Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Islam sebagai sebuah bentuk keyakinan memiliki umat yang besar.


Hampir diseluruh penjuru dunia terdapat umat islam. Hal ini disebabkan
karena islam disebarkan dan masuk kedalam suatu masyarakat dengan cara
yang damai dan santun sehingga banyak orang yang berminat masuk islam.
Akan tetapi, selain banyak orang senang dan bangga dengan islam, tidak
sedikit pula orang yang menyerang islam, yang disebabkan karena perbedaan
keyakinan terutama ketauhidan. Mereka yang tidak senang dengan islam
selalu berusaha menjatuhkan islam, baik melalui buday, pola pikir, dsb. Untuk
menghadapi hal ini, ulama-ulama dahulu membalasnya dengan memberikan
argumen yang berisi alasan-alasan untuk mempertahankan keimanan mereka
baik tentang keimanan kepada Tuhan, malaikat, dsb. Dan hal yang sering kita
sebut sebagai ilmu kalam.
Ilmu kalam merupakan produk pikir manusia. Sesuai dengan berjalannya
waktu, ilmu kalam pun semakin berkembang. Banyak ulama terjun
didalamnya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Pemikiran Kalam Ibnu Taimiyah ?
2. Bagaimana Pemikiran Kalam Ibnu Hazam ?
3. Bagaimana Pemikiran Kalam Muhammad Abdul Wahab?

1.3 TujuanPenulisan
1. Untuk mengetahui Pemikiran Kalam Ibnu Taimiyah.
2. Untuk mengetahui Pemikiran Kalam Ibnu Hazam.
3. Untuk mengetahui Pemikiran Kalam Muhammad Abdul Wahab.

1
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pemikiran Kalam Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyyah adalah salah satu tokoh muslim yang namanya selalu
hadir dihampir setiap literatur yang berbicara tentang sejarah pergerakan
islam. Ia Lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arab yang terletak
antara sungai Dajalah (Tigris) dengan Efrat, pada hari Senin 10 Rabiu`ul
Awal tahun 661 H. Ayahnya bernama Syikh Syihabuddin Abdul Halim yang
juga dikenal sebagai besar yang bermazhab Hambali.1
Serangan yang dilancarkan oleh Pasukan Mongol ke tempat
kelahirannya pada tahun 668 H/1269 M memaksa Ia dan keluarganya
mengungsi ke Damaskus untuk mengamankan diri. Di daerah tersebut mereka
disambut hangat oleh warga dan tokoh masyarakat, maka sejak itu pula Ibnu
Taimiyah dan keluarganya resmi jadi warga Damaskus, sekaligus relatif
menghabiskan masa-masa hidupnya dalam pengabdian di daerah tersebut.2
Seorang pemiki Ibnu Taimiyah telah menoreh beberapa corak pemikiran
semasa hidupnya, entah itu dibidang teologi, fikih, hadits, dan lain-lain. Meski
demikian, pada pembahasan makalah ini, penulis hanya akan fokus mengkaji
pemikiran beliau terkait dengan persoalan-persoalan kalam yang sempat
beliau bangun secara teoritik dalam kajian keilmuannya.
Ibnu Taimiyah pada intinya membangun gagasan intelektualitasnya
dengan cara meminimalisir penggunaan rasio dalam penjelajahan
keilmuannya, sebab baginya bahwa dasar yang paling utama bagi
pengetahuan ialah “fitrah”. Menurutnya bahwa dengan fitrah tersebut,
manusia dapat mengetahui baik dan buruk, serta benar dan salahnya sesuatu.
Fitrah dalam asumsinya adalah merupakan dasar dari kejadian manusia yang
didalamnya menyatu hati kecil/hati nurani (fitrah yang diturunkan; al fitrah
almunazzalah).3

