Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Hukum merupakan suatu peraturan yang di buat untuk mengatur, mengikat, dan
memaksa masyarakat untuk mematuhi suatu hal yang dianggap baik dan perlu oleh suatu
lembaga. Hukum juga erat kaitannya dengan masyarakat. Hukum dalam islam, merupakan
sebuah pedoman atau batas bagi diri untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Hukum
dalam islam bukanlah buatan dari makhluk-Nya seperti hukum yang ada dan berkembang selama
ini di masyarakat. Melainkan hukum islam itu ada dan berdasar dari ajaran dan pedoman yang
Allah SWT berikan, yaitu berupa perantara, Al-Qur’an misalnya yang merupakan pedoman
tertinggi bagi umat islam di seluruh semesta ini.
1.2              Rumusan Masalah
Dari uraian diatas timbul beberapa pokok permasalahan yang berkaitan dengan hukum
dalam ajaran agama islam , yaitu :
1.      Apa pengertian hukum islam ?
2.      Apa yang menjadi sumber-sumber hukum islam ?
3.      Apa fungsi dari hukum islam ?
4.      Pembagian hukum islam ?
1.3       Tujuan
1.      Untuk mengetahui definisi dari hukum dalam agama islam
2.      Untuk mengetahui sumber-sumber hukum islam
3.      Untuk mengetahui fungsi dari hukum islam
4.      Utuk mengetahui pembagian hukum-hukum islam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1       PENGERTIAN HUKUM ISLAM
Kata-kata sumber dalam hukum Islam merupakan terjemah dari kata mashadir yang
berarti wadah ditemukannya dan ditimbanya norma hukum. Sumber hukum Islam yang utama
adalah Al Qur’an dan sunah. Selain menggunakan kata sumber, juga digunakan kata dalil yang
berarti keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran. Selain itu, ijtihad, ijma’,
dan qiyas juga merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu untuk sampai kepada
hukum-hukum yang dikandung oleh Al Qur’an dan sunah Rasulullah SAW.
Secara sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia
yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh
masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya”. Bila definisi ini dikaitkan dengan
Islam atau syara’ maka hukum Islam berarti: “seperangkat peraturan bedasarkan wahyu Allah
SWT dan sunah Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf)
yang diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama Islam”. Maksud kata “seperangkat
peraturan” disini adalah peraturan yang dirumuskan secara rinci dan mempunyai kekuatan yang
mengikat, baik di dunia maupun di akhirat.
2.2       SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
1.                  AL-QUR’AN
Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur
(mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al Qur’an diawali dengan
surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al Qur’an merupakan ibadah.
Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban
untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia
yang taat kepada Allah SWT, yaitu mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala
larangannya.
Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.
         Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yang berkaitan dengan iman
kepada Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar.
         Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti
yang baik serta etika kehidupan.
         Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.
         Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat.
  Isi Kandungan Al Qur’an
Isi kandungan Al Qur’an dilihat dari segi kuantitas dan kualitas.
         Segi Kuantitas
Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa kata
         Segi Kualitas
Isi pokok Al Qur’an (ditinjau dari segi hukum) terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:
1.      Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang mengatur hubungan rohaniyah dengan Allah
SWT dan hal – hal lain yang berkaitan dengan keimanan. Ilmu yang mempelajarinya disebut
Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam.
2.      Hukum yang berhubungan dengan Amaliyah yang mengatur hubungan dengan Allah, dengan
sesama dan alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syariat.
Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fiqih.
3.      Hukum yang berkaitan dengan akhlak. Yakni tuntutan agar setiap muslim memiliki sifat – sifat
mulia sekaligus menjauhi perilaku – perilaku tercela.
2.                  HADITS
Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua
setelah Al Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-
perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan
dengan firman Allah SWT:
‫ۚ َو َما آتَا ُك ُم ال َّرسُو ُل فَ ُخ ُذوهُ َو َما نَهَا ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَهُوا‬
Artinya: “ Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hashr : 7)
Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad
SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang
bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan
Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia.
