Anda di halaman 1dari 9

RESUME STATISTIKA PELUANG

PROBABILITY MODELS (MODEL PROBABILITAS)

Dosen Pengampu : Kurnia Ahadiyah, S.Si., M.Si.

Nama : Rif'a Bariroh


NIM : 21204073
Prodi : Tadris Matematika
Kelas : 1 C

IAIN KEDIRI 2021


BAB 1
MODEL PROBABILITAS

A. Probabilitas: Ukuran Ketidakpastian


Probabilitas adalah ilmu ketidakpastian. Teori probabilitas memberi kita
pemahaman yang tepat tentang ketidakpastian. Pemahaman ini dapat membantu kita
membuat prediksi, membuat keputusan yang lebih baik, menilai resiko, dan bahkan
menghasilkan uang.

B. Model Probabilitas
Definisi formal probabilitas dimulai dengan ruang sampel, atau sering ditulis S.
Ruang sampel adalah himpunan dari semua hasil yang mungkin pada suatu
percobaan/ kejadian. Misalnya, saat memprediksi cuaca besok, mungkin
S = {Hujan, Salju, Cerah}
atau mungkin S adalah himpunan semua bilangan real positif, saat memprediksi harga
saham minggu depan. Pada intinya S dapat berupa himpunan apa saja, bahkan
himpunan tak hingga. Kami biasanya menulis S untuk elemen S, sehingga S∈S.

Model probabilitas juga membutuhkan kumpulan kejadian. Kejadian adalah


himpunan bagian dari ruang sampel (S) yang probabilitasnya dapat ditetapkan.
Untuk contoh cuaca diatas, himpunan bagian {hujan}, {salju}, {hujan, salju}, {hujan,
cerah}, {hujan, salju, cerah}, dan bahkan set kosong ={}, adalah semua contoh
himpunan bagian dari S yang bisa berupa kejadian. Perhatikan bahwa koma (,) disini
berarti "atau", jadi {hujan, salju} berarti peristiwa akan turun ya hujan atau salju.
Umumnya diasumsikan bahwa semua himpunan bagian dari S adalah kejadian.

Yang terakhir dan yang paling penting, model probabilitas membutuhkan ukuran
probabilitas, biasanya ditulis P. Ukuran probabilitas ini harus menetapkan, untuk
setiap peristiwa A, probabilitas P(A) . Membutuhkan properti berikut:
1. P(A) selalu merupakan bilangan real non negatif, antara 0 dan 1 inklusif.
2. P(∅) = 0, yaitu jika A adalah himpunan kosong, maka p(A) = 0.
3. P(S) = 1, yaitu jika A adalah seluruh ruang sampel S, maka P(A) = 1.
4. P adalah (countably) additive, artinya A₁, A₂,.... adalah barisan berhingga atau
dapat dihitung dari kejadian kejadian yang saling lepas, maka
P (A₁ ∪ A₂ ∪…..) = P(A₁) + P(A₂) + …..

B.1. Diagram dan Subset Venn


Diagram venn memberikan metode grafis yang sangat berguna untuk
menggambarkan ruang sampel S dan himpunan bagianya.

1
Sebagai contoh gambar B.1, kita memiliki diagram venn yang menunjukkan
himpunan bagian A⊂S dan komplemenya.
Aᶜ = {s : s ∉ A}
dari A. Persegi panjang menyatakan seluruh ruang sampel S. Lingkaran (dan bagian
dalamnya) menyatakan himpunan bagian A; daerah di luar lingkaran, tetapi di dalam
S, menunjukkan Aᶜ.

Gambar B.1:Diagram Venn himpunan bagian A dan Aᶜ dari ruang sampel S.

