Anda di halaman 1dari 238

BAB I

SEJARAH AGAMA HINDU

Tujuan Instruksional
Menjelaskan tentang proses penyebaran ajaran agama Hindu di India
Menjelaskan tentang proses penyebaran agama Hindu di Indonesia
Menjelaskan tentang proses penyebaran agama Hindu di Bali

A. Sejarah Agama Hindu di India


Ajaran agama Hindu diperkirakan sudah ada sekitar 15.000 tahun SM,
bahkan merupakan ajaran pertama di dunia, hal ini dapat dibuktikan dari
berbagai aspek ajaran itu sendiri. Weda sebagai kitab suci agama Hindu telah
diwahyukan Tuhan sejak bangsa Arya belum berpindah ke India dan Weda itu
diturunkan dalam kurun waktu cukup lama yang diterima oleh 7 (tujuh) orang
Maharesi Adapun tujuh orang Maharsi penerima wahyu tersebut disebut Sapta
Rsi seperti :
1. Grtsamada
2. Visvamitra
3. Vamadewa
4. Atri
5. Bharadwaja
6. Vasista
7. Kanwa
Setelah bangsa Arya menetap di India barulah Weda itu dikodifikasikan
menjadi Catur Weda seperti : Rg Weda, Sama Weda. Yajur Weda dan
kemudian baru muncul Atharwa Weda. Bangsa Arya telah tiba di India
diperkirakan sekitar tahun 1500 SM. Tidak lama kemudian terjadilah
sincretisme antara kepercayaan yang dibawa oleh bangsa Arya dengan bangsa
asli India (bangsa Dravida) yang kemudian melahirkan konsepsi baru di India.

1
Hasil penelitain di daerah Mahenjodaro dan Harapa didapatkan bukti
bahwa tingkat peradaban lembah sungai Sindu yang didukung suku bangsa
Dravida sebelum kedatangan suku bangsa Arya telah mempunyai peradaban
yang sangat maju. Peradaban lembah Sungai Sindu sudah mulai ada sekitar
tahun 3000 SM. Peninggalan benda-benda kepurbakalaan yang didapat di
antaranya banyak berupa arca yang melukiskan dewa dan dewi, meterai dari
terracotta yang menunjukkan corak keHinduannya seperti lukisan Siwa
Pasupati dan konsepsi Trisula serta arca perempuan yang melambangkan
Dewi Kesuburan atau konsepsi Ibu Dewi yang lebih dikenal sebagai Mother
Goddes. Kemudian sekitar tahun 1500 SM datanglah bangsa Arya yang
berhasil mendesak bangsa Dravida dengan membawa kepercayaan yang
melahirkan ajaran agama Hindu dengan tetap berpegang pada kitab suci
Weda. Peradaban lembah sungai Sindu inilah kiranya memberikan inspirasi
terhadap kepercayaan mereka yang kemudian dikenal dengan nama Hindu
(agama Hindu).

2
Dengan masuknya bangsa Arya di India (tahun 1500 SM), maka di
India mulai memasuki jaman sejarah yang dokumen tertuanya adalah Rg
Weda. Bangsa Arya yang datang di India dalam kurun waktu yang cukup
panjang menjadi beberapa suku bangsa Alinas, Bhalanases, Siwas, Vishanis
dan suku bangsa terbesar adalah suku bangsa Bharatas dan Purus. Kedua suku
bangsa ini (Bharatas dan Purus) pada mulanya mereka saling bermusuhan
tetapi akhirnya bersatu yang melahirkan suku bangsa Purus sebenarnya suku
bangsa Arya lainnya yang tergabung dalam kelompok Panca Janas (Anus,
Drhyus, Turvasas, Yadus dan Purus). Setelah terjadi evolusi politik di India
peranan bangsa Arya semakin menentukan sosial masyarakat India termasuk
perkembangan Agama Hindu semakin pesat. Rg Weda sebagai sumber ajaran
agama Hindu yang pertama kemudian dikembangkan lagi dalam Sama Weda,
ketiga Weda inilah menjadi panutan umat Hindu yang disebut Trayi Weda.
Dalam waktu yang agak lama baru muncul Atharwa Weda sehingga semuanya
disebut Catur Weda. Dari Weda-weda inilah diketahui bahwa agama Hindu
menyembah Dewa-dewa seperti Indra, Agni, Varuna, Vayu dan lain-lainnya.
Kendatipun banyak dewa tetapi semuanya itu merupakan prabhawa Tuhan
Yang Maha Esa. setelah jaman Weda berlangsung muncullah jaman
Brahmana di India. Pada jaman ini kaum Brahmana sangat menentukan corak
keagamaan yang berorientasi pada persembahan yadnya yang dibuktikan
dengan munculnya kitab Brahmana yaitu kitab pedoman pelaksanaan yadnya.
Berikutnya muncul jaman Upanisad yaitu jaman yang menandai
munculnya berbagai filsafat (Darsana) dalam melaksanakan ajaran Weda.
Sejalan dengan itu muncul pula Itihasa dan Purana yang sangat digemari oleh
masyarakat India sebagai sarana pengajaran Weda kepada umatnya. Sejak
munculnya jaman Itihasa dan Purana pemujaan Tuhan dalam wujud Trimurti
menjadi sangat populer di India yang kemudian menyebar ke pelosok dunia
yang di antaranya ke Indonesia.

B. Masuknya Agama Hindu ke Indonesia


Data yang memuat secara rinci masuknya agama Hindu ke Indonesia
belum dijumpai baik di Indonesia maupun di luar negeri. Tetapi dari beberapa
kitab di bawah ini menyebutkan antara lain :

3
1. Kitab Ramayana yang digubah sebelum Masehi pada bagian Kiskinda
Kanda menyebutkan bahwa Sugriwa dalam usaha mencari Dewi Sita
memerintahkan pada Wenara pengikutnya untuk pergi ke Jawabwipa
maupun Swarnadwipa (Sumatra). Kitab ini menunjukkan bahwa sebelum
Masehi sudah ada hubungan antara India dengan Indonesia.
2. Kitab Periploutes Erythastolesses oleh nahkoda Yunani merupakan
buku pedoman berlayar di Samudra Indonesia (lautan Erythrasa) buku ini
menyebutkan adanya hubungan India dengan wilayah yang bernama
chryse (emas) yang mengingatkan kita pada Swarnadwipa (pulau emas).
3. Kitab Giographika Hipegesis disusun oleh seorang Yunani di Iskandaria
pada abad ke-2 Masehi menyebutkan beberapa tempat seperti Acryse
Chora (negeri perak), Chryse chora (negeri emas), Chryse Chersonesus
(semenanjung emas) dan jga menyebutkan tempat bernama Jabadion yang
dalam bahasa Sansekerta sama dengan Jawadwipa.
Berdasarkan data tersebut di atas jelaslah bahwa India dengan
Indonesia telah berhubungan sejak lama. Tentang masuknya agama Hindu
ke Indonesia disebutkan dari beberapa teori sebagai berikut :
a. Mookerjee (ahli India) tahun 1912 menyatakan bahwa masuknya
pengaruh Hindu ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan
armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa mereka mendirikan
koloni dan membangun kota-kota yang langsung mengadakan
hubungan dengan India dalam kontak inilah terjadinya penyebaran
agama Hindu ke Indonesia.
b. Moens (ahli Belanda) menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya
sangat besar peranannya dalam proses kolonisasi melalui proses ini
pula pengaruh Hindu menyebar ke Indonesia.
c. Krom (ahli Belanda) dengan teori Wesya dalam bukunya Hindu
Javance Gesehindenis bahwa diterimanya pengaruh Hindu oleh
Indonesia melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh
pedagang (waisya) India.
d. Bosch (ahli Belanda) menyatakan bahwa dalam penyebaran
kebudayaan Hindu ke Indonesia peranan kaum Brahmana sangat
berperan.

4
e. Dari data peninggalan sejarah di Indonesia disebutkan Rsi Agastya
menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia.

C. Penyebaran Agama Hindu di Indonesia


Dengan demikian penyebaran agama Hindu ke Indonesia terjadi
melalui beberapa cara dan damai. Para ahli sejarah berkesimpulan bahwa
masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi
sekalipun tidak bukti tertulis atau benda-benda purbakala dari kehidupan pada
masa itu. kehidupan keagamaan di Indonesia baru dapat diketahui dengan jelas
pada abad ke-4 Masehi dengan diketemukannya tujuh Yupa peninggalan
kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dua dari tujuh Yupa tersebut
menyatakan bahwa Yupa tersebut didirikan untuk memperingati Yadnya yang
dilaksanakan oleh Raja Mulawarman melakukan Yadnya pada suatu tempat
yang bernama Vaprakeswara (tempat pemujaan Dewa Siwa).
Setelah di Kutai ternyata berkembang ke Jawa Barat pada abad ke-5,
hal ini dibuktikan oleh tujuh prasasti seperti prasasti Cearuteum, Kebonkopi,
Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan prasasti Lebak. Prasasti tersebut
memakai huruf Pallawa dengan bahasa Sansekerta. Dari keterangan tersebut
dapat dipastikan bahwa Raja Purnawarman adalah raja Tarumanegara yang
beragama Hindu, sesuai dengan isi prasasti Cearuterem dekat Bogor
menyebutkan Purnawarman adalah raja gagah berani dan lukisan tapak kaki
raja Purnawarman yang identik dengan telapak kaki Dewa Wisnu. Kesaksian
lain yang membuktikan kehidupan agama Hindu di Jawa Barat ialah dengan
diketemukannya arca perunggu di Cibuaya yang memakai atribut Dewa Siwa
yang diperkirakan dibuat pada masa Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut
dapat dikatakan bahwa raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu
dengan pemujaan Tri Murti.

5
Penyebaran agama Hindu selanjutnya bergeser ke Jawa Tengah,
kehidupan dan perkembangan agama Hindu di Jawa Tengah dibuktikan
dengan adanya prasasti Tukmas di lereng Gunung Merbabu. Prasasti ini
berbahasa Sansekerta memakai huruf Pallawa dengan tipe lebih muda
daripada prasasti Purnawarman. Berdasarkan tipe hurufnya dinyatakan berasal
dari tahun 650 Masehi. Prasasti Tukmas ini berisi gambar atribut Tri Murti
yaitu : Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan bunga teratai mekar. Kesaksian yang
membuktikan agama Hindu di Jawa Tengah ialah prasasti Canggal dengan
berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa. Dari isi prasasti ini dapat
diketahui bahwa prasasti Canggal dikeluarkan oleh raja Sanjaya pada tahun
654 Saka dengan Candra Sengkala berbunyi Sruti Indra Rasa. Keseluruhan
prasasti itu berbentuk syair terdiri dari 13 bait dengan tiga di antaranya
memuat pujaan terhadap Dewa Siwa, satu bait untuk Dewa Wisnu dan satu
bait untuk Dewa Brahma.
Di samping itu perkembangan perkembangan agama Hindu di Jawa
Tengah dibuktikan pula oleh kelompok candi Arjuna di daratan tinggi Dieng
dekat Wonosobo dari abad 8 Masehi. Pada kelompok candi Dieng ini dijumpai
pula candi Srikandi yang dindingnya dihiasi pahatan arca Dewa Tri Murti
yang ditempatkan pada sebah candi, di bagian lain dijumpai pula di candi
Prambanan yang didirikan pada tahun 856 Masehi. Di sini dijumpai pula arca
Dewa Tri Murti dengan Ciwa sebagai Mahaguru (Agastya). Demikianlah
kehidupan agama di Jawa Tengah telah hidup dan berkembang dari abad ke-7
sampai abad ke-9 pemujaan terhadap Dewa Ciwa yang menonjol.
Selanjutnya, Hindu juga berkembang pada zaman kerajaan Sriwijaya,
di Sumatra Selatan. Kata Sriwijaya dijumpai dalam prasasti Kota Kapur
(pulau Bangka). Sriwijaya yang dimaksud di sini adalah nama sebuah
kerajaan di Sumatera Selatan dengan pusat kerajaannya adalah Palembang.
Bukti-bukti adanya kerajaan Sriwijaya terlihat dari ditemukannya 6 buah
prasasti yang tersebar di Sumatera Selatan dan pulau Bangka. Prasasti tua
ditemukan di daerah Kedukan Bukit di tepi sungai Talang, dekat Palembang
yang berangka tahun 604 Saka atau 682 Masehi. Prasasti ini mempergunakan
huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Isinya mengenai perjalanan suci
yang dilakukan oleh Depunta Hyang dengan perahu yang membawa tentara

6
sebanyak 20.000 orang dan berhasil menaklukan daerah-daerah di sekitarnya.
Prasasti Talangtuo (dekat Palembang) berangka tahun 684 Masehi ditulis
dengan mempergunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Isinya
tentang pembuatan taman Sriksetra atas perintah Dapunta Hyang Sri Jayanasa
untuk kemakmuran semua makhluk. Semua harapan dan doa yang tercantum
dalam prasasti itu jelas sekali bersifat agama Buddha Mahayana. Prasasti
Telaga Batu ditemukan dekat Palembang dengan huruf Pallawa dan bahasa
Melayu Kuno. Pada bagian atas prasasti ini dihiasi dengan tujuh kepala ular
kobra berbentuk pipih dengan mahkota berbentuk permata bulat. Lehernya
mengembang dengan hiasan kalung. Di bagian bawah prasasti ini terdapat
cerat (pancuran) seperti yoni. Menurut Casparis prasasti ini diperkirakan
sezaman dengan prasasti Kota Kapur yaitu dari pertengahan abad ke-7
Masehi. Isi prasasti ini adalah tentang kutukan-kutukan terhadap siapa saja
yang melakukan kejahatan dan tidak taat kepada perintah raja, serta memuat
tentang data bagi penyusunan ketatanegaraan Sriwijaya. Dilihat dari isinya,
maka dapat disimpulkan bahwa Prasasti Telaga Batu memiliki fungsi sebagai
tempat untuk melaksanakan sumpah jabatan para pembesar keraton sebelum
melaksanakan tugasnya. Prasasti Kota Kapur ditemukan di dekat sungai
Menduk di Pulau Bangka bagian barat. Prasasti ini mempergunakan huruf
Pallawa dan bahasa Melayu Kuno dengan angka tahun 686 Masehi. Isinya
tentang kutukan kepada mereka yang berbuat jahat, tidak tunduk dan setia
kepada perintah raja akan mendapat celaka dan yang terpenting isinya adalah
mengenai usaha Sriwijaya untuk menaklukan bumi Jawa yang tidak tunduk
kepada Sriwijaya. Prasasti yang isinya hampir sama dengan prasasti Kota
Kapur adalah Prasasti Karang Berahi yang ditemukan di tepi sungai Merangin
di Jambi Hulu. Prasasti ini tidak menyebut kalimat terakhir prasasti kapur
yang memuat angka tahun dan usaha penyerangan bumi Jawa. Adapun
prasasti-prasasti singkat (pragmen) yang ditemukan yang berkaitan dengan
kerajaan Sriwijaya, seperti prasasti Palas Pasemah yang diperkirakan berasal
dari abad ke-7 M yang isinya tentang peringatan hari takluknya daerah
Lampung Selatan oleh Sriwijaya. Disebutkan pula tentang kutukan-kutukan
yang ditujukan terhadap daerah bumi Jawa termasuk di daerah Lampung
Selatan dan daerah sekitarnya yang berani memberontak kepada Sriwijaya.

