal
harganya. Obat bahan alam juga dianggap hampir tidak memiliki efek samping yang
membahayakan. Pendapat itu belum tentu benar karena untuk mengetahui manfaat
dan efek samping obat tersebut secara pasti perlu dilakukan penelitian dan uji
praklinis dan uji klinis. Obat bahan alam Indonesia dapat dikelompokkan menjadi
tiga yaitu jamu yang merupakan ramuan tradisional yang belum teruji secara klinis,
obat herbal yaitu obat bahan alam yang sudah melewati tahap uji praklinis,
sedangkan fitofarmaka adalah obat bahan alam yang sudah melewati uji praklinis dan
klinis (SK Kepala BPOM No. HK.00.05.4.2411 tanggal 17 Mei 2004) ( Gunawan dan
Mulyani, 2004).
Di samping keunggulannya, obat bahan alam juga memiliki beberapa
kelemahan yang juga merupakan kendala dalam pengembangan obat tradisional
antara lain: efek farmakologisnya lemah, bahan baku belum terstandar dan bersifat
higroskopis serta volumines, belum dilakukan uji klinik dan mudah tercemar berbagai
mikroorganisme. Upaya-upaya pengembangan obat tradisional dapat ditempuh
dengan berbagai cara dengan pendekatan-pendekatan tertentu, sehingga ditemukan
bentuk obat tradisional yang telah teruji khasiat dan keamanannya, bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah serta memenuhi indikasi medis, yaitu
kelompok obat fitoterapi atau fitofarmaka. Untuk mendapatkan produk fitofarmaka
harus melalui beberapa tahap (uji farmakologi, toksisitas dan uji klinik) hingga bisa
menjawab dan mengatasi kelemahan tersebut ( Gunawan dan Mulyani, 2004).
Hingga saat ini, obat-obat tradisional dianggap dan diharapkan berperan dalam
usaha-usaha pencegahan dan pengobatan penyakit, serta peningkatan taraf kesehatan
masyarakat. Penggunaan hingga saat ini didasarkan pada dugaan-dugaan hasil
pengalaman atau pengetahuan yang diteruskan secara turun-temurun, dan belum
didasarkan pada hasil penelitian dan hasil percobaan yang seksama. Sesuai dengan
rencana pemerintah untuk memperluas dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
kepada masyarakat, maka penanganan persoalan obat tradisional serta
pengembangannya seharusnya dapat menolong pemerintah. Pengembangan obat
tradisional harus didasarkan pada kepentingan masyarakat, ini berarti bahwa
penggunaan obat tradisional untuk pengobatan harus punya dasar-dasar yang kuat,
sehingga penggunaan dan anjuran untuk menggunakannya harus benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan (Husin, 1983).
C. NYERI
Nyeri sebenarnya sebagai tanda adanya penyakit atau kelainan dalam tubuh dan
merupakan bagian dari prosese penyembuhan (inflamasi). Nyeri perlu dihilangkan
jika sudah mengganggu aktifitas tubuh, analgetik merupakan obat yang digunakan
untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (Priyanto, 2008).

Rasa nyeri hanya merupakan suatu gejala yang fungsinya memberi tanda
tentang adanya gangguan-gangguan di tubuh seperti peradangan, infeksi kuman atau
kejang otot. Rasa nyeri disebabkan oleh rangsangan mekanisme atau kimiawi, kalor
atau listrik yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan melepaskan zat yang
disebut mediator nyeri (Tjay dan Rahardja, 2002).
Rasa nyeri diterima oleh reseptor khusus, yang merupakan ujung syaraf bebas.
Secara fungsional di bedakan menjadi 2 jenis reseptor:
1. Mekanoreseptor

Suatu reseptor yang meneruskan rangsangan nyeri permukaan melalui serabut A-


delta bermielin.

2. Termoreseptor

Suatu reseptor yang meneruskan rangsangan nyeri kedua melalui serabut-serabut


C-yang tidak bermienil.

(Mutschler,1991).

