Anda di halaman 1dari 19

Teologi Islam Kalam 2

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Islam yang diampu
oleh Deny Hamdani, Ph.D

Disusun Oleh:
Rahmat Fajar Sanjaya 11201120000085
Imam Ahnafudin 11201120000113
Intan Putri Kamila 11201120000114

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan bertujuan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa arab ini dengan tepat waktu. Shalawat serta
salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita Nabi Muhammad SAW
yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk menyelesaikan dan memenuhi tugas
UTS dalam mata kuliah Studi Islam. Selain itu juga, pembuatan makalah ini untuk
mengetahui dan mempelajari lebih dalam tentang kedudukan akal dan wahyu dalam
pemikiran islam, perbuatan manusi menurut aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah dan isu
keadilan tuhan menurut aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah dalam teologi islam.
Penulis berterimakasih kepada Bapak Deny Hamdani yang telah mendukung proses
pembuatan makalah ini, sehingga makalah ini dapat selesai tepat waktu yang telah
diberikan. Penulis juga sangat menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan
makalah ini. Oleh karena itu, penulis memohon maaf yang sebenar-benarnya jika ada
kesalahan pada tulisan yang salah atau menyinggung suatu pihak. Saya berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat pada pembaca.
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yan paling sempurna. Hal yang
membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah akal. Manusia diberi kemampuan
oleh allah untuk berpikir, seperti akal yang dimiliki oleh manusia digunakan untuk memilih,
mempertimbangkan, dan menentukan jalan pikirannya sendiri. Dengan menggunakan akal,
manusia mampu memahami Al-Qur’an yang diturunkan sebagai wahyu oleh AllahSWT
kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan akal pula manusia mampu menelaah sejarah islam
dari masa ke masa dari masa lampau. Akal juga digunakan untuk membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk.
Akal juga mampunyai kedudukan dalam agama islam, dan yang terpenting dalam
hal ini yaitu menentukan dan menjelaskan batasan-batasan akal, sebab kita meyakini bahwa
hampir semua kaum muslim berupaya dan berusaha mengambil manfaat akal dalam
pengajaran agama dan penjelasan keyakinan agama secara argumentatif.
Akal dan wahyu digunakan oleh manusia untuk membahas ilmu pengetahuan yang
dimana akal digunakan manusi untuk bernalar, sedangkan wahyu digunakan sebagai
pedoman dan acuan dalam berpikir. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan salah satu
hal yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Yang dimana manusi
membutuhkan ilmu pengetahuan dalam hidup karena pada dasarnya manusi mempunyai
suatu anugerah terbesar yang diberikan Allah SWT yaitu akal.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian akal dan wahyu?
2. Apa fungsi akal dan wahyu dalam islam?
3. Bagaimana kedudukan akal dan wahyu?
4. Bagaimana akal dan wahyu dalam pandangan filsof?
5. Bagaimana akal dan wahyu dalam pandangan teologi?
6. Apa itu aliran mu’tazilah?
7. Apa itu aliran asy’ariyah?
8. Bagaimana perbuatan manusia menurut aliran mu’tazilah?
9. Bagaimana perbuatan manusia menurut aliran asy’ariyah?
10. Apa saja isu-isu keadilan tuhan menurut aliran mu’tazilah?
11. Apa saja isu-isu keadilan tuhan menurut aliran asy’ariyah?
12. Bagaimana isu keadilan tuhan dalam kedua aliran tersebut?

C. Tujuan Penulisan
1. Mejelaskan pengertian akal dan wahyu.
2. Menjelaskan fungsi akal dan wahyu alam islam.
3. Menjelaskan kedudukan akal dan wahyu dalam islam.
4. Menjelaskan akal dan wahyu dalam pandangan filsof.
5. Menjelaskan akal dan wahyu dalam pandangan teologi.
6. Menjelaskan apa itu aliran mu’tazilah.
7. Menjelaskan apa itu aliran asy’ariyah.
8. Menjelaskan perbuatan manusia menurut aliran mu’tazilah.
9. Menjelaskan perbuatan manusia menurut aliran asy’ariyah.
10. Menjelaskan dan menyebutkan isu-isu keadilan tuhan menurut aliran
mu’tazilah.
11. Menjelaskann dan menyebutkan isu-isu keadilan tuhan menurut aliran
asy’ariyah.
12. Menjelaskan bagaimana isu keadilan tuhan menurut kedua aliran tersebut.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Akal dan Wahyu


Secara bahasa atau lughawî, akal merupakan kata yang berasal dari bahasa
Arab, ‘aqala yang berarti mengikat dan menahan. Namun, kata akal sebagai kata
benda (mashdar) dari ‘aqala tidak terdapat dalam al-Qur’ân, akan tetapi kata akal
sendiri terdapat dalam bentuk lain yaitu kata kerja (fi‘lmudhârî‘). Di sisi lain yang
terdapat dalam al-Qur’ân selain kata ‘aqala yang menunjukkan arti berfikir adalah
nazhara yang berarti melihat secara abstrak, sebanyak 120 ayat; tafakkara yang
artinya berfikir tardapat pada 18 ayat; faqiha yang berarti memahami sebanyak 20
ayat; tadabbara sebanyak 8 ayat dan tadzakkara yang memiliki arti mengingat
sebanyak 100 ayat. Semua kata tersebut sejatinya masih sangat terkait dengan
pengertian dari kata akal tersebut.1
Dalam kamus Arab, kata ‘aqala diartikan mengikat dan menahan. Maka tali
pengikat serban, yang dipakai di Arab Saudi memiliki warna beragam yakni hitam
dan terkadang emas, disebut ‘iqal; dan menahan orang di dalam penjara disebut
i‘taqala dan tempat tahanan mu‘taqal.2 Lain halnya bagi Izutzu, ‘aql di zaman
jahiliyah diartikan kecerdasan praktis. Bahwa orang yang berakal memunyai
kecakapan untuk menyelesaikan masalah, dan di setiap saat dihadapkan dengan
masalah ia dapat melepaskan diri dari bahaya yang dihadapinya.3
Adapun secara istilah akal memiliki arti daya berpikir yang ada dalam diri
manusia dan merupakan salah satu daya dari jiwa serta mengandung arti berpikir.
Bagi al-Ghazâlî akal memilki beberapa pengertian
1. Pertama, sebagai potensi yang membedakan manusia dari binatang dan
menjadikan manusia mampu menerima berbagai pengetahuan teoritis.
2. Kedua, pengetahuan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengalaman
yang dilaluinya dan akan memerhalus budinya.
3. Ketiga, akal merupakan kekuatan instink yang menjadikan seseorang
mengetahui dampak semua persoalan yang dihadapinya sehingga dapat
mengendalikan hawa nafsunya.4

