Anda di halaman 1dari 8

Cita-Cita Seorang Nelayan

Di suatu hari, di sebuah perkampungan hiduplah seorang wanita tua dengan


anak laki-laki satu-satunya bernama Husain,ia seorang nelayan. Mereka tinggal
di dalam sebuah gubuk yang sudah sangat tua dan hampir rubuh. Sejak
kematian ayahnya, Husain hanya melanjutkan pekerjaan ayahnya sebagai
nelayan dan pengumpul kerang.
Husein tumbuh besar menjadi seorang pemuda yang kuat, rajin, dan tangkas.
Namun, karena dia hanya memiliki sebuah perahu kecil dan jaring yang sudah
rusak, dia pun tidak mampu menjaring ikan dan mengumpulkan kerang
sebanyak nelayan-nelayan lainnya. Oleh karena itu, dia tidak bisa
mendapatkan banyak uang seperti orang lain.
Hidup yang serba kekurangan, tidak meruntuhkan semangat Husain untuk
meraih cita-citanya. Ia bercita-cita untuk menjadi orang kaya. Dia berpikir
dengan menjadi orang kaya dia akan mampu membahagiakan ibunya.
Hingga sewaktu-waktu, Husain mendengar bahwa ada sebuah kapal milik
orang kaya yang sedang berkunjung ke kampung halamannya,kapal tersebut
merupakan milik orang yang bernama Tuan Mahfudin. Takjub melihat kapal
yang tersebut yang begitu besar dan megah,Husain tiba-tiba mendapatkan
sebuah ide. Dia memiliki rencana untuk pergi merantau. Dia berniat bekerja
sebagai awak kapal pada orang kaya itu.
“Assalamualaikum, oii Husain. Sudahkah kaudengar berita?” tanya seorang
tetangga Husain.
“Wa alaikum salam. Kabar apa Sep? aku belum mendengar kabar apa pun,”
sahut Husain.
“Kau ini ya, selalu saja ketinggalan berita. Sini, biar kuberi tahu. Kulihat di
pelabuhan ada sebuah kapal yang sangat besar sedang merapat,” ujar Asep
dengan penuh semangat.
“Ah, itu sih biasa saja, Sep. Bukannya memang selalu banyak kapal-kapal besar
milik orang kaya dari pelabuhan seberang yang suka merapat di kampung
halaman kita ini,” jawab Husain sambil meneruskan pekerjaannya yang sempat
tertunda.
“Heh, kau dengar ya. Kapal ini besaaaarrr sekali. Lebih besar dari kapal-kapal
yang biasanya datang ke kampung kita ini,” sahut Asep mencoba untuk
menarik perhatian Husain.
“Hah, yang benar kau, Sep? Kau tidak bercandakan Sep?” tanya Husain
penasaran.
“Kalau kau tak percaya, ayo ikut aku melihat kapal itu,” kata Asep sambil
menarik tangan Husain.
“Iya...iya tunggu sebentar. Buuuu, Ibuuuu, Husain ke pelabuhan dulu yaaa.
Assalamualaikum,” teriak Husain sekencang-kencangnya agar ibunya yang
sedang berada di dapur bisa mendengar suaranya.
Sesampainya di pelabuhan, Husain pun terkejut melihat kemegahan kapal yang
dimiliki orang kaya tersebut.
“Waah, kau benar, Sep. Kapal ini besar dan megah. Luaaar biasaaa,” ujar
Husain sambil terkagum-kagum.
“Tuuh ‘kan ku katakan juga apa,” sahut Asep sambil tersenyum.
Takjub melihat besar dan mewahnya kapal yang dimiliki orang kaya itu, Husain
pun mendapatkan sebuah ide.
“Ah, aku dapat ide, Sep. Aku ingin pergi merantau. Aku ingin bekerja sebagai
awak kapal,” kata Husain tiba-tiba mengejutkan kawannya yang masih
mengagumi kapal besar itu.
“Haah? Yang benar kau, Husain? Kau yakin?” tanya Asep dengan tatapan tidak
percaya.
