Anda di halaman 1dari 28

PLURALISME AGAMA PERSPEKTIF AL QUR’AN

(Sebuah Kajian Tematik)

Proposal Tesis
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Pengajuan Judul Tesis

Oleh:

Hasan
NIM: 220410997

PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR


PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA
1442H/2021M
PLURALISME AGAMA PERSPEKTIF AL QUR’AN
(Sebuah Kajian Tematik)

Oleh
HASAN
NIM: 220410997

OUTLINE

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
2. Pembatasan Masalah
3. Permusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kegunaan Penelitian
E. Kajian Pustaka
F. Kerangka Teori
G. Metode Penelitian
H. Sistematika Penulisan
BAB II. PLURALISME AGAMA
A. Perdebatan Teologis tentang Pluralisme Agama
1. Pluralisme dalam Tinjauan Historis
2. Tipologi Pluralisme Agama
3. Pro dan Kontra Pluralisme Agama
B. Pluralisme Agama dalam Bingkai Indonesia
1. Esklusvisme dan Rekontrusi Pluralisme Agama
2. Pluralisme Agama di Indonesia
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
B. Data dan Sumber Data
C. Teknik Input dan Analisis Data
D. Pengecekan Keabsahan Data
BAB IV. PLURALISME AGAMA DALAM AL-QUR’AN
A. Term-Term Pluralisme Agama dalam Al-Qur’an
B. Konsepsi Kebebasan dalam Beragama
C. Keselamatan Bagi non-Muslim
D. Relasi Muslim dan non-Muslim
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Implikasi
DAFTAR PUSTAKA
LAPIRAN-LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berkembangnya fenomena Islamophobia1 di negara-negara Barat


telah menjadi sebuah persoalan yang cukup rumit, hal ini setidaknya
telah mampu membangun stigma negatif terhadap agama Islam,
meskipun Islamophobia bukan merupakan suatu hal yang baru,2 akan
tetapi akhir-akhir ini Islamophobia muncul kembali kepermukaan setelah
terjadinya tragedi WTC 11 September 2001 atau yang lebih akrab dengan
peristiwa 9/11.3 Pelru digaris bawahi, bahwa sebenarnya tindakan-
tindakan radikalisme non-kemanusian yang mengatasnamakan ajaran
Tuhan bukan hanya datang dari penganut agama Islam, namun terdapat
kasus yang muncul dari agama lain seperti Protestan di Amerika,

1
Islamofobia sendiri berasal dari kata Islam and Phobia. Menurut College
Dictionary, phobia merupakan sebuah perasaan takut yang tak berdasar, sebuah
ketakutan yang tidak masuk akal atau irasional atas sebuah objek, aktivitas, atau situasi
yang khusus, yang mendorong seseorang untuk keluar atau menjauh dari situasi itu.
Lihat, Robert B. Costello, Random House Webster's College Dictionary, (Minnesota,
Random House, 1992), h.995.
Runnymade Trust dalam laporannya berjudul Islamofobia: A Challenge for Us
All, menyatakan bahwa Islamofobia adalah sebuah permusuhan yang tidak berdasar
terhadap Islam, sehingga akhirnya konsekuensi praktis dari ketakutan itu adalah
diskriminasi terhadap umat Islam baik sebagai individu dan komunitas, serta
menyingkirkan umat Islam dari urusan-urusan sosial dan politik yang lebih luas. Lihat,
Tomaz Mastnak, Western Hostility toward Muslims: A History of the Present, in
Andrew Shryock (ed.), Islamophobia/ Islamophilia Beyond the Politics of Enemy and
Friend, (Bloomington: Indiana University Press, 2010), h. 4.
2
Istilah Islamophobia sebelumnya telah dikemukakan oleh dua penulis Prancis,
Etienne Dinet and Slima Ben Ibrahim pada tahun 1925, ketika mereka menulis dengan
menggunakan kata ‘accès délire islamophobe. Lihat Christopher Allen, Islamophobia,
(United Kingdom : Ashgate Publishing Limited, 2010), h. 5.
3
Muhammad Qobidl Ainun Arif, Politik Islamophobia Eropa (Yogyakarta:
Deepublish, 2000), h.1.
Yahudi di Israel yang merupakan sebuah bukti dan fakta sejarah yang
tak terbantahkan.4

Adapun di Indonesia sendiri, terdapat beberapa jejak hitam yang


mewarnai hubungan antar penganut agama seperti konflik antara umat
Kristen dan Islam di Ambon, 5 teror bom Bali (I) 12 Oktober 2002, 6
bom JW. Mariot Hotel 5 Agustus 2003, bom Kuningan 9
September 2004 di Jakarta, serta teror bom Bali (II) 1 Oktober 2005, 7
tragedi kemanusiaan seperti ini merupakan akibat dari cara pandang
umat beragama secara subjektif.8

Pergerakan radikal9 yang ditampakkan oleh sebagian organisasi


Islam merupakan gerakan yang muncul sebagai bentuk perlawanan
dalam menghadapi hegemoni Barat atau sebagai tolak balik dari
islamofobia itu sendiri, Namun gerakan ini justru menjadi legitimasi
bagi sebagian umat Muslim yang kehilangan kearifan peradaban,
Sehingga semakin menambah keyakinan Barat atas persepsi Islam yang

4
Karen Armstrong, The Battle for God:A History of Fundamentalism (New
York: Random House, 2001), h. vii-xviii.
5
Sukidi Mulyadi, Violence under the Banner of Religion:The Case of
Laskar Jihad and Laskar Kristus‛, Studia Islamika,no. 2, Vol. 10, (2003), h. 77-109.
6
Pada tahun-tahun sebelumya, konflik horiontal antar umat beraga sendiri telah
terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Di Surabaya telah terjadi penyerangan besar-
besaran terhadap 10 gereja. Pengrusakan itu terjadi pula di Situ Bondo dan Tasik
Malaya pada tahun 1997. Sementara di Jakarta-Ketapang peristiwa yang sama
juga terjadi pada tahun 1998. Dua pekan berikutnya terjadi serangan disusul
dengan pengusiran orang Muslim-Bugis di daerah Kupang yang mayoritas
penganut Kristiani. Pada tahun 2000 peristiwa yang sama terjadi di mataram dan
Ampenan. Lihat Franz Magnis Suseno, Memahami Hubungan antar Agama
(Yogyakarta: eLSAQ PRESS, 2007),
7
Bambang Abimanyu, Teror Bom di Indonesia (Jakarta: Grafindo, 2005), h.
47-48
8
Arthur J. D’Adamo, Science Without Bounds:A Synthesis of Science,
Religion and Mysticism (Bloomingtoon: Lighting Source, 2004), h. 2-33.
9
Radikalisme merupakan fakta sosial yang spektrumnya merentang dari
lingkungan makro (global), lingkungan messo (nasional) maupun lingkungan
mikro (lokal). Lihat Quintan Wiktorowicz, Gerakan Sosial Islam: Teori, Pendekatan
dan Studi Kasus, (Jakarta: Gading Publishing, 2012), h. 75.
radikal. Radikalisme atau fundamentalisme menjadi variabel dominan
yang mengatasnamakan agama. Padahal secara tidak sadar apa yang
telah mereka lakukan telah mencederai misi kedamaian dan
kesejahteraan dalam agama Islam. Penggunaan istilah fundamentalisme,
tiadak lain bertujuan untuk menjelaskan adanya tindakan ekstrimisme
religious dalam Islam, bukan Islamnya yang fundamentalis. Oleh
karena itu, tidak bisa disetarakan dengan ajaran agama Islam.
Karena ajaran agama Islam tidak mereferensikan adanya tindakan
kejahatan, radikalisme, ekstrimisme dengan cara-cara yang anarkis.

