Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
OLEH:
2114901088
TAHUN 2021
A. TINJAUAN TEORI
1. Definisi Chronic Kidney Disease (CKD)
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis
dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal
yang irreversibel dan progresif dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit
sehingga menyebabkan uremia (Black & Hawk dalam Dwy Retno
Sulystianingsih, 2018).
Gagal Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) saat ini
merupakan masalah kesehatan yang penting mengingat selain insidens dan
pravelensinya yang semakin meningkat, pengobatan pengganti ginjal yang
harus di jalani oleh penderita gagal ginjal merupakan pengobatan yang
sangat mahal. Dialisa adalah suatu tindakan terapi pada perawatan
penderita gagal ginjal terminal. Tindakan ini sering juga disebut sebagai
terapi pengganti karena berfungsi menggantikan sebagian fungsi ginjal.
Terapi pengganti yang sering di lakukan adalah hemodialisis dan
peritonealialisa. Diantara kedua jenis tersebut, yang menjadi pilihan utama
dan metode perawatan yang umum untuk penderita gagal ginjal adalah
hemodialisis (Arliza dalam Nita Permanasari, 2018).
Penyakit ginjal kronik stadium awal sering tidak terdiagnosis,
sementara PGK stadium akhir yang disebut juga gagal ginjal memerlukan
biaya perawatan dan penanganan yang sangat tinggi untuk hemodialisis
atau transplantasi ginjal. Penyakit ini baik pada stadium awal maupun
akhir memerlukan perhatian. Penyakit ginjal kronik juga merupakan faktor
risiko penyakit kardiovaskuler. Kematian akibat penyakit kardiovaskuler
pada PGK lebih tinggi daripada kejadian berlanjutnya PGK stadium awal
menjadi stadium akhir (Delima, 2014).
2. Anatomi dan Fisiologi Ginjal
Ginjal merupakan
organ berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi kolumna
vertebralis.Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal kiri karena
tertekan kebawah oleh hati.Kutub atasnya terletak setinggi iga ke 12,
sedangkan kutub atas ginjal kiri terletak setinggi iga kesebelas. Ginjal
terletak di bagian belakang abdomen atas, di belakang peritoneum, di depan
dua iga terakhir, dan tiga otot besar transversus abdominis, kuadratus
lumborum, dan psoas mayor. Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut
oleh bantalan lemak yang tebal.Ginjal terlindung dengan baik dari trauma
langsung, disebelah posterior (atas) dilindungi oleh iga dan otot-otot yang
meliputi iga, seangkan di anterior (bawah) dilindungi oleh bantalan usus
yang tebal. Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar, kolon, dan duodenum,
sedangkan ginjal kiri dikelilingi oleh lien, lambung, pankreas, jejunum dan
kolon.
a. Struktur Ginjal terdiri atas:
1) Struktur Makroskopik Ginjal Pada orang dewasa , panjang ginjal
adalah sekitar 12 sampai 13 cm (4,7 hingga 5,1 inci), lebarnya 6 cm
(2,4 inci), tebalnya 2,5 cm (1 inci), dan beratnya sekitar 150 gram.
Secara anatomik ginjal terbagi dalam dua bagian, yaitu korteks dan
medula ginjal.
2) Ginjal terdiri dari :
a) Bagian dalam (internal) medula.
Substansia medularis terdiri dari pyramid renalis yang
jumlahnya antara 18-16 buah yang mempunyai basis sepanjang
ginjal, sedangkan apeksnya mengahadap ke sinus renalis.
Mengandung bagian tubulus yang lurus, ansa henle, vasa rekta
dan diktus koligens terminal.
b) Bagian luar (eksternal) korteks.
Substansia kortekalis berwarna coklat merah.konsistensi lunak
dan bergranula.Substansia ini tepat dibawah tunika fibrosa,
melengkung sapanjang basis piramid yang berdekatan dengan
garis sinus renalis, dan bagian dalam diantara piramid
dinamakan kolumna renalis.Mengandung glomerulus, tubulus
proksimal dan distal yang berkelok-kelok dan duktus koligens.
b. Struktur Mikroskopik Ginjal
1) Nefron
Tiap tubulus ginjal dan glomerolusnya membentuk satu kesatuan
(nefron).Ukuran ginjal terutama ditentukan oleh jumlah nefron
yang membentuknya.Tiap ginjal manusia memiliki kira-kira 1.3
juta nefron Setiap nefron bisa membentuk urin sendiri.Karena itu
fungsi satu nefron dapat menerangkan fungsi ginjal.
2) Glomerulus
Setiap nefron pada ginjal berawal dari berkas kapiler yang disebut
glomerulus, yang terletak didalam korteks, bagian terluar dari
ginjal.Tekanan darah mendorong sekitar 120 ml plasma darah
melalui dinding kapiler glomerular setiap menit.Plasma yang
tersaring masuk ke dalam tubulus.Sel-sel darah dan protein yang
besar dalam plasma terlalu besar untuk dapat melewati dinding dan
tertinggal.
3) Tubulus kontortus proksimal
Berbentuk seperti koil longgar berfungsi menerima cairan yang
telah disaring oleh glomerulus melalui kapsula bowman.Sebagian
besar dari filtrat glomerulus diserap kembali ke dalam aliran darah
melalui kapiler-kapiler sekitar tubulus kotortus proksimal.Panjang
15 mm dan diameter 55μm.
4) Ansa henle
Berbentuk seperti penjepit rambut yang merupakan bagian dari
nefron ginjal dimana, tubulus menurun kedalam medula, bagian
dalam ginjal, dan kemudian naik kembali kebagian korteks dan
membentuk ansa. Total panjang ansa henle 2-14 mm.
5) Tubulus kontortus distalis.
Merupakan tangkai yang naik dari ansa henle mengarah pada koil
longgar kedua.Penyesuaian yang sangat baik terhadap komposisi
urin dibuat pada tubulus kontortus. Hanya sekitar 15% dari filtrat
glomerulus (sekitar 20 ml/menit) mencapai tubulus distal, sisanya
telah diserap kembali dalam tubulus proksimal.
6) Duktus koligen medulla
Merupakan saluran yang secara metabolik tidak aktif.Pengaturan
secara halus dari ekskresi natrium urin terjadi disini.Duktus ini
memiliki kemampuan mereabsorbsi dan mensekresi kalsium.
c. Fungsi Ginjal
Beberapa fungsi ginjal adalah :
1) Mengatur volume air (cairan) dalan tubuh
Kelebihan air dalam tubuh akan diekskresikan oleh ginjal sebagai
urine yang encer dalam jumlah besar. Kekurangan air (kelebihan
keringat) menyebabkan urin yang dieksresikan jumlahnya
berkurang dan konsentrasinya lebih pekat sehingga susunan dan
volume cairan tubuh dapat dipertahankan relatif normal.
2) Mengatur keseimbangan osmotic dan keseimbangan ion.
