Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PERKEMBANGAN JIWA AGAMA PADA ORANG DEWASA


DAN USIA LANJUT

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Agama

Dosen Pengampu: Drs. H. M. Ilyas, M.A.

Disusun oleh: Kelompok 5

NAMA: HASNA WATI

NIRM: 1209. 18. 08384

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

AULIAURRASYIDIN

TEMBILAHAN

2018/2019
BAB I

PEMBAHASAN

A. Macam-macam Kebutuhan
Dalam bukunya Pengantar Psikologi Kriminil Drs. Gerson W.
Bawengan, S.H. mengemukakan pembagian kebutuhan manusia berdasarkan
pembagian yang dikemukakan oleh J.P. Guilford sebagai berikut:
1. Kebutuhan Individu Terdiri dari:
a. Homeostatis, yaitu kebutuhan yang dituntut tubuh dalam proses
penyesuaian diri dengan lingkungan. Dengan adanya perimbangan
ini maka tubuh kita akan tetap berada dalam keadaan mantap, stabil,
dan harmonis.
b. Regulasi temperatur adalah penyesuaian tubuh dalam usaha
mengatasi kebutuhan akan perubahan temperatur badan. Pusat
pengaturannya berada di bagian otak yang disebut hyphotalmus.
c. Tidur merupakan kebutuhan manusia yang perlu dipenuhi agar
terhindar dari gejala halusinasi.
d. Lapar adalah kebutuhan biologis yang harus dipenuhi untuk
membangkitkan energi tubuh sebagai organis. Lapar akan
mengakibatkan gangguan pada fisik maupun mental.
e. Seks merupakan kebutuhan seks sebagai salah satu kebutuhan yang
timbul dari dorongan mempertahankan jenis.

2. Kebutuhan Sosial
Bentuk kebutuhan ini menurut Guilford terdiri dari:
a. Pujian dan hinaan
Setiap manusia normal membutuhkan pujian dan hinaan. Kedua
unsur ini menurut Guilford merupakan faktor yang menentukan
dalam pembentukan sistem moral pendidikan. Pujian merangsang
manusia untuk mengejar prestasi dan kedudukan yang terpuji

1
sedangkan hinaan menyadari manusia dari kekeliruan dan
pelanggaran terhadap etika sosial.
b. Kekuasaan dan mengalah
Alfred Adler mangatakan, bahwa secara naluriah manusia itu ingin
berkuasa dan Nietrzche menyebutkan sebagai motif primer dalam
kehidupan manusia. Sedangkan Guilford berpendapat bahwa
kebutuhan kekuasaan dan mengalah ini tercermin dari adanya
perjuangan manusia yang tak henti-hentinya dalam kehidupan.
c. Pergaulan
Kebutuhan yang mendorong manusia untuk hidup dan bergaul
sebagai homo-socius (makhluk bermasyarakat) dan Zon-Politicon
(makhluk yang berorganisasi).
d. Imitasi dan simpati
Kebutuhan manusia dalam pergaulannya yang tercermin dalam
bentuk meniru dan mengadakan respon-emosional. Tindakan
tersebut menurutnya adalah sebagai akibat adanya kebutuhan imitasi
dan simpati.
e. Perhatian
Kebutuhan akan perhatian merupakan salah satu kebutuhan sosial
yang terdapat pada setiap individu. Besar kecilnyaperhatian
masyarakat terhadap seseorang akan mempengaruhi sikapnya.

Selanjutnya menurut Dr. Zakiah Daradjat dalam bukunya Peranan


Agama Dalam Kesehatan Mental membagi kebutuhan manusia atas dua
kebutuhan pokok, yaitu:
1) kebutuhan primer, yaitu kebutuhan jasmaniah seperti makam,
minum, seks dan sebagainya (kebutuhan ini didapat manusia secara
fitrah tanpa dipelajari).
2) Kebutuhan skunder atau kebutuhan rohaniah jiwa dan sosial.
kebutuhan ini hanya terdapat pada manusia dan sudah dirasakan
sejak manusia masih kecil.

