Anda di halaman 1dari 14

FRAUD DALAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

A. Pendahuluan
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pancasila dan Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hal ini dapat dilihat terutama sila Ke-5 dan dalam Pasal 28H dan Pasal 34 Undang-Undang
Dasar 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945). Selanjutnya, dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-
Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (selanjutnya disingkat UU No. 36 Tahun
2009) ditegaskan “bahwa setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau. Selain itu, pembangunan kesehatan pada
dasarnya harus diselenggarakan pada prinsip perlindungan”.1
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 UU No. 36 Tahun 2009, bahwa
pembangunan kesehatan harus diselenggarakan berasaskan asas perlindungan. Artinya,
bahwa pembangunan kesehatan harus dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum
kepada pemberi dan penerima pelayanan kesehatan. Melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial, pada hakekatnya bertujuan untuk
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Untuk
mewujudkan komitmen global sebagaimana amanat resolusi WHO ke-58 tahun 2005 di
Jenewa yang menginginkan setiap negara mengembangkan Universal Health Coverage
(UHC) bagi seluruh penduduk maka pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan
Jaminan Kesehatan masyarakat melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Selanjutnya, untuk mengatasi hal tersebut pada tahun 2004 dikeluarkan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 (selanjutnya disingkat UU No. 40 Tahun 2004) yang
mengamanatkan bahwa program jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk
program Jaminan Kesehatan melalui suatu badan penyelenggaraan jaminan sosial. Badan
penyelenggara jaminan sosial telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) yang terdiri dari BPJS
ketanagakerjaan (selanjutnya disingkat UU No. 24 Tahun 2011). Untuk program Jaminan
1
Tatik Sri Hartati, “PENCEGAHAN KECURANGAN (FRAUD) DALAM PELAKSANAAN PROGRAM
JAMINAN KESEHATAN PADA SISTEM JAMINAN SOSIAL KESEHATAN (SJSN) (Studi di Rumah Sakit
Umum Daerah Menggala Tulang Bawang),” FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum 10, no. 4 (Mei 29, 2017): 715,
https://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/fiat/article/view/808.
Kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan, implementasinya telah dimulai 1
Januari 2014. Program tersebut selanjutnya disebut sebagai program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN).
Pedoman Pelaksanaan (Manlak), Petunjuk Teknis (Juknis) Selanjutnya, UU No. 40
Tahun 2004, secara khusus bahwa penyelenggaraan program jaminan sosial wajib bagi
seluruh penduduk termasuk program jaminan kesehatan melalui suatu badan penyelenggara
jaminan sosial. Oleh karena itu, setiap orang dapat akses atas sumber daya di bidang
kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang layak, aman, bermutu dan terjangkau.
Seiring dengan meningkatnya jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional dan fasilitas
kesehatan yang memberikan pelayanan, semakin banyak kritik dari berbagai pihak, salah
satunya dari provider jaminan kesehatan nasional (puskesmas, rumah sakit), prihal dugaan
terjadinya fraud.2 Isu tindak kecurangan menjadi salah satu sorotan masyarakat terhadap
pelaksanaan program JKN. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai bahwa
terdapat indikasi tindak kecurangan tetapi hal tersebut sulit terlihat karena hasil audit BPJS
Kesehatan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) belum bisa
diakses oleh publik sampai saat ini, tidak transparannya hasil audit tersebut bisa
menimbulkan pertanyaan bagi publik terkait masalah sebenarnya yang terjadi di tubuh BPJS
Kesehatan. Karena masalah tersebut, BPJS Kesehatan mengalami defisit hingga Rp15,5
triliun pada 2019 dan menjadi dalih alasan utama bagi kenaikan iuran.3

B. Pembahasan
1. Fraud
Fraud atau kecurangan adalah suatu tindakan yang disengaja oleh satu individu atau
lebih dalam manajemen atau pihak yang bertanggungjawab atas tata kelola, karyawan,
dan pihak ketiga yang melibatkan penggunaan tipu muslihat untuk memperoleh satu
keuntungan secara tidak adil atau melanggar hukum.4 Fraud pada dasarnya merupakan
serangkaian ketidakberesan (irregularities) dan perbuatan melawan hukum (illegal act)

