PENDAHULUAN
1
Masykuri Abdillah, Demokrasi Di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim
Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2004), h. 148.
2
Ahmad Syafii Maarif, Tuhan Menyapa Kita, (Jakarta: Grafindo, 2006), h. 219-220.
1
2
Konflik yang timbul baik secara laten maupun manifes sebagai dampak
dari adanya fenomena pluralisme agama ini bersumber dari ketidaksiapan untuk
menerima kehadiran umat beragama lain sehingga berpotensi terhadap
munculnya tindak kekerasan antarumat beragama. Dengan sikap menghilangkan
perbedaan dan mempertanyakan hak hidup umat beragama lain secara doktriner,
maka kelompok agama dominan cenderung memaksa yang lemah untuk
mengikuti kehendak yang kuat. Karena pada dasarnya klaim absolutisme
sebagaimana yang diungkap oleh John Hick, 4 dilakukan oleh semua agama, baik
Islam, Kristen Hindu maupun Yahudi.
manusia telah diberi petunjuk untuk menentukan sendiri jalan hidupnya yang
benar, dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya.8
Dalam pandangan hidup Islam, salah satu anugerah yang diturunkan Allah
kepada manusia adalah kebebasan untuk memilih agama yang berdasarkan dari
keyakinannya sendiri. Hal inilah yang membuat manusia berbeda dengan makhluk
Allah yang lain. Jalan hidup utama yang diberikan kepada manusia adalah
kebebasan untuk mengikuti petunjuk yang diturunkan melalui Nabi Muhammad
SAW, yaitu agama Islam, jalan yang paling benar, ataupun memeluk keyakinan
agama lain, semuanya diserahkan secara penuh kepada manusia.9
Salah satu ajaran yang sangat dikedepankan dalam Islam tentang hal
tersebut adalah prinsip la Ikraha fi al-Din,10 yaitu tidak ada pemaksaan dalam
menganut agama, yang mana termaktub dalam QS. al-Baqarah [2]: 256. 11 Dari
ayat ini dapat dimaknai bahwa segala bentuk pemaksaan terhadap manusia untuk
memilih suatu agama tidak dibenarkan oleh al-Qur’an. Jika saja pemaksaan
diperbolehkan, maka bisa saja Allah yang memerintahkan hal itu, akan tetapi
kenyataannya, dalam ayat di atas tidak ada pemaksaan yang diaplikasikan atau
diterapkan. Oleh karena itu, penulis melihat bahwa penting untuk kita menyelidiki
lebih lanjut kebebasan beragama dalam al-Qur’an sebagai bentuk untuk
menyikapi bagaimana seharusnya beretika dalam lingkungan yang plural.
Makalah ini hendak memaparkan bagaimana kebebasan beragama dalam
perspektif al-Qur’an.
Sebab turunnya ayat QS. al-Baqarah [2]: 256 adalah, dijelaskan dari
riwayat Abu Daud, al-Nasa’i, dan Ibnu Jarir, seorang lelaki bernama Abu al-
Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 2008),h. 220.
8
Husain dari keluarga Bani Salim Ibnu ‘Auf al-Ansari mempunyai dua orang anak
laki-laki yang telah memeluk agama Nasrani, sebelum Nabi Muhammad SAW
diutus sebagai nabi. Kemudian anak itu datang ke Madinah setelah datangnya
Islam. Ayahnya selalu meminta agar mereka masuk Islam, dia berkata pada
mereka “saya tidak akan membiarkan kamu berdua, hingga kamu masuk Islam.”
Mereka lalu mengadukan hal itu kepada Rasulullah SAW dan ayah mereka
berkata “apakah sebagian tubuhku akan masuk neraka, dan aku hanya melihat
saja?” maka turunlah ayat ini, lalu sang ayah membiarkan anaknya tetap pada
agama mereka.12
Dalam ayat ini secara gamblang menyatakan bahwa tidak ada paksaan
dalam menganut keyakinan agama. Allah menghendaki agar setiap orang
merasakan kedamaian. Kedamaian tidak akan tercipta jika suasana jiwa tidak
memiliki kedamaian. Jiwa yang damailah yang dapat memunculkan kedamaian.