2
Selanjutnya beliau membagi kebutuhan sekunder yang pokok
menjadi enam macam:
1) Kebutuhan akan rasa kasih sayang
2) Kebutuhan akan rasa aman
3) Kebutuhan akan rasa harga diri
4) Kebutuhan akan rasa bebas
5) Kebutuhan akan rasa sukses
6) Kebutuhan akan rasa ingin tahu

3. Kebutuhan Manusia akan Agama


Ahmad Yani mengemukakan, bahwa tatkala Allah membekali insan
itu dengan nikmat berfikir dan daya penelitian, diberinya pula rasa
bingung dan bimbang untuk memahami dan belajar mengenali alam
sekitarnya sebagai imbangan atas rasa takut terhadap kegarangan dan
kebengisan alam itu. Hal inilah yang mendorong insan tadi untuk
mencari suatu kekuatan yang dapat melindungi dam membimbingnya di
saat-saat yang gawat.
Menurut Robert Nuttin, dorongan beragama merupakan salah satu
dorongan yang bekerja dalam diri manusia sebagaimana dorongan –
dorongan lainnya, seperti: makan, minum, intelek, dan lain sebagainya.
Para ahli psikologi agama belum sependapat tentang sumber rasa
keagmaan ini. Rudolf Otto misalnya, menekankan pada dominasi rasa
ketergantungan, sedangkan Sigmund Freud menekankan libido sexuil dan
rasa berdosa sebagai faktor penyebab yang dominan. Yang penting
adanya suatu pengakuan walaupun secara samar, bahwa tingkah laku
keagamaan seseorang timbul dari adanya dorongan dari dalam sebagai
faktor intern. Dalam perkembangan selanjutnya, tingkah laku keagamaan
itu dipengaruhi pula oleh pengalaman keagamaan, struktur kepribadian
serta unsur kejiwaan lainnya. Dengan kata lain, dorongan keagamaan itu
berperan sejalan dengan kebutuhan manusia. Selain itu, dorongan ini juga
berkembang selaras dengan tingkat usia.

3
Jalaluddin. 2009. Psikologi Agama. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Hal.86-103.

Dari uraian materi diatas yaitu tentang macam-macam kebutuhan


maka penulis dapat menyimpulkan bahwa perkembangan jiwa
keagamaan pada orang dewasa dan usia lanjut itu tidak terlepas dari yang
namanya kebutuhan individu yaitu jasmani dan rohani. Didalam
perkembangan jiwa agama kebutuhan jasmani dan rohani harus dipenuhi
agar mental dan fisik seseorang seimbang.

B. Sikap Keberagamaan pada Orang Dewasa


Menurut H. Carl Witherington, pemilihan terhadap kehidupan
mendapat perhatian yang tegas. Meraka mulai berpikir pada tanggung jawab
social, moral, ekonomis, dan keagamaan. Berikutnya, M. Buchori
menyatakan bahwa di usia dewasa biasanya seseorang sudah memiliki sifat
kepribadian yang stabil. Stabilisasi sifat-sifat kepribadian ini antara lain
terlihat dari cara bertindak dan bertingkah laku yang agak bersifat tetap (tak
mudah berubah-ubah ) dan selalu berulang kembali.
Sikap-sikap keberagamaan yang dialami oleh orang dewasa dipengaruhi
oleh berbagai perangkat yang mengitarinya, diantaranya adalah kebudayaan
yang menjadi cetak biru bagi kehidupan atau pedoman bagi kehidupan
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan warga masyarakat
penganutnya.

Bambang Syamsul Arifin. 2015. Psikologi Agama. Bandung: CV Pustaka


Setia. Hlm. 119.