7
Kemudian ditemukan pula pragmen prasasti Bukit Seguntang, pragmen
prasasti Sabukiling dan sebagainya.
Di daerah Ligor Tanah Melayu ditemukan sebuah prasasti batu yang
kedua sisinya bertulisan. Prasasti ini dikenal dengan nama prasasti Ligor A
yang berangka tahun 775 Masehi dan menyebutkan seorang raja Sriwijaya
membangun trisamaya caitya untuk Padmapani, Sakyamuni, dan Vajrapani.
Selanjutnya yang biasanya disebut prasasti Ligor B tidak menyebutkan angka
tahun tetapi menyebutkan tentang seorang raja yang bernama Wisnu dengan
gelar Sarwarimadawimathana atau pembunuh musuh-musuh yang sombong
tiada bersisa. Kemudian dari Nalada di India bagian Timur (Negara bagian
Bihar) ditemukan sebuah prasasti yang dikeluarkan oleh raja Dewapaladewa
yang mempergunakan bahasa Sansekerta yang diperkirakan berasal dari
pertengahan abad ke-9 M. Isinya tentang pendirian bangunan biara di
Nalanda oleh raja Balaputradewa, raja Sriwijaya yang menganut agama
Buddha serta menyebutkan kakek raja Balaputradewa yang dikenal sebagai
raja Jawa dengan gelar Sailendrawamsatilaka Sri Wirairimathana atau
permata keluarga Syailendra pembunuh musuh-musuh yang gagah berani.
Berdasarkan sumber-sumber berita Cina menyebutkan bahwa kerajaan
Sriwijaya sebagai pusat kegiatan ilmiah agama Buddha dan merupakan
tempat persinggahan pendeta-pendeta Buddha dari Cina yang akan menuju ke
India dan juga yang akan pulang ke Cina dari India. Berita I-Tshing pada
abad ke-8 menyebutkan terdapat 1000 orang pendeta yang belajar Agama
Buddha di bawah bimbingan pendeta Buddha terkenal yaitu Sakyakirti. Salah
seorang guru besar Buddha yang berdarah asli Sriwijaya adalah Dharmakirti
yang bukan hanya disegani di Sriwijaya, melainkan juga oleh para pendeta
dari Cina. Seorang pendeta Cina bernama Atica sangat mengagumi
Dharmakirti dan menjadikannya sebagai guru Buddha.

8
Lama kelamaan agama Hindu menyebar ke Jawa Timur yang
dibuktikan dengan diketemukannya prasasti Dinaya dekat kota Malang
berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuna yang berangka tahun
682 Saka diketahui bahwa tahun 760 Masehi raja Simha dari kerajaan
Kanjuruhan mengadakan upacara besar yang dilaksanakan oleh para ahli
Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Bangunan
suci sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur ialah candi
Badut di daerah Malang. Dengan berakhirnya Kanjuruan muncullah Dinasti
Isana dengan Empu Sendok (929 – 947) sebagai peletak dasar kerajaan.
Empu Sendok bergelar Sri Isanottunggadewa Wijaya yang artinya raja sangat
memuliakan pemujaan terhadap Dewa Ciwa. Setelah Empu Sendok wafat
diganti oleh Dharma Wangsa. Pada masa pemerintahan raja ini disusun sebuah
kitab hukum Hindu yang bernama Purwadigama yang bersumber dari Weda
Smerti. Selanjutnya yang memerintah kerajaan Medang Kemulan ialah
Airlangga (1019-1042) yang ternyata juga penganut Hindu yang setia terbukti
dengan diarcakannya Airlangga sebagai Wisnu di atas Garuda. Setelah Wamsa
Isana berakhir muncullah kerajaan Kediri sebagai pengemban agama Hindu
(1042-1222) pada jaman ini banyak karya sastra Hindu yang dihasilkan oleh
pujangga seperti Kitab Smaradhana, Bharatayuda dan Kresnayana.
Perkembangan agama Hindu selanjutnya adalah pada masa kerajaan Singosari
dari tahun 1222-1292 sebagai raja pertamanya adalah Ken Arok yang bergelar
Bhatara Guru sekaligus membuktikan Ken Arok memeluk agama Hindu dan
peninggalan yang lain dibuktikan dengan didirikannya Candi Kidal, Candi
Jago dan Candi Singosari. Pada abad ke 13 kekuasaan Singosari berakhir
kemudian muncullah kerajaan Majapahit dengan bukti didirikannya Candi
Penataran yang merupakan bangunan suci agama Hindu terbesar di Jawa
Timur dan kitab Negarakertagama yang menguraikan tentang kerajaan
Majapahit.

D. Penyebaran Agama Hindu di Bali


1. Kepercayaan Pra Hindu

9
Sebelum mendapat pengaruh Hindu di Bali telah memiliki sistem
kepercayaan antara lain :

a. Kepercayaan kepada gunung sebagai alam arwah yaitu tempat


bersemayam roh nenek moyang.

10
b. Kepercayaan adanya alam nyata dan alam tidak nyata yang sebagai
tempat roh orang meninggal.
c. Kepercayaan setelah mati ada kehidupan di alam lain dan akan
menjelma ke alam nyata.
d. Kepercayaan terhadap roh nenek moyang atau leluhur yang akan dapat
dimintai perlindungan.

2. Masuknya Agama Hindu di Bali


Kedatangan Hindu di Bali merupakan kelanjutan dari
perkembangan Hindu di Jawa Timur yang mulai masuk ke Bali pada abad
ke-8, dengan bukti, arca ini bertipe sama dengan arca Ciwa di Dieng Jawa
Tengah yang berasal dari abad ke-8. Bersamaan dengan masuknya agama
Hindu ke Bali abad ke-8 ternyata agama Budha Mahayana datang ke Bali
dengan bukti peninggalan berupa stupika-stupika tanah liat di Pejeng
Gianyar, kedua agama ini hidup berdampingan dengan aman dan tertib.

3. Masa Bali Kuno


Menurut uraian lontar-lontar di Bali terkenal Mpu Kuturan sebagai
pembaharu agama Hindu di Bali, beliau datang ke Bali pada abad ke-11
pada masa pemerintahan Udayana dan penerusnya. Kedatangan Maharsi
Kuturan membawa pembaharuan yang sangat besar, sekte-sekte yang
hidup sebelumnya dapat disatukan pada pemujaan melalui Kahyangan
Tiga dan Sanggah Kemulan seperti yang termuat dalam Usana Dewa,
konsepsi pemujaan terhadap Tri Murti dimasyarakatkan pada desa
pakraman melalui Kahyangan Desa. Sebagai penghormatan atas jasa
beliau dibuatlah pelinggi Menjangan Salwang pada kebanyakan pura di
Bali sedangkan sebagai tempat moksa beliau didirikanlah pura Silayukti.

4. Masa Bali Pertengahan

11
Pada masa ini ekspedisi Gajah Mada tahun 1343 ke Bali sampai
akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam pengamalan ajaran
agama. Kehidupan agama pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong
merupakan jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirarta ke Bali
pertengahan abad ke-16. Beliau sangat berjasa dalam bidang sastra, agama
dan arsitektur. Tempat-tempat suci juga banyak dibangun seperti pura
Rambut Siwi, Peti Tenget, Dalem Gandamayu (Klungkung). Konsepsi Ke-
Esaan Tuhan mulai dirintis dengan membuat bangunan Padmasana. Beliau
juga mengajarkan ukuran nista, media, utama dalam upakara yang
disesuaikan dengan kemampuan dan keikhlasan umat. Untuk menghormati
jasa beliau, dibangunlah beberapa pura seperti pura Pulaki, Tanah Lot,
Puncak Sangkur, Air Jeruk, Sakenan dan Ponjok Batu.

5. Masa Bali Baru


Setelah runtuhnya kerajaan di Bali kehidupan agamanya kurang
ada yang mengayomi demikian keagamaan di Bali diatur oleh Desa Adat
dan Geria-geria (Sulinggih) secara lokal dan berbeda-beda mempengaruhi
kehidupan agama sehingga terjadi perbedaan dan keanekaragaman teknis
dalam mengamalkannya.

12
Hal inilah masih ada sampai sekarang sehingga muncullah istilah
dasamawacara yaitu masing-masing desa mempunyai tata cara tersendiri.
Dalam usaha pembinaan umat Hindu di Bali muncullah organisasi-
organisasi keagamaan seperti : Suita Gama Tirta tahun 1921 di Singaraja,
Sara Poestaka 1923 di Ubud Gianyar, Surya Kanta tahun 1925 di
Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwaha Sastra
Sabha tahun 1950 di Denpasar, Yayasan Dwijendra tahun 1959 di
Denpasar dan banyak lagi organisasi keagamaan yang turut dalam
pembinaan umat. Pada tanggal 23 Pebruari 1959 beberapa organisasi
keagamaan itu mengadakan pertemuan membentuk Majelis Agama Hindu,
kemudian tanggal 17 sampai 23 Nopember 1961 umat Hindu berhasil
menyelenggarakan Dharma Asrama para sulinggih di Campuan Ubud
yang menghasilkan Piagam Campuhan yang merupakan titik awal dan
landasan pembinaan umat Hindu. Tanggal 7 sampai 10 Oktober 1964
diadakan Masahabha Hindu Bali dengan menetapkan majelis keagamaan
yang bernama Parisada Hindu Dharma Bali.

13
BAB II
SUMBER AJARAN AGAMA HINDU

Tujuan Instruksional

Menjelaskan sumber-sumber ajaran Agama Hindu di India


Memahami pengertian Sruti
Memahami pengertian Smerti
Memahami pengertian Upaweda
Menjelaskan jenis-jenis kitab yang termasuk Upaweda
Menjelaskan tentang proses penyebaran Agama Hindu di Bali

14
A. Pengertian Veda
Semua agama mempunyai kitab suci. Kitab suci adalah yang
dipandang suci oleh umat agama itu. Kitab ini dianggap suci dan dinyatakan
kitab suci karena di dalamnya memuat sabda-sabda suci. Sabda ini dapat
berupa wahyu atau sruti dapat pula merupakan gubahan kembali yang
maksudnya adalah tulisan ulang yang isinya merupakan bagian-bagian yang
penting. Setiap agama mempunyai kitab suci yang menjadi sumber keyakinan
dan kepercayaan kepada Tuhan di samping sumber etika dari tingkah laku
seseorang. Kitab suci agama Hindu adalah Weda yang memuat wahyu yaitu
suara Tuhan yang diterima secara gaib melalui maharesi-maharesi. Karena
kesucian bathin beliau mampu melihat apa yang tidak kelihatan dan
mendengar suara-suara gaib yang tidak dapat didengar oleh manusia biasa dan
telinga biasa.
Tentang kapan diturunkannya Veda atau kapankah para rsi menerima
wahyu Tuhan yang kemudian kita kenal dengan nama Veda, tidaklah dapat
diketahui secara pasti. Berbagai pendapat para sarjana baik di Timur maupun
di Barat semuanya tidaklah sama. Perlu juga ditandaskan di sini bahwa Veda
pada mulanya diterima secara lisan dan disampaikan pula secara lisan
mengingat pada waktu Veda diturunkan itu belum dikenal tulisan. Jadi bahasa
lisan lebih dahulu digunakan baru kemudian ketika tulisan ditemukan mantra-
mantra Veda dituliskan kembali dan tentang penulisan kembali ini, secara
tradisional berdasarkan kitab Purana, Maharsi Vyasa yang menyusun atau
menuliskan kembali ajaran Veda dalam 4 himpunan dibantu oleh 4 orang
sisyanya, yaitu Pulaha, Jamini, Waisampayana, dan Sumanthu. Kapan wahyu
itu diturunkan beberapa ahli berpendapat diantaranya menurut :
 Vidyaranya menyatakan sekitar 15.000 tahun SM
 Lokamanya Tilak Shaski menyatakan 6.000 tahun SM
 Bal Gangadhar Tilak menyatakan 4.000 tahun SM
 Dr. Haug memperkirakan 2.400 tahun SM.
 Max Muller menyatakan 1.200-800 tahun SM
 Heine Geldren memperkirakan 1.150-1.000 tahun SM
 Sylvain Levy memperkirakan 1.000 tahun SM
 Stutterheim memperkirakan 1.000-500 tahun SM

15
Demikian para sarjana memperkirakan mengenai masa diturunkannya
wahyu Veda yang sudah sangat tua dan sampai kini ajaran Veda masih
relevan, menjadi sumber ajaran agama Hindu dan senantiasa menjadi
pegangan bagi umat Hindu.
Menurut arti kata, Veda berarti pengetahuan. Tetapi bila ditulis dengan
huruf a (panjang), Veda berarti kata-kata yang diucapkan dengan aturan-
aturan tertentu. Jadi Veda adalah kata-kata yang diucapkan, dinyanyikan atau
dilagukan. Dari pengertian ini akhirnya dipergunakan istilah ”Mantra”.
Banyak kitab-kitab Veda, tiap-tiap Veda merupakan satu kesatuan materi yang
dihimpun secara sistematik menurut umur, isi, dan kegunaannya. Istilah
”Samhita” yang dipergunakan untuk menyebutkan kelompok Veda itu.
Bahasa dalam Veda adalah Sansekerta. Namun sebelum Bhagavan
Panini menyusun tata bahasa Sansekerta, pada tahun 700 S.M. dan
menamakan bahasa yang dipakai di dalam Veda dengan nama ”Daivi Vak”
(bahasa devata). Baru dalam tahun 200 S.M, bahasa itu mulai dikenal dengan
nama Sansekerta, setelah Patanjali menulis kitab Bhasa, pada abad II S.M.
Nama Sansekerta yang untuk pertama kali diperkenalkan oleh Bhagavan
Patanjali adalah untuk menyebutkan nama bahasa yang dipakai oleh
masyarakat umum dalam pergaulan di Bharatavarsa. Setelah Bhagavan
panini berhasil menyusun tata bahasa Sansekerta, jejak beliau diikuti pula oleh
Bhagavan Katyayana yang lebih populer dikenal dengan Bhagavan Vararuci
pada abad V S.M. Beliau menulis keterangan-keterangan tambahan atas karya
Panini di samping sebagai penulis Sarascamuscaya, yang karyanya telah
diterjemahkan di Indonesia ke dalam bahasa Jawa Kuno pada waktu jaman
keemasan Hindu di Jawa dan telah pula dialihbahasakan ke dalam bahasa
Indonesia pada tahun 1970.
Sejarah pertumbuhan bahasa Sansekerta setelah lahirnya kitab tata bahasa
Panini itu kemudian membantu mempercepat proses pertumbuhannya
sehinggga dalam pertumbuhan abad VIII, Sansekerta menjadi bahasa
percakapan sehari-hari. Kesusastraan agama lahir yang kesemuanya
memperindah gaya bahasa dan membantu penyebaran ajaran agama bahkan
sampai ke Indonesia. Kitab-kitab agama Hindu di Indonesia semuanya dalam
bahasa Sansekerta. Tetapi karena Indonesia sudah terdapat bahasa sendiri,

16
maka untuk menjelaskan pokok-pokok ajaran agama itu penjelasannya
dilakukan ke dalam bahasa Kawi. Dari mantra-mantra dan kitab-kitab agama
yang kini masih tersimpan dalam bentuk rontal-rontal, umumnya terdiri dari
dua bahasa, yaitu bahasa Sansekerta dan bahasa Kawi atau Jawa Kuno. Text
Sansekerta adalah aslinya sedangkan bahasa Kawinya merupakan terjemahan
atau terjemahan berikut komentarnya. Maharsi Manu membagi jenis isi Veda
ke dalam dua kelompok besar yaitu : Veda Sruti dan Veda Smerti.
1. Sruti
Wahyu di dalam bahasa Sansekertanya dinamakan Sruti, jadi tidak
sembarangan sabda dapat dikatakan wahyu, ini harus diuji kebenarannya
misalnya kita harus mengetahui dan siapa penerimanya, bagaimana
riwayatnya, sifat-sifatnya dan banyak lagi yang harus kita ketahui terlebih
dahulu menguji keberannya. Ada ribuan wahyu yang diturunkan melalui
berbagai orang-orang yang telah diuji kebenarannya dan tempat wahyu
diturunkan tidak sama, wahyu diturunkan di berbagai tempat di dunia ini
dan umumnya memberikan keterangan dan petunjuk kepada manusia agar
berbuat baik. Bahkan kadang-kadang wahyu itu memuat tentang
penjelasan apa yang belum dialami oleh manusia. Veda Sruti menurut
Bhagavan Manu merupakan Veda yang sebenarnya. Menurut sifat isinya
Veda ini dibagi atas tiga bagian, yaitu :

Dalam ajaran agama Hindu orang hanya menyebutkan Catur Weda


yang secara garis besarnya isi Weda itu dijabarkan dalam 3 sifat yaitu :
 Mantra isinya terdiri dari empat himpunan (samhita) yaitu Rg Weda
Samhita, Sama Weda Samhita, Yajur Weda Samhita dan Atharwa
Weda Samhita.
 Brahmana adalah himpunan doa-doa dan tuntunan yang dipergunakan
untuk keperluan upacara yajna, cerita-cerita dan simbul-simbul yang
bisa dipergunakan untuk memantapkan rasa hati percaya kepada
Tuhan.
 Upanisad adalah ajaran yang memuat soal teori mengenai Tuhan dan
ciptaan-Nya.