Fungsi ini terjadi dalam plasma bila terdapat pemasukan dan
pengeluaran yang abnormal dari ion-ion. Akibat pemasukan garam
yang berlebihan atau penyakit perdarahan, diare, dan
muntahmuntah, ginjal akan meningkatkan sekresi ion-ion yang
penting seperti Na, K, Cl, dan fosfat.
3) Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh
Tergantung pada apa yang dimakan, campuran makanan, (mixed
diet) akan menghasilkan urin yang bersifat asam, pH kurang dari 6.
Hal ini disebabkan oleh hasil metabolisme protein. Apabila banyak
memakan sayuran, urin akan bersifat basa, pH urine bervariasi
antara 4,8 - 8,2. Ginjal menyekresi urine sesuai dengan perubahan
pH darah.
4) Ekskresi sisa-sisa metabolisme makanan (Ureum, asam urat, dan
kreatinin)
Bahan-bahan yang dieskresikan oleh ginjal antara lain zat toksik,
obat-obatan, hasil metabolisme hemoglobin, dan bahan kimia lain
(pestisida)
5) Fungsi hormonal dan metabolism
Ginjal menyekresi hormon renin yang mempunyai peranan penting
dalam mengatur takanan darah (sistem rennin-
angiotensinaldosteron) yaitu untuk memproses pembentukan sel
darah merah (eritropoiesis). Ginjal juga membentuk hormon
dihidroksi kolekalsifero (vitamin D aktif) yang diperlukan untuk
absorbsi ion kalsium di usus.
6) Pengaturan tekanan darah dan memproduksi enzim rennin,
angiotensin dan aldosteron yang berfungsi meningkatkan tekanan
darah.
7) Pengeluaran zat beracun
Ginjal mengeluarkan polutan, zat tambahan makanan, obat-obatan
atau zat kimia asing lain dari tubuh (Muttaqin, 2011).
d. Fisiologi Ginjal
Ginjal memainkan peran penting dalam mengatur volume dan
komposisi cairan tubuh, mengeluarkan racun, dan menghasilkan
hormon seperti renin, eritroprotein, dan bagian aktif vitamin D.
Sebelum menjadi urin, didalam ginjal akan terjadi tiga macam proses,
yaitu:
1) Penyaringan (filtrasi)
Proses pembentukan urin diawali dengan penyaringan darah yang
terjadi di kapiler glomerolus. Sel-sel kapiler glomerolus yang
berpori (podosit), tekanan dan permeabilitas yang tinggi pada
glomerolus mempermudah proses penyaringan. Selain
penyaringan, di glomerolus juga terjadi penyerapan kembali sel-sel
darah, keping darah, dan sebagian besar protein plasma. Bahan-
bahan kecil yang terlarut di dalam plasma darah, seperti glukosa,
asam amino, natrium, kalium, klorida, bikarbonat dan urea dapat
melewati filter dan menjadi bagian dari endapan. Hasil penyaringan
di glomerolus disebut filtrat glomerolus atau urin primer,
mengandung asam amino, glukosa, natrium, kalium, dan garam-
garam lainnya.
2) Penyerapan Kembali (reabsorbsi)
Bahan-bahan yang masih diperlukan di dalam urin primer akan
diserap kembali di tubulus kontortus proksimal, sedangkan di
tubulus distal terjadi penambahan zat-zat sisa dan urea.
Meresapnya zat pada tubulus ini melalui dua cara. Gula dan asam
amino meresap melalui peristiwa difusi, sedangkan air melalui
peristiwa osmosis. Penyerapan air terjadi di tubulus proksimal dan
tubulus distal. Subtansi yang masih diperlukan seperti glukosa dan
asam amino dikembalikan ke dalam darah. Zat amonia, obatobatan
seperti penisilin, kelebihan garam dan bahan lain pada filtrat
dikeluarkan bersama urin. Setelah terjadi reabsorbsi maka tubulus
akan menghasilkan urin sekunder, zat-zat yang masih diperlukan
tidak ditemukan lagi. Sebaliknya, konsentrasi zat-zat sisa
metabolisme yang bersifat racun bertambah, misalnya urea.
3) Augmentasi
Augmentasi adalah proses penambahan zat sisa dan urea yang
mulai terjadi di tubulus kontortus distal. Dari tubulus-tubulus
ginjal, urin akan menuju ke rongga ginjal, selanjutnya menuju
kantong kemih melalui saluran ginjal. jika kantong kemih telah
terisi urin, dinding kantong kemih akan tertekan sehingga timbul
rasa ingin berkemih. Urin akan keluar melalui uretra. Komposisi
urin yang dikeluarkan melalui uretara adalah air, garam, urea, dan
sisa substansi lain, misalnya pigmen empedu yang berfungsi
memberi warna dan bau pada urin. (Nuari dan Widayati, 2017).
3. Klasifikasi
Pengukuran fungsi ginjal terbaik adalah dengan mengukur Laju
Filtrasi Glomerulus (LFG). Melihat nilai laju filtrasi glomerulus ( LFG )
baik secara langsung atau melalui perhitungan berdasarkan nilai
pengukuran kreatinin, jenis kelamin dan umur seseorang. Pengukuran
LFG tidak dapat dilakukan secara langsung, tetapi hasil estimasinya dapat
dinilai melalui bersihan ginjal dari suatu penanda filtrasi. Salah satu
penanda tersebut yang sering digunakan dalam praktik klinis adalah
kreatinin serum.
Menurut Chronic Kidney Disease Improving Global
Outcomes (CKD KDIGO, 2012) proposed classification, dapat dibagi
menjadi :
ACR (approximate
Kategori AER (mg/24 hours) equivalent) Terms
(mg/mmol (mg/g)
)
A1 < 30 < 30 < 30 Normal – peningkatan ringan
A2 30 -300 30 - 300 30 - 300 Sedang
A3 > 30 >30 >30 Berat
4. Etiologi
Pada dasarnya, penyebab gagal ginjal kronik adalah penurunan laju
filtrasi glomerulus atau yang disebut juga penurunan glomerulus filtration
rate (GFR). Penyebab gagal ginjal kronik menurut Andra & Yessie, 2013):
a. Gangguan pembuluh darah : berbagai jenis lesi vaskuler dapat
menyebabkan iskemik ginjal dan kematian jaringan ginajl. Lesi yang
paling sering adalah Aterosklerosis pada arteri renalis yang besar,
dengan konstriksi skleratik progresif pada pembuluh darah.
Hyperplasia fibromaskular pada satu atau lebih artieri besar yang juga
menimbulkan sumbatan pembuluh darah. Nefrosklerosis yaitu suatu
kondisi yang disebabkan oleh hipertensi lama yang tidak di obati,
dikarakteristikkan oleh penebalan, hilangnya elastistisitas system,
perubahan darah ginjal mengakibatkan penurunan aliran darah dan
akhirnya gagal ginjal.
b. Gangguan imunologis : seperti glomerulonephritis.
c. Infeksi : dapat dijelaskan oleh beberapa jenis bakteri terutama E.Coli
yang berasal dari kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri.