Dan terdapat dalam islam akal merupakan anugerah tuhan kepada manusia
yang tidak diberikan kepada makhluk lain, dengan akal manusia dapat mempelajari
ilmu pengetahuan dan mengembangkannya. Dengan akal manusia dapat
meningkatkan kemampuan berfikirnya. Dan akal juga membuat manusia
mempunyai moral dan nilai-nilai luhur. Dalam Al- Qur’an menyuruh manusia
menggunakan akalnya untuk menemukan kebenaran.
Kedudukan akal dalam islam sangat penting karena akal-lah wadah yang
menampung akidah syari’ah serta akhlak didalam ajaran islam. dan terdapat
ungkapan yang menyatakan akal adalah kehidupan. Namun kedudukan dan peranan
1
Hafizh Dasuki, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: P.T Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 98
2
Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab, (Jakarta: Serambi, 1992), h. 25
3
Toshihiko Izutzu, God and Man in the Qur’an, (Tokyo: Keio University, 1964), h. 657
4
Quraish Shihab, Logika Agama, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 87
akal dalam ajaran islam tidak boleh bergerak dan berjalan tanpa bimbingan wahyu
yang berfungsi meluruskan akal.5
Wahyu berasal dari kata bahasa arab “Al-wahy” yang artinya suara, api dan
kecepatan disamping itu mengandung makna bisikan, isyarat tulisan dan kitab. Al-
wahy mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat.
Dengan demikian wahyu adalah tuntunan yang diberikan sang pencipta melalui
pilihan-nya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup.
Secara konseptual istilah wahyu menunjukan kepada nama-nama yang lebih
popular seperti Al-kitab, Al-qur’an, dan balagh. Dan dalam terminology islam,
wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW itu dinamakan Al-Qur’an, Al-
Qur’an adalah kitab dan firman allah yang disampaikan kepada nabi. Dengan
demikian wahyu menurut konsepsi Al-Qur’an merupakan parole tuhan dengan
firman allah (kalam allah) didalamnya.6
Penamaan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan al-
Qur’ân memiliki pengertian bahwa wahyu tersimpan dalam dada manusia karena
nama alQur’an sendiri berasal dari kata qirâ’ah (bacaan) dan di dalam kata qirâ’ah
terkandung makna agar selalu diingat7.
Selain dinamakan al-Qur’ân, wahyu yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad memiliki nama-nama lain, yaitu di antaranya, Al-Kitab berarti tulisan
(Al-Baqarah: 2); al-Risâlah berarti surat atau warta (Al-Ahzab: 39); suhuf berarti
lembaran-lembaran (‘Abasa: 39); al-Furqân berarti pembeda karena membedakan
antara yang hak dan batil, antara yang baik dan buruk (Al- Baqarah: 185); al-dzikr
berarti peringatan (Shâd: 1); (Al-Huda) berarti petunjuk karena memberikan
petunjuk kepada jalan hidup yang lurus dan benar (Al- Baqarah: 185); (Al-Nur)
berarti cahaya karena mengeluarkan manusia dari kegelapan pikiran kepada
kebenaran (Al-An‘am: 91); (Al-Syifa) berarti penawaran atau obat karena berisi
penawaran penyakit rohani seperti keresahan, kegelisahan, kecemasan dan
sebagainya (Al-Fushilat: 44).8
Wahyu Allah yang diturunkan kepada utusan-Nya khususnya kepada Nabi
Muhammad pada garis besarnya berisi: aqidah, prinsip-prinsip keimanan yang perlu
diyakini oleh setiap mu’min; hukum-hukum syari‘at yang mengatur hubungan
manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia
dengan alamnya; akhlak, tuntunan budi pekerti luhur; ilmu pengetahuan; sejarah
tentang umat-umat terdahulu sebagai pelajaran; informasi tentang hal-hal yang akan
terjadi pada masa yang akan datang.9