17
a. Mantra
Bagian mantra ada empat bidang yang kumpulan/himpunan (samhita) yang
disebut Catur Veda Samhita seperti :
 Rg Veda Samhita dikumpulkan oleh Bhagawan Pulaha
 Sama Veda Samhita dikumpulkan oleh Bhagawan Jamini
 Yajur Veda Samhita dikumpulkan oleh Bhagawan Waisampayana
 Atharwa Veda Samhita dikumpulkan oleh Bhagawan Sumanthu.
Dari keempat kelompok Veda ini, tiga kelompok pertama sering disebut-
sebut. Sebagai mantra yang berdiri sendiri. Karena itu disebut Tri Veda.
Pengenalan Catur Veda hanya karena kenyataan Veda itu secara sistematik
telah dikelompokkan atas empat Veda.
 Rg Veda Samhita merupakan kumpulan Mantra yang memuat
ajaran-ajaran umum dalam bentuk pujaan yang tertua. Rg Veda
Samhita terdiri atas 1017 hymn (mantra) atau 1028 mantra termasuk
bagian Mantra Valakhilya. Atau disebut pula terdiri atas 105801/2
stanza atau 153826 kata-katra atau 432000 suku kata. Rg Veda terdiri
atas 10 Mandala yang tidak sama panjangnya. Disamping pembagian
atas 10 Mandala, Rg Veda dibagi pula atas 8 bagian yang disebut
”Astaka” Mandala 208 merupakan himpunan ayat-ayat dari keluarga-
keluarga. Maharsi tunggal sedangkan Mandala1,9,10 merupakan
himpunan ayat-ayat dari banyak maharsi.

18
 Sama Veda Samhita merupakan kumpulan Mantra yang memuat ajaran
umum mengenai lagu-lagu pujaan. Sama Veda terdiri atas 1810 mantra
atau kadang-kadang ada yang mengatakan 1875. Sama Veda terbagi
atas dua bagian yaitu bagian Arcika terdiri atas mantra-mantra pujaan
yang bersumber dari Rg.Veda dan bagian Uttararcika yaitu himpunan
mantra yang bersifat tambahan.
 Yayur Veda Samhita merupakan kuimpulan mantra-mantra yang
memuat ajaran umum mengenai pokok-pokok yajus yang berasal dari
Rg Veda ditambahkan dengan beberapa mantra yang merupakan
tambahan baru. Tambahan ini umumnya berbentuk prosa. Menurut
Bhagavan Patanjali, kitab ini terdiri atas 101 resensi yang sebagian
besar sudah lenyap. Kitab ini terdiri dari dua aliran yaitu Yayur Veda
Hitam (Kresna Yayurveda) dan Yayur Veda Putih (Sukla Yayurveda).
Perbedaan yayur Veda Hitam dan Yayur Veda Putih hanya sedikit
saja. Yayur Veda Putih terdiri atas mantra-mantra dan doa-doa yang
harus diucapkan pendeta di dalam upacara sedangkan mantra-mantra
yang di Yayur Veda hitam terdapat pula mantra-mantra yang
menguraikan arti yadnya.
 Atharwa Veda merupakan kumpulan mantra-mantra yang bersifat
magis. Mantra-mantra dari Atharwa Veda ini juga banyak berasal dari
Rg Veda. Kitab ini memiliki 5987 mantra (puisi dan prosa).

b. Brahmana
Bagian kedua yang terkandung dari kitab Sruti ini adalah bagian yang
disebut Brahmana atau Karma kanda. Himpunan buku-buku ini disebut
Brahmana. Tiap-tiap Mantra (Rg, Sama, Yayur, Atharwa) memiliki
Brahmana. Brahmana berarti doa. Jadi kitab Brahmana adalah kitab
yang berisi himpunan doa-doa yang dipergunakan upacara yadnya.
Kadang-kadang Brahmana diartikan penjelasan yang menjelaskan arti
karta ucapan mantra.

19
c.Upanisad
Upanisad adalah himpunan mantra-mantra yang membahas berbagai
aspek teori mengenai ke Tuhanan. Himpunan ini merupakan bagian
Jnana Kanda dari pada Veda Sruti. Sebagaimana halnya dengan tiap-
tiap mantra memiliki kitab Brahmana, demikian pula tiap-tiap
mantra itu memiliki kitab-kitab Upanisad. Kelompok kitab-kitab ini
disebut Rahasiya Jna karena isinya membahasa hal-hal yang bersifat
rahasya.

2. Smerti (Wedangga)
Disamping kitab suci yang tergolong Sruti, agama Hindu juga mempunyai
kitab suci pelengkap yang disebut kitab Smerti (Wedangga). Kitab ini
dinamakan pelengkap yang disebut kitab pelengkap dari kitab Sruti agar
mudah dimengerti. Pada umumnya sebagai pelengkap memuat bagian-
bagian saja. Kitab Smerti Weda tersebut memuat bagian-bagian antara lain
: Ilmu Ponetika (Siksa), bahasa (Wyakarana), guru lagu (Chandra), arti
kata yang sama atau lawan kata (Nirukta), ilmu ekonomi (Jyotihasa) dan
Kalpa (tata cara melakukan yajnya, penebusan dosa dan lain-lain). Dari
pembagian itu jelas betapa luasnya bidang Smerti karena isinya bersifat
khusus, maka pembahasannya lebih terarah dan terbatas. Umumnya kitab
pelengkap ini memuat tafsir umum mengenai apa yang terdapat pada para
Maha Resi yang telah mendalami kitab Sruti. Karena itu melihat dari
penulisannya kitab ini disebt kitab Smerti yang memuat apa yang diingat
oleh para Maha Resi. Adapun Kitab Smerti yang paling menonjol adalah
Manawadharmasastra.

3. Upaveda
Istilah Upaveda terdiri dari dua kata yaitu Upa yang berarti dekat atau
sekitarnya dan Veda berarti kitab suci Veda jadi kitab Upaveda adalah
kitab yang ada kaitannya dengan Veda. Adapun kitab-kitab itu seperti :

20
 Itihasa adalah kitab epos yang memuat sejarah yang sifatnya masih
umum dan mitologis karena di sini diceritakan hubungan kehidupan
dunia dan alam sorga.
 Purana adalah kitab yang memuat cerita kuno.
 Dharmasastra adalah kitab yang memuat tentang empat tujuan hidup
manusia yang antara lain dharma, arta, kama, dan moksa.
 Kamasastra adalah kaitan yang membahas tentang aestika dalam
kehidupan manusia.
 Ayurweda adalah kitab yang isinya menyangkut bidang ilmu
kedokteran.
 Gandarwaweda adalah kitab yang isinya membahas tentang ilmu seni.

21
BAB III
KETUHANAN DALAM AGAMA HINDU

Tujuan Instruksional
Menjelaskan Teologi dalam Agama Hindu
Mengerti Perbedaan Tuhan, Dewa, Bhatara dan Awatara.
Memahami Sifat-sifat Tuhan

A. Pengertian Ketuahanan (Teologi) dalam Agama Hindu


Bila dikaji lebih jauh baik dalam kitab suci Weda maupun praktek
keagamaan di India dan Indonesia (Bali) maka Tuhan Yang Maha Esa disebut
dengan berbagai nama. Berbagai wujud digambarkan Tuhan tersebut,
walaupun sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa tidak berwujud, dan di dalam
bahasa Sansekerta disebut Acintyarupa yang artinya tidak berwujud dalam
alam pikiran manusia dan dalam bahasa Jawa Kuno dinyatatakan; tan
kagrahita dening manah mwang indriya (tidak terjangkau oleh akal dan
indriya manusia). Apabila Tuhan tidak berwujud, timbul pertanyaan mengapa
dalam sistem pemujaan kita membuat bangunan suci, arca, pratima, pralingga,
mempersembahkan busana, sesajen dan lain-lainnya. Bukankah semua bentuk
perwujudan maupun persembahan itu ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang berwujud dalam pikiran manusia?. Sebelum lebih jauh membahas tentang
Tuhan Yang Maha Esa, terlebih dahulu ditinjau pengertian tentang Tuhan
Yang Maha Esa. Dalam buku Brahmasutra dan Vedantasara disebutkan
Janmadyasya yatah yang oleh Svami Sivananda diterjemahkan sebagai berikut
: Brahman adalah asal muasal dari alam semesta dan segala isinya
(janmadi=asal,awal, penjelmaan dan sebagainya, asya=dunia/alam semesta ini,
yatah=dari padanya). Jadi menurut sutra (kalimat singkat dan padat) ini, Tuhan
Yang Maha Esa yang disebut Brahman ini adalah merupakan asal mula
segalanya. Penjelasan ini sesuai dengan bunyi mantram Purusa Sukta
Rg.Weda, berikuut :
Purusa evedam sarvam

22
Yadbhutam yacca bhavyam,
Utamrtatvasesa no
Yadannenati,
(Rg. Weda X.90.2)
Artintya :
Tuhan sebagai wujud kesadaran agung merupakan asal dari segala yang
telah dan yang akan ada. Ia adalah raja di alam yang abadi dan juga di
bumi yang hidup dan berkembang dengan makanan.
Demikian pula Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber segalanya dan sumber
kebahagiaan hidup, dinyatakan pula di dalam Narayana Upanisad 2, berikut :
Narayana evedam sarvam,
Yabhutam yacca bhavyam,
Niskalanko niranjano nirvikalpo
Nirakhyatah sudho devo eko
Narayano na dvityo sti kascit,
(Narayana Upanisad 2).
Artinya:
Ya Tuhan Yang maha Esa, dari Engkaulah semua ini berasal dan kembali
yang telah ada dan yang akan ada di alam raya ini. Hyang Widhi Maha
Gaib, mengatasi segala kegelapan, tak termusnahkan, maha cemerlang
maha suci tidak ternoda, tidak terucapkan, tiada duanya.
Difinisi atau pengertian tentang Tuhan Yang Maha Esa tersebut di atas tentu
sangat terbatas, oleh karena itu kitab-kitab Upanisad menyatakan difinisi atau
pengertian apapun yang ditujukan untuk memberikan batasan kepada Tuhan
Yang Maha Tidak Terbatas itu tidaklah menjangkau kebesarn-Nya, oleh
karena itu kitab-kitab Upanisad menyatakan tidak ada difinisi yang tepat
untuk-Nya.

B. Hyang Widhi, Brahman Yang Tak Berpribadi dan yang Berpribadi


Bila dikaji tentang Brahman (Tuhan Yang Maha Esa) di dalam kitab suci dan
kitab Vedanta, maka ditemukan 2 pandangan yang berbeda tentang Brahman,
yakni sebagai Yang Berpribadi (Personal God), seperti wujud para dewa di
dalam kitab-kitab Veda dan Tuhan Yang Tidak Berpribadi (Impersonal God)

23
seperti dijelaskan dalam kitab-kitab Vedanta (Upanisad). Berdasarkan
penjelasan dalam kitab Brahma Sutra di atas, bahwa Tuhan Yang Maha Esa
adalah yang menjadikan alam semesta dan segala yang terdapat di dalamnya.
Di Bali istilah Tuhan Yang Maha Esa juga dikenal dengan istilah Sang Hyang
Widhi. Kata Widhi (Sansekerta Vidhi) berasal dari urat kata dha (Vi+ dha)
yang artinya : sebuah aturan, peraturan atau kekuasaan, rumus, perintah,
keputusan, ordonansi (peraturan setempat), undang-undang, ajaran, hukum,
perintah petunjuk. Di dalam Mahabrata Vidhi disebut sebagai Sang Pencipta
atau penguasa hukum. Dengan demikian Sang Hyang Widhi adalah Tuhan
sebagai pencipta alam semesta. Tuhan sebagai Widhi disebut bersthana di
luhuring Akasa, yakni di atas angkasa. Dalam pengertian tersebut Tuhan Yang
Maha Esa digambarkan tidak berwujud (Impersonal God). Nama Sang Hyang
Widhi berarti Yang Menakdirkan, Yang Maha Kuasa yang dalam bahasa Bali
diterjemahkan dengan Sang Hyang Tuduh atau Sang Hyang Titah. Kapan Sang
Hyang Widhi dimohon turun dan hadir menerima persembahan, maka saat ini
juga beliau telah terwujud dalam alam pikiran. Wujud-wujud utama-Nya itu
disebut Tri Murti (Brahma, Visnu, Siwa). Tri Murti adalah sebutan tiga
manisfestasi atau perwujudan dari Tuhan seperti :
Dewa Brahma adalah sebutan Tuhan dalam perwujudannya sebagai
pencipta alam semesta dengan segala isinya.
Dewa Wisnu adalah sebutan Tuhan dalam perwujudan sebagai pemelihara
atau pelindung.
Dewa Ciwa adalah sebutan Tuhan dalam perwujudannya sebagai
pengembalian ke asal (pralina).
Sang Hyang Tunggal
Sang Hyang Tunggal adalah Tuhan yang bersifat Maha Esa, Maha
Tunggal tidak ada duanya atau tidak ada bandingannya (Ekam Eva
Advityam Brahman).
Sang Hyang Guru
Sang Hyang Guru adalah Tuhan yang merupakan guru dari seluruh alam
dan isinya.

24
Sang Hyang Sangkan Paran
Sang Hyang Sangkan Paran adalah Tuhan yang menjadi asal atau tujuan
kembalinya seluruh atman. Sangkan artinya asal permulaan, Paran artinya
tujuan kembali kepada seluruh alam dan isinya termasuk makhluk
(manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan).
Sang Hyang Jagatnatha
Sang Hyang Jagatnatha adalah fungsi Tuhan yang menjadi raja dari
seluruh alam semesta beserta isinya.
Sang Hyang Prameswara
Sang Hyang Prameswara adalah Tuhan yang memang pimpinan tertinggi
terhadap seluruh alam.
Sang Hyang Tri Loka Sarana
Sang Hyang Tri Loka Sarana adalah Tuhan sebagai pelindung Tri Buana
(bhur loka, bhuwah loka, swah loka).
Sang Hyang Acintya
Sang Hyang Acintya adalah keadaan Tuhan yang tidak terbatas itu tidak
dapat dipikirkan oleh manusia yang mempunyai pikiran terbatas. Karena
seorangpun tidak ada yang dapat mengerti tentang keadaan yang
sebenarnya.
Sang Hyang Paramatma
Sang Hyang Paramatma adalah Tuhan dalam keadaan sebagai atma yang
tertinggi atau jiwa yang maha besar yang menjiwai seluruh makhluk.
Sang Hyang Paramakawi
Sang Hyang Paramakawi adalah gelar Tuhan sebagai perencana atau
pengrang tertinggi.
Sang Hyang Wenang
Sang Hyang Wenang adalah Tuhan sebagai pemegang wewenang dan
kekuasaan mutlak dalam membentuk susunan dan peraturan alam.
Sang Hyang Tuduh
Sang Hyang Tuduh adalah Tuhan sebagai pemegang nasib makhluk
terutama manusia.