“Iya, aku yakin. Ini caraku menggapai cita-citaku. Aku harus sampaikan niatku
ini kepada ibuku. Sudah dulu ya, Sep, aku pulang duluan,” kata Husain sambil
meninggalkan temannya yang masih terkejut dengan ucapannya tadi.
Husain pun kembali ke rumah dengan harapan yang ada di dalam hati. Dengan
penuh keyakinan, ia pun menyampaikan maksudnya kepada ibunya.
“Ibu, aku lihat ada kapal besar di pelabuhan. Kapalnya besar sekali ya, Bu,”
kata Husain dengan penuh semangat.
“Benarkah itu, Nak?” jawab ibunda Husain
“Kalau aku kerja di kapal itu, aku bisa sukses ya, Bu?” tanya Husain kepada
ibunya dengan nada merajuk.
“Iya, benar sekali, Anakku. Kalo kamu kerja di kapal itu, kamu bisa jadi orang
besar,” sahut ibunya dengan penuh kasih.
“Kalau begitu, aku mau kerja di kapal itu, Bu. Boleh tidak, Bu?” ucap Husain
dengan penuh harap.
“Husain,” Ibu menghela napas sambil melanjutkan pekerjaannya. Kemudian, ia
melanjutkan kalimatnya dengan penuh kehati-hatian. Ia tidak ingin
mengecewakan anak kesayangannya.
“Anakku, bukannya Ibu melarangmu, tapi nak, hanya kamulah satu-satunya
harta paling berharga yang ibu miliki sekarang ini.”
“Tapi, Bu, aku mau Ibu tidak serba kekurangan seperti sekarang. Apalagi kalau
nanti aku bisa jadi orang kaya, Ibu tidak akan sengsara lagi,” ucap Husain
sambil mendekati ibunya lalu memijat kaki ibunya.
“Nak, ibumu ini sudah tua. Ibu masih kuat bekerja sampai sekarang pun karena
adanya kamu, Nak. Kalau kamu pergi, siapa yang akan menemani ibu?” jawab
ibunya sambil mengusap kepala anaknya.
Husain sedih dan kecewa mendengar jawaban ibunya. Namun, ia tidak mau
melawan kehendak orang tuanya. Husain pun akhirnya tidak melanjutkan
pembicaraan mengenai niatnya untuk merantau itu.
“Baiklah, Bu, bila Ibu tidak memberikan restu, Hasan akan menurut,” jawab
Hasan sambil tertunduk lesu.
“Jangan bersedih,Husain, Ibu melakukan ini pun karena sayang padamu,” ucap
sang ibu melihat perubahan di wajah anak semata wayangnya.
“Iya, Bu,” jawab Husain. Dia merasa semangatnya telah hilang. Namun, niatnya
masih di simpan lekat-lekat di dalam hatinya.
“Sudah, kamu mandi dulu, Nak. Setelah itu, kita berangkat ke Masjid. Waktu
salat Magrib sebentar lagi tiba,” ujar ibunda Husain.
“Baik, Bu,” jawab Husain. Ia segara mandi dan kemudian bersiap berangkat ke
masjid bersama dengan ibunya.Selepas salat Magrib, Husain duduk di teras
rumahnya. Ia duduk di atas kursi panjang yang terbuat dari anyaman bambu.
Husain memandangi langit yang indah. Ia melihat langit telah berubah gelap
dan bintang-bintang satu per satu mulai bermunculan. Ia berharap bahwa ia
masih bisa mendapatkan kesempatan untuk pergi merantau.
“Kapal itu sudah sebulan berkunjung di kampung ini, tiga hari lagi kapal itu
akan berangkat dan kembali berlayar ke Kampung asalnya,” kata Husain dalam
hati sambil menarik napasnya. Sambil mengubah posisi duduknya yang semula,
berkatalah ia dengan perlahan, “Andaikan Ibu memberiku izin untuk merantau,
aku akan bekerja dengan sungguh-sungguh hingga aku bisa menjadi kaya dan
bisa membahagiakan ibu Besar harapan yang dimiliki oleh Husain agar ibunya
akan berubah pikiran dan memberikan izin untuknya.