Bakteri ini mencapai ginjal melalui aliran darah atau yang lebih sering
secara ascenden dari traktus urinarius bagiab bawah lewat ureter ke
ginjal sehingga dapat menimbulkan kerusakan irreversible ginjal yang
disebut pielonefritis.
d. Gangguan metabolik : seperti DM yang menyebabkan mobilisasi
lemak meningkat sehingga terjadi penebalan membrane kapiler dan di
ginjal dan berlanjut dengan disfungsi endotel sehingga terjadi
nefropati amyloidosis yang disebabkan oleh endapan zat-zat
proteinemia abnormal pada dinding pembuluh darah secara serius
merusak membrane glomerulus.
e. Gangguan tubulus primer : terjadinya nefrotoksis akibat analgesik atau
logam berat.
f. Obstruksi traktus urinarius : oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan
kontstriksi uretra.
g. Kelainan kongenital dan herediter : penyakit polikistik sama dengan
kondisi keturunan yang dikarakteristik oleh terjadinya kista atau
kantong berisi cairan didalam ginjal dan organ lain, serta tidak adanya
jaringan ginjal yang bersifat konginetal (hypoplasia renalis) serta
adanya asidosis.
5. Patofisiologi
Sebuah kondisi yang dapat menyebabkan CKD dan hipertensi,
yaitu arteri stenosis ginjal (penyempitan pembuluh darah yang mendukung
ginjal). Ketika penyempitan menjadi cukup parah, kurangnya aliran darah
dapat menyebabkan hilangnya fungsi ginjal. Jika suplai darah ke kedua
ginjal dipengaruhi, atau aliran darah ke ginjal berfungsi tunggal, seperti
setelah penghapusan ginjal akibat kanker, terganggu, klien akan
mengembangkan CKD. Penurunan aliran darah memicu sistem renin
angiotensin, menyebabkan hipertensi.
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan
struktur pada arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan
hialinisasi dinding pembuluh darah. Organ sasaran utama adalah jantung,
otak, ginjal, dan mata. Pada ginjal, arteriosklerosis akibat hipertensi lama
menyebabkan nefrosklerosis. Gangguan ini merupakan akibat langsung
iskemia karena penyempitan lumen pembuluh darah intrarenal.
Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus
dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak. Terjadilah gagal ginjal
kronik. Gagal ginjal kronik sendiri sering menimbulkan hipertensi. Sekitar
90% hipertensi bergantung pada volume dan berkaitan dengan retensi air
dan natrium, sementara < 10% bergantung pada renin.
Tekanan darah adalah hasil perkalian dari curah jantung dengan
tahanan perifer. Pada gagal ginjal, volum cairan tubuh meningkat sehingga
meningkatkan curah jantung. Keadaan ini meningkatkan tekanan darah.
Selain itu, kerusakan nefron akan memacu sekresi renin yang akan
mempengaruhi tahanan perifer sehingga semakin meningkat.
6. Manifestasi Klinis CKD
a. Kelainan hemopoesis, dimanifestasikan dengan anemia, yaitu
1) Retensi toksik uremia → hemolisis sel eritrosit, ulserasi mukosa
sal.cerna, gangguan pembekuan, masa hidup eritrosit memendek,
bilirubuin serum meningkat/normal, uji comb’s negative dan jumlah
retikulosit normal.
2) Defisiensi hormone eritropoetin Ginjal sumber ESF (Eritropoetic
Stimulating Factor) → def. H eritropoetin → Depresi sumsum tulang
→ sumsum tulang tidak mampu bereaksi terhadap proses
hemolisis/perdarahan → anemia normokrom normositer.
b. Kelainan Saluran cerna 1) Mual, muntah, hicthcup dikompensasi oleh
flora normal usus → ammonia (NH3) → iritasi/rangsang mukosa
lambung dan usus.
1) Stomatitis uremia Mukosa kering, lesi ulserasi luas, karena sekresi
cairan saliva banyak mengandung urea dan kurang menjaga
kebersihan mulut.
2) Pankreatitis Berhubungan dengan gangguan ekskresi enzim amylase.
c. Kelainan mata
d. Kardiovaskuler :
1) Hipertensi
2) Pitting edema
3) Edema periorbital
4) Pembesaran vena leher
5) Friction Rub Pericardial
e. Kelainan kulit
1) Gatal Terutama pada klien dengan dialisis rutin karena :
a) Toksik uremia yang kurang terdialisis
b) Peningkatan kadar kalium phosphor
c) Alergi bahan-bahan dalam proses HD
2) Kering bersisik Karena ureum meningkat menimbulkan penimbunan
kristal urea di bawah kulit.
3) Kulit mudah memar
4) Kulit kering dan bersisik
5) rambut tipis dan kasar
f. Neuropsikiatri
g. Kelainan selaput serosa
h. Neurologi :
1) Kelemahan dan keletihan
2) Konfusi
3) Disorientasi
4) Kejang
5) Kelemahan pada tungkai
6) rasa panas pada telapak kaki
7) Perubahan Perilaku
i. Kardiomegali.
Tanpa memandang penyebabnya terdapat rangkaian perubahan fungsi
ginjal yang serupa yang disebabkan oleh desstruksi nefron progresif.
Rangkaian perubahan tersebut biasanya menimbulkan efek berikut pada
pasien : bila GFR menurun 5-10% dari keadaan normal dan terus
mendekati nol, maka pasien menderita apa yang disebut Sindrom
Uremik.
7. Pemeriksaan Penunjang / Diagnostik
a. Laboratorium
1) pemeriksaan penurunan fungsi ginjal
a) Ureum kreatinin
b) Asam urat serum.
b. Identifikasi etiologi gagal ginjal
1) Analisis urin rutin
a) Mikrobiologi urin
b) Kimia darah
c) Elektrolit
d) Imunodiagnosis
c. Identifikasi perjalanan penyakit
Nilai normal :
1) Laki-laki : 97 - 137 mL/menit/1,73 m3 atau0,93 - 1,32
mL/detik/m2
2) Wanita : 88-128 mL/menit/1,73 m3 atau 0,85 - 1,23
mL/detik/m2
3) Hemopoesis : Hb, trobosit, fibrinogen, factor pembekuan
4) Elektrolit : Na+, K+, HCO3-, Ca2+, PO42-, Mg+
5) Endokrin : PTH dan T3,T4
6) Pemeriksaan lain : berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk
ginjal, misalnya: infark miokard.
d. Diagnostik
1) Etiologi CKD dan terminal
a) Foto polos abdomen.
b) USG.
c) Nefrotogram.
d) Pielografi retrograde.
e) Pielografi antegrade.
f) Mictuating Cysto Urography (MCU).
2) Diagnosis pemburuk fungsi ginjal
a) RetRogram
b) USG.
8. Penatalaksaan Medis
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan cairan
elektrolit dan mencegah komplikasi, yaitu sebagai berikut (Muttaqin,
2011) :
a. Dialisis
Dialisis dapat dilakukan dengan mencegah komplikasi gagal
ginjal yang serius, seperti hyperkalemia, pericarditis, dan kejang.