Sebagian gerakan Islam radikal juga muncul akibat cara pandang


sebagian umat Islam yang melakukan penolakan terhadap
hermeneutika.10 Mereka menganggap bahwa teks dalam Al-Qur’an
harus dipahami secara literal sebagaimana redaksinya, karena akal
dipandang tidak mampu memberikan interpretasi atau penafsiran yang
sesuai dengan teks yang ada, bahkan terhadap teks yang satu sama
lain bertentangan sekalipun. Dan tidak hanya itu, mereka juga
melakukan penolakan terhadap pluralisme dan relativisme yang
dianggap merongrong kesucian teks itu sendiri. 11 Cara pandang
tersebut berasal dari sebuah standar tentang agamanya sendiri dan
kitab sucinya yang diyakini sebagai satu-satunya sumber kebenaran,
namun tidak demikian halnya dengan kitab suci agama lain. Munculnya

10
Kata hermeneutic berasal dari bahasa Yunani hermeneutin yang berarti
menafsirkan kata benda hermeneia, secara harfiah dapat diartikan sebagai
penafsiran atau interpretasi, Lihat. Sumaryono, Hermeneutik : Sebuah Metode
Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 23. Her-meneutika secara umum dapat
diartikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang interpretasi makna, Lihat Atho’,
Nafisul dan Arif Fahrudin (Ed), Hermeneutika Transendental (Dari Konfigurasi
FIlosofis Menuju Praksis Islamic Studies, (Yogyakarta: IRCiSod, 2003), h. 14.
11
Martin E. Marty, “What is Fundamentalisme? Theological Perspective”,
dalam Hans Kun dan Jurgen Moltmann (eds.), Fundamentalism as a Cumanical
Challenge (London: Mac Millan, 1992), h. 3-13.
klaim kebenaran (truth claim) dari setiap penganut agama merupakan
konsekuensi logis dari cara pandang tersebut.12

Selain perseteruan antar umat beragama yang telah menjadi isu


global, perseteruan antar sesama umat Islam pun sering terjadi dan
sampai saat ini terus mengalami fluktuasi, hal ini disebabkan oleh
munculnya aliran- aliran Islam baik di Dunia maupun di Indonesia
sendiri. Tidak bisa kita pungkiri bahwa plurlitas dalam agama sendiri
merupakan sesuatu yang mutlak terjadi, oleh karenanya perlu adanya
solusi yang mampu membendung terjadinya konflik horizontal yang
sewaktu-waktu bisa terjadi.13

Pluralitas agama menjadi sesuatu yang harus dapat diterima,


karena kemajemukan menjadi sebuah keniscayaan dalam kehidupan
bermasyarakat, dan ini merupakan hukum alam (sunatullah), dalam
situasi Dunia yang semakin plural tentunya dibutuhkan sikap bagaimana
cara yang diambil dalam meyikapi keragaman, bukan sikap menjauhkan
diri dari keyataan itu sendiri. Oleh karenanya Islam menjadi agama
yang kitab sucinya sangat mengakui keberadaan hak-hak agama lain
untuk hidup dan untuk mengimplementasikan ajaran-ajarannya.14

Pengakuan ini menunjukkan dasar keagamaan serta


pluralisme sosial dan kultural, sebagai aturan Tuhan yang tidak bisa
berubah setiap umat beragama dituntut untuk dapat bersikap terbuka.
12
Ninian Smart, ‚Pluralism‛,dalam Donald W. Musser dan Josep L. Price, A
NewHand Book of Christian Theology (Nashville: Abingdon Press, 1992), h. 362.
13
Di Indonesia sendiri akhir-akhir ini banyak berkembang isu-isu
radikalisme di antaranya adalah kelompok yang mengklaim dirinya al-Qaeda
dan ISIS, dimana keduanya menjadi sudah isu global. Lihat, Christina Parolin,
Radical Spaces: Venues of Popular Politicts in London, 1790-c. 1845 (Australia: ANU
E Press, 2010), h. 3.
14
Masykuri Abdillah, Demokrasi Di Persimpangan Makna: Respons
Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana Yogya, 2004), h. 148.
Sikap ini mengharuskannya tidak hanya mencari makna dari kehadiran
beragam agama, tapi juga melakukan usaha-usaha yang serius demi
terwujudnya sebuah masyarakat yang harmonis melalui dialog dan
kerjasama.15

Masing-masing umat beragama memiliki tanggung jawab untuk


mewujudkan nilai-nilai agamanya secara proporsional sehingga
kehadirannya bukan merupakan ancaman bagi yang lain melainkan
rekan dialog dan rekan kerja dalam sebuah team kemanusiaan.
Tanggung jawab bersama itu akan melahirkan kekuatan. Oleh
karenanya, paham pluralisme menjadi solusi ditengah kemajemukan
dalam beragama karena prulisme multlak dibutuhkan demi menjaga rasa
toleransi antar umat beragama. Karena sikap terbuka setiap umat
beragama akan melahirkan perdamaian dan toleransi sekaligus
merupakan perisai dari sikap saling menghujat, saling menyalahkan,
apalagi saling membunuh.16

Konflik yang timbul baik secara laten maupun manifes sebagai


dampak dari adanya fenomena pluralisme agama ini bersumber dari
ketidaksiapan untuk menerima kehadiran umat beragama lain sehingga
berpotensi terhadap munculnya tindak kekerasan antarumat beragama.
Dengan sikap menghilangkan perbedaan dan mempertanyakan hak hidup
umat beragama lain secara doktriner, maka kelompok agama dominan
cenderung memaksa yang lemah untuk mengikuti kehendak yang kuat.
Karena pada dasarnya klaim absolutisme sebagaimana yang diungkap

15
Ahmad Syafii Maarif, Tuhan Menyapa Kita, (Jakarta: Grafindo, 2006), h.
219-220.
Budhy Munawwar Rahman, Islam Pluralis:Wacana Kesetaraan Kaum
16

Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 14.