Berdasarkan tempat terjadinya, nyeri dibedakan menjadi 2 yaitu: nyeri somatik


dan nyeri viseral. Nyeri somatik dibagi dua kualitas yaitu nyeri permukaan dan nyeri
dalam. Bila nyeri berasal dari kulit rangsang yang bertempat dalam kulit maka rasa
yang terjadi disebut nyeri permukaan, sebaliknya nyeri yang berasal dari otot,
persendian, tulang, atau dari jaringan ikat disebut nyeri dalam (Mutschler, 1991).
Mediator-mediator nyeri yang terpenting adalah histamin, serotonin,
plasmakinin (antara lain bradikinin) dan prostaglandin, juga ion-ion kalium. Zat-zat
tersebut dapat mengakibatkan reaksi-reaksi radang dan kejang-kejang dari jaringan
otot yang selanjutnya mengaktifkan reseptor nyeri. Plasmakinin merupakan peptida
(rangkaian asam-asam amino) yang terbentuk dari protein-protein plasma, sedangkan
prostaglandin merupakan zat yang mirip asam lemak dan terbentuk dari asam-asam
lemak esensial. Kedua zat tersebut berkhasiat sebagai vasodilatator kuat dan
memperbesar permeabilitas (daya hablur) kapiler dengan akibat terjadinya radang dan
udema (Tjay dan Rahardja, 2002).
Cara pemberantasan nyeri:
1) Menghalangi pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri perifer oleh analgetika
perifer atau oleh anastetik lokal.
2) Menghalangi penyaluran rangsang nyeri dalam syaraf sensoris, misalnya dengan
anastetik lokal.
3) Menghalangi pusat nyeri dalam sistem syaraf pusat dengan analgetika sentral
(narkotik) atau dengan anastetik umum (Tjay dan Rahardja, 2002).

D. ANALGETIKA
Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapetik meringankan atau
menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum. Berdasarkan potensi kerja,
mekanisme kerja dan efek samping analgetika dibedakan dalam 2 kelompok yaitu
analgetika yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat (hipoanalgetik, kelompok Opiat)
dan analgetika yang bersifat lemah (sampai sedang) bekerja terutama pada perifer
(Mutschler, 1991).
Efek sedasi merupakan efek samping beberapa golongan obat yang tidak
termasuk golongan depresan SSP. Walaupun golongan tersebut memperkuat efek
penekanan SSP, secara mandiri tidak dapat menginduksi anestesi umum. Golongan
tersebut umumnya telah mengahasilkan efek terapi yang lebih spesifikasi pada kadar
yang lebih kecil dari pada yang dibutuhkan untuk depresi SSP secara umum
(Ganiswara, 1995).
Analgetik dibedakan menjadi dua golongan besar :
1. Analgetik Narkotik.

Analgetik narkotik mempunyai daya penghalang yang kuat sekali, mengurangi


kesadaran atau mengantuk dan memberikan perasaan atau habituasi. Ketergantungan
secara fisik dan psikis, adikasi, gejala-gejala abstinemia dapat terjadi bila pengobatan
tidak dihentikan segera. Contoh golongan ini adalah peptidin HCl, opii pulvis dan
sediaannya, morfin HCl pada morfin. Mekanisme keja dari analgeti narkot adalah
berikatan secara selektif pada banyak tempat diseluruh tubuh untuk menghasilikan
efek farmakologi. Tempat kerja utama di lobus otak yang terlibat trasmisi rasa nyeri
dalam perubahan reaktivitas rangsangan monoseptik (Mutschler, 1991).

Efek umum yang dimiliki oleh narkotik:

• Memberikan analgetik serta rasa gembira, hilangnya rasa takut dan


merasa terganggu ole nyaeri yang diderita, pada dosis analgetik tidak
memberi hipnosi tetapi pada dosis tersebut memberi rasa ngantuk.

• Menekan pusat pernapasan sehingga peranapasan menjadi dangkal dan


lambat, bahkan terjadi kematian karenakegagalan pernapasan. Tetapi pusat-
pusat dirangsang sehingga menimbulkan mutah.