1
Hidayatullah Abdul Latif, Pejuang dan Pemikir Islam dari Masa ke Masa, (Cet. I; Jakarta Selatan : Iqra
Insan Press, 2005), h. 113.
2
Ibid., h. 113-114.
3
Nurholis Madjid, op.cit., h. 213.
2
Implikasi teoritik dari bangunan asumsi Ibnu Taimiyah ini ialah
lahirnya beberapa penolakan terhadap berbagai macam bentuk-bentuk
pemikiran yang terlepas dari Alquran dan Assunnah.4 Termasuk dalam hal ini
adalah Filsafat, Kalam, dan Tasawuf. Meski demikian, dalam pembahasan ini,
penulis hanya akan mengelabori pemikiran Ibnu Taimiyah yang memiliki
keterkaitan erat dengan kalam. Berikut adalah hal yang penulis maksudkan :

1. Asumsi Kalam Ibnu Taimiyah


Terkait dengan persoalan kalam, Ibnu Taimiyah membangun antitesa
paradigma terhadap Al-Gazali yang dianggap lebih mengutamakan kalam
ketimbang fikih. Bahkan lebih jauh dari pada itu, Ibnu Taimiyah menuding
kalam sebagai bentuk penyimpangan terhadap islam. Hal ini nampak jelas
dari pemikirannya yang dikutip oleh Faslur Rahman bahwa kalam (terutama
yang diikuti oleh para teolog/mutakallimun) setelah abad III benar-benar telah
menyimpang dari Alquran dan Sunnah. Lebih jauh Ia berasumsi bawha para
mutakallimun menganggap ilmunya paling benar karena berkaitan dengan
prinsip universal dari keyakinan, sedangkan fikih yang terkait dengan
persoalan-persoalan khusus yang rentan dengan ijtihad (kebebasan berpikir).5
Lebih lanjut Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak ada yang lebih
mengkotak-kotakkan dan bahkan menggiring pertentangan diantara para
ulama Islam kecuali persoalan tersebut, tidak jarang karena persoalan ini
masing-masing gologan saling menyerang gologan yang lain, lebih
ekstrimnya lagi ialah mengkafirkan kelompok yang berbeda dengannya.6
Kritikan Ibnu Taimiyah ini tidak hanya dianggap bahwa kalam lebih buruk
dari pada fikih, melainkan juga sebagai sebuah perkembangan yang sangat
disayangkan adanya dalam islam.
Kritikan Ibnu Taimiyah terhadap kalam tidak hanya mengantarnya
untuk tidak menggunakan istilah kalam dalam teologinya. Tapi menurutnya
bahwa dibutuhkan sebuah reorientasi teologi yang radikal, karena doktrin
kehendak Tuhan (kadar) yang diterima dan dikembangkan pada satu sisinya
4
Suprapto, “Antara Tasawwuf dan Syari’ah; Studi atas Pemikiran Neo-Sufisme Ibn Taimiyah” (Cet. I;
Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Press, 1999), h. 71. Lihat juga pada Thoha Hamin, et.al.,
Antologi Kajian Islam; Tinjauan tentang Filsafat, Tasawwuf, Institusi, Pendidikan, Qur’an, Hadits, dan
Hukum, (Cet. I; Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Press, 1999), h. 85.
5
Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam; Studi tentang Fundamentalisme Islam, terj. Aam
Fahmia, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 188.
6
Ibid., hlm. 189
3
oleh teologi yang resmi, telah meronrong kehidupan moral keagamaan.
Pada persoalan ini dituntut adanya sebuah pembedaan yang tajam antara
‘kehendak Tuhan yang penuh ke Maha Kuasaan (riyadah kawniyah)’ dan
fungsi Tuhan ‘Pemerintah (riyadah diniyah)’. Jika doktrin yang pertama
diperlukan dalam doktrin agama maka yang kedua merupakan titik tolak dari
tindakan religiustias, sebab Kekuasaan dan Kehendak Tuhan bukanlah
argument bagi siapapun terhadap Tuhan dan Kreasi-Nya. Karena itulah qadar
diasumsikan sebagai obyek keimanan, tapi tiak bisa jadi dasar bagi suatu
argument.7
Kerangka pemikiran tersebut mengantar Ibnu Taimiyah menolak
doktrin Asy’ariah bahwa manusia tidak memiliki daya demi memelihara
kekuasaan dan keabsolutan Tuhan.8 Dalam pandangan Ibnu Taimiyah bahwa
manusia mempunyai kekuasaan (potensi) kehenkan untuk melaksanakan
perintah yang dibekan oleh Allah kepadanya, dari sinilah nampak
kemandirian perbuatan manusia disatu sisi, namun disisi lain tetap dibangun
kepercayaan bahwa Allahlah pencipta dan pembuat segala sesuatu. Inilah
yang diasumsikan oleh Ibnu Taimiyah sebagai jalan tengah (tawasuth) antara
paham Jabariah dan Qadariah.9