17
oleh John Hick, dilakukan oleh semua agama, baik Islam, Kristen
Hindu maupun Yahudi.

Melihat peran pentingnya sikap pluralisme untuk bisa mengakui


dan menghormati “perbedaan” dan sikap seperti ini ternyata memiliki
landasan teologis dari Al-Qur’an maka, teologi pluralisme seperti ini
sangat penting untuk ditekankan pada peserta didik melalui pendidikan
agama, sebab persoalan teologi sampai sekarang masih menimbulkan
kebingungan di antara agama-agama. Soal teologi yang menimbulkan
kebingungan adalah standar: bahwa agama kita adalah agama yang
paling sejati berasal dari Tuhan, sedangkan agama lain adalah hanya
kontruksi manusia. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai
untuk menghakimi agama lain dalam derajad keabsahan teologis di
bawah agama kita sendiri. Lewat standar ganda inilah kita menyaksikan
bermunculnya perang klaim-klaim kebenaran dan janji penyelamatan,
yang kadang-kadang kita melihatnya berlebihan, dari satu agama atas
agama lain.18

Jika kita telusuri lebih jauh, akan didapati kenyataan bahwa di


antara penganut paham pluralisme agama itu sendiri sebenarnya memiliki
dasar pandangan keagamaan yang berbeda perihal keragaman agama.

17
John Hick, Problems of religious pluralism (New York: St. Martin's Press,
1985), h. 46.
18
Bahkan menurut Alquran sendiri, pluralitas adalah salah satu kenyataan
objektif komunitas umat manusia, sejenis hukum Allah atau Sunnah Allah, dan bahwa
hanya Allah yang maha tahu dan dapat menjelaskan, di hari akhir nanti, mengapa
manusia berbeda satu dari yang lain, dan mengapa jalan manusia berbeda-beda dalam
beragama. Dalam al-Qura’an disebutkan, yang artinya: “Untuk masing-masing dari
kamu (umat manusia) telah kami tetapkan Hukum (Syari’ah) dan jalan hidup (minhaj).
Jika Tuhan menghendaki, maka tentulah ia jadikan kamu sekalian umat yang tunggal
(monolitk). Namun Ia jadikan kamu sekalian berkenaan dengan hal-hal yang telah
dikarunia-Nya kepada kamu. Maka berlombalah kamu sekalian untuk berbagai
kebajikan. Kepada Allah-lah tempat kalian semua kembali; maka Ia akan menjelaskan
kepadamu sekalian tentang perkara yang pernah kamu perselisihkan” (QS 5: 48).
Bagaimana pluralitas agama dipahami dan dimaknai, pada tataran
konseptual mereka memiliki dasar konsepsi yang tidak sama. Padahal,
dasar konsep serta pemaknaan yang tidak sama dalam memahami arti
pluralisme akan memberikan konsekuensi logis serta implikasi yang
berbeda pula.

Pertama, pluralisme agama dalam artian sekadar pengakuan pada


umat agama yang lain untuk meyakini ajaran agama serta menjalankan
segala bentuk kewajiban beragamanya. Kedua, pluralisme agama dalam
artian keyakinan penuh atas kebenaran agama yang dianutnya dan
keraguan penuh atas kebenaran dan/atau ketidakbenaran agama yang
lain. Ketiga, pluralisme agama dalam artian "keyakinan yang tidak
mutlak" akan kebenaran ajaran agamanya, disertai "keraguan yang juga
tidak mutlak" terhadap ketidakbenaran agama yang lain. Keempat,
pluralisme agama dipahami sebagai keragaman pemahaman tentang
Tuhan yang sama dan satu. Oleh penganut paham pluralisme jenis ini,
agama dinilai sebagai hasil pemahaman manusia tentang eksistensi
Tuhan. Agama juga merupakan bentuk ekspresi kepercayaan dan
keyakinan akan eksistensi Tuhan. Sehingga jika agama beragam
jenisnya, maka itu tak lain dari penangkapan sekaligus pemahaman yang
berbeda-beda oleh masing-masing individu atas eksistensi Tuhan yang
sebenarnya sama dan satu. Jadi, dalam kerangka konsep pluralisme jenis
ini, semua agama diakui kebenarannya. Sebab, semua agama pada
dasarnya mengacu pada Tuhan yang sama dan satu.

Konsep yang ke-empat ini lah merupakan pluralisme yang


cenderung tidak memberikan sedikit ruang bagi terjadinya tindakan
diskriminasi terhadap agama yang lain. Jauh lebih penting dari itu,
konsep pluralisme jenis ini menutup potensi terjadinya konflik
antaragama yang dipicu oleh pemutlakan kebenaran satu agama atas
agama yang lain. Sehingga kalaupun terjadi konflik, maka hal itu tidak
didasarkan oleh tendensi agama, melainkan oleh kepentingan yang lain
yang mengatasnamakan agama.

Dari uraian permasalahan diatas,timbul sebuah pertanyaan


bagaimanakah sebenarnya tuntunan al-Qur’an dalam menyikapi
pluralisme agama: apakah pluralisme itu sama dengan sinkretisme
(mengaggap semua agama sama); adalah hal yang sangat perlu untuk
didiskusikan. Selain itu, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah
muslim, sangat menarik kiranya melihat masalah menyikapi pluralisme
agama dengan perspektif al-Qur’an. Mengingat al-Qur’an adalah kitab
suci sekaligus kitab pedoman yang berisi pandangan hidup umat Islam
dalam segala segi kehidupan.

Untuk itulah, penelitian ini sangat layak untuk diteliti karena


penelitian ini akan mencoba untuk menyuguhkan tafsir al-Qur’an dalam
menyikapi pluralisme agama dan fenomena-fenomena yang terkait,
adapaun judul yang penulis angkat adalah “Pluralisme Agama
Perspektif Al-Qur’an (Sebuah Kajain Tematik)”.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas penulis


