Oleh:
Ida Ayu Arnya Laksmi Dewi
PPDS I ILMU KESEHATAN THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah kelainan yang merupakan bagian dari sleep
disorder breathing syndrome yang kompleks. Sebenarnya gejala OSA sering terjadi, namun sulit
untuk dideteksi. Penyakit ini dapat terjadi 3-7% pria dan 2-5% wanita pada populasi umum. 1
OSA merupakan gangguan tidur yang ditandai oleh gangguan pola napas selama tidur, di mana
terjadi henti nafas selama tidur yang berlangsung selama lebih dari 10 detik. 2 Episode berhenti
bernafas kurang dari sepuluh detik yang disebabkan oleh obstruksi parsial maupun menyeluruh
pada saluran nafas bagian atas.3
Menurut American Academy of Sleep Medicine, hal tersebut terjadi ketika otot-otot rileks
selama tidur menyebabkan kelumpuhan jaringan lunak dan menghalangi jalan nafas atas yang
kemudian menyebabkan pengurangan sebagian (hipopneas) dan jeda lengkap (apnea) bernafas
yang berlangsung setidaknya 10 detik saat tidur. Episode ini biasanya disertai dengan dengkuran
keras dan hipoksemia, dan biasanya diakhiri dengan terbangun secara berulang, yang
menyebabkan fragmentasi tidur.4 Beberapa dekade terakhir ini banyak penelitian mengatakan
bahwa kualitas hidup dipengaruhi oleh Obstructive Sleep Apnea (OSA). Pada tahun 2002,
Lacasse, Godbout, dan Series melakukan penelitian dengan judul Health-Related Quality of Life
in Obstructive Sleep Apnea (OSA) yang bertujuan untuk menggambarkan dampak dari OSA
pada kualitas hidup pasien. Dari penelitian itu didapatkan hasil bahwa secara signifikan OSA
1
memberikan kontribusi terhadap penurunan dari semua domain kualitas hidup terkait kesehatan.
Domain-domain yang ada yaitu tentang fungsi sehari-hari, fungsi emosional, interaksi sosial dan
gejala siang hari serta gejala noktural.2
Faktor penyebab OSA dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor struktural dan
nonstruktural dimana kedua bagian itu didalamnya sudah termasuk faktor genetik. Kelainan
struktural OSA berupa kelainan tulang kepala atau tulang pipi dan penyempitan hidung akan
berdampak pada penyempitan saluran nafas atas. Sedangkan etiologi nonstruktural dipengaruhi
perubahan refleks neurologis yang mengontrol otot-otot pernafasan jalan nafas atas, distribusi
jaringan lemak di leher, obesitas, kerusakan karena kebiasaan merokok, serta alkoholisme.1,2
OSA dapat menyebabkan meningkatnya aktivitas saraf simpatis yang jika berulang kali
akan menyebabkan hipertensi. Satu dari penderita hipertensi juga menderita OSA dan 80%
penderita hipertensi yang resisten terhadap pengobatan juga menderita OSA.1
OSA juga meningkatkan risiko seseorang menderita penyakit kardiovaskuler hingga lima
kali lipat.1 Selain itu beberapa dekade terakhir OSA sering dikaitkan dengan hipertensi.
Kejadian OSA dapat dicegah melalui skrining risiko OSA dengan menggunakan
kuesioner berlin.5 Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui pengaruh risiko Obstructive Sleep
Apnea terhadap kejadian hipertensi di poli THT-KL RSUP Sanglah Denpasar periode Juni -
Agustus 2021.
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Obstructive Sleep Apnea
Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan penyakit sistem pernafasan yang umum
terjadi di masyarakat dengan prevalensi 2-4% orang dewasa pada populasi umum. 6 Penyakit ini
dapat diartikan sebagai suatu episode berulang yang ditandai dengan adanya berhenti nafas
selama kurang dari sepuluh detik pada saat tidur.7 Hal ini disebabkan oleh adanya obstruksi baik
parsial maupun menyeluruh pada saluran pernafasan bagian atas yang berulang sehingga pada
penderita OSA dapat ditemukan adanya keluhan mendengkur, tidur yang tidak nyenyak dan
sering terbangun pada malam hari.6
2.2 Epidemiologi
OSA merupakan penyakit yang umum dan memerlukan perhatian oleh masyarakat karena
semakin meningkatnya prevalensi OSA di dunia.8 Walaupun data prevalensi berbeda-beda dan
bergantung pada populasi dan kelompok usia. Obstructive sleep apnea lebih sering dijumpai, 2-
4% pada orang dewasa muda laki–laki dan perempuan dengan perbandingan 2:1. 9 Menurut Lisa
Campana dkk bahwa 2-3% dari populasi di US mengalami gejala OSA dan prevalensi laki-laki
memiliki 2-3 kali lipat lebih tinggi untuk terjadinya OSA.10 Prevalensi OSA di Indonesia
berdasarkan data dari Extrapolation of Prevalence Rate of Obstructive sleep apnea to Countries
and Regions, Indonesia dengan jumlah penduduk ± 200 juta jiwa, estimasi prevalensi penderita
OSA adalah 10 juta orang. 8 Pada usia 30-35 tahun 20% laki-laki dan 5% dari perempuan akan
mendengkur sedangkan pada usia 60 tahun prevalensinya meningkat menjadi 60% pada laki-laki
dan 40% pada perempuan. 8-10
2.3 Etiologi
Etiologi OSA adalah keadaan kompleks yang saling mempengaruhi berupa neural,
hormonal, muskular dan struktur anatomi, contohnya kegemukan terutama pada tubuh bagian
atas dipertimbangkan sebagai risiko utama untuk terjadinya OSA.1,3
3
Tabel 2.1 Faktor Risiko Obstructive Sleep Apnea (OSA).1
Faktor-Faktor Risiko yang Berperan Pada OSA
Umum Obesitas (IMT>30kg/m2)
Gender (pria>wanita)
Riwayat OSA pada keluarga
Paska-menopaus
Genetik atau kongenital Sindrom Down
Sindrom Pierreobin
Sindrom Marfan
Abnormalitas hidung/faring Polip nasi
Hipertrofi tonsil dan adenoid
Deviasi septum nasi
Penyakit lain Akromegali
Hipotiroidisme
Kelainan struktur saluran nafas atas Lingkar leher >40cm
Abnormalitas sendi
temporomandibula
Mikrognatia
Makroglosia
Abnormalitas palatum
Kraniosinostosis
2.4 Patofisiologi
Mendengkur dan OSA merupakan salah satu tipe dari Sleep Disorder Breathing. OSA
ringan berupa sumbatan parsial pada pernapasan yang menimbulkan suara dengkuran ringan
sedangkan yang berat berupa obstruksi total pada saluran pernapasan yang dapat menyebabkan
episode apnea. Siklus OSA dimulai pada saat pasien tertidur, sumbatan jalan napas akan
menyebabkan gangguan ventilasi alveolar, sehingga terjadi desaturasi oksigen dan peningkatan
kadar karbondioksida, aktivasi kemoreseptor, dan peningkatan tekanan negatif intratorakal.
Kejadian tersebut akan merangsang otak sehingga terjadi reaksi saat tidur yang disebut arousal.
4
Arousal akan mengaktifkan tonus otot-otot leher, sehingga pasien mulai kembali bernapas.
Rangsang untuk kembali bernapas menyebabkan pasien tersadar dari tidurnya, namun jika pasien
tidak sadar secara penuh maka pasien akan kembali tertidur, sehingga siklus yang sama akan
berulang beberapa kali.10,12
2.5 Klasifikasi
Menurut The International Classification of Sleep Disorder, American Academy of Sleep
Medicine (ASA) membagi OSA berdasarkan derajat keparahannya menjadi tiga jenis, yakni:12
a. OSA ringan: berhubungan dengan rasa kantuk ringan dan insomnia ringan dan sebagian
besar dari masa tidurnya terbebas dari gangguan bernafas. Episode apnea pada
penderitanya menyebabkan desaturasi oksigen ringan atau gangguan irama jantung
ringan.
b. OSA sedang: berhubungan dengan rasa kantuk sedang dan insomnia ringan. Episode
apnea yang terjadi berhubungan dengan desaturasi oksigen sedang atau gangguan irama
jantung ringan.
c. OSA berat: berhubungan dengan rasa kantuk yang berat. Sebagian besar periode tidurnya
dilalui oleh proses gangguan pernafasan dengan desaturasi oksigen berat atau gangguan
5
irama jantung sedang-berat. Biasanya ada hubungannya dengan gagal jantung atau gagal
nafas.
2.6 Diagnosis
Diagnosis OSA berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang. Hal yang perlu diperhatikan adalah gejala OSA, dan riwayat risiko-risiko yang
memungkinkan terjadinya OSA. Dalam anamnesis dapat menggunakan kuisioner sebagai
skrining untuk OSA. Jika ditemukannya adanya sering mengantuk, mendengkur, hipertensi,
obesitas, dan retrognatik maka anamnesis dan pemeriksaan fisik secara komprehensif
mengenai OSA dilakukan.6
Anamnesis yang dilakukan ialah menggali informasi lebih lanjut mengenai keluhan
mendengkur, apnea atau berhenti bernafas yang disaksikan oleh orang sekitar pasien, derajat
mengantuk, jumlah jam tidur, nokturia, nyeri kepala sewaktu tidur, tidur tidak nyenyak, sulit
berkonsentrasi, dan sulit mengingat. Skrining juga dapat dilakukan ditahap ini dengan
menggunakan kuesioner Berlin. Kuesioner Berlin ini digunakan untuk menilai risiko
menderita OSA pada pasien. Kuesioner ini terdiri dari tiga kategori utama, yakni riwayat
mendengkur, riwayat mengantuk, dan riwayat hipertensi atau obesitas. Dikatakan berisiko
OSA apabila lebih dari satu kategori positif. 5 Derajat mengantuk didapatkan melalui hasil skor
Epworth Sleepiness Scale. Selanjutnya, evaluasi terhadap kondisi lainnya yang dapat
menyebabkan kejadian OSA seperti hipertensi, infark miokard, kor pulmonal, stroke,
penurunan kesadaran sewaktu siang hari, dan kecelakaan berkendaraan motor.10,11
6
Pada pemeriksaan fisik ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mendiagnosa OSA
terutama untuk menilai keadaan anatomis yang menyebabkan penyempitan jalan napas atas,
walaupun bukan menjadi baku emas penegakan diagnosis OSA. Kombinasi pemeriksaan
meliputi penentuan klasifikasi mallampati, abnormalitas faring, dan indeks massa tubuh 5-7
dapat memperkirakan ada tidaknya dan derajat beratnya OSA.11
Beberapa sistem organ yang merupakan risiko terjadinya OSA yang perlu dilakukan
pemeriksaan ialah pemeriksaan sistem organ respiratori, kardiovaskular, dan neurologi. Lalu
beberapa hal yang perlu diperhatikan ialah adanya status gizi berlebih atau obesitas, penyempitan
saluran nafas bagian atas, penyakit lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya OSA serta faktor
risiko terjadinya OSA.6
Polisomnografi merupakan standart baku emas dalam mendiagnosa OSA.
Polisomnografi meliputi perekaman aliran udara, gerakan napas, EEG, EMG, EOG EKG,
saturasi oksigen dan posisi badan. Polisomnografi dilakukan dalam sebuah laboratorium tidur
selama satu malam penuh dan dipantau oleh dokter/perawat. Hasil yang muncul adalah jumlah
henti napas tiap jam, indeks apnea-hipoapnea (AHI). 6,7 Diagnosis OSA ditegakkan jika
apnea/hypopnea melebihi normal. Beberapa peneliti menggunakan batasan AHI >10 kali/jam
untuk diagnosis OSA. American Academy of Sleep Medicine Task Force mendefinisikan OSA
jika didapatkan AHI >5 kali/jam yang diikuti oleh salah satu gejala: (a) mengalami gangguan
tidur, meningkatnya daya kantuk setiap hari, letih, atau insomnia, (b) sering terbangun akibat
merasa tercekik, (c) saat tidur disertai dengkuran atau berhenti bernapas yang disampaikan
oleh teman tidur.5
2.7 Penatalaksanaan.
2.7.1 Tatalaksana Konservatif
a. Program Penurunan Berat Badan
Perbaiki diet untuk mengurangi deposit lemak tubuh dan menurunkan berat badan harus
disertai dengan olahraga teratur untuk meningkatkan tonus otot.11
b. Terapi Medikamentosa
Stimulan
Modafinil yang berguna untuk meningkatkan kesiagaan (wakefullness) tidak
mengakibatkan gejala kardiovaskuler, efektif untuk pengobatan excessive daytime
sleepiness (EDS) yang menyertai OSA.
7
Antidepresan
Protriptilin adalah trisiklik antidepresan non sedasi yang dapat menekan waktu
tidur non REM yang berhubungan dengan mendengkur keras, episode apnea
obstruktif yang lebih sering dan lebih panjang.
Terapi pengganti tiroid
Terapi pengganti tiroid untuk kasus hipotiroid dapat diberikan dengan
pengawasan dokter.11
c. Peralatan untuk terapi konservatif
Snore ball atau snore sock, alat ekstensi leher seperti korset leher dan bantal anti
ngorok.11
d. Continous Positive Airway Pressure (CPAP)
CPAP merupakan terapi yang efektif pada OSA karena CPAP mengalirkan udara positif
sehingga memberikan pneumatic splint pada aliran udara atas selama inspirasi dan
ekspirasi, menjaga patensi dan mencegah obstruksi selama tidur. Akibatnya rasa kantuk
pada siang hari berkurang dan fungsi kognitif meningkat. Pada sistem kardiovaskular
juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan tekanan darah hingga 10 mmHg. Bagi
penderita diabetes melitus, CPAP meningkatkan sensitivas. 11,12
e. Posisi Tidur
Posisi tidur dapat membantu menghilangkan gejala OSA. Beberapa pasien megalami
perbaikan setelah tidur dengan posisi miring atau telungkup.10
f. Mandibular andvancement
Alat ini dipasang pada gigi, menahan mandibular dan lidah ke depan sehingga dapat
memaksimalkan diameter faring dan mengurangi kolaps pada waktu tidur. Alat ini hanya
digunakan pada penderita OSA yang tidak dapat menjalani operasi dan penderita OSA
yang intoleran terhadap CPAP.12
2.7.2 Tatalaksana Operatif
Terapi operatif dapat dilakukan sesuai dengan level obstruksi masing-masing atau terapi
kombinasi sesuai dengan derajat penyakit.
8
Tabel 2.2 Tatalaksana operatif OSA12
Tindakan Operatif
Level Hidung Reduksi konka, septoplasti, adenoidektomi, ekstirpasi
polip atau massa hidung
Level Velo-Orofaring Penyempitan AP: Implantasi pillar, RDF palatum,
UPPP
Penyempitan Latero-lateral: Uvulopalatofaringoplasti
(UPPP) Ekstensi + tonsilektomi
Palatal Flutter oleh karena penipisan: Implan pillar
Palatar Flutter oleh karena elongasi palatum molle:
UPPP
Hipertrofi tonsil: tonsilektomi
Penyempitan retroglossal oleh karena lidah besar:
reduksi lidah, suspense hioid
2.9 Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah secara
abnormal dan terus menerus pada beberapa kali pemeriksaan tekanan darah yang disebabkan satu
atau beberapa faktor risiko yang tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam mempertahankan
tekanan darah secara normal.
Berdasarkan Kementrian Kesehatan RI, definisi hipertensi atau tekanan darah tinggi
adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik
9
lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan
cukup istirahat atau tenang. Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu
lama dapat menimbulkan berbagai komplikasi bila tidak dideteksi secara dini dan tidak mendapat
pengobatan.12
10
disebabkan oleh adanya obstruksi baik parsial maupun menyeluruh pada saluran
pernafasan bagian atas yang berulang sehingga pada penderita OSA dapat ditemukan
adanya keluhan mendengkur, tidur yang tidak nyenyak dan sering terbangun pada malam
hari. Keadaan ini disebabkan oleh adanya hipoksemia, hiperkapnia, peningkatan tekanan
intratoraks, dan peningkatan sistem saraf simpatis.7
Apabila OSA tersebut tidak tertangani maka akan adanya hipoksemia intermiten
dan/atau meningkatkan resistensi saluran nafas atas, mendorong dalam meningkatkan
aktivitas saraf simpatis (SNS). Peningkatan SNS Output akan meningkatkan tekanan
darah melalui peningkatan output di jantung dan resistensi perifer serta peningkatan
retensi cairan.12
11
3.3 Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini bahwa ada hubungan antara risiko Obstructive Sleep Apnea
(OSA) dengan kejadian hipertensi.
12
Populasi penelitian adalah semua pasien yang datang ke poliklinik THT-KL RSUP
Sanglah Denpasar periode Juni - Agustus 2021. Sampel merupakan pasien yang memenuhi
kriteria inklusi
13
4.5 Hubungan Antar Variabel
Variabel bebas:
Variabel tergantung:
Risiko
Tekanan darah
Obstructive Sleep
Apnea (OSA)
Variabel perancu:
Diabetes melitus, penyakit
jantung, merokok, keganasan
Keterangan:
: diteliti
: tidak diteliti
14
serta dalam penelitian.
d. Jenis Kelamin
Perbedaan bentuk, fungsi dan sifat biologi laki-laki dan perempuan yang menentukan
perbedaan peran mereka dalam menyelenggarajan upaya meneruskan harid
keturunan, dimana data diperoleh dari pengamatan dan wawancara terhadap sampel.
e. Diabetes melitus
Penyakit gangguan metabolik yang ditandai dengan kenaikan gula darah terdiagnosis
dengan anamnesis, pemeriksaan klinis.
f. Penyakit jantung
Gangguan kondisi jantung serta fungsi jantung, terdiagnosis dengan anamnesis,
pemeriksaan klinis.
g. Merokok
Suatu kebiasaan menghisap rokok yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
h. Keganasan kepala leher
Kanker yang menyerang bagian traktus aerodigestif bagian atas seperti traktus
sinonasal, rongga mulut, faring dan laring
15
4.8 Alur Penelitian
Kriteria Kriteria
Inklusi Eksklusi
Kuisioner Berlin
Non Non
Hipertensi Hipertensi
Hipertensi Hipertensi
Penelitian dilakukan dengan cara memberikan kuisioner kepada semua pasien yang
datang ke poli THT-KL RSUP Sanglah periode Juni - Agustus 2021 yang memenuhi kriteria
inklusi. Sedangkan tekanan darah diukur terhadap semua subyek penelitian dengan
memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Ruang pemeriksaan: suhu ruangan dan ketenangan ruang periksa yang
16
nyaman.
b. Alat: digunakan sfigmomanometer jenis jarum dan digunakan manset
dengan lebar yang mencakup 2/3.
V. HASIL PENELITIAN
Telah dilaksanakan penelitian di Poli THT-KL RSUP Sanglah Denpasar Periode Juni - Agustus
2021. Dari penelitian didapatkan 96 orang yang memenuhi syarat sebagai subjek penelitian yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Hasil penelitian dilaporkan dalam dua bagian diskripsi
data sampel dan analisis data sampel.
Jumlah seluruh sampel risiko Obstructive Sleep Apnea (OSA) yang mengalami hipertensi
sebanyak 59 orang (61,5%) dan sampel risiko Obstructive Sleep Apnea (OSA) yang tidak
mengalami hipertensi adalah sebanyak 37 orang (38,5%).
17
Tabel 5.2 Karakteristik Responden risiko Obstructive Sleep Apnea (OSA)
No. Jumlah Obstructive Sleep Apnea (OSA)
Frekuensi Persentase (%)
Laki-Laki 64 66,7
1 Jenis Kelamin
Perempuan 32 33,3
18 -30 25 26,0
31-40 19 19,8
2 Usia 41-50 18 18,8
51-60 23 24,0
61-70 11 11,5
Risiko tinggi 59 61,5
3 OSA
Risiko rendah 37 38,5
Dari 96 responden yang mengalami risiko Obstructive Sleep Apnea (OSA) didapatkan data 64
orang (66,7%) berjenis kelamin laki-laki dan 32 orang (33,3%) berjenis kelamin perempuan.
Dari data usia diperoleh bahwa usia 21-30 tahun sebanyak 25 orang (26,0%), usia 31-40 tahun
sebanyak 19 orang (19,8%), usia 41-50 tahun sebanyak 18 orang (18,8%), usia 51-60 tahun
sebanyak 23 orang (24,0%) dan usia 61-70 tahun sebanyak 11 orang (11,5%). Responden risiko
tinggi OSA yaitu 59 orang (61,5%) sedangkan risiko rendah OSA yaitu 37 orang (38,5%).
Tabel 5.3 Karakteristik Responden risiko Obstructive Sleep Apnea (OSA) yang mengalami
Hipertensi dan Non Hipertensi.
Jumlah Obstructive Sleep Apnea (OSA)
No. Hipertensi Non Hipertensi
N % N %
Laki-Laki 41 69,5 23 62,2
1 Jenis Kelamin
Perempuan 18 30,5 14 37,8
21-30 8 13,6 17 45,9
31-40 12 20,3 7 18,9
2 Umur 41-50 13 20,0 5 13,5
51-60 28 30,5 5 13,5
61-70 8 13,6 3 8,1
3 OSA Risiko tinggi 59 100 0 0
18
Risiko rendah 0 0 37 100
Berdasarkan data yang didapat, responden hipertensi lebih banyak laki-laki dibandingkan
perempuan yaitu 41 orang (69,5%). 18 orang (13,6%) yang mengalami risiko OSA dan
hipertensi terbanyak yaitu pada kelompok usia 51-60 tahun. Kelompok usia 21-30 tahun
merupakan kelompok terbanyak responden non hipertensi dengan risiko OSA yaitu 17 orang
(37,5%). Risiko tinggi OSA yang mengalami hipertensi sebanyak 59 orang (100%). Risiko
rendah OSA dan non hipertensi sebanyak 37 orang (100%).
Analisis Bivariat
Tabel 5.4 Kontigensi 2x2
OSA Nilai P
Risiko tinggi Risiko rendah
Hipertensi 59 0 0,000000
Non Hipertensi 0 37
96
Dari hasil penelitian besar sampel diperoleh dari jumlah seluruh sampel yang dapat memenuhi
kriteria inklusi yaitu sebanyak 96 orang. Nilai p yang di dapat sebesar 0,00 (p<0,05) yang
menunjukan bahwa terdapat hubungan antara risiko Obstructive Sleep Apnea (OSA) dengan
kejadian hipertensi.
VI. PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional untuk melihat hubungan risiko
Obstructive Sleep Apnea (OSA) dengan kejadian hipertensi di Poli THT-KL RSUP Sanglah
Denpasar Periode Juni - Agustus 2021. Hasil penelitian ini didapatkan sebanyak 96 orang, yang
mengalami risiko OSA dengan jenis kelamin laki-laki didapatkan lebih banyak dibandingkan
19
perempuan yaitu 64 orang (66,7%). Kelompok usia terbanyak yang mengalami risiko OSA yaitu
kelompok usia 21-30 tahun dengan total 25 orang (26,0%). Pada jurnal disebutkan bahwa
prevalensi laki-laki 2-3 kali lipat dibandingkan perempuan untuk terjadinya OSA. Menurut
Masood Ahmad dkk, bahwa alasan laki-laki lebih banyak terjadi OSA dari pada perempuan
karena faktor distribusi lemak, anatomi saluran nafas atas, konfigurasi kraniofasial dan variasi
hormon. Hal ini sesuai dengan yang didapatkan pada penelitian ini.
Responden yang memiliki risiko OSA dan hipertensi sebanyak 59 orang (61,5%). Risiko
tinggi OSA dan hipertensi sebanyak 59 orang (100%). Jenis kelamin laki-laki didapatkan lebih
banyak yaitu 41 orang (69,5%). Kelompok usia 51-60 tahun merupakan usia terbanyak pada
responden yang memiliki risiko OSA yang mengalami hipertensi, yaitu sebanyak 18 orang
(30,5%). Hasil tabel 2x2 didapatkan Nilai p yaitu sebesar 0,00 (p<0,05) sehingga hasil penelitian
membuktikan bahwa risiko OSA memiliki hubungan dengan kejadian hipertensi. Hal ini sesuai
dengan penelitian lain dimana komplikasi OSA salah satunya adalah hipertensi. Menurut Haerani
Rasyid dkk hubungan OSA dengan hipertensi bersifat kompleks. OSA dengan berbagai
neurohumoral memiliki patofisiologi yang sama dengan hipertensi, sehingga bila OSA
ditemukan bersaman dengan hipertensi akan memperberat risiko kejadian penyakit
kardiovaskuler. Mekanisme hubungan antara OSA dan hipertensi bisa akut ataupun kronik.
OSA yang tidak tertangani sangat terkait dengan hipertensi. Dalam sebuah evaluasi dari
41 pasien berturut-turut yaitu 24 laki-laki dan 17 perempuan dengan hipertensi resisten, 83 % di
diagnosa OSA. Lintas kelompok studi menunjukkan bahwa semakin parah OSA kurang
kemungkinan tekanan darah dapat terkendali. Penelitian lain yang dilakukan oleh Auliya yang
dilakukan di poli saraf RSUD Dr. Moewardi juga mendapatkan hasil bahwa OSA memiliki
hubungan dengan kejadian hipertensi yaitu sebesar 6,729 kali lebih besar dari pada yang tidak
mengalami OSA. Himanshu Wickramasinghe dkk mengatakan terdapat hubungan antara OSA
dan hipertensi. Pada penderita hipertensi, 50-70% mengalami OSA.
Berdasarkan penelitian dan teoritis, maka OSA mempunyai peranan yang cukup besar
dalam terjadinya hipertensi, dan juga merupakan faktor yang patut diperhitungkan dalam
menanggulangi kejadian hipertensi.
20
7.1 Simpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan di Poli THT-KL RSUP Sanglah Denpasar
Periode Juni - Agustus 2021, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan risiko Obstructive
Sleep Apnea (OSA) dengan kejadian hipertensi.
7.2 Saran
1. Perlu diberikan perhatian khusus pada penderita yang mengalami Obstructive Sleep Apnea
(OSA) guna mencegah terjadinya hipertensi.
2. Perlu adanya penelitian yang lebih lanjut tentang pengaruh Obstructive Sleep Apnea (OSA)
dengan kejadian hipertensi dengan mengendalikan berbagai variable yang tidak terkendali
dan dengan menggunakan desain penelitian yang lebih bagus serta jumlah sampel yang lebih
besar.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lam, J.C.M., Sharma, S.K., Lam, B., Obstructive Sleep Apnoea: Definition,
Epidemiology & Natural History. Indian J Med Res . 2010;131:165-170.
21
2. Iskandar J. Gangguan Tidur. Medan:Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas
Sumatera Utara. 2012.
3. Chung, F.,Obstructive Sleep Apnea Patients: A Challenge for Anesthesiologist.
International Anesthesia Research Society. 2010:68-76.
4. Thurtell, M.J., Bruce, B.B., Rye, D.B., Newman, N.J., Biousse, V., The Berlin
questionnaire screens for obstructive sleep apnea in idiopathic intracranial hypertension. J
Neuroopthalmol. 2011;31(4):316-319.
5. Tirtinger, G.R., Pretorius, L., Labadarios, D., Obstructive Sleep Apnoea and Obesity. S
Afr J Clin Nutr. 2011;24(4):174-177.
6. Antariksa B. Patogenesis, diagnostik dan skrining OSA (obstructive sleep apnea).
Available from: http://jurnalrespirologi.org/jurnal/Jan10/OSA% 20. Accessed January,
10,2011.
7. Campana, L., Eckert, D.J., Patel, S.R., Malhotta, R,, 2010. Pathophysiology & Genetics
Obstructive Sleep Apnea. Indian J Med Res 131: 176-187.
8. Cahyono, A., Hermani, B., Mangunkusumo, E., Perdana, R.S., Hubungan Obstructive
Sleep Apnea dengan Penyakit Sistem Kardiovaskuler. ORLI. 2011;41(1): 37-45.
9. Rasyid H, Zatalia Rabiul. Hubungan Obstructive Sleep Apnea dengan Hipertensi. CDK
jounal-244.2016;43(9):670-673.
10. Kapur Vishesh dkk. Clinical Practice Guideline for Diagnostic Testing for Adult
Obstructive Sleep Apnea: An American Academy of Sleep Medicine Clinical Practice
Guideline. Jounal of Clinical Sleep Medicine. 2017;479- 584.
11. Tan Tam minh, Giang Nhat Minh. Changes in blood pressure classification, blood
pressure goals and pharmacological treatment of essential hypertension in medical
guideline. IJC metabolic endocrine 2. 2014:1-10.
12. Ahmad Masson dkk. Review of Update on Hypertension in Obstructive Sleep Apnea.
International Journal of Hypertention. 2017:1-14.
22