Anda di halaman 1dari 50

PERSIAPAN OSCE BEDAH RSPAD

1. JAHIT
PENDAHULUAN
1. Perkenalan
“Selamat pagi bapak/ibu, perkenalan saya dokter Gandri yang bertugas pada hari ini”

2. Identitas Pasien
“Apa benar dengan bapak/ibu X, lahir tanggal xx/xx/xxxx, dengan keluhan X ?”

3. Informed Consent
“Di tangan/kaki/bagian tubuh lain bapak/ibu terdapat luka terbuka ya pak/bu. Lukanya
berupa luka sayatan/robek dengan panjang kira-kira X cm. Luka tersebut harus
dibersihkan dan dirapatkan atau ditutup pak dengan jahitan supaya tidak terjadi
peradangan akibat infeksi dan lukanya cepat sembuh. Mungkin tindakan penanganan luka
terasa sedikit kurang nyaman pak/bu. Apa bapak/ibu bersedia ?”

Jika bersedia : “Baik pak/bu silahkan ke ruang tindakan atau meja periksa. Nanti mohon
tunggu sebentar, saya akan menyiapkan alat yang diperlukan.”

PERSIAPAN
1. Persiapan Diri
“Saya melakukan SIMPLE HAND WASHING DAN HAND GLOVING”

2. Persiapan Alat
Perlengkapan Bedah Minor:
a. Bak Instrumen
b. Kom Kecil
c. Perban
d. Kasa Steril
e. Doek Steril
f. Klem
g. Needle Holder
h. Pinset : Anatomis (untu Jaringan yang mudah robek) dan Sirugis
i. Gunting : Mayo (untuk Fascia), Metzenbaum (untuk Jaringan)
j. Jarum: Atraumatik/Traumati; Circular/Trokar/Cutting
k. Benang : Alami/Sintetis; Absorbable/Non; Monofilamen/Polifilamen
l. Scalpel dan Bistouri
3. Persiapan Obat dan Cairan
a. Povidon Iodine
b. Larutan (Hidrogen Peroksida) : Antiseptik Luka (dianggap perlambat
penyembuhan luka).
c. Larutan NaCl : Pembersih Isotonik Luka (dianggap tidak ganggu penyembuhan
luka).
d. Lidocaine

ANESTERSI LOKAL
1. Perencanaan dan Kewaspadaan
a. Menilai Lesi
b. Cek obat anestesi
c. Hati-hati penggunaan adrenalin
d. Hati-hati kelebihan dosis

2. Teknik Pelaksanaan
a. Tindakan septik dan antiseptik di sekitar luka
b. Ketika melakukan anestesi pada daerah laserasi  injeksikan obat anestesi
melalui sisi luka
c. Pasang doek steril
d. Suntikan Subkutan perlahan  aspirasi  masukan obat  mundurkan 
aspirasi  masukan obat lagi.
e. Tunggu beberapa saat agar anestersi bekerja

PEMBERSIHAN LUKA (DEBRIDEMANT)


1. Irigasi luka selang-seling dengan NaCl dan

2. Inspeksi dasar luka dan bersihkan semua benda asing dengan pinset

3. Penanganan sesuai jenis luka:


a. Luka Sayat  Penjahitan Primer
b. Luka Tusuk  Cross Insisi
c. Luka Laserasi  Buang Jaringan Nekrotik
d. Luka Berongga  Pasang Drain

4. Jika luka sudah bersih, lakukan penutupan luka dengan penjahitan


PENJAHITAN
1. Pilih dan cek jarung dan benang

2. Pastikan daerah penjahitan telah kebas

3. Mulai menjahit
a. Horizonal Matress Suture
b. Vertical Matress Suture

4. Selesai menjahit  bersihkan  pasang perban di atas luka dan


lakukan pembalutan luka.

5. Berika profilaksis anti tetanus


Secara umum, luka yang ditangani dengan baik dan lebih awal tidak memerlukan terapi
antibiotik. Inspeksi dilakukan pada hari ke-2 sampai ke-3 dengan tujuan melihat apakah
diperlukan pemberian antibiotik jika terdapat tanda infeksi.
PENUTUP
1. Nyatakan prosedur telah selesai
“Bapak/Ibu, tindakan penjahitan luka sudah selesai dan luka sudah dibersihkan juga
ditutup perban. Terimakasih ya pak/bu.”

2. Catat semua tindakan dalam Rekam Medis

3. Buat Resep dan Edukasi


a. Pembalut luka harus diganti 48 jam setelah operasi/tindakan.
b. Pergantian balutan luka memerlukan pengawasan secara berkala dan harus
dilakukan dengan teknik aseptik.
c. Kasa penutup luka harus diganti lebih awal jika basah/terkena air.
d. Kasa juga harus segera diganti jika pasien mengeluhkan tanda infeksi.
e. Pengangkatan jahitan dilakukan jika benang yang digunakan adalah jenis non
absorbable

Tabel Waktu Melepas Jahitan


Area tubuh Waktu melepas jahitan di hari ke-
Kulit Kepala 6–8
Wajah, Telinga 4–5
Dada 8 – 10
Dinding perut (sayatan lintang) 7–9
Dinding perut (sayatan vertikal) 9 – 11
Punggung 12 – 14
Lengan atau Tungkai 8 – 10
Tangan 8 – 10
Ujung Jari 10 – 12
Kaki 12 – 14
2. Kateter
PENDAHULUAN
1. Perkenalan
“Selamat pagi bapak/ibu, perkenalan saya dokter Gandri yang bertugas pada hari ini”

2. Identitas Pasien
“Apa benar dengan bapak/ibu X, lahir tanggal xx/xx/xxxx, dengan keluhan X ?”

3. Informed Consent
“Pak/bu, saya akan melakukan pemasangan kateter urin untuk mengatasi keluhan yang
ada pada bapak/ibu. Pada tindakan ini, saya akan memasukan selang kateter ke saluran
kencing bapak/ibu untuk mengalirkan air kencing yang tertahan di dalam kandung kemih
bapak/ibu. Tindakan ini mungkin akan sedikit kurang nyaman karena bapak/ibu harus
membuka pakaian bawahnya, dan ada rasa sedikit tidak nyaman saat saya memulai
prosedur. Apa bapak/ibu bersedia ?”

Jika bersedia : “Baik pak/bu silahkan ke ruang tindakan atau meja periksa. Nanti mohon
tunggu sebentar, saya akan menyiapkan alat yang diperlukan.”

PERSIAPAN
1. Persiapan Alat
a. Sarung Steril
b. Doek Steril
c. Nierbeken
d. Kom kecil berisi povidone iodine
e. Tang desinfeksi dan pinset anatomis serta klem
f. Kasa steril
g. Kateter sesuai ukuran dan kebutuhan
h. Lidocaine Jelly (Xylocaine)
i. Aquadest
j. Spuit 10 cc untuk Jelly
k. Spuit 5 cc untuk Aquadest (menggembungkan balon untuk fiksasi kateter)
l. Urine Bag Steril
m. Salep desinfeksi dan Plester
2. Persiapan Diri
“Saya melakukan SIMPLE HAND WASHING DAN HAND GLOVING”

3. Posisikan pasien dalam posisi litotomi

TINDAKAN
1. Desinfeksi sekitar orifisium uretra eksternum  glands penis  shaft
penis  sekitarnya sampai ke suprapubis, skrotum, dan perineum.

2. Pasan doek steril

3. Tangan kiri memegang penis  posisikan penis tegak ke atas

4. Minta pasien menarik napas  masukan Xylocaine 10 cc ke dalam


uretra  tutup OUE dengan jari tangan kiri

5. Minta pasien menarik napas  sambil memasukkan kateter dengan


lembut  hingga percabangan kateter menyentuh OUE
6. Mengecek apakah urin keluar spontan  atau perlu dibantu memasang
spuit di lubang kateter urin dan menariknya sampai tampak urin di
dalam spuit  menandakan kateter sudah masuk vesika urinaria 
klem lubang kateter urin

7. Isi balon kateter dengan aquades 5 cc  tarik kateter dengan lembut


sampai terasa ada tahanan dari balon

8. Lepas klem pada lubang kateter  sambungkan lubang kateter dengan


urine bag

9. Gantung urin bag di bawah tempat tidur (posisi lebih rendah dari
pasien) dan periksa selang urine bag tidak tertekuk dan aliran urin
lancar

10. Beri salep desinfeksi pada penis dan kateter diarahkan ke lipat paha
dan fiksasi selan dengan plester

11. Beri tahu pasien bahwa pemasangan kateter sudah selesai. Dan
meminta pasien untuk memasang selimut atau sarung yang sudah
disediakan

12. Buang bahan bekas pakai ke tempatnya dan bereskan alat-alat yang
sudah dipakai  lepas sarung tangan  lakukan simple hand washing

PENUTUP
1. Edukasi pasien
a. Usahakan untuk memperhatikan aliran urin tetap lancar masuk ke dalam urin bag.
b. Pertahankan selang urin bag tidak tertekuk.
c. Perhatikan apabila urin bag penuh  panggil perawat  ganti dengan yang baru.
d. Pertahankan fiksasi penis dan kateter di lipat paha.
e. Kateter urin harus diganti tiap dua minggu sekali.
f. Jika ada keluhan seperti ada tanda-tanda peradangan: nyeri, demam, dll segera
lapor ke petugas medis.