25
Sang Hyang Parama Wisesa
Sang Hyang Parama Wisesa adalah gelar Tuhan dalam keadaan sebagai
penguasa tertinggi yang menguasai segala-galanya baik yang nampak
maupun yang gaib yang sudah ada maupun yang akan ada.
Brahman
Brahman adalah sebutan Tuhan dalam Upanisad sebagai pencipta alam
semesta ini. Di dalam Weda disebut lswara dalam Whraspati Tattwa
Parama Ciwa dan dalam lontar Puwa Bhum Kamulan disebut Sang Hyang
Widhi Wasa. Adapun namaNya tetapi yang dimaksud adalah Beliau yang
merupakan asal mula, pencipta dan tujuan akhir dari seluruh alam semesta
ini. Di dalam perwujudannya sebagai Brahma (pencipta), Wisnu
(pemelihara) dan Ciwa (pengembali) ke asalnya disebut dengan Tri Murti.
Tri Murti adalah tiga perwujudan dan tiga kemahakuasaan Tuhan yang
disebut dengan Tri Cakti yaitu Utpeti, Stiti dan Pralina. Tuhan Ciwa
Mahadewa Yang Maha Esa dan Maha Kuasa disimbulkan dengan aksara
Om (A, U, M) yang disebut juga Omkara atau Pranawa. Oleh karena itu
tiap-tiap mantra itu dimulai dengan Om, sebagaimana inti kekuatan doa
mantra itu hendaknya dapat menggetarkan dan menggerakkan alam
semesta.
Tuhan yang kekal dan abadi tiada awal dan akhir tidak ada yang
menciptakan atau melahirkan melainkan menciptakan atau melahirkan
sendiri. Oleh karena itu ia disebut Swayambhu. Selain daripada Trisakti
Tuhan juga mempunyai empat sifat maha kuasa yang disebut Catur Sakti
atau Cadu Sakti yaitu Wibhu Cakti (maha ada), Prabhu Cakti (maha
kuasa), Jnana Cakti (maha tahu) dan Karya Cakti (maha karya). Selain dari
keempat cakti tersebut Tuhan juga mempunyai delapan maha kuasa yang
disebut Asta Cakti atau Asta Eswara antara lain :
 Anima (sifat yang sangat halus)
 Laghima (sifat yang ringan)
 Mahima (maha besar)
 Prapti (mencapai segala tempat)
 Prakamya (segala kehendak selalu terjadi)
 Icitwa (merajai segala-galanya)

26
 Wacitwa (paling kuasa)
 Yatrakamawasaayitwa (tidak ada yang dapat menentang
kodratnya).
Kedelapan sifat keagungan Tuhan Yang Maha Esa ini disimbulkan
dengan singgasana teratai yang berdaun delapan (astadala) lambang
delapan, sifat kemahakuasaan Tuhan yang menguasai dan mengatur alam
semesta dan makhluk semua. Selain hal tersebut di atas Tuhan adalah
sebagai pelindung Dharma atau agama demi untuk mencapai
kesempurnaan berupa Dharma atau budi luhur yang memberi
kesejahteraan umat manusia, kedelapan roh dari Samsara Tuhan
mewahyukan ajaran kerohanian ke dunia. Bagi umat yang menempuh
jalan Bhakti Marga Tuhan memegang peranan penting karena Tuhan
dipergunakan sebagai kiblat pujaan sebagai Icwara Catur Bhuya, Tuhan
yang bertangan empat yang melambangkan pengampunan, keadilan, kasih
sayang dan pelindung, untuk memohon restu kepadaNya hendaknya Ia
merahmati umatNya yang lemah dengan laksana dan budi yang tinggi dan
melindungi mereka dari dosa dan malapetaka. Selain itu di dalam agama
Tuhan menjadi saksi agung pelindung keadilan rohaniah yang bergelar
Yamadipati atau Dharma dan yang dapat mengetahui segala gerak langkah
semua makhluk mengadili roh manusia dengan menjatuhi hukuman
niskala terhadap yang berdosa, di akhirat, kini dan penjelmaan yang akan
datang dan mengampuni yang tobat serta merahmati yang beramal dengan
kebahagiaan lahir bathin. Hyang Widhi Wasa sebagai pelindung dharma
adalah pengendali kalbu semua makhluk mengendalikan hati umat
manusia untuk menempuh jalan yang lurus guna mencapai kesempurnaan,
mencapai dharma, mendapat kebahagiaan kesejahteraan makhluk dan
manunggalnya atma dengan Parama Ciwa atau Moksa.

27
a. Dewa
Sang Hyang Widhi tidak sama dengan Dewa dan perkataan Dewa
berasal dari bahasa Sansekerta yaitu urat kata Div yang artinya
sinar (nur). Dewa adalah perwujudan sinar suci guna untuk
mengendalikan alam semesta. Dewa-dewa dihubungkan untuk satu
aspek tertentu dan khusus phenomena alam semesta ini. Tiap-tiap
aspek dikuasai oleh sat dewa atau lebih dengan ciri-ciri dan
lambang khusus pula. Tiap-tiap dewa mempunyai kekuatan yang
tidak terpisahkan dari padanya sebagaimana halnya suami istri.
Saktinya diwujudkan dalam bentuk Dewi yang dianggap istri
dewa, sebab dewa tidak akan mempunyai kekuatan sesuai dengan
fungsinya bila tidak disertai dengan kekuatan saktinya.
b. Dewata
Istilah Dewata dipergunakan Dewa yang lebih tinggi kedudukan
dari dewa yang lain. Dewata adalah dewa dari para dewa di dalam
agama Hindu. Dewa-dewa itu merupakan sinar sucinya Hyang
Widhi yang banyak sekali jumlahnya. Hyang Widhi yang banyak
sekali jumlahnya. Hyang Widhi diumpamakan sebagai Matahari
sedangkan dewa itu merupakan sinar matahari tidak ada secara
otomatis sinar-sinar tersebut tidak ada. Kita dapat mengatakan
matahari itu panas tetapi matahari belum pernah menyentuh secara
langsung sedangkan yang langsung menyentuh adalah hanya sinar-
sinar.
c. Bhatara

28
Bhatara adalah prabhawa atau manifestasi dari kekuatan Hyang
Widhi untuk memberi perlindungan terhadap ciptaannya. Kata
Bhatara berasal dari kata bhatr yang artinya pelindung dan kadang-
kadang Bhatara sebagai Raja atau yang dipertuan. Istilah Bhatara
sebagai pelindung sering timbul pengertian baru dalam masyarakat
Hindu di mana kadangkala raja-raja jaman dahulu yang berkuasa
penuh diberi gelar Bhatara karena bersifat melindungi antara kata
dewa dengan Bhatara sering pemakaiannya diartikan sama.
Misalnya Dewa Wisnu disebut juga Bhatara Wisnu, Dewa Ciwa
juga disebut Bhatara Siwa karena Beliau juga melindungi makhluk.
Jadi jelaslah Dewa dan Bhatara itu adalah merupakan sinar suci
atau manifestasi dari Tuhan.

29
d. Awatara
Yang dimaksud Awatara adalah Tuhan yang turun ke dunia yang
menjelma sebagai manusia. Beliau inilah Guru dari segala Guru.
Apakah tanda-tanda yang memungkinkan kita untuk mengenal
seorang awatara? Yang jelas sidhi yang kekuatannya adikodrati
atau luar biasa tidak bisa diikuti oleh pikiran.
Beliau bisa membuat apa saja semuanya tanpa belajar tanpa
menggunakan mantra. Seorang Maha Rsi yang sudah tinggi
tingkatannya bisa juga membuat keajaiban tetapi kalau sering
dipertunjukkan akan punah lama-kelamaan akan hilang. Seorang
Awatara tidak demikian seorang Awatara tidak perlu belajar yoga
kekuatannya sudah dibawa sejak lahir dan tidak punah karena sidhi
itu adalah alamnya walapun sering digunakan. Sidhi seorang
awatara tidak bermotif pamer dan mencari keuntungan materi
maupun nama dan selalu digunakan untuk yang bermanfaat.

30
Awatara yang dikenal dalam agama Hindu adalah sepuluh Awatara
Wisnu yang terkenal adalah Rama dan Sri Kresna. Seorang
Awatara bisa melihat masa lalu, masa sekarang dan masa yang
akan datang bisa disamakan dengan manusia biasa. Seorang
Awatara baru turun ke dunia kalau keadaan sudah buruk, kejahatan
merajalela, hukum agama dilanggar dan itulah jaman kali. Guru-
guru spiritual diturunkan oleh Tuhan, guru-guru spiritual itu adalah
orang-orang suci yang mendapat tugas membimbing umat
manusia. Jika di dunia terjadi gangguan dan penyimpangan-
penyimpangan kecil, maka diturunkanlah orang suci yang
mendapat sinar kekuatan dari Tuhan untuk memperbaiki dunia ini.
Kalau kejahatan yang lebih besar, maka diturunkanlah orang suci
yang lebih tinggi dan jika sudah jaman kali Tuhan sendiri turun
menjadi manusia dan disebut Awatara. Jika ada kerusuhan kecil,
maka cukup dikirim agen polisi untuk mengatasi keadaan jika
yang datang perampok, maka dikirimkanlah kapten polisi dan jika
yang membuat kerusuhan itu adalah satu batalion pemberontak,
maka jenderal polisi yang dikirim. Dalam Bhagawadgita
disebutkan :
Yada-yada hi dharmasya
glanir bhavati bharata
aghytthanam adharmasya
tada tmanam srijama aham Bhag. IV. 6.
Artinya :
Manakala Dharma hendak sirna dan adharma hendaknya
merajalela saat itu wahai keturunan Bharata, Aku sendiri
turun ke dunia.

31
Mengapa Tuhan harus turun ke dunia berwujud manusia, bukankah
Tuhan cukup dari tempat Beliau memusnahkan kejahatan itu? Jika
ranting pohon dihinggapi benalu cukup ranting itu saja yang
dipotong tetapi jika seluruh batang pohon yang dihinggapi benalu,
apakah seluruh pohon itu ditebang? Demikian pulalah jika di
seluruh dunia kejahatan sudah merajalela, maka seorang Awatara
akan turun membersihkan dunia ini. Mengapa Tuhan harus
berwujud manusia? Agar bisa mendekati dan membimbing
manusia serta bisa dimengerti oleh manusia kata-kata isyarat serta
petunjuk beliau, seperti jika ada seseorang anak yang tenggelam,
maka si penolong harus menceburkan diri ke air untuk dapat
menolong orang yang tenggelam tersebut. Karena seorang Awatara
hidup sebagai manusia biasa, orang sering tidak menyangka bahwa
beliau Awatara. Demikianlah Sri Krisna masih kanak-kanak, lari
ke sana ke mari dengan nakalnya, maka Yosada Ibu angkatnya
berusaha untuk mengikat si anak pada satu tonggak dengan seutas
tali. Diambilnya tali tetapi kurang panjang, maka diambil tali yang
lebih panjang lagi tidak cukup dan akhirnya setelah tidak ada tali
yang cukup untuk mengikat si anak kecil itu adalah Awatara
Tuhan. Dalam aajaran Hindu dikenal sebanyak 22 Awatara Wisnu
yaitu :
1. Kumara adalah Awatara pertama dari Wisnu adalah empat Kumara
yang berbentuk anak-anak yang memiliki kemuliaan Dharma dan
menjadi Dewa Brahmacari.
2. Waraha adalah kedua yang berbentuk babi jantan yang
menyelamatkan bumi yang tenggelam di laut. Dengan moncongnya
menyodok bumi ke atas dan menempati orbitnya semula.
3. Narada adalah seorang yang lahir dari Ibu Sudra yang bekerja
sebagai nelayan, Oleh Brahma ditugasi menyebarkan Dharma.
4. Nara Narayana adalah keduanya sebagai Rsi dan ditakdirkan pada
waktu keberadaannya, dunia mengalami kesejahtraan, tidak ada
Adharma pada waktu itu.

32
5. Kapila adalah Awatara Wisnu yang kelima yang mengajarkan
Sankhya Philosofi, yaitu yang pada zaman sekarang disebut Ilmu
Metaphysics.
6. Dattatreya adalah anak dari Rsi Atri dan Anusuya yang
mengajarkan Philosofi jiwa Spritual terutama ajaran yang diikuti
oleh Alarka, Prahlada, Yadu dan Haiya.
7. Yajna adalah Awatara yang ketujuh yang bertugas mengatur
keadaan dunia pada zaman Swayambhu manu karena keadaan pada
waktu itu tidak ada kenayaman hidup di dunia.
8. Rsabha adalah sebagai raja dan juga seorang Rsi yang mengajarkan
hidup sederhana yang membuahkan kebahagiaan yang tidak ada
batasnya.
9. Prthu adalah Awatara Wisnu yang kesembilan seorang raja yang
bijaksana mengajarkan kemakmuran dengan meratakan tanah
miring serta mengajarkan Ilmu Tata Ruang.
10. Matsya adalah Awatara Wisnu dalam bentik ikan besar yang
menolong raja Satriwrata serta pengikutnya, dari kepunahan karena
pada waktu itu air laut naik di seluruh dunia.
11. Kurma adalah Awatara Wisnu dalam bentuk kura-kura untuk
memikul gunung Mandara agar tidak tenggelam pada waktu
gunung diputar.
12. Dhanwantara adalah Awatar Wisnu yang membawa Tirta Amerta
yang keluar dari dasar laut setelah pemuatarn gunung Mandara.
13. Mohini adalah awatara Wisnu yang ketiga belas, dalam bentuk
seorang wanita cantik yang membagikan tirta Amerta kepada para
Dewa.
14. Narasimha adalah reinkarnasi dalam bentuk berbadan manusia dan
berkepala singa untuk memusnahkan raksasa Hiranyakasipu.
15. Wamana adalah reinkarnasi yang kelima belas adalah berupa
Pendeta Kecil yang mengalahkan Maharaja Bali.
16. Parasurama adalah Awatara Wisnu yang menjadi seorang Rsi yang
memusnahkan para ksatria karena kemewahan hidupnya.

33
17. Rama adalah reinkarnasi yang memusnahkan Raksasa Rahwana
yang berlaku sewenang-wenang.
18. Wiyasadewa adalah Awatara sebagai penulis dan
mengkomplikasikan Weda, Mahabrata, Bhagawadgita, Purana dan
sebagainya sehingga merupakan warisa yang bisa dibaca oleh umat
manusia.
19. Balarama atau Baladewa adalah kakak kresna yang lahir dari ibu
Rohini dan Wasudewa yang lama untuk mengasuh cucu Pandawa
yaitu Parikesit.
20. Kresna adalah Awatara Wisnu yang lahir dari ibu Dewaki dan
Wasudewa, selalu mendampingi dan sebagai penasehat Pandawa
dalam perang Bratayuda, melawan para Korawa.
21. Budha adalah Awatara Wisnu yang terakhir yang meluruskan
Dharma dari tindakan yang berlebihan dan kemewahan dengan
mengastamakan Dharma.
22. Kalkhi adalah reinkarnasi Wisnu pada masa yang akan datang yang
mengakhiri zaman kali. Ia adalah anak dari Wisnu Yasa yang akan
memusnahkan ketidakadilan.