2. Karakteristik Pemikiran Kalam Ibnu Taimiyah


Bangunan pemikiran kalam Ibnu Taimiyah, tentu tidak dapat dipisahkan
dengan ciri khasnya yang sekaligus menjadi pembeda utamanya dengan tokoh
pemikir yang lain. Menurut Mustafa Hilmi bahwa Ibnu Taimiyah dalam
pemikiran kalamnya sangat kontras dengan gaya salafnya, dan bahkan bisa
dikata bahwa beliau adalah tokoh pembaharu dan reformisnya. Gagasan
Salafiah ini banter dengan sebuah dogma utama bahwa setiap persoalan
(entah itu terkait dengan ushul agama ataupun furu’nya) harus merujuk pada
apa yang tertoreh dalam Kitabullah dan as-Sunnah.
Penekanan paradigma Salafi sebagaimana yang dituturkan oleh Mustafa
Hilmi ialah bersumber dari 3 kadiah utama, yaitu :

a. Mendahulukan syara’ (nash) atas akal

7
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, (Cet.II; Bandung : Pustaka,1997), h. 162.
8
Ibid., h. 195.
9
Nurcholis Majid, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Cet. IV; Jakarta: Paramadina, 2000), h. 210.
4
Kaidah ini kemudian digunakan karena dalam pemahaman mereka
bahwa akal merupakan salah satu sarana pengetahuan manusia yang tidak bisa
lepas dari kekeliruan-kekeliruan dalam penalarannya, sementara Nash
merupakan seusatu yang bersifat pasti dan terjamin adanya.

b. Menolak Takwil Teologi


Alquran merupakan kitab yang paling sempurna, dan ayat-ayat yang
nampak samar-samar tentu telah dijelaskan oleh Rasulullah dalam
sunnah/haditsnya, karena itu menggunakan takwil dalam memahaminya
(khususnya yang terkait dengan persoalan teologi), tentu akan mengakibatkan
terjadinya reduksi terhadap makna-maknanya. Dilain sisi bahwa persoalan
teologi adalah persoalan imani yang demi kemurniannya, spekulasi akal harus
dihindarkan.

c. Mengutamakan Ayat Alquran sebagai dalil


Alquran sebagai kalamullah, tentu tidak lagi terdapat keraguan
didalamnya, dan menggunakan itu sebagai dalil utama dalam menyelesaikan
sebauh persoalan pasti akan terhindar dari kekeliruan-kekeliruan. Itulah
sebabnya sehingga ayat-ayat yang dikandungnay jauh lebih utama dijadikan
sebagai hujjah ketimbang yang lainnya.10
Dari ketiga prinsip dasar tersebut, kaum salaf memberkan penolakan terhadap
praktek-praktek keagamaan yang tidak tertulis secara jelas dalam Alquran dan
Sunnah sebagai sebuah perintah. Salah satu bukti dapat dilihat dari pernyataan
Ibnu Taimiyah terkati dengan perayaan Maulid Nabi Saw, sebagaimana yang
dinukil oleh Ja’Far Subhani bahwa sekiranya perayaan maulid ini adalah
kebaikan (diutamakan) niscaya salaf lebih berhak melakukannya daripada kita
karena mereka lebih besar kecintaanya kepada Rasulullah dan lebih
mengagungkan beliau dari pada kita.11
Mengamati asumsi tersebut, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa
kaum salaf pada intinya tidak memberkan ruang bagi praktek-praktek
keagamaan yang nota benenya tidak tercantum di dalam Alquran dan Sunnah
serta tidak pernah dilakukan oleh para pendahulunya (sebagian sahabat dan
tabi’in). Ritual-ritual yang demikian itu adanya dikategorikan sebagai bid’ah,
10
Ibid., h. 42-45.
11
Ja’Far Subhani, Al-Bid’ah; Mafhumuha, Haddaha wa Atsaruha. terj. Tholib Anis, Kupas Tuntas Masalah
Bid’ah, (Cet.I; Jakarta : Lentera, 2008), h. 166.
5
dan itulah sebabnya sehingga Ibnu Taimiyah dengan gigih memeranginya
dimasa hidupnya.