mengdentifikasi masalah sebagai berikut;
a. Berkembangnya fenomena Islamophobia di negara-negara Barat dan
telah mampu membangun stigma negatif terhadap agama Islam
b. Masih terjadinya tindakan-tindakan radikalisme non-kemanusian yang
mengatasnamakan ajaran Tuhan
c. Pergerakan radikal yang ditampakkan oleh sebagian organisasi Islam
sebagai bentuk perlawanan dalam menghadapi hegemoni Barat,
namun gerakan ini justru menjadi legitimasi bagi sebagian umat
Muslim yang kehilangan kearifan peradaban, Sehingga semakin
menambah keyakinan Barat atas persepsi Islam yang radikal
d. Gerakan Islam radikal muncul akibat cara pandang sebagian umat
Islam yang melakukan penolakan terhadap hermeneutika. Mereka
menganggap bahwa teks dalam Al-Qur’an harus dipahami secara
literal sebagaimana redaksinya.
e. Islam menjadi agama yang kitab sucinya sangat mengakui
keberadaan hak-hak agama lain untuk hidup dan untuk
mengimplementasikan ajaran-ajarannya
f. Sikap menghilangkan perbedaan dan mempertanyakan hak hidup
umat beragama lain secara doktriner, maka kelompok agama dominan
cenderung memaksa yang lemah untuk mengikuti kehendak yang
kuat.
g. Peran pentingnya sikap pluralisme untuk bisa mengakui dan
menghormati “perbedaan” dan sikap seperti ini ternyata memiliki
landasan teologis dari Al-Qur’an
h. Penganut paham pluralisme agama memiliki dasar pandangan
keagamaan yang berbeda perihal keragaman agama
2. Pembatasan Masalah

Dari identifikasi permasalahan di atas yang akan dibahas


dalam penelitian ini, kemudian penulis membatasi pada pembahasan
berikut;

a. Kajian teoritis tentang pluralism dan model Pendidikan pluralisme


agama oleh para peneliti terdahulu
b. Term al-Quran terkait pluralisme
3. Perumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini, pada dasarnya ingin


mendeskripsikan argumen al-Qur’an dalam menjawab permasalahan
kontemporer seputar keberagaman agama atau pluralisme agama
serta solusi dari permasalahan yang ada. Untuk itu, fokus
permasalahan dalam penelitian ini adalah “bagaimanakah al-Qur’an
mendeskripsikan pluralisme agama. Dari rumusan masalah ini,
kemudian dirinci kepada beberapa pertanyaan berikut

a. Bagimanakah pandangan al-Qur’an tentang pluralisme agama


b. Bagaimana solusi yang ditawarkan al-Qur’an untuk menyikapi
fenomena yang terjadi terkait keberagaman agama.
C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:


1. Memperoleh pemahaman yang tepat tentang pluralisme agama dalam al-
Qur’an
2. Memformulasikan langkah kongkrit yang dapat dilakukan dalam
memberikan pencegahan serta memberikan solusi dalam kasus-kasus
SARA yang terjadi di Indonesia.
D. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, ada dua manfaat yang akan


didapatkan dari penelitian ini, yaitu manfaat secara teoritis dan praktis.
Manfaat teoritis, yaitu untuk:
1. Mengungkap kajian ilmiah tentang pluralisme dalam al-Quran.
2. Memperkuat basis argumen pluralisme agama dan dapat menjadi solusi
alternatif dalam menanggulangi konflik antar umat beragama.
Manfaat praktis, yaitu untuk:
1. Penelitian ini secara umum diharapkan dapat memberikan
kontribusi intelektual bagi khasanah pemikiran Islam dan secara
khusus diskursus pluralisme agama di Indonesia terutama dalam
kaitannya dengan pengembangan pluralisme agama itu.
2. Penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat mengungkap dan memberi
gambaran komprehensif mengenai pluralisme agama dalam al-Qur’an.
3. Penelitian ini secara praktis diharapkan dapat menjadi model bagi
umat Islam (khususnya) dan masyarakat (umumnya): dalam
memahami dan mengembangkan wawasan model pluralisme agama.
E. Kajian Pustaka

Gamal al-Banna menulis buku Pluralitas dalam Masyarakat


Islam (2006).19 Dalam buku tersebut al-Banna menjelaskan bahwa
Islam sesungguhnya meletakkan dasar-dasar ajaran tentang pluralisme
agama. Ia membangun argumentasinya dengan mengutip ayat-ayat
Alquran maupun hadis. Melalui buku ini al-Banna menjelaskan
perhatiannya yang besar terhadap pengembangan pluralisme agama. Ia
memberikan apresiasi yang begitu tinggi kepada siapa saja yang
melakukan perbuatan-perbuatan baik untuk kepentingan kemanusiaan.
Tentu saja, pernyataan itu jika ditelisik lebih jauh akan mendapatkan
akar teologisnya secara kokoh dari dua sumber utama Islam itu. Hanya
saja buku itu amat ringkas untuk membahas pluralismeagama secara
lebih komprehensif dan integral. Karenanya, buku itu perlu diikuti
dengan beberapa penelitian lain yang sejenis untuk semakin
menguatkan isinya.

Adnan Aslan menulis buku Religious Pluralism in Christian


and Islamic Philosophy: The Thought of John Hick and seyyed
19
Gamal al-Banna, Pluralitas dalam Masyarakat Islam (al-
Ta‘addudiyyat fīal-Mujtama‘al-Islamī), diterjemahkan oleh Tim Mata Air
Publishing (Jakarta: Mata Air Publishing, 2006).
Hossein Nasr (1998).20 Dalam buku itu Aslan menjelaskan
perbandingan pluralisme agama yang dikemukakan John Hick
(mewakili Kristen) dan Seyyed Hossein Nasr (mewakili Islam). Aslan
melihat kebenaran agama-agama manusia dalam perspektif yang
berbeda. Yang pertama melalui filsafat perennial dan yang kedua
melalui filsafat analitis. Hasil kajian Aslanmenegaskan bahwa agama
merupakan jalan yang memiliki keselamatannya sendiri. Karena itu,
setiap penganut agama diharuskan menghormati eksistensi agama-
agama lain sama seperti eksistensi agama yang dianutnya.
Karenanya, kekerasan atas nama agama dalam keadaan bagaimanapun
tetap tak bisa ditolelir. Menurut Aslan, satu hal penting yang mesti
dihindari oleh penganut agama yaitu sikap merasa paling benar sendiri.

Anis Malik Thohamenulis buku Tren Pluralisme Agama:


Tinjauan Kritis (2005).21 Dalam buku ini Thoha menulis bahwa
pluralismeagama pada akhirnya akan menjadi sebuah agama baru
yang cukup berbahaya. Ia menjelaskan bahwa pluralisme agama pada
awalnya digunakan sebagai sebuah gerakan untuk menjadi penengah
dari pihak-pihak yang bertentangan, namun lambat laun akan
bermetamorfosis menjadi wadah untuk menyamakan semua agama.
Ada empat hal yang pada akhirnya melahirkan teori pluralismeagama
yaitu:Pertama,humanisme sekular (secular humanism). Kedua, teologi
global (global theology). Ketiga, sinkretisme (syncretism). Keempat
hikmat abadi (Sophia perennisatau perennial philosophy). Keempat
tren tersebut berujung pada sebuah kesimpulan bahwa semua agama

20
Lihat Adnan Aslan, Religious Pluralism in Christian and Islamic
Philosophy: The Thought of John Hick and Seyyed Hossein Nasr (London: Curzon
Press, 1998).
21
Lihat Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama:Tinjauan Kritis (Depok:
Perspektif, 2005), h. 1-3.
sama. Dapat dipahami bahwa sesungguhnya Thoha menolak konsep
pluralisme agama itu sendiri.

