Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Islam yang diampu
oleh Deny Hamdani, Ph.D
Disusun Oleh:
Rahmat Fajar Sanjaya 11201120000085
Imam Ahnafudin 11201120000113
Intan Putri Kamila 11201120000114
Assalamualaikum wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan bertujuan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa arab ini dengan tepat waktu. Shalawat serta
salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita Nabi Muhammad SAW
yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk menyelesaikan dan memenuhi tugas
UTS dalam mata kuliah Studi Islam. Selain itu juga, pembuatan makalah ini untuk
mengetahui dan mempelajari lebih dalam tentang kedudukan akal dan wahyu dalam
pemikiran islam, perbuatan manusi menurut aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah dan isu
keadilan tuhan menurut aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah dalam teologi islam.
Penulis berterimakasih kepada Bapak Deny Hamdani yang telah mendukung proses
pembuatan makalah ini, sehingga makalah ini dapat selesai tepat waktu yang telah
diberikan. Penulis juga sangat menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan
makalah ini. Oleh karena itu, penulis memohon maaf yang sebenar-benarnya jika ada
kesalahan pada tulisan yang salah atau menyinggung suatu pihak. Saya berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat pada pembaca.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yan paling sempurna. Hal yang
membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah akal. Manusia diberi kemampuan
oleh allah untuk berpikir, seperti akal yang dimiliki oleh manusia digunakan untuk memilih,
mempertimbangkan, dan menentukan jalan pikirannya sendiri. Dengan menggunakan akal,
manusia mampu memahami Al-Qur’an yang diturunkan sebagai wahyu oleh AllahSWT
kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan akal pula manusia mampu menelaah sejarah islam
dari masa ke masa dari masa lampau. Akal juga digunakan untuk membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk.
Akal juga mampunyai kedudukan dalam agama islam, dan yang terpenting dalam
hal ini yaitu menentukan dan menjelaskan batasan-batasan akal, sebab kita meyakini bahwa
hampir semua kaum muslim berupaya dan berusaha mengambil manfaat akal dalam
pengajaran agama dan penjelasan keyakinan agama secara argumentatif.
Akal dan wahyu digunakan oleh manusia untuk membahas ilmu pengetahuan yang
dimana akal digunakan manusi untuk bernalar, sedangkan wahyu digunakan sebagai
pedoman dan acuan dalam berpikir. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan salah satu
hal yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Yang dimana manusi
membutuhkan ilmu pengetahuan dalam hidup karena pada dasarnya manusi mempunyai
suatu anugerah terbesar yang diberikan Allah SWT yaitu akal.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian akal dan wahyu?
2. Apa fungsi akal dan wahyu dalam islam?
3. Bagaimana kedudukan akal dan wahyu?
4. Bagaimana akal dan wahyu dalam pandangan filsof?
5. Bagaimana akal dan wahyu dalam pandangan teologi?
6. Apa itu aliran mu’tazilah?
7. Apa itu aliran asy’ariyah?
8. Bagaimana perbuatan manusia menurut aliran mu’tazilah?
9. Bagaimana perbuatan manusia menurut aliran asy’ariyah?
10. Apa saja isu-isu keadilan tuhan menurut aliran mu’tazilah?
11. Apa saja isu-isu keadilan tuhan menurut aliran asy’ariyah?
12. Bagaimana isu keadilan tuhan dalam kedua aliran tersebut?
C. Tujuan Penulisan
1. Mejelaskan pengertian akal dan wahyu.
2. Menjelaskan fungsi akal dan wahyu alam islam.
3. Menjelaskan kedudukan akal dan wahyu dalam islam.
4. Menjelaskan akal dan wahyu dalam pandangan filsof.
5. Menjelaskan akal dan wahyu dalam pandangan teologi.
6. Menjelaskan apa itu aliran mu’tazilah.
7. Menjelaskan apa itu aliran asy’ariyah.
8. Menjelaskan perbuatan manusia menurut aliran mu’tazilah.
9. Menjelaskan perbuatan manusia menurut aliran asy’ariyah.
10. Menjelaskan dan menyebutkan isu-isu keadilan tuhan menurut aliran
mu’tazilah.