2.2 Pemikiran Kalam Ibnu Hazm

1. Orang yang dipandang kafir


Perbincangan tentang orang yang dipandang kafir atau keluar dari islam
termasuk isu yang hangat pada masa Ibn Hazm. Pertentangan mengenai hal
itu sangat tajam. Ada golongan yang berpendapat bahwa orang yang berbeda
dari mereka dalam salah satu persoalan agama atau masalah Ijtlhad dalam
hukum maka dianggap kafir. Dikalangan ahli Sunnah sendiri terdapat
beberapa pendapat, Ada yang mengkafirkan golongan lain yang tidak sejalan
dengan mereka dari segi aqidah, Ada yang mengkafirkan golongan orang yarg
meninggalkan salat. Ada juga yang tidak mengkafirkan orang semacam itu
selama mereka mengaku salat sebagai kewajiban, Ada pula yang tidak
mengkafirkan golongan lain yang mempunyal pendapat yang berbeda, baik
dari segi akidah maupun segi lain. kecuali ada ijma' umat tentang itu.
Pendirian Ibn Hazm agaknya sejalan pendapat golongan yang disebutkan
terakhir, Menurut pendapatnya. seseorang tidak dapat dikafirkan hanya karena
ia menakwilkan al-quran, Mujtahid yang mengeluarkan fatwa juga tidak dapat
dikafirkan. Orang yang dikafirkan lalah yang disepakati oleh umat tentang
kekafirannya, seperti menolak sesuatu yang diyakini secara Ijma' berasal dari
Allah. Selanjutnya. Orang yang fasiq tidak dapat diperangi seperti halnya
orang kafir Pendapatnya Itu didasarkan antara lain pada hadis Nabi yang
menyatakan bahwa barangsiapa mengucapkan Ia Ilaha illa Allah maka ia
termasuk penghuni sorga.
Pendapat Ibn Hazm tentang aliran lain seperti di atas agak toleran,
namun sesungguhnya Ia juga adakalanya menggunakan ungkapan yang keras
ketika membicarakan golongan lain, seperti gatalahum allah terhadap alirari
Cadariah. Ia sangat tajam ketika mengeritik orang-orang terkemuka dan
dihormati oleh banyak arang seperti al-Asy'ary dan Abu Hanifah, juga ketika
mengeritik orang-orang non muslim. yakai Kristen dan Yahudi. Kritik yang
demikian itu membuat banyak pihak yang kurang simpatik terhadapnya. Jadi,
Ibn Hazm terpengaruh pula oleh tradisi pemikiran Islam klasik yang menurut