Paksaan membuat jiwa menjadi tidak damai, oleh karena itu tidak ada paksaan
dalam menganut akidah Islam.13 Dalam ayat ini pula menunjukkan bahwa tidak
diizinkan melakukan kekerasan dan paksaan bagi umat Islam terhadap yang bukan
Muslim untuk memaksanya masuk agama Islam. Ayat ini merupakan teks fondasi
atau dasar penyikapan Islam terhadap jaminan kebebasan beragama.
12
Ali al-Sabuni, Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir, Jilid I, (T.K: T.P, T.Th), h. 232
13
Departemen Agama RI, Tafsir al-Qur’an Tematik: Hubungan antar-Umat Beragama
JILID 1, (Jakarta: Departemen Agama, 2008), h. 27
14
Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam al-Harawi, al-Nasikh wa al-Mansukh fi al-Qur`an al-
‘Aziz wa ma fihi min al-Fara`idh wa al-Sunan, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, t.th), h. 281-282;
Athiyah bin Athiyah al-Ajhuri, Irsyad al-Rahman li Asbab al-Nuzul wa al-Nasikh wa al-Mansukh
wa al-Mutasyabih wa Tajwid al-Qur`an, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2009), h. 91; Abi al-Hasan Ali
bin Ahmad al-Wahidi al-Naisaburi, Asbab al-Nuzul wa bihamasyihi al-Nasikh wa al-Mansukh,
(Beirut: Alam al-Kutub, t.th), h. 58-59.
5
Jadi, jelaslah bahwa yang diinginkan oleh Allah terhadap umat Islam
adalah menciptakan suasana yang penuh dengan kedamaian di bumi-Nya.
Kemajemukan yang ada di dunia, termasuk kemajemukan dalam keyakinan
adalah sunatullah yang tidak bisa dipungkiri. Agama, seyakin apapun kita dan
sekuat apapun kita memeluknya, tidak bisa menjadi alasan untuk menghina dan
menjatuhkan agama lain. Seharusnya agama menjadi hal yang positif dalam
membangun peradaban bumi, dimana setiap insan di dunia ini hidup bersama
dalam damai.17
B. Identifikasi Masalah
15
Muhadjir Darwin, “Keberagaman Etnis dan Aliran Agama: Tantangan Baru dalam
Pembangunan Bangsa Madani” dalam Mirza Tirta Kusuma (ed.), Ketika Makkah Menjadi Seperti
Las Vegas: Agama, Politik, dan Ideologi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014), h. 310.
16
Abdul Karim Hamidi, al-Madkhal ila Maqashid al-Qur`an, (Riyadh: Maktabah al-
Rusyd, 2007), h. 31.
17
Ahmad Zainul Hamdi dan Muktafi, Wacana dan praktik Pluralisme Keagamaan di
Indonesia, (Jakarta: Daulat Press, 2017), h. 7.
6
D. Pembatasan Masalah
Adapun tujuan yang hendak dihasilkan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui konsep kebebasan beragama dalam al-Qur`an perspektif
1. Secara umum memberikan dasar pijakan dalam penelitian kajian tafsir al-
Qur`an kontemporer baik bagi mahasiswa atau civitas akademika lainnya.
7
Sejalan dengan kajian tersebut, dialog antar agama bukan ajang untuk
membandingkan perbedaan, atau mencari kebenaran ajaran agama, tetapi,
18
Fahri Ansyah, “Kebebasan Beragama di Indonesia: Perspektif Teori Ruang Publik dan
Ruang Privat Hannah Arendt”, Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
2009.
19
Sumanto al-Qurtuby. Dialog Agama & Peradaban, (Semarang: eLSA, 2016).