Dua himpunan bagian A ⊂ S dan B ⊂ S digambarkan sebagai dua lingkaran, seperti


pada Gambar 1.B.2. Irisan
A ∩ B = {s : s ∈ A and s ∈ B}
dari himpunan bagian A dan B adalah himpunan elemen yang sama untuk kedua
himpunan dan digambarkan oleh daerah di mana dua lingkaran tumpang tindih.
Himpunan
A ∩ Bᶜ = {s : s ∈ A and s ∈ B}
disebut komplemen B di A dan digambarkan sebagai daerah di dalam lingkaran A,
tapi tidak di dalam lingkaran B. Ini adalah himpunan elemen di A tetapi tidak di B.
Demikian pula, kita memiliki komplemen A di B, yaitu Aᶜ ∩ B. Perhatikan bahwa
himpunan A∩B, A∩Bᶜ, dan Aᶜ∩B saling lepas(disjoint).
Gabungan
A ∪ B = {s : s ∈ A or s ∈ B}
dari himpunan A dan B adalah himpunan elemen yang berada di A atau B. Pada
Gambar 1.B.2, itu digambarkan oleh daerah yang dicakup oleh kedua lingkaran.
Perhatikan bahwa A∪ B = (A∩Bᶜ) ∪ (A∩B) ∪ (Aᶜ∩B) .

Ada satu wilayah lagi pada Gambar 1.B.2. Ini adalah komplemen dari A∪B,
yaitu, himpunan elemen yang bukan A atau B. Jadi kita langsung memiliki
(A ∪ B)ᶜ = Aᶜ ∩ Bᶜ
Demikian pula, kita dapat menunjukkan bahwa
(A ∩ B)ᶜ = Aᶜ ∪ Bᶜ,
yaitu, himpunan bagian dari elemen yang tidak berada di A dan B diberikan oleh
himpunan elemen yang tidak berada di A atau tidak di B.

Gambar B.2: Diagram Venn yang menggambarkan himpunan bagian A, B, A∩ B, A ∩


Bᶜ, Aᶜ ∩ B, Aᶜ∩ Bᶜ, dan A ∪ B

2
Perhatikan bahwa jika A dan B adalah himpunan bagian yang lepas (disjoint), maka
masuk akal untuk menggambarkannya seperti pada Gambar B.3, yaitu, sebagai dua
lingkaran yang tidak tumpang tindih karena tidak ada elemen yang sama.

Gambar B.3: Diagram Venn dari himpunan bagian A dan B yang saling lepas.

C. Sifat Model Probabilitas


Jika A adalah sembarang kejadian, kita tulis Aᶜ (baca “A komplemen”) untuk
kejadian yang tidak terjadi di A.Sekarang, A dan Aᶜ selalu disjoint. Selanjutnya,
gabungan mereka selalu menjadi keseluruhan ruang sampel: A ∪ Aᶜ = S.
Probabilitas komplemen suatu kejadian sama dengan satu dikurangi probabilitas dari
kejadian tersebut:
•P(Aᶜ) = 1 − P(A).
Probabilitas selalu memenuhi sifat dasar probabilitas total, subyektifitas,dan monoton.
● Teorema C.1.(Hukum peluang total, versi tanpa syarat)
Misalkan A₁, A₂, ...menjadi kejadian yang membentuk partisi dari ruang
sampel S. Misalkan B adalah sembarang kejadian. Maka:
P(B) = P(A₁∩B) + P(A₂∩B) +.....
● Teorema C. 2.Misalkan A dan B adalah dua kejadian dengan A⊃ B. Maka
P(A) = P(B) + P(A∩Bᶜ).
● Collary C.1. (Monotonisitas) Misalkan A dan B adalah dua kejadian, dengan
A⊇B. Maka:
P(A) ≥ P(B).
● Collary C. 2. Misalkan A dan B adalah dua kejadian, dengan A⊇B. Maka:
P(A ∩ Bᶜ) = P(A) - P(B) .
● Teorema C.3. (Prinsip inklusi–pengecualian, versi dua kejadian) Misalkan A
dan B menjadi dua kejadian. Maka:
P(A ∪ B) = P(A) + P(B) - P(A ∩ B).
● Teorema C.4. (Sub Aditivitas) Misalkan A₁, A₂,... adalah barisan kejadian
berhingga atau tak berhingga yang dapat dihitung, tidak harus terputus-putus.
Maka:
P(A₁ ∪ A₂ ∪···) ≤ P(A₁) + P(A₂) +....
Prinsip inklusi-eksklusi memungkinkan untuk perhitungan P(A ∪ B) di istilah
kejadian yang lebih sederhana.