5
Dr. Sarinah, M.Pd.I, Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta: Deepublish, 2017), h.144-146
6
Ibid., h.146-147
7
Hamzah Ya’kub, Filsafat Agama, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), h. 132
8
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 9
9
Ibid., h.19
B. Fungsi Akal dan Wahyu Dalam Islam
Menurut Salafiyah dalam buku Pendidikan Agama Islam, fungsi akal pikiran
tidak lain yang hanya menjadi saksi kebenaran penjelasan dalil-dalil Al-Qur’an dan
bukan menjadi hakim yang mendalil atau menolaknya. Dan juga terdapat tolak ukur,
akan kebenaran dan kebatilan, alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah
laku yang benar, dan alat penemu solusi Ketika permasalahan datang. Fungsi
menurut salafiyah adalah jalan untuk mengetahui aqidah dan hukum-hukum dalam
islam dan segala sesuatu yang mendekati kebaikan dan memberikan informasi bagi
manusia, baik itu pokok maupun cabang yang terdapat dalam aqidah itu sendiri
maupun dalil-dalil pembuktiannya yang tidak lain adalah sumbernya yang
merupakan wahyu Allah SWT yang diyakini oleh Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi
SAW sebagai penjelasanya. Dan apa yang sudah ditetapkan dan dijelaskan oleh
Nabi dan Allah SWT tidak boleh ditolak.10

C. Kedudukan Akal dan Wahyu Dalam Islam


Berbicara tentang kedudukan akal dan wahyu dalam islam berkaitan dengan
tempat akal dan wahyu dalam sistem ajaran islam. Mengetahui kedudukan akal
merupakan langkah awal untuk mengetahui peranannya dalam islam. Kedudukan
dan peranan dalam islam merupakan dua hal yang tidak pernah bisa dipisahkan.
Sebab, peranan menjadi aspek dinamis kedudukan sesuatu yang bertindak dalam
melakukan sesuatu.
Menurut Muhammad Daud Ali, kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia
yang sudah baku itu berasal Bahasa arab yaitu al’aql yang mengandung beberapa
arti dan pengertian dan intelektual (daya atau proses pikiran yang lebih tinggi yang
berkenaan dengan ilmu pengetahuan). 11
Kedudukan akal dan wahyu dalam islam sangat penting. Akal inilah yang
menjadi wadah yang menampung akidah, syariah serta akhlak dalam
menjelaskannya. Kita sendiri tidak dapat pernah memahami islam tanpa
mempergunakan akal. Dengan menggunakan akal secara baik dan benar, sesuai
dengan petunjuk allah, manusi akan selalu merasa terikat dan dengan sukarela
mengikat diri kepada allah. Dengan menggunakan akalnya manusia bisa berbuat dan
bertindak, memahami, dan mewujudkan sesuatu. Karena posisi yang demikian dapat
dipahami dalam ajaran islam terdapat ungkapan yang menyatakan akal adalah
kehidupan, yag dimana keehilangan akal berarti kematian.12
Namun, kedudukan peranan dalam ajaran islam tidak boleh bergerak dan
berjalan tanpa bimbingan wahyu. Sebab, wahyu berfungsi untuk meluruskan akal
jika menjurus kejalan yang benar-benar salah akibat berbagai pengaruh. Allag
memberi petunjuk keapada umat manusia berupa wahyu yang tertuang dalam al-
qur’an dan hadits nabi Muhammad SAW. Dalam kata wahyu terkandung arti
penyampaian firma allah kepada orang yang menjadi pilihannya agar disampaikan
kepada umat manusia untuk dijadikan sebagai pegangan hidup. Firman allah itu
mengandung ajaran petunjuk dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam
perjalanan hidupnya, baik didunia maupun diakhirat. Firman allah dalam al-qur’an

10
Dr. Sarinah, M.Pd.I, Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta: Deepublish, 2017), h. 148
11
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h.
385
12
Harun Nasution, Akal dan Wahyu, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 12
tidak hanya dalam bentuk isi tetapi juga terdapat dalam bnetuk kata-katanya (lafaz
dan makna).13
Dari uraian tersebut dapat kita katakana bahwa dalam islam kedudukan akal
dan wahyu merupakan “Sokoguru” ajaran islam. Namun, perlu ditegaskan dalam
sistem ajaran islam, wahyulah yang pertama dan utama yang djadikan referensi,
sedangkan akal menjadi yang kedua. Wahyu langsung dapat ditemukan dalam kitab
suci Al-Qur’an maupun wahyu yang tidak langsung melalui sunnah Rsulullah SAW,
dan akal manusia harus dimanfaatkan dan dikembangkan secara baik dan benar
untuk memahami wahyu dan berjalan sepanjang garis-garis yang telah ditetapkan
dan diatur oleh Allah SWT.

D. Kedudukan Akal dan Wahyu Menurut Filsof


Memang dalam pandangan falsafat akal lebih banyak dipakai dan dianggap
lebih besar dayanya dari apa yang diungkapkan teolog, sebab ini sesuai dengan
pengertian falsafat ialah memikirkan sesuatu sedalam-dalamnya tentang wujud.
Bagi failasuf, hubungan antara akal dan wahyu, antara falsafat dan agama tidak ada
pertentangan. Walaupun telah terjadi berbagai hujatan bahwa falsafat bertentangan
dengan agama, namun para failasuf berusaha dengan sekeras mungkin untuk
menunjukkan bahwa falsafat pada prinsipnya tidak bertentangan dengan agama.14
Dengan demikian antara agama dan falsafat ada penyesuaian, yang mana
keduanya membahas kebenaran dan kebaikan dengan membawa argumen argumen
yang kuat. Agama dan falsafat membahas subjek yang sama dan memakai metode
yang sama, sehingga yang menjadi perbedaan hanya cara memperoleh kebenaran
yakni falsafat dengan cara menggunakan akal sedangkan agama dengan wahyu.15
Al-Fârâbî juga memiliki keyakinan bahwa antara agama dan falsafat tidak
ada pertentangan, sebab baginya kebenaran dibawa wahyu dan kebenaran falsafat
hakikatnya satu, walaupun bentuknya berbeda.Dua dasar yang dipakai al-Fârâbî
dalam mengusahakan keharmonisan antara agama dan falsafat, yakni, pertama
pengadaan keharmonisan antara falsafat Aristoteles dan Plato sehingga sesuai
dengan dasar-dasar Islam dan kedua, pemberian tafsiran rasional terhadap ajaran
ajaran Islam.16
Ibn Rusyd juga menegaskan bahwa antara agama dan falsafat tidak
bertentangan bahwa penelitian akal tidak menimbulkan halhal yang bertentangan
dengan apa yang dibawa agama, karena kebenaran tidak berlawanan dengan
kebenaran tetapi sesuai dan saling menguatkan. Dalam hal ini Ibn Rusyd
menjelaskan hal tersebut dengan pembagian akal. Menurutnya, akal terbagi menjadi
tiga metode, dengan membuat perbedaan tingkat kapasitas dan kemampuan manusia
dalam menerima kebenaran, pertama retorika (Khithâbiyyah), dialektika
(jadâliyyah), dan demontratif (burhâniyyah) serta metode pertama dan kedua
diperuntukkan pada manusia awam, dan metode ketiga merupakan kekhususan
kelompok manusia yang berpikir kritis.17