Melihat anaknya yang duduk melamun di teras rumah, ibu Husain pun
mencoba mendekatinya. Awalnya ia ingin mengajak anaknya untuk masuk ke
dalam rumah, tapi ia tidak sengaja mendengar gumaman anaknya.
“Nampaknya anakku begitu ingin merantau. Berat hatiku melepas kepergian
anakku satu-satunya. Namun, aku tak ingin mengecewakan dan menyakiti hati
anak kesayanganku itu. Aku akan memberikan restu untuknya pergi
merantau,” gumam ibu Husain di dalam hatinya.
Sambil melihat anak semata wayangnya yang sedang duduk melamun di kursi
rumahnya, Ibunda Husain pun mendekati anaknya, sambil menepuk
pundaknya perlahan kemudian berkata,
“Husaun, Anakku,” ucap ibunya dengan lembut.
“I… i… iya, Bu. Ada apa, Bu?” terkejut mendapati ibunya sudah berdiri di
sampingnya kala ia sedang larut dalam pikirannya.
“Jika memang niat merantau itu sudah sangat melekat kuat di hati, meskipun
nanti Ibu akan bersedih selepas kepergianmu, Ibu mengizinkanmu untuk pergi.
Ibu merestui niatmu untuk merantau , Nak,” kata ibu Husain sambil tersenyum
memandangi wajah putranya diterangi cahaya rembulan.
Mendengar ucapan ibunya,Husain sangat terkejut dan bahagia. Ia merasa tiba-
tiba detak jantungnya terasa cepat sehingga ada energi yang muncul dalam
dirinya. Di sudut matanya mengalir air mata, bukan air mata kesedihan, tapi air
mata tanda syukur karena akhirnya ibunya memberikan restu untuknya
menggapai cita-citanya.
“Terima kasih, Bu. Aku janji, kalau aku sudah kaya nanti, Aku bakalan
membangun rumah besar seperti milik bangsawan, Bu,” seru Husain dengan
penuh semangat sambil memegang kedua tangan ibunya.
“Ibu mengizinkanmu, Nak, tapi Ibu punya syarat yang harus kamu penuhi,”
kata ibu Husain
“Apakah syarat darimu, Ibu? Beri tahukan kepadaku, akan kupenuhi semua
syarat itu,” tanya Husain.
“Syarat yang pertama, kamu harus membawa serta si Beo supaya kamu dapat
mengirimkan kabarmu kepada ibu sesering mungkin. Syarat yang kedua, kamu
harus segera pulang bila cita-citamu sudah tercapai.” Ibu menyampaikan
syaratnya kepada anak kesayangannya.
“Baik, Bu, aku akan mengirimkan kabar setiap malam bulan purnama,” janji
Husain kepada ibunya.
Keesokan harinya, Husain segera menyiapkan semua perlengkapan yang ia
butuhkan. Hingga tibalah waktu keberangkatan kapal milik orang kaya itu.
Berangkatlah Husain ke pelabuhan. Ketika menuju kapal itu, ia ditemani
ibunnya. Melepas kepergian anaknya, ibu Husain pun kemudian menyerahkan
burung kesayangan milik ayahnya.
“Husain, ibu titip si Beo ya,” ujar ibunya, “Rawat si Beo baik-baik, ya, Nak. Si
Beo ini peliharaan kesayangan bapakmu. Jangan lupa kirimkan kabarmu setiap
malam bulan purnama,” Ibu menyerahkan si Beo sambil mengusap air
matanya yang sudah tak mampu ditahan lagi.
“Iya, Bu, aku berjanji akan merawat si Beo dan selalu rajin mengirimkan kabar
kepada ibu,’’ kata Husain.
Ibu Husain pun menangis dan memeluk anaknya dengan erat serta mengecup
kening anaknya sebagai tanda ia memberikan doa restu untuk anaknya.
Husain pun langsung naik kapal dan siap untuk berlayar. Deburan ombak dan
semilir angin laut mengiringi kepergian rombongan Kapal itu.