D. Probabilitas Seragam pada Ruang Berhingga


Jika ruang sampel S berhingga, maka satu kemungkinan ukuran probabilitas pada S
adalah ukuran probabilitas seragam, yang memberikan probabilitas 1/|S| untuk setiap

3
hasil. Di sini |S| adalah jumlah elemen dalam ruang sampel S. Dengan aditif, maka
untuk setiap kejadian A yang kita miliki
P(A) = |A| / |S|
D.1. Prinsip Kombinasi
Komputasi P(A) dalam hal ini membutuhkan komputasi ukuran himpunan A dan S.
Ini mungkin memerlukan prinsip-prinsip kombinatorial seperti prinsip
perkalian,faktorial, dan koefisien binomial/multinomial.
● Menghitung barisan: Prinsip Perkalian
Misalkan kita memiliki k himpunan berhingga S₁,..., Sₖ dan kita ingin
menghitung jumlah barisan dengan panjang k di mana elemen ke-i berasal dari
Sᵢ,yaitu ,hitung jumlah elemen dalam
S = {(s₁,...,sₖ ) : sᵢ ∈ Sᵢ} = S₁×···×Sₖ
Prinsip perkalian mengatakan bahwa jumlah barisan tersebut diperoleh dengan
mengalikan jumlah elemen di setiap himpunan Sᵢ, yaitu,
|S| = |S₁| ··· |Sₖ |
● Menghitung Permutasi
Kita menghitung permutasi, atau urutan elemen dari himpunan di mana tidak
ada elemen yang muncul lebih dari sekali. Kita dapat menggunakan prinsip
perkalian untuk menghitung permutasi secara lebih umum. contoh, misalkan
|S|=n dan kita ingin menghitung jumlah permutasi dengan panjang k ≤ n yang
diperoleh dari S, yaitu, kita ingin menghitung jumlah elemen himpunan
{(s₁,...,sₖ ) : sᵢ ∈ S,sᵢ ≠ s ketika i ≠ j}
Kemudian kita memiliki n pilihan untuk elemen pertama s₁ , n -1 pilihan untuk
elemen kedua, dan terakhir n - (k - 1)= n - k + 1 pilihan untuk elemen
terakhir. Jadi ada n(n - 1).....(n - k + 1) permutasi dengan panjang k dari
himpunan n elemen. Ini bisa juga ditulis sebagai nᵢ /(n-k)!. Perhatikan bahwa
ketika k = n, ada
n! = n (n − 1)··· 2 · 1
Permutasi panjang n
● Menghitung Subset
Secara umum, jika kita memiliki himpunan S dari n elemen, maka banyaknya
himpunan bagian yang berbeda dari nilai k yang dapat kita bangun dengan memilih
elemen dari S adalah

yang disebut koefisien binomial. Ini mengikuti argumen yang sama, yaitu, ada
n!/(n-k)! permutasi panjang k yang diperoleh dari himpunan; setiap permutasi
tersebut, dan k! permutasi yang diperoleh dengan mengubahnya, tentukan subset unik
dari S.
● Menghitung Urutan Subset dan Partisi
Misalkan kita memiliki himpunan S dari n elemen dan kita ingin menghitung jumlah
elemen dari
{(S₁, S₂,..., Sι) : Sᵢ ⊂ S, |Sᵢ| = kᵢ, Sᵢ ∩ Sⱼ =∅ketika i ≠ j},

4
kita ingin menghitung banyaknya barisan himpunan bagian ι dari suatu himpunan di
mana tidak ada dua himpunan bagian memiliki elemen yang sama dan himpunan
bagian ke i memiliki elemen kᵢ. Oleh karena itu prinsip perkalian ini sama dengan

karena kita dapat memilih elemen S₁ dengan cara , pilih elemen S₂ dengan cara
dll.
Ketika kita memiliki S = S1 ∪ S2 ∪···∪ S, selain himpunan individu adalah saling
lepas, maka kita menghitung banyaknya partisi terurut dari suatu himpunan n elemen
dengan elemen k₁ di himpunan pertama, elemen k₂ di himpunan kedua, dll.