13
Ibid., h.19
14
Mulyadi Kartanegara, Gerbang kearifan: Sebuah Pengantar Falsafat Islam, (Jakarta: Lentera Hati,
2006), h. 139
15
Abdul Aziz Dahlan, “Filsafat”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran dan
Peradaban, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2007), h. 179
16
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam terjemah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 457
E. Kedudukan Akal dan Wahyu Menurut Teologi
Teologi merupakan istilah yang lazim digunakan untuk ahli ilmu kalâm.
Skripsi ini hanya memfokuskan pada dua aliran teologi yaitu Mu‘tazilah dan
Asy‘ariyyah, meskipun sebenarnya masih terdapat aliran-aliran teologi yang lain.
Sejatinya persoalan dalam teolog khususnya dua aliran ini mengacu pada dua
persoalan, yakni kemampuan akal dan fungsi wahyu dalam mengetahui adanya
Tuhan serta kebaikan dan kejahatan.
Dalam sejarah pemikiran Islam, teologi yang disebut oleh tradisi Islam
dengan ilmu kalâm, berkembang mulai dari abad 1 H. Adapun aliran teologi yang
pertama kali muncul adalah Mu‘tazilah, Sedangkan aliran yang kedua adalah
Asy‘ariyyah. Mu‘tazilah adalah sumber pengetahuan yang berasal dari agama.
Sehingga pengetahuan tersebut bagi Mu‘tazilah adalah sebagai konfirmasi dari
pengetahuan yang berasal dari akal. Yang dimana Mu‘tazilah merupakan
berpandangan, pengetahuan dan dapat diketahui melalui perantaraan akal, dan
kewajiban-kewajiban dapat pula diketahui melalui pemikiran mendalam. Sementara
akal dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, bersyukur terhadap
nikmat yang diberikan-Nya, dan meninggalkan keburukan, serta berbuat adil. Akal
mengetahui perbuatan baik dan buruk. Dengan demikian manusia bagi Mu‘tazilah
memunyai kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, dan wajib meninggalkan hal-
hal buruk.18
Adapun Asy‘ariyyah pada sisi lain menyatakan akal tidak akan pernah dapat
mengetahui segala macam bentuk kewajiban serta bentuk kebaikan dan keburukan
sebelum wahyu berada, sebab semua kewajiban hanya dapat diketahui dengan
keberadaan wahyu. Akal hanya dapat mengetahui keberadaan Tuhan, tetapi wahyu
yang mewajibkan manusia mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepadaNya. Ibn
Abî Hâsyîm, salah satu tokoh Asy‘ariyyah, mengatakan bahwa akal hanya
mengetahui perbuatan yang membawa kepada kemudharatan, akan tetapi tidak akan
pernah tahu perbuatan yang masuk pada kategori perbuatan baik dan buruk.19