Farid Esackmenulis sebuah buku Qur’an, Liberation and


Pluralism:An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against
Oppression.22 Dalam buku itu Esack mengambil kasus hubungan antar
umat beragama di Afrika Selatan. Menurutnya, setiap umat beragama
jika diberdayakan secara maksimal dapat melahirkan potensi positif
untuk mengatasi beragam penyakit sosial, di antaranyadiskriminasi
antar ras. Menurut Esack pernyataan pengakuan dan aktualisasi
kerjasama umat beragama disebut secara eksplisit di dalam Alquran.
Untuk itu, ia menyandarkan pola hubungan antar umat beragama pada
sandaran teologis berdasarkan Alquran itu. Meskipun Esack pada
akhirnya mengakui bahwa yang ia lakukan hanya sebatas penafsiran
yang mungkin saja terdapat ruang kosong yang perlu untuk diisi.

Abdul Aziz Sachedina menulis buku The Islamic Roots of


Democratic Pluralism (2001).23 Dalam buku tersebut, Sachedina
menguraikan pluralisme agama dalam perspektif Alquran dan hadis. Ia
juga menegaskan bahwa meskipun nilai-nilai pluralisme sudah
diletakkan oleh Nabi Muhammad, namun dalam pelaksanaannya nilai-
nilai agung itu tenggelam olehide hegemonic tentang ‚perang demi
iman yang dikibarkan oleh dinasti-dinasti Islam pasca wafatnya Nabi.
Karena kepentingan politik, penguasaan sumber ekonomi, kemudian
umat Islam menafsirkan ayat-ayat yang bernuansa toleransi sesuai
dengan perspektif ekonomi dan politik mereka. Salah satu contoh yang

22
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism:An Islamic Perspective
of Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld Publication,
1998).
23
Abdul Aziz Sachedina, The Islamic Roots of Democratic Pluralism
(Oxford: Oxford University Press, 2001)
paling mencolok, menurut Sachedina, adalah kata kafir yang berarti
menutup, pada perkembangan kemudian ditujukan hanya kepada
orang-orang di luar Islam. Penafsiran demikian pada akhirnya
mengantarkan umat Islam pada pemahaman yang tertutup dan merasa
dirinya yang paling benar.

Jalaluddin Rakhmat menulis buku Islam dan Pluralisme Agama:


Akhlaq Qur’an Menyikapi Perbedaan (2006). 24 Buku ini merupakan
kumpulan tulisan Rakhmat yang sudah disampaikan di berbagai
seminar. Buku tersebut tidak membahas pluralisme agama secara
komprehensif, namun penulisnya memberi dukungan terhadap
penggunaan istilah pluralisme agama. Rakhmat menjelaskan bahwa
pluralisme agama itu sendiri mendapatkan akar teologisnya secara
kokoh di dalam Alquran. Meskipun kurang mendalam, buku tersebut
turut meramaikan diskursus pluralisme agama.

F. Kerangka Teori

Pluralisme merupakan kata yang memiliki lebih dari satu arti.


Dalam kamus Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary (2003)
pluralisme diartikan: Pertama, memegang dua atau lebih jabatan pada
saat yang sama. Kedua, kualitas atau keadaan jamak. Ketiga, (a). Teori
yang menjelaskan bahwa ada lebih daripada satu atau lebih
daripada dua kebenaran (ultimate reality). (b). Teori yang
menjelaskan bahwa realitas terdiri dari beragam (plurality) entitas.
Keempat, (a). Keadaan dalam sebuah masyarakat yang di dalamnya
beragam kelompok etnik, ras atau keagamaan dapat mempertahankan
kultur atau kepentingan mereka. (b). Konsep, doktrin atau kebijakan

24
Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlaq Qur’an Menyikapi
Perbedaan (Jakarta: Serambi, 2006).
yang menangani keadaan ini.25 Dalam kamus Oxford Advanced
Learner’s Dictionary of Current English (1989) pluralisme berarti:
Pertama, masyarakat yang terdiri dari beragam ras, pandangan
politik danagama. Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa
keragamanitu dapat hidup secara damai.26

Sementara dalam kamus The Contemporary English-


Indonesian Dictionary (2002) pluralisme berarti: Pertama, sifat keadaan
jamak. Kedua, keadaan di mana kelompok yang besar dan kelompok
yang kecil dapat mempertahankan identitas mereka di dalam
masyarakat tanpa menentang kebudayaan yang dominan. Ketiga,
penganut atau pendukung pluralisme. Keempat teori filsafat yang
mengatakan bahwa kenyataan terdiri dari dua unsur atau lebih.
Kelima, suatu sistem dimana seseorang memegang dua jabatan atau
lebih sekaligus, terutama yang menguntungkan.27 Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1988) pluralisme diartikan dengan hal yang
mengatakan jamak atau tidak satu.28 Lebih lanjut dalam buku
Robert Audi The Cambridge Dictionary of Philosophy (1999),
dijelaskan bahwa kata pluralisme merupakan pandangan dunia yang
menekankan diversitas ketimbang homogenitas, multiplisitas
ketimbang unitas dan perbedaan daripada persamaan.29

25
Merriam-Webster, Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, Eleventh
Edition (Massachussets: Merriam-Webster, Incorparated, 2003), h. 955.
26
AS. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current
English(Oxford: Oxford University Press, 1989), h. 953.
27
Peter Salim, The Contemporary English-Indonesian Dictionary (Jakarta:
Modern English Press, 2002), h. 1436
28
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 691; Gerald O’Collins dan Edward G.
Farrugia, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h. 257-258.
29
Robert Audi, ed., The Cambridge Dictionary of Philosophy (Cambridge:
Cambridge University Press, 1999), h. 714-715.
Berbagai arti inimenunjukkan bahwa kata‚ pluralisme digunakan
dalam konteks yang cukup luas. Kata tersebut tidak hanya
menunjukkan sebuah paham yang digunakan dalam konteks
keagamaan, tapi juga dalam konteks politik, ras, kebudayaan atau
jabatan tertentu.Di sini belum terlihat secara jelas apakah kata
tersebut digunakan dalam konteks kajian agama atau selainnya. Kata
pluralisme itu menjadi jelas ketika ditambah dengan kata ‚agama
setelahnya sehingga menjadi “pluralisme agama”. Istilah asing yang
digunakan untuk menunjukkan “pluralisme agama” adalah:
“religiouspluralism” (Inggris) dan ‚al-ta‘addudiyyahal-dīniyyah‛
(Arab)30 yang diartikan dengan “paham keragaman agama”. Namun
dalam konteks kajian agama, kata “pluralisme” tanpa diikuti oleh
kata “agama” biasanya digunakan untuk menunjukkan “pluralisme
agama” itu sendiri. Di antara para tokoh yang menggunakan hal itu
adalah: Syafii Maarif, Azyumardi Azra dan Anis Malik Thoha. 31
Selain kata pluralisme ada pula kata pluralitas. Dalam kamus Merriam
Webster’s Collegiate Dictionary (2003), pluralitas (plurality) diartikan
dengan ‚the stateof being plural orthe state of beingnumerous/
keadaan yang menunjukkan jamak atau banyak.32