6
Mohammed Arkosar bersifat apologetis dan polemis. Dengan demikian ia
tampil pula dengan ciri zamannya.

2. Sekitar Sifat-Sifat Tuhan


Menurut Ibn Hazm, Tuhan tidak mempunyai sifat sebab ia tidak
menyatakan dalam firman-Nya bahwa ia mempunyai sifat. Juga tidak
dinyatakan dalam hadis Nabi Saw, Ia beralasan dengan firman Allah:
Subhana rabbika rabbil izzati 'amma yashifun.
Artinya: Maha suci Tuharimu yang mempunyal keperkasaan dari apa yang
mereka katakan.(Q.S. 37:180). (Muhammad Arkoum, 1994: 118)
Bagi Ibn Hazm, ungkapan seperti al-sami' dan al-bashir merupakan
nama bagi Tuhan (isim'alam) yang diambil dari kata sifat. Kita dapat memberi
nama bagi Tuhan sebagaimana yang la katakan untuk diri-Nya, namun kita
tidak dapat menamsi-Nya selain dari apa yang Ia sebutkan Kita tidak dapat
mengatakan bahwa Tuhan mempunyai pendengaran (al-sama) atau
penglihatan (al-bashar) sebab Tuhan tidak menyatakan demikian. Tuhan
berbeda apa yang ada di dunia ini. Lain halnya dengan Ilmu. Tuhan
menyatakan:Anzalahu bi'ilmihi. Artinya : Allah menurunkan Al - Qur’an
dengan Ilmu Nya. Hal tersebut mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai
ilmu. Jika kita mengatakan bahwa allah mengetahui segala sesuatu maka itu
maksudnya bahwa Tuhan mempunyai pengetahuan, tak ada sesuatu yang
tersembunyi bagi- Nya ini tidak mesti mengandung arti bahwa Ia mempunyai
ilmu yang lain dari diri-Nya. (Ahmad Nashir al Hamd, 1406 H: 189-190)
Selanjutnya menurut Ibn Hazm, kita dapat mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai satu tangan. dua tangan, dan banyak tangan, Kita dapat juga
mengatakan bahwa Tuhan mempunyai satit mata dan banyak mata sebab
Tuhan tudak mengatakan demikian. Ungkapan-ungkapan dernikian itu tidak
menunjuk kepada suatu kecuali Allah. (Ibn Hazm,1964: 118)
Sejumlah pernyataan yang demikian oleh Ibn Hazm sebagaimana
disebutkan di atas sejalan dengan masih makna zhahir dari beberepa ayat al-
quran. Ia kelihatannya masih berpegang teguh pada prinsip- prinsip Zahiriyyat
Akan tetapi. Ibn Hazm juga menghina dari faham tajsim sehingga ia
mengatakan bahwa ungkapan-ungkapan itu tidak menunjuk kepada sesuatu
kecuali Allah. Penjelasan itu membuat dia agak bergeser dari makna zhahir.

7
Menurut keterangan Farrukh, ungkapan-ungkapan demikian itu bagi Ibn
Hazm tidak menuju kepada tangan dan mata yang tertentu melainkan
dipergunakan sebagai metafor bebas (majar) yang hanya menunjuk kepada
Tuhan semata. Sedangkan menurut penilaian Ahmad Nashir al- Hamid, Ibn
Hazm tidak mengambil makna zhahir dari nash dan mempergunakan ta'wil
ketika ia memahami ayat-ayat al-Ouran yang menerangkan, antara lain,
tentang al-saq yang secara harfiah berarti betis (Q.S.68:42) dan al-istiwa yang
dari segi leksikal berarti naik atau berada di atas (Q.S.7:54). “Artinya, dalam
beberapa hal ternyata Ibn Hazm tidak menerapkan sepenuhnya prinsip-prinsip
Zhahiriyyat.

3. Penolakan Terhadap Jauhar


Ibn Hazm menolak pandangan filosof klasik maupun yang datang
kemudian yang mengatakan bahwa selain dari jism dan 'ardh ada yang disebut
jauhar, yaitu satu dari segi zat, menerima hal-hal yang berlawanan, berdiri
sendiri, tidak bergerak, tidak mengambil tempat, tidak mempunyai panjang,
tidak mempunyail lebar, tidak mempunyai kedalaman dan tidak terbagi-bagi.
bagi Ibnu Hazm yang ada hanya Jism dan ‘Ardh.