2. Ucapkan Terimakasih dan Mencatat Prosedur ke dalam Rekam Medis


#catatan
 Tujuan kateterisasi:
Tujuan diagnosis:
1. Mengukur residu urin/Menilai urin pada saat dan setelah operasi  monitoring output
urin
2. Memasukan bahan kontras
3. Pemeriksaan urodinamik  menentukan tekanan intravesika

Tujuan terapi:
1. Untuk evakuasi urin pada pasien yang tidak sadar atau pasien yang terbatas
pergerakannya.
2. Untuk evakuari pada pasien retensi urin  pada keadaan obstruksi infravesika atau pada
disfungsi vesika urinasia.
3. Sebagai splint setelah operasi rekonstruksi uretra.

 Kontraindikasi:
1. Tidak ada indikasi pemasangan  pasien normal
2. Trauma uretra

 Ukuran kateter untuk bayi adalah 6F (1 French = 0,33 mm diameter)


Pada bayi sampai anak, tiap tahun bertambah sesuai usia (misalnya usia 1 tahun 
6 + 1 = 7F; usia 4 tahun  6 + 4 = 10F) sampai 12 tahun, selebihnya sama seperti
dewasa.
Kategori Usia Ukuran Kateter (F)
Bayi dan Anak kecil 5–8
Anak yang lebih besar 8 – 12
Dewasa 14 – 16
3. Bidai
PENDAHULUAN
1. Perkenalan
“Selamat pagi bapak/ibu, perkenalan saya dokter Gandri yang bertugas pada hari ini”

2. Identitas Pasien
“Apa benar dengan bapak/ibu X, lahir tanggal xx/xx/xxxx, dengan keluhan X ?”

3. Informed Consent
“Pak/bu, saya akan melakukan pemasangan bidai karena dicurigai adanya patah tulang
pada kaki/lengan bapak/ibu. Tindakan ini, untuk mengatasi keluhan yang ada pada
bapak/ibu dan mencegah terjadinya perburukan akibat keluhan tersebut. Tindakan ini
mungkin akan sedikit kurang nyaman karena bapak/ibu harus membuka pakaian yang
menutupi kaki/lengan, dan ada rasa sedikit tidak nyaman saat saya memulai prosedur.
Apa bapak/ibu bersedia ?”

Jika bersedia : “Baik pak/bu silahkan dilepas pakaiannya, dibantu oleh walinya (atau oleh
saya atau perawat). Nanti, mohon tunggu sebentar, saya akan menyiapkan alat yang
diperlukan.”

PERSIAPAN
1. Persiapan Alat
a. Bidai/Spalk sesuai ukuran extremitas yang cedera
b. Verban Elastis
c. Padding
d. Kasa Steril
e. NaCl atau Aquadest (jika terdapat luka terbuka untuk pembersihan luka dengan
irigasi atau untuk menjaga kelembaban luka saat penutupan luka)

2. Persiapan Diri
“Saya akan melakukan SIMPLE HAND WASHING DAN HAND GLOVING”

3. Persiapan Pasien
a. Memastikan extremitas yang cedera sudah bebas dari pakaian dan aksesoris.
b. Memposisikan pasien dengan posisi terlentang dan extremitas lurus.
c. Memberitahu pasien bahwa akan dilakukan pemeriksaan awal terlebih dahulu
sebelum memasang bidai.
PEMERIKSAAN STATUS GENERALIS
1. Pengecekan Kembali Status Primary Survei
“Saya mengecek kembali status Airway, Breathing, Circulation, Disability apakah tetap
terkontrol dengan baik dan tetap stabil.”

2. Pemeriksaan Status Secondary Survei


“Saya lanjutkan dengan pemeriksaan HEAD TO TOE untuk mencari tahu apakah
terdapat gejala dan tanda lain, selain keluhan utama.”

PEMERIKSAAN STATUS LOKALIS


Untuk memastikan apakah terdapat tanda-tanda klasik Fraktur
a. Nyeri
b. Bengkak
c. Bisa Deformitas atau Tidak
d. Nyeri Sumbu :
- Nyeri bermakna  biasanya ada deformitas
- Nyeri tidak terlalu kuat  mungkin tidak deformitas
e. Fungsiolesa (Disfungsi anggota tubuh)

1. Look
a. Perhatikan ekspresi wajah karena nyeri
b. Perhatikan keadaan umum  apakah ada tanda-tanda anemia karena perdarahan
 apakah daerah distal dari bagian cedera tampak pucat ?
c. Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak  bedakan fraktur tertutup
dan fraktur terbuka
d. Apakah ada memar pada extremitas ?
e. Apakah ada pembengkakan pada extremitas ?
f. Perhatikan posisi extremitas  bandingkan dengan extremitas yang sehat 
apakah bagian yang cedera tampak deformitas (angulasi atau pemendekan) ?
g. Meminta pasien untuk menggerakan jari-jari extremitas

2. Feel
a. Apakah ada peningkatan suhu pada bagian yang cedera ?
b. Apakah ada penurunan suhu pada bagian distal dari cedera ?
c. Apakah ada nyeri tekan ?  ada kerusakan jaringan lunak
d. Meraba atau memberi rangsangan lainnya bagian yang cedera dan bagian distal
dari cedera  apakah ada gangguan sensoris ?
e. Memeriksa waktu pengisisan kapiler dengan memencet dan melepas kuku jari
f. Memeriksa denyut nadi dorsalis pedis  di metatarsal dua
g. Memeriksa denyut nadi tibialis posterior  di area antara melleolus medialis dan
tendon Achilles

PEMBIDAIAN
“Dari pemeriksaan status generalis dan lokalis pasien menunjukkan hasil yang
terkontrol baik dan stabil. Status neurovaskular lokalis ternilai baik.”

Jika ada luka terbuka  tutup luka dengan balutan steril (kasa yang dibasahkan)

1. Jika pulsasi distal tidak ada  coba luruskan extremitas dengan traksi
secara hati-hati dan pertahankan sampai bidai terpasang
a. Dengan melihat kesegarisan imajiner : Jari kedua kaki  pusat pergelangan kaki
 tuberositas tibialis
b. Jangan meluruskan extremitas secara paksa. Jika mengalami kesulitan  pasang
bidai pada posisi yang ditemukan

2. Memasang bidai di posterior extremitas dan pada sisi lateral atau


medial dari ekstremitas
a. Bidai harus melalui 2 sendi
b. Bidai dipasang pada extremitas yang telah lurus atau jika extremitas tidak bisa
diluruskan
c. Pembidaian memakai minimal 2 bidai/spalk  posterior terpenting
d. Pasang bantalan di atas tonjolan tulang

3. Membalut bidai dengan verban elastik dari arah distal ke proksimal


a. Meminta pasien berkemontar jika pembalutan terlalu kencang
b. Membuat simpul akhir di sisi lateral atau medial bidai yang terpasang

4. Setelah bidai dan balutan terpasang  cek kembali status


neurovaskular pasien.
“Jika tidak ada status neurovaskular, maka ulang pembalutan bidai, pemasangan bidai,
dan reposisi dengan traksi extremitas.”
PENUTUP
1. Memberi tahu pasien bahwa pemasangan bidai sudah selesai dan
mengucapkan terimakasih
“Pak/Bu pemasangan bidai sudah selesai. Bidai ini hanya bersifat sementara karena
hanya untuk mengurangi keluhan dan mencegah perburukan saat ini. Selanjutnya saya
akan membuat permohonan konsul ke ahli orthopedi untuk penanganan lebih lanjut ya
pak/bu.