Dialisis memperbaiki abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan,
protein dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas, menghilangkan
kecenderungan perdarahan dan membantu penyembuhan luka.
Dialisis atau dikenal dengan nama cuci darah adalah suatu
metode terapi yang bertujuan untuk menggantikan fungsi/kerja ginjal
yaitu membuang zat-zat sisa dan kelebihan cairan dari tubuh. Terapi
ini dilakukan apabila fungsi kerja ginjal sudah sangat menurun (lebih
dari 90%) sehingga tidak lagi mampu untuk menjaga kelangsungan
hidup individu, maka perlu dilakukan terapi.
9. Komplikasi
a. Hiperkalemia akibat penurunana ekskresi, asidosis metabolic,
katabolisme dan masukan diet berlebih.
b. Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system
rennin-angiotensin aldosteron
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi toksin dna kehilangan
drah selama hemodialisa
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah dan metabolisme vitamin D abnormal.
f. Asidosis metabolic
g. Osteodistropi ginjal
h. Sepsis
i. Neuropati perifer
j. Hiperuremia
3. Kontraindikasi Hemodialisa
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari
hemodialisa adalah hipotensi yang tidak responsif terhadap presor,
penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik. Sedangkan menurut
PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah tidak mungkin
didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit,
instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang
lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark,
sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan
lanjut (PERNEFRI, 2003).
4. Tujuan Hemodialisa
Terapi hemodialisis mempunyai beberapa tujuan. Tujuan tersebut
diantaranya adalah menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi
(membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin,
dan sisa metabolisme yang lain), menggantikan fungsi ginjal dalam
mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat
ginjal sehat, meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita
penurunan fungsi ginjal serta Menggantikan fungsi ginjal sambil
menunggu program pengobatan yang lain (Suharyanto dan Madjid, 2011).
Dialisis didefinisikan sebagai difusi molekul dalam cairan yang
melalui membran semipermeabel sesuai dengan gradien konsentrasi
elektrokimia. Tujuan utama Hemodialisis adalah untuk mengembalikan
suasana cairan ekstra dan intrasel yang sebenarnya merupakan fungsi dari
ginjal normal. Dialisis dilakukan dengan memindahkan beberapa zat
terlarut seperti urea dari darah ke dialisat. dan dengan memindahkan zat
terlarut lain seperti bikarbonat dari dialisat ke dalam darah. Konsentrasi zat
terlarut dan berat molekul merupakan penentu utama laju difusi. Molekul
kecil, seperti urea, cepat berdifusi, sedangkan molekul yang susunan yang
kompleks serta molekul besar, seperti fosfat, β2- microglobulin, dan
albumin, dan zat terlarut yang terikat protein seperti pcresol, lebih lambat
berdifusi. Disamping difusi, zat terlarut dapat melalui lubang kecil (pori-
pori) di membran dengan bantuan proses konveksi yang ditentukan oleh
gradien tekanan hidrostatik dan osmotik – sebuah proses yang dinamakan
ultrafiltrasi (Cahyaning, 2011).
Ultrafiltrasi saat berlangsung, tidak ada perubahan dalam
konsentrasi zat terlarut; tujuan utama dari ultrafiltrasi ini adalah untuk
membuang kelebihan cairan tubuh total. Sesi tiap dialisis, status fisiologis
pasien harus diperiksa agar peresepan dialisis dapat disesuaikan dengan
tujuan untuk masing-masing sesi. Hal ini dapat dilakukan dengan
menyatukan komponen peresepan dialisis yang terpisah namun berkaitan
untuk mencapai laju dan jumlah keseluruhan pembuangan cairan dan zat
terlarut yang diinginkan. Dialisis ditujukan untuk menghilangkan komplek
gejala (symptoms) yang dikenal sebagai sindrom uremi (uremic
syndrome), walaupun sulit membuktikan bahwa disfungsi sel ataupun
organ tertentu merupakan penyebab dari akumulasi zat terlarut tertentu
pada kasus uremia (Lindley, 2011).
5. Komponen Hemodialisa
Ada 3 komponen utama yang terlibat dalam proses hemodialisa, yaitu
a. Alat dialiser (ginjal buatan)
b. Cairan dialisat
c. Sistem penghantaran darah
Dialiser adalah alat dalam proses dialisis yang mampu mengalirkan
darah dan dialisat dalam kompartemen-kompartemen di dalamnya dengan
dibatasi membran semipermeabel. Dialisat adalah cairan yang digunakan
untuk menarik limbah-limbah tubuh dari darah. Sementara sebagai buffer
umumnya digunakan bikarbonat, karena memiliki resiko lebih kecil untuk
menyebabkan hipotensi dibandingkan dengan buffer natrium. Kadar setiap
zat di cairan dialisat juga perlu diatur sesuai kebutuhan. Sementara itu, air
yang digunakan harus diproses agar tidak menimbulkan resiko
kontaminasi.
Sistem penghantaran darah dapat dibagi menjadi bagian di mesin
dialisis dan akses dialisis di tubuh pasien. Bagi yang di mesin terdiri atas
pompa darah, sistem pengaliran dialisat dan berbagai monitor. Sementara
akses dialisis di tubuh pasien dibagi atas 2 bagian yaitu fistula dan
graf/katerer. Prosedur yang dimulai paling efektif adalah dengan membuat
suatu fistula dengan cara membuat sambuangan secara anastomis antara
arteri dan vena. Salah satu prosedur yang paling umum adalah
menyambungkan arteri radialis dengan vena cephalica yang biasa disebut
fistula cimino-brechia (dalam Herman, I., 2016).
6. Proses Hemodialisa
Efektivitas hemodialisa dapat tercapai bila dilakukan 2-3 kali
dalam seminggu selama 4-5 jam, atau paling sedikit 10-12 jam seminggu.
Hemodialisa di Indonesia biasanya dilakukan 2 kali seminggu dengan
lama hemodialisa 5 jam, atau dilakukan 3 kali seminggu dengan lama
hemodialisa 4 jam.
Sebelum hemodialisa dilakukan pengkajian pradialis, dilanjutkan
dengan menghubungkan pasien dengan mesin hemodialisa dengan
memasang blood line dan jarum ke akses veskuler pasien, yaitu akses
masuknya darah ke dalam tubuh. Arteio venous fistula adalah akses
vaskuler yang direkomendasikan karena cenderung lebih aman dan juga
nyaman bagi pasien.
Setelah blood line dan vaskuler terpasang, proses hemodialisa
dimulai. Saat dialisis darah dialirkan ke luar tubuh dan disaring di dalam
dialiser. Darah mulai mengalir dibantu pompa darah. Cairan normal saling
diletakkan sebelum pompa darah untuk mengantisipasi adanya hipotensi
introdialis. Infus heparin diletakkan sebelum atau sesudah pompa
tergantung peralatan yang digunakan. Darah mengalir dari tubuh melalui
akses arterial menuju ke dialiser sehingga terjadi pertukaran darah dan zat
sisa. Darah harus dapat keluar dan masuk tubuh pasien dengan kecepatan
200-400 ml/menit. Proses selanjutnya darah akan meninggalkan dialiser.