.
BAB IV
ALAM SEMESTA

Tujuan Instruksional
Menjelaskan asal alam semesta beserta isinya
Memahami asal mula manusia dan unsur-unsurnya
Mengerti tentang hakekat manusia
Menjelaskan perbedaan manusia dengan makhluk lainnya

34
A. Asal Mula Alam Semesta
Bumi tempat makhluk hidup berpijak tidak ada begitu saja
melainkan mengalami berbagai proses. Tuhan menciptakan alam semesta
ini berlangsung secara berjenjang dari jenjang yang teramat gaib sampai
pada jenjang yang tampak berwujud. Adapun proses terjadinya alam
semesta ini disebutkan sebagai berikut :
Ketika tidak ada apa-apa, yang ada hanyalah Tuhan Paramasiwa
atau Nirguna Brahma yang berwujud sunyi sepi, kosong dan hampa,
kemudian Tuhan menjadikan diriNya Sadasiwa atau Saguna Brahma. Pada
jenjang ini Tuhan telah menjadi berbadan Purusa dan Prakrti. Purusa
adalah unsur dasar yang bersifat kejiwaan, sedangkan Prakrti adalah unsur
dasar yang bersifat kebendaan. Baik Purusa dan Prakrti sifat kedua-
duanya tak dapat diamati dan tanpa permulaa, seperti dijelaskan dalam
kitab Bhagwadgita berikut ini :
Prakrtim purusam caiva viddhy anadi ubhav api,
Vikarami ca gunams caiva viddhi prakrti-sambhavan
(Bhagavadgita. XIII.20)
Artinya :
Ketahuilah bahwa Prakrti dan purusa kedua-duanya adalah tanpa
permulaan, dan ketahui juga bahwa segala bentuk dan ketiga guna
lahir dari Prakrti.
Purusa dan Prakrti inilah kemudian bekerja sama yang
menyebabkan adanya alam semesta ini, secara bertingkat/berjenjang. Kerja
sama Purusa dan Prakrti ini dilukiskan sebagai kerja sama antara seorang
yang melek tapi lumpuh dengan seorang yang kuat namun buta. Dengan
kerja sama itulah mereka baru bisa melakukan atau membuat sesuatu.
Prakrti yang merupakan azas kebendaan, memiliki Tri Guna, yaitu Sattwa,
Rajas dan Tamas. Sattwa sifat dasarnya adalah terang dan menerangi.
Rajas sifat dasarnya aktif dan dinamis, sedangkan Tamas sifat dasarnya
adalah berat dan gelap. Akibat adanya kerja sama Purusa dengan Prakrti
ini menyebabkan kekuatan tri guna ini berimbang. Pertama-tama kekuatan
Sattwa yang lebih besar dari Rajas dan tamas maka lahirlah yang disebut
Mahat yang berarti Yang Agung, dari mahat ini kemudian muncullah

35
Buddhi. Buddhi adalah azas atau benih kejiwaan tertinggi. Fungsinya
adalah untuk menentukan keputusan. Selanjutnya dari Buddhi ini lahirlah
yang disebut Ahamkara yaitu azas kedirian. Fungsinya adalah untuk
merasakan. Kemudian dari Ahamkara ini lahirlah Manas, yaitu akal atau
pikiran yang berfungsi untuk berpikir. Dari Manas selanjutnya lahir Panca
Tanmatra, yaitu 5 unsur yang halus, yaitu :
sabda tanmatra (sari suara)
sparsa tanmatra (sari rabaan)
rupa tanmatra (sari warna)
rasa tanmatra (sari rasa)
gandha tanmatra (sari bau)
Perkembangan selanjutnya dari Panca Tanmatra adalah Panca
Mahabhuta, yaitu 5 unsur yaitu:
Akasa (ether atau ruang)
Vayu (hawa atau udara)
Teja (api)
Apah (air)
Prthivi (tanah)
Panca Mahabhuta nilah kemudian berkembang menjadi alam
semesta ini dengan segala isinya, seperti matahari, bumi, bulan, planit,
yang disebut Brahmanda. Demikian juga gunung-gunung, manusia,
binatang dan lain-lainnya.
Jadi jelaslah bahwa alam semesta ini dengan segenap isinya lahir
dan mengalir dari tubuh Tuhan hingga pada saatnya nanti akan kembali
lagi ke dalam tubuhNya yang sunyi. Demikianlah dinyatakan di dalam
Bhuvana Kosa sebagai berikut :.
Mankana pwa bhatara Siwa inikan tattwa kabeh, ri wkasan lina rin sira
mwah, nihan drtopamanya kadyanga nin wereh makweh mijilnya tunggal
ya saken wwai.
(Bhuvana Kosa.Ip.22b)
Artinya :

36
Demikianlah halnya Bhatara Siva (Tuhan), keberadaanNya pada segala
makhluk, pada akhirnya akan kembali pula kepadaNya, demikian
umpamanya, bagaikan buih banyak timbulnya, tunggalah itu dari air.

B. Asal Mula Manusia dan Unsur-unsurnya


Asal mula manusia dan alam semesta ini pada hakekatnya adalah sama,
yaitu dari Purusa dan Prakrti juga. Maka itu alam semesta ini lazim disebut
Bhuvana Agung, sedangkan diri manusia disebut Bhuvana Alit. Pada diri
manusia unsur Purusa itu menjadi Jiwatman, sedangkan unsur Prakrti menjadi
badan kasar atau Sthula Sarira. Suksma Sarira juga disebut Lingga Sarira dan
Sthula Sarira juga disebut Raga Ssuksma Sarira/Lingga Sarira terjadi dari
:Budhi, Manas, Ahamkara, disebut Tri Antah Karana Sarira dengan masing-
masing fungsinya sebagai berikut :
 Budhi berfungsi untuk menentukan keputusan
 Manas berfungsi untuk berpikir
 Ahamkara fungsinya untuk merasakan dan bertindak
Tri Antah Karana inilah merupakan alat bathin manusia yang sangat
menentukan watak atau karakter seseorang. Indria manusia ada sepuluh
banyaknya sehingga disebut Dasendrya yang terdiri dari 2 bagian yaitu:
1. Panca Buddhindrya yaitu 5 indrya untuk mengetahui terdiri dari:
 Caksuindrya (indrya pada mata)
 Srotendrya (indriya pada telinga)
 Ghranendrya (indriya pada hidung)
 Jihvendriya (indriya pada lidah)
 Tvakindriya (indriya pada kulit)
2. Panca Karmendrya yaitu lima indriya pelaku, terdiri dari:
 Panindriya (indriya pada tangan)
 Padendriya (indriya pada kaki)
 Garbendriya (indriya pada perut)
 Upasthendriya (indriya pada kelamin laki-laki) dan
Bhagendriya (indriya pada kelamin wanita)
 Payvindriya (indriya pada pelepasan)

37
Adapula yang menyebutkan bahwa Vakindriya yaitu indria pada
mulut termasuk kelompok indria ini pengganti dari Garbhendriya. Manas
berkedudukan sebagai Rajendriya yaitu raja dari indriya, karena semua
indriya itu berpusat pada pikiran manusia. Indriya-indriya itu semuanya
tak dapat diamati, akan tetapi berada pada alat-alatnya yang tampak.
Sthula Sarira, raga sarira yang terjadi dari Panca Tanmatra atau Panca
Mahabhuta itu uraiannya adalah sebagai berikut:
 Tulang belulang, otot, daging dan segala yang pada sifatnya terjadi
dari gandha atau prtivi.
 Darah, lemak, kelenjar, empedu, air badan dan segala yang cair
terjadi dari rasa atau apah.
 Panas badan, sinar mata dan segala yang panas dan bercahaya
sifatnya terjadi dari rupa atau teja.
 Napas dan udara dalam badan terjadi dari sparsa atau vayu
 Rongga dada, rongga mulut dan segala rongga lainnya terjadi dari
sabda dan akasa.
Dalam hubungannya dengan sthula sarira disebutkan adanya unsur-unsur
antara lain sebagai berikut:
Sad Kosa yaitu 6 lapis pembungkus yang terdiri dari:
 Asti (tulang)
 Odvad (otot)
 Sumsum (sumsum)
 Mamsa (daging)
 Rudhira (darah)
 Carma (kulit)
Dasa Bayu atau Dasa Prana, yaitu 10 macam udara badan manusia, yang
terdiri dari :
 Prana - udara pada paru-paru
 Samana - udara pada pencernaan
 Apana - udara pada pantat
 Udana - udara pada kerongkongan
 Vyana - udara yang menyebar ke seluruh tubuh
 Naga - udara pada perut yang keluar pada saat

38
perut mengempis.
 Kumara - udara yang keluar dari badan oleh
tangan dan jari.
 Krkara - udara pada saat bersin
 Devadatta - udara saat menguap
 Dananjaya - udara yang memberi makan pada
badan.
Sedangkan yang mempunyai hubungan dengan Suksma
Sarira/badan halus manusia antara lain adalah : Panca Kosa yaitu 5 lapis
pembungkus dari badan halus manusia, yang terdiri dari :
 Annamaya kosa - badan dari sari makanan
 Pranamaya kosa - badan dari sari nafas
 Manomaya kosa - badan dari sari pikiran
 Vijnamaya kosa - badan dari sari pengetahuan
 Anandamaya kosa - badan dari kebahagiaan

C.Hakekat Manusia
Manusia adalah makhluk yang berakal buddhi. Manusia sering disebut
Atmaja, Anuja atau Janma dan juga purusa, manusia disebut manusia oleh
karena ia pada hakekatnya adalah penjelamaan dari Anu. Anu dalam bahasa
Sansekerta berarti atom. Maksudnya adalah percikan kecil dari Tuhan.
Manusia disebut Atmaja, Anuja atau Janma olah karena pada hakekatnya ia
adalah atma atau anu yang lahir atau menjelma dari atma anu yang membadan.
Dan disebut purusa, oleh karena memang manusia berasal dari purusa atau juga
Visesa semua itu adalah sama yaitu tetesan/percikan yang mengalir dari Tuhan.
Dengan demikian maka manusia pada hakekatnya adalah penjelmaan dari
Tuhan, atau keturunan atau putra/muris Tuhan maka ia patut berguru dan
mohon tuntunanNya melalui sabda-sabdaNya yang tertuang dalam pustaka
suci Weda.

D. Manusia, Binatang dan Tumbuh-tumbuhan


Asal mula manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan pada hakekatnya
adalah sama. Namun demikian manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan

39
tidaklah sama. Ia tetap berbeda. Perbedaan kelahiran ini bersumber pada
perbedaan Karma Wasana yaitu bekas-bekas dari perbuatan pada masa lalu.
Karma Wasana bersumber pada karma atau karma bersumber pada Tri
Antahkarana dan Tri Guna. Atma menjelma menjadi manusia, menjadi
binatang dan menjadi tumbuh-tumbuhan ditentukan oleh pertimbangan
kekuatan Tri Guna. Tri Guna adalah bagian dari prakrti. Kalau saja Prakrti
bertemu dengan Purusa maka Tri Guna itu mulai aktif dan ingin saling
menguasai. Apabila kekuatan Tri Guna ini berimbang maka menjelmalah
Atma menjadi manusia. Apabila kekuatan-kekuatan Sattwa yang paling
unggul dibandingkan dengan Rajas dan Tamas menyebabkan atma akan
mencapai Kamoksan atau kelepasan. Tetapi jika Sattwa dan Tamas sama
kuatnya menyebabkan atma akan mencapai sorga. Dan jika seimbang antara
kekuatan Sattwa, Rajas dan Tamas maka menjelmalah atma menjadi manusia.
Jika si Rajas yang lebih unggul dibandingkan dengan Sattwa dan tamah
menyebabkan atma akan jatuh ke neraka. Akhirnya apabila si Tamah yang
paling unggul dibandingkan dengan yang lainnya maka menjelmalah atma itu
sebagai binatang dan juga tumbuh-tumbuhan. Demikianlah disebutkan dalam
Vrhaspati Tattwa, sebagai berikut:
Yan satwika ikan citta, ya hetu nin atma pamangihaken kamoksan, apan
ya nirmala, dumeh ya gumawayaken rasa nin agama lawan wkas nin
guru.
Artinya :
Apabila Sattwa citta itu, itulah sebabnya atma menemukan kelepasan,
sebab ia suci, yang menyebabkan melaksanakan rasanya (isi) agama dan
tuntunan guru.

E. Swayambhu Manu Manusia Pertama


Manusia pertama yang diciptakan mendiami bumi adalah Swayambhuwa
Manu atau Swayambhu Manu. Dalam bahasa asing, Manu disebut Man.
Swayambhu Manu disdampingi oleh pasangannya sebagai istri bernama
Satarupa. Dalam Purana disebutkan sebagai berikut :
Mahaloka tempatnya Sang Hyang Widhi wasa berada, pertama-tama
menciptakan Bhatara Brahma, yang lahir dari Bunga Teratai yang berada pada

40
pusar Sang Hyang Widhi. Pada waktu itu keadaan di dunia gelap gulita dan
belum dsihuni oleh makhluk hidup. Bhatara Brahma menjadi Dewa Pencipta
yang bertugas mengatur bumi agar layak dihuni serta menciptakan makhluk
hidup yang akan mendiami bumi.
Pada awalnya Bhatara Brahma menciptakan empat Kumara, yaitu Sanaka
Kumara, Sananda Kumara, Sanata Kumara, dan Sanat Kumara. Kemudian
Bhatara Brahma menyuruh keempat Kumara untuk mempunyai keturunan
yang bisa mendiami bumi. Tetapi keempat Kumara menolak perintah itu,
karena empat Kumara lebih tertarik menjadi Brahmana yang Nyukla
Brahmacari atau tidak kawin dan tetap menjadi Dewa.
Mendengar akan penolakan ini, maka Bhatara Brahma walaupun tidak
langsung memperlihatkan kemarahannya, tetapi kedua alisnya berkerut. Dari
kerut alisnya Bhatara Brahma, keluarlah ciptaan berupa seorang anak yang
kulitnya merah kebiru-biruan. Anak ini menangis kuat dan minta segera
diberikan nama. Kemudian Bhatara Brahma memberikan nama Rudra, karena
tangisnya yang kuat. Siwa kemudian langsung menjadi Dewa yaitu Dewa
Pralina, yaitu memusnahkan makhluk hidup apabila sudah tiba saatnya. Oleh
Bhatara Brahma, Siwa diberikan tempatnya di Buana Agung maupun di
Bhuana Alit. Di Bhuana Alit Bhatara Brahma, Bhatara Siwa berada dalam
pikiran dan di hati. Di Bhuana Agung Bhatara Siwa berada di udara, bumi,
langit, bulan dan matahari. Karena Siwa bertugas sebagai Dewa maka Bhatara
Brahma kembali menciptakan seorang manusia yang dinamai Swayambhu
Manu, sebagai manusia pertama. Swayambhu diberikan tempat di bumi dan
akan berkembang biak mempunyai anak cucu dan seterusnya.
Setelah menciptakan manusia pertama Bhatara Brahma kemudian
menciptakan Brahmana yaitu Marici, Atri, dan Angira. Agar perkembangan
manusia di bumi menjadi lebih banyak maka Dewa Siwa mempunyai sebelas
istri yaitu Dhi, Dhrti, Rasala, Uma, Sati, Sarpi, Ila, Ambika, Irawati, Swadha,
dan Diksa. Para istri ini kemudian mempunyai anak dan menghuni bumi,
tetapi salah seorang diantaranya yakni Sati tidak mempunyai keturunan.
Bhatara Brahma dalam satu hari Brahma juga menciptakan 14 manusia yaitu :
1. Swayambhuwa
2. Swarocisa

41
3. Uttama
4. Tamasa
5. Raiwata
6. Caksusa
7. Waiswata
8. Sawarni
9. Daksa Sarwani
10. Brahma Sarwani
11. Dharma Sarwani
12. Rudra sarwani
13. Dewa Sarwani
14. Indra sarwani
Dalam satu hari Brahma disebut juga satu Kalpa yang menurut perhitungan
sama dengan 4.320.000 tahun matahari. Setiap satu kehidupan manus disebut Satu
Manwantara. Oleh karena itu satu Kalpa atau satu hari Brahma terdiri dari empat
belas Manwantara.