2
Yaslis I, Fraud dalam Jaminan Kesehatan Nasional (Kumpulan tulisan Yaslis Ilyas) CV, Usaha Prima
(Jakarta: Tiariaji Press, 2015).
3
Wibi Pangestu Pratama, “BPJS Kesehatan Defisit, ini Lima Pihak yang di duga Lakukan Fraud,”
Bisnis.com, Maret 5, 2020, https://finansial.bisnis.com/read/20200630/215/1259709/bpjs-kesehatan-defisit-ini-lima-
pihak-yang-diduga-lakukan-fraud.
4
IAPI, Standar Audit (SA 220/ Institut Akuntan Publik Indonesia (Jakarta: Salemba Empat, 2013).
yang dilakukan oleh orang luar atau orang dalam perusahaan guna mendapatkan
keuntungan dan merugikan orang lain.
Menurut The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) merupakan
organisasi profesional bergerak di bidang pemeriksaan atas kecurangan
mengklasifikasikan fraud (kecurangan) dalam tiga tingkatan yang disebut Fraud Tree,
yaitu sebagai berikut:5
a. Penyimpangan atas asset (Asset Misappropriation), Asset misappropriation meliputi
penyalahgunaan/pencurian aset atau harta perusahaan atau pihak lain. Ini merupakan
bentuk fraud yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat
diukur/dihitung (defined value).
b. Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent Statement), Fraudulent statement
meliputi tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau
instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan
melakukan rekayasa keuangan (financial engineering) dalam penyajian laporan
keuangannya untuk memperoleh keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan
dengan istilah window dressing.
c. Korupsi (Corruption), Jenis fraud ini yang paling sulit dideteksi karena menyangkut
kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi, di mana hal ini merupakan
jenis yang terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan
hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga
faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali tidak dapat
dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan (simbiosis
mutualisme). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik
kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak
sah/illegal (illegal gratuities), dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion).
Sedangkan menurut Albrecht, fraud dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis,
yaitu:6
a. Employee embezzlement atau occupational fraud. Pencurian yang dilakukan secara
langsung maupun tidak langsung oleh karyawan kepada perusahaan.