2. Mencatat tindakan pembidaian dan status neurovaskular sebelum dan


sesusah pemasangan bidai
a. Berikan profilaksis tetanus jika kasus fraktur terbuka.
4. Saraf
Cedera Kepala
Tekanan Intrakranial
 Tekanan di dalam ruang intrakranial  satuannya mmHg
 Komponen intrakranial: Otak, Darah, dan Cairan Serbrospinalis
 TIK normal = 10 mmHg  TIK > 20 mmHg  bila menetap  Prognosis Buruk
 Doktrin Monro Kellie :
- Volume intrakranial harus selalu konstan
- Struktur kranium adalah rongga yang rigid dan tidak bisa mengembang
- Bila ada keadaan patologis (trauma/massa)  volume intrakranial akan berubah

 Peningkatan TIK  menurunkan perfusi otak  menyebabkan/memperberat iskemia


 Saat pengaliran cairan serebrospinal dan darah intravaskular mencapai titik dekompensasi 
TIK akan meningkat secara cepat.
 Hal-hal yang bisa menyebabkan peningkatan TIK :
1. Massa :
- Tumor serebri
- Edema serebri
- Abses
- Hematoma intrakranial

2. Sumbatan aliran cairan serebrospinal  Hidrosefalus


3. Benign Intracranial Hypertension  sindrom nyeri kepala yang dikarakteristikan oleh :
- Peningkatan cairan serebrospinal tanpa adanya lesi massa intrakranial atau dilatasi
ventrikel
- Komposisi cairan spinal yang normal
- Biasanya pemeriksaan fisik neurologi normal kecuali  papilloedema dan
kelumpuhan saraf VI (tapi jarang)
- Tingkat kesadaran normal

Aliran Darah Ke Otak


 Cedera otak berat sampai koma bisa  nurunin 50% aliran darah ke otak dalam 6 – 12 jam
setelah trauma.
- Aliran darah ke otak biasanya akan meningkat dalam 2 – 3 hari setelah trauma
- Aliran darah ke otak normalnya = 50 – 55 ml per 100 gr jaringan otak per menit
- Pasien yang tetap koma  aliran darah ke otak tetap di bawah normal
 Aliran darah ke otak yang rendah  gak bisa mencukupi kebutuhan metabolisme otak segera
setelah trauma  akibatnya adalah iskemia otak fokal/menyeluruh  infark otak
 Iskemia bisa diperberat dengan adanya :
- Hipotensi (agresif)
- Hipoksia (agresif)
- Hipokapnia (agresif)
- Hiperventilasi (agresif)

 Semua tindakan ditujukan untuk :


1. Menurunkan TIK
2. Pertahankan volume intravaskular  resusitasi cairan
3. Pertahankan tekanan arteri rata-rata
4. Mengembalikan oksigenasi dan normokapnia

Trauma Kapitis
Trauma mekanik langsung/tidak langsung terhadap kepala  gangguan neurologis (fisik,
kognitif dan psikososial) temporer/permanen.
 Akselerasi  kita yang ditabrak  kita mental jauh
- Coup : lesi sesuai arah benda datang (benda nabrak dari depan)  lesi munculnya di
depan duluan.
- Counter Coup : lesi berlawanan arah benda datang (benda nabrak dari depan 
hantaran momentum dilanjutkan ke arah belakang  lesi munculnya di belakang
(setelah di depan)

 Deselerasi  kita yang nabrak benda diam  kita membenturkan diri


Pemeriksaan untuk Cedera Kepala
Primary Survey
1. Pemeriksaan ATLS  ABCDE
 Penting di A dan D  etiologi utamanya bisa dari sini
 Sedangkan B, C, dan E  faktor-faktor yang bisa memperberat gangguan utama yang
dikeluhkan oleh pasien/yang terdapat pada pasien  harus sangat dipertimbangkan juga

2. Perlu imobilisasi dan stabilisasi bagian tubuh yang cedera, misalnya, fraktur. YANG
TERPENTING ADALAH :
 Imobilisasi dan stabilisasi batang tubuh  mencegah perburukan kalau misalnya ada
gangguan pada tulang belakang
 Imobilisasi dan stabilisasi tulang servikal  mencegah perburukan pada organ-organ
vital pada bagian servikal, misalnya batang otak
3. Lakukan pemeriksaan neurologi singkat, yaitu menilai:
- Respon pupil
- Skor GCS
- Ada atau tidaknya tanda lateralisasi

Indikator Jenis pemeriksaan Nilai


Respon Buka Mata (E) Spontan 4
Respon terhadap suara 3
Respon terhadap nyeri 2
Tidak membuka mata 1
Respon Motorik (M) Mengikuti perintah 6
Melokalisir nyeri 5
Fleksi normal (menarik anggota tubuh yang dirangsang) 4
Fleksi abnormal (Dekortikasi)  gangguan di batang otak 3
atau serebrum
Ekstensi abnormal (Deserebrasi)  gangguan di 2
mesensefalon dan kaudal diensefalon
Tidak ada respon 1
Respon Verbal (V) Berorientasi baik 5
Berbicara kacau (bingung) 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada 1
Skor GCS = E… M… V…
Terbaik = 15; Terburuk = 3
Secondary Survey
1. Inspeksi SELURUH KEPALA + WAJAH, mencari :
 Apakah ada laserasi ?
 Apakah ada tanda-tanda kebocoran cairan serebrospinal dari hidung dan telinga ?

2. Palpasi SELURUH KEPALA + WAJAH, mencari :


 Apakah ada fraktur ?
 Apakah laserasi yang ada itu disertai fraktur ?

3. Inspeksi SELURUH LASERASI PADA SCALP, mencari :


 Apakah jaringan otak terlihat ?
 Apa jenis fraktur ?  Apakah fraktur impresi pada tengkorak ?
 Apakah laserasi bersih ?  lukanya kotor gak ?
 Apakah ada bocoran cairan serebrospinal ?

4. Kembali tentukan skor GCS dan respon pupil

5. Periksa tulang servikal


 Pasien bisa diposisikan log roll untuk memeriksa tiap ruas tulang servikal dan tulang
belakang.
 ATAU  Pasien cukup terlentang, kita raba perlahan TIAP RUAS TULANG
SERVIKAL AJA.
 Palpasi per ruas tulang servikal  tanyakan apakah ada nyeri yg dirasakan ?
 Pasang COLLAR SEMIRIGID  jika dicurigai adanya gangguan pada tulang
servikal  mencegah perburukan akibat cedera
 Ajukan permohonan untuk pemeriksaan X-ray cervical cross table lateral

6. Catat apakah ada tanda-tanda gangguan neurologis

7. Pastikan status stabilitas pasien dengan observasi berkala  amati ABCDE lagi.

Penunjang untuk Cedera Kepala


Foto Polos Kepala
 Hal-hal yang bisa teramati dari penunjang ini :
1. Jenis frakturnya  apakah fraktur linear atau fraktur depresi ?
2. Apakah terlihat glandula pineal di garis tengah ?  terlihat (bila ada kalsifikasi), berarti
ada gangguan pada kelenjar pituirai atau hipofisis
3. Apakah tampak batas air-udara pada daerah sinus ?  cairan yang memenuhi rongga
sinus
4. Apakah tampak pneumosefal ?  adanya udara atau gas di ruang intrakranial  adanya
gangguan pada kontinuitas tengkorak
5. Apakah terlihat ada fraktur pada tulang wajah ?
6. Apakah terlihat ada benda asing di ruang intrakranial ?

 Indikasi Foto Polos Kepala :


1. Kehilangan kesadaran dan amnesia
2. Nyeri kepala menetap
3. Gejala neurologis fokal
4. Jejas pada kulit kepala
5. Kecurigaan luka tembus
6. Kebocoran cairan serebrospinal atau darah dari hidung atau telinga
7. Deformitas tulang kepala dan wajah
8. Pasien tidak kooperatif sehingga susah melakukan penilaian dari tanda klinis  pasien
mabuk, tidak sadar, intoksikasi obat, epilepsi, anak.
9. Pasien GCS normal, tapi sangat berisiko jatuh  lansia atau kondisi lainnya
CT Scan Kepala
 Indikasi CT Scan Kepala :
1. Pasien cedera kepala ringan (GCS = 13 – 15)
2. GCS < 15 setelah 2 jam pasca trauma
3. Curiga adanya fraktur impresi terbuka atau tertutup
4. Adanya tanda fraktur basis kranii
5. Muntah lebih dari 2 kali
6. Usia > 65 tahun
7. Hilang kesadaran lebih dari 5 menit
8. Amnesia lebih dari 30 menit sebelum kejadian trauma
9. Mekanisme trauma yang membahayakan  orang ditabrak sampe mental atau jauh dari
ketinggian

 Hal-hal yang harus dievaluasi :


1. Pastikan hasil CT scan sesuai dengan identitas pasien
2. Pastikan CT scan dibuat tanpa kontras
3. Fokus pada hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik  fokus ingin melihat apa dari hasil
CT scan  akan memperkuat diagnosis klinis
4. Periksa komponen SCALP (Skin, Connective tissue, Aponeurosis, Loose areolar tissue,
dan Perikranium)  curiga, apakah trauma eksternal bisa menyebabkan kontusio atau
edema serebri ?
5. Cari apakah ada FRAKTUR TENGKORAK ? perhatikan :
- Garis sutura (pertemuan tulang tengkorak)  apakah ada kerenggangan atau
deformitas lainnya ?
- Apakah ada fraktur impresi (fraktur yang melebihi ketebalan tengkorak) ?
- Apakah ada fraktur terbuka yang perlu konsultasi bedah saraf ?
- Jalur jalannya peluru bisa tampak sebagai garis hipodens