• Keracunan akut mengalami gejala depresi sistem syaraf pusat


khususnya pusat pernapasan sehingga gerakan napas hampir tidak terlihat
dan jarang. Akibatnya kulit dan mukosa berwarna biru sehingga miosis
maksimal mengikat khasiatnya sebagai analgetik juga memberi rasa
gembira (Mutschler, 1991).

2. Analgesik Non Narkotik

Analgetik non narkotik berefek melalui mekanisme kerja menghambat


biosintesis prostaglandi. Prostaglandi berperan pada rasa nyeri yang berkaitan dengan
kerusakan jantung atau inflamasi. Prostaglandi mengakibatkan keluarnya mediator
kimiawi seperti histamin yang merangsang dan menimbulkan rasa nyeri yang nyata.
Obat analgetik ini efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang,
contoh sakit kepala, mialigia, artalagia dan rasa nyeri lain yang berasal dari
antequment. Selain itu juga efektif terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi
(Mutschler, 1991).

Efek obat dari golongan non narkotik jauh lebih rendah dibandingkan obat
golongan narkotik. Namun obat ini tidak menimbulkan ketagihan dan efek samping
sentral yang merugikan seperti golongan narkotik. Adapun beberapa efek samping
yang timbul sesudah pemakaian analgetik non narkotik yaitu kerusakan lambung,
usus,kerusakan darah seperti leukopenia, agranulositosis, kerusakan hati dan
kerusakan gunjal. Contoh obat analgetik golongan non narkotik yaitu aspirin,
asetosal, asam mefenamat, parasetamol, ibuprofen fenil butason, pirosikam, dan asam
salisilat (Mutschler, 1991).

E. ASETOSAL (ASPIRIN, ASAM ASETILSALISILAT)

Asam asetilsalisilat mempunyai rumus molekul C9H8O4 dengan berat molekul


108,16. Asam asetilsalisilat mengandung tidak kurang dari 99,5% dan tidak lebih
dari 100,5% C9H8O4. Pemerian hablur putih, umumnya seperti jarum, tidak berbau
atau berbau lemah (Anonim, 1995)
Aspirin memiliki aktivitas analgetik, antipiretik dan antiinflamasi. Selain itu
juga memiliki efek antiplatelet sehingga dapat mencegah pembekuan darah.
Sebaiknya tidak digunakan pada pasiendengan gangguan pembekuan darah (misalnya
hemofili), sirosis hati, trombositopenia, atau pada pasien operasi (Anonim, 2007).
Aspirin bersifat asma, dapat menyebabkan iritasi mukosa lambung. Sebaiknya
jangan digunakan ketika lambung kosong. Tidak direkomendasikan bagi yang
memiliki riwayat gangguan lambung (Anonim, 2007).
Asetosal dapat digunakan ntuk mengatasi nyeri dan demam. Dosis asetosal
untuk dewasa adalah 650mg-1,3g setiap 8 jam, tidak boleh lebih dari 3,9g per hari.
Untuk migrain atau sakit kepala ringan hingga berat 500mg per hari. Pengunaannya
harus dihentikan jika telinga berdenging atau tidak mendengar atau alergi (Anonim,
2011).