5
Albrecht W Steve, Fraud Examination (South Western: Cengage Learning, 2012).
6
Ibid.
b. Management fraud. Manajemen puncak memberikan informasi yang bias dalam
laporan keuangan. 
c. Investment scams. Melakukan kebohongan investasi dengan menanam modal. 
d. Vendor fraud. Perusahaan mengeluarkan tarif yang mahal dalam hal pengiriman
barang. 
e. Customer fraud. Pelanggan menipu penjual agar mereka mendapatkan sesuatu yang
lebih dari seharusnya
Menurut Fuad, terdapat tiga hal yang melatarbelakangi seseorang melakukan
tindakan kecurangan (fraud) yang dikenal dengan istilah fraud triangle, yaitu tekanan
(pressure), kesempatan (opportunity) dan pembenaran atas tindakan (rationalization).7
a. Pressure (tekanan), yaitu adanya insentif/tekanan/kebutuhan untuk melakukan fraud.
Tekanan dapat mencakup hampir semua hal termasuk gaya hidup, tuntutan ekonomi,
dan lain-lain termasuk hal keuangan dan non keuangan. Terdapat empat jenis kondisi
yang umum terjadi pada pressure yang dapat mengakibatkan kecurangan, yaitu
financial stability, external pressure, personal financial need, dan financial targets. 
b. Opportunity (kesempatan), yaitu situasi yang membuka kesempatan untuk
memungkinkan suatu kecurangan terjadi. Biasanya terjadi karena pengendalian
internal perusahaan yang lemah, kurangnya pengawasan dan penyalahgunaan
wewenang. Opportunity merupakan elemen yang paling memungkinkan
diminimalisir melalui penerapan proses, prosedur, dan upaya deteksi dini terhadap
fraud. 
c. Rationalization (rasionalisasi), yaitu adanya sikap, karakter, atau serangkaian nilai-
nilai etis yang membolehkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindakan
kecurangan, atau orang-orang yang berada dalam lingkungan yang cukup menekan
yang membuat mereka merasionalisasi tindakan fraud. Rasionalisasi atau sikap
(attitude) yang paling banyak digunakan adalah hanya meminjam (borrowing) aset
yang dicuri dan alasan bahwa tindakannya untuk membahagiakan orang-orang yang
dicintainya.
Pengertian fraud atau kecurangan didalam JKN adalah tindakan yang dilakukan
dengan sengaja oleh peserta, petugas BPJS Kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan,
7
Fuad Haris, “Pengaruh pengalaman, otonomi profesionalisme, ambiguitas peran, dan motivasi terhadap
kerja auditor” (Universitas Muhamadiyah Surakarta, 2015).
serta penyedia obat dan alat kesehatan, untuk mendapatkan keuntungan finansial dari
program jaminan kesehatan dalam sistem Jaminan Sosial Nasional melalui perbuatan
curang yang tidak sesuai dengan ketentuan. 8 Fraud dalam pelayanan kesehatan disebut
sebagai suatu bentuk upaya yang secara sengaja dilakukan dengan menciptakan suatu
keuntungan yang tidak seharusnya dinikmati baik oleh individu atau institusi dan dapat
merugikan pihak lain.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, kerugian dana jaminan sosial kesehatan
akibat kecurangan (fraud) perlu adanya pencegahan dengan kebijakan nasional
pencegahan kecurangan (fraud) agar dalam pelaksanaan program jaminan kesehatan
nasional dalam sistem jaminan sosial nasional dapat berjalan dengan efektif dan efesien.
Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2015 Tentang Pencegahan Kecurangan
(Fraud) Dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Pada Sistem Jaminan Sosial
Nasional (Selanjutnya disingkat Permenkes No. 36 Tahun 2015).
Pada prinsipnya fraud juga merupakan suatu tindakan penipuan/kecurangan untuk
mendapatkan keuntungan bagi pelaku fraud atau bagi pihak lain. Fraud dapat dilakukan
oleh peserta asuransi, penyelenggara asuransi dan Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK).
Fraud pada PPK khususnya Rumah Sakit dapat disebabkan oleh ketidakpuasan Rumah
Sakit terhadap tarif INACBG (singkatan dari Indonesia Case Base Groups yaitu sebuah
aplikasi yang digunakan rumah sakit untuk mengajukan klaim pada pemerintah) dan
ketidaksiapan sistem Informasi Teknologi di Rumah Sakit. Selain itu, adanya motivasi
mencari “keuntungan ekonomi” dapat membuat PPK melakukan fraud.
Pihak- pihak yang melakukan fraud adalah peserta (pasien), pemberi pelayanan
kesehatan (provider), perusahaan asuransi (payer).9 Melihat definisi di atas, dapat
diindikasikan bahwa tindakan fraud merupakan unsur kesengajaan dan tindakan
merugikan pihak lain dari pelaku sehingga UU Pidana bisa diberlakukan. Pada dasarnya,
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memberikan manfaat yang bersifat konprehensif.10

8
Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2015 Tentang
Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam pelaksanaan Program Jmainan Kesehatan Pada Sistem Jaminan Sosial
Nasional.
9
Ginting R C, RE: Kecurangan (Fraud) Dalam Jaminan/Asuransi Kesehatan, 2007.
10
Thabrany, Jaminan Kesehatan Nasional (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014).
Dibalik tujuan mulia JKN, potensi fraud yang mungkin terjadi perlu diidentifikasi
sehingga tidak akan menimbulkan kerugian uang negara.11
2. Pengalaman Fraud dalam Jaminan Kesehatan Kesehatan di berbagai Negara dan
Indonesia
a. Di berbagai Negara
Dugaan akan tindakan fraud tidak hanya terjadi di Indonesia yang belum tertata
rapi sistem pelayanan kesehatan maupun sistem pembiayaannya. Dugaan fraud
dalam sistem pelayanan kesehatan juga berdampak di seluruh dunia. Di Negara
Amerika yang merupakan negara maju, dilaporkan oleh General Accounting Office
(GAO) pada tahun 1990, klaim indikasi kejadian fraud tercatat berkisar US$ 100
Milyar atau senilai10% dari total biaya kesehatan setahun. Bahkan pada saat terjadi
peningkatan peserta, di situ terdapat celah dalam penggunaan asuransi kesehatan
dengan harga mengejutkan, yakni diperkirakan antara US$ 67 Milyar dan 226 Milyar
$ per tahun. Menurut perkiraan Biro Investigasi Federal (BIF), penipuan kesehatan
biaya pembayar pajak Amerika lebih dari US $ 80 miliar setahun. Mendeteksi
penipuan asuransi kesehatan adalah penting dan tantangan yang sulit. Banyak dugaan
kecurangan - kecurangan yang dilakukan di pelayanan kesehatan di seluruh
Indonesia terkait sistem dan pelayanan, seperti merubah diagnosis utama maupun
membuat diagnosis tambahan sehingga mendapatkan tarif yang besar. Berbagai isu
fraud pada pelayanan kesehatan, paling tidak menurut Charles terdiri dari sepuluh
skema, di antaranya mengklaim pelayanan yang tidak pernah diberikan, mengklaim
layanan yang tidak dapat ditanggung asuransi, sebagai layanan yang ditanggung
asuransi, memalsukan waktu layanan, memalsukan lokasi layanan, memalsukan
pemberi layanan, mengklaim tagihan yang seharusnya dibayar pasien, pelaporan
diagnosis dan prosedur yang salah, pelayanan yang berlebihan, korupsi (sogokan),
dan peresepan obat yang tidak perlu”.12
Di AS, biaya-biaya keuangan yang dihubungkan dengan kecurangan karyawan
diperkirakan sekitar US$50 milyar tiap tahun. Tahun 2006, Association of Certified