11. Menjelaskann dan menyebutkan isu-isu keadilan tuhan menurut aliran
asy’ariyah.
12. Menjelaskan bagaimana isu keadilan tuhan menurut kedua aliran tersebut.
PEMBAHASAN
Dan terdapat dalam islam akal merupakan anugerah tuhan kepada manusia
yang tidak diberikan kepada makhluk lain, dengan akal manusia dapat mempelajari
ilmu pengetahuan dan mengembangkannya. Dengan akal manusia dapat
meningkatkan kemampuan berfikirnya. Dan akal juga membuat manusia
mempunyai moral dan nilai-nilai luhur. Dalam Al- Qur’an menyuruh manusia
menggunakan akalnya untuk menemukan kebenaran.
Kedudukan akal dalam islam sangat penting karena akal-lah wadah yang
menampung akidah syari’ah serta akhlak didalam ajaran islam. dan terdapat
ungkapan yang menyatakan akal adalah kehidupan. Namun kedudukan dan peranan
1
Hafizh Dasuki, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: P.T Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 98
2
Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab, (Jakarta: Serambi, 1992), h. 25
3
Toshihiko Izutzu, God and Man in the Qur’an, (Tokyo: Keio University, 1964), h. 657
4
Quraish Shihab, Logika Agama, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 87
akal dalam ajaran islam tidak boleh bergerak dan berjalan tanpa bimbingan wahyu
yang berfungsi meluruskan akal.5
Wahyu berasal dari kata bahasa arab “Al-wahy” yang artinya suara, api dan
kecepatan disamping itu mengandung makna bisikan, isyarat tulisan dan kitab. Al-
wahy mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat.
Dengan demikian wahyu adalah tuntunan yang diberikan sang pencipta melalui
pilihan-nya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup.
Secara konseptual istilah wahyu menunjukan kepada nama-nama yang lebih
popular seperti Al-kitab, Al-qur’an, dan balagh. Dan dalam terminology islam,
wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW itu dinamakan Al-Qur’an, Al-
Qur’an adalah kitab dan firman allah yang disampaikan kepada nabi. Dengan
demikian wahyu menurut konsepsi Al-Qur’an merupakan parole tuhan dengan
firman allah (kalam allah) didalamnya.6
Penamaan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan al-
Qur’ân memiliki pengertian bahwa wahyu tersimpan dalam dada manusia karena
nama alQur’an sendiri berasal dari kata qirâ’ah (bacaan) dan di dalam kata qirâ’ah
terkandung makna agar selalu diingat7.
Selain dinamakan al-Qur’ân, wahyu yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad memiliki nama-nama lain, yaitu di antaranya, Al-Kitab berarti tulisan
(Al-Baqarah: 2); al-Risâlah berarti surat atau warta (Al-Ahzab: 39); suhuf berarti
lembaran-lembaran (‘Abasa: 39); al-Furqân berarti pembeda karena membedakan
antara yang hak dan batil, antara yang baik dan buruk (Al- Baqarah: 185); al-dzikr
berarti peringatan (Shâd: 1); (Al-Huda) berarti petunjuk karena memberikan
petunjuk kepada jalan hidup yang lurus dan benar (Al- Baqarah: 185); (Al-Nur)
berarti cahaya karena mengeluarkan manusia dari kegelapan pikiran kepada
kebenaran (Al-An‘am: 91); (Al-Syifa) berarti penawaran atau obat karena berisi
penawaran penyakit rohani seperti keresahan, kegelisahan, kecemasan dan
sebagainya (Al-Fushilat: 44).8
Wahyu Allah yang diturunkan kepada utusan-Nya khususnya kepada Nabi
Muhammad pada garis besarnya berisi: aqidah, prinsip-prinsip keimanan yang perlu
diyakini oleh setiap mu’min; hukum-hukum syari‘at yang mengatur hubungan
manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia
dengan alamnya; akhlak, tuntunan budi pekerti luhur; ilmu pengetahuan; sejarah