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai
berikut.
1.      Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Qur’an, sehingga kedunya (Al Qur’an
dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama.
2.      Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum.
Misalnya, ayat Al Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah
haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara
melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat, tidak memarkan cara-cara
melaksanakan haji. Rincian semua itu telah dijelaskan oelh rasullah SAW dalam haditsnya.
Contoh lain, dalam Al Qur’an Allah SWT mengharamkan bangkai, darah dan daging babi.
Firman Allah sebagai berikut :
‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةُ َوال َّد ُم َولَحْ ُم ْال ِخ ْن ِزير‬
ْ ‫حُ ِّر َم‬...
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)
Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana yang
boleh dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh
dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak
didapati dalam Al Qur’an. Misalnya, cara menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan
membasuhnya tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah.
  Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
1.      Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan,
sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu
penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits.
2.      Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat
ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan pada
matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal
yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting.
3.      Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat hadits shohih
atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu
sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak
dipenuhi
3.                IJTIHAD
 Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang
tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran
yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukum yang telah
ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga.
Hasil ini berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz
bin jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,”
bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang
memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukum dengan Al
Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?”
Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul bertanya lagi, “seandainya tidak
engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan
berijtihad dengan pendapat saya sendiri” kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu
Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam
menetapkan hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits. Untuk melakukan ijtihad (mujtahid)
harus memenuhi beberapa syarat berikut ini:
1.      Mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum.
2.      Memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits.
3.      Mengetahui soal-soal ijma.
4.      Menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan sesuai
dengan persyaratan yang telah ditentukan.
Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad, tetapi
juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan membawa rahmat dan
kelapangan bagi umat manusia.
Dalam berijtihad seseorang dapat menempuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas. Ijma’
adalah kesepakatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu masa dari
beberapa masa setelah wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan,
bahkan menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah SWT:
‫ُولوأُولِي اأْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم‬
َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا أَ ِطيعُوا هَّللا َ َوأَ ِطيعُوا ال َّرس‬   
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan rasulnya dan ulil amri diantara
kamu….” (QS An Nisa : 59)
            Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan
dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan demikian, ijma’
ulam dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam. Contoh ijam’ ialah mengumpulkan tulisan
wahyu yang berserakan, kemudian membukukannya menjadi mushaf Al Qur’an, seperti sekarang
ini.
  Bentuk Ijtihad yang lain
1.      Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan secara kongret
dalam Al Qur’an dan hadits yang didasarkan atas kepentingan umum atau kemashlahatan umum
atau unutk kepentingan keadilan.
2.      Istishab, yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah ditetapkan suatu
dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum tersebut.
3.      Istidlal, yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara kongkret dalam
Al Qur’an dan hadits dengan didasarkan karena telah menjadi adat istiadat atau kebiasaan
masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-hukum agama yang diwahyukan
sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum agama sebelum Islam bisa diakui atau dibenarkan oleh
Islam asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan hadits.
4.      Maslahah mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud syarak yang tidak diperoeh dari
pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari maslahah itu. Contohnya seperti mengharuskan
seorang tukang mengganti atau membayar kerugian pada pemilik barang, karena kerusakan
diluar kesepakatan yang telah ditetapkan.
5.      Al ‘Urf, ialah urusan yang disepakati oelh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya.
6.      Zara’i, ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah atau untuk
menghilangkan mudarat.
4.                  QIYAS
Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan
kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau
sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski. Haramnya
minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al Qur’an karena antara
keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir
tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al Qur’an atau hadits tetap diharamkan karena
mengandung persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al Qur’an. Sebelum
mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas,
yaitu:
         Dasar (dalil)
         Masalah yang akan diqiyaskan
         Hukum yang terdapat pada dalil
         Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.