42
BAB V
SRADDHA (KEIMANAN)

Tujuan Instruksional
Menjelaskan tentang Panca Sraddha
Melaksanakan Panca Sraddha dalam kehidupan sehari-hari
Mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari

Tidak ada satu garis yang dijadikan ukuran keimanan seseorang beragama
Hindu. Kitab suci Veda yang menjadi pegangan dan pedoman dasar bagi umat
Hindu memuat banyak hal penting termasuk keimanan atau Sraddha. Kata
Sraddha berarti kepercayaan dan juga berarti upacara pemujaan kepada arwah
leluhur yang diwajibkan bagi setiap umat Hindu. Kepercayaan atau keimanan di
dalam ajaran agama Hindu dikenal dengan istilah :

A. Panca Sraddha
Panca Sraddha adalah lima macam kepercayaan atau lima macam
keimanan yang antara lain :
1. Keyakinan Terhadap Adanya Tuhan (Widhi Tattwa)
Kita kadang-kadang selalu bertanya dimanakah kita berada
sebelum lahir dan kemanakah kita pergi setelah mati ?. dari manakah
asalnya segala yang ada ini dan kemanakah ia kembali. Kitab-kitab agama
Hindu menyatakan :
Yathoma nabhih srjate grhnate
Yatha prthivyas sambhavanti
Yatha satah purusat kesalomani tathaksarat
Sambhavatiha visvam (Mundaka
Upanisad,1.7)
Terjemahannya :
Seperti laba-laba mengeluarkan dan menarik benangnya,
Seperti tumbuh-tumbuhan bahan obat tumbuh di bumi,

43
Seperti rambut di kepala dan badan orang, demikianlah alam
semesta ini muncul dari Tuhan.
Tuhan menyebabkan mata dapat melihat, telinga mendengar, lidah
mengecap, hidung membaui, kulit merasakan rasa sentuhan dan
pikiran kita dapat berpikir. Ia sumber hidup dan sumber tenaga, dan
dari Dialah asal segala yang ada ini dan kepada-Nya pula segala
yang ada ini kembali. Karena itu Ia disebut Sangkan Paraning
Dumadi, asal dan kembalinya semua makhluk, mendukung
kehidupan semua makhluk. Dalam Sivattva, Tuhan yang dipanggil
sebagai Bhatara Siva, mencipta, memelihara dan mengembalikan
alam ini.
Fungsi Tuhan waktu mencipta disebut Utpatti, waktu menjaga dan
merawatnya disebut sthiti dan mengembalikannya disebut pralina.
Tidak ada apapun yang luput dari proses Utpatti, Sthiti dan Pralina
itu kecuali Tuhan. Tuhan bersifat kekal abadi, bebas dari segala
perubahan alam semesta muncul, hidup dan kemudian akan
mengalami pralaya atau kiamat, hidup manusiapun akan demikian
juga. Yang menyebabkan timbulnya keyakinan di dalam diri
terhadap adanya Tuhan melalui tiga cara yaitu :
a. Agama Pramana yaitu keyakinan yang timbul berdasarkan dengan
membaca kitab-kitab suci Veda dan mendengarkan petuah-petuah dari
orang yang wajar dipercaya. Oleh karena itulah Veda yang merupakan
wahy Tuhan, maka kesaksian Vedalah yang sempurna. Ada sloka yang
menyatakan keyakinan berdasarkan agama pramana seperti :
b. Janma dhyasya yatah (Brahma Sutra 1.1.2)
Artinya :
Tuhan ialah dari mana asal semua ini.
c. Sastrayonitwat (Brahma Sutra 1.1.3)
Artinya :
Hanya kitab suci yang baik untuk mengenal Tuhan
Dari kutipan di atas pada dasarnya menerangkan bahwa Tuhan adalah
Yang Maha Kuasa yang menjadi asal mula dari segala sesuatu.

44
45
d. Anumana Pramana yaitu dengan menyimpulkan dari sesuatu
perhitungan yang logis seperti kita mengetahui bahwa segala yang ada
di dunia ini ada yang mengadakan seperti adanya meja dibuat oleh
tukang kayu adanya rumah dibuat oleh tukang rumah.
Kemudian adanya jutaan planet-planet seperti matahari, bulan, bumi
dan lain-lain yang beraneka ragam serta adanya manusia dan lain
sebagainya. Sehingga timbul pertanyaan siapakah yang
mengadakannya? Jawabannya adalah Ia Yang Maha Pencipta yang
merupakan asal mula dari segala yang ada. Ia yang tanpa permula,
tanpa tengah dan tanpa akhir. Demikian pula di dunia ini ada tata
tertib sehingga tampak adanya suatu rencana yang berdasarkan
pemikiran dan tujuan tertentu misalnya ahli ilmu hayat menyatakan
bahwa maksud bunga berwarna indah adalah tidak lain daripada untuk
menarik kumbang supaya kumbang datang untuk mengisap madu
bunga itu. Madu adalah upah kumbang karena jasanya dalam
memindahkan tepung sari bunga jantan ke dalam putik sari bunga
betina sehingga timbul pengawinan bunga. Pembuahan dan
pembiakan. Begitu pula mengenai siklus kehidupan makhlk di dunia
ini. Peredaran bumi, bulan, matahari serta planet-planet yang
jumlahnya begitu banyak namun satu dengan yang lainnya tidak terjadi
tabrakan.
Dengan penyimpulan berdasarkan gejala-gejala alam ini perang dapat
percaya dengan adanya Tuhan. Makin banyak orang menemui dan
pengalaman biasa maupun keanehan yang timbul karena penyelidikan
ilmu pengetahuan, maka makin kuatlah keyakinan orang akan adanya
Tuhan Yang Maha Esa.

46
e. Pratyaksa Pramana yaitu dengan langsung merasakan atau
mengalami adaNya. Beliau dirasakan secara gaib dan mengherankan.
Tuhan melimpahkan ajaran-ajaran suci untuk membimbing umat
manusia mencapai kesempurnaan lahir bathin. Hanya orang beriman
serta suci secara lahir bathin dapat merasakan getaran-getaran Tuhan
secara gaib. Para Maha Resi adalah orang suci yang dapat mengalami
dan merasakan getaran Tuhan secara langsung. Tuhan membuka tabir
kebesaran dan keagnganNya di hadapan para resi. Bagi para resi
Tuhan tidak lagi menjadi objek keyakinan lagi melainkan pengalaman.
Di dalam Arjuna Wiwaha diterangkan bahwa dengan kesucian bathin
seseorang dapat merasakan wujud Tuhan.

Sasimba haneng ghata mesi banyu


ndan asing suci nirmala mesi wulan iwa
mangkana rakwa ketang kedadin
nidang embeki yoga heting sakala
(Arjuna Wiwaha, II.1)

Artinya :
Bagaikan bulan di dalam tempayan berisi air
di dalam air yang jernih terdapatlah bulan
demikian konon dikau pada makhluk pada
orang yang melakukan yoga engkau menampakkan diri.
Sebagian besar umat biasa yakin berdasarkan agama atau sabda
anumana pramana serta sebagian kecil saja yang yakin berdasarkan
pratyaksa pramana.
Ekam Evadvityam Brahman (hanya ada satu Tuhan
Brahman, tiada duanya) Ekam sat viprah vadanti (hanya ada satu
hakekat Yang Maha Esa Agung para arif bijaksana menyebutkan
dengan berbagai gelar).

47
Demikianlah disebutkan di dalam Mahavakya yang berarti
ungkapan agung atau kitab suci Weda. Tuhan adalah Maha Esa tetapi
disebut dengan berbagai gelar Brahman, purusa menurut kitab suci
Weda. Para pendeta memuja Tuhan dengan doa pujiannya setiap hari
dengan gelar Siwa yang berarti Tuhan Yang Maha Esa dan Maha
Kuasa pelindung kerohanian dan kesucian yang disebut di dalam
ajaran agama Hindu seperti doa di bawah ini :
Om bhur bvah svah
tat savitur varenyam
bhargo devasya dhimahi
dhiyo yo nah pracodayat
Artinya :
Oh Tuhan (yang memenuhi) dunia (bhur), udara (bvah) dan
akasa (svah), Tuhan Yang Maha Agung dan Maha cemerlang
semoga kami menerima suciMu yang gemilang semoga dikau
membimbing pikiran kami untuk mencapai kebenaran.
Om Narayanad evadam sarvam
yadbhutam yasca bhavyam
niskalo nirjano nirvikalpo
nirakhyatah suddho devo eko
narayanah na dvityo sti kascit
Artinya :
Dari Narayana, seluruh (isi alam semesta) ini muncul baik yang
telah ada maupun yang akan terjadi. Dia Maha Gaib, tiada
ternoda, tidak dapat dibayangkan, tidak terungkapkan (dengan
kata-kata wujudNya). Narayana, Tuhan Yang Maha Suci dan
Maha Esa, tiada duanya.
Demikian sebagian dari doa pujian para pendeta atau umat
Hindu menganggungkan Tuhan Yang Maha Esa, pelindung kerohanian
dan kesusilaan atau dharma, Yang Maha Pengasih, penyayang dan
pengampunan, namun dewa-dewa bukanlah dewa tetapi perwujudan
atau personifikasi dari sifat-sifat kemahakuasaan atau keagungan Tuhan
yang mengatur alam semesta, dunia dan akhirat dengan segala isinya.

48
2. Keyakinan Terhadap Adanya Atma
Tuhan Yang Maha Esa yang bersifat maha ada, maha kekal tanpa
awal dan akhir (wyapaka nirwikara). Di dalam Weda Parikrama dikatakan
sebagai berikut :
Eko Devah sarvabhtesu Sarvavyapi Sarvabhtaratma
Karmadhyaksah sarvabhgutadi ceto kavala Nirgunasca.
Maksudnya :
Satu That yang tersembunyi di dalam setiap makhluk yang mengisi
semuanya yang merupakan jiwa bathin semua makhluk. Raja dari semua
perbuatan yang tinggal dalam setiap makhluk, saksi yang hanya terdapat
dalam pikiran saja.
Percikan dalam tubuh manusia disebut Atma atau Jiwatma.
Di dalam Upanisad kedua, 8, ditandaskan :
Ia (Atman) adalah Brahman Tuhan pada diri manusia dan juga pada
matahari alam semesta yang mana sebenarnya adalah satu. Atma adalah
Brahma. Sebagai yang telah kita ketahui bahasa yang disebut Bhuana Alit
itu ialah diri kita sendiri. Kita yakin dan harus yakin bahwa kita adalah Ia
dari Atma, titisan atau turunan dari bagian kecil dari Tuhan dalam diri kita
Atman ini menitis dari asalnya yang mulanya Nirguna kemudian
memasuki saguna yang disebut Perdana atau Prakerti yang biasa kita sebut
jiwa raga atau badan jasmani. Atman disebut juga jiwa karena ia
memberikan hidup raga itu. Jiwa yaitu sesuatu yang hidup dan memberi
nama rupa. Jiwatma disebut nama, raga disebut rupa tegasnya jiwatma
itulah yang diberi nama si A, B, C dan lain-lainnya. Apabila jiwatma itu
hilang dari raganya disebut mati. Yang mati itu bukan si A, B, C
melainkan raga itu karena ditinggal oleh Atmanya. Ramuan raga (tubuh)
terdiri dari Zat Panca Maha Bhuta yaitu :
a. Zat padat/pertiwi seperti tulang belulang dan daging
b. Zat apah seperti darah, lemak, kelenjar-kelenjar dan air
c. Teja atau geni seperti panas.
d. Bayu seperti napas
e. Akasa seperti rambut dan badan

49
Sel darah putih perkembangan dari jiwatma dan sel darah merah dari zat
Predana sari-sari Panca Maha Bhuta.
Tubuh manusia memiliki Daca-Golakatma marga yaitu sepuluh jalan bagi
sinar kekuatan jiwatma sehingga dapat bekerja merupakan Dasendrya
dibagi menjadi dua yaitu :
a. Panca Budhindrya yaitu :
 Caksuindrya adalah indrya yang menilai baik dan buruknya benda
melalui mata.
 Srotendrya adalah indrya yang menilai baik dan buruknya suara
melalui telinga.
 Ghranendrya adalah indrya yang menilai baik dan buruknya bau
melalui hidung.
 Jihwendrya adalah indrya yang menilai perasaan panas dingin,
halus dan kasar melalui kulit.
b. Panca Karmendrya yaitu :
 Panindrya adalah indrya pekerja dengan tangan.
 Padendrya adalah hidup pekerja dengan kaki.
 Gharbendrya adalah indrya pekerja dengan kelamin laki dan
Bhagendrya indrya adalah pekerja dengan kelamin perempuan.
 Payuindrya adalah indrya pekerja dengan pantat.
Dasar golakatma marga ini dapat melakukan tugasnya sebagai dasendrya
apabila dapat sinar kekuatan dari jiwatma.
Tubuh kita mempunyai tiga lapis badan yang dinamai Tri Sarira yaitu :
 Sthula Sarira yaitu badan kasar yang terdapat pada tingkatan alam
terendah atau bhur-loka. Sthula sarira ia bergerak mengadakan kerja
guna tamas yang bersifat sakti serta gerak kerjanya berat sebagai alun
gelombang-gelombang samudra yang besar dan bersifat keduniawian.
Bekerjanya malas dan selalu merasa kurang senang dan mengharap
keuntungan dengan jalan mudah.

50
 Suksma Sarira atau lingga sarira adalah badan halus yang didapat pada
tingkatan alam kerja dari bawah yang dinamai bhuah loka ia
mengadakan kerja yang disebut guna rajas dengan gerak yang sangat
gelisah meresah hebat laksana air samudra ditiup angin ribut
menimbulkan gelar keinginan dan cita-cita menjadi orang pandai,
berkuasa, kaya, sakti dan lain-lain.
 Anta Karana Sarira adalah badan yang lebih luas yang terdapat pada
ruang tersendiri di alam tingkat ketiga dari bawah yaitu swah loka
Antakarana Sarira apabila kena kekuatan jiwatma ia bergerak
mengadakan kerja yang disebut guna sattwam dan bersifat dharma.
Kerjanya tentram laksana air kolam yang terlindung dari rayuan
hembusan angin menimbulkan sifat-sifat dan bakat yang sabar dan adil
tahu akan hak dan rasa ke-Tuhanan yang sangat yakin dan merasakan
adanya suatu kebahagiaan.

Tri Guna berhubungan erat dengan Dasendrya yaitu :


 Guna rajah (rajas) menguasai Panca Budhindrya.
 Guna Sattwa (sattwam) menguasai Panca Tan Matra
 Guna Tamah (tamas) menguasai Panca Karmendrya

51
Di dalam pelaksanaannya sehari-hari adalah demikian. Mula-mula
Panca Budhindrya yang bekerja dengan bantuan guna rajas yang menaruh
sakti kama, misalnya mata melihat suatu benda tetapi bila tidak disertai
rajas maka mata itu tidak menaruh perhatian kepada benda yang
dipandangnya, sama halnya dengan pandangan mata yang sedang
termenung tidak memperhatikan apa-apa. Tetapi bila mata itu dibantu oleh
rajas, maka merupakan caksuindrya menaruh perhatian sungguh-sungguh
dengan nafsu yang ingin mengetahui. Setelah pandangan kepada benda itu
lewat, maka di ruang pandangan khayalnya tampak pula benda yang
dilihatnya tadi itu nyata-nyata inilah dinamai rupa tan matra. Demikian
pula halnya dengan pendengaran telinga yang disertai dengan crotendrya
memberikan bekas pada ruang pendengaran khayalnya suatu sabda tan
matra, pencium bau granendrya memberi kesan gandha tan matra,
persentuhan atau perabaan kulit kepada suatu benda memberikan kesan
sparsa tan matra. Kesan-kesan yang merupakan Panca Tan Matra itu di
samping oleh Tri Guna yaitu sattwam, rajas dan tamas yang bersifat sakti
yaitu : Dharma, Artha dan Kama. Timbangan sattwam dilakukan dengan
Dharma yaitu seni untuk menilai baik, buruk atau indah kasar saja.
Timbangan tamas hanya dilakukan dengan artha yaitu ketamakan tentang
artha benda dunia dan menjadi pembantunya rajas kalau rajas mengatakan
baik, tamas ingin mengambil saja kalau rajas mengatakan buruk tamas
ingin menolak. Rajas dan tamas itu juga merupakan enam musuh dalam
badan yang disebut sad ripu, yaitu : kama (keinginan), kroda (kemarahan),
lobba (loba) Moha (kemabukan), Mada (congkak), Matsarya (irihati).