6. Periksa KESIMETRISAN GYRUS DAN SULCI  kalo gak simetris  pertimbangkan:


Hematoma Subdural Akut
- Khasnya : area hiperdens yang meliputi dan menekan gyrus dan sulci pada
seluruh hemisfer  GAMBARANNYA GAK MENYATU SAMA TULANG
TENGKORAK
- Bisa nyebabin pergeseran ventrikel melewati garis tengah
- Kejadiannya lebih sering daripada hematoma epidural
- Bisa terjadi berbarengan sama kontusio serebri dan hemotoma intraserebral
Hematoma Epidural Akut
- Khasnya : hiperdens berbentuk lentikuler atau bikonveks 
GAMBARANNYA SEPERTI MENYATU SAMA TULANG  lokasinya di
bawah tengkorak  menekan gyrus dan sulci
- Bisa nyebabin pergeseran ventrikel melewati garis tengah
- Lokasi paling sering  regio temporal atau temporoparietal

7. Periksa HEMISFER SEREBRAL DAN SEREBELLAR


- Bandingkan densitas dan kesimetrisan antara dua hemisfer
- Hematoma (akut) akan tampak hiperdens
- Kontusio akan tampak bercak-bercak (pungtata)
- Diffuse Axonal Injury bisa tampak normal atau scattered  daerah kecil kontusio
dan ada area hipodens
8. Periksa VENTRIKEL
- Apakah ada perubahan dalam ukuran dan kesimetrisanya ?
- Lesi massa yang besar  bisa menekan dan mengubah bentuk  khususnya
VENTRIKEL LATERAL
- Peningkatan TIK  sering menyebabkan penurunan ukuran
- Perdarahan intraventrikel  tampak hiperdens di dalam ventrikel

9. Tentukan ADANYA PERGESERAN


- Pergeseran garis tengah  septum pelusidum (di antara dua ventrikel) bergeser
 penyebabnya : Hematoma atau Edema
- Garis tengah = garis melintang antara krista galli (di anterior) dan inion (di
posterior)
- Pergeseran 5 mm dari skala pada CT scan  lesi massa sudah jadi indikasi dan
perlu tindakan dekompresi dengan pembedahan

10. Periksa STRUKTUR MAKSILOFASIAL  apakah ada fraktur basis kranii atau fraktur
lamina cribrosa ?
- Apakah ada fraktur tulang wajah ?
- Apakah ada air-fluid level pada rongga sinus dan mastoid ?  curiga ada
kebocoran cairan serebrospinal

11. Cari 4C pada daerah hiperdens :


- Contrast (kontras)
- Clot (bekuan darah)
- Cellularity (tumor)
- Calcification (kelenjar pineal atau pleksus koroid)

Hal yang perlu dilaporkan untuk konsul Cedera Kepala


1. Usia
2. Mekanisme trauma dan waktu kejadian
3. Respirasi dan kardiovaskular  tekanan darah dan saturasi oksigen
4. Status neurologis  GCS, ukuran pupil, refleks cahaya
5. Cedera neurologis yang bersifat fokal
6. Cedera penyerta yang lain
7. Hasil pemeriksaan penunjang  CT scan
8. PENATALAKSANAAN HIPOTENSI ATAU HIPOKSIA
Algoritma Penatalaksanaan Cedera Kepala
Terapi Medikamentosa Cedera Kepala
1. Cairan Intravena
 Terdiri : cairan intravena, darah, dan produk darah
 Harus diberikan sesuai kebutuhan  untuk resusitasi  tujuannya adalah
mempertahankan NORMOVOLEMIA
 Atasi HIPONATREMIA  hiponatremia bisa menyebabkan edema otak
 JANGAN BERIKAN CAIRAN SECARA BERLEBIHAN
 JANGAN GUNAKAN CAIRAN HIPOTONIK

2.
12. Urologi
Konsep Urologi
Keluhan Utama
1. Keluhan Sistemik  ini biasanya menunjukkan faktor penyulit dari kelainan urologi
Misalnya :
a. Gagal ginjal
b. Peradangan akibat infeksi  seringkali pasien datang dengan demam

2. Keluhan Lokal (Urologi)  seringkali pada sistem saluran kemih atau fungsi reproduksi
 Saluran kemih  bisa karena: trauma, tumor, ISK, batu, penuaan
a. Nyeri akibat kelainan urologi
b. Keluhan miksi

 Fungsi reproduksi  bisa karena: trauma, tumor, Infeksi Menular Seksual,


kongenital, penuaan
a. Disfungsi seksual
b. Infertilitas

Riwayat Penyakit
Nyeri  bisa berupa :
 Nyeri lokal (dirasakan pada organ urogenitalia)
1. Nyeri Ginjal  di pinggang  kostavertebra
- Akibat regangan kapsul ginjal, akibat:
Pielonefritis akut yang nyebabin edema
Obstruksi saluran kemih yang nyebabin hidronefrosis
Tumor ginjal

2. Nyeri Vesika  di daerah suprasimfisis  muncul saat VU penuh  berkurang saat VU


kosong
- Akibat :
Retensi urin yang nyebabin overdistensi VU
Peradangan pada VU
 Nyeri alih (dirasakan jauh dari organ sebenarnya/sumbernya)
1. Nyeri Kolik
- Akibat spasme otot polos ureter karena gerakan peristaltik  ada hambatan dari
batu, bekuan darah, atau benda asing
- Karakteristik : sangat sakit, hilang-timbul, sering nyebabin mual-muntah
- Awalnya di sudut kostovertebra  lalu di dinding abdomen  ke regio inguinal
 hingga ke daerah genital

2. Nyeri Prostat
- Akibat peradangan yang nyebabin edema kelenjar prostat dan distensi kapsul
prostat.
- Karakteristik : sering disertai keluhan miksi (frekuensi, disuria, retensi urin)
- Biasanya dirasakan di: abdomen bawah, inguinal, perineal, lumbosakral, atau
rektum

 Bisa nyeri lokal dan nyeri alih tergantung situasi


1. Nyeri Testis/Epididimis
a. Bisa karena kelainan organ di kantong skrotum  nyeri lokal
- Nyeri akut  disebabkan oleh torsio testis, epididimitis/orkitis akut, trauma testis
- Nyeri tumpul di sekitar testis  disebabkan oleh varikokel, hidrokel, tumor testis

b. Bisa karena kelainan organ di luar kantong skrotum  nyeri alih


- Nyeri testis seringkali dirasakan hingga ke abdomen
- Nyeri karena peradangan pada ginjal dan inguinal sering dirasakan di daerah
skrotum

2. Nyeri Penis
a. Nyeri pada ujung penis  parafimosis dan peradangan peripusium/glans penis
b. Nyeri daerah penis saat sedang tidak ereksi  terutama pada meatus uretra
eksternum  peradangan mukosa VU atau uretra

Keluhan Miksi  bisa berupa :


 Gangguan pada produksi urin
1. Anuria  gak ada produksi urin di ginjal
2. Oligouria  jumlah sekresi urin yang berkurang
 Dewasa : < 400 ml/24 jam
 Bayi : < 1 ml/kgBB/hari
 Anak : < 0,5 ml/kgBB/hari
3. Polyuri  jumlah sekresi urin yang meningkat  > 40 ml/kgBB/24 jam
 Lower Urinary Tract Symptoms
1. Polakisuria  sering kencing  intervalnya 2 kali kencing selama < 2 jam
 Karena : kapasitas VU berkurang dan ada urin sisa di dalam VU

2. Disuria  nyeri saat kencing


 Karena : peradangan mukosa uretra akibat infeksi atau instrumen

3. Stranguria  pancaran kencing lambat + nyeri


 Karena : spasme uretra dan VU

4. Tenesmi Vesicae  rasa pengen kencing terus


 Karena : mukosa VU jadi sangat sensitif akibat peradangan pada VU atau sekitar
VU

5. Urgensi  kencing gak bisa ditunda lama-lama


 Karena : adanya rangsangan pada VU atau leher VU

6. Nokturia  sering kencing saat malam hari  pasien sering terbangun saat malam hari
 ganggu kualitas tidur

7. Enuresis  ngompol sewaktu tidur malam hari  bangun pagi kasur dan pakaian basah
 Gak normal kalo keluhan ini terjadi pada usia > 3 tahun, bisa akibat infeksi VU,
stenosis uretra, psikis, neuropatic bladder.