Dari uraian materi diatas, menurut penulis sikap keberagamaan pada


orang dewasa itu suatu hal yang harus dijalankan dan dipertahankan
meskipun dalam beribadah itu dipengaruhi orang sekitar atau masyarakat

4
lainnya, tapi setidaknya mereka telah memiliki tanggung jawab dalam
kehidupannya sebagai umat muslim beragama.
Sikap keberagamaan orang dewasa memilik perspektif yang luas
didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Sikap perkembangan ini juga
umumnya dilandasi oleh pendelaman pengertian dan perluasan pemahaman
tentang ajaran agama yang dianutnya. Beragama, bagi orang dewasa sudah
merupakan sikap hidup dan bukan sekedar ikut-kutan.
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, sikap keberagamaan
pada orang dewasa antara lain memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang
matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
2. Cenderung bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak
diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha
untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4. Tinngkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan
tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi
dari sikap hidup.
5. Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6. Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga
kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran juga
didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian
msing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam
menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang
diyakininya.
8. Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan
kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi
sosial keagamaan sudah berkembang.

5
Dalam rangka menuju kematangan beragama terdapat beberapa
hambatan. Karena tingkat kematangan beragama juga merupakan suatu
perkembangan individu, hal itu memerlukan waktu, sebab perkembangan
kepada kematangan beragama tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada dua faktor
yang menyebabkan adanya hambatan, yaitu:

1. Faktor diri sendiri


Factor dari dalam diri sendiri terbagi menjadi dua, yaitu: kapasitas
diri dan pengalaman.
a. Kapasitas ini berupa kemampuan ilmiah (rasio) dalam menerima
ajaran-ajaran itu terlihat perbedaannya antara seseorang yang
berkemampuan dan kurang berkemampuan. Mereka yang mampu
menerima dengan rasio akan menghayati dan kemudian
mengamalkan ajaran-ajaran agama tersebut dengan baik, walaupun
yang ia lakukan itu berbada dengan tradisi yang mungkin sudah
mendarah daging dalam kehidupan masyarakat. Dan sebaliknya,
orang yang kurang mampu menerima dengan rasionya, ia akan
lebih banyak tergantung pada masyarakat yang ada.
b. Sedangkan factor pengalaman, semakin luas pengalaman seseorang
dalam bidang keagamaan, maka akan semakin mantap dan stabil
dalam mengerjakan aktifitas keagamaan. Namun, mereka yang
mempunyai pengalaman sedikit dan sempit, ia akan mengalami
berbagai macam kesulitan untuk dapat mengerjakan ajaran agama
secara mantap dan stabil.
2. Faktor luar
Yang dimaksud dengan factor luar, yaitu beberapa kondisi dan
situasi lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk
berkembang, malah justru menganggap tidak perlu adanya
perkembangan dari apa yang telah ada. Factor-faktor tersebut antara
lain tradisi agama atau pendidikan yang diterima.

6
Raharjo. 2012. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Semarang: Pustaka Rizki
Putra. Hlm. 44.

C. Manusia Usia Lanjut Agama


1. Perkembangan jiwa agama pada usia lanjut
Pada perkembangan usia remaja Elizabeth B. Hurlock membagi masa
dewasa menjadi tiga yaitu: masa dewasa awal, masa dewasa madya,
masa usia lanjut. Klasifikasi yang senada juga  diungkap oleh Lewis
Sherril yang membagi masa remaja sebagai berikut:
1. Masa dewasa awal, masa ini remaja ada kecenderungan memilih arah
hidup dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.
2. Masa dewasa tengah, pada masa ini sudah mulai menghadapin
tantangan hidup. Pada masa ini adalah masa dimana sudah mencapai
pandangan hidup yang matang dan utuh yang dapat menjadi  dasar
dalam membuat keputusan yang konsisten.
3. Masa dewasa akhir yang ciri  utamanya adalah pasrah.