8
Kedua, dalam perspektif al-Qur`an dan tafsir, ada beberapa karya yang
menarik dan argumentatif, di antaranya disertasi dari Abd. Moqsith Ghazali yang
dibukukan menjadi „Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi
Berbasis al-Qur`an‟.24 Secara umum, tulisan tersebut hendak mencari titik temu
antar umat beragama yang didasari pada al-Qur`an. Salah satu caranya adalah
dengan menghadirkan tafsir yang inklusif dan menghargai keragaman. Misalnya
pemahaman dari QS. Al-Baqarah [2]: 256, yang menyatakan bahwa tidak ada
paksaan dalam beragama. Menurutnya, ayat tersebut bersifat universal dan
melintasi ruang dan waktu.
20
Anas Aijudin, “Pluralisme dan Tantangan Dialog Antar-Agama” dalam Mirza Tirta
Kusuma (ed.), Ketika Makkah Menjadi Seperti Las Vegas: Agama, Politik, dan Ideologi, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2014).
21
Gerardette Philips. Melampaui Pluralisme, (Malang: Madani, 2016).
22
Presiden Yayasan Etika Global dan Profesor Emeritus Teologi Ekumenis di Universitas
Tuebingen, lahir pada tanggal 19 Maret 1928 di Swiss. Lebih lanjut lihat Gerardette Philips.
Melampaui Pluralisme..., h. 19-28.
23
Profesor Universitas Studi Islam di George Washington University, lahir pada tanggal 7
April 1933 di Teheran. Lebih lanjut lihat Gerardette Philips. Melampaui Pluralisme..., h. 28-37.
24
Abd. Moqsith Ghazali. Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis
Al-Qur`an, (Depok: KataKita, 2009).
25
Mun‟im Sirry. Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi atas Kritik al-Qur`an terhadap
Agama Lain, terj. R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013).
9
tersebut berbeda dan mengkritik tafsir-tafsir klasik sebelumnya. Oleh karena itu,
pentingnya melihat background sang mufassir dalam menafsirkan suatu ayat,
sebab, tafsir tidak muncul dari ruang hampa.
Selain itu, ada juga kajian disertasi dari Sa‟dullah Affandy26 yang meneliti
teori abrogasi (naskh) khususnya QS. Al-Baqarah [2]: 62 dan Ali Imran [3]: 85. Ia
membagi naskh ke dalam dua bagian, yaitu intra Qur`anik dan ekstra Qur`anik.
Menurutnya, naskh intra dan ekstra Qur`anik tidak dapat dilakukan sehingga
hasilnya ia mengembangkan pemahaman bahwa eksistensi agama-agama pra
Islam tidak dihapus dengan kedatangan dan dakwah Nabi Muhammad.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif
digunakan untuk menghasilkan data yang bersifat deskriptif yang hasilnya
disajikan dalam bentuk kualitatif.28
26
Sa‟dullah Affandy. Menyoal Status Agama-agama Pra Islam: Kajian Tafsir al-Qur`an
atas Keabsahan Agama Yahudi dan Nasrani Setelah Kedatangan Islam, (Bandung: Mizan, 2015).
27
Asma Afsaruddin. “The Hermeneutics of Inter-Faith Relations: Retrieving Moderation
and Pluralism as Universal Principles in Qur`anic Exegeses”, Journal of Religious Ethics, Juni
2009.
28
Disarikan dari: Mudji Santoso, Hakikat, Peranan, Jenis-Jenis Penelitian, Serta Pola
Penelitian pada Pelita ke VI, dalam Imran Arifin (ed), Penelitian Kualitatif dalam Bidang Ilmu-
ilmu Sosial dan Keagamaan (Malang: Kalimasanda, 1994), cet. I, 13. Lihat juga:
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), cet. IV.