tentang umat-umat terdahulu sebagai pelajaran; informasi tentang hal-hal yang akan
terjadi pada masa yang akan datang.9
5
Dr. Sarinah, M.Pd.I, Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta: Deepublish, 2017), h.144-146
6
Ibid., h.146-147
7
Hamzah Ya’kub, Filsafat Agama, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), h. 132
8
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 9
9
Ibid., h.19
B. Fungsi Akal dan Wahyu Dalam Islam
Menurut Salafiyah dalam buku Pendidikan Agama Islam, fungsi akal pikiran
tidak lain yang hanya menjadi saksi kebenaran penjelasan dalil-dalil Al-Qur’an dan
bukan menjadi hakim yang mendalil atau menolaknya. Dan juga terdapat tolak ukur,
akan kebenaran dan kebatilan, alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah
laku yang benar, dan alat penemu solusi Ketika permasalahan datang. Fungsi
menurut salafiyah adalah jalan untuk mengetahui aqidah dan hukum-hukum dalam
islam dan segala sesuatu yang mendekati kebaikan dan memberikan informasi bagi
manusia, baik itu pokok maupun cabang yang terdapat dalam aqidah itu sendiri
maupun dalil-dalil pembuktiannya yang tidak lain adalah sumbernya yang
merupakan wahyu Allah SWT yang diyakini oleh Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi
SAW sebagai penjelasanya. Dan apa yang sudah ditetapkan dan dijelaskan oleh
Nabi dan Allah SWT tidak boleh ditolak.10
10
Dr. Sarinah, M.Pd.I, Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta: Deepublish, 2017), h. 148
11
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h.
385
12
Harun Nasution, Akal dan Wahyu, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 12
tidak hanya dalam bentuk isi tetapi juga terdapat dalam bnetuk kata-katanya (lafaz
dan makna).13
Dari uraian tersebut dapat kita katakana bahwa dalam islam kedudukan akal
dan wahyu merupakan “Sokoguru” ajaran islam. Namun, perlu ditegaskan dalam
sistem ajaran islam, wahyulah yang pertama dan utama yang djadikan referensi,
sedangkan akal menjadi yang kedua. Wahyu langsung dapat ditemukan dalam kitab
suci Al-Qur’an maupun wahyu yang tidak langsung melalui sunnah Rsulullah SAW,
dan akal manusia harus dimanfaatkan dan dikembangkan secara baik dan benar
untuk memahami wahyu dan berjalan sepanjang garis-garis yang telah ditetapkan
dan diatur oleh Allah SWT.
13
Ibid., h.19
14
Mulyadi Kartanegara, Gerbang kearifan: Sebuah Pengantar Falsafat Islam, (Jakarta: Lentera Hati,
2006), h. 139
15
Abdul Aziz Dahlan, “Filsafat”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran dan
Peradaban, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2007), h. 179
16
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam terjemah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 457
E. Kedudukan Akal dan Wahyu Menurut Teologi
Teologi merupakan istilah yang lazim digunakan untuk ahli ilmu kalâm.
Skripsi ini hanya memfokuskan pada dua aliran teologi yaitu Mu‘tazilah dan
Asy‘ariyyah, meskipun sebenarnya masih terdapat aliran-aliran teologi yang lain.
Sejatinya persoalan dalam teolog khususnya dua aliran ini mengacu pada dua
persoalan, yakni kemampuan akal dan fungsi wahyu dalam mengetahui adanya
Tuhan serta kebaikan dan kejahatan.
Dalam sejarah pemikiran Islam, teologi yang disebut oleh tradisi Islam
dengan ilmu kalâm, berkembang mulai dari abad 1 H. Adapun aliran teologi yang
pertama kali muncul adalah Mu‘tazilah, Sedangkan aliran yang kedua adalah
Asy‘ariyyah. Mu‘tazilah adalah sumber pengetahuan yang berasal dari agama.