2.3.            Fungsi Hukum Islam
Sebagaimana sudah dikemukakan dalam pembahasan ruang lingkup hukum Islam, bahwa
ruang lingkup hukum Islam sangat luas. Yang diatur dalam hukum Islam bukan hanya hubungan
manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, manusia
dengan manusia lain dalam masyarakat, manusia dengan benda, dan antara manusia dengan
lingkungan hidupnya.
Dalam Al Qur’an cukup banyak ayat-ayat yang terkait dengan masalah pemenuhan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia serta larangan bagi seorang muslim untuk melakukan
pelanggaran hak asasi manusia. Bagi tiap orang ada kewajiban untuk mentaati hukum yang
terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits. Peranan hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat
sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan
utamanya saja, yaitu :
1.                  Fungsi Ibadah,
Fungsi utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Hukum Islam
adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan kepatuhannya merupakan ibadah
yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan seseorang.
2.                  Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Hukum Islam sebagai hukum yang ditunjukkan untuk mengatur hidup dan kehidupan
umat manusia, jelas dalam praktik akan selalu bersentuhan dengan masyarakat. Sebagai contoh,
proses pengharaman riba dan khamar, jelas menunjukkan adanya keterkaitan penetapan hukum 
(Allah) dengan subyek dan obyek hukum (perbuatan mukallaf). Penetap hukum tidak pernah
mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses pengharamannya. Riba atau khamar tidak
diharamkan sekaligus, tetapi secara bertahap.
Ketika suatu hukum lahir, yang terpenting adalah bagaimana agar hukum tersebut
dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Penetap hukum sangat mengetahui bahwa
cukup riskan kalau riba dan khamar diharamkan sekaligus bagi masyarakat pecandu riba dan
khamar. Berkaca dari episode dari pengharaman riba dan khamar, akan tampak bahwa hukum
Islam berfungsi sebagai salah satu sarana pengendali sosial.
Hukum Islam juga memperhatikan kondisi masyarakat agar hukum tidak dilecehkan dan
tali kendali terlepas. Secara langsung, akibat buruk riba dan khamar memang hanya menimpa
pelakunya. Namun secara tidak langsung, lingkungannya ikut terancam bahaya tersebut. Oleh
karena itu, kita dapat memahami, fungsi kontrol yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba
dan khamar. Fungsi ini dapat disebut amar ma’ruf nahi munkar. Dari fungsi inilah dapat dicapai
tujuan hukum Islam, yakni mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan, baik
di dunia maupun di akhirat kelak.
3.                Fungsi Zawajir
Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang disertai dengan
ancaman hukum atau sanksi hukum.Qishash, Diyat, ditetapkan untuk tindak pidana terhadap
jiwa/ badan, hudud untuk tindak pidana tertentu (pencurian, perzinaan, qadhaf, hirabah,
dan riddah), dan ta’zir untuk tindak pidana selain kedua macam tindak pidana tersebut. Adanya
sanksi hukum mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi
warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan. Fungsi
hukum Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir.
4.                Fungsi Tanzhim wa Islah al-Ummah
Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin
dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis,
aman, dan sejahtera. Dalam hal-hal tertentu, hukum Islam menetapkan aturan yang cukup rinci
dan mendetail sebagaimana terlih at dalam hukum yang berkenaan dengan masalah yang lain,
yakni masalah muamalah, yang pada umumnya hukum Islam dalam masalah ini hanya
menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai dasarnya.
Perinciannya diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang berkompeten pada bidang
masing-masing, dengan tetap memperhatikan dan berpegang teguh pada aturan pokok dan nilai
dasar tersebut. Fungsi ini disebut dengan Tanzim wa ishlah al-ummah. Ke empat fungsi hukum
Islam tersebut tidak dapat dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hukum tertentu, tetapi satu
dengan yang lain saling terkait.