Darah yang meninggalkan dialiser akan melewati detektor udara. Darah
yang sudah disaring kemudian dialirkan kembali ke dalam tubuh melalui
akses venosa. Dialisis diakhiri dengan menghentikan darah dari pasien,
membuka selang normal salin dan membilas selang untuk mengembalikan
darah dari pasien. Pada akhir dialisis sisa akhir metabolisme dikeluarkan.
Keseimbangan elektrolit tercapai dan buffer system telah diperbarui
(dalam Herman, I., 2016).
7. Komplikasi Hemodialisa
Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian
dari fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit
ginjal kronik (PGK) stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK). Walaupun
tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun
masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat menjalani
HD. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD
adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan
dilakukannya UF atau penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik
terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani HDreguler. Namun sekitar 5-
15% dari klien HD tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut
hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension (HID) (Agarwal dan
Light, 2010).
Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan
komplikasi kronik (Daurgirdas et al., 2010).
a. Komplikasi akut
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah:
hipotensi, kram otot, mual muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit
punggung, gatal, demam, dan menggigil (Daurgirdas et al., 2007;
Bieber dan Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang cukup sering
terjadi adalah gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun
hipertensi saat HD atau HID. Komplikasi yang jarang terjadi adalah
sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung,
perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara,
neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al.,
2010).
b. Komplikasi Kronik Adalah komplikasi yang terjadi pada klien
dengan hemodialisis kronik. Komplikasi kronik yang sering terjadi
antara lain (Bieber dan Himmelfarb, 2013):
1) Penyakit jantung
2) Malnutrisi
3) Hipertensi
4) Anemia
5) Renal osteodystrophy
6) Neurophaty
7) Disfungsi reproduksi
8) Komplikasi pada akses
9) Gangguan perdarahan
10) Infeksi
11) Amiloidosis
12) Acquired cystic kidney disease
D. TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan dasar utama proses perawatan yang akan
membantu dalam penentuan status kesehatan dan pola pertahanan
pasien, mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan pasien serta
merumuskan diagnose keperawatan (Smeltezer and Bare, 2011 :
Kinta, 2012).
a. Identitas pasien
Meliputi nama lengkap, tempat tinggal, umur, tempat lahir, asal
suku bangsa, tanggal masuk, diagnosis medis, identitas
penanggung jawab meliputi : Nama, umur, hubungan denga
pasien, pekerjaan dan alamat.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan hal-hal yang dirasakan oleh
pasien sebelum masuk ke Rumah sakit. Pada pasien gagal
ginjal kronik biasanya didapatkan keluhan utama bervariasi,
mulai dari urin keluar sedikit sampai tidak dapat BAK,
gelisah sampai penurunan kesadaran, tidak selera makan
(anoreksia), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah,
nafas bau (ureum) dan gatal pada kulit (Muttaqin, 2011).
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya pasien mengalami penurunan frekuensi urin,
penurunan kesadaran, perubahan pola nafas, kelemahan fisik,
adanya perubahan kulit, adanya nafas berbau amoniak, rasa
sakit kepala, nyeri panggul, penglihatan kabur, perasaan tidak
berdaya dan perubahan pemenuhan nutrisi (Muttaqin, 2011).
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Biasanya pasien berkemungkinan mempunyai riwayat
penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah
jantung, penggunaan obat-obat nefrotoksik, penyakit batu
saluran kemih, infeksi sistem perkemihan berulang, penyakit
diabetes melitus, hipertensi pada masa sebelumnya yang
menjadi prdisposisi penyebab. Penting untuk dikaji mengenai
riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat
alergi terhadap jenis obat kemudian dokumentasikan
(Muttaqin, 2011).
4) Riwayat Alergi
Pasien yang menjalani dialisis, semua jenis obat dan dosisnya
harus dievaluasi dengan cermat. Terapi antihipertensi yang
sering merupakan bagian dari susunan terapi dialisis,
merupakan salah satu contoh dimana komunikasi,
pendidikan, dan evaluasi dapat memberikan hasil yang
berbeda. Pasien harus mengetahui kapan minum obat, dan
kapan menundanya. Sebagai contoh, obat antihipertensi
diminum pada hari yang sama dengan saat menjalani
hemodialisis, efek hipotensi dapat terjadi selama
hemodialisis, dan menyebabkan tekanan darah rendah yang
berbaya
5) Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya pasien mempunyai anggota keluarga yang pernah
menderita penyakit yang sama dengan pasien yaitu gagal
ginjal kronik, maupun penyakit diabetes melitus dan
hipertensi yang bisa menjadi faktor pencetus terjadinya
penyakit gagal ginjal kronik.
6) Riwayat Dialisis
Pada pasien dengan hemodialisa perlu dikaji sudah berapa
lama melakukan hemodialisa (bulan atau tahun), kemudian
berapa lama melakukan hemodialisa, apakah ada akses
vaskuler (permanen dan temporer), tanyakan juga apakah ada
masalah pada akses vaskuler (AV Fistula, Femoral, Doble
Lument, Jugularis, Femoralis, dan Subclavia) selama
hemodialisa berlangsung, serta tanyakan keluhan selama
melakukan hemodialisa berlangsung dan gejala klinis yang
terjadi selama proses hemodialisa (lemas, pusing, gatal,
bengkak, muntah, mual, berdebar debar, hipotensi, nyeri otot,
sakit kepala, pandangan gelap, rembes pada akses darah,
keringat dingin, dan syndrom disequilibrium).
c. Pola Fungsi
1) Pernapasan
Gejala :
a) Napas pendek, dispnea noktural proksimal.
b) Batuk dengan tanpa sputum kental dan banyak.
Tanda :
(1) Takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi dan
kedalaman (pernapasan kusmaul).
(2) Batuk produktif dengan sputum merah muda dan
encer (edema paru).
2) Makanan dan cairan
Gejala :
a) Peningkatan BB cepat (edema) penurunan BB
(malnutrisi).
b) Anoreksia, nyeri ulu hati, mual, muntah.
c) Rasa metalik tak sedap pada mulut (pernapasan amonia)
d) Penggunaan diuretik.
Tanda :
(1) Distensi abdomen atau asites, pembesaran hati tahap
akhir.
(2) Penuruna turgor kulit dan kelmbapan.
(3) Edema.
(4) Penurunan otot, penuruna lemak, subkutan,
penampilan tak bertenaga.
3) Eliminasi
Gejala :
a) Penuruna frekuensi urin, oliguri, anuria (gagal ginjal
tahap lanjut)
b) Abdomen kembung, diare, atau konstipasi.
Tanda :
(1) Perubahan warna urin, contoh : kuning pekat,
merah, coklat berawan, oliguria, dapat menjadi anuria.