F. ASAM ASETAT
Asam asetat mempunyai rumus molekul CH3COOH. Asam asetat mengandung
tidak kurang dari 36,0% dan tidak lebih dari 37,0%b/b C2H4O2. Pemerian berupa
cairan jernih, tidak berwarna, berbau khas, rasa asam yang tajam (Anonim, 1995).
Dalam pengujian efek analgesik menggunakan metode rangsang kimia, dapat
digunakan asam asetat glasial 0.1 % sebagai rangsang sakit. Dosis asam asetat glasial
0.1 % untuk pengunaan tersebut adalah 0,5ml/20 g BB (Hardoko dan Eleison, 1999).
G. PENYARIAN
Penyarian merupakan pemindahan masa zat aktif yang semula berada di dalam
sel, ditarik oleh cairan penyari, sehingga terjadi larutan zat aktif dalam cairan penyari
tersebut. Penyarian akan bertambah bila permukaan serbuk simplisia yang
bersentuhan dengan cairan penyari makin luas (Anonim, 1986).
Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dipilih berdasarkan
kemampuannya dalam melarutkan kandungan zat aktif yang maksimal dan seminimal
mugkin bagi :
1. Simplisia
Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain, berupa bahan
yang telah dikeringkan. Simplisia nabati adalah simplisia berupa tanaman utuh,
bagian tanaman, dan eksudat tanaman. Simplisia hewani adalah simplisia
berupa hewan utuh, bagian hewan, atau zat yang dihasilkan hewan yang masih
belum berupa zat kimia murni (Anonim, 1979).
2. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan yang dapat berupa kering, kental, dan cair yang dibuat
dengan menyari simplisia nabati atau simplisia hewani dengan cara yang sesuai,
diluar pengaruh sinar matahari langsung (Anonim, 1979).
Pembuatan sediaan ekstrak dimaksudkan agar zat berkhasiat yang terdapat
disimplisia terdapat dalam bentuk yang mempunyai kadar yang tinggi (Anief,
1987).
Ekstraksi merupakan metode penyarian yang digunakan tergantung pada jenis
zat aktif dan kandungan yang akan disari. Metode dasar, penyarian adalah
maserasi, perkolasi dan soxhletasi. Pemilihan terhadap ketiga cara di atas
disesuaikan dengan kepentingan dalam memperoleh sari (Harborne, 1987).
3. Infusa/ Infus
Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan
air pada suhu 90o selama 15 menit. Pembuatan infus dengan cara mencampur
simplisia dengan derajat halus yang cocok dalam panci dengan air secukupnya,
panaskan diatas tangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu mencapai 90o
sambil sekali- sekali diaduk. Serkai selagi panas melalui kain flanel, tambahkan
air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infus yang
dikehendaki (Anonim,1979).
4. Aquadest
Aquadest merupakan singkatan dari Aqua Destilata yang dikenal sebagai air
suling. Aquadest dibuat dengan cara menyuling air yang dapat diminum.
Pemerian aquadest; merupakan cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau dan
tidak mempunyai rasa. Penyimpanan aquadest di dalam wadah tertutup baik
(Anonim,1979).

H. UJI ANALGETIKA
Berdasarkan jenis analgesiknya dibagi menjadi 2,yaitu :
1. Golongan Analgesik Non-narkotik
a. Metode Rangsang Kimia
Dalam metode ini, rangsang nyeri yang timbul berasal dari rangsang kimia
yang disebabkan zat kimia yang diberikan secara i.p. pada hewan uji. Beberapa
zat yag sering digunakan untuk metode ini yaitu asam asetat. Metode ini cukup
peka untuk pengujian senyawa yang mengandung daya analgesik lemah.
Pemberian analgesik akan mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dengan
jumlah geliat terkurang sampai hilang sama sekali tergantung pada senyawa
yang digunakan (Turner, 1995).
b. Metode Pedodolorimeter
Metode ini menggunakan aliran listrik untuk mengukur besarnya daya
analgesik. Alas kandang tikus terbuat dari metal yang biasa mengalirkan listrik.
Respon ditandai dengan teriakan dari tikus tersebut (Turner, 1995).
c. Metode Rektodolorimeter
Tikus diletakkan dalam sebuah kandang yang dibuat khusus dengan tembaga
yang dihubungkan dengan silinder elektroda tembaga. Sebuah voltmeter yang
sensitive untuk mengubah 0,1 volt dihubungkan dengan konduktor yang berada
pada gulungan di atas. Tegangan yang sering digunakan untuk menimbulkan
teriakan menjerit adalah 1-2 volt (Turner, 1995).