Yang mana ini disebut koefisien multinomial.

E. Probabilitas Bersyarat dan Independensi


E.1. Probabilitas Bersyarat
Secara umum, jika diberikan dua kejadian A dan B dengan P(B) > 0, peluang
bersyarat dari A diberikan B, ditulis P(A|B), menyatakan fraksi waktu A terjadi setelah
kita mengetahui bahwa B terjadi. Ini dihitung sebagai rasio probabilitas bahwa A dan
B keduanya terjadi, dibagi dengan probabilitas bahwa B terjadi, sebagai berikut.
● Definisi E.1. Diberikan dua kejadian A dan B, dengan P(B) > 0, kemampuan
probabilitas bersyarat A diberikan B sama dengan

● Teorema E.1. (Hukum peluang total, versi terkondisi) Misalkan A₁, A₂…,
menjadi kejadian yang membentuk partisi dari ruang sampel S, masing-masing
probabilitas positif. Membiarkan B menjadi sembarang kejadian. Maka
P(B) = P(A₁)P(B | A₁) + P(A₂)P(B | A₂) +··· .
BUKTI Rumus perkalian (E.2.)memberikan bahwa P(Aᵢ∩B) = P(Aᵢ)P(Aᵢ | B).
Hasilnya kemudian langsung mengikuti Teorema C.1.
● Teorema E.2 (Teorema Bayes) Misalkan A dan B adalah dua kejadian,
masing-masing memiliki peluang positif. Maka

BUKTI Kami menghitung bahwa

5
ini memberikan hasil.
Aplikasi standar dari rumus perkalian, hukum probabilitas total, dan
teorema Bayes terjadi dengan sistem dua tahap. Respon untuk sistem tersebut
dapat dianggap sebagai o ring dalam dua langkah atau tahap. Biasanya, kita
diberikan probabilitas untuk file dan probabilitas bersyarat untuk tahap kedua.
Rumus perkalian kemudian digunakan untuk menghitung probabilitas
gabungan untuk apa yang terjadi pada kedua tahap; hukum probabilitas total
digunakan untuk menghitung probabilitas untuk apa yang terjadi pada tahap
kedua; dan teorema Bayes digunakan untuk menghitung probabilitas bersyarat
untuk tahap pertama, mengingat apa yang telah terjadi pada tahap kedua.

E.2. Independensi Kejadian


● Definisi E.2 Dua kejadian A dan B saling bebas jika
P(A ∩ B) = P(A) P(B).
karena P(A | B) = P(A ∩ B)/P(B), kita melihat bahwa A dan B saling bebas
jika dan hanya jika P(A | B) = P(A) atau P(B | A) = P(B), dengan ketentuan
bahwa P(A) > 0 dan P(B) > 0. Definisi E.2. memiliki Kelebihan bahwa
definisi tersebut tetap valid meskipun P(B) = 0 atau P(A) = 0, masing-masing.
Secara intuitif, kejadian A dan B saling bebas jika keduanya tidak memiliki
dampak pada probabilitas yang lain.
● Definisi E.3. Kumpulan kejadian A₁, A₂, A₃,... saling bebas jika
P(A₁∩···∩ Aᵢⱼ) = P(Aᵢ₁ )··· P(Aᵢⱼ)
untuk setiap subkoleksi berhingga Aᵢ₁ ,..., Aᵢⱼ dari kejadian-kejadian berbeda.

Ringkasan materi E
● Probabilitas bersyarat mengukur probabilitas bahwa A terjadi jika B terjadi;
berdasarkan P(A | B) = P(A ∩ B) / P(B).
● Probabilitas bersyarat memenuhi hukum probabilitas totalnya sendiri.
● Kejadian independen jika tidak berpengaruh pada probabilitas satu sama lain.
Secara formal, ini berarti bahwa P(A ∩ B) = P(A)P(B).
● Jika A dan B saling bebas, dan P(A) > 0 dan P(B) > 0, maka P(A | B) =
P(A) dan P(B | A) = P(B).