2.4.            Pembagian Hukum Islam
1.      hukum Wadhi : sebuah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya sesuatu yang
lain, hukum wadhi terbagi 3 :
  Sebab : sesuatu yang mendasar dan terang dan tertentu yang menjadi pangkal adanya
sesuatu.  Contoh : Adanya Hukum Potong Tangan DI karenakan Adanaya Sebab mencuri
  syarat : Sesuatu yang karenya ada hukum dan ketidak adanya tidak ada hukum. Contoh : Haul
Adalah Sebuah Syarat  adanya Kewajiban zakat, Syarat Terbagi dua :
.1.      Syarat Haqiqi adalah sebuah syarat yang diperintahkan syariat sebelum mengerjakan pekerjaan
yang lain, dan pekerjaan yang lain tidak akan di terima atau tidak syah  jika pekerjaan yang
pertama tidak dilakukan. Contohnya : Kewajiban Wudhu  Sebelum  Mengerjakan Sholat
.2.      Syarat Jali adalah segala sesuatu yang dijadikan syarat oleh perbuatanya untuk mewujudkan
perbuantan yang lain. Contohnya : syarat sah wudhu ketika membasuh tangan sampai Kesiku
  Man`i  adalah suatu hal yang karna adanya menyebabkan tidak adanya hukum atau tidak adanya
sebab bagi adanya hukum. Contohnya : adanya najis pada pakaian
menjadikan Pengahalang  dari  syarat shalat.
2.      Hukum Taklif, yakni Sesuatu yang menuntut suatu pekerjaan dari mukallaf, atau menuntut
untuk berbuat dan menentukan pilihan kepadanya  antara melakukan dan meninggalkanya.
Hukum taklif terbagi menjadi 5 yaitu :
1                  Wajib 
Wajib atau sering disebut ijab merupakan khitab pernyataan Allah swt yang menuntut
kita untuk melaksanakan sesuatu. Dengan kata lain, perbuatan itu mempunyai status fardu atau
wajib, yang berari mendapatkan pahala bila dikerjakan dan mendapatkan dosa bila ditinggalkan.
Dalam hal ini kita melihat istilah fardu dan wajib.Menurut para ahli fardu itu bila
perbuatan tersebut di perintahkan kepada kita melalui dalil yang qat’i (jelas), yaitu nas Al-qur’an
dan hadis mutawir. Sedangkan status wajib dikenakan apabila perbuatan itu didasarkan pada
dalil yang zanni yaitu hadis ahad atau ijtihad ulama. Namun, pada pelaksanaanya dalam
kehidupan sehari-hari, perbedaan ini tidak lagi dipersoalkan. Karena itu tidak sedikit ulama yang
menyamakan antara fardu dan wajib serta hanya memegang esensi bahwa keduanya merupakan
perbuatan yang harus dikerjakan dan berdosa bila kita meninggalkannya.
Kita dapat mengenali bahwa pernyataan Allah itu merupakan perintah wajib dengan
mengenali perintah-perintah itu dari bentuk kalimat yang ada pada Al qur’an dan hadis nabi.
Bentuk kalimat yang paling umum digunakan dan di asumsikan sebagai perintah adalah bentuk
fi’il amr (bentuk kalimat perintah). Akan tetapi, walaupun secara umum fi’il amr berarti perintah
wajib, perlu diperhatikan tidak semua bentuk perintah berarti wajib.Ada juga yang menunjuk
pada status sunah.
Selain bentuk fi’il amr, Kita juga dapat mengenali hukum wajib pada kalimat-kalimat Al
qur’an dan hadis yang menggunakan kata fardu atau hukum wajib atau kata yang searti.
Misalnya kata farada atau kutiba yang banyak pada Al qur’an , hadis, atau kata wajaba, yang
biasannya merupakan hasil ijtihad para ulama atau dalil Al qur’an dan hadis.
Hukum wajib dapat dilihat dalam beberapa aspek,diantaranya sbb.