2. Golongan Analgesik Narkotik


a. Metode Jepitan Ekor
Sekelompok mencit disuntik dengan larutan yang akan di uji dengan dosis
tertentu secara s.c. atau i.v. tiga puluh menit kemudian dijepit, yang dibuat
dengan mengatupkan lengan di klip arteri dalam karet yang tipis, diletakkan
atau dijepitkan pada ekor tikus selama 80 detik. Mencit yang telah disuntik
akan membuat tingkah untuk mencoba melepaskan klip tersebut. Obat
analgesik akan menyebabkan perlakuan berbeda dengan yang tidak disuntik
terhadap klip (Turner, 1995).
b. Metode Pengukuran Tekanan
Tes dilakukan dengan menyuntikkan substansi secara s.c. 0,2 ml saline per 50
kg BB. Tekanan akan terjadi dalam 6 kali dalam interval 10 menit. Rata-rata
dari 6 indikasi digunakan untuk perbandingan. Tekanan yang paling tinggi
digunakan 3 kali sebagai nilai kontrol rata-rata (Turner, 1995).
c. Metode Rangsang Panas
Tikus albino jantan dengan berat tubuh antara 20-30 gram diletakkan di atas
plat panas. Plat panas tersebut bersuhu antara 55o C-55,5 o C dengan wadah air
mengandung larutan yang mendidihkan yang merupakan aseton dan metil
format. Waktu reaksi diambil pada interval saat tikus mencapai plat panas
sampai tikus menjilat kakinya atau melompat keluar. Tes ini efektif untuk
morfin hidroklorida 4 mg/kg BB, kodein phosphate 28 mg/kg BB dan
dihidromorphin hidroklorid 0,5 mg/kg BB (Turner, 1995).
d. Metode Potensi Petidin
Tes ini tidak cocok untuk pemilihan acak tikus. 20 mencit dibagi menjadi 2
kelompok masing-masing 10. Masing-masing dibagi menjadi 3 dosis petidin :
2,4 dan 8mg/mg BB. Persen analgesik dijumlahkan dengan tes suhu (Turner,
1995).

I. LANDASAN TEORI
Analgetika adalah obat atau senyawa yang bertujuan untuk mengurangi atau
melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Analgetik dibagi menjadi
dua golongan besar :
a. Analgetika yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat (hipnoanalgetika, kelompok
opiat). Ini disebut dengan analgetika narkotika atau opiodia.
b. Analgetika yang berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja terutama pada perifer
dengan sifat antiretika, kebanyakan juga mempunyai sifat antiinflamasi dan
antireumatik. Ini disebut dengan analgetik non narkotika.
Salah satu metode pengujian daya analfesik non narkotika adalah metode
rangsang kimia. Metode rangsang kimia yaitu dilakukan dengan memberikan zat
kimia secara p.o. pada hewan uji sehingga menimbulkan rangsangan nyeri. Zat kimia
yang sering dipakai pada metode ini adalah asam asetat. Adapun contoh beberapa
obat analgetik non narkotik antara lain asetosal, aspirin, asam mefenamat,
paracetamol dan asma salisilat. Metode ini cukup pekat untuk pengujian senyawa
yang mengandung daya analgetik rendah.
Asam asetat memberi efek nyeri melalui suatu mekanisme kerja dalam
memeberi suasana asam dengan adanya ion hidrogen. Ion hidrogen akan
menyebabkan pH pada sam lambung makin rendah sehingga menimbulkan rasa nyeri
dan peningkatan ion hidrogen.

J. HIPOTESIS
Ada efek analgetik yang ditimbulkan oleh seduhan ekstrak rimpang temu kunci
pada hewan uji mencit.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. JENIS DAN RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian daya analgesik infusa temu kunci merupakan metode analisis


eksperimental murni pola acak lengkap satu arah.

B. METODE PENELITIAN

Metode pengujian efek analgesik yang digunakan pada penelitian ini adalah
metode rangsang kimia. Pada metode ini rasa nyeri yang timbul berasal dari rangsang
kimia yang disebabkan oleh zat kimia yaitu asam asetat 0.1% yang disuntikan pada
hewan uji secara intraperitonial.