11
M Wiyono, “Mengenal Potensi Fraud pada Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),” Kompasiana
Manajemen, 2014.
12
Hasan Sadikin dan Wiku Adisasmito, “Analisis Pengaruh Dimensi Fraud Triangle Dalam Kebijakan
Pencegahan Fraud Terhadap Program Jaminan Kesehatan Nasional di RSUP Nasional Cipto Mangunkusumo,”
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 1, no. 2 (2016): 28–34.
Fraud Examiners (ACFE) meneliti tentang Occupational Fraud and Abuse yang
terjadi di Amerika Serikat dalam rentang waktu 2004 – 2006. Dalam penelitian
tersebut, disebutkan bahwa dalam rentang waktu dua tahun terdapat 1.134 kasus
kecurangan yang diinvestigasi oleh anggota ACFE, dengan rata-rata kerugian
US$159 milyar. ACFE memperkirakan bahwa perusahaan-perusahaan di Amerika
Serikat mengalami kerugian sebesar 5% dari pendapatannya karena ulah pihak yang
tidak bertanggung jawab. Bila nilai kerugian tersebut dikalikan dengan Gross
Domestic Product tahun 2006, kerugian yang ditimbulkan akibat kecurangan adalah
sebesar US $652 milyar.13
b. Di Indonesia
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2015, tindakan
kecurangan JKN yang dilakukan peserta antara lain:
1) Membuat pernyataan yang tidak benar dalam hal eligibilitas alias memalsukan
status kepesertaan untuk memperoleh pelayanan kesehatan.
2) Memanfaatkan haknya untuk pelayanan yang tidak perlu (unnecessary services)
dengan cara memalsukan kondisi kesehatan.
3) Memberikan gratifikasi kepada pemberi pelayanan agar bersedia memberi
pelayanan yang tidak sesuai atau tidak ditanggung.
4) Memanipulasi penghasilan agar tidak perlu membayar iuran terlalu besar.
5) Melakukan kerja sama dengan pemberi pelayanan untuk mengajukan klaim
palsu.
6) Memperoleh obat atau alat kesehatan yang diresepkan untuk dijual kembali.
Tindakan kecurangan JKN yang dilakukan oleh petugas BPJS Kesehatan
meliputi:
1) Melakukan kerja sama dengan peserta maupun fasilitas kesehatan untuk
mengajukan klaim palsu
2) Memanipulasi manfaat yang seharusnya tidak dijamin agar dapat dijamin.
3) Menahan pembayaran ke fasilitas kesehatan atau rekanan dengan tujuan
memperoleh keuntungan pribadi.
4) Membayarkan dana kapitasi tidak sesuai dengan ketentuan.