F. Pengertian Aliran Mu’tazilah


Secara bahasa Mu’tazilah berasal dari kata I’tazala yang memiliki arti
berpisah atau memisahkan diri dan berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. 20
Sedangkan menurut istilah “Mu'tazilah merupakan salah satu aliran dalam teologi
Islam yang dalam banyak pemikirannya menempatkan akal (rasio) sebagai sumber
pengetahuan utama, sedangkan wahyu sebagai pendukung kebenaran akal.” 21
Pendapat lain juga mengatakan bahwa “Mu’tazilah sering disebut sebagai
Qadariyah, karena pemikirannya tentang takdir sejalan dengan pandangan
Qadariyah, yang menyatakan bahwa manusia berkuasa penuh dalam melakukan
segala perbuatan, tanpa campur tangan Allah Swt.”22 Dari beberapa kesimpulan di
atas dapat disimpulkan bahwa penganut aliran mu’tazilah menitikberatkan segala
17
Muhammad Iqbal, Ibn Rusyd dan Averroisme: Sebuah Pemberontakan terhadap Agama, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2004), h. 39
18
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al-Baqillani: Studi tentang Persamaan dan Perbedaan dengan
alAsyari, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yoya, 1997), h. 114
19
Ibid., 120
20
Rohidin, “Mu’tazilah: Sejarah dan Perkembangannya”, El-Afkar, Vol. 7, (juli-desember 2018) h. 2
21
Havis Aravik dan Choiriyah,”Etika Rasionalisme dan Etika Voluntarisme; Studi Krisis Mu’tazilah
dan Asy’ariyah”, SALAM Jurnal Sosial dan Syar-I, 5 (2018): 17
perbuatannya kepada akal sehingga mereka percaya bahwa segala keputusan Allah
itu tergantung pada usaha mereka.
Aliran Mu'tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan
bebas. Oleh karna itu, Mu'tazilah menganut faham qodariyah atau free will. Menurut
Al-Juba'i dan Abdul Aljabbar, manusialah yang menciptakan perbuatan-
perbuatannya. Manusia sendirilah yang membuat baik dan buruk. Kepada Tuhan
dan ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak dan kemauannya
sendiri. Daya (al-istita'ah) untuk mewujudkan kehendak terdapat dalam diri manusia
sebelum adanya perbuatan.
Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi
manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya. Mu'tazilah dengan tegas
mengatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri
manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi, Tuhan tidak dilibatkan dalam
perbuatan manusia. Aliran Mu'tazilah mengecam keras faham yang mengatakan
bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan.
Dengan faham ini, aliran mu'tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta alam,
sedangkan manusia berpihak sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah
bentuknya. Meski berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan manusia dan tidak
pula menentukannya, kalangan Mu'tazilah tidak mengingkari azali Allah yang
mengetahui segala apa yang akan terjadi dan diperbuat manusia, pendapat inilah
yang membedakannya dari penganut qodariah murni.
Aliran Mu’tazilah memiliki 5 prinsip yang diantaranya At-Tauhid (Keesaan),
Al-Adl (Keadilan), Al-Wa'du wa-al-Waid (Janji dan ancaman), Al-Manzilatu baina
al- Manzilatain (Posisi di antara dua posisi ), Al-Amr bi- Al-Ma'ruf wa an-Nahyu an
Munkar (Perintah berbuat baik dan melarang yang kemungkaran).23 Berikut ini
adalah penjelasannya
1. At-Tauhid (Keesaan)
Aliran ini memiliki prinsip At-Tauhid (Keesaan) karena “Golongan Mu'tazilah
sendiri menganggap konsep tauhid mereka paling murni sehingga mereka senang
disebut Ahl-Tauhid ( Pembela Tauhid ).24
2. Al-Adl (Keadilan)
Yang kedua aliran ini memiliki prinsip atau dasar yakni
“Tuhan maha adil. Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk
menunjukkan kesempurnaan. Karena tuhan maha sempurnah, dia sudah pasti adil.
Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut
pandang manusia, karena alam semesta ini sebenarnya diciptakan untuk
kepantingan manusia.”25

22
Dr. Ahmad Nahrawi Abdus Salam Al-Indunisi, Eksilopedia Iman Syafi’I (Jakarta: Hikmah, 2008)
h. 110
23
Havis Aravik dan Choiriyah, “Etika Rasionalisme dan Etika Voluntarisme; Studi Krisis Mu’tazilah
dan Ay’ariyah”, SALAM Jurnal Sosial dan Syar-I, 5 (2018): 18-19
24
Ibid, 18
25
Ibid, 18
Adil sendiri memiliki arti yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya, oleh
karena itu aliran ini memiliki keyakinan bahwa Allah itu adil jika tidak melanggar
janji-Nya.
3. Al-Wa'du wa-al-Waid (Janji dan ancaman)
Yang ketika golongan Mu’tazilah yaitu Al-Wa'du wa-al-Waid (Janji dan
ancaman) memiliki prinsip yaitu
“Konsep ajaran Mu'tazilah yang ke tiga ini berkaitan erat dengan konsep
ajaran al-Adl. Tuhan maha adil dan bijaksana dan tidak pula akan melanggar
janjinya. Siapa yang berbuat kebaikan akan diganjar dengan kebaikan dan siapa
yang berbuat keburukan akan di ganjar pula dengan keburukan.” 26

Aliran ini berpendapat bahwa setiap perbuatan seseorang akan dibalas sesuai
dengan apa yang diperbuat. Jika ia berbuat baik maka akan diganjar pahala,
sedangkan jika berbuat jahat akan dibalas dengan keburukan atau kejahatan pula.
4. Al-Manzilatu baina al- Manzilatain (Posisi di antara dua posisi)
Yang keempat adalah Al-Manzilatu baina al- Manzilatain (Posisi di antara dua
posisi) yang berarti
“Paham ini merupaan ajaran dasar pertama yang melahirkan munculnya
Mu'tazilah. Ajaran ini timbul setelah terjadinya perdebatan antara Washil bin atha
dengan Hasan al-Basri di Basrah. Bagi Mu'tazilah orang yang berdosa besar bukan
termasuk kafir dan bukan pula mu'min, melainkan berada di antara keduanya, posisi
antara dua mu'min dan kafir ini di sebut fasiq.27