Penelitian ini menggunakan asam asetat sebagai rangsang kimia yang diberikan
secara intraperitonial pada mencit yang telah dipuasakan selama 8 jam tidak diberi
makan tapi diberi minum sepuasnya dan diberi senyawa uji secara per oral pada 10
menit sebelumnya. Respon nyeri pada mencit yang diamati adalah geliat berupa
kontraksi perut disertai tarikan kedua kaki belakang dan perut menempel pada lantai.
Geliat diamati dan dihitung setiap 5 menit selama 1 jam. Pemberian senyawa
analgesik akan mengurangi rasa nyeri sehingga jumlah geliat yang terjadi akan
berkurang.

C. VARIABEL DAN DEFINISI OPERASIONAL PENELITIAN


1. Variabel Bebas : infusa rimpang temu kunci

2. Variabel Tergantung : jumlah geliat mencit (jumlah gerakan kedua pasang kaki
ke depan dan ke belakang, serta perut menekan lantai kandang)

3. Definisi Operasional

a. Dosis infusa rimpang temu kunci

Dosis diperoleh dengan cara menginfusi serbuk rimpang temu kunci

b. Uji daya analgesik

Dilihat dari junlah geliat mencit yang diinduksi dengan asam asetat

c. Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari 10 gram serbuk
rimpang temu kunci dengan 100 ml air pada suhu 90oC selama 15 menit
kemudian diserkai setelah dingin, bila diperoleh volume kurang dari 100 ml
maka ditambahkan aquadest melalui ampas sampai diperoleh volume 100
ml.

d. Efek analgesik adalah kemampuan suatu zat untuk mengurangi atau


menghilangka rasa nyeri dengan/tanpa menghilangkan kesadaran.

D. BAHAN ATAU MATERI PENELITIAN

Bahan yang digunakan dalam penelitian daya analgesik infusa rimpang temu
kunci adalah :

1. Bahan senyawa uji :

Rimpang temu kunci yang dibeli di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, Jawa Tengah.
Rimpang yang dikumpulkan adalah rimpang dengan keadaan yang masih segar.
2. Hewan uji :

Mencit betina galur Swiss, dengan usia 2-3 bulan, dengan berat badan 20-30 gram
yang diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi, Univesitas
Sanata Dharma, Yogyakarta.

3. Bahan-bahan kimia yang digunakan :

a. 1 ml vehiculum sebagai kontrol negatif yang diperoleh dari


Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi, Univesitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.

b. 1 ml aspirin sebagai kontrol positif yang di diperoleh dari


Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi, Univesitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.

c. Infusa rimpang temu kunci sebagai bahan uji


d. 1 ml larutan asam asetat 0.1% sebagai zat penyebab nyeri yang
diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi, Univesitas
Sanata Dharma, Yogyakarta.
e. Aquadest yang diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan
Toksikologi, Univesitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

E. ALAT ATAU INSTRUMEN PENELITIAN


Alat-alat yang digunakan dalam penelitian tentang daya analgesik infusa
rimpang temu kunci meliputi :
1. Stopwatch

2. Spuit injeksi oral

3. Spuit injeksi

4. Panci infusa
5. Penangas air

F. TATA CARA PENELITIAN

1. Determinasi

Tujuan dilakukan determinasi adalah untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam


menentukan tumbuhan. Hasil determinasi dapat dipastikan bahwa tumbuhan yang
akan digunakan benar-benar rimpang temu kunci sesuai dengan ciri-cirinya yang
khas. Determinasi tanaman temu kunci yang dilakukan dengan mneggunakan
bagian rimpang.

2. Pengumpulan bahan

Rimpang temu kunci yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Pasar
Beringharjo, Yogyakarta, Jawa Tengah. Rimpang yang digunakan adalah rimpang
dalam keadaan segar.