4) Gerak dan Aktivitas
Kaji kemampuan gerak dan aktivitas pasien. Keletihan,
kelelahan, dan ketidakmampuan melakukan aktivitasnya
saat dilakukannya tindakan hemodialisa
5) Istirahat Tidur
Menggambarkan kebutuhan istirahat dan tidur pasien,
pengkajian yang dilakukan terkait kualitas dan kuantitas
tidur, gangguan tidur, serta apakah menggunakan obat
atau tidak. Pada pasien yang akan menjalani hemodialisa
biasanya mengalami kesulitan untuk tidur, gelisah, dan
insomnia.
6) Kebersihan Diri
Biasanya kemampuan perawatan diri dan kebersihan diri
terganggu dan biasanya membutuhkan pertolongan atau
bantuan orang lain. Ada juga yang mampu melakukan
perawatan diri sendiri seperti mandi tanpa bantuan orang
lain, tergantung bagaimana kondisi pasiennya itu sendiri.
7) Pengaturan Suhu Tubuh
Pengukuran suhu tubuh dapat dilakukan untuk mengetahui
apakah adanya peningkatan suhu (hipertermia) pada
pasien saat menjalani tindakan hemodialisa
8) Rasa Nyaman
Menggambarkan kondisi serta rasa nyaman pasien, hal
yang dapat dikaji terkait apakah ada rasa nyeri yang
dialami pada saat menjalani hemodialisa, kualitasnya
bagaimana, berapa kali nyeri timbul, daerahnya dimana,
rasio atau tingkat nyeri berapa, waktunya kapan (PQRST)
9) Rasa Aman
Kaji rasa aman pasien, apakah pasien merasa cemas,
gelisah yang dirasakan sehingga rasa aman dan nyaman
pasien terganggu.
10) Data Sosial
Kaji data sosial pasien, apakah pasien sangat berperan
penting dalam keluarganya, pasien berhubungan baik dan
harmonis dengan keluarga atau antar tetangga.
11) Prestasi dan Produktivitas
Kaji data pasien mengenai prestasi dan produktivitas,
apakah prestasi yang pernah dicapai pasien, pengaruh
pekerjaan terhadap penyakit yang diderita, dan pengaruh
produktivitas terhadap penyakit yang diderita pasien.
12) Rekreasi
Kebutuhan akan rekreasi dapat dikaji dengan menanyakan
hobi pasien dan kebiasaan rekreasi pasien dengan
keluarganya.
13) Belajar
Pada kebutuhan belajar, hal-hal yang dapat dikaji yaitu
bagaimana pengetahuan pasien mengenai penyakitnya dan
seberapa besar pemahaman pasien terhadap penyakitnya.
14) Ibadah
Pada kebutuhan ibadah, hal-hal yang dapat dikaji
mengenai agama atau kepercayaan yang dianut oleh
pasien dan kebiasaan ibadah pasien saat menjalani
hemodialisa.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum dan tanda-tanda vital
Berat badan setelah melakukan hemodialisis biasanya berat
badan akan menurun, tanda-tanda vital sebelum dilakukan
prosedur hemodialisis biasanya denyut nadi dan tekanan
darah darah diatas rentang normal.
2) Kepala
a) Rambut : pasien berambut tipis atau lebat, warna rambut
pasien, mudah rontok, kulit kepala bersih atau kotor, ada
lesi atau tidak
b) Wajah : lihat apakah wajah pasien pucat atau tidak
c) Mata : kaji kedua mata pasien apakah simetris atau tidak,
konjungtiva anemis, sclera tidak hikterik apakah pasien
mengalami gangguan penglihatan, pupilnya isokor atau
anisokor, adakah nyeri atau tidak odema
d) Hidung : lihat kesimetrisan hidung pasie, warna kulit
hidung, apakah pembengkakan pada hidung, kemudian
lihat apakah ada massa dibagian hidung dan nyeri tekan
pada hidung
e) Mulut : pada mulut yang perlu dikaji adalah bentuk
mulut, radang mukosa (stomatitis), karang gigi, benda
asing (gigi palsu), gusi, warna gigi, warna lidah, apakah
ada pembesaran tosil atau tidak, mukosa keputihan.
3) Leher : pada leher yang perlu dikaji adalah bentuk leher,
warna kulit leher, gerakan leher, pembesaran kelenjar tiroid,
pembesaran getah bening, dan apakah ada nyeri pada bagian
leher, apakah ada terpasang double lumen jugularis dan
kondisi double lumen. Apakah ada infeksi seputaran leher
akibat adanya pemasangan double lumen jugularis.
4) Dada/Thorak
Pemeriksaan fisik pada bagian dada yang perlu dikaji
adalah kesimetrisan atau bentuk dada, gerak napas
(frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya bernapas atau
menggunakan alat bantu napas) warna kulit, lesi, edema,
tidak ada tanda-tanda disetres pernafasan warna kulit sama
dengan kulit yang lain, tidak ada sianosis, tidak ada nyeri
tekan, adakah double lumen pada dada, serta kondisi double
lumen.
5) Perut/Abdomen
Pada pasien hemodialisa yang perlu dikaji dan dilihat
adalah bentuk abdomen, apakah membusung atau
membuncit, perut menonjol atau tidak, amati apakah ada
tampak benjolan (benjolan atau massa), apakah ada bising
usus, dan peristaltic usus, apakah ada nyeri tekan, bekas
luka, warna kulit, warna kulit perut, dan apakah ada odema
perut.
6) Genital
Kaji jenis kelamin pasien, apakah mempunyai penyakit
kelamin, kemudian penyebaran rambut pubis, ada oderm
pada skrotum atau tidak
7) Integument
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan
akibat penimbunan urokrom, gatal-gatal akibat toksik, kuku
tipis, dan rapuh.
8) Muskuloskeletal
Resiles leg syndrome (pegal pada kakinya sehingga selalu
digerakkan), burning feet sindrom (rasa kesemutan dan
terbakar), adanya penurunan pergerakan dan aktivitas otot,
adanya akses vaskuler pada ekstremitas atas (cimino/ av
shunt), adanya akses femoral pada ektremitas bawah serta
kondisi akses.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah suatu penilaian klinis terhadap
adanya pengalaman dan respon individu, keluarga ataupun
komunitas terhadap masalah kesehatan, pada risiko masalah
kesehatan atau pada proses kehidupan. Diagnosis keperawatan
adalah bagian vital dalam menentukan proses asuhan keperawatan
yang sesuai dalam membantu pasien mencapai Kesehatan yang
optimal. Memngingat diagnosis keperawatan sangat penting maka
dibutuhkan standar diagnose keperawatan yang bisa diterapkan
secara nasional di Indonesia dengan mengacu pada standar diagnose
yang telah dibakukan sebelumnya (PPNI, 2016). Adapun diagnosa
yang muncul, yaitu :
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan
mekanisme regulasi
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan mual dan muntah/anoreksia
c. Nyeri kronis berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
kronis
d. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan anemia
e. Risiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasiv berulang
f. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan
peruakumulasi ureum dalam kulit
3. Perencanaan
No
Dx Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
.