Sampai di tempat tujuan, pekerjaan sehari-hari Husain di dalam kapal adalah
membersihkan galangan dan mengangkut sekaligus merapikan barang-barang
jualan milik orang kaya itu. Husain begitu dekat dengan orang kepercayaan
sang Saudagar bernama Rusdi, karena Rusdi dengan senang hati selalu
membantunya di kala dia menghadapi kesulitan.
Lama-kelamaan Husain mulai dekat dengan Aida, putri Tuan Mahfudin. Sudah
terlihat dari awal mereka bertemu. Tuan Aida yang tadinya jarang berbicara
dengan para awak kapal, semenjak kehadiran Husain sering kali duduk
bersama dan berbicara layaknya kawan lama.
Begitulah, karena Husain merupakan anak buah yang sangat rajin,
pekerjaannya hampir semua sempurna dan rapi, membuatnya menjadi orang
kepercayaan Tuan Mahfudin hanya dalam waktu beberapa tahun. Bahkan,
karena karakternya yang baik dan sopan pula, Putri Aida, putri Tuan Mahfudin,
diam-diam menaruh hati padanya. Melihat tingkah laku putri kesayangannya,
suatu hari Tuan Mahfudin memanggil Husain untuk memberitahukan niatnya
untuk menjodohkan putrinya dengannya
Husain hanya bisa terdiam. Jauh di lubuk hatinya, ia ingin menikah dengan
putri tuannya itu. Namun, apa daya, ia hanyalah seorang anak buah kapal. Ia
tak sampai hati menyampaikan keinginannya itu.
“Husain, jika yang kau pikirkan adalah kedudukanmu yang kau bilang tidak
sama denganku, tak perlu kau pikirkan lagi. Kelak akan kuangkat engkau
menjadi nahkoda kapal agar kau dapat meneruskan usaha dagangku, juga
putriku,” ujar Tuan Mahfudin sambil tersenyum dan menepuk pundak Husain.
Beberapa bulan kemudian
Pada akhirnya, Husain pun menikah dengan Putri Aida yang cantik jelita dan
baik budinya.Namun, tidak berapa lama setelah pernikahan mereka, Tuan
Mahfudin meninggal dunia dan sesuai dengan janjinya seluruh hartanya
diberikan kepada anaknya dan Husain.
Husain yang rajin dan suka bekerja keras pun mampu membuat usaha
perdagangan yang dimiliki ayah Putri Aida semakin berkembang. Keuntungan
dari penjualan barang dagangannya pun semakin meningkat dari tahun ke
tahun.
Sayangnya berita kebahagiaan dan kesuksesan Husain ini tidak sampai ke
telinga ibunnya. Karena selama di perantauan Husain hanya berkirim kabar
sebanyak empat kali di setiap bulan purnama.
Setelah mewarisi kekayaan Tuan Mahfudin, Husain pun terkenal sebagai Orang
kaya di Kampungnya. Ia hidup dengan penuh kemewahan dan bergelimang
harta sehingga melupakan ibunya yang berada di kampung halaman. Ia telah
lupa akan janjinya untuk kembali dan membangun rumah untuk ibunya.
Setelah bertahun-tahun hidup di perantauan, tiba-tiba timbul kerinduan
Husain untuk kembali ke tanah kelahirannya. Pada saat makan malam, Husain
mengutarakan keinginannya untuk kembali ke kampung halamannya kepada
istri tercintanya.
Hingga tibalah pada suatu hari, berangkatlah Husain bersama istri dan para
pengawalnya pergi ke kampung halamannya dengan menggunakan kapal besar
dan megah. Berita tentang kedatangan kapal besar dan megah itu pun telah
tersebar ke seluruh pelosok. Setiap penduduk ramai membicarakan
kemegahan kapal itu. Mereka bertanya-tanya siapakah gerangan pemiliknya.
Karena penasaran, para penduduk berbondong-bondong menuju pelabuhan.
Perempuan tua itu atau yang dikenal ibunya Husain ragu kalau pemuda gagah
itu adalah putranya, Husain. Dia berusaha keluar dari kerumunan orang-orang
dan melihat dari dekat orang kaya yang sedang berdiri di atas kapalnya.