5. Al-Amr bi- Al-Ma'ruf wa an-Nahyu an Munkar (Perintah berbuat baik dan


melarang yang kemungkaran)
Yang kelima adalah Al-Amr bi- Al-Ma'ruf wa an-Nahyu an Munkar (Perintah
berbuat baik dan melarang yang kemungkaran) yang berarti
“Dalam prinsip Mu'tazilah, setiap muslim wajib menegakkan perbuatan
yang ma’ruf serta menjauhi perbuatan yang mungkar. Atas dasar prinsip ini
Mu'tazilah dalam merealisasikan pendapatnya tidak saja melalui seruan biasa
bahkan kalau perlu dengan kekerasan.” 28
G. Pengertian Asy’ariyah
Dalam faham Asy'ariyah manusia di tempatkan pada posisi yang lemah. Ia di
ibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karana itu,
aliran ini lebih dekat dengan paham jabariah dari pada dengan faham Mu'tazilah.
Pendiri aliran asy'ariyah, memakai teori al-kasb (acquisition dan perolehan). Teori Al-
Kasb Asy'ari dapat di jelaskan sebagai berikut. Segala sesuatu terjadi dengan
perantaraan daya yang di ciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang
memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan. Sebagai konsekuensi dari teori kasb ini,
manusia kehilangan keaktifan, sehingga manusia bersifat pasif dalam perbuatan-
perbuatannya.
26
Ibid 19
27
Ibid 19
28
Ibid, 19
Pada prinsipnya aliran asy'ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan
Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Allah
menciptakan perbuatan untuk manusia dan menciptakan pula pada diri manusia, daya
untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi, perbuatan di sini adalah ciptaan Allah dan
merupakan kasb (perolehan) bagi manusia. Dengan demikian kasb mempunyai
pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini berimplikasi
bahwa perbuatan manusia di barengi oleh daya kehendaknya, dan bukan atas daya
kehendaknya.
Asy’ariyah adalah suatu paham teologis yang didirikan oleh Abul Hasan Ali Bin
Ismail.29” Tahun 873 M atau bertepatan dengan 260 H, Abu Hasan Ali bin Ismail al-
Asy'ari lahir di Basra. Ia dididik dan dibesarkan di kalangan Mu'tazilah. Dan
menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di kota Baghdad, Irak”30
Asy’ariyah memiliki keyakinan bahwa Allah Tidak memerintahkan kejahatan,
sebaliknya Allah hanya memerintahkan kebaikan dan tidak terlarut-larut dalam
kesalahan. Dan Golongan Asy’ariyah juga berusaha menghindar dari setiap orang yang
mengajaknya kepada perbuatan bidah mereka juga memberbanyak membaca Al-Quran
dan penulisan hadits dari para sahabat.31
H. Perbuatan Manusia Menurut Aliran Mu,tazilah

Aliran Mu'tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas.
Oleh karna itu, Mu'tazilah menganut faham qodariyah atau free will. menurut Al-Juba'i
dan Abd Aljabbra, Manusialah yang menciptakan perbuata-perbuatannya. Manusia
sendirilah yang membuat baik dan buruk. KepaTuhan dan ketaatan seseorang kepada
Tuhan adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya (al-istita'ah) untuk
mewujudkan kehendak terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.
Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia
sendirilah yang mewujudkan perbuatannya. Mu'tazilah dengan tegas mengatakan bahwa
daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia aalah tempat
terciptanya perbuatan.j adi, Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia. Aliran
Mu'tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan
perbuatan.
Dengan faham ini, aliran mu'tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta alam,
sedangkan manusia berpihak sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.
Meski berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan manusia dan tidak pula
menentukannya, kalangan Mu'tazilah tidak mengingkari azali Allah yang mengetahui
segala apa yang akan terjadi dan diperbuat manusia, pendapat inilah yang
membedakannya dari penganut qodariah murni.

29
M. Abdul Mujieb, Syafi’ah, H. Ahmad Ismail M, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali, (Jakarta:
Hikmah, 2009) h. 71
30
Hadi Rafitra Hasibuan,”Aliran Asy’ariyah (Kajian Historis dan Pengaruh Aliran Kalam
Asy’ariyah”, AL-HADI, 2 (Januari-Juni 2017): 441
31
M. Abdul MUjieb, Syafi’ah, H. Ahmad Ismail M, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali, (Jakarta:
Hikmah, 2009) h. 73
Untuk membela fahamnya, aliran Mu'tazilah mengungkapkan ayat berikut:
)۷ : ‫ألذى أحسن كل شێ خلقه (السجدة‬
Artinya:
"Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya".(QS. As-
Sajdah: 7).
Yang dimaksud dengan ahsana pada ayat di atas, adalah semua pebuatn Tuhan
adalah baik. dengan demikian, perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena
perbuatan manusia terdapat perbuatan jahat. Dalil ini di kemukakan untuk mempertegas
bahwa manusia akan mendapat balasan atas perbuatannya. Sekirany perbuatan manusia
adalah perbuatan Tuhan, balasan dari Tuhan tidak ada artinya.

I. Perbuatan Manusia menurut aliran Asy,ariah


Argumen yang diajarkan oleh Al-Asa’ari untuk membela keyakinannya adalah
firman
)6۹ : ‫وهللا خلقكم وما تعملون (الصافات‬
Artinya::
"Tuhan menciptakan kamu apa yang kamu perbuaat". (Q.S. Ash-Shaffat
[37]:96)
Wama ta'malun pada ayat diatas di artikan al-asy'ari dengan apa yang kamu
perbuat dan bukan apa yang kamu perbuat. denga demikian, ayat ini mengandung arti
Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatanmu. dengan kata lain, dalam faham
asy'ari, yang mewujudkan kasb atau perbuatann manusia sebenarnya adalah Tuhan
sendiri.
Pada prinsipnya aliran asy'ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia
diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk
mewujudkannya. Allah menciptakan perbuatan untuk manusia dan menciptakan pula
pada diri manusia, daya untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi, perbuatan di sini
adalah ciptaan Allah dan merupakan kasb(perolehan) bagi manusia. Dengan
demikian kasb mempunyai pengertian
penyertaan perbuatan  dengan daya manusia yang baru. Ini berimplikasi bahwa
perbuatan manusia di barengi oleh daya kehendaknya, dan bukan atas daya
kehendaknya.
J. Isu keadilan Tuhan menurt aluran Mu,tazilah

