Anda di halaman 1dari 4

Tugas Kelompok: Resume TM 14_ Ketimpangan Gender

Disusun Oleh

Excellino Nehemia Laksono 041911133145

Thanty Rofikah 041911133181

Ekonomi Kependudukan Kelas A, Kamis 9:50

Ketimpangan gender telah menjadi isu di sebagian besar negara baik negara maju maupun
negara berkembang. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (KPPPA) ikut berperan aktif dalam mengurangi ketimpangan gender melalui
program 3 Ends yakni akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, akhiri perdagangan
manusia, dan akhiri kesenjangan ekonomi. Selain itu, kesetaraan gender ditempatkan sebagai
aspek yang sangat penting dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development
Goals/SDGs).

Kesetaraan gender menjadi bagian dari target pembangunan bagi negara-negara yang
mengalami disparitas pembangunan yang tinggi seperti Indonesia. Ketimpangan pembangunan antar
kelompok jenis kelamin mengakibatkan pembangunan tidak dapat tercapai secara optimal. Untuk itu
diperlukan adanya indikator atau ukuran yang menunjukkan ketimpangan gender.

Untuk mengukur ketimpangan gender, United Nations Development Programme(UNDP)


pada tahun 2010 memperkenalkan Gender Inequality Index (GII) sebagai ukuran ketimpangan gender.
Hasil pengukuran GII UNDP menunjukkan bahwa kesetaraan gender di Indonesia semakin membaik. Pada
tahun 2000 nilai GII Indonesia adalah sebesar 0,561 dan pada periode setelahnya bergerak semakin
mengecil hingga menjadi 0,451 di tahun 2018. Namun, di level negara ASEAN, posisi Indonesia masih
memiliki ketimpangan gender yang terbilang tinggi bila dibandingkan dengan Filipina, Thailand,
Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Kondisi seperti ini perlu usaha ekstra dari
pemangku kepentingan, terutama pemerintah, yang terkait dengan kebijakan dalam bidang kesehatan,
pemberdayaan, dan akses dalam pasar tenaga kerja agar dapat mengejar ketertinggalan.

Banyak faktor yang mempengaruhi adanya ketimpangan gender suatu wilayah, di


antaranya faktor kontrol atas sumber daya ekonomi, pendidikan, pendapatan, angka kematian, akses
dalam mendapatkan pekerjaan, upah, dan wewenang di area publik dan swasta (Klasen, 2006). Seperti
halnya dengan negara yang memiliki ketimpangan gender yang tinggi, kesenjangan gender di Indonesia
masih banyak terjadi di berbagai bidang. Diantaranya masih terjadi dalam indikator-indikator pencapaian
di bidang pendidikan, kesehatan, pendapatan, kesempatan kerja dan wewenang di area publik. Di lain
pihak, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi semakin lancar turut mempermudah terjadinya
proses interaksi sosial dan wilayah (spasial) yang dapat mempengaruhi pembangunan gender.

Faktor- faktor yang mempengaruhi pembangunan gender menurut Fajriyah (2015)


adalah Angka Partisipasi Sekolah (APS) SD/Sederajat penduduk perempuan, APS
SMP/Sederajat penduduk perempuan, APS SMA/Sederajat penduduk perempuan, tingkat
pendidikan perempuan memiliki hubungan dengan ketimpangan gender. Selain itu, tingkat
partisipasi angkatan kerja penduduk perempuan, rasio jenis kelamin, rasio jenis kelamin saat lahir,
dan persentase penduduk perempuan mempunyai keluhan kesehatan berpengaruh signifikan
terhadap pembangunan gender. Keberhasilan pembangunan manusia idealnya diikuti dengan
kesetaraan gender. Hubungan IKG dengan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
berlaku sebaliknya. Semakin tinggi IPM maka semakin rendah Indeks Ketimpangan Gender
(IKG). Negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi, dan standar pendidikan dan
kesehatan yang lebih baik seperti tercermin dalam IPM, akan cenderung memiliki IPG yang
tinggi yang mengisyaratkan kesetaraan gender yang lebih baik (BPS, 2020).