3. Pembuatan infusa temu kuncit

Rimpang temu kunci yang telah dikumpulkan kemudian dicuci dan


dikeringkan. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan sinar matahari tak
langsung yaitu dengan cara ditutup dengan menggunakan kain hitam kemudian
dikeringkan di oven pada suhu 30-40oC. Pengeringan dilakukan dengan tujuan
untuk mengurangi kadar air simpleks sehingga tidak mudah ditumbuhi jamur atau
bakteri yang dapat merusak kandungan kimia dari rimpang temu kunci dan untuk
menghindari bekerjanya enzim yang dapat menimbulkan perubahan secara
kimiawi pada rimpang temu kunci tersebut. Pengeringan dengan menggunakan
kain hitam karena kain hitam dapat mneyerap sinar ultraviolet dari matahari,
sehingga kandungan kimia yang ada dalam rimpang temu kunci tidak rusak.
Kemudian rimpang yang sudah dikeringkan dipotong-potong menjadi kecil.
Tujuannya untuk memperkecil ukuran sehingga mudah dijadikan serbuk.
Rimpang temu kunci yang telah dipotong-potong kemudian dibuat serbuk dengan
menggunakan blender. Serbuk lalu diayak menggunakan ayakan dengan jumlah
lubang tiap inchi adalah 35 lubang untuk memperkecil ukuran partikel sehingga
proses penyarian dapat dilakukan lebih efektif.

4. Pembuatan infusa rimpang temu kunci

Infusa rimpang temu kunci dibuat dengan memanaskan 10 gram serbuk


rimpang temu kunci yang telah dicampur aquadest 100 ml dalam panci infusa
diatas penangas air pada suhu 90oC selama 15 menit kemudian diserkai setelah
dingin sampai 100 ml menggunakan kain katun yang terdapat pada Laboratorium
Farmakognosi-Fitokimia. Penyerkaian infusa dilakukan dalam keadaan dingin
dikarenakan rimapang temu kunci mengandung minyak atsiri.

5. Penyiapan hewan uji

Hewan uji yang dibutuhkan adalah sebanyak 15 ekor mencit betina galur
Swiss. 25 ekor mencit betina ini kemudian dibagi menjadi 5 kelompok masing-
masing terdiri dari 5 ekor mencit. Kelompok I sebagai kontrol negatif, kelompok
II sebagai kontrol positif, dan kelompok III, IV, dan V sebagai kelompok
perlakuan diberi infusa rimpang temu kunci. Sebelum digunakan, mencit-mencit
dipuasakan selama 8 jam tidak diberi makan tetapi diberi minum sepuasnya.

6. Pembuatan suspensi aspirin

Diambil aspirin sebanyak 1 gram kemudian dilarutkan dalam 15 ml


alkohol lalu diencerkan dengan aquadest sebanyak 100 ml

7. Penentuan kriteria geliat mencit


Respon hewan uji dalam pengujian efek analgesik sangat bervariasi. Respon
mencit pada metode uji efek analgesik rangsang kimia adalah berupa geliat.
Kriteria geliat mencit yang diamati dan dihitung adalah gerakan menggeliat
dengan menarik kedua kaki ke belakang serta menempelkan perut ke lantai.

8. Penetapan dosis

a. Aspirin

Dosis aspirin ditentukan berdasarkan faktor konversi dosis manusia. Dosis


lazim aspirin = 500 mg satu kali pakai. Pemberian dosis berdasarkan pada
berat badan orang dewasa rata-rata 70 kg. konversi dosis manusia (70 kg) ke
mencit = 0.0026, maka dosis aspirin yang digunakan adalah 1.3 mg/20 g BB
(Laurence and Bacharah, 1964 cit Anonim, 2002). Perhitungan dapat dilihat
pada lampiran.

b. Infusa rimpang temu kunci

Konsentrasi infusa rimpang temu kunci mengikuti ketentuan konsentrasi


infusa menurut Farmakope Indonesia IV.

Lima belas ekor hewan uji dibagi menjadi tiga kelompok, tiap kelompok
diberi perlakuan secara peroral dengan dosis 0,7 mg/gr BB, 1,4 mg/gr BB, dan
2,8 mg/gr BB.