8. Hesitansi  pasien harus mengejan untuk memulai kencing

9. Intermitensi  kencing terputus-putus

10. Retensi Urin  VU gak mampu mengosongkan isinya  timbunan sisa urin
 Karena : sumbatan mekanis di traktus distal (obstruksi) dan gak ada kontraksi otot
VU (fungsional)

11. Burning Urination  sensasi panas saat kencing


 Karena : infeksi akut (sistitis akut, uretritis akut, prostatitis akut)

12. Pyuria  kencing keruh  bercampur nanah


 Keruh di awal kencing  gangguan di traktus distal  uretritis
 Keruh di akhir kencing  gangguan di traktus tengah  abses prostat atau
divertikel VU
 Keruh selama kencing  gangguan di traktus tengah atau proksimal  sistitis
atau ureteritis atau pielonefritis

13. Hematuria  kencing merah  bercampur darah


 Bisa diklasifikasikan seperti Pyuria untuk memperkirakan letak gangguan

14. Cloudy Urin  kencing keruh + bau  akibat ISK


15. Pneumaturia  kencing berbuih  bercampur udara
 Karena : ada fistula yang menghubungkan VU dan usus; ada akibat
fermentasi glukosa pada diabetes melitus

16. Inkontinensia  gak bisa nahan kencing secara sadar atau tidak  ada 4 macam :
a. Paradoksal  ngompol saat VU penuh  obstruksi infravesika  BPH
b. Stres  ngompol saat tekanan abdomen meningkat  otot panggul lemah
c. Urge  ngompol saat ada rasa pengen kencing  sistitis
d. Kontinu  ngompol terus  sfingter eksterna VU rusak atau ada fistel VU

Keluhan pada skrotum dan isinya  bisa berupa :


1. Buah zakar membesar
2. Ada bentukan seperti cacing di dalam kantong skrotum  varikokel
3. Buah zakar gak ada di kantong skrotum  kriptokismus

Keluhan disfungsi seksual  bisa berupa :


1. Libido menurun
2. Kekuatan ereksi menurun
3. Disfungsi ereksi
4. Ejakulasi retrograd
5. Tidak pernah merasakan orgasme
6. Ejakulasi dini

Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan Ginjal
1. Palpasi ginjal  teknik bimanual
 Tangan kiri di belakang pinggul  di kostovertebrae untuk mengangkat ginjal
 Tangan kanan meraba ginjal dari perut depan  di bawah margo kosta  meminta
pasien untuk menarik napas
 Lakukan untuk sisi lainnya dengan teknik yang sama
 Ginjal yang membesar karena hidronefrosis atau tumor mungkin teraba
2. Perkusi ginjal  adakah nyeri tekan/ketuk pada sudut kostovertebrae ?
 Tangan kiri berada di belakang pinggul  telapak tangan di kostovertebrae
 Tangan kanan mengepalkan tinju  memukul punggung tangan kiri
 Lakukan untuk sisi lainnya dengan teknik yang sama
 Ginjal yang membesar karena hidronefrosis atau tumor akan terasa nyeri saat perkusi

 Pemeriksaan Vesika Urinaria


1. Inspeksi daerah suprasimfisis
 Apakah terlihat ada benjolan/massa atau jaringan parut bekas irisan/operasi ?
 Apakah tampak gambaran tidak normal lainnya pada daerah suprasimfisis ?

2. Palpasi daerah suprasimfisis


 Apakah VU teraba penuh ?
 Apakah ada nyeri tekan pada VU ?
 Apakah teraba massa di dalam VU ?  mungkin menunjukkan adanya tumor VU

3. Perkusi  menenukan batas ata VU  akan terdengar dull karena ada cairan atau massa
dalam VU

 Pemeriksaan Genitalia Eksterna


Posisi pasien berbaring
1. Inspeksi Kulit dan Rambut
 Perhatikan kulit di lipat paha  apakah ada gangguan kulit (misal, peradangan
akibat infeksi) di lipat paha ?
 Perhatikan rambut pubis  apakah distribusi merata atau adakah kutu rambut
pubis ?

2. Inspeksi Massa di lipat paha


 Minta pasien untuk mengedan  “pak coba mengedan”  kita perhatikan apakah
muncul benjolan yang merujuk pada kasus hernia

3. Inspeksi Penis dan Skrotum


 Apakah pasien disunat ?
 Perhatikan ukuran penis dan skrotum
 Apakah ada lesi pada penis ?
 Apakah ada edema pada penis ?
 Apakah ada lesi (luka, ruam, atau gangguan kulit lainnya) pada skrotum ?
4. Palpasi Nodus Inguinal  periksa KGB
 Meraba dengan jari di sepanjang ligamentum inguinal  adakah limfadenopati
inguinal ?

Posisi pasien berdiri


1. Inspeksi Penis
 Jika tidak disunat  prepusium harus diretraksi  apakah ada fimosis ?  jika
tidak fimosis  perhatikan apakah ada kelainan pada glans penis ?

2. Inspeksi Meatus Eksternus


 Perhatikan letaknya
 Buka lubang kencingnya  perhatikan gangguan pada lubang kencing yang bisa
berupa sekret, kutil atau stenosis

3. Palpasi Penis  palpasi dari glans penis sampai basis penis


 Palpasi korpus spongiosum dan kospus kavernosum  apakah ada parut, ulkus,
nodul, indurasi, atau peradangan lainnya ?
 Palpasi Uretra  palpasi dari meatus eksternus sampai pangkal korpus
spongiosum

 Pemeriksaan Skrotum dan Isinya


1. Inspeksi Skrotum
 Perhatikan kontur skrotum
 Posisi testis kiri lebih rendah dibandingkan testis kanan

2. Palpasi Testis
 Palpasi testis satu-persatu  perhatikan ukuran, bentuk, dan konsistensi 
bandingkan antar testis.
 Testis normal: konsistensi seperti karet

3. Palpasi Epididimis dan Vas Deferens  selali bandingkan antara kedua sisi
 Tentukan lokasi dan palpasi epididimis
 Palpasi korda spermatika  dari epididimis sampai ke cincin inguinal eksterna 
struktur yang paling menonjol adalah vas deferens yang teraba seperti tali keras

4. Transluminasi Massa Skrotum


1. Jika isi skrotum tampak menerawang  berisi cairan  hasil positif
 Pemeriksaan colok dubur
1. Periksa tonus sfingter ani dan refleks bulbo-kavernosus
2. Apakah ada massa di dalam lumen rektum ?
3. Menilai keadaan prostat
4. Apakah ada massa pada posterior VU ?

Infeksi Saluran Kemih


Definisi  invasi dan multipikasi bakteri pada ginjal, ureter, VU, uretra
1. Bateriuremia Asimptomatik  kolonisasi bermakna (> CFU/ml)  minimal 2x
pemeriksaan dengan spesimen berbeda  uropatogen yang ditemukan harus sama
2. ISK nonkomplikata  gak ada faktor penyulit pada pasien
3. ISK komplikata  ada faktor penyulit, berupa:
 Kelainan anatomi dan fisiologi  BPH, batu saluran kemih, Tumor, Neurogenic
bladder, dan fistula.
 Imunokompromais
 Multiresisten
 Pemakaian instrumen saluran kemih

Epidemiologi
1. Banyak terjadi pada wanita
2. Pada usia bayi, kasus banyak pada pria  karena risiko kelainan kongenital
3. Pada usia > 50 tahun, kasus banyak pada pria  adanya obstruksi akibat BPH

Etiologi  bakteri batang gram negatif dari saluran cerna bermigrasi ke


saluran kemih.
1. Jalur masuk
 Asenden  mikroorganisme di sekitar area genital masuk ke saluran kemih lewat
uretra
 Hematogen  pada kasus bakteremia

2. Patogen lain : Jamur dan BTA


Faktor Risiko
1. Uretra yang lebih pendek pada wanita
2. Kebiasaan menahan BAK
3. Penggunaan instrumen
4. Riwayat batu saluran kemih
5. Riwayat operasi saluran kemih
6. Riwayat diabetes melitus
7. Riwayat BPH
8. Riwayat penggunaan imunosupresan atau terapi hormon
9. Kelainan anatomis genital
10. Spina bifida

Patofisiologi
1. Ukuran dan panjangnya uretra  jarak keterhubungan antara lingkungan luar dan dalam
tubuh
2. Gangguan pada aliran kencing  aliran yang searah dan lancar ini bersifat proteksi
3. Gangguan pada pH dan substansi dalam urin  pH asam dan kandungan urea serta asam
organik ini bersifat proteksi
4. Keseimbangan flora normal di sekitar uretra dan perineum juga bersifat proteksi
5. Penggunaan instrumen dalam saluran kencing  juga bisa mempengaruhi risiko kolonisasi
bakteri

Gejala dan Tanda


Pada sistem organ
Sistem Gejala dan Tanda
Organ
Umum Demam, Takikardia
Nefrologi Disuria, Frekuensi, Hematuria, Polyuria, Polakisuria
Abdomen Mual, Muntah, Nyeri abdomen, Nyeri ketok sudut kostovertebrae,
Nyeri tekan suprapubik

Manifestasi Klinis Khusus


1. Sistitis
 Gejala Tipikal : Disuria, Frekuensi, Urgensi, Urin bau tidak sedap
 Gejala Lain : Polakisuria, Nokturia, Hesitansi, Nyeri suprapubik, Hematuria
2. Pielonefritis
 Gejala Akut : Demam-Menggigil, Mual, Muntah, Nyeri abdomen, Nyeri pinggang
 Dapat didahului dengan gejala sistitis
 Komplikasi : Abses yang ditandai dengan demam tidak membaik setelah diberikan
antibiotik

3. Prostatitis
 Gejala Iritatif : Disuria, Frekuensi, Nyeri pada pelvis prostatika dan area perineal,
Demam
 Gejala Obstruksi saluran kemih