Dari segi istilah, para ahli agama mengemukakan pandangan


yang cukup beragamtentang definisi dari kata pluralisme agama
tersebut. Menurut Farid Esack, pluralisme agama merupakan sebuah
30
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis (Jakarta:
Perspektif, 2005), h. 11-12.
31
Lihat Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam BingkaiKeindonesiaan dan
Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (Bandung: Mizan, 2009), h. 28; Azyumardi
Azra, “Religious Pluralism in Indonesia”, dalam Azyumardi Azra dan Wayne
Hudson,ed., Islam Beyond Conflict: Indonesian Islam and Wertern Political Theory
(London: Ashgate, 2008), h. 114; Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan
Kritis (Depok: Perspektif, 2005), h. vii.
32
Merriam-Webster, Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, Eleventh
Edition (Massachussets: Merriam-Webster, Incorparated, 2003), h. 955.
penghargaan dan penerimaan berbagai perbedaan agama daripada
sekedar sebuah toleransi. Ia menegaskan bahwa pluralisme agama
mensyaratkan sikap terbuka dan mengakui bahwa selain agama yang
dianut seseorang ternyata terdapat agama-agama lain yang bertujuan
sama sebagai jalan mengabdi kepada Tuhan. Esack menegasikan jalan
tunggal menuju Tuhan.33

Bagi John Hick, secara fenomenologis istilah pluralisme


agama mengacu kepada kenyataan bahwa sejarah agama-agama
menunjukkan keragaman tradisi dan keragaman variasi yang terdapat
di dalam masing-masing agama. Sementara secara filosofis
menurutnya, istilah pluralisme agama mengacu kepada sebuah teori
relasi tertentu di antara tradisi-tradisi tersebut dengan tuntutan-
tuntutan (claims) yang berbeda dan saling bersaing. Teori tersebut
menguraikan bahwa agama-agama besar dunia memiliki konsepsi
dan persepsi yang beragam terhadap masalah eskatologis.34

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode
kualitatif digunakan untuk menghasilkan data yang bersifat
deskriptif yang hasilnya disajikan dalam bentuk kualitatif.35

33
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of
Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld Publication, 1998),
h. xii.
34
John Hick, “Religious Pluralism”, dalam Mircea Eliade,ed., The
Encyclopedia of Religion, Vol. II(New York: Macmillan, 1995), h. 331
35
Disarikan dari: Mudji Santoso, Hakikat, Peranan, Jenis-Jenis Penelitian,
Serta Pola Penelitian pada Pelita ke VI, dalam Imran Arifin (ed), Penelitian Kualitatif
dalam Bidang Ilmu-ilmu Sosial dan Keagamaan (Malang: Kalimasanda, 1994), cet. I,
13. Lihat juga: Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT.
Gramedia, 1981), cet. IV.
Dasar penelitian kualitatif adalah konstruktivisme yang berasumsi bahwa
kenyataan itu berdimensi jamak, interaktif dan suatu pertukaran pengalaman sosial yang
Sedangkan metode penafsiran yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode tafsir maudu‘i,36 metode ini dipilih
karena metode ini dapat digunakan sebagai penggali pluralisme
agama dalam al-Qur’an secara lebih komprehensif. Menurut al-
Farmawi, metode ini memiliki beberapa keistimewaan, yaitu:
a. Metode ini menghimpun semua ayat yang memiliki kesamaan
tema. Ayat yang satu menafsirkan ayat yang lain. Karena itu,
metode ini juga-dalam beberapa hal- sama dengan tafsir bi al-
ma’thur, sehingga lebih mendekati kebenaran dan jauh dari
kekeliruan.
b. Peneliti dapat melihat keterkaitan antar ayat yang memiliki
kesamaan tema. Oleh karena itu, metode ini dapat menangkap
makna, petunjuk, keindahan dan kefasihan al-Qur’an.
c. Peneliti dapat menangkap ide al-Qur’an yang sempurna dari ayat-
ayat yang memiliki kesamaan tema.
diinterpre-tasikan oleh setiap individu. Peneliti kualitatif percaya bahwa kebenaran
adalah dinamis dan dapat ditemukan hanya melalui penelaahan terhadap orang-orang
melalui interaksinya dengan situasi sosial mereka. Lihat: Sudarwan Danim, Menjadi
Peneliti Kualitatif (Bandung: Pustaka Setia, 2002). Penelitian kualitatif mengkaji
perspektif partisipan dengan strategi-strategi yang bersifat interaktif dan fleksibel.
Penelitian kualitatif ditujukan untuk memahami fenomena-fenomena sosial dari sudut
pandang partisipan. Dengan demikian penelitian kualitatif adalah penelitian yang
digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah dimana peneliti merupakan
instrumen kunci. Lihat: Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta,
2005). Lihat juga: Direktorat Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional,
Pendekatan Jenis dan Metode Penelitian Pendidikan, 21-22.
36
Secara semantik, al-tafsir al-maudu’i berarti tafsir tematis. Yaitu:
menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang memiliki tujuan dan tema yang sama. Lihat:
‘Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu ‘iyyah: Dirasah
Manhajiyyah Maudu ‘iyyah (Mesir: Maktabah Jumhuriyyah, t.th.), h. 43-44.
Metode ini mempunyai dua bentuk. 1) Tafsir yang membahas satu surah al-
Qur’an secara menyeluruh, memperkenalkan dan menjelaskannya maksud-maksud
umum dan khususnya secara garis besar, dengan cara menghubungkan ayat yang satu
dengan ayat yang lain, dan atau antara satu pokok masalah dengan pokok masalah lain.
Dengan metode ini surah tersebut tampak dalam bentuknya yang utuh, teratur, betul-
betul cermat, teliti dan sempurna. 2) Tafsir yang menghimpun dan menyusun ayat-ayat
al-Qur’an yang memiliki kesamaan arah dan tema, kemudian memberikan penjelasan
dan mengambil kesimpulan di bawah satu bahasan tema tertentu. Lihat: Lihat:
Muhammad Quraish Shihab, dkk., Sejarah dan Ulum Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2001),cet. ke-3, 192-193. Lihat juga: Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi
al-Tafsir al-Maudu ‘iyyah: Dirasah Manhajiyyah Maudu ‘iyyah, h. 42-43.
d. Metode ini dapat menyelesaikan kesan kontradiksi antar ayat al-
Qur’an yang selama ini dilontarkan oleh pihak-pihak tertentu yang
memiliki maksud jelek, dan dapat menghilangkan kesan
permusuhan antara agama dan ilmu pengetahuan.
e. Metode ini sesuai dengan tuntutan zaman modern yang
mengharuskan kita merumuskan hukum-hukum universal yang
bersumber dari al-Qur’an bagi seluruh Negara Islam.
f. Dengan metode ini, semua juru dakwah, baik yang professional
dan amatiran, dapat menangkap seluruh tema-tema al-Qur’an.
Metode inipun memungkinkan mereka untuk sampai pada hukum-
hukum Allah dengan cara yang jelas dan mendalam, serta
memastikan kita untuk menyingkap rahasia dan kemuskilan al-
Qur’an sehingga hati dan akal kita merasa puas terhadap aturan-
aturan yang telah diterapkanNya kepada kita.
g. Metode ini dapat membantu para pelajar secara umum untuk
sampai pada petunjuk Al-Qur’an tanpa harus merasa lelah dan
bertele-tele menyimak uraian kitab-kitab tafsir yang beragam itu. 37
Bahasan metode maudu’i/tematik lazimnya menyangkut
masalah-masalah kekinian yang menjadi persoalan mendesak umat,
oleh karena itu upaya kontekstualisasi pesan al-Qur’an menjadi
sangat penting,38 termasuk pada masalah Pendidikan pluralisme
agama.