Setelah melihat ada seekor burung yang dengan mudah dikenalinya
bertengger di pundak pemuda itu, barulah ia merasa yakin bahwa pemuda itu
adalah anaknya yang selama ini dirindukannya dan selalu disebutkan dalam
setiap doa-doanya.
“Nak...Naaakk, ini Ibu, Naaaaak .... Apakah kau tak rindu denganku, Nak?”
teriak ibu Husain. Mendengar teriakan itu, Husain segera mencari dari mana
sumber suara teriakan yang didengarnya tadi. Akan tetapi, ketika melihat
orang yang berteriak itu adalah seorang nenek tua yang berpakaian compang-
camping dan lusuh, ia merasa malu akan kehadiran ibunya dan segera
mengalihkan pandangannya.
Husain merasa malu dan enggan mengakui ibunya. Dia takut istrinya akan
memperoloknya atau bahkan akan meninggalkannya bila mengetahui
perempuan tua itu adalah ibunya. Dia pun tak sanggup memikirkan apa yang
akan dikatakan orang-orang yang tengah Berkerumun di pelabuhan.
Penantian yang di tunggu-tunggu selama bertahun-tahun telah lenyap begitu
saja. Ia duduk bersimpuh memohon doa kepada Tuhan Yang Mahakuasa
dengan penuh khusyuk. Ibu Husain pun memanjatkan doa agar Yang Maha
kuasa menunjukkan kepadanya siapa pemuda itu.
“Ya, Tuhanku, jika pemuda itu bukan anakku, biarkanlah kapal itu pergi.
Namun, bila pemuda itu adalah anakku, berikan pelajaran kepadanya karena
tidak mau mengakui aku sebagai ibunya.” Ibu Husain mengucapkan doanya
dengan sepenuh hati.
Ketika Husain bersama rombongannya akan meninggalkan Pelabuhan, tiba-tiba
langit menjadi gelap dan angin tertiup kencang. Petir menyambar-nyambar
kemudian diiringi hujan yang sangat deras dan air laut membuat gelombang-
gelombang setinggi gunung. Seluruh penduduk berlarian meninggalkan
pelabuhan untuk menyelamatkan diri.
“Suamiku, bila memang benar perempuan tua itu adalah ibumu, akuilah ia
suamiku. Aku tak rela suamiku durhaka dengan ibunya sendiri,” ujar istri
Husain.
Seketika Husain pun tersadar karena ucapan istrinya. Ia pun terduduk dan
berseru. “Maafkan aku, Ibuuu. Aku sudah malu mengakuimu. Aku mohon
ampun. Maafkan aku, Ibuuu.”Mendengar anaknya, ibunda Husain pun
menangis. Ia merasa anaknya sedang dalam bahaya karena doa yang baru saja
ia panjatkan. Maka, dengan sepenuh hati ia memanjatkan doa kembali.
“Ya, Tuhan, anakku sudah sadar. Dia sudah mengakuiku sebagai ibu
kandungnya. Kumohon kepada-Mu untuk menyelamatkan anakku, istrinya,
dan seluruh awak kapalnya,” pinta ibu Husain dengan khusyuk.
Angin puyuh itu bergerak dengan cepat menuju ke arah kapal milik Husain,
angin itu mengguncang kapal megah dan mewah itu hingga seluruh orang yang
ada di dalam kapal terlempar keluar dan terseret ombak ke tepi pantai.
“Uhuk.... Uhuk...,” Husain terbatuk karena sempat menelan air laut. Matanya
melihat ibundanya telah ada di sisinya. Rasa kerinduan tiba-tiba menghampiri
hatinya. Sambil menangis, ia pun memeluk erat ibunya.
“Ibuuu..., maafkan aku yang sudah lalai. Maafkan aku yang sudah kurang ajar.
Maafkan aku ya, Bu,” Husain memohon ampun sambil mencium tangan
ibunya.
Setelah peristiwa itu, akhirnya Husain tinggal kembali bersama ibu dan juga
istrinya. Ia memulai kembali usaha berdagangnya dari awal lagi,dan pada
akhirnya mereka hidup bahagia dan menjadi keluarga yang harmonis.

Anda mungkin juga menyukai