1. Dilihat dari aspek kepada siapa hukum itu di bebankankan.
         Wajib ‘ain, Wajib ini dibebankan kepada masing-masing individu mukallaf,dimana kewajiban
itu tidak boleh diserahkan kepada orang lain.Misalnya salat 5 waktu.
         Wajib Kifai (kifayah), Kewajiban ini dibebankan kepada komunitas kaum islam. Apabila
sebagian orang telah menunaikannya, maka yang lain terbebas dari beban hukum. Namun,
apabila tidak ada seorang pun yang tidak melaksanakannya, maka seluruh anggota komunitas itu
berdosa. Misalnya ,pengurusan jenasah.
2. Dilihat dari waktu penunaian kewajiban.
         Wajib mutlak, yang tidak ditentukan waktu pelaksanaanya. Misal kalau kita berutang
puasa,maka kapan kita mau membayarnya tidak ditentukan waktunya. Boleh kapan saja.
         Wajib mu’aqqad yang telah ditentukan waktu pelaksanaannya dengan jelas dengan dalil-dalil
agama. Misal salat 5 waktu.
3. Dilihat dari aspek junlah atau ukuran penunaian kewajiban.
         Wajib muhaddad, Allah telah menentukan dengan jelas jumlah atau ukuran yang harus kita
kerjakan.Misal jumlah rakaat salat.
         Wajib gairu muhhaddad, Pada kewajiban ini, Allah tidak menunjukan jumlah atau ukuran
yang harus kita lakukan. Misalnya jumlah infak/ sadakah.
4. Dilihat dari kebolehan jenis perbuatan yang harus dilakukan.
         Wajib mua’ayyan, Pada kewajiban ini Allah telah menetapkan jenis perbuatan yang harus di
lakukan secara jelas dan pasti. Sehingga kita tidak boleh menawar atau memilih alternatif
lain.Misalnya salat 5 waktu.
         Wajib mukhayyar, Pada kewajiban ini Allah memberi kesempatan kepada kita untuk memilih
salah satu diantara beberapa alternatif yang ada.
2                  Sunah
Status hukum kedua dalam islam adalah sunah atau nadb.Selain menurut mukallaf untuk
mengerjakan serta menghukumnya bila tidak mengerjakan, adakalanya Allah dan rasul-Nya
memerintahkan suatu perbuatan,tetapi tidak harus dikerjakan bahkan ditinggalkan pun tidak apa-
apa. Dengan kata lain perbuatan itu sunah atau mahdub, yang berarti kita akan mendapatkan
pahala bila mengerjakannya tetapi tidak berdosa bila tidak mengerjakannya.
Namun sebagian ulama membedakan pengertian sunah dan mahdub ini. Menurut mereka
sunah menunjuk pada perbuatan yang selalu dilakukan olen Rasullullah , kecuali ada uzur.
Misalnya salat tahajud. Sedangkan mahdub menunjuk pada amalan yang disukai Nabi saw.
Tetapi beliau jarang melakukannya. Misalnya puasa 6 hari di bulan syawal.
Kita dapat menentukan suatu perbuatan bersifat sunah dan mahdub dengan cara
diantaranya ada hadis yang menggunakan yang jelas-jelas mengacu pada hukum sunnah seperti
kata yusannu kaza atau yundabu kaza.
Indikator lain atau keterangan pada suatu perintah tidak selamanya berasal dari Alqur’an,
adakalanya dalam hadis nabi ataupun ijtihat para ulama.
Terkait dengan sunnah, ada beberapa istilah yang perlu diketahui yaitu:
         Sunnah muakad, Sunnah ini sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Rasullullah senantiasa
melaksanakannya dalam kehidupan beliau. Walau sangat dianjurkan, kita tidak berdosa bila tidak
melaksanakannya. 
         Sunnah gairu muakad (Sunnah zaidah), Sunnah ini tidak sepenting sunnah muakad.