52
Sad ripu ini bisa mengganggu kita sehari-hari sehingga sering dada
kita merasa panas keinginan-keinginan karena kemarahan, loba mabuk dan
irihati. Karena Atman itu sesngghnya Brahman yang keadaannya
terkurung dalam tiap-tiap makhluk, maka Atman itu luput daripada lahir,
mati, sakit dan lain-lain akan tetapi jiwa dapat kena hal tersebut karena
dapat digelapkan oleh badan rohani. Jika badan wadag mati, Atman
tersebut akan kembali kepada asalnya atau berpindah kepada wadag yang
baru. Kita suci Weda mengajarkan bahwa Atman/jiwatman yaitu roh pada
tiap-tiap makhluk sama wujud dam sifatnya dengan nirguna. Ajaran
tersebut menandaskan Brahma Atma Aikyam artinya Brahman dan Atman
itu tunggal. Brahman dan Atman itu dapat berpisah disebabkan oleh sifat
Avidya dan karena Avidya itu orang mudah terpengaruh oleh maya yang
mengakibatkan kesenangan, akan tetapi orang yang sadar akan berusaha
untuk menghindarkan diri dari belenggu maka ia akan mencapai
kebebasan yang agung dan hidup kembali.

3. Keyakinan Akan Adanya Hukum Karma

53
Karma berasal dari urat kata Kr yang berarti membuat atau
perbuatan. Menurut hukum sebab akibat segala sebab akan membawa
akibat. Segala sebab yang berupa perbuatan akan membawa akibat hasil
perbuatan segala karma akan mengakibatkan karma phala, hukum rantai
sebab dan akibat dan phala perbuatan diwahyukan ke dunia dengan
perantara para resi, maka segala perbuatan baik dan buruk akan membawa
akibat tidak saja di dalam hidup sekarang ini tetapi juga di akhirat. Setelah
membawa atma dengan sukma sariranya terpisah dari sthula sarira dan
membawa akibat pula dalam penjelasan yang akan datang setelah atma
bersama-sama dengan suksma sariranya bersenyawa lagi dengan sthula
sarira Tuhan akan menghukumnya, yakni hukum yang bersendikan pada
Dharma dan dia akan merahmati Atma seseorang yang berjasa dan akan
melakukan amal salleh merahmati Atma seseorang yang berjasa dan yang
melakukan amal salleh serta kebajikan yang suci dan diapun akan
mengampuni atma seseorang yang pernah berbuat dosa bila ia tobat tidak
melakukan dosa lagi. Tuhan akan menjatuhi hukuman kepada Atma yang
tak henti-hentinya berbuat kejahatan dan memasukkan ke dalam neraka.
Di sini Atma mengalami hasil perbuatannya yang berupa nantinya akan
menjelma menjadi orang yang sangat nista dan derajatnya semakin
bertambah merosot jika ia selalu berbuat jahat. Pengaruh karma itu pulalah
yang menentukan corak serta nilai daripada watak manusia. Oleh karena
itu bermacam-macam jenisnya dan tidak banyaknya, maka watak
manusiapun beraneka macam pula ragamnya. Karena yang baik
menciptakan watak yang baik dan karma yang jelek akan mewujudkan
watak yang jelek dan jahat. Hukum karma yang mempengaruhi seseorang
bukan saja diterimanya sendiri melainkan akan diwariskan oleh anak cucu
atau keturunannya. Oleh karena itu ajaran agama menekankan hendaknya
manusia berlaku tidak menyimpang dari petunjuk kerohanian atau
Dharma. Dharma sebagai tujuan hidup yang utama dan mengabdi terhadap
sesama makhluk serta menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran, maka
orang itu akan mendapat berkah dari Tuhan apabila dia menjelma akan
mendapat kebahagiaan hidup di dunia.

54
4. Keyakinan Akan Adanya Punarbhawa
Memang banyaklah orang yang menyangsikan kebenaran dari
Punarbhawa itu bahkan banyak pula yang mencemoohkannya terutama
orang pikirannya telah tercengkam oleh paham tertentu. Tetapi kalau kita
meninjau dengan seksama di dalam sejarah kehidupan manusia atau
kejadian-kejadian yang aneh mengenai kelahiran atau bakat-bakat dan
keadaan dari manusia di dalam kehidupan sehari-hari maka dapatlah kita
mengambil titik tolak untuk menerangkan adanya Punarbhawa itu. Kalau
kita perhatikan keadaan di sekeliling akan terlihatlah bermacam-macam
keadaan di antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Ada
yang lahir di tempat yang kaya, berpribadi yang halus, tata susila yang
baik dan keadaan jasmani yang sempurna sedangkan yang lainnya ada
orang miskin cacat dan lain-lainnya. Berkenaan dengan hal tersebut ada
beberapa orang yang acuh tak acuh mengatakan bahwa keadaan tersebut
adalah terjadi secara kebetulan saja. Di dunia ini tidak ada yang terjadi
secara kebetulan, kalau tanpa sebab ada yang menyebabkan inilah yang
susah dipikirkan oleh orang yang hanya mempunyai kemampuan pikiran
yang biasa karena hal-hal itu terjadi pada kehidupan jauh di dalam
kehidupan yang sekarang dan kehidupan yang dahulu. Proses kelahiram
atau penjelmaan dari satu bentuk kehidupan yang lainnya itulah yang
dinamai Punarbhawa.

5. Keyakinan Akan Adanya Moksa

55
Yang merupakan tujuan hidup umat Hindu ialah mendapatkan
kebahagiaan lahir dan bathin di Mokshartam Jagadhita. Kebahagiaan
bathin yang terdalam ialah bersatunya Atman dengan Brahman yang
disebt Moksa. Moksa berarti kebebasan, kemerdekaan lepas dari ikatan
karma kelahiran, kematian dan penderitaan. Moksa adalah tujuan dari
seluruh umat Agama Hindu dengan menjalankan sembahyang bathin
dengan Dharma (menetapkan cipta), Dhyana (memusatkan cipta) dan
Semadi (mengheningkan cipta) manusia berangsr-angsur akan dapat
mencapai tujuan hidupnya yang tertinggi bebas dari segala ikatan
keduniawian untuk bersatunya Atma dengan Brahman. Jiwa yang besar itu
adalah sukar mencari banyak makhluk akan keluar dan mati serta hidup
kembali tanpa kemauan sendiri. Akan tetapi masih ada satu yang tidak
tampak dan kekal tiada binasa rikala semua makhluk binasa, nah yang
tampak inilah harus menjadi tujuannya yang utama supaya tidak
mengalami penjelmaan ke dunia itulah tempatku yang tertinggi. Oleh
karena itu haruslaha berusaha demi Aku. Jika kau ingat kepadaKu tak usah
disangsikan, engkau akan kembali kepadaKu. Untuk mencapai inilah
orang selalu bergulat, berbuat baik sesuai dengan ajaran agamanya.
B. Diksa (Inisiasi)
Diksa berarti pensucian atau penyucian. Di dalam Kitab Atharwa
Weda XII.1.1. Diksa dianggap merupakan salah satu daripada Sraddha. Diksa
juga disebut Abhiseka. Sebagai unsur dalam pokok keimanan diksa, tapa dan
yadnya dianggap merupakan satu rangkaian pengertian yang arti dan
fungsinya sama sebagai alat untuk sampai pada kesucian oleh karena itu di
dalam Kitab YajurWeda XX.25, dinyatakan :

56
Dengan melakukan brata seseorang memperoleh diksa
dengan melakukan diksa seseorang memperoleh daksina
dengan daksina seseorang memperoleh sraddha dan
dengan sraddha seseorang memperoleh satya.
Dari penjelasan itu diksa adalah dapat dilakukan melalui brata. Dengan brata
itulah seseorang itu didiksa ia menjadi seseorang diksa yang berwenang untuk
melakukan upacara yaitu ngeloka palasraya.
Dengan wewenang untuk melakukan ngeloka palasraya itu seorang diksita
akan memperoleh atau menerima daksina. Diksa adalah cara untk melewati
dari satu fase kehidupan kepada fase kehidupan yang baru dari yang belum
sempurna ke dalam dunia yang lebih sempurna. Dengan diksa itulah seseorang
akan dapat mendekatkan manusia kepada Tuhan dengan melalui diksa itu ia
dapat mempelajari sifat Tuhan. Yang merupakan fungsi dari diksa adalah
sebagai dasar keimanan yang harus diyakini kebenarannya. Dengan keyakinan
akan diksa itu seseorang akan dapat memulai mempelajari ilmu pengetahuan
yang terdapat di dalam Weda dan dapat pula mengajarkannya. Sedangkan
tujuan dari diksa adalah untuk menyucikan diri seseorang secara lahir dan
bathin sehingga dengan upacara diksa itu ia akan dapat melakukan tugas
ngeloka palasraya dan mengajarkan Weda serta belajar Weda.

C. Tapa (Pengendalian Indria)

57
Tapa adalah merupakan unsur keimanan yang mempunyai arti
penguasaan atas nafsu atau melakukan hidup suci untuk dapat hidup baik dan
suci seseorang harus menguasai dirinya sendiri atau penguasaan terhadap
panca indria dan pikiran (manah). Keenam hal tersebut harus dikendalikan
dengan baik karena keenam jenis alat itu mampu akan menjatuhkan manusia
dan menimbulkan penderitaan. Oleh karena itu pengendalian atas keenam
jenis itu dinamakan seperti pengendalian atas keenam itu disamakan dengan
seperti pengendalian atas musuh (ripu) yang dianggap mampu mencelakakan
diri orang itu. Adapun yang merupakan keenam musuh yang ada pada diri
manusia itu adalah kroda, moha, lobha, mana, mada dan rasa yang artinya
masing-masing artinya marah, nafsu, lobha, kesombongan, mabuk, dan
bersenangan yang berlebihan. Di dalam kitab Dharmasastra dijelaskan bahwa
seseorang yang melakukan perbuatan dosa atau mereka yang sadar bahwa
mereka berdosa berkewajiban untuk selalu membersihkan diri. Membersihkan
diri ini disebut wisudha atau melakukan parisudha dengan melakukan tapa
atau brata. Di dalam Weda telah dijelaskan bahwa pada dasarnya manusia
mempunyai kesadaran akan dosa. Hidup mereka tidak luput dari dosa. Dosa
yang ditimbulkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan atau tingkah laku
yang dilakukan secara disengaja maupun tidak disengaja. Semua itu mampu
menimbulkan penderitaan yang menyiksa lahir bathin manusia dan menjadi
hambatan untuk dapat mendekatkan diri mereka kepada Tuhan. Tuhan Yang
Maha Suci hanya dapat didekati melalui kesucian. Untuk mensucikan pikiran
dan indria inilah dilakukan dengan melakukan tapa (brata). Tapa dapat
dilakukan dengan berbagai cara tergantung maksud daripada tapa itu dan besar
kecilnya dosa yang akan disucikan. Ada yang melakukan tapa dengan cara
berpuasa tidak makan dan minum pada hari-hari tertentu, ada yang melakukan
mengurangi makan dan minum dan lain-lainnya. Yang penting di dalam hal
ini bahwa pada dirinya ada niat dan ketetapan untuk dapat memperbaiki
dirinya.
Dari uraian di atas bahwa mempunyai arti yang sangat penting dalam
pembentukan watak manusia dan untuk menyempurnakan sifat manusia
supaya menjadi makhluk yang baik tingkah lakunya, kata-katanya dan
perbuatannya.

58
D. Brahma atau Pujian
Pujian adalah semacam doa yang dalam sehari-harinya disebut Mantra
atau Sruti. Mantra adalah ayat-ayat suci yang dipergunakan untuk melakukan
pemujaan karena itu mantra yang dinamakan doa tetapi sebagai alat doa itu
adalah mantra. Kata-kata lain yang sering dipergunakan yang sama artinya
ialah Atotra atau Stawa yang merupakan ayat-ayat yang dipergunakan untuk
melakukan pujian kepada Tuhan atau lainnya. Di dalam kitab Atharwaweda
XII.1.1. sebagaimana kita telah baca di atas istilah yang sama artinya dengan
kata doa atau mantra itu adalah Brahma. Dalam kehidupan beragama nsur
kepercayaan akan doa (Brahma) merupakan bagian yang sangat penting dalam
setiap kejadian. Doa selalu disampaikan untuk segala tujuan ini merupakan
ciri khas dari tata kehidupan beragama. Tanpa percaya akan kedudukan dan
penggunaan doa itu, maka tidaklah ada artinya doa itu. Telah dikemukakan
bahwa doa adalah salah satu daripada unsur keimanan dalam ajaran Hindu.
Dengan fungsi kedudukan doa sebagai salah satu unsur sraddha dalam agama
menyebabkan kedudukan doa dalam agama sangat penting selain itu juga doa
berfungsi yang tergantung pada tujuan daripada penggunaan doa itu. misalnya
seorang yang lagi susah maka berdoa berarti sebagai alat permohonan untuk
supaya Tuhan mau mendengarkan permintaan mereka dan begitu pula bagi
mereka yang dalam keadaan biasa doa bagi mereka adalah bertujuan untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan. Orang yang melakukan upacara doa mereka
adalah memohon agar mereka dapat diberikan kesucian sehingga dengan
demikian mereka dapat melakukan sembahyang mereka dengan sempurna.
Permohonan kesucian ini diperlukan karena Tuhan yang bersifat Maha Suci
hanya dapat didekati dengan sifat-sifat yang suci pula. Oleh karena itu setiap
mulai ada upacara terlebih dahulu diadakan upacara pensucian (prayascita).

59
BAB VI
TUJUAN HIDUP MANUSIA

Tujuan Instruksional
Menjelaskan pengertian Catur Purusartha
Memahami pembagian Catur Purusartha
Mengiplementasikan dalam kehidupan sehari-hari
Menjelaskan hubungan Catur Purusartha dengan Catur Asrama

A.Pengertian Catur Purusartha


Setiap manusia yang lahir ke dunia ini mempunyai tujuan hidup untuk bisa
mencapai Moksartham Jagadhita ya ca iti Dharma. Tujuan hidup tersebut
diimplementasikan melalui empat tujuan yang disebut Catur Purusa Artha
terdiri dari kata-kata catur berarti empat, purusa berarti jiwa atau manusia dan
artha berarti tujuan hidup. Jadi Catur Purusa Artha berarti empat tujuan hidup
manusia. Catur Varga terdiri dari kata-kata catur berarti empat dan warga
berarti terjalin erat atau golongan. Jadi Catur Varga berarti empat tujuan hidup
yang terjalin erat satu dengan yang lainnya.

60
Pengertian-pengertian yang terurai di atas dapat dikembalikan lagi.
Dengan demikian Catur Purusartha atau Catur Warga adalah empat tujuan
hidup manusia yang mewujudkan suatu perpaduan yang utuh. Penekanan pada
pengertian perpaduan yang utuh tersebut sangat penting, supaya hidup
seseorang dapat mencapai tujuan yang seharusnya.
Uraian dan penjelasan-penjelasan tentang Catur Purusartha tersebut dapat
kita temui dalam sumber-sumber kesusasteraan India yang telah ditulis
berabad-abad lamanya. Uraian semacam itu misalnya dapat ditemui dalam
kitab Mahabratha atau Asta Dasa Parva. Karena kitab-kitab kesusasteraan India
tersebut nantinya banyak yang diterjemahkan dan disadur ke dalam bahasa
Jawa Kuna (Kawi), maka uraian tentang Catur Purusartha banyak juga ditemui
dalam sumber-sumber Jawa Kuna. Misalnya dalam Kakawin Ramayana,
Sarasamuccaya dan sebagainya. Kitab-kitab tersebut adalah merupakan kitab
yang banyak dibaca dan digemari sampai sekarang. Itu berarti ajaran tentang
Catur Purusartha adalah merupakan ajaran yang universal dan berlaku
sepanjang jaman. Banyak interpretasi tentang ajaran tersebut akan ditemui,
namun hakekat ajarannya akan tetap sama.
Di dalam kitab Brahmana Purana mengenai Catur Purusartha disebutkan.

