Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PERKEMBANGAN ASWAJA DI INDONESIA


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Aswaja

Dosen Pengampu : Mutiara Fahriani, M.Pd.

Disusun oleh :

Agus Maulana

Dila Nurmalasari

Neneng Marliani Hasanah

Winaya

FAKULTAS TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
INSITUT AGAMA ISLAM IPASUNG
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan
hidayahnya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “PERKEMBANGAN ASWAJA DI
INDONESIA “ INI pada waktunya .
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen
pengampu pada mata kuliah aswaja.
Kami menguapkan terima kasih kepada Ibu Mutiara Fahriani, M.pd., Selaku dosen mata
kuliah aswaja yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami juga menguapkan terima kasih kepada semua pihak yang ya g telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, baik dari
segi penyusunan ,bahasa, ataupun penulisannya . Oleh karena itu kami mengharkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun m khususnya dari mata dosen mata kuliah guna menjadi acuan
dalam bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik di masa yang akan datang.

Tasikmalaya, 26 September 2021

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam masuk ke Indonesia sejak zaman khulafaur Rasyidin tepatnya pada masa khalifah Utsman
bin Affan. Penyebaran Islam di Indonesia masuk melalui dua jalur utama yaitu jalur selatan yang
bermazhab syafi’I (Arab, Yaman, India, Pakistan, Banladesh, Malaka, Indonesia) dan jalur utara (jalur
sutara) yang bermazhab hanafi (Turki, Persia, Kazakhstan, Uzbekistan, Afganistan, cina, Malaka,
Indonesia). Penyebaran Islam semakin berhasil, khususnya di Pulau Jawa sejak abad ke-13 oleh wali
songo. Dari murid-murid wali songo inilah kemudian seara turun temurun menghasilkan ulama-ulama
besar di wilayah nusantara seperti Syaikhuna Khoil Bangkalan (Madura), Syaikh Arsyad Al Banjari
(Banjar, Kalimantan, Syaikh Yusuf Sulawesi, dan lain-lain. ). Telaah terhadap Ahlussunnah Wal
Jama’ah (Aswaja) sebagai bagaian dari kajian keislaman merupakan upaya yang mendudukkan
aswaja secara proporsional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau
golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep
pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu problem
teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu. Pemaksaan suatu aliran
tertentu yang pernah berkembang di era tertentu untuk kita yakini, sama halnya dengan aliran
teologi sebagai dogma dan sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan tertentu. Padahal aliran
teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan interpretasi sesuaidengan
konteks zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita antisipasi berarti kita telah
memelihara kemerdekaan (hurriyah); yakni kebebasan berfikir (hurriyah al-ra’yi), kebebasan
berusaha dan berinisiatif (hurriyah al-irodah) serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas
(hurriyah al-harokah).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Masuknya Islam Ke Indonesia ?
2. Bagaimana perkembangan Aswaja di Indonesia ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui masuknya islam ke Indonesia
2. Untuk mengetahui perkembangan aswaja di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Masuknya islam ke Indonesia

Kennet W. Morgan menjelaskan, berita terpercaya tentang Islam di Indonesia pertama