37
Lihat: ‘Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu ‘iyyah:
Dirasah Manhajiyyah Maudu ‘iyyah, h. 55-57.
38
Perlu diketahui bahwa penafsiran ayat al-Qur’an secara tematis, meski
berbeda dalam sistematika penyajian, sebenarnya telah dirintis dalam sejarah. Misalnya,
Ibn Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) menulis tentang sumpah dalam al-Qur’an dalam
karyanya al-Tibyan Aqsam al-Qur’an, Majaz al-Qur’an oleh Abu ‘Ubaidah (w. 210-
824), Mufradat al-Qur’an oleh al-Raghib al-Isfahani (w.502/1108), Mushtabihat al-
Qur’an karya al-Kisa’i (w. 804 M), Ma‘ani al-Qur’an karya al-Farra’ (w. 207/822),
Fada’il al-Qur’an karya Abu ‘Ubaid (w. 224/438), dan sebagainya. Lihat: Ziyad Khalil
Muhammad al-Daghamain, Manhajiyyah al-Bahth fi al-Tafsir al-Maudu‘i li al-Qur’an
al-Karim (Amman: Dar al-Bashir, 1955), 18.
2. Teknik Pengumpulan Data
Data-data dalam penelitian ini diperoleh melalui riset
kepustakaan (library research),39 selain itu data dalam penelitian ini
juga diperkuat dengan data dari lapangan yang didapat dari berbagai
sumber yang otoritatif. Data-data yang dihimpun terdiri atas ayat-
ayat al-Qur’an dan bahan-bahan tertulis yang telah dipublikasikan
dalam bentuk buku, jurnal dan majalah maupun dari sebuah website
yang memiliki kaitan langsung dan tidak langsung dengan penelitian
ini.
3. Teknik Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis data
yang bersifat kualitatif dengan deskriptif analitik non statistik.
Analisis ini digunakan untuk mengungkapkan hasil penelitian
berhubungan dengan implementasi manajemen sumber daya
manusia yang terdapat dalam lembaga tersebut. Proses analisis data
dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data melalui beberapa
tahapan mulai dari proses pengumpulan data, reduksi data,
penyajian data dan verifikasi atau penarikan kesimpulan.40
Data utama berupa penafsiran dari kitab tafsir yang telah
ditentukan, selanjutnya dikaji dan dianalisa dengan cara
memperhatikan korelasi antar penafsiran dengan konteks latar
belakang keilmuan mufasir yang berbeda-beda, serta konteks sosio
kultural pada masa tafsir tersebut ditulis. Kemudian membandingkan
penafsiran yang ada untuk membedakan fariasi penafsiran. Setelah
dilakukan pembandingan, kemudian mencari dalil dari hadis yang
39
Yaitu penelitian yang menggunakan sumber-sumber kepustakaan untuk
membahas problematika yang telah dirumuskan. Lihat: Suharsimi Arikunto, Prosedur
Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), cet. IX, 10-11.
40
M.B. Miles & A.M. Hubermen, An Expended Source Book: Qualitative
Data Analysis , Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep R. Rohidi, (Jakarta : UI-Press,
2004), h. 19.
dapat melengkapi penafsiran. Dan dilanjutkan dengan melengkapi
kajian penafsiran dengan hasil eksplorasi kajian ilmiyah rasional
tentang pluralisme.
4. Sistematika Penulisan

Bab I. Pendahuluan; Latar belakang masalah, permasalahan


yang terdiri dari identifikasi masalah, pembatasan masalah dan permusan
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kajian pustaka, kerangka
teori, metode penelitian, sistematika penulisan.

Bab II. Pluralisme Agama; Perdebatan teologis tentang


pluralisme agama, pluralisme dalam tinjauan historis, tipologi pluralisme
agama, pro dan kontra pluralisme agama, pluralisme agama dalam
bingkai Indonesia, esklusvisme dan rekontrusi pluralisme agama,
pluralisme agama di Indonesia.

Bab III. Metode Penelitian; Jenis penelitian, data dan sumber


data, teknik input dan analisis data, pengecekan keabsahan data .

Bab IV. Pluralisme Agama dalam Al-Qur’an; term-term


pluralisme agama dalam al-Qur’an, konsepsi kebebasan dalam beragama,
keselamatan bagi non-muslim, relasi muslim dan non-muslim.