Mu’tazilah merupakan gerakan rasionalis pada masa Dinasti Umayyah,


pola pikir ini berlangsung lama yang mempengaruhi dunia Islam, terutama pada
masa Bani Abbasyiah dan sesudahnya.
Menurut Harun Berkenaan dengan kehendak Tuhan, kaum Mu’tazilah
berkeyakinan bahwa Tuhan telah memberikan kemerdekaan dan kebebasan bagi
manusia dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Oleh karena itu Tuhan
bagi mereka tidak lagi bersifat absolut kehendaknya . 2

Kebebasan mutlak Tuhan dibatasi oleh kebebasan yang menurut


Mu’tazilah telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan
perbuatannya Seterusnya kekuasaan mutlak itu dibatasi oleh sifat keadilan
Tuhan. tidak lagi berbuat sekehendaknya, Tuhan telah terikat pada norma -
norma keadilan yang kalau dilanggar membuat Tuhan tidak adil bahkan zalim,
sifat serupa ini tidak dapat diberikan kepada Tuhan, selanjutnya kekuasaan dan
kehendakan mutlak Tuhan dibatasi oleh kewajiban - kewajiban Tuhan terhadap
3
manusia, seperti kewajiban - kewajiban Tuhan terhadap manusia, kewajiban
Tuhan memberikan rezeki kepada manusia, dan sebagainya. .. lebih lanjut
kehendak Tuhan juga dibatasi oleh hukum alam (Sunnah) yang tidak
mengalami perubahan. Allah berfirman dalam surat al-ahzab ayat 62 :

‫ﻭوﻟﻦ ﺗﺠﺪ ﻟﺴﻨﺔ ﺍا & ﺗﺒﺪ ﻳﯾﻼ‬

Mu’tazilah memang menganut faham bahwa tiap - tiap benda mempunyai


aturan atau hukum alam sendiri, sebagaimana pendapat seorang pemimpin
Mu’tazilah Mu’mar bin Abbad bahwa yang diciptakan Tuhan hanyalah benda -
benda materi adapun al-A’rad atau Accidentas adalah reaksi benda - benda
materi itu sendiri dalam bentuk natur seperti pembakaran api dan pemanasan
oleh matahari atau dalam dalam bentuk pilihan ( ikhtiar ) seperti antara gerak
dan diam, berkumpul dan berpisah dilakukan oleh binatang demikian
4
diungkapkan Muhammad Ibnu Abdul Karim

Demikian juga syahrastani mengatakan bahwa tiap – tiap benda


mempunyai natur sendiri yang menimbulkan efek tertentu menurut natur masing-
masing. 5
Dari tulisan - tulisan diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
Mu’tazilah percaya kepada hukum alam sunnatullah yang mengatur perjalanan
kosmos. Sunnatullah tersebut tidak berubah, semua uraian tersebut diatas
menunjukkan bahwa dalam faham Mu’tazilah Tuhan mempunyai batasan-
batasan .

Kaum Mu’tazilah karena percaya pada kekuasaan akal dan kemerdekaan


serta kebebasan manusia mempunyai tendensi untuk melihat wujud ini dari
sudut rasio dan kepentingan manusia. Memang dalam Mu’tazilah wujud ini dari
sudut - sudut rasio dan kepentingan manusia. Memang dalam Mu’tazilah semua
makhluk lainnya diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia. Mereka
selanjutnya berpendapat bahwa manusia yang berakal sempurna kalau berbuat sesuatu
pasti mempunyai tujuan, baik untuk kepentingan sendiri atau kepentingan orang lain,
Tuhan juga mempunyai tujuan dalam perbuatannya, tetapi karena Tuhan Maha suci
dari sifat berbuat untuk kepentingan diri sendiri, perbuatan Tuhan adalah
6
kepentingan maujud selain Tuhan

Berdasarkan tendensi diatas, soal keadilan Tuhan, mereka tinjau dari sudut
pandang manusia, bagi mereka sebagai yang diterangkan , keadilan erat
hubungannya dengan hak dan keadilan yang diartikan memberi seseorang akan
haknya.

Kata “ Tuhan adil “ berarti semua perbuatan Tuhan itu bersifat baik dia
tidak pernah berbuat buruk, tidak pula akan kewajibannya. Menurut Abdul
Jabbar Setiap perbuatan Tuhan itu pasti mempunyai fungsi dan tujuan, tidak
ada yang sia – sia 7. Dari sini berkembang bahwa karena Tuhan itu baik, maka
tidak mungkin berbuat yang negatif dan pasti akan berbuat yang baik, bahkan
yang terbaik bagi makhluknya. Keadilan Tuhan itu nampak jelas ada pembenahan
tanggungjawab manusia terhadap tindakan dan perbuatannya dihadapan Tuhan
karena adanya kebebasan memilih dan kebebasan bertindak yang pada manusia
telah dibekali akan kemampuan oleh Tuhan. Dari sini Mu’tazilah dikenal
dengan ahli Adil.

Jelas kiranya, bahwa faham keadilan bagi kaum Mu’tazilah mengandung


arti keajaiban – keajaiban yang harus dihormati Tuhan. Keadilan bukanlah hanya
berati memberi upah kepada yang berbuat baik dan memberi hukuman kepada
berbuat salah. menurut Harun keadilan Tuhan mengandung arti yang luas sekali,
seperti tidak memberi beban yang terlalu berat bagi manusia , pengiriman rasul -
rasul dan nabi - nabi, memberi manusia daya untuk melaksanakan kewajiban -
kewajiban dan sebagainya . 8

K. Isu Keadilan Tuhan Menurut aliran Asya,ariah


Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa keyakinan pada kesanggupan akal
dan kebebasan manusia mempunyai pengaruh terhadap konsep kehendak, jika
keyakinan pada kebebasan dan kesanggupan manusia kepada ketidak absolutan
kehendak Tuhan, keyakinan pada ketergantungan manusia sepenuhya keadaan
Tuhan membawa keyakinan akan kemutlakan kehendak Tuhan . 9