kali ditemukan di berita Marcopolo. Dalam perjalanannya kembali ke Venezia pada tahun 692 H
(1292 M), Marcopolo setelah mengerjakan valuasi khan saya di China, dibuatlah persinggahan,
sebuah kota di Pantai Utara Sumatra.
Menurut Marcopolo, penduduk pada masa itu di Islam yang dia sebut Saracen, wilayah
pangeran dihuni oleh penyembah pagan. Dengan demikian, ia dan anggota rombongannya harus
melarikan diri dari serangan orang-orang terhadap daerah tersebut dengan mendirikan kastil yang
dibuatnya dari tiang pancang. Menurut Marcopolo kastil itu disebut Basma, kemudian dikenal
dengan nama Samudra dan Pasai, dua buah kota yang dipisahkan oleh Sungai Pasai, yang
letaknya tidak jauh di Utara Perlak.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dipahami bahwa Islam telah masuk ke Indonesia sejak
abad ketujuh dan telah dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, baik sebagai agama
maupun hukum. Ini telah terjadi sejak saat itu. Setelah masuk Islam, selalu ada pegawai khusus
yang memiliki keahlian di bidang hukum Islam yang terkadang juga menangani urusan
mu'malah, hadhanah, warisan, dan lain-lain oleh karyawan yang berlaku untuk seluruh
masyarakat Indonesia. Secara ideologis dan politik, hukum Islam telah ada di Indonesia sejak
abad ke-8 Masehi.
Mengenai kedatangan Islam di nusantara, terjadi diskusi dan perdebatan panjang di
kalangan sejarawan tentang tiga hal utama, yaitu tempat asal Islam, pembawa, dan waktu
kedatangannya. Berbagai teori dan pembahasan yang mencoba menjawab ketiga persoalan pokok
tersebut belumlah lengkap.
Kedatangan Islam di Nusantara memang tidak bersamaan. Demikian pula, kerajaan dan
daerah yang dikunjungi memiliki situasi politik dan sosial budaya yang berbeda. Selat Malaka
mulai dilewati para pedagang Muslim dalam pelayarannya ke negara-negara Asia Tenggara dan
Timur.
Perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional antar negara-negara di Asia barat
dan timur mungkin disebabkan oleh aktivitas pemberdayaan Islam di bawah umayah di kerajaan
dinasti t'ang barat dan Cina di asia timur serta kekaisaran asia tenggara.
Upaya kerajaan Sriwijaya dalam memperluas kekuasaannya ke semenanjung Malaka
hingga kedah dapat dikaitkan dengan bukti 775 prasasti, berita Cina dan Arab abad ke-8 hingga
ke-10. Hal ini terkait erat dengan upaya penguasaan Selat Malaka yang merupakan kunci
pelayaran dan perdagangan Internasional.
Tahun 173 H, sebuah kapal layar dengan pimpinan "makhada khalifah" dari teluk
Kambay Gujarat berlabuh di kota Perlak dengan membawa sekitar 100 anggota dakwah yang
terdiri dari Arab, Persia dan Hind.
Pada tanggal 1 muharram 225 H / 840 M. Kerajaan Islam diproklamasikan dengan raja
pertama adalah putra indo-arab dengan gelar sultan Alauddin Maulana Aziz Syah. Pada saat yang
sama, nama ibu kota kerajaan diubah dari tiandor menjadi kekhalifahan, sebagai kenangan indah
kepada khalifah yang sangat berjasa dalam membudayakan Islam kepada bangsa-bangsa di asia
tenggara yang dimulai dari perlak. Dengan demikian, kerajaan Islam pertama berdiri pada awal
abad ke-3/9 M yang terletak di Perlak. Sejak saat itulah, Kerajaan Islam di Indonesia
bermunculan.
Sejak abad ke-15 hingga abad ke-19, satu-persatu kerajaan dan kesultanan yang tersisa di
Nusantara mulai dikuasai oleh aliansi Uni-Iberia (Spanyol-Portugis), kemudian VOC, Inggris,
dan selanjutnya dikuasai Hindia Belanda selama sekitar tiga abad.
B. Islam di indoesia