4. Kebangkitan Jasmani
Ibn Hazm meyakini adanya kebangkitan jasmani, suatu hal yang ditolak
oleh sejumlah filosof. Menurut pendapatnya. yang dimaksud dengan mati
ialah berpisahnya jasad dan jiwa, sedang hidup adalah bersatunya jiwa dari
jasad. Ini ucapan yang jelas, tidak memungkinkan tawil selain dari itu
Baginya, kebangkitan di akhirat mesti terdiri dari (unsur rohani dan jasmani
sebab kedua hal itu menyatu sebelum terjadi kematian.
Pendapat Ibn Hazm Itu didasarkan pada sejumlah ayat Al-Quran.Di
antaranya: “dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di alam
kubur" (Q.S.22:7) " kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu,
kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan kembali, kemudian kepada-Nya-
lah kamu dikembalikan”. (Q.S.2:28).
Orang yang menolak kebangkitan jasmani dianggap oleh Ibn Hazm
merusak Ijma' umat sehingga orang tersebut dapat dipandang kafir.
Perbincangan mengenai hal tersebut manjadi bahan polemik antara al. Ghazali
dan Ibn Rusyd.
8
5. Azab Kubur
Ibn Hazm meyakini adanya azab kubur. keyakinan itu didasarkan pada
ayat al-quran yang artinya: Kepada mereka ditampakkan neraka pada waktu
pagi dan petang (yakni sebelum hari kebangkitan) dan pada hari terjadinya
kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): masukkanlah firaun dan kaurnnya ke
dalam azab yang sangat keras.(QS.Ghafir: 46) Menurut ayat ini arwah
keluarga Fir'aun disiksa sebelum hari kiamat, yakni ketika Jasad masih berada
di kubur. Sebaliknya, orang yang mati di jalan Allah akan merasakan
kesenangan. la berdasar pada ayat yang artinya: janganlah kamu mengira
bahwa orang yang gugur di jalan Allah itu mati, mereka itu hidup disisi
Tuhannya dengan mendapat rezki. (QS.Ali Imran :169).
Menurutnya, kita menyaksikan bahwa jasad orang yang mati itu berbeda
dari keadaan yang disebutkan itu, maka yang dimaksud oleh ayat itu adalah
khusus bagi arwah. Yang merasakan kesenangan ataupun siksaan adalah jiwa
setelah berpisah dengan jasad. Ibn Hazm menyatakan pula bahwa terdapat
banyak hadis yang menyatakan tentang adanya siksa kubur.

6. Pengertian Esa bagi Allah


Meskipun Ibn Hazm berpedoman pada makna zhahir dari ayat-ayat Al-
Quran dan Hadis, ia juga berusaha untuk menjelaskan beberapa masalah yang
berkaitan dengan aqidah dengan pendekatan filsafat, Ia misalnya menyatakan
bahwa Allah Itu Esa bukan sebagai bilangan. Alasannya yakni karakteristik
setiap bilangan itu ada bilangan lain yang serupa dengannya dan ada pula
yang tidak serupa dengannya contohnya, satu ditambah dengan satu sama
dengan dua, satu tidak sama dengan dua.

2.3 Pemikiran Kalam Muhammad Abdul Wahab

Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 - 1206 H/1701 - 1793 M)


adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan
keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah yang
kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi. Bin ʿAbd al-Wahhāb
memiliki nama lengkap Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin
Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-
Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi.12
12
http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_bin_Abdul_Wahhab
9
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah seorang ulama yang berusaha
membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni. Para
pendukung pergerakan ini sesungguhnya menolak disebut Wahabbi, karena
pada dasarnya ajaran Ibnu Wahhab menurut mereka adalah ajaran Nabi
Muhammad, bukan ajaran tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih untuk
menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun yang berarti "satu
Tuhan".13
Salah satu pelopor pembaruan dalam dunia Islam Arab adalah suatu
aliran yang bernama Wahabiyah yang sangat berpengaruh di abad ke-19.
Pelopornya adalah Muhammad Abdul Wahab (1703-1787 M). Pemikiran
yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul Wahab adalah upaya
memperbaiki kedudukan umat Islam terhadap paham tauhid yang terdapat di
kalangan umat Islam saat itu. Paham tauhid mereka telah bercampur dengan
ajaran-ajaran tarikat yang sejak abad ke-13 tersebar luas di dunia Islam
Di setiap negara Islam yang dikunjunginya, Muhammad Abdul Wahab
melihat makam-makam syekh tarikat. Setiap kota bahkan desa-desa
mempunyai makam sekh atau walinya masing-masing. Umat Islam pergi ke
makam-makam itu dan meminta pertolongan dari syekh atau wali yang
dimakamkan disana untuk menyelesaikan masalah kehidupan mereka sehari-
hari. Ada yang meminta diberi anak, jodoh, disembuhkan dari penyakit, dan
ada pula yang minta diberi kekayaan. Syekh atau wali yang telah meninggal
dunia itu dipandang sebagai orang yang berkuasa untuk meyelesaikan segala
macam persoalan yang dihadapi manusia. Menurut paham Wahabiah,
perbuatan ini termasuk syirik karena permohonan dan doa tidak lagi
dipanjatkan kepada Allah SWT.
Masalah tauhid memang merupakan ajaran yang paling dasar dalam
Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Muhammad Abdul
Wahab memusatkan perhatiannya pada persoalan ini. Pokok-pokok pemikiran
Muhammad Abdul Wahab yaitu:14
1. Yang harus disembah hanyalah Allah SWT dan orang yang menyembah
selain dari Nya telah dinyatakan sebagai musyrik
2. Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang

13
http://www.indoforum.org/t79608/
14
http://dc195.4shared.com/img/6qK86Fu6/preview.html
10
sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan kepada Allah,
melainkan kepada syekh, wali atau kekuatan gaib. Orang Islam yang
berperilaku demikian juga dinyatakan musyrik
3. Menyebut nama nabi, syekh atau malaikat sebagai pengantar dalam doa
dikatakan sebagai syirik
4. Meminta syafaat selain kepada Allah adalah perbuatan syrik
5. Bernazar kepada selain Allah merupakan sirik
6. Memperoleh pengetahuan selain dari Al Qur’an, hadis, dan qiyas
merupakan kekufuran
7. Tidak percaya kepada Qada dan Qadar Allah merupakan kekufuran
8. Menafsirkan Al Qur’an dengan takwil atau interpretasi bebas termasuk
kekufuran.
Untuk mengembalikan kemurnian tauhid tersebut, makam-makam yang
banyak dikunjungi denngan tujuan mencari syafaat, keberuntungan dan lain-
lain sehingga membawa kepada paham syirik, mereka usahakan untuk
dihapuskan. Pemikiran-pemikiran Muhammad Abdul Wahab yang
mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaruan di abad ke-
19 adalah sebagai berikut:
1. Hanya Al-Quran dan Hadis yang merupakan sumber asli ajaran Islam
2. Taklid kepada ulama tidak dibenarkan
3. Pintu ijtihad senantiasa terbuka dan tidak tertutup
Muhammad Abdul Wahab merupakan pemimpin yang aktif mewujudkan
pemikirannya. Ia mendapat dukungan dari Muhammad Ibn Su’ud dan putranya
Abdul Aziz di Nejed. Paham-paham Muhammad Abdul Wahab tersebar luas
dan pengikutnya bertambah banyak sehingga di tahun 1773 M mereka dapat
menjadi mayoritas di Ryadh. Di tahun 1787, beliau meninggal dunia tetapi
ajaran-ajarannya tetap hidup dan mengambil bentuk aliran yang dikenal
dengan nama Wahabiyah.
Selain itu, Ibnu Abdul Wahhab juga mendapat julukan rajul ad-da’wah
(pejuang dakwah), bahkan dia termasuk orang terdepan dalam pasukan
kerajaan yang daerahnya meluas sampai meliput timur Jazirah dan sebagian
Yaman, Makkah, Madinah, dan Hijaz.