Bab VI. Penutup; kesimpulan dan implikasi

DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA


Abdillah, Masykuri, Demokrasi Di Persimpangan Makna: Respons
Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2004.
Abimanyu, Bambang , Teror Bom di Indonesia Jakarta: Grafindo,
2005.
Ainun Arif, Muhammad Qobidl Politik Islamophobia Eropa Yogyakarta:
Deepublish, 2000.
Al-Banna, Gamal , Pluralitas dalam Masyarakat Islam al-
Ta‘addudiyyat fīal-Mujtama‘al-Islamī, diterjemahkan oleh
Tim Mata Air Publishing Jakarta: Mata Air Publishing, 2006.
Al-Hayy al-Farmawi, ‘Abd , al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu ‘iyyah:
Dirasah Manhajiyyah Maudu ‘iyyah, tt.
Allen, Christopher, Islamophobia, United Kingdom : Ashgate Publishing
Limited, 2010.
Arikunto, Suharsimi , Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek
Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Armstrong, Karen, The Battle for God:A History of Fundamentalism
New York: Random House, 2001.
Aslan, Adnan , Religious Pluralism in Christian and Islamic
Philosophy: The Thought of John Hick and Seyyed Hossein
Nasr London: Curzon Press, 1998.
Atho’, Nafisul dan Arif Fahrudin Ed, Hermeneutika Transendental Dari
Konfigurasi FIlosofis Menuju Praksis Islamic Studies,
Yogyakarta: IRCiSod, 2003.
Audi, Robert , ed., The Cambridge Dictionary of Philosophy
Cambridge: Cambridge University Press, 1999.
Azra, Azyumardi , Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di
Tengah Tantangan Milenium III Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2012.
Costello, Robert B., Random House Webster's College Dictionary,
Minnesota, Random House, 1992.
Creswell, John W., Qualitative Inquiry and Reacrh Design: Choosing
Among The Five Tradition New York, Sage Publishing,1997.
D’Adamo, Arthur J. , Science Without Bounds:A Synthesis of
Science, Religion and Mysticism Bloomingtoon: Lighting
Source, 2004.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Esack, Farid , Qur’an, Liberation and Pluralism:An Islamic
Perspective of Interreligious Solidarity against
Oppression Oxford: Oneworld Publication, 1998.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Cet. XXVII; Yogyakarta: Andi
Offcet, 2002.
Hakim, Lukma Nul, Metode Penelitian Tafsir, Palembang: Noer Fikri,
2019.
Hick, John, Problems of religious pluralism New York: St. Martin's
Press, 1985.
Hick, John , “Religious Pluralism”, dalam Mircea Eliade,ed., The
Encyclopedia of Religion, Vol. IINew York: Macmillan, 1995.
Hornby, AS. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current
EnglishOxford: Oxford University Press, 1989.
Hudson, Wayne,ed., Islam Beyond Conflict: Indonesian Islam and
Wertern Political Theory London: Ashgate, 2008, h. 114;
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat Jakarta: PT.
Gramedia, 1981.
Legenhausen, Muhammad , Satu Agama atau Banyak Agama: Kajian
tentang Liberalisme dan Pluralisme Islam and Religious
Pluralism, diterjemahkan oleh Arif MulyadiJakarta: Lentera
Hati, 2002.
Ma’arif, Syamsul, “Islam Dan Pendidikan Pluralisme: Menampilkan
Wajah Islam Toleran Melalui Kurikulum PAI Berbasis
Kemajemukan”.Makalah Annual Conference Kajian Islam 26-30
November 2006.
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah Bandung: Mizan,
2009
Maarif, Ahmad Syafii, Tuhan Menyapa Kita, Jakarta: Grafindo, 2006.
Marty, Martin E. , “What is Fundamentalisme? Theological
Perspective”, dalam Hans Kun dan Jurgen Moltmann eds.,
Fundamentalism as a Cumanical Challenge London: Mac
Millan, 1992.
Mastnak, Tomaz, Western Hostility toward Muslims: A History of the
Present, in Andrew Shryock ed., Islamophobia/ Islamophilia
Beyond the Politics of Enemy and Friend, Bloomington: Indiana
University Press, 2010.
Merriam-Webster, Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, Eleventh
Edition Massachussets: Merriam-Webster, Incorparated, 2003.
Miles, M M.B. & Hubermen A.M., An Expended Source Book:
Qualitative Data Analysis , Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep
R. Rohidi, Jakarta : UI-Press, 2004.
Muhammad al-Daghamain, Ziyad Khalil, Manhajiyyah al-Bahth fi al-
Tafsir al-Maudu‘i li al-Qur’an al-Karim Amman: Dar al-Bashir,
1955.
Mulyadi, Sukidi , Violence under the Banner of Religion:The Case
of Laskar Jihad and Laskar Kristus‛, Studia Islamika,no. 2, Vol.
10, 2003.
O’Collins, Gerald dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi
Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Parolin, Christina, Radical Spaces: Venues of Popular Politicts in
London, 1790-c. 1845 Australia: ANU E Press, 2010.
Rahman, Budhy Munawwar , Islam Pluralis:Wacana Kesetaraan
Kaum Beriman Jakarta: Paramadina, 2001.
Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi: dilengkapi Contoh
analisis Statistik Cet. XIII; Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2007.
Rakhmat, Jalaluddin , Islam dan Pluralisme: Akhlaq Qur’an
Menyikapi Perbedaan Jakarta: Serambi, 2006.
Rodger, Alex R., Educational and Faith in Open Society, Britain: The
Handel Press, 1982.
Sachedina, Abdul Aziz , The Islamic Roots of Democratic Pluralism
Oxford: Oxford University Press, 2001
Salim, Peter, The Contemporary English-Indonesian Dictionary
Jakarta: Modern English Press, 2002.
Santoso, Mudji, Hakikat, Peranan, Jenis-Jenis Penelitian, Serta Pola
Penelitian pada Pelita ke VI, dalam Imran Arifin ed, Penelitian
Kualitatif dalam Bidang Ilmu-ilmu Sosial dan Keagamaan
Malang: Kalimasanda, 1994.
Satori, Jam’an dan Komarian, Aan, Metodologi Penelitian Kualitatif Cet.
I; Bandung: Alvabeta, 2009.
Scates, Densin As. Barr, The methodology of Educational Research New
York: Apleton Century-Grofts, Inc,. 1936.
Sealy, John, Religious Education Philosophical Perspective, London:
George Allen & Unwin 1986.
Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama
Bandung: Mizan, 1999.
Shor, Ira dan Freire, Poul. Menjadi Guru Merdeka: Petikan
Pengalaman, alih bahasa A. Nashir Budiman Yogyakarta:LkiS,
2001.
Smart, Ninian, ‚Pluralism‛,dalam Donald W. Musser dan Josep L. Price,
A NewHand Book of Christian Theology Nashville: Abingdon
Press, 1992.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif Bandung: Alfabeta, 2005.
Sumaryono, Hermeneutik : Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius, 1995.
Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis Jakarta:
Perspektif, 2005.
Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis Depok:
Perspektif, 2005.
Wiktorowicz, Quintan, Gerakan Sosial Islam: Teori, Pendekatan dan
Studi Kasus, Jakarta: Gading Publishing, 2012.

Anda mungkin juga menyukai