1 Kelebihan volume cairan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Elektrolit/cairan
berhubungan dengan gangguan diharapkan terjadi keseimbangan cairan dan 1. Pantau kadar serum elektrolit
mekanisme regulasi elektrolit dalam tubuh. 2. Timbang berat badan harian
Kriteria Hasil: 3. Batasi cairan yang sesuai
Defenisi : Peningkatan retensi cairan 1. Tekanan darah dalam batas normal 4. Berikan resep diet yang tepat untuk cairan
isotonik. 2. Keseimbangan intake dan output tertentu atau pada ketidak seimbangan
Batasan karakterisik: 3. Kestabilan berat badan elektrolit
a. Bunyi nafas tambahan 4. Tidak ada edema perifer 5. Berikan antipiretik yang sesuai
b. Distensi vena jugularis 5. Elektrolit serum dalam batas normal Manajemen cairan
c. Edema perifer 6. Berat jenis urin tidak terganggu 1. Monitor perubahan berat badan pasien
d. Gangguan pola nafas sebelum dan sesudah dialisis.
e. Gangguan tekanan darah 2. Pasang kateter urin
f. Ketidak seimbangan elektrolit 3. Monitor hasil laboratorium yang relevan
g. Oliguria dengan retensi cairan (BUN, Hematokrit
h. Penambahan berat badan dalam dan osmolalitas urin)
waktu sangat singkat 4. Monitor tanda-tanda vital pasien.
5. Monitor indikasi kelebihan cairan (CVP,
Edema, distensi vena leher, dan asites).
6. Kaji lokasi dan luasnya edema, jika ada.
7. Berikan terapi IV seperti yang ditentukan
8. Monitor status gizi
9. Berikan diuretic yang diresepkan
Monitor cairan
1. Tentukan jumlah dan jenis intake/asupan
cairan serta kebiasaan eliminasi
2. Monitor asupan pengeluran
3. Periksa turgor kulit
4. Monitor berat badan
5. Monitor tekanan darah, denyut jantung
dan pernafasan
6. Berikan dialisis dan catat respon pasien
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang Setelah dilakukan tindakan keperawatan, Manajemen nutrisi
dari kebutuhan tubuh berhubungan diharapkan ketidak seimbangan nutrisi 1. Tentukan status gizi pasien dan
dengan anoreksia kurang dari kebutuhan tubuh teratasi dengan kemampuan pasien untuk memenuhi
status nutrisi. kebutuhan gizi
Definisi : Asupan nutrisi tidak cukup Kriteria Hasil : 2. Identifikasi adanya alergi makanan
untuk memenuhi kebutuhan 1. Asupan gizi dalam rentang normal yang dimiliki pasien
metabolik 2. Asupan makanan dalam rengtang normal 3. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam
Batasan Karakteristik : 3. Rasio berat badan/tinggi badan dalam menentukan jumlah kalori dan jenis
a. Nyeri abdomen rentang normal. nutrisi yang dibutuhkan.
b. BB 20% atau lebih dibawah 4. Pastikan diet mencakup makanan
BBideal. Setelah dilakukan tindakan keperawatan, tinggi kandungan serat untuk
c. Kerapuhan kapiler diharapkan ketidak seimbangan nutrisi mencegah konstipasi.
d. Diare kurang dari kebutuhan tubuh teratasi dengan Monitor nutrisi
e. Kehilangan rambut berlebihan status nutrisi : asupan makanan & cairan 1. Timbang berat badan pasien
Kriteria Hasil : 2. Lakukan pengkuran antropometri
1. Asupan makanan secara oral yang 3. Monitor kecenderungan turun dan
adekuat naiknya berat badan
2. Asupan cairan intravena yang adekuat 4. Identifikasi perubahan berat badan
3. Asupan nutrisi parenteral yang adekuat terakhir
5. Monitor turgor kulit dan mobilitas
6. Identifikasi adanya abnormalitas
rambut (kering, tipis, kasar, dan mudah
patah, rontok)
7. Monitor adanya mual muntah
8. Monitor diet dan asupan kalori
9. Monitor wajah pucat, konjungtiva
anemis
10. Monitor hasil pemeriksaan
laboratorium (Kolesterol, serum
albumin, transferrin, Hb, Ht) Monitor
tanda-tanda vital
3. Intoleransi aktifitas berhubungan Setelah dilakukan asuhan keperawatan, Manajemen Energi
dengan anemia diharapkanpasien menunjukkan toleransi 1. Anjurkan pasien mengungkapkan
terhadap aktifitas. perasaan secara verbal mengenai
Definisi : Ketidakcukupan energi Kritria Hasil: keterbatasan yang dialami
psikologis atau fisiologis untuk 1. Frekuensi pernafasan ketika 2. Monitor intake/asupan nutrisi untuk
melanjutkan atau menyelesaikan beraktivitas tidak tergannggu mengetahui sumber energy yang
aktivitas kehidupan sehari-hari yang 2. Tekanan darah sitolik ketika adekuat
harus atau yang ingin dilakukan. beraktivitas tidak terganggu 3. Monitor lokasi dan sumber ketidak
Batasan Karakteristik: 3. Tekanan darah diastolik ketika nyamanan/nyeri yang dialami pasien
a. Respon tekanan darah beraktivitas tidak terganggu selama aktivitas
abnormal terhadap aktivitas Setelah dilakukan asuhan keperawatan, 4. Bantu pasien identifikasi pilihan
b. Ketidaknyamanan setelah diharapkanpasien menunjukkan daya tahan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan.
beraktivitas terhadap toleransi aktivitas. 5. Lakukan ROM aktif/pasif untuk
c. Dipsnea setelah beraktivitas Kriteria Hasil: menghilangkan ketegangan otot.
d. Menyatakan merasa letih 1. Aktivitas fisik tidak terganggu 6. Bantu pasien dalam aktivitas sehari-
e. Menyatakan merasa lemah 2. Serum elektrolit darah tidak terganggu hari yang terartut sesuai kebutuhan
3. Tidak ada letargi (berpindah, bergerak, dan perawatan
4. Tidak ada kelelahan diri)
Setelah dilakukan asuhan keperawatan, Terapi aktivitas
diharapkan pasien menunjukkan energi 1. Bantu pasien untuk mengidentifikasi
psikomotor. aktivitas yang diinginkan
Kriteria Hasil: 2. Berikan kesempatan keluarga untuk
1. Menunjukkan tingkat energi yang stabil terlibat dalam aktivitas, dengan cara
2. Menunjukkan kemampuan untuk yang tepat
menyelesaikan tugas sehari-hari 3. Bantu pasien untuk meningkatkan
motivasi diri dan penguatan.
4. Ciptakan lingkungan yang aman untuk
dapat melakukan pergerakan otot
secara berkala sesuai dengan indikasi
Manajemen Nyeri
1. Lakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif
2. Observasi adanya petunjuk nonverbal
mengenai ketidak nyamanan.