11
Pembaruan Ibnu Abdul Wahhab dan ijtihadnya lebih banyak berupa pemilihan
yang masih dalam lingkup mazhab Hambali serta mengajak kepada nash dan
ucapan para tokohnya-khususnya ucapan pendiri mazhab, Imam Ahmad bin
Hambal (164-241 H/780-855 M) dan Ibnu Taimiyah (661-728 H/1263-1328
M) daripada kreasi pemikiran, penemuan, dan hal-hal baru. Ijtihadnya adalah
pilihan dalam lingkup mazhab, mengajak kepada nash dan pendapat yang
memurnikan akidah tauhid dari tanda-tanda kesyirikan, bid’ah, dan khurafat.
Di samping itu, dari beberapa hal yang dikemukakannya di atas yang
sangat diperhatikannya adalah masalah tauhid yang menjadi tiang agama;
yang terkristalisasi dalam ungkapan la ilah illa Allah. Menurutnya, tauhid
telah dirasuki berbagai hal yang hampir menyamai syirik, seperti
mengunjungi para wali, mempersembahkan hadiah dan meyakini bahwa
mereka mampu mendatangkan keuntungan atau kesusahan, mengunjungi
kuburan mereka dikunjungi oleh orang dari berbagai penjuru dunia dan di
usap-usap. Seakan-akan Allah sama dengan penguasa dunia yang dapat
didekati melalui para tokoh mereka, dan orang-orang dekat-Nya. Bahkan
manusia telah melakukan syirik apabila mereka percaya bahwa pohon kurma,
pepohonan yang lain, sandal atau juru kunci makam dapat diambil berkahnya,
dengan tujuan agar mereka dapat memperoleh keuntungan. Bagaimana
menyelamatkan dari keyakinan-keyakinan seperti ini?
Menurutnya, Allah swt semata-mata Pembuat Syariat dan akidah. Allah-
lah yang menghalalkan dan mengharamkan. Ucapan seseorang tidak dapat
dijadikan hujah dalam agama, selain Kalamullah dan Rasulullah. Adapun
pendapat para teolog tentang akidah serta pendapat para ahli fikih dalam
masalah halal dan haram bukanlah hujah. Setiap orang yang telah memenuhi
syarat untuk melakukan ijtihad berhak melakukannya. Bahkan dia wajib
melakukannya. Menutup pintu ijtihad merupakan sebuah bencana atas kaum
muslim, karena hal itu dapat menghilangkan kepribadian dan kemampuan
mereka untuk memahami dan menentukan hukum. Menutupi pintu ijtihad
berarti membekukan pemikiran dan menjadikan umat hanya mengikuti
pendapat atau fatwa yang tertera dalam buku-buku orang yang di ikutinya.
Itulah dasar dakwah Muhammad bin Abd al-Wahhab. Dia mengikuti
ajaran Ibn Taimiyah. Atas dasar itu pula dibangunlah hal-hal yang parsial.

12
Menurutnya, manusia bebas berpikir tentang batas-batas yang telah ditetapkan
oleh al-qur’an dan sunah. Dia memerangi segala macam bentuk bid’ah, dan
mengarahkan orang agar beribadah dan berdo’a hanya untuk Allah, bukan
untuk para wali, syeikh, atau kuburan. Menurutnya, kita harus kembali pada
islam pada zaman awal, yang suci dan bersih. Dia berkeyakinan bahwa
kelemahan kaum Muslim hari ini terletak pada akidah mereka yang tidak
benar. Jika akidah mereka bersih seperti akidah para pendahulunya yang
menjunjung tinggi kalimat la ilah illa Allah (yang berarti tidak menganggap
hal-hal lain sebagai Tuhan selain Allah, tidak takut mati, atau tidak takut
miskin dijalan yang benar), maka kaum Muslim pasti dapat meraih kembali
kemuliaan dan kehormatan yang pernah diraih oleh para pendahulu mereka.15

15
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1995), Hlm.269-270.
13
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ibnu Taimiyyah adalah salah satu tokoh muslim yang namanya selalu hadir
dihampir setiap literatur yang berbicara tentang sejarah pergerakan islam. Ia
Lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arab yang terletak antara
sungai Dajalah (Tigris) dengan Efrat, pada hari Senin 10 Rabiu`ul Awal
tahun 661 H. Ayahnya bernama Syikh Syihabuddin Abdul Halim yang juga
dikenal sebagai besar yang bermazhab Hambali.

Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 - 1206 H/1701 - 1793 M) adalah


seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan
keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah yang
kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi. Bin ʿAbd al-Wahhāb
memiliki nama lengkap Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin
Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-
Masyarif at-Tamimi al-Hambali.

14
DAFTAR PUSTAKA

http://adenazkey17.blogspot.com/2014/04/makalah-pemikiran-kalam-
muhammad-bin.html

Hidayatullah Abdul Latif, Pejuang dan Pemikir Islam dari Masa ke Masa,
(Cet. I; Jakarta Selatan : Iqra Insan Press, 2005), h. 113

Ibid.,

Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung: PT


Remaja Rosdakarya, 1995), Hlm.269-270.

Ibid., h. 42-45.

Ja’Far Subhani, Al-Bid’ah; Mafhumuha, Haddaha wa Atsaruha. terj. Tholib


Anis, Kupas Tuntas Masalah Bid’ah, (Cet.I; Jakarta : Lentera, 2008), h. 166.

15

Anda mungkin juga menyukai