Dasar penelitian kualitatif adalah konstruktivisme yang berasumsi bahwa kenyataan itu
berdimensi jamak, interaktif dan suatu pertukaran pengalaman sosial yang diinterpre-tasikan oleh
setiap individu. Peneliti kualitatif percaya bahwa kebenaran adalah dinamis dan dapat ditemukan
10
hanya melalui penelaahan terhadap orang-orang melalui interaksinya dengan situasi sosial mereka.
Lihat: Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif (Bandung: Pustaka Setia, 2002). Penelitian
kualitatif mengkaji perspektif partisipan dengan strategi-strategi yang bersifat interaktif dan
fleksibel. Penelitian kualitatif ditujukan untuk memahami fenomena-fenomena sosial dari sudut
pandang partisipan. Dengan demikian penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk
meneliti pada kondisi objek alamiah dimana peneliti merupakan instrumen kunci. Lihat: Sugiyono,
Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2005). Lihat juga: Direktorat Tenaga
Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional, Pendekatan Jenis dan Metode Penelitian
Pendidikan, 21-22.
29
Secara semantik, al-tafsir al-maudu’i berarti tafsir tematis. Yaitu: menghimpun seluruh
ayat al-Qur’an yang memiliki tujuan dan tema yang sama. Lihat: ‘Abd al-Hayy al-Farmawi, al-
Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu ‘iyyah: Dirasah Manhajiyyah Maudu ‘iyyah (Mesir: Maktabah
Jumhuriyyah, t.th.), h. 43-44.
Metode ini mempunyai dua bentuk. 1) Tafsir yang membahas satu surah al-Qur’an
secara menyeluruh, memperkenalkan dan menjelaskannya maksud-maksud umum dan khususnya
secara garis besar, dengan cara menghubungkan ayat yang satu dengan ayat yang lain, dan atau
antara satu pokok masalah dengan pokok masalah lain. Dengan metode ini surah tersebut tampak
dalam bentuknya yang utuh, teratur, betul-betul cermat, teliti dan sempurna. 2) Tafsir yang
menghimpun dan menyusun ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kesamaan arah dan tema,
kemudian memberikan penjelasan dan mengambil kesimpulan di bawah satu bahasan tema
tertentu. Lihat: Lihat: Muhammad Quraish Shihab, dkk., Sejarah dan Ulum Al-Qur’an (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2001),cet. ke-3, 192-193. Lihat juga: Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-
Tafsir al-Maudu ‘iyyah: Dirasah Manhajiyyah Maudu ‘iyyah, h. 42-43.
11
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis data yang bersifat
kualitatif dengan deskriptif analitik non statistik. Analisis ini digunakan untuk
mengungkapkan hasil penelitian berhubungan dengan implementasi
manajemen sumber daya manusia yang terdapat dalam lembaga tersebut.
Proses analisis data dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data melalui
beberapa tahapan mulai dari proses pengumpulan data, reduksi data,
penyajian data dan verifikasi atau penarikan kesimpulan.33
Data utama berupa penafsiran dari kitab tafsir yang telah ditentukan,
selanjutnya dikaji dan dianalisa dengan cara memperhatikan korelasi antar
penafsiran dengan konteks latar belakang keilmuan mufasir yang berbeda-
beda, serta konteks sosio kultural pada masa tafsir tersebut ditulis. Kemudian
membandingkan penafsiran yang ada untuk membedakan fariasi penafsiran.
Setelah dilakukan pembandingan, kemudian mencari dalil dari hadis yang
dapat melengkapi penafsiran. Dan dilanjutkan dengan melengkapi kajian
penafsiran dengan hasil eksplorasi kajian ilmiyah rasional tentang kebebasan
dalam beragama.
1. Sistematika Penulisan
33
M.B. Miles & A.M. Hubermen, An Expended Source Book: Qualitative Data Analysis ,
Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep R. Rohidi, (Jakarta : UI-Press, 2004), h. 19.
13
Sirry, Mun‟im. Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi atas Kritik al-Qur`an
terhadap Agama Lain, terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2013.