Dharmarthakamamoksanam sariram sadhanan


(Brahma Purana, 228,45)
Artinya :
Tubuh adalah alat (untuk mendapat) Dharma, Artha, Kama dan
Moksa.
Kutipan di atas menjelaskan bahwa manusia harus menyadari apa yang
menjadi tujuan hidupnya. Apa yang harus dicarinya dengan badan yang
dimilikinya. Semuanya itu tak lain adalah Dharma, Artha, Kama dan Moksa.

1.Dharma
Kata dharma berasal dari kata dhr yang berarti menjinjing, memelihara,
memangku, mengatur. Jadi kata dharma dapat berarti sesuatu yang mengatur
atau memelihara dunia beserta semua makhluk. Hal itu dapat pula berarti

61
ajaran-ajaran suci yang mengatur, memelihara atau menuntun umat manusia
untuk mencapai kesejahteraan jasmani dan ketentraman batin.
Dalam Santiparva (109.11) dapat ditemui keterangan tentang arti dharma
sebagai berikut :
Dharapad dharmam ity ahur
Dharmena vidhrtah prajah
Artinya :
Dharma dikatakan datang dari kata dharana (yang
berarti memangku atau mengatur). Dengan dharma semua
makhluk diatur (dipelihara).
Pengertian atau makna yang terkandung dalam kata dharma sebenarnya
sangat luas dan dalam. Bagi mereka yang menekuni ajaran-ajaran agama akan
memberi perhatian yang pokok pada pengertian dharma tersebut. Dalam
kutipan dari kitab Santi Parwa di atas telah tergambar bahwa semua yang ada
di dunia ini telah mempunyai dharma, dan diatur oleh dharma tersebut. Umat
dengan mudahnya menangkap pengertian dharma tersebut, kita ambil
beberapa contoh. Manusia yang memelihara dan mengatur hidupnya untuk
mencapai jagathita dan moksa adalah telah melaksanakan dharma. Artinya
melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai manusia tak lain adalah
pelaksanaan dharma.
Dalam kitab Sarasamuccaya dapat dibaca :
Kamarthau lpsamanas tu dharmam evaditas caret.
Na hi dharmadapetyarthah kamo vapi kadacana.
Yan paramarthanya, yan arthakama sadhyan, dharma juga
irekasakna rumuhun, niyata katemwan in artha kama mne tan
paramartha wi katemwan in arthakama denin anasar saken dharma
(12).
Artinya :
Kesimpulannya, kalau artha dan kama yang dituntut, maka
seharusnya dharma dilakukan lebih dahulu, tak tersangsikan
lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti, tidak akan
ada artinya jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari
dharma.

62
Dalam petikan di atas ditekankan bahwa dharma mesti dilaksanakan,
maka
artha dan kama datang dengan sendirinya.
Apakah yang menjadi sumber ajaran dharma ?
Dalam kitab Sarasamuccaya dinyatakan segala yang diajarkan oleh sruti
disebut dharma, demikian pula yang diajarkan oleh Smerti. Disamping itu
tingkah laku sang sista disebut juga dharma. Sista artinya orang yang berkata
jujur, yang setia pada kata-katanya, orang dapat dipercaya, orang yang menjadi
tempat pensucian diri, orang yang memberikan ajaran-ajaran atau nasehat-
nasehat. Jelaslah sekarang bahwa dharma dalam ajaran agama Hindu
menduduki tempat yang amat penting. Dalam kaitannya dengan tata susila
agama, maka dharma merupakan dasarnya. Segala perilaku orang yang
bijaksana, satya wacana, jujur, tulis, ikhlas lahir batin, pendeknya yang berbuat
sesuai dengan subha karma sudah pasti berlandaskan dharma. Sedangkan yang
termasuk subhakarma antara lain Tri Kaya Parisudha yang terdiri dari :
manacika (berpikir yang baik dan benar), vacika (berkata yang baik dan
benar), kayika (berbuat yang baik dan benar).
Selanjutnya perlu dipahami sebagaimana sebenarnya kedudukan dharma
diantara bagian catur purusartha yang lain. Dalam kitab Udyoga Parwa yang
bagian dari Asta dasa parva ditemui ucapan berikut :
Ikan dharma naranya, hetu min mara rin swarga ika, kadi gati nin
perahu, an hetu min banyaga nentas in tasik (14).
Artinya :
Yang disebut dharma, merupakan jalan untuk pergi ke sorga,
sebagai halnya perahu, sesungguhnya merupakan alat bagi
pedagang untuk mengarungi lautan.
Dalam Manu Samhita dikatakan :
Veda pramanakah sreyah sadhanam dharmah (1)
Artinya :
Di dalam ajaran suci Veda dharma dikatakan sebagai alat untuk
mencapai kesempurnaan (1).

2.Artha

63
Kata artha dapat mempunyai beberapa makna. Di atas telah diuraikan
bahwa dalam kaitannya dengan kata purusartha, kata artha dapat berarti tujuan.
Demikian pula dalam kaitannya dengan kata parama artha (tujuan yang
tertinggi), parartha (tujuan atau kepentingan orang lain) dan sebagainya. Tetapi
sebagai tujuan dari catur purusartha, kata artha berarti harta atau kekayaan.
Ajaran agama Hindu sangat memperhatikan kedudukan dan fungsi artha
tersebut dalam kehidupan. Mencari dan memiliki artha bukanlah sesuatu yang
dilarang, malahan merupakan sesuatu hal yang dianjurkan. Asal semuanya itu
diperoleh berdasarkan dharma, dan digunakan untuk kepentingan dharma pula.
Ajaran agama Hindu menegaskan bahwa artha sebenarnya bukanlah
merupakan tujuan, namun hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan.
Sebagaimana telah diuraikan bahwa tujuan hidup yang terakhir menurut ajaran
agama Hindu adalah untuk mencapai kebahagiaan dalam penunggalan dengan
Sang Hyang Widhi, yang disebut juga moksa atau kelepasan. Artha sebagai
sarana untuk mencapai tujuan tersebut menduduki tempat yang sangat penting
pula setelah dharma.
Dalam kitab Sarasamuccaya disebutkan :
Apan ikan artha, yan dharma lwir nin karjanaya, ya ika labha
naranya paramartha nin amangih sukha san tumemwaken ika, kunen
yan adharma lwir nin karjananya, kasmala ika, siningahan de san
sajjana, matannya haywa anasar sangken dharma, ya tanarjana
(263).
Artinya :
Sebab artha itu, jika dharma landasan memperolehnya, laba atau
untung namanya, sungguh-sungguh mengalami kesenangan
orang yang memperoleh harta tersebut, namun jika artha itu
diperoleh dengan jalan adharma, maka harta itu adalah
merupakan noda, hal itu dihindari oleh orang yang berbudi
utama, oleh karenanya janganlah bertindak menyalahi dharma,
jika hendak berusaha menuntut sesuatu.
Di samping itu ajaran agama Hindu ada memperinci beberapa larangan
dalam rangka memperoleh artha. Misalnya harta yang diperoleh dengan jalan
jahat antara lain dengan melakukan siksaan, harta yang diperoleh dengan jalan

64
melanggar hukum dan sebagainya. Jelaslah semua harta kekayaan itu mesti di
dapat berdasarkan dharma.
Bagaimana halnya dengan cara penggunaan harta tersebut ? Harta yang
diperoleh atau dimiliki dalam penggunaan harus dibagi tiga :

a.Sadhana ri kasiddhan in dharma


Artinya dipakai untuk memenuhi dharma. Sebagai contoh adalah untuk
melakukan kewajiban-kewajiban hidup sebagai manusia, pelaksanaan
pancayajna dan sebagainya.

b.Sadhana ri kasiddhan in kama


Artinya dipakai untuk memenuhi kama. Sebagai contoh adalah untuk kegiatan
kesenian, olah raga, rekreasi dan sebagainya.

c. Sadhana ri kasiddhan in artha


Artinya dipakai untuk mendapatkan harta kembali. Sebagai contoh untuk
kegiatan memproduksi sesuatu, kegiatan ekonomi dan sebagainya.
Pada bagian lain didapat penjelasan bahwa sebenarnya kegunaan dari harta
atau kekayaan itu yaitu untuk disedekahkan. Memang ajaran agama Hindu
banyak menguraikan bagaimana kaitan antara artha dengan dana punya atau
sedekah itu. Bedanya, punya atau bersedekah adalah sesuatu yang paling sulit
dikerjakan, tak lain karena sangat besar terlekatnya hati pada harta benda yang
akan disedekahkan, terlebih lagi karena harta benda tersebut didapat dengan
bersusah payah. Namun pahala dari bersedekah yang dilaksanakan dengan
tulus ikhlas tersebut adalah tak ternilai harganya.
Dalam ajaran agama Hindu berkali-kali ditekankan bahwa harta kekayaan
itu tidak akan dibawa mati. Yang akan meringankan dan menuntun pergi ke
akhirat adalah perbuatan baik atau buruk. Karenanya harta kekayaan itu
hendaknya disedekahkan, dipakai dan diabdikan untuk perbuatan dharma.
Hanya dengan demikian harta tersebut mempunyai nilai yang utama.

3.Kama

65
Kama berarti nafsu atau keinginan yang dapat memberikan kepuasan atau
kesejahteraan hidup. Kepuasan atau kenikmatan tersebut memang merupakan
salah satu tujuan atau kebutuhan manusia, karena manusia mempunyai
dasendria (sepuluh indria) yaitu :
 Srotendriya : keinginan untuk mendengar
 Twagendriya : keinginan untuk merasakan sentuhan
 Caksvindriya : keinginan untuk melihat
 Jihwendriya : keinginan untuk mengecap
 Ghranendriya : keinginan untuk mencium
 Wagindriya : keinginan untuk berkata
 Panindriya : keinginan untuk memegang sesuatu
 Padendriya : keinginan untuk bergerak, berjalan
 Payuindriya : keinginan untuk membuang kotoran
 Upasthendriya : keinginan untuk kenikmatan dengan kelamin
Kesepuluh indriya tersebut menyebabkan manusia berbuat sesuatu,
karenanya betapa pentingnya indriya tersebut. Perasaan ingin tahu, yang
senantiasa menyebabkan manusia memiliki pengetahuan adalah diakibatkan
oleh adanya indriya itu juga.
Namun indriya tersebut perlu dikendalikan, karena ia sering juga dapat
menjerumuskan manusia. Indriya sering diumpamakan seperti kuda liar, yang
kalau dapat dikendalikan akan merupakan kekuatan yang luar biasa.
Kama atau kesenangan / kenikmatan menurut ajaran agama tidak akan ada
artinya jika diperoleh menyimpang dari dharma. Karenanya dharma
menduduki tempat di atas dari kama, dan menjadi pedoman dalam pencapaian
kama.
Dalam hal ini dikemukakan suatu contoh, bagaimanakah hendaknya
seorang raja dalam pencapaian kama tersebut.
Dalam kakawin Ramayana adalah disebutkan :
Dewakusalasala mwang dharma, ya pahayun mas ya ta
pahawreddhin byaya ring bayu kekesan bhukti sakaharepta dwehi ng
bala kasukhan dharma mwang artha mwang kama ta ngaran ika.
Artinya :

66
Tempat-tempat suci hendaknya dipelihara, kumpulkanlah emas yang
banyak serta diabdikan untuk pekerjaan yang baik, nikmati
kesenangan dengan memberi kesempatan bersenang-senang kepada
rakyatmu, itulah yang disebut dharma, artha dan kama.
Dalam bait kakawin Ramayana di atas telah dinyatakan bahwa kenikmatan
(kama) hendaknya terletak dalam kemungkinan yang diberikan kepada orang
lain untuk merasakan kenikmatan. Jadi pekerjaan yang bersifat ingin
menguntungkan diri sendiri dalam memperoleh harta dan kenikmatan tidak
dilaksanakan.

4.Moksa
Moksa adalah merupakan tujuan terakhir dan tertinggi dari manusia.
Moksa berarti kebebasan atau kelepasan. Maksudnya adalah suatu kebahagiaan
dimana atma dapat lepas dari pengaruh maya dan ikatan subha-asubhakarma,
serta bersatu kembali dengan asalnya yaitu Brahman. Hal seperti itu disamping
disebut moksa juga disebut mukti atau nirvana.
Pada hakekatnya setiap manusia mendambakan apa yang disebut
kebahagiaan yang kekal abadi (sat-cit-ananda), namun kebahagiaan seperti itu
tak kunjung dirasakan. Menurut ajaran agama Hindu kebahagiaan yang sejati
ata kebahagiaan yang kekal abadi hanya didapat dalam persatuan dengan Ida
Sang Hyang Widhi yang disebut moksa itu. Manusia harus menyadari bahwa
perjalanan hidupnya pada hakekatnya adalah perjalanan mencari Ida Sang
Hyang Widhi lalu bersatu dengan beliau. Perjalanan seperti itu adalah
perjalanan yang penuh dengan rintangan, bagaikan mengarungi samudra yang
bergelombang. Sudah dikatakan di atas bahwa ajaran agama telah menyiapkan
sebuah perahu untuk mengarungi samudra itu, yaitu dharma. Hanya dengan
berbuat berdasarkan dharma, manusia akan dapat mengarungi dengan selamat
samudra yang luas dan ganas itu.
Demikianlah pembagian dan susunan dari satu purusartha (catur warga).
Dari uraian di atas terlihat betapa pentingnya kedudukan ajaran catur purusa
artha tersebut untuk dapat dimengerti dan dilaksanakan oleh dharma sebagai
pengendali artha dan kama yang merupakan sarana untuk mencapai

67
kebahagiaan yang hakiki dalam penunggalan dengan Ida Sang Hyang Widhi
atau moksa.

B.Hubungan Catur Purusartha dengan Catur Asrama


Catur Asrama adalah empat lapangan hidup (pangasraman) yang
berdasarkan petunjuk kerohanian. Catur Asrama terdiri dari :
1.Brahmacari, yaitu tingkat hidup dalam ketekunan mencari ilmu
pengetahuan atau tingkat hidup berguru.
2.Grhasta, yaitu tingkat hidup berumah tangga.
3.Wanaprastha, yaitu tingkat hidup dalam pengunduran diri dari
kesibukan dalam masyarakat.
4.Sannyasa (Bhiksuka), tingkat hidup yang telah melepaskan sama sekali
ikatan
keduniawian, atau disebut juga tingkat hidup berkelana. Pembagian empat
tingkat masa kehidupan hanya bersifat informal yang nantinya mempunyai
kaitan erat dengan catur Purusartha. Dengan kata lain Catur Purusartha adalah
merupakan filsafat hidup dari Catur Asrama.
Dalam tingkat hidup Brahmacari asrama, kedudukan dharma (dalam hal
ini berarti ilmu pengetahuan kebenaran) menjadi amat penting. Dharma adalah
merupakan tujuan pokok dalam tingkat hidup Brahmacari ini. Rtha dan kama
dalam hal ini belum mendapat tempat yang begitu penting. Sebagaimana halnya
dharma yang menjadi dasar pencapaian artha, kama dan moksa, maka
brahmacari adalah merupakan dasar asrama yang lain yaitu Grhasta,
Wanaprasta dan Bhiksuka. Tingkat hidup brahmacari asrama yang sering
disebut juga kehidupan aguron-guron atau asewaka guru adalah suatu tingkat
kehidupan yang memerlukan ketekunan, kesungguhan. Karena dalam masa ini
seorang brahmacari akan menerima wejangan-wejangan dari guru, sekaligus