Terhadap sunnah ini terkadang Rasullulah melaksanakannya, Kadang tidak meski tidak ada aral
yang menghadang.
         Sunnah mustahab, Sunnah ini biasa di sebut fadilah (keutamaan) karena dilaksanakan untuk
menyempurnakan amal perbuatan yang kita lakukan.
3.                  Mubah
Adakalanya Allah swt memberi kebebasan kita untuk melakukan atau tidak melakuakan
suatu perbuatan. Khitabini biasa disebut ibahah. Dengan kata lain, perbuatan yang terkait dengan
khitab ibahah ini mempunyai status hukum mubah, atau halal atau jaiz yaitu dikerjakan atau
tidak, tidak akan konsekuensi pahala atau dosa.
Pada dasarnya,segala perbuatan dalam bidang muamalah dibolehkan selama tidak ada
dalil yang mengharamkannya. Prinsip ini dalam ilmu usul fikih disebut Bara’ah Asliyah (bebas
menurut asalnya) dan sesuai dangan salah satu kaidah usul fikih.
Selain prinsip dasar itu, kita juga dapat mengenali perbuatan mubah ini dalam Alqur’an
dengan kalimat-kalimat yang digunakan , salah satunya dengan kalimat uhilla (dihalalkan).
Satu hal yang perlu diperhatikan, walaupun pada dasarnya semua perbuatan bidang dalam
bidang muamalah itu diperbolehkan sampai pada dalil yang melarangnya,bukan berarti kita kita
lantas bebas berbuat dengan alasan tidak ada larangannya. Bisa jadi larangan itu ada tetapi tidak
kita ketahui, maka kita menganggapnya tidak ada. Kita dapat menggunakan hati nurani kita
untuk memutuskan apakah perbuatan itu baik atau tidak dan benar atau salah.
4.                  Makruh
Selain menuntut kita untuk melaksanakan perbuatan yang baik ada juga khitab Allah
yang menyuruh kita untuk tidak melakukan sessuatu. Khitab ini terdiri atas karahah (makruh)
dan tahrim (haram).
Allah menetapkan dua hukum tersebut karena Allah mengetahui manusia berpotensi
sangat besar untuk menyimpang. Maka sebagai sayangnya Allah memberikan anjuran yang tidak
ketat untuk meniggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik.
Khitab Allah yang menghendaki kita untuk meninggalkan suatu perbuatan, walaupun
tidak berdosa pula bila dikerjakan disebut karahah atau makruh. Khitab ini dapat kita kenali
dalam dalil-dalil agama dengan menggunakan kalimat karraha (memakruhkan ) dan semua kata
yang semakna dengannya, atau dengan khitab yang menggunakan kalimat larangan ataupun
kalimat perintah yang tidak menunjukkan keharaman.
Khitab Allah di atas menggunakan kalimat perintah (fi’il amr) yang tidak mengharamkan.
Dengan demikian, walaupun menggunakan kalimat perintah untuk meninggalkan, bukan berarti
jual beli itu haram.
Sebenarnya perbuatan makruh ini tidak hanya dapat dikenal melalui khitab-khitab Allah
dan rasul-Nya. Akan tetapi, akal dan nurani ktapun dapat juga menemukan serta mengenalinya.
Dari sini makruh dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: makruh tanzih,tarkul aula, dan
makruh tahrim. Makruh tanzih adalah melakukan suatu perbuatan yang lebih baik ditinggalkan.
Tarkul aula adalah meninggalkan sesuai yang sebaiknya dikerjakan. Sedangkan makruh tahrim
dapat berupa yang dilarang dengan dasar dalil zanni atau dengan perintah larangan dengan dalil
qat’I yang tidak mengharamkan secara tegas.
5.                  Haram
Hukum taklifi yang terakhir adalah tahrim atau haram. Tahrim termasuk khitab Allah
yang melarang sesuatu. Hanya saja, berbeda dari karahah, larangan larangan pada tahrim ini
lebih tegas dan dilengkapi sanksi bagi siapa yang melakukanya.