F. Kontinuitas P
Misalkan A₁, A₂,... adalah urutan kejadian yang semakin “mendekati” (dalam arti
tertentu) ke kejadian lain, A. Maka kita dapat memperkirakan bahwa probabilitas
P(A₁), P(A₂), . . . adalah mendekati P(A), yaitu lim ₙ→∞ P(Aₙ) = P(A). Tapi bisakah
kita yakin tentang ini?

6
Sifat seperti ini, yang mengatakan bahwa P(A) mendekati dengan P(A) setiap kali
A,, "mendekati" dengan A, disebut sifat kontinuitas. Pertanyaan di atas dengan
demikian dapat diterjemahkan. kira-kira, seperti menanyakan apakah ukuran
probabilitas P "kontinu." Ternyata P memang kontinu dalam beberapa hal.
Secara khusus, kita tulis {Aₙ} Adan katakan bahwa barisan (Aₙ) meningkat
menjadi A. jika A₁ ⊆ A₂ ⊆ A₃ ⊆ ···dan juga = A yaitu barisan dari kejadian
adalah urutan yang meningkat, dan selanjutnya gabunganya sama dengan A.
Mislanya, jika Aₙ = (1/n, n], maka A₁ ⊆ A₂ ⊆ ···dan = (0,∞). Gambar 1.6.1
menggambarkan urutan subset yang meningkat. Maka {(1/n,n]} = (0,∞).
Gambar F.1. menggambarkan urutan himpunan bagian yang meningkat.

Gambar F.1. Barisan himpunan bagian yang bertambah A₁ ⊆ A₂ ⊆ A₃ ⊆ …

Demikian pula, kita tulis {Aₙ} A dan katakan bahwa barisan (Aₙ) berkurang
menjadi A, jika A₁⊇ A₂ ⊇ A₃ ⊇ ···, dan juga Aₙ = A. Artinya, barisan kejadian
adalah barisan menurun, dan selanjutnya perpotongannya sama dengan A. Misalnya,
jika A,= {(-1/n, 1/n]}, maka A₁ ⊇ A₂ ⊇ ··· dan = Aₙ = {0}, maka {(-1/n. 1/n]}
(0). Gambar F.2. menggambarkan urutan himpunan bagian yang menurun.

Gambar F.2. Barisan himpunan bagian yang menurun A₁ ⊇ A₂ ⊇ A₃ ⊇ ....

Teorema F.1 Misalkan A, A₁, A₂.... menjadi kejadian, dan misalkan {Aₙ} A atau
{Aₙ}, Maka:
lim
n→∞ P(Aₙ) = P(A)

G. Pembuktian Lebih Lanjut


Bukti Teorema C. 4
Kami ingin membuktikan bahwa setiap kali A₁, A₂.... adalah barisan berhingga atau
tak terhingga dari kejadian, belum tentu disjoint , maka P(A₁ ∪ A₂ ∪···) ≤ P(A₁) +
P(A₂) +··· .
Misalkan B₁ = A₁, dan untuk n ≥ 2, misalkan Bₙ = Aₙ∩ (A₁ ∪···∪ Aₙ−1)ᶜ.
Kemudian B₁, B₂,...disjoint, B₁ ∪ B₂ ∪···= A₁ ∪ A₂ ∪···dan, dengan aditivitas
P(A₁ ∪ A₂ ∪···) = P(B₁ ∪ B₂ ∪···) = P(B₁) + P(B₂) +··· . (1.G.1)

7
Selanjutnya Aₙ ⊇ Bₙ, jadi dengan monotonisitas, kita memiliki P(Aₙ) ≥ P(Bₙ). Ini
mengikuti dari 1.G.1. bahwa:
P(A₁ ∪ A₂ ∪···) = P(B₁) + P(B₂) +···≤ P(A₁) + P(A₂) +···
seperti yang diklaim.

Anda mungkin juga menyukai