Sururin. 2004. Ilmu JIwa Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm.
83-84

Manusia disebut makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya, karena


untuk perkembangan dan pertumbuhan secara normal manusia memerlukan
bantuan dari luar dirinya. Bantuan yang dimaksud antara lain dalam bentuk
bimbingan dan pengarahan dari lingkungannya. Bimbingan dan pengarahan
yang diberikan dalam membantu perkembangan tersebut pada hakekatnya
diharapkan sejalan dengan kebutuhan manusia itu sendiri, yang sudah
tersimpan sebagai potensi bawaan. Agar efektif maka manusia harus
menjalani tahapan-tahapan hidupnya dengan baik pula.
Dalam suatu periode hidup manusia, terdapat fase-fase tertentu yang
harus dilewati antara lain: fase pranatal, bayi baru lahir, masa bayi, masa

7
kanak-kanak, masa anak-anak, masa puber, masa remaja, masa dewasa, usia
madya, dan usia lanjut. Salah satu fase yang paling sering dibicarakan dan
menarik perhatian para psikolog adalah fase madya dan fase lanjut usia
(manula). Hal ini dikarenakan timbulnya karakter dan kebiasaan unik yang
dimiliki oleh seseorang ketika memasuki usia lanjut yaitu berkisar antara
umur 70-100 tahun atau sampai meninggal.

Dr. H. Baharuddin, 2008. Psikologi Agama dalam Perspektif Islam.


Malang: UIN-MALANG PRESS. Hlm. 156.

Dari kedua uraian materi diatas menurut penulis menyimpulkan bahwa


perkembangan jiwa agama pada usia lanjut terdapat pada masa awal, tengah
dan akhir. Dalam perkembangannya manusia membutuhkan bantuan baik itu
dari dalam dan dari luar seperti bimbingan dan pengarahan dari
lingkungannya.

2. Karakteristik keberagamaan di usia lanjut


Secara garis besar adapun karakteristik keberagamaan pada usia
lanjut adalah sebagai berikut:
a. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat
kemantapan/kematangan beragama.
b. Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
c. Mulai muncul pergaulan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat
secara lebih bersungguh-sungguh.
d. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling
cinta antara sesama manusia serta sifat-sifat luhur.
e. Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan
pertambahan usia lanjut.
f. perasaan takut kematian yang berdampak pada peningkatan
pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap kehidupan
abadi (akhirat).

8
D. Perlakuan Terhadap Usia Lanjut Menurut Islam
Manusia usia lanjut dalam penilaian banyak orang adalah manusia yang
sudah produktif lagi. Kondisi fisik rata –rata sudah menurun, sehingga dalam
kondisi yang sudah uzur ini berbagai penyakit siap untuk menggrogoti
mereka. Dengan demikian, di usia lanjut ini terkadang muncul semacam
pemikiran bahwa mereka berbeda pada sisa – sisa umur menunggu datangnya
kematian.
Kajian Psikologis berhasil mengungkap bahwa di usia melewati setengah
baya, arah perhatian mengalami perubahan yang mendasar. Bila sebelumnya
perhatian diarahkan pada kenikmatan materi dan duniawi, maka pada
peralihan ke usia tua ini, perhatian lebih tertuju kepada upaya menemukan
batin. Sejalan dengan perubahan itu, maka masalah – masalah yang berkaitan
dengan kehidupan akhirat mulai menarik perhatian mereka.
Pada usia senja ini, lazimnya manusia masih ingin memperoleh
pengakuan kejayaan dan prestasi masa lalu yang pernah dicapainya. Tetapi
setelah kejayaan itu lepas, baik karena pensiun ataupun tidak aktfi lagi dalam
berbagai aktivitas kemasyarakatan. Bila selama karir kepegawaiannya ia
pernah menjadi pejabat, maka setelah pensiun ia sama sekali tidak memiliki
kekuasaan lagi . perintah dan acungan telunjuknya sudah hambar, karena
sudah kehilangan anak buah dan bawahan. Demikian pula bila kasusu seperti
itu terjadi pada tokoh masyarakat yang pernah dielu-elukan. Setelah menca[ai
usia senja, akan timbul perasaan diasingkan.
Lain halnya konsep yang dianjurkan dalam islam. Perlakuan terhadap
manusia usia lanjut dianjurkan seteliti dan setelan mungkin. Perlakuan
terhadap orang tua yang berusia lanjut dibebankan kepada anak-anak mereka,
bukan kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo. perlakuan
terhadap orang tua menurut tuntunan islam berawal dari rumah tangga. Allah
menyebutkan pemeliharaan secara khusus orang tua yang sudah lanjut usia
dengan memerintahkan kepada anak-anak mereka untuk memperlakukan
kedua orang tua mereka dengan kasih sayang.