Diantara dalil-dalil yang mengacu pada hukum haram atau tahrim ini adakalanya
menyebutkan dengan kalimat yang jelas seperti haramma atau hurimma.Seperti
Para ulama membagi haram ini dalam dua kelompok yaitu haram lizatihi dan haran
ligairihi.
         Haram lizatihi, Haram dengan dirinya sendiri yaiutu perbuatan-perbuatan yang jelas ditetapkan
oleh Allah dan Rasulullah sebagai haram sejak semula karena secara tegas secara tegas
mengandung kemafsadatan (kerusakan)masuk dalam kelompok ini.Seperti mencuri, minum
miras,dsb.
         Haram ligairihi, Haram dengan sebab dari luar dirinya. Haram ini kadang kala disebut juga
sebagai haram li ardihi. Perbuatan –perbuatan yang termasuk dalam kelompok ini sebenarnya
sesuatu yang tidak haram, tetaoi kemudian menjadi haram karena sebab-sebab diluar perbuatan
itu.Misalnya makan bakso tanpa bayar maka menjadi haram, padahal bakso adalah makanan
yang halal.
BAB III
PENUTUP
3.1       KESIMPULAN
            Dari penjelasan di atas kita dapat mengambil kesimpuln, diantaranya :
1.      Hukum islam adalah peraturan bedasarkan wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW
tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang diakui dan diyakini mengikat
semua yang beragama Islam
2.      Hukum islam berasal dari 4 sumber, yaitu :
  Al-Qur’an
  Hadits
  Ijtihad
  Qiyas
3.      Terdapat 4 fungsi dari hukum islam, yaitu :
  Fungsi ibadah
  Fungsi amar ma’ruf nahi munkar
  Fungsi zawajir
  Fungsi Tanzhim wa Islah al-Ummah
4.      Hukum islam terbagi menjadi 2 yaitu
  Hukum wadhi
  Hukum taklif
3.2       KRITIK DAN SARAN
            Dalam penulisan makalah ini kami sadar masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun dari teman-teman akan senang hati kami terima sehingga kami bisa
menjadi lebih baik nanti nya.
DAFTAR PUSTASA

Muadz. 2011. Macam-macam Hukum. http://poltek-muadz.blogspot.com/. 09-12-2014


Omase, Cs. 2013. Macam-Macam Hukum Syariat
Islam. http://www.suaragresik.com/2013/07/macam-macam-hukum-syariat-islam.html. 09-12-
2014
Setiawan, Eddy. 2012. Macam-Macam Hukum
Islam. https://eddysetia.wordpress.com/2012/08/02/macam-macam-hukum-islam/. 09-12-2014
Nur Alfiah, Siti. Sumber-Sumber Hukum Islam. http://sitinuralfiah.wordpress.com/bahan-ajar-
2/sumber-sumber-hukum-islam/. 09-12-2014
Masiv, Lyla. 2013. Ijtihad dan Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan
Masyarakat. http://lylamasiv.blogspot.com/2013/05/ijtihad-dan-fungsi-hukum-islam-dalam.html.
09-12-2014
Qiso, Abdullah. 2013. Fungsi dan Kedudukan Al-Qur’an dalam Islam. 09-12-2014
Rahmawati, Kiki. 2011. Kedudukan Al-Qur’an dalam Hukum Islam dan Pembagian Hukum
Islam. http://kikirahmawati2111.blogspot.com/2011/08/kedudukan-al-quran-dalam-hukum-
islam.html. 09-12-2014
Ansori, Irfan. 2011. Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam
Pertama. http://rahasiasuksesirfanansori.wordpress.com/2011/10/31/al-quran-sebagai-sumber-
hukum-islam-pertama/. 09-12-2014

Anda mungkin juga menyukai