4. Pada Bayi  anoreksia  berat badan sulit naik

5. Pada Neonatus
 Gejala seperti sepsis : Demam, Apatis, BB sulit naik, Muntah, Mencret,
Anoreksia/Sulit minum

Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis
 Hematuria  eritrosit > 5/LBP
 Piuria
- Anak  leukosit > 5/LBP
- Dewasa  leukosit > 10/LBP

 Leukosit esterase dan nitrit positif

2. Hitung Koloni Bakteri


 Bakteriuria signifikan ditentukan dengan ditemukannya bakteri CFU/ml pada
urin pancar tengah

3. Kultur Urin  GOLD STANDARD

4. Uji Sensitivitas Antibiotik  JIKA SUDAH DITENTUKAN BAKTERI PENYEBABNYA

5. Darah Lengkap
 Leukositosis
 Neutrofilia
 Peningkatan laju endap darah
6. Fungsi Ginjal  peningkatan ureum dan kreatinin serum

7. Pencitraan Radiologi  dapat dilakukan bila ada indikasi pemeriksaan


 Foto polos abdomen
 Ultrasonografi
 Intravena pielografi

Diagnosis
1. Perhatikan Faktor-faktor risiko untuk terjadinya ISK dari Identitas pasien  jenis kelamin,
usia
2. Tanyakan Keluhan Utama  “ada keluhan apa yang bapak/ibu rasakan sehingga bapak/ibu
datang ke rumah sakit ?’  biasanya pada kasus ISK keluhannya adalah nyeri atau rasa tidak
nyaman saat kencing
3. Menggali Informasi Riwayat Penyakit Sekarang, Dahulu, Keluarga, Pengobatan,
Sosioekonomi dan Psikososialnya  untuk melengkapi atau menspesifikan info tambahan
mengenai keluhan utama  memikirkan kecurigaan diagnosis sesuai keluhan dan info
lainnya.
4. Lakukan pemeriksaan fisik umum  Head to Toe
5. Lakukan pemeriksaan lokal pada urogenitalia
6. Pertimbangkan pemeriksaan penunjang untuk lebih memastikan gangguan pada sistem
urologi pada pasien  untuk menyingkirkan perkiraan diagnosis banding dan persiapan
perencanaan untuk penatalaksanaan pada pasien.

Diagnosis Banding
1. Infeksi Menular Seksual
2. Batu Saluran Kemih
3. Overactive Bladder

Komplikasi
1. ISK Komplikata banyak terjadi pada pasien diabetes melitus  abses perinefritik,
pielonefritis atau sistitis emfisematosa, nekrosis ginjal, syok sepsis

2. ISK pada ibu hamil bisa menyebabkan  bayi prematur, pertumbuhan bayi lambat, kelainan
neurologis bayi
Terapi
Sebelum ada hasil kultur urin dan uji sentivititas antibiotik  BERIKAN ANTIBIOTIK
EMPIRIK
1. Bila ditemukan gejala sistemik dan ISK terjadi pada neonatus atau bayi  PERLU
DIRAWAT INAP DAN BERIKAN ANTIBIOTIK INTRAVENA

Farmakoterapi ISK Pada Anak


Rute Obat Dosis (mg/kgBB/hari) Frekuensi
Tiap 12 jam (bayi < 1 minggu)
Ampisilin 100
Tiap 6 – 8 jam (bayi > 1 minggu)
Sefotaksim 150 Dibagi tiap 6 – 8 jam
Tiap 12 jam (bayi < 1 minggu)
Parenteral Gentamisin 5
Tiap 6 – 8 jam (bayi > 1 minggu)
Seftriakson 75 1 kali/hari
Seftazidim 150 Dibagi tiap 6 – 8 jam
Sefazolin 50 Dibagi tiap 8 jam
Amoksisilin 20 – 40 Tiap 8 jam
Ampisilin 50 – 100 Tiap 6 jam
Oral
Sefiksim 4 Tiap 12 jam (1 kali malam hari)
TMP-SMX 24 Tiap 12 jam

2. Lini pertama untuk Sistitis Akut Nonkomplikata


 Trimetropim-Sulfametoksazol (TMP-SMX)  Kotrimoksazol  bakteriostatik
- PO 2 x 960 mg selama 3 hari
 Nitrofurantoin  bakterisid
- PO 2 x 100 mg selama 5 – 7 hari

3. Lini pertama untuk Pielonefritis Akut Nonkomplikata


 Golongan Fluorokuinolon selama 3 – 7 hari  Siprofloksasin PO 2 x 500 mg selama 7
hari
 TMP-SMX  PO 2 x 960 mg selama 14 hari

4. Pilihan terapi untuk ISK Komplikata  tergantung hasil kultur urin dan uji sensitivitasnya

Bila hasil kultur sudah ada  lakukan uji sensitivitas antibiotik  BERIKAN ANTIBIOTIK
YANG SESUAI
Pada ibu hamil  amoksisilin, amoksisilin-klavulanat, nitrofurantoin, fosfomisin
- Jangan kasih TMP-SMX
- Kalo terpaksa, misalnya gak ada pilihan di atas  berikan golongan kuinolon 
siprofloksasin  tapi kudu diperingatkan risiko efek sampingnya
Farkamoterapi Oral untuk Sistitis Nonkomplikata pada Dewasa
Obat Dosis Frekuensi
Amoksisilin 500 mg Tiap 8 – 12 jam
Amoksisilin-Klavulanat 500 mg/125 mg Tiap 8 – 12 jam
Fostomisin 3000 mg Dosis tunggal
Levofloksasin 500 mg Tiap 24 jam
Nitrofurantoin 100 mg Tiap 12 jam
Ofloksasin 400 mg Tiap 12 jam
Siprofloksasin 500 mg Tiap 12 jam
TMP-SMX 160 mg/800 mg Tiap 12 jam

Farmakoterapi Parenteral untuk ISK Komplikata dan Pielonefritis Akut pada Dewasa
Obat Dosis Frekuensi
Ampisilin 1000 mg Tiap 6 jam
Seftriakson 1000 – 2000 mg Tiap 24 jam
Sefepim 1000 – 2000 mg Tiap 12 jam
Levofloksasin 500 – 750 mg Tiap 24 jam
Gentamisin 3 – 5 mg/kgBB Tiap 24 jam
Meropenem 1000 mg Tiap 8 jam

Kriteria Rujukan  bila ada komplikasi/faktor penyulit


Prognosis  ISK Nonkomplikata umumnya baik  ditunjukan dari:
1. Perbaikan klinis setelah 48 jam pengobatan
2. Tidak menyebabkan gangguan fungsi ginjal

Batu Saluran Kemih


Definisi  ada batu di dalam traktus urinarius
1. Lokasi  bisa dari kaliks ginjal sampai ke uretra
2. Komposisi batu : kalsium, fosfat, oksalat, sistin, xantin, dan asam urat

Epidemiologi
1. Sering terjadi pada pria
2. Sering terjadi pada usia 40 – 50 tahun
Etiologi
1. Supersaturasi urin  rendahnya zat inhibitor dan tingginya zat promoter pembentuk batu 
memicu kristalisasi
2. Infeksi bakter yang memproduksi urea  misalnya, Proteus atau Klebsiella
3. Kelainan genetik  misalnya, kelainan pada proses absorbsi sistin di mukosa dinding usus
 sistinuria
4. Kelainan anatomis yang berhubungan dengan peristiwa obstruksi atau stasis urin :
- Ureteropelvic junction obstruction (UPJO)
- Horseshoe kidney
- Caliceal diverticula
- Medullary sponge kidney

Patofisiologi
1. Nyeri kolik  obstruksi batu  peningkatan tekanan intralumen  peregangan organ 
perangsangan nerve ending  sensasi kolik
2. Nyeri juga bisa terjadi karena :
- Mediator inflamatorik lokal
- Edema
- Hiperperistalsis
- Iritasi mukosa

Klasifikasi Batu Berdasarkan Etiologi


Batu Non Infeksi Kalsium oksalat
Kalsium fosfat termasuk brusit dan karbonat apatit
Asam urat
Batu Infeksi Amonium magnesium fosfat
Karbonat apatit
Amonium urat
Penyebab Genetik Sistin
Xantin
2,8 – Dihydroksiadenin
Batu akibat Obat Allopurinol
Amoxicillin / Ampicillin
Ceftriaxon
Quinolones
Ephedrine
Indinavir
Magnesium trisilicate
Suphonamides
Triamterene
Zonisamide
Faktor Risiko
Intrinsik
1. Usia 30 – 50 tahun
2. Pria
3. Riwayat batu saluran kemih sebelumnya
4. Herediter  riwayat keluarga

Ekstrinsik
1. Geografi  ada pengaruh dari iklim, temperatur
- Iklim yang panas
- Dehidrasi
- Kadar mineral di dalam air yang dikonsumsi