3. Demonstrasikan tindakan penurun
nyeri nonfarmakologi dengan teknik
nafas dalam
4. Nyeri kronis berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen nyeri
gangguan muskuloskeletal kronis diharapkan Tingkat Nyeri berkurang. 1. Lakukan pengkajian nyeri
Kriteria Hasil : komprehensif yang meliputi lokasi,
Definisi: Pengalaman sensorik dan 1. Tidak ada nyeri yang dilaporkan karakteristik, onset/durasi, frekuensi,
emosional tidak menyenangkan 2. Tidak ada ekspresi nyeri wajah kualitas, intensitas atau beratnya nyeri
dengan kerusakan jaringan aktual 3. Tidak ada keringat berlebih dan faktor
atau potensial, atau digambarkan 4. Tidak ada mengerinyit 2. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen
sebagai suatu kerusakan yang tiba- 5. Frekuensi nafas normal nyeri
tiba atau lambat dengan intensitas 6. Tekanan darah normal 3. Dorong pasien untuk memonitor nyeri
dari ringan hingga berat, terjadi 7. Denyut nadi radial normal dan menangani nyerinya dengan tepat
konstan atau berulang tanpa akhir 4. Ajarkan teknik nonfarmakologis
yang dapat dianstipasi atau (seperti: biofeedback, TENS, hypnosis,
diprediksi dan berlangsung lebih dari relaksasi, bimbingan antisipatif, terapi
tiga(>3) bulan. music, terapi bermain, terapi aktivitas,
Batasan karakteristik: akupressur, aplikasi panas/dingin dan
a. Bukti nyeri pijatan
b. Ekspresi wajah nyeri (meringis) 5. Gunakan pengontrolan nyeri sebelum
c. Hambatan kemampuan nyeri bertambah berat
meneruskan aktivitas 6. Pastikan pemberian analgesik dan atau
sebelumnya strategi nonfarmakologis sebelum
d. Perubahan pola tidur dilakukan prosedur yang menimbulkan
nyeri
7. Dukung istirahat/tidur yang adekuat
untuk membantu penurunan nyeri
8. Berikan informasi yang akurat untuk
meningkatkan pengetahuan dan respon
keluarga terhadap pengalaman nyeri
9. Monitor kepuasan pasien terhadap
manajemen nyeri dalam interval yang
spesifik
5. Risiko infeksi berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan keperawatan, Kontrol infeksi
tindakan invasiv berulang pasien menunjukkan tidak mengalami 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai
infeksi dengan indikator pasien lain
Definisi: Mengalami peningkatan Keparahan infeksi: Baru Lahir 2. Pertahankan teknik isolasi
risiko terserang organisme Kriteria Hasil: 3. Anjurkan pasien menggunakan alat
patogenik. 1. Tidak ada ketidak stabilan suhu tubuh pelindungan diri
2. Tidak ada kulit berbintikbintik 4. Instruksikan pada pengunjung untuk
3. Tidak ada kejang mencuci tangan saat berkunjung dan
4. Tidak ada peningkatan jumlah sel darah setelah berkunjung meninggalkan
putih pasien
5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci
tangan
6. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah
tindakan keperawatan
7. Pertahankan lingkungan aseptik selama
pemasangan alat
8. Tingkatkan intake nutrisi
6. Risiko gangguan integritas kulit Setelah dilakukan asuhan keperawatan, 1. Observasi kondisi kulit minimal sehari
berhubungan dengan akumulasi diharapkan pasien tidak mengalami sekali untuk perubahan pada warna dan
ureum dalam kulit kerusakan integritas jaringan : kulit & tekstur, kondisi kulit atau luka
membran mukosa. 2. Observasi terhadap kekeringan kulit,
Definisi : Beresiko mengalami Kriteria hasil: pruritus, ekskoriasi, dan infeksi
perubahan kulit yang buruk. 1. Kembalinya integritas permukaan kulit 3. Observasi perawatan kulit klien, catat
2. Klien akan menjaga integritas kulit jenis sabun dan bahan pembersih lain
dengan memperlihatkan cara perawatan yang digunakan, temperature air dan
kulit frekuensi membersihkan kulit
3. Menunjukkan pemahaman tentang faktor 4. Anjurkan mandi dan tidak menggunakan
resiko gangguan integritas kulit sabun yang mengandung deterjen
4. Kulit tidak kering dan gatal 5. Lakukan penilaian skor pada kulit kering
5. Hiperpigmentasi berkurang dan pruritus klien
6. Melaporkan perubahan sensasi atau nyeri 6. Berikan KIE tentang penyebab
area yang beresiko munculnya masalah kulit
7. Pakai emolien, lotion atau pelembab
(minyak mineral, minyak bayi, lanolin)
8. Hindarkan bahan pembersih yang keras,
air panas, gesekan kuat dan ekstrim atau
sering membersihkan
9. Gunakan pakaian katun yang longgar,
tipis dan dingin
10. Menjaga linen tetap bersih, kering dan
bebas dari kerutan
4. Implementasi
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keoperawatan dengan
cara melakukan identitas sejauh mana tujuan dari rencana
keperawatan tercapai atau tidak. Dalam melakukan evaluasi perawat
harus memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam memahami
respon terhadap intervensi keperawatan, kemampuan menggambarkan
kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam
menghubungkan tidakan keperawatan dengan criteria hasil. Pada
tahap ini, perawat menemukan penyebab mengapa suatu proses
keperawatan dapat berhasil atau gagal (Alfaro-Lefevre, 1994 dalam
Deswani, 2013). Pada tahapan evaluasi ini terdiri dari dua, yaitu:
a. Evaluasi proses (evaluasi formatif)
Fokus pada evaluasi ini adalah aktivitas dari proses keperawatan
dan hasil kualitas pelayanan asuhan keperawatan. Evaluasi ini
harus dilaksanakan segera setelah perencanaan keperawatan
diimplementasikan untuk membantu menilai efektifitas intervensi
tersebut. Metode pengumpulan data evaluasi ini menggunakan
analisis rencana asuhan keperawatan, open chart audit, pertemuaan
kelompok, wawancara, observasi, dan menggunakan form evaluasi.
Sistem penulisannya dapat menggunakan system SOAP.
b. Evaluasi hasil (evaluasi sumatif)
Fokus pada evaluasi hasil (evaluasi sumatif) adalah pada perubahan
perilaku atau status kesehatan klien pada akhir asuhan
keperawatan. Evaluasi ini dilakukan pada akhirnya asuhan
keperawatan secara paripurna. Evaluasi hasil bersifat objektif,
fleksibel, dan efesien. Metode pelaksanaannya terdiri dari close
chart audit, wawancara pada pertemuan terakhir asuhan, dan
pertanyaan kepada klien dan keluarga.
WOC
w Vaskuler
(Hipertensi)
Resiko
Gangguan
Integritas
Kulit
Kelebihan Volume
Cairan
DAFTAR PUSTAKA