9
Perlakuan kepada kedua orang tua dengan baik dilakukan sebagai
kewajiban agama. Menurut Ibn Abbas, Rasul Allah pernah mengatakan:
“Barangsiapa membuat ridha kedua orang tuanya di waktu
pagi dan sore, maka ia pun mendapat dua pintu surga yang
terbuka, dan jika membuat ridha salah satu diantaranya
maka akan terbuka satu pintu surga. Barang siapa di waktu
sore dan pagi membuat marah kedua orang tuanya, maka ia
mendapat dua pintu neraka yang terbuka. Jika membuat
marah salah satu diantaranya, maka terbuka untuknya satu
pintu neraka”.

Islam mengaarkan bahwa dalam perkembangannya, manusia mengalami


penurunan kemampuan sejalan dengan pertambahan usia mereka.

َ‫ق أَفَاَل يَ ْعقِلُون‬


ِ ‫سهُ فِي ا ْل َخ ْل‬
ْ ‫َو َمنْ نُ َع ِّم ْرهُ نُنَ ِّك‬
“Barang siapa kami panjangkan umurnya niscaya kami kembalikan dia
kepada kejadian (nya). Maka apakah mereka tidak memikirkannya”.
(Q.S.Ya Sin: 68).

Dalam alquran dan terjemahannya dikemukakan, bahwa maksud kami


kembalikan kepada kejadiannya, yaitu dikembalikan kepada keadaan manusia
ketika ia baru dilahirkan, yaitu lemah fisik dan kurang akal. Menurut As-
Shobuny, yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah, bila manusia
dipanjangkan umurnya ke usia lanjut, makaia akan kembali kembali menjadi
seperti bayi, yaitu tidak mengetahui sesuatu pun.
Dari firman Allah di atas tergambar bagaimana perlakuan terhadap
manusia usia lanjut menurut islam. Manusia usia lanjut dipandang tak
ubahnya seorang bayi yang memerlukan pemeliharaan dan perawatan serta
perhatian khusus dengan penuh kasih sayang. Perlakuan yang demikian itu
tidak dapat diwakilkan kepada siapapun, melainkan menjadi tanggung jawab
anak-anak mereka. Perlakuan yang baik dan penuh kesabaran serta kasih

10
sayang dinilai sebagai kebaktian. Sebaliknya perlakuan yang tercela dinilai
sebagai kedurhakaan.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap manusia usia lanjut
menurut Islam merupakan kewajiban agama, maka sangat tercela dan
dipandang durhaka bila seorang anak tega menempatkan orang tuanya di
tempat penampungan atau panti jompo. Alasan apa pun tidak dapat diterima
bagi perlakuan itu.

DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin. 2009. Psikologi Agama. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Bambang Syamsul Arifin. 2015. Psikologi Agama. Bandung: CV Pustaka Setia.

Raharjo. 2012. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Semarang: Pustaka Rizki Putra.

Sururin. 2004. Ilmu JIwa Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

11
Baharuddin, 2008. Psikologi Agama dalam Perspektif Islam. Malang: UIN-
MALANG PRESS.

12

Anda mungkin juga menyukai