Islam sebagai agama samawi terakhir memiliki banyak ciri khas (khashaish) yang
membedakannya dari agama lain. Ciri khas Islam yang paling menonjol adalah tawassuth,
ta‘adul, dan tawazun. Ini adalah beberapa ungkapan yang memiliki arti yang sangat berdekatan
atau bahkan sama. Oleh karena itu, tiga ungkapan tersebut bisa disatukan menjadi Wasathiyah.
Watak wasathiyah Islam ini dinyatakan sendiri oleh Allah SWT di dalam Al-Qur‘an, yang
artinya “Dan demikian (pula) kami menjadikan kamu (umat Islam), umat penengah (adil dan
pilihan), agar kamu menjadi saksi atas seluruh manusia dan agar Rasul (Muhammad SAW)
menjadi saksi atas kamu” (QS. Al-Baqarah;143)
Wasathiyyah yang sering diterjemahkan dengan moderasi itu memiliki beberapa
pengertian sebagai berikut: Pertama, keadilan di antara dua kezhaliman (‫ظلمي‬
ْ ‫بي‬
ْ ‫دل‬KK‫ )ع‬atau
kebenaran di antara dua kebatilan (‫اطلي‬KK‫ب‬
ْ ‫بي‬
ْ ‫)حق‬, seperti wasathiyah antara atheisme dan
poletheisme. Islam ada di antara atheisme yang mengingkari adanya Tuhan dan poletheisme
yang memercayai adanya banyak Tuhan. Artinya, Islam tidak mengambil paham atheisme dan
tidak pula paham poletheisme, melainkan paham monotheisme, yakni paham yang memercayai
Tuhan Yang Esa.
Begitu juga wasathiyyah antara boros dan kikir yang menunjuk pada pengertian tidak
boros dan tidak kikir. Artinya, Islam mengajarkan agar seseorang di dalam memberi nafkah tidak
kikir dan tidak pula boros, melainkan ada di antara keduanya, yaitu al-karam dan al-jud. Allah
berfirman yang artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian.” (QS. Al-Furqan: 67)
Kedua, pemaduan antara dua hal yang berbeda/berlawanan. Misalnya, (a). wasathiyyah
antara rohani dan jasmani yang berarti bahwa Islam bukan hanya memerhatikan aspek rohani
saja atau jasmani saja, melainkan memerhatikan keduanya. Wasathiyyah antara nushûs dan
maqâshid. Itu berarti Islam tak hanya fokus pada nushûs saja atau maqâshid saja, melainkan
memadukan antara keduanya. (b). Islam pun merupakan agama yang menyeimbangkan antara
`aql dan naql. Bagi Islam, akal dan wahyu merupakan dua hal yang sama-sama memiliki peranan
penting yang sifatnya komplementer (saling mendukung antara satu sama lain). Kalau
diibaratkan dengan pengadilan, akal berfungsi sebagai syahid (saksi) sementara wahyu sebagai
hakim, atau sebaliknya, yakni akal sebagai hakim sementara wahyu sebagai syahid. (c). Islam
menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat, antara ilmu
dan amal, antara ushul dan furu‘, antara sarana (wasilah) dan tujuan (ghayah), antara optimis dan
pesimis, dan seterusnya.
Ketiga, realistis (wâqi‘iyyah). Islam adalah agama yang realistis, tidak selalu idealistis.
Islam memunyai cita-cita tinggi dan semangat yang menggelora untuk mengaplikasikan
ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukumnya, tapi Islam tidak menutup mata dari realitas
kehidupan yang–justru–lebih banyak diwarnai hal-hal yang sangat tidak ideal. Untuk itu, Islam
turun ke bumi realitas daripada terus menggantung di langit idealitas yang hampa. Ini tidak
berarti bahwa Islam menyerah pada pada realitas yang terjadi, melainkan justru memerhatikan
realitas sambil tetap berusaha untuk tercapainya idealitas. Contoh wasathiyyah dalam arti
waqi‘iyyah ini adalah pemberlakuan hukum ‗azîmah dalam kondisi normal dan hukum rukhshah
dalam kondisi dharurat atau hajat.
Watak wasathiyyah dalam Islam Ahlussunnah wal Jama‘ah tercermin dalam semua aspek
ajarannya, yaitu akidah, syariah, dan akhlaq/tasawwuf serta dalam manhaj. Dalam jam‘iyyah
Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari golongan Ahlussunnah wal Jama‘ah, watak wasathiyyah
tersebut antara lain terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Melandaskan ajaran Islam kepada Al-Qur‘an dan As-sunnah sebagai sumber pokok dan juga
kepada sumber-sumber sekunder yang mengacu pada Al-Qur‘an dan As-sunnah seperti ijma‘
dan qiyas.
2. Menjadikan ijtihad sebagai otoritas dan aktifitas khusus bagi orang-orang yang memenuhi
syarat-syarat tertentu yang tidak mudah untuk dipenuhi. Sedangkan bagi yang tidak
memenuhi syarat-syarat ijtihad, tidak ada jalan lain kecuali harus bermazhab dengan
mengikuti salah satu dari mazhabmazhab yang diyakini penisbatannya kepada ashabul
madzahib.
Namun, Nahdlatul Ulama membuka ruang untuk bermazhab secara manhaji dalam persoalan-
persoalan yang tidak mungkin dipecahkan dengan bermazhab secara qauli. Pola bermazhab
dalam NU berlaku dalam semua aspek ajaran Islam; aqidah, syariah/fiqh, dan
akhlaq/tasawwuf, seperti dalam rincian berikut: (a). Di bidang syariah/fiqh, Nahdlatul Ulama
mengikuti salah satu dari mazhab empat, yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, mazhab Imam
Malik ibn Anas, mazhab Imam Muhammad bin Idris as-Syafii dan mazhab Imam Ahmad bin
Hanbal. (b). Di bidang aqidah mengikuti mazhab Imam Abul Hasan al-Asy‘ari dan mazhab
Imam Abu Manshur al-Maturidi. (c). Di bidang akhlaq/tasawuf mengikuti mazhab Imam al-
Junaid alBaghdadi dan mazhab Imam Abu Hamid al-Ghazali.
3. Berpegang teguh pada petunjuk Al-Qur‘an di dalam melakukan dakwah dan amar makruf
nahi mungkar, yaitu dakwah dengan hikmah/kearifan, mau‘izhah hasanah, dan mujadalah bil
husna.
4. Sebagai salah satu wujud dari watak wasathiyyah dengan pengertian al-waqi‘iyyah (realistis),
Nahdlatul Ulama menghukumi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan
Pancasila sebagai dasarnya sebagai sebuah negara yang sah menurut pandangan Islam dan
tetap berusaha secara terus menerus melakukan perbaikan sehingga menjadi negara adil
makmur berketuhanan Yang Maha
Esa.
5. Mengakui keutamaan dan keadilan para shahabat Nabi, mencintai dan menghormati mereka
serta menolak dengan keras segala bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap mereka apalagi
menuduh mereka kafir.
6. Tidak menganggap siapa pun setelah Nabi Muhammad saw sebagai pribadi yang ma‘shum
(terjaga dari kesalahan dan dosa).
7. Perbedaan yang terjadi di kalangan kaum muslimin merupakan salah satu dari fitrah
kemanusiaan. Karena itu, menghormati perbedaan pendapat dalam masa`il furu`iyyah-
ijtihadiyah adalah keharusan. Nahdlatul Ulama tak perlu melakukan klaim kebenaran dalam
masalah ijtihadiyyah tersebut.
8. Menghindari hal-hal yang menimbulkan permusuhan seperti tuduhan kafir kepada sesama
muslim, ahlul qiblah.
9. Menjaga ukhuwwah imaniyyah-islamiyyah di kalangan kaum muslimin dan ukhuwwah
wathaniyyah terhadap para pemeluk agama-agama lain. Dalam konteks NU, menjaga
ukhuwwah nahdliyyah adalah niscaya terutama untuk menjaga persatuan dan kekompakan
seluruh warga NU.
10. Menjaga keseimbangan antara aspek rohani dan jasmani dengan mengembangkan
tasawwuf `amali, majelis-majelis dzikir, dan sholawat sebagai sarana taqarrub ilallah di
samping mendorong umat Islam agar melakukan kerja keras untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi mereka.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam masuk ke Indonesia sejak Abad ketujuh Masehi melalui perdagangan
Internasional di Selat Malaka hingga berdirinya beberapa kerajaan Islam di Nusantara.
Salah satunya Aswaja yang memiliki watak wasathiyyah atau moderenisasi yang
tercermin dalam semua aspek ajarannya, yaitu akidah, syariah, dan akhlaq/tasawwuf serta
dalam manhaj.
B. Saran
Demikianlah uraian tentang Perkembangan Aswaja di Indonesia. Sebagai Muslim yang
menganut aliran Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, alangkah baiknya kita mengenali sedikit
demi sedikit mengenai Perkembangan Aswaja di Indonesia, supaya kita semua menjadi
seorang Muslim yang belajar dari sejarah.
C.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan Muhammad, Perkembangan Aswaja di Asia Tenggara, Pamekasan: Duta Media
Publishing, 2021.

Anda mungkin juga menyukai