13
Ibid.
Tindak kecurangan JKN yang dilakukan oleh pemberi layanan kesehatan
dilakukan baik oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) maupun FKRTL.
Tindak kecurangan JKN yang dilakukan FKTP antara lain:
1) Memanfaatkan dana kapitasi tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2) Memanipulasi klaim pada pelayanan yang dibayar secara nonkapitasi.
3) Menerima komisi atas rujukan ke FKRTL.
4) Menarik biaya dari peserta yang seharusnya telah dijamin dalam biaya kapitasi
atau nonkapitasi sesuai dengan standar tarif yang ditetapkan.
5) Melakukan rujukan pasien yang tidak sesuai dengan tujuan untuk memperoleh
keuntungan tertentu.
Sementara tindak kecurangan JKN yang dilakukan oleh FKRTL tercatat sebagai
yang paling banyak. Tindak kecurangan oleh FKRTL antara lain:
1) Penulisan kode diagnosis yang berlebihan alias upcoding.
2) Penjiplakan klaim dari pasien lain alias cloning.
3) Klaim palsu alias phantom billing.
4) Penggelembungan tagihan obat dan alat kesehatan alias inflated bills.
5) Pemecahan episode pelayanan alias services unbundling or fragmentation.
6) Rujukan semu atau selfs-referals.
7) Tagihan berulang atawa repeat billing.
8) Memperpanjang lama perawatan atau prolonged length of stay.
9) Memanipulasi kelas perawatan.
10) Membatalkan tindakan yang wajib dilakukan atau cancelled services.
11) Melakukan tindakan yang tidak perlu atau no medical value.
12) Penyimpangan terhadap standar pelayanan.
13) Melakukan tindakan pengobatan yang tidak perlu atau unnecessary treatment.
14) Menambah panjang waktu penggunaan ventilator.
15) Tidak melakukan visitasi yang seharusnya atau phantom visit.
16) Tidak melakukan prosedur yang seharusnya atau phantom procedures.
17) Admisi yang berulang atau readmisi.
18) Melakukan rujukan pasien yang tidak sesuai dengan tujuan untuk memperoleh
keuntungan tertentu;
19) Meminta cost sharing tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Sementara tindakan kecurangan JKN yang dilakukan penyedia obat dan alat
kesehatan hanya ada dua, yaitu:
1) Tidak memenuhi kebutuhan obat atau alat kesehatan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2) Melakukan kerja sama dengan pihak lain mengubah obat atau alat kesehatan
yang tercantum dalam e-catalog dengan harga tidak sesuai dengan e-catalog.  

3. Pencegahan Fraud dalam Jaminan Kesehatan Nasional


Pencegahan fraud dapat dilakukan dengan mengaktifkan pengendalian internal.
Selain itu, fraud dapat dicegah dengan adanya kesadaran setiap individu. Berikut ini
adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk pencegahan fraud, yaitu:
a. Risk Analysis. Desain kebijakan anti korupsi harus diawali dengan melakukan
analisa apa saja pola korupsi yang mungkin terjadi. Kemudian ditindaklanjuti dengan
desain program anti korupsi yang sejalan dengan analisa tersebut. 
b. Implementasi. Melakukan sosialisasi kebijakan anti korupsi, pelatihan anti korupsi,
dan evaluasi proses bisnis untuk menghindari korupsi.
c. Sanksi. Harus ada sosialisasi kepada seluruh karyawan mengenai sangsi atas korupsi.
Sangsi itu dapat berupa pengurangan kompensasi, tidak naik jabatan, atau bahkan
pemecatan dan/atau proses hukum. 
d. Monitoring. Melakukan evaluasi program anti korupsi secara berkala dan mengambil
langkah perbaikan secara terus menerus.
Ancaman fraud harus disiasati dengan program yang terorganisir seperti Anti-Fraud
di Inggris yang terkenal dengan The Health Insurance Counter Fraud Group (HICFG).
HICFG adalah inisiatif industri untuk mencegah dan men-detect fraud dalam perawatan
kesehatan dan industri asuransi kesehatan, sedangkan program yang sama di Amerika
dikenal dengan The National Health Care Anti-Fraud Association (NHCAA) yang
didirikan pada tahun 1985 oleh beberapa perusahaan asuransi kesehatan swasta dan
pejabat pemerintah federal dan negara. NHCAA adalah satu-satunya organisasi nasional
AS yang ditujukan khusus untuk memerangi penipuan perawatan kesehatan.
Di Indonesia, tindakan fraud belum bisa terdeteksi secara benar sehingga kontrol
pergerakan pelayanan dan pendanaan yang dibutuhkan masih sulit dilakukan, padahal
resiko fraud di Indonesia bisa dibilang sangat tinggi. Di Amerika Serikat, negara
mengharuskan pembayaran klaim sesegera mungkin, sedangkan penyelidikan fraud
membutuhkan waktu yang lama.14 Cara tersebut diikuti juga oleh Indonesia sehingga
dengan tekanan waktu yang singkat tersebut provider dapat segera membayar klaim dan
memperpendek proses penyelidikan fraud. Menurut Skousen, situasi terjadinya tindakan
fraud adalah tekanan, kesempatan dan rasionalisasi yang dikenal dengan istilah fraud
triangle.15
Permenkes No. 36 Tahun 2015 adalah sebagai salah satu upaya untuk pencegahan
kecurangan (fraud) dalam pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Pada Sistem
Jaminan Sosial Nasional. Kecurangan (fraud) dalam BPJS perlu dilakukan pencegahan
agar tidak menimbulkan kerugian. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 7
Permenkes No. 36 Tahun 2015 bahwa dalam penyelenggaraan Program Jaminan
Kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional, BPJS Kesehatan, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, dan FKRTL yang bekerjasama dengan BPJS, harus membangun sistem
pencegahan Kecurangan JKN. Dengan demikian rumah sakit sebagai FKRTL yang
bekerjasama dengan BPJS harus harus membangun sistem pencegahan Kecurangan JKN.
BPJS Kesehatan harus membangun sistem pencegahan Kecurangan JKN melalui:
a. penyusunan kebijakan dan pedoman pencegahan Kecurangan JKN di BPJS
kesehatan;
b. pengembangan budaya pencegahan Kecurangan JKN sebagai bagian dari tata kelola
organisasi yang baik; dan
c. pembentukan tim pencegahan Kecurangan JKN di BPJS Kesehatan.
Pembangunan sistem pencegahan kecurangan menurut Permenkes No. 36 Tahun
2015 harus melalui tiga hal yakni:

14
I, Fraud dalam Jaminan Kesehatan Nasional (Kumpulan tulisan Yaslis Ilyas) CV, Usaha Prima.
15
Skousen C J, K R Smith, dan C J Wright, “Detecting and Predecting Financial Statement Fraud: The
Effectiveness of The Fraud Triangle and SAS No. 99,” Corporate Governance and Firm Performance Advances in
Financial Economis 13 (2009): 53–81.
a. FKRTL menyusun peraturan internal dalam bentuk tata kelola organisasi dan tata
kelola klinik yang baik.
b. FKRTL mampu mengembangkan pelayanan kesehatan yang berorientasi kepada
kendali mutu dan kendali biaya melalui penggunaan konsep manajemen yang efektif
dan efisien, teknologi informasi berbasis bukti dan membentuk Tim Pencegahan
Kecurangan JKN di FKRTL.
c. FKRTL mampu mengembangkan budaya pencegahan kecurangan JKN sebagai
bagian dari tata kelola organisasi dan tata kelola klinis yang berorientasi kepada
kendali mutu dan kendali biaya berdasarkan prinsip TARIK (transparansi,
akuntabilitas, responsibilitas, independensi dan kewajaran).
Tim pencegahan Kecurangan JKN di FKTP terdiri atas unsur dinas kesehatan,
organisasi profesi, BPJS Kesehatan, dan asosiasi fasilitas kesehatan. Dinas kesehatan
dalam membentuk tim pencegahan Kecurangan JKN di FKTP dapat melibatkan unsur
lain yang terkait. Tim pencegahan Kecurangan JKN di FKTP bertugas:
a. menyosialisasikan kebijakan, pedoman, dan budaya baru yang berorientasi pada
kendali mutu dan kendali biaya;
b. mendorong pelaksanaan tata kelola organisasi dan tata kelola klinik yang baik;
c. melakukan upaya pencegahan, deteksi dan penindakan Kecurangan JKN di FKTP;
d. menyelesaikan perselisihan Kecurangan JKN;
e. monitoring dan evaluasi; dan
f. pelaporan.
FKTP harus melakukan upaya pencegahan Kecurangan JKN terhadap seluruh Klaim
yang diajukan kepada BPJS kesehatan. Upaya pencegahan Kecurangan JKN di FKTP
dilakukan dengan cara:
a. peningkatan kemampuan dokter dan petugas lain yang berkaitan dengan Klaim; dan
b. peningkatan manajemen dalam upaya deteksi dini Kecurangan JKN.
FKRTL yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan harus membangun sistem
pencegahan Kecurangan JKN melalui:
a. penyusunan kebijakan dan pedoman pencegahan Kecurangan JKN;
b. pengembangan pelayanan kesehatan yang berorientasi kepada kendali mutu dan
kendali biaya; dan
c. pengembangan budaya pencegahan Kecurangan JKN sebagai bagian dari tata kelola
organisasi dan tata kelola klinis yang berorientasi kepada kendali mutu dan kendali
biaya.
Sistem pencegahan Kecurangan JKN di FKRTL yang bekerjasama dengan BPJS
Kesehatan meliputi sistem pencegahan Kecurangan JKN di rumah sakit dan klinik utama
atau yang setara. Pengembangan budaya pencegahan Kecurangan JKN sebagai bagian
dari tata kelola organisasi berdasarkan prinsip: transparansi; akuntabilitas;
responsibilitas; independensi; dan kewajaran.
a. Transparansi merupakan keterbukaan informasi, baik dalam proses pengambilan
keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi yang sesuai dengan kebutuhan
untuk pencegahan Kecurangan JKN.
b. Akuntabilitas merupakan kejelasan fungsi struktur sistem dan pertanggungjawaban
pelayanan sehingga pengelolaan terlaksana dengan efektif.
c. Responsibilitas merupakan kesesuaian atau kepatuhan di dalam pengelolaan
pelayanan terhadap prinsip organisasi yang sehat dalam rangka pencegahan
Kecurangan JKN.
d. Independensi merupakan suatu keadaan dimana organisasi dikelola secara
professional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak
manapun yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi yang sehat dalam
rangka pencegahan Kecurangan JKN.
e. Kewajaran merupakan perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak
pemangku kepentingan yang timbul berdasarkan perjanjian dalam rangka
pencegahan Kecurangan JKN.
Pengembangan budaya pencegahan Kecurangan JKN sebagai bagian dari Tata kelola
klinik dilakukan melalui:
a. ketepatan kompetensi dan kewenangan tenaga kesehatan;
b. penerapan standar pelayanan, pedoman pelayanan klinis, dan clinical pathway;
c. audit klinis; dan
d. penetapan prosedur Klaim.