Persoalan ketimpangan gender tidak berhenti pada terlibat atau tidak terlibatnya
perempuan dalam pasar tenaga kerja, tetapi juga ketika perempuan telah memasuki dunia kerja.
Sementara kondisi rumahtangga yang serba kekurangan telah memaksa perempuan untuk ikut
terjun dalam dunia kerja, sejumlah faktor juga turut berpengaruh dalam membatasi keterlibatan
perempuan dalam jenis pekerjaaan tertentu yang mereka lakukan. Banyak di antara jenis pekerjaan
perempuan dicirikan dengan karakteristik seperti paruh waktu, kasual, tidak tetap dan tidak
menentu, musiman dan bahkan pekerjaan rumahan (home-based jobs). Dalam konsep
ketenagakerjaan, perempuan yang melakukan jenis pekerjaan tersebut termasuk dalam kategori
pekerja informal. Menurut Maloney (2004), mayoritas perempuan yang memilih bekerja di sektor
informal disebabkan karena pekerjaan tersebut fleksibel dan tidak harus meninggalkan tugas-tugas
rumahtangga.

Peluang Meningkatkan Akses Terhadap Sumber Daya Melalui Pendidikan

Human capital tidaklah mengganggap manusia hanya sebagai modal layaknya mesin yang
hanya diambil manfaatnya saja sebagaimana teori human capital terdahulu. Human capital dapat
diartikan kemampuan dan efesiensi manusia dalam mengubah bahan mentah dan modal menjadi
barang dan jasa, secara konsensus kemampuan tersebut diperoleh melalui sebuah sistem
pendidikan (Son, 2010). Sistem pendidikan tersebut sudah seharusnya tidak diskriminatif dan
menjamin kesetaraan kesempatan dan akses antara laki-laki dan perempuan terhadap pendidikan.
Dilihat dari tingkat pendidikan maka secara umum terlihat bahwa perempuan memiliki
tingkat pendidikan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan laki-laki. Seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 2.1 yang memperlihatkan persentase penduduk 15 tahun ke atas yang masih sekolah
dimana persentase perempuan yang masih sekolah dari kurun waktu 2011- 2015 selalu lebih
rendah jika dibandingkan dengan laki-laki. Namun, pada kurun waktu tersebut terlihat bahwa
persentase perempuan yang masih sekolah mengalami peningkatan, sehingga kesenjangan antara
laki-laki dan perempuan semakin mengecil.

Stagnasi Partisipasi Angkatan Kerja Dalam Kesenjangan


Gambar 3.1 menunjukkan, partisipasi angkatan kerja laki-laki yang hampir dua kali lipat
dibandingkan perempuan. Meskipun peningkatan taraf pendidikan saat ini hampir dapat diperoleh
secara merata, pada kenyataannya belum dapat membantu meningkatkan partisipasi perempuan
dalam angkatan kerja. Persistensi tren yang ada menunjukkan bahwa perlu adanya suatu program
atau kebijakan sosial yang lebih aktif mendorong peran perempuan dalam memasuki pasar tenaga
kerja dan terlibat dalam pekerjaan di luar rumah (ILO, Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di
Indonesia 2011-2015, 2015).

Partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia tergolong rendah, berkisar antara 48-52
persen selama lima tahun terakhir. HAl ini menunjukkan bahwa masih banyak perempuan yang
sepenuhnya terlibat dala kegiatan mengurus rumah tangga. Dengan demikian, beberapa penyebab
rendahnya angka partisipasi perempuan dalam pasar kerja antara lain: 1) persepsi terkait peran
domestik perempuan; 2) berkaitan dengan persepsi tersebut adalah perangkat pengukuran,
penentuan, atau pendefinisian pekerjaan perempuan; 3) sifat musiman, paruh waktu, dan informal
dari kebanyakan pekerjaan perempuan. Dari data Sakernas 2015, diperoleh informasi bahwa
persentase perempuan usia 15 tahun ke atas yang menghabiskan waktu terbanyak untuk mengurus
rumah tangga sebesar 38,80 persen.

Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 2016.
Potret Ketimpangan Gender dalam Ekonomi.

Marsono. 2021. Deteksi Spasial Pada Model Indeks Ketimpangan Gender Indonesia. Badan Pusat
Statistik

Anda mungkin juga menyukai