2. Faktor pencetus  obesitas, diabetes, dan sindrom metabolik


3. Diet  diet tinggi purin, oksalat, dan kalsium
4. Medikasi
5. Aktivitas fisik yang kurang  pekerjaan yang banyak duduk

Anamnesa
1. Nyeri kolik berdasarkan lokasi batu :
a. Batu Kaliks Ginjal
- Nyeri pinggang bisa berupa pegal hingga kolik  nyeri dirasakan dari pinggang
menjalar ke depan dan ke daerah kemaluan (atau menjalar ke lipat paha
ipsilateral)
- Nyeri terus-terusan dan hebat akibat PIELONEFROSIS

b. Batu Ureter
- Nyeri kolik disertai mual dengan atau tanpa muntah
- Nyeri alih yang khas  selama batu bertahan di tempat yang menyumbat 
selama itu kolik akan terjadi berulang sampai batu bergeser dan memberi
kesempatan untuk urin lewat
c. Batu VU
- Batu menghalangi aliran kencing akibat menutupi leher VU
- Kencing awalnya lancar  tiba-tiba berhenti  menetes dan ada nyeri

d. Batu Uretra
- Batu sewaktu kencing terbawa sampe ke uretra
- Kencing yang tiba-tiba berhenti  menetes dan ada nyeri

2. Keluhan Miksi
- Disuria
- Hematuria  didahului oleh kolik  akibat ada trauma pada mukosa
- Frekuensi / Urgensi
- Retensi Urin
- Anuria

3. Keluhan Sistemik
- Demam
- Mual-Muntah
- Tanda-tanda gagal ginjal

Pemeriksaan Fisik
1. Generalis  hipertensi (salah satu tanda gagal ginjal), demam, anemia, dan syok
2. Lokal Urologi
 Sudut kostovertebrae : nyeri tekan, nyeri ketok, pembesaran ginjal
 Suprasimfisis : nyeri tekan, teraba batu, VU penuh
 Genitalia eksterna : teraba baru di uretra
 Colok dubur : palpasi bimanual teraba batu VU

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah
 Menilai perdarahan : Hemoglobin dan Eritrosit
 Menilai infeksi : Leukosit
 Faktor penyebab batu : Elektrolit
 Fungsi ginjal : Ureum dan Kreatinin

2. Urinalisis
 Menilai perdarahan mikroskopik : Eritrosituria
 Menilai infeksi : Leukosituria, Bakteriuria (Nitrit +), Kultur Urin
 Faktor penyebab batu : pH Urin, Sedimen urin berupa kristal pembentuk batu, Elektolit
3. Pencitraan
 Foto polos abdomen  melihat kemungkinan adanya batu radioopak
 USG  melihat kalsifikasi di dalam traktus urinarius dan dilatasi
- GOLD STANDARD untuk ibu hamil dan anak-anak

 Intravena Pielografi (IVP)  bisa melihat batu semi opak atau non opak
- Menilai fungsi ginjal dan drainase sistem pengumpul
- Menilai kalsifikasi dalam traktur urinarius
- Menilai defek pengisian saat kontras melewati traktur urinarius

 Pielografi Retrogard
 Scintigraphy
 CT Urografi Nonkontras  ini adalah GOLD STANDARD untuk menilai kalsifikasi 
SEMAKIN BATU TAMPAK SEPERTI TULANG  BATU ITU KERAS

4. Analisis Batu  menilai komposisi kimiawi  memperkirakan etiologi batu

#Catatan !
Pemeriksaan IVP gak boleh dilakukan pada pasien :
- Alergi kontras media
- Level kreatinin serum > 200 /L (> 2 mg/dl)
- Riwayat pengobatan metformin
- Riwayat myelomatosis

Penatalaksanaan
Penanganan Awal
1. Hidrasi  gunakan Kristaloid
2. Analgesik
- Ketorolac 30 mg IV sebagai dosis inisial  lanjut 3 – 4 x 15 mg selama 3 hari
- Morphine Sulphate 6 x 1 – 5 mg IV  jika diperlukan

3. Antiemetik  ondansentron 3 x 4 mg IV  jika diperlukan

Konservatif
1. Alasan : batu < 5 mm  diharapkan dapat keluar spontan dan dapat dilakukan manajemen
observasif pada pasien tanpa komplikasi  dapat dibarengi dengan pemberian diuretik atau
menyarankan agar pasien banyak minum
2. Memfasilitasi pengeluaran batu dengan obat alfa blocker atau calcium-channel inhibitor 
untuk dilatasi otot polos pada saluran kemih
- Tamsulosin 1 x 0,4 mg PO
- Alfuzosin 1 x 10 mg PO
- Silodosin 2 x 4 mg PO selama 4 – 6 minggu

3. Disolusi kemolitik batu berdasarkan alkalinisasi (dibuat situasi jadi basa) batu asam urat
dengan oral kemolisis  berupa : Sitrat atau Natrium Bikarbonat

4. ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy)  gelombang kejut untuk menghancurkan


batu  diharapkan batu bisa keluar bersama urin
 Kekerasan baru :
- KERAS  Kalsium oksalat monohidrat dan Sistin
- Lebih lunak  mudah hancur  Kalsium oksalat dihidrat, asam urat, amonium
magnesium fosfat

 Kontraindikasi absolut ESWL :


- Infeksi saluran kemih akut
- Gangguan perdarahan tidak terkoreksi
- Kehamilan
- Sepsis
- Obstruksi batu distal

5. Endo Urologi  tindakan INVASIF MINIMAL  alat dimasukkan langsung ke traktus


urinarius, melalui uretra atau insisi kecil pada kulit (perkutan)  menggunakan energi
hidrolik, energi gelombang suara, atau energi laser
 PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy)  alat endoskopi dimasukkan ke sistem
kalises melalui insisi pada kulit  batu dipecah jadi fragmen  batu dapat
dikeluarkan dari saluran ginjal
 Litotripsi  alat litotriptor (pemecah batu) dimasukkan ke dalam VU  batu yang
sudah pecah bisa diambil dengan EVAKUATOR ELLIK
 Ureteroskopi atau Uretero-renoskopi
Operatif
1. Alasan :
 Batu > 5 mm  perlu dilakukan manajemen aktif
 Jika batu diperkirakan tidak bisa keluar melalui Terapi Konservatif

2. Bedah Laparoskopi  usahakan yang seminimal invasif


3. Bedah Terbuka  jika di pelayanan kesehatan gak ada fasilitas invasif seminimal mungkin
 Pielolithotomi atau Nefrolithotomi
 Ureterolithotomi
 Vesicolithotomi
 Urethrolithotomi
 Nefrektomi

Pencegahan
1. Asupan cairan dengan target diuresis 2 liter/hari
2. Peningkatan asupan buah sitrus
3. Asupan kalsium normal (1000 – 1200 mg/hari)
4. Diet tinggi serat
5. Menurunkan konsumsi protein hewani dan garam
6. Aktivitas harian yang cukup

Komplikasi
1. Obstruksi ginjal dengan tanda ISK  kegawatdaruratan yang perlu dekompresi urgen dengan
pemasangan nefrostomi perkutan atau pemasangan kateter ureter
2. Jika ada ISK  Pengeluaran batu definitif harus ditunda dulu sampai Infeksi sudah
terkoreksi dengan antibiotik
3. Gagal ginjal
4. Sepsis
5. Cedera ureter
6. Perdarahan saluran kemih

Kapan Pasien harus dirujuk ?  setelah terdiagnosis dan penanganan


awal  rujuk ke spesialis urologi

Prognosis  sebagian besar adalah BONAM (jika nonkomplikata)


1. Angka rekurensi nefrolitiasis adalah:
- 50% dalam 5 tahun
- 80% dalam 10 tahun
Benign Prostate Hypertrophy (BPH)
Definisi
1. Hiperplasia Prostat Jinak  hiperplasia sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat
2. Pembesaran Prostat Jinak  bertambahnya volume prostat akibat HIPERPLASIA
3. Obstruksi Prostat Jinak  timbulnya gejala obstruksi akibat PEMBESARAN

Epidemiologi
1. Prevalensi BPH meningkat seiring bertambahnya usia
- 70% pada usia > 60 tahun
- 90% pada usia > 80 tahun

Etiologi
1. Proliferasi epitelial dan stromal atau gangguan apoptosis  akumulasi selular  hiperplasia
yang sering terjadi di zona transisi prostat
- Zona transisi prostat  bagian terdalam dan terkecil dari prostat  mengelilingi 1/3
atas dari uretra  satu-satunya bagian yang akan terus tumbuh  karena testis yang
masih menghasilkan testosteron

2. Proses di atas diduga dipengaruhi oleh :


- Androgen
- Estrogen
- Interaksi stromal-epitelial
- Faktor pertumbuhan
- Neurotransmiter
Patofisiologi
BPH meningkatkan resistensi uretra  perubahan kompensatorik pada fungsi kandung kemih 
meningkatkan tekanan otot detrusor  mengganggu fungsi penyimpanan urin normal  jika ada
faktor usia pada VU dan Sistem Saraf  makan akan menyebabkan keluhan peningkatan
frekuensi, urgensi, dan nokturia