G. Analisis Hasil

Hasil yang diperoleh dari perhitungan persentase daya analgesik kelompok


perlakuan infusa rimpang temu kunci beserta kontrolnya dianalisis secara statistik
dengan metode analisis eksperimental murni pola acak lengkap satu arah, taraf
kepercayaan 95%.
PROPOSAL PROJECT FARMAKOLOGI DASAR
EFEK ANALGESIK INFUSA TEMU KUNCI (Kaempferia pandurata Roxb.)
TERHADAP JUMLAH GELIAT MENCIT BETINA GALUR SWISS YANG
DIINDUKSI ASAM ASETAT

Disusun oleh:
PRAKTIKAN KELOMPOK A
KELAS FST A

LABORATORIUM FARMAKOLOGI DASAR


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2011
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M., 1987, Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktek, 168-169, UGM Press, Yogya
karta.
Anonim a, 1979, Farmakope Indonesia, Edisi III, 28, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
Anonim b, 1983, Cara Pembuatan Simplisia, Departemen Kesehatan Indonesia,
Jakarta.
Anonim c, 1986, Sediaan Galenik, 1-6, Departemen Kesehatan Indonesia, Jakarta.
Anonim d, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, 45; 46; 649, Departemen Republik
Indonesia, Jakarta.
Anonim, 2007 , Analgetik , htpp ://www.farmako.us.ac.id/pengusaha/barakupload/ma
teri/Analgasik%20S1.pgf, diakses 23 Maret 2011.
Anonim, 2011, Asetosal, http://dinkeskabtasik.com/index.php/informasi-obat/220-
asetosal.html, diakses 26 Maret, 2011
Ganiwara, 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, 124, UI Press, Jakarta.
Gunawan, D., dan Mulyani, S., 2004, Ilmu Obat Alam (Farmakognosi.) Jilid I,
Penebar Swadaya, Jakarta.
Husin, A., 1983, Peranan Farmakologi dalam Pengembangan Obat Tradisional
dalam Risalah Simposium Penelitian Tumbuhan Obat III, 25-26, Fakultas
Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kardoko, H. dan Eleison, M., 1999, Pemanfaatan Buah Kemukus sebagai analgetika,
http ://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?data Id=1311, diakses 26 Maret
2011.
Mutschler, 1991, Dinamika Obat Buku Ajar Farmakologi dan Teknolosi, Edisi
V,177-179;181-185;194-197, ITB Press, Bandung.
Plantus, 2008, Fingerroot (Boesenbergia pandurata Roxb. Schult).
http://anekaplanta.com/2008/01/04/temu-kunci-boesenbergia-pandurata-roxb-
schlechter/, diakses 23 maret 2011.
Priyanto, 2008, Farmakologi Dasar untuk Mahasiswa Farmasi dan Keperawatan,
Edisi II, 114-115, Lembaga Studi Konsultasi Farmakologi, Jakarta.
Tjay, T.H. dan Rahardja, K., 2002, Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan dan
Efek-efek Sampingnya, Edisi IV, 295-296, PT Elex Media Komputindo,
Jakarta.
Turner, R.A, 1965, Screening Methods in Pharmacology, 113-116, Academic Press,
New York and London.
Lampiran Data

Perhitungan dosis aspirin :


Konversi dosis manusia 70 kg ke mencit 20 g = 0.0026
Dosis untuk mencit 20 g = 0.0026 x 500 mg
= 1.3 mg/20 g BB

Perhitungan dosis rimpang kunci 10 % b/v :


a. Dosis untuk hewan uji 0.7 mg/g BB
Dosis untuk mencit 20 g = 0,7 mg x 20 g
= 14 mg/20 g BB mencit
b. Dosis untuk hewan uji 1,4 mg/g BB
Dosis untuk mencit 20 g = 1,4 mg x 20 g
= 28 mg/20 g BB mencit
c. Dosis untuk hewan uji 2,8 mg/g BB
Dosis untuk mencit 20 g = 2,8 mg x 20 g
= 56 mg/20 g BB mencit

Dosis Asam Asetat : 0,5 ml/20 g BB hewan uji

Anda mungkin juga menyukai