Anda di halaman 1dari 4

Review Buku

A HISTORY OF MODERN INDONESIA

Perjuangan Kemerdekaan

Oleh,

Nama :Joko Prastio

NIM : 2010711019

Universitas Andalas

Fakultas Ilmu Budaya

Prodi Ilmu Sejarah

2020/2021
Dalam buku Sejarah Indonesia Modern, Adrian Vickers memaparkan fakta-fakta sejarah
yang terlupakan atau mungkin memang “sengaja” dihilangkan dari benak rakyat Indonesia.
“Terdapat beberapa sejarah resmi, yang menonjolkan nasionalisme dan persatuan dengan cara
menutup-nutupi riak persoalan dalam kesatuan nasional. Ini biasanya adalah sejarah tentang
para pahlawan bangsa dan peristiwa-peristiwa besar, dan tak banyak bercerita tentang
pengalaman orang-orang kecil di Indonesia,” begitu ujarnya dibagian Pengantar.

Vickers mengawali ulasan bukunya dengan memaparkan alasan Belanda menjadikan wilayah
Nusantara sebagai daerah kolonialisasi terbesar yang dikuasai. Langkah-langkah politik yang
digunakan Belanda untuk merebut dan mempertahankan kedudukan diantaranya adalah
dengan perang fisik, perebutan kota-kota dagang di sepanjang garis pantai kepulauan
Indonesia, metode politik pecah-belah hingga politik etis ala Snouck Hurgronje.

Pemihakan Belanda terhadap penguasa feodal pribumi, perdagangan yang dikontrol oleh
pemerintah sangat bertolak dengan sejarah modernitas Belanda yang berdiri atas kemenangan
kaum borjuis terhadap kaum feodal. Selain itu, Belanda menganut prinsip ekonomi liberal,
perdagangan bebas yang sangat anti terhadap sistem ekonomi terpusat. Kebijakan-kebijakan
politik ini menurut Vickers merupakan suatu kontradiksi. Jutaan rakyat Indonesia mati,
terpenjara dalam kemisikinan, terpasung hak politiknya.

Akibat pemberlakuan politik etis, tercipta kaum terpelajar yang tersentral pada daerah
perkotaan. Menurut Vickers, dari kota kemudian muncul “nasionalis-nasionalis” pribumi
penggerak massa rakyat dalam melakukan revolusi hingga proklamasi 1945.

Pada 1942, Jepang menduduki Indonesia, yang itu berarti Belanda harus angkat kaki dari
bumi Nusantara sebagai konsekuensi kekalahannya pada Perang Dunia II. Jepang, walaupun
bersemboyan “Saudara Tua Asia”, bertindak lebih beringas dari penjajah sebelumnya. Dalam
perkembangannya, tahun 1945, dua kota besar Jepang dijatuhi bom atom dan ditambah lagi
dengan serangkaian kekalahan Jepang pada perang Pasifik, menyebabkan keguncangan
kekuasaanya di Indonesia.

Indonesia memprolamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Seruan revolusi nasional


dan revolusi sosial dikumandangkan. Revolusi kemerdekaan, suatu revolusi yang berdiri atas
dasar pandangan kesetaraan semua golongan hanya mampu dicerna oleh sekelompok elit
intelektual pergerakan. Diranah akar-rumput, revolusi sosial ini menghasilkan pemerkosaan
besar-besaran terhadap perempuan-perempuan Eropa, Indo dan terutama etnis Cina.
Penjarahaan, pembunuhan menyebar hingga ke desa-desa. Migrasi besar-besaran juga berarti
penarikan modal secara masif. Indonesia mempersiapkan dirinya memasuki kancah
Internasional sebagai suatu bangsa yang baru dengan sentimen anti-imperialisme.
Pada era demokrasi liberal hingga berakhirnya demokrasi terpimpin 1966, slogan-slogan
heroik semasa revolusi tidak diimbangi dengan perbaikan ekonomi dan kesejahteraan hidup
rakyat. Ini diperparah dengan perseteruan politik antara golongan kanan, tengah dan kiri serta
antara sipil-militer. Menyusul kemudian pemberontakan beberapa daerah yang menuntut
otonomisasi. Akumulasi dari perseteruan yang berlarut itu pecah pada tragedi pembantaian
besar-besaran terhadap segolongan masyarakat yang dituduh PKI. Jutaan mati, ratusan ribu
lainnya diasingkan ke pulau Buruh. Soekarno turun, rezim baru muncul.

Pada pertengahan 1970-an, Soeharto menjadikan dirinya sebagai tokoh tunggal dalam
pagelaran politik nasional. Kebijakan dwifungsi ABRI, peleburan parta-partai politik, orientasi
pembangunan ala W.W Rostow, prinsip ekonomi “menetes kebawah”, hingga pembungkaman
hak-hak asasi manusia berkumpul menjadi suatu mekanisme efektif yang melanggengkan
kekuasaan dan kekayaan Soeharto beserta kroni-kroninya.

Kematian akibat kemiskinan digenapi dengan jumlah mereka yang mati akibat tindakan
represif militer. Tanjung Priok, Haor Koneng, Ambon, Timor Timur, Papua, Aceh, merupakan
daerah ajang pembuktian supremasi militer atas sipil. Istilah “subversif”, “separatis”,“Kiri-
ekstrim”, “Kanan-ekstrim”, menjadi label menakutkan bagi masyarakat Indonesia. Ketertiban
formalitas dipelihara, statistik kemiskinan dimanipulasi untuk memperlihatkan pertumbuhan
ekonomi meningkat, laporan dibuat dengan prinsip ABS (Asal Bapak Senang).Pada akhirnya,
“Rezim Soeharto adalah sebuah gelembung, tetapi gelembung yang butuh waktu sangat lama
untuk meledak”, tulis Vickers.

Akhir 1990-an, Globalisasi muncul dengan pedang bermata dua. Disatu sisi, globalisasi
berakibat membuncahnya trend konsumtif. Pemerintah pada awalnya diuntungkan dengan
pajak barang dan jasa. Perusahaan-perusahaan multinasional milik keluarga Presiden dan orang
dekatnya tiba-tiba menuai untung besar. Mega-proyek dalam dan luar negeri berseliweran
disekitar saku kroni-kroni Presiden.

Globalisasi memberi keterbukaan informasi yang luas. Rezim menjadi sedikit lunak.
Momentum ini dimanfaatkan oleh aktifis-aktifis kemanusiaan dengan mengkonsolidasikan diri
kedalam elemen-elemen perjuangan demokrasi. Pada 1998, demontrasi Mahasiswa
menyebabkan Soeharto mundur. Apa yang telah terjadi pada setiap momentum perubahan
rezim terdahulu kembali terjadi. Kekerasan meluap ke beberapa kota. Pemerkosaan,
penjarahan, kembali terjadi dengan objek utama etnis Tionghoa.

Anda mungkin juga menyukai