Diagnosis
Anamnesa
1. Perhatikan faktor risiko dari Identitas Pasien  PRIA dengan Usia > 50 tahun dan Obesitas
2. Tanyakan Keluhan Utama dan sudah berapa lama keluhan itu menganggu ?
3. Cari faktor-faktor risiko lainnya melalui RIWAYAT
 Riwayat keluarga  saudara laki-laki dari garis keturunan pertama itu tinggi risiko
 Aktivitas fisik yang kurang
 Konsumsi alkohol  bersifat diuretik
 Merokok

4. Temukan faktor-faktor penyulit atau komplikasi yang sudah terjadi atau akan terjadi
 Keadaan fungsi seksual
 Konsumsi obat-obat yang menimbulkan keluhan berkemih
 Pernah cedera pada sistem urogenitalia
 Infeksi saluran kemih
 Batu saluran kemih
 Riwayat pembedahan di sistem urogenitalia
 Riwayat kencing berdarah (hematuria)

5. Perhatikan gejala-gejala dari cerita pasien


 Gejala Obstruksi (Voiding)
- Hesitansi  apa bapak harus menunggu dulu saat kebelet kencing ?
- Pancaran kencing lemah  air kencingnya pancarannya mancur atau tidak ?
- Intermitensi  kencingnya lancar atau terputus-putus pak ?
- Straining  apa bapak perlu ngeden supaya bisa kencing ?
- Tidak puas sehabis berkemih  setelah kencing, bapak ngerasa anyang-anyangan ?

 Gejala Iritasi (Storage)


- Frekuensi  setelah 2 jam kencing, apa ada rasa kebelet kencing lagi pak ?
- Urgensi  ada rasa pengen kencing gak pak sebelum ngompol ? gak bisa nahan
kencing sebelum nyampe toilet ?
- Inkontinensia  bapak sering ngompol sewaktu tidur malem ?
- Nokturia  bapak sering terbangun tidur cuman buat kencing ?
 Gejala Pasca Berkemih
- Urin menetes  setelah kencing, masih ada kencing yang netes pak ?

6. Skor IPSS (International Prostate Symptom Score)  UNTUK MONITORING ATAU


DIAGNOSIS AWAL
 Skor 0 – 7  gejala ringan
 Skor 8 – 19  gejala sedang
 Skor 20 – 35  gejala berat

7. Catatan Harian Berkemih  SANGAT BERGUNA PADA PASIEN NOKTURIA


 Pencatatan dilakukan 3 hari berturut-turut
 Mencatat asupan cairan dan eksresi urin  catat kapan dan jumlahnya
 Dapat mencurigai :
- Nokturia idiopatik
- Instabilitas otot detrusor VU akibat obstruksi infravesika  bisa karena BPH, Batu,
atau gangguan lain pada uretra  sehingga timbul keluhan berkemih
- Poliuria akibat asupan air berlebih
Pemeriksaan Fisik
1. Evaluasi adanya ganguan obstruksi atau infeksi pada saluran kemih  PERHATIKAN
SALURAN KEMIH BAGIAN ATAS DAN TENGAH
 Periksa ginjal
 Perhatikan keluhan pada ureter
 Pemeriksaan VU dengan palpasi dan perkusi  menilai isi kandung kemih dan tanda
ISK

2. Pemeriksaan colok dubur


 Menilai Prostat
- Pembesaran prostat
- Konsistensi prostat
- Ada atau tidaknya nodul  curiga keganasan

Derajat Hiperplasia dari Penonjolan dan Batas Atas Prostat


Derajat I Penonjolan + Batas atas bisa diraba
Derajat II Penonjolan Jelas + Batas atas cuma bisa disentuh
Derajat III Penonjolan Bermakna + Batas atas gak tersentuh

Derajat Hiperplasia dari Sisa Volume Urin


Derajat I Sisa urin < 50 ml
Derajat II Sisa urin 50 – 100 ml
Derajat III Sisa urin > 100 ml
Derajat IV Retensi total

 Menilai Tonus Sfingter Ani dan Refleks Bulbokavernosus  untuk memastikan ada
atau tidaknya kelainan lengkung refleks di daerah sakral

Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis  untuk memastikan apakah ada komplikasi atau faktor penyulit ?
 Menilai apakah ada leukosituria atau hematuria ?
 Jika ada kecurigaan infeksi  lakukan kultur urin

2. Fungsi ginjal  untuk memastikan apakah ada komplikasi pada ginjal ?


 Menilai dampak akibat obstruksi saluran kemih bagian bawah  sebagai petunjuk
apakah perlu dilakukan pencitraan saluran kemih bagian atas ?
3. Periksa PSA  untuk memperkirakan perjalanan penyakit
 Kadar PSA meningkat pada keadaan :
- Peradangan  misalnya, akibat infeksi
- Manipulasi prostat  setelah tindakan biopsi atau TURP
- Retensi urin akut
- Kateterisasi
- Keganasan prostat
- Usia yang makin tua

 Kadar normal PSA sesuai umur :


- 40 – 49 tahun  0 – 2,5 ng/ml
- 50 – 59 tahun  0 – 3,5 ng/ml
- 60 – 69 tahun  0 – 4,5 ng/ml
- 70 – 79 tahun  0 – 6,5 ng/ml

 Kadar PSA yang tinggi bisa menunjukan kemungkinan :


- Pertumbuhan volume prostat lebih cepat
- Keluhan BPH/laju pancaran urin lebih buruk
- Kemungkinan retensi urin meningkat

 Skor PSA > 4  MENINGKATKAN CURIGA KEGANASAN

4. Pancaran Urin (Uroflowmetri)  TIDAK SPESIFIK MENUNJUKAN PENYEBAB DARI


KELAINAN PANCARAN URIN  perlu dikombinasikan dengan pemeriksaan lainnya
 Untuk deteksi gejala obstruksi saluran kemih bawah

5. Residu Urin (Post Voiding Residual Urine/PVR)  untuk menentukan sisa urin di dalam VU
setelah kencing  dilakukan dengan USG, Bladder Scan, dan Kateter Uretra

6. Pencitraan
 Saluran kemih bagian atas  USG, BNO-IVP, CT urografi  bila ada :
- Hematuria
- ISK
- Insufisiensi renal
- Residu urin yang banyak
- Riwayat urolitiasis
- Riwayat pembedahan pada saluran urogenital

 Saluran kemih bagian bawah  Uretrosistografi Retrograde  jika curiga ada


striktur uretra
 Prostat  Transabdominal Ultrasonografi (TAUS) atau Transrektal Ultrasonografi
(TURP)  menilai bentuk dan besarnya prostat

 Uretrosistoskopi  menyingkirkan kelainan pada uretra dan VU

 Urodinamik  pemeriksaan opsional untuk menentukan derajat obstruksi saluran


kemih bawah dan memprediksi hasil tindakan invasif

Terapi  untuk memperbaiki kualitas hidup  BPH ini proses


degeneratif jadi sulit untuk ditangani secara tuntas (dihilangkan) 
pilihan berdasarkan :
- Derajat keluhan
- Keadaan pasien
- Ketersediaan fasilitas dan kompetensi dokter

Konservatif (watchful waiting)


1. Untuk pasien dengan skor IPSS < 7  DERAJAT RINGAN

2. Pasien tidak mendapat terapi definitif  pasien baru dicurigai akan mengalami diagnosis
BPH bergejala sedang dan berat  hanya untuk memperlambat perburukan bukan untuk
menangani keluhan secara aktif

3. Pasien hanya diberikan penjelasan mengenai hal yang bisa memperburuk keluhan :
 Jangan banyak minum dan komsumsi kopi atau alkohol setelah jam makan malam
 Kurangi konsumsi makanan atau minuman yang bisa nyebabin iritasi VU
 Batasi penggunaan obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin
 Jangan menahan kencing terlalu lama
 Penanganan konstipasi

4. Pasien disarankan untuk kontrol berkala tiap 3 – 6 bulan untuk menilai perubahan keluhan 
mengevaluasi keluhan klinis, skor IPSS, tes pancaran kencing, dan volume residu urin

5. Jika keluhan memburuk  LANJUTKAN TERAPI OBAT DAN TINDAKAN LOKAL


(KATETER)
Medikamentosa  untuk skor IPSS > 7
1. Blocker  hambat kontraksi otot polos prostat  mengurangi resistensi tonus leher VU
dan uretra  Tamsulosis (Flomax) : 0,4 mg PO cap 1 x 1 selama 2 – 4 minggu

2. Reduktase Blocker  induksi apoptosis sel epitel prostat  mengecilkan volume prostat
 Dutasteride (Avodart) : 0,5 mg PO cap 1 x 1

3. Antagonis Reseptor Muskarinik  hambat atau mengurangi stimulasi reseptor muskarinik 


mengurangi kontraksi sel otot polos VU

4. Phospodiesterase-5 Inhibitor

Anda mungkin juga menyukai