Dalam pemikiran kaum Asyariyah mereka yakin akan ketergantungan manusia pada
Tuhan, Tuhan mempunyai kehendak mutlak, karena kuat mempertahankan hukum
alam atau sunnatullah akhirnya tidak mendapat tempat dalam aliran Asy’ariyah. 10

Selanjutnya ia manfaatkan bahwa Tuhan pemilik terhadap semua ciptaannya .ia


berbuat sekehendaknya, sehingga kalau ia memasukkan seluruh manusia kedalam
surga bukanlah ia bersifat tidak adil dan kalau ia memasukkan seluruh manusia
kedalam neraka ia tidaklah bersifat zalim. Menurut Syahrastani semua ini
menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai kehendak mutlak. 10
Bertalian dengan kehendak mutlak ini, Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan
menghendaki apa yang ada dan tidak menghendaki apa yang tidak ada. Dengan
perkataan lain apa yang ada artinya dikehendaki dan apa yang tidak ada artinya
tidak dikehendaki, maka berarti Tuhan menghendakinya. Tuhan menghendaki
kekafiran bagi manusia yang sesat dan menghendaki kekafiran bagi manusia yang
sesat dan menghendaki iman bagi orang yang mendapat petunjuk 11
Dari uraian diatas, nampak jelas bahwa kehendak Tuhan menurut faham Asy’ariyah
bertolak belakang dengan faham Mu’tazilah, kelau Mu’tazilah kehendak Tuhan
mempunyai kehendak mutlak semutlak - mutlaknya. Kaum Asy’ariyah karena percaya
pada mutlaknya kekuasaan , mempunyai tendensi untuk meninjau wujud dari
kekuasaan dan kehedak mutlak Tuhan mempunyai tujuan dalam arti sebab yang
mendorong Tuhan mempunyai tujuan dalam arti sebab yang mendorong Tuhan
untuk berbuat sesuatu Tuhan berbuat semata- mata karena kekuasaan dan kehendak
mutlaknya dan bukan karena kepentingan manusia dan kehendak mutlaknya dan bukan
karena kepentingan manusia atau karena tujuan lainnya. 12
Sesuai dengan tendensi Asy’ariyah diatas, mereka “ memberikan interpretasi yang
diberikan oleh Mu’tazilah. Keadilan mereka artikan menempatkan sesuatu pada
prosesnya “ yaitu mempunyai kekuasaan mutlak. Terhadap harta yang dimiliki serta di
pergunakan sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik.
Dengan demikian menurut AL-karim Tuhan bersifat adil dalam perbuatannya, dengan
pengertian bahwa Tuhan bebas bertindak dalam kerajaan dan milikNya. Segala
sesuatu yang menjadi milikNya sesuai dengan kehendaknya dan ilmuNya 13. Adil
lawannya zalim yang pengertiannya adalah bertindak terhadap sesuatu bukan pada
proporsinya. Dengan pengertian demikian, tidak tergambar bahwa Tuhan berlaku
tidak adil atau zalim terhadap hamba maka kalau Tuhan memasukkan semua
makhluk kedalam surga ataupun ke dalam neraka, tidaklah Tuhan dikatakan zalim,
karena Tuhan adalah maha pemilik.ⁿ
DAFTAR PUSTAKA

Aravik, Havis dan Choiriyah.”Etika Rasionalisme dan Etika Voluntarisme; Studi Krisis
Mu’tazilah dan Asy’ariyah”, SALAM Jurnal Sosial dan Syar-I, 5 (2018)

As-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993

Aziz Dahlan, Abdul. “Filsafat”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran dan
Peradaban. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2007

Dasuki, Hafizh. Ensiklopedi Islam. Jakarta: P.T Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994

Daud Ali, Muhammad. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004

Dr. Nahrawi Abdus Salam Al-Indunisi, Ahmad. Eksilopedia Iman Syafi’I. Jakarta: Hikmah, 2008

Hasibuan, Hadi Rafitra,”Aliran Asy’ariyah (Kajian Historis dan Pengaruh Aliran Kalam
Asy’ariyah”, AL-HADI, 2. Januari-Juni 2017

Ilhamuddin. Pemikiran Kalam Al-Baqillani: Studi tentang Persamaan dan Perbedaan dengan
alAsyari. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yoya, 1997

Iqbal, Muhammad. Ibn Rusyd dan Averroisme: Sebuah Pemberontakan terhadap Agama.
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004

Izutzu, Toshihiko. God and Man in the Qur’an. Tokyo: Keio University, 1964

Kartanegara, Mulyadi. Gerbang kearifan: Sebuah Pengantar Falsafat Islam. Jakarta: Lentera
Hati, 2006

M.Pd.I, Dr. Sarinah. Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Deepublish, 2017

Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam terjemah. Jakarta: Bumi Aksara, 2004

Mujieb, M. Abdul, Syafi’ah, H. Ahmad Ismail M, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali.


Jakarta: Hikmah, 2009

Nasution, Harun. Akal dan Wahyu. Jakarta: UI Press, 1986

Rohidin.“Mu’tazilah: Sejarah dan Perkembangannya”, El-Afkar, Vol. 7. (juli-desember 2018) 1-


10
Shihab, Quraish. Logika Agama. Jakarta: Lentera Hati, 2007

Ya’kub, Hamzah. Filsafat Agama. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991


Yunus, Mahmud. Kamus Bahasa Arab. Jakarta: Serambi, 1992

Anda mungkin juga menyukai