C. Simpulan
Daftar Pustaka
C J, Skousen, K R Smith, dan C J Wright. “Detecting and Predecting Financial Statement Fraud:
The Effectiveness of The Fraud Triangle and SAS No. 99.” Corporate Governance and
Firm Performance Advances in Financial Economis 13 (2009): 53–81.
Haris, Fuad. “Pengaruh pengalaman, otonomi profesionalisme, ambiguitas peran, dan motivasi
terhadap kerja auditor.” Universitas Muhamadiyah Surakarta, 2015.
Hartati, Tatik Sri. “PENCEGAHAN KECURANGAN (FRAUD) DALAM PELAKSANAAN
PROGRAM JAMINAN KESEHATAN PADA SISTEM JAMINAN SOSIAL
KESEHATAN (SJSN) (Studi di Rumah Sakit Umum Daerah Menggala Tulang Bawang).”
FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum 10, no. 4 (Mei 29, 2017): 715.
https://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/fiat/article/view/808.
I, Yaslis. Fraud dalam Jaminan Kesehatan Nasional (Kumpulan tulisan Yaslis Ilyas) CV, Usaha
Prima. Jakarta: Tiariaji Press, 2015.
IAPI. Standar Audit (SA 220/ Institut Akuntan Publik Indonesia. Jakarta: Salemba Empat, 2013.
M Wiyono. “Mengenal Potensi Fraud pada Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).”
Kompasiana Manajemen, 2014.
R C, Ginting. RE: Kecurangan (Fraud) Dalam Jaminan/Asuransi Kesehatan, 2007.
Sadikin, Hasan, dan Wiku Adisasmito. “Analisis Pengaruh Dimensi Fraud Triangle Dalam
Kebijakan Pencegahan Fraud Terhadap Program Jaminan Kesehatan Nasional di RSUP
Nasional Cipto Mangunkusumo.” Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 1, no. 2 (2016): 28–
34.
Thabrany. Jaminan Kesehatan Nasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014.
W Steve, Albrecht. Fraud Examination. South Western: Cengage Learning, 2012.
Wibi Pangestu Pratama. “BPJS Kesehatan Defisit, ini Lima Pihak yang di duga Lakukan Fraud.”
Bisnis.com, Maret 5, 2020. https://finansial.bisnis.com/read/20200630/215/1259709/bpjs-
kesehatan-defisit-ini-lima-pihak-yang-diduga-lakukan-fraud.
Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2015
Tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam pelaksanaan Program Jmainan
Kesehatan Pada Sistem Jaminan Sosial Nasional, n.d.

Anda mungkin juga menyukai