Sehingga pengetahuan tersebut bagi Mu‘tazilah adalah sebagai konfirmasi dari
pengetahuan yang berasal dari akal. Yang dimana Mu‘tazilah merupakan
berpandangan, pengetahuan dan dapat diketahui melalui perantaraan akal, dan
kewajiban-kewajiban dapat pula diketahui melalui pemikiran mendalam. Sementara
akal dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, bersyukur terhadap
nikmat yang diberikan-Nya, dan meninggalkan keburukan, serta berbuat adil. Akal
mengetahui perbuatan baik dan buruk. Dengan demikian manusia bagi Mu‘tazilah
memunyai kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, dan wajib meninggalkan hal-
hal buruk.18
Adapun Asy‘ariyyah pada sisi lain menyatakan akal tidak akan pernah dapat
mengetahui segala macam bentuk kewajiban serta bentuk kebaikan dan keburukan
sebelum wahyu berada, sebab semua kewajiban hanya dapat diketahui dengan
keberadaan wahyu. Akal hanya dapat mengetahui keberadaan Tuhan, tetapi wahyu
yang mewajibkan manusia mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepadaNya. Ibn
Abî Hâsyîm, salah satu tokoh Asy‘ariyyah, mengatakan bahwa akal hanya
mengetahui perbuatan yang membawa kepada kemudharatan, akan tetapi tidak akan
pernah tahu perbuatan yang masuk pada kategori perbuatan baik dan buruk.19
22
Dr. Ahmad Nahrawi Abdus Salam Al-Indunisi, Eksilopedia Iman Syafi’I (Jakarta: Hikmah, 2008)
h. 110
23
Havis Aravik dan Choiriyah, “Etika Rasionalisme dan Etika Voluntarisme; Studi Krisis Mu’tazilah
dan Ay’ariyah”, SALAM Jurnal Sosial dan Syar-I, 5 (2018): 18-19
24
Ibid, 18
25
Ibid, 18
Adil sendiri memiliki arti yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya, oleh
karena itu aliran ini memiliki keyakinan bahwa Allah itu adil jika tidak melanggar
janji-Nya.
3. Al-Wa'du wa-al-Waid (Janji dan ancaman)
Yang ketika golongan Mu’tazilah yaitu Al-Wa'du wa-al-Waid (Janji dan
ancaman) memiliki prinsip yaitu
“Konsep ajaran Mu'tazilah yang ke tiga ini berkaitan erat dengan konsep
ajaran al-Adl. Tuhan maha adil dan bijaksana dan tidak pula akan melanggar
janjinya. Siapa yang berbuat kebaikan akan diganjar dengan kebaikan dan siapa
yang berbuat keburukan akan di ganjar pula dengan keburukan.” 26
Aliran ini berpendapat bahwa setiap perbuatan seseorang akan dibalas sesuai
dengan apa yang diperbuat. Jika ia berbuat baik maka akan diganjar pahala,
sedangkan jika berbuat jahat akan dibalas dengan keburukan atau kejahatan pula.
4. Al-Manzilatu baina al- Manzilatain (Posisi di antara dua posisi)
Yang keempat adalah Al-Manzilatu baina al- Manzilatain (Posisi di antara dua
posisi) yang berarti
“Paham ini merupaan ajaran dasar pertama yang melahirkan munculnya
Mu'tazilah. Ajaran ini timbul setelah terjadinya perdebatan antara Washil bin atha
dengan Hasan al-Basri di Basrah. Bagi Mu'tazilah orang yang berdosa besar bukan
termasuk kafir dan bukan pula mu'min, melainkan berada di antara keduanya, posisi
antara dua mu'min dan kafir ini di sebut fasiq.27
Aliran Mu'tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas.
Oleh karna itu, Mu'tazilah menganut faham qodariyah atau free will. menurut Al-Juba'i
dan Abd Aljabbra, Manusialah yang menciptakan perbuata-perbuatannya. Manusia
sendirilah yang membuat baik dan buruk. KepaTuhan dan ketaatan seseorang kepada
Tuhan adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya (al-istita'ah) untuk
mewujudkan kehendak terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.
Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia
sendirilah yang mewujudkan perbuatannya. Mu'tazilah dengan tegas mengatakan bahwa
daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia aalah tempat
terciptanya perbuatan.j adi, Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia. Aliran
Mu'tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan
perbuatan.
Dengan faham ini, aliran mu'tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta alam,
sedangkan manusia berpihak sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.
Meski berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan manusia dan tidak pula
menentukannya, kalangan Mu'tazilah tidak mengingkari azali Allah yang mengetahui
segala apa yang akan terjadi dan diperbuat manusia, pendapat inilah yang
membedakannya dari penganut qodariah murni.
29
M. Abdul Mujieb, Syafi’ah, H. Ahmad Ismail M, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali, (Jakarta:
Hikmah, 2009) h. 71
30
Hadi Rafitra Hasibuan,”Aliran Asy’ariyah (Kajian Historis dan Pengaruh Aliran Kalam
Asy’ariyah”, AL-HADI, 2 (Januari-Juni 2017): 441
31
M. Abdul MUjieb, Syafi’ah, H. Ahmad Ismail M, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali, (Jakarta:
Hikmah, 2009) h. 73
Untuk membela fahamnya, aliran Mu'tazilah mengungkapkan ayat berikut:
)۷ : ألذى أحسن كل شێ خلقه (السجدة
Artinya:
"Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya".(QS. As-
Sajdah: 7).
Yang dimaksud dengan ahsana pada ayat di atas, adalah semua pebuatn Tuhan
adalah baik. dengan demikian, perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena
perbuatan manusia terdapat perbuatan jahat. Dalil ini di kemukakan untuk mempertegas
bahwa manusia akan mendapat balasan atas perbuatannya. Sekirany perbuatan manusia
adalah perbuatan Tuhan, balasan dari Tuhan tidak ada artinya.
Berdasarkan tendensi diatas, soal keadilan Tuhan, mereka tinjau dari sudut
pandang manusia, bagi mereka sebagai yang diterangkan , keadilan erat
hubungannya dengan hak dan keadilan yang diartikan memberi seseorang akan
haknya.
Kata “ Tuhan adil “ berarti semua perbuatan Tuhan itu bersifat baik dia
tidak pernah berbuat buruk, tidak pula akan kewajibannya. Menurut Abdul
Jabbar Setiap perbuatan Tuhan itu pasti mempunyai fungsi dan tujuan, tidak
ada yang sia – sia 7. Dari sini berkembang bahwa karena Tuhan itu baik, maka
tidak mungkin berbuat yang negatif dan pasti akan berbuat yang baik, bahkan
yang terbaik bagi makhluknya. Keadilan Tuhan itu nampak jelas ada pembenahan
tanggungjawab manusia terhadap tindakan dan perbuatannya dihadapan Tuhan
karena adanya kebebasan memilih dan kebebasan bertindak yang pada manusia
telah dibekali akan kemampuan oleh Tuhan. Dari sini Mu’tazilah dikenal
dengan ahli Adil.
Dalam pemikiran kaum Asyariyah mereka yakin akan ketergantungan manusia pada
Tuhan, Tuhan mempunyai kehendak mutlak, karena kuat mempertahankan hukum
alam atau sunnatullah akhirnya tidak mendapat tempat dalam aliran Asy’ariyah. 10
Aravik, Havis dan Choiriyah.”Etika Rasionalisme dan Etika Voluntarisme; Studi Krisis
Mu’tazilah dan Asy’ariyah”, SALAM Jurnal Sosial dan Syar-I, 5 (2018)
Aziz Dahlan, Abdul. “Filsafat”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran dan
Peradaban. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2007
Dasuki, Hafizh. Ensiklopedi Islam. Jakarta: P.T Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994
Daud Ali, Muhammad. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Dr. Nahrawi Abdus Salam Al-Indunisi, Ahmad. Eksilopedia Iman Syafi’I. Jakarta: Hikmah, 2008
Hasibuan, Hadi Rafitra,”Aliran Asy’ariyah (Kajian Historis dan Pengaruh Aliran Kalam
Asy’ariyah”, AL-HADI, 2. Januari-Juni 2017
Ilhamuddin. Pemikiran Kalam Al-Baqillani: Studi tentang Persamaan dan Perbedaan dengan
alAsyari. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yoya, 1997
Iqbal, Muhammad. Ibn Rusyd dan Averroisme: Sebuah Pemberontakan terhadap Agama.
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004
Izutzu, Toshihiko. God and Man in the Qur’an. Tokyo: Keio University, 1964
Kartanegara, Mulyadi. Gerbang kearifan: Sebuah Pengantar Falsafat Islam. Jakarta: Lentera
Hati, 2006
Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam terjemah. Jakarta: Bumi Aksara, 2004