Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Preeklampsia merupakan komplikasi kehamilan dan persalinan yang ditandai dengan


peningkatan tekanan darah, proteinuria dan odema, yang kadang-kadang disertai dengan
komplikasi koma. Gejala dari preeklampsia seperti hipertensi, oedema dan proteinuria
sering tidak diperhatikan, sehingga tanpa disadari dalam waktu singkat dapat timbul
menjadi preeklampsi berat, bahkan eklampsia (Prawihardjo S, 2014).

Gambaran klinik preeklampsia bervariasi luas dan sangat individual. Kadang-kadang


sukar untuk menetukan gejala preeklampsia mana yang timbul lebih dahulu. Secara teoritik
urutan-urutan gejala yang timbul pada preeklampsia ialah oedema, hipertensi, dan terakhir
proteinuria merupakan gejala yang paling penting. Namun sayangnya penderita sering kali
tidak merasakan perubahan ini. Bila penderita sudah mengeluh adanya gangguan
penglihatan, atau nyeri epigastrum, maka penyakit ini sudah cukup lanjut (Sarwono, 2014).

Gejala preeklampsia dapat dicegah dan dideteksi secara dini. Pemeriksaan antenatal
yang teratur dan secara rutin mencari tanda-tanda preeklampsia, sangat penting dalam
usaha pencegahan preeklampsia berat dan eklampsia. Ibu hamil yang mengalami
preeklampsia berat perlu ditangani dengan segera. Penanganan ini dilakukan untuk
menurunkan angka kematian ibu dan anak (Prawihardjo S, 2014).

Dampak preeklampsia pada ibu hamil yaitu terjadi kerusakan organ-organ tubuh seperti,
sistem saraf pusat, perdarahan intrakranial, gagal jantung, gagal ginjal, gangguan fungsi hati
dan edema paru, sedangkan pada janin ialah intrauterine fetal growth restriction, solusio
plasenta, prematur, sindroma distress, kematian janin, perdarahan intraventikular,
kematian janin, dan kematian maternal (Sarwono, 2014:550).

Insiden preeklampsia di Negara berkembang sekitar 1,8%-18%. Preeklampsia dan


eklampsia menempati urutan kedua sebagai penyebab kematian di Indonesia dengan
presentasi sebesar 26,9% pada tahun 2012 dan meningkat kembali pada tahun 2013 yaitu
sebanyak 27,1%. (Depkes RI, 2015).
Kematian ibu terjadi akibat berbagai komplikasi dalam kehamilan, persalinan atau
periode setelah melahirkan. Komplikasi tersebut disebabkan oleh penyakit langsung dan
tidak langsung. Penyebab langsung terjadi akibat komplikasi obstetrik atau penyakit kronik
yang menjadi lebih berat selama kehamilan. Penyebab langsung yang sering ditemui antara
lain perdarahan, preeklampsia/eklampsia,dan infeksi. Sedangkan penyebab tidak langsung
terjadi akibat penyakit yang telah ada sejak atau sebelum kehamilan atau penyakit yang
timbul selama kehamilan seperti malaria dan anemia. (Sarwono, 2014).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai


dengan proteinuria. adalah tekanan darah sitolik lebih dari 160 mmHg dan tekanan darah
diastolik lebih dari 110 mmHg disertai dengan hasil protein urin lebih dari 5g/24 jam
(Prawirohardjo, 2014).

Klasifikasi Preeklamsia yang baru Preeclampsia Dan Preeklamsi Berat dam Diagnosis
Preeklamsi Tidak Tergantung Pada Hasil Proteinuria.

Hipertensi terjadi ketika tekanan darah sistolik dan diastolik ≥ 140/90 mmHg dengan
pengukuran tekanan darah sekurangkurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam. Kemudian,
dinyatakan terjadi proteinuria apabila terdapat 300 mg protein dalam urin selama 24 jam
atau sama dengan ≥ 1+ dipstick. Preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg
dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria lebih 5 g/24 jam disebut
sebagai preeklampsia berat. Beberapa tanda dan gejala dari preeklampsia berat antara lain
nyeri epigastrium, sakit kepala dan gangguan penglihatan akibat edema serebral.

Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan


adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi sistemik dengan
aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya
hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan sistem organ
lainnya pada usia kehamilan diatas 20 minggu.

Preeklampsia, sebelumnya selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi dan


proteinuri yang baru terjadi pada kehamilan (new onset hypertension with proteinuria).
Meskipun kedua kriteria ini masih menjadi definisi klasik preeklampsia, beberapa wanita lain
menunjukkan adanya hipertensi disertai gangguan multisistem lain yang menunjukkan
adanya kondisi berat dari preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak mengalami
proteinuri. Sedangkan, untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena
sangat banyak ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.
Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik atau 90
mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang
sama. Definisi hipertensi berat adalah peningkatan tekanan darah sekurang-kurangnya 160
mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik. Rekomendasi pengukuran tekanan darah:

a. Pemeriksaan dimulai ketika pasien dalam keadaan tenang.


b. Sebaiknya menggunakan tensimeter air raksa atau yang setara, yang sudah tervalidasi.
c. Posisi duduk dengan manset sesuai level jantung.
d. Gunakan ukuran manset yang sesuai.Gunakan bunyi korotkoff V (hilangnya suara) pada
pengukuran tekanan darah diastolik.

Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara kuantititas


protein urin terhadap luaran preeklampsia, sehingga kondisi protein urin massif (lebih dari
5g) telah dieliminasi dari kriteria pemberatan preeklampsia (preeklampsia berat).
Proteinuria merupakan penanda objektif, yang menunjukkan adanya kebocoran endotel
yang luas, suatu ciri khas preeklampsia. Walaupun begitu, jika tekanan darah meningkat
signifikan, berbahaya bagi ibu sekaligus janin jika kenaikan ini diabaikan karena proteinuria
belum timbul. Berdasarkan penelitian Chesley, 10% kejang eklampsia terjadi sebelum
ditemukan proteinuria.

Rekomendasi pemeriksaan protein urin: Proteinuria ditegakkan jika didapatkan


secara kuantitatif produksi protein urin lebih dari 300 mg per 24 jam, namun jika hal ini
tidak dapat dilakukan, pemeriksaan dapat digantikan dengan pemeriksaan semikuantitatif
menggunakan dipstik urin >1+.

2.2 Diagnosis Preeklampsia

tekanan sistolik 15 mmHg atau adanya tekanan sistolik sekurang-kurangnya 140 mmHg
atau tekanan diastolik sekurangkurangnya 90 mmHg atau lebih dengan kenaikan 20 mmHg
atau lebih, ini sudah dapat dibuat sebagai diagnosis preeklampsia. Kriteria terbaru sudah
tidak mengkategorikan preeklampsia ringan, dikarenakan setiap preeklampsia merupakan
kondisi yang berbahaya dan dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas
secara signifikan dalam waktu singkat.
Preeklampsia Jika hanya didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak dapat
disamakan dengan preeklampsia, harus didapatkan gangguan organ spesifik akibat
preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan dengan adanya
proteinurin, namun jika protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis preeklampsia.

Kriteria minimal preeklampsia yaitu:

1. Tekanan darah >140/90 mmHg yang terjadi setelah 20 minggu kehamilan pada
wanita dengan tekanan darah yang sebelumnya normal
2. Protein urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes urin dipstick >+1. Jika tidak
didapatkan protein urin, hipertensi dapat diikuti dengan salah satu tanda gejala di
bawah ini:
 Gangguan ginjal: keratin serum 1,2 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar
kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
 Edema paru
 Gangguan liver: peningkatan konsentrasi traminas 2 kali normal dan atau
adanya nyeri epigastrum/region kanan atas abdomen
 Trombositopenia: trombosit 160/100 mm Hg
 Didapatkan gejala neurologis: nyeri kepala, stroke, dan gangguan penglihatan
 Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplacenta : oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR).

2.3 Patofisiologi

Preeklampsia Teori kelainan vaskularisasi plasenta menjelaskan bahwa pada


preeklampsia tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan
jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras
sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi.
Akibatnya arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi dan terjadi kegagalan remodeling
arteri spiralis sehingga aliran darah utero plasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan
iskemia plasenta.
Plasenta yang mengalami iskemia akibat tidak terjadinya invasi trofoblas secara
benar akan menghasilkan radikal bebas. Salah satu radikal bebas penting yang dihasilkan
plasenta iskemia adalah radikal hidroksil. Radikal hidroksil akan mengubah asam lemak tidak
jenuh menjadi peroksida lemak. Kemudian, peroksida lemak akan merusak membran sel
endotel pembuluh darah . Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya
fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut sebagai
disfungsi endotel.

Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel,
maka akan terjadi gangguan metabolisme prostaglandin karena salah satu fungsi sel endotel
adalah memproduksi prostaglandin. Dalam kondisi ini terjadi penurunan produksi
prostasiklin (PGE2) yang merupakan suatu vasodilator kuat. Kemudian, terjadi agregasi sel-
sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit
memproduksi tromboksan yang merupakan suatu vasokonstriktor kuat. Peningkatan
produksi bahan-bahan vasopresor (endotelin) dan penurunan kadar NO (vasodilatator),
serta peningkatan faktor koagulasi juga terjadi.

2.4 Faktor Risiko Preeklampsia

a) Beberapa faktor risiko untuk terjadinya preeklampsia antara lain: Primigravida


Primigravida diartikan sebagai wanita yang hamil untuk pertama kalinya.13
Preeklampsia tidak jarang dikatakan sebagai penyakit 8 primagravida karena
memang lebih banyak terjadi pada primigravida daripada multigravida.
b) Primipaternitas Primipaternitas adalah kehamilan anak pertama dengan suami yang
kedua. Berdasarkan teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin dinyatakan
bahwa ibu multipara yang menikah lagi mempunyai risiko lebih besar untuk
terjadinya preeklampsia jika dibandingkan dengan suami yang sebelumnya.
c) Umur yang ekstrim Kejadian preeklampsia berdasarkan usia banyak ditemukan pada
kelompok usia ibu yang ekstrim yaitu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun.
Tekanan darah meningkat seiring dengan pertambahan usia sehingga pada usia 35
tahun atau lebih terjadi peningkatkan risiko preeklamsia
d) Hiperplasentosis Hiperplasentosis ini misalnya terjadi pada mola hidatidosa,
kehamilan multipel, diabetes mellitus, hidrops fetalis, dan bayi besar.
e) Riwayat pernah mengalami preeklampsia Wanita dengan riwayat preeklampsia pada
kehamilan pertamanya memiliki risiko 5 sampai 8 kali untuk mengalami
preeklampsia lagi pada kehamilan keduanya. Sebaliknya, wanita dengan
preeklampsia pada kehamilan keduanya, maka bila ditelusuri ke belakang ia memiliki
7 kali risiko lebih besar untuk memiliki riwayat preeklampsia pada kehamilan 9
pertamanya bila dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalami preeklampsia di
kehamilannya yang kedua.
f) Riwayat keluarga yang pernah mengalami preeklampsia Riwayat keluarga yang
pernah mengalami preeklampsia akan meningkatkan risiko sebesar 3 kali lipat bagi
ibu hamil. Wanita dengan preeklampsia berat cenderung memiliki ibu dengan
riwayat preeklampsia pada kehamilannya terdahulu.
g) Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil Pada penelitian yang
dilakukan oleh Davies dkk dengan menggunakan desain penelitian case control study
dikemukakan bahwa pada populasi yang diselidikinya wanita dengan hipertensi
kronik memiliki jumlah yang lebih banyak untuk mengalami preeklampsia
dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat penyakit ini
h) Obesitas yang merupakan suatu penyakit multifaktorial yang terjadi akibat akumulasi
jaringan lemak berlebihan sehingga dapat menganggu kesehatan. Indikator yang
paling sering digunakan untuk menentukan berat badan lebih dan obesitas pada
orang dewasa adalah indeks massa tubuh (IMT). Seseorang dikatakan obesitas bila
memiliki IMT ≥ 25 kg/m2. Sebuah penelitian di Kanada menyatakan risiko terjadinya
preeklampsia meningkat dua kali setiap peningkatan indeks massa tubuh ibu 5-7
kg/m2 , terkait dengan obesitas dalam kehamilan, dengan mengeksklusikan sampel
ibu dengan hipertensi kronis, diabetes mellitus, dan kehamilan multipel.
BAB III

ASUHAN KEBIDANAN PADA PASIEN PREEKLAMSI

NO RM :12.02.13
Tanggal Kunjungan :06 September 2021 Pukul : 15 : 15 WIB
Pengkajian :06 September 2021 Pukul : 15 : 16 WIB
IDENTITAS ISTRI/ SUAMI
Nama : Ny ‘’F’’/Tn ‘’M’’
Umur : 38 tahun/40 tahun
Status Menikah : 1x/±20
Agama : Islam/Islam
Pendidikan : SD/SD
Pekerjaan : IRT/Buruh Harian
Alamat : Desa Sukajaya Cikarang Jati

A. Data Subjektif (S)


1. Ini merupakan kehamilan kedua dan tidak pernah keguguran
2. Ibu mengeluh pusing sejak 2 hari yang lalu
3. Ibu mengeluh sakit kepala dan bengkak pada kaki sejak 1 minggu yang lalu
4. Hari pertama haid terakhir tanggal 10-12-2020
5. Ibu mulai merasakan pergerakan janinnya pertama kali pada usia kehamilan
kurang lebih 5 bulan dan dominan terasa pada perut sebelah kanan.
6. Ibu sudah mendapatkan suntikan TT sebanyak 2 kali selama kehamilannya
yaitu di Puskesmas.
7. Ibu pernah menjadi akseptor KB suntik selama 3 tahun yaitu tahun 2017
8. Ibu dan keluarga tidak memiliki riwayat penyakit menurun seperti hipertensi,
diabetes melitus, asma, dan penyakit jantung.
 
Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu

N Tahu Kehamila Tempa Penolon Riwayat BBL Jenis Keadaa


O n n t g Persalina Kelami n
Bersali n n
n
1. 2009 Aterm Rumah Bidan Partus BB: ♀ Hidup
Spontan 2700Gra
m
PB 47 CM
2. Hamil ini

B. Data Objektif
Keadaan umum ibu baik
Kesadaran compos mentis
HPHT : 10-12-2020
TP : 17-09-2021

 Pemeriksaan antropometri
1. BB sebelumnya : 72 kg
2. BB sekarang : 80 kg
3. TB : 156 cm
4. LILA : 30 cm

 Tanda-tanda vital :
1. Tekanan Darah : 170/100 mmHg
2. Nadi : 84x/i
3. Pernafasan : 22x/I
4. Suhu : 36,8 ºC
 Pemeriksaan Fisik
 Wajah
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, ada cloasma gravidarum
Palpasi : Tidak ada oedema
 Mata
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, konjungtiva berwarna merah muda dan
sklera tidak icterus
 Mulut
Inspeksi : Bibir tidak pucat, tidak ada sariawan, ada 2 caries pada gigi
 Leher
Inspeksi : Tidak ada pembesaran pada leher
 Payudara
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, hyperpigmentasi pada areola mammae,
putting susu menonjol
Palpasi : Tidak ada benjolan dan nyeri tekan
 Abdomen
Inspeksi : Terdapat linea nigra, striae alba dan tidak terdapat luka bekas operasi dan
pembesaran perut ssesuai umur kehamilan.
Palpasi : Leopold I : TFU 29 cm bokong
Leopold II : PUKI
Leopold III : kepala
Leopold IV : Kepala sudah masuk panggul TBJ : 2.790 gram
Auskultasi : DJJ terdengar jelas, kuat dan teratur pada kuadran kiri bawah perut ibu
dengan frekuensi 150x/menit.
 Genitalia Inspeksi : Tidak ada kelainan
 Ekstremitas Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, tidak ada varises Palpasi : Terdapat
oedema pada kedua kaki Perkusi : Refleks patella kiri (+) kanan (+)
 Pemeriksaan penunjang Laboratorium Hb : 13,5 gr% .
 
C. Assesment (A)
Ny “F” G2PIA0 umur 38 tahun, gestasi 37 minggu intrauterine, tunggal, hidup, keadaan janin
baik dan keadaan ibu dengan preeklampsia berat antisipasi terjadinya eklampsia.

D. Planning (P)
Tanggal 06-09-2021
1. Memberitahu bahwa ibu mengalami preeklampsia berat Hasil : Ibu sudah
mengetahui kondisi yang dialaminya sekarang
2. Mengobservasi keadaan umum, dan TTV Hasil : Keadaan umum ibu baik dan
kesadaran composmentis
TD: 170/110 mmHg,
S: 36,8 ºC
N: 84x/menit
R: 22 x/menit
3. Melakukan observasi DJJ Hasil : DJJ terdengar jelas dan teratur pada kuadran
kiri bawah perut ibu dengan frekuensi 150x/menit,
4. Melakukan pemasangan infus dengan cairan RL Hasil: Infus telah terpasang
dengan cairan RL 500 cc dengan 28 tetes/menit di tangan kiri ibu.
5. Melakukan pemasangan kateter tetap Hasil : Kateter telah terpasang
6. Melakukan kolaborasi dengan petugas laboratorium untuk mengecek proteinuria
Hasil: urine ibu sudah dibawa ke laboratorium untuk di periksa
7. Melakukan kolaborasi dengan dokter SpOG untuk pemberian obat MgSO4 pada ibu
Hasil : Telah diberikan MgSO4 40 % dengan dosis 4 gram atau 10 ml secara IV bolus
selama 10-15 menit dan dilanjutkan dengan 6 gram MgSO4 40 % dalam larutan RL
500 cc dengan 28 tetes/menit
8. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat oral Hasil : Nifedipin 10 mg 3 kali
sehari
9. Memberikan support kepada ibu agar tidak cemas dengan keadaannya Hasil : Ibu
sedikit tampak tenang
10. Memberikan dukungan moral pada ibu dan keluarga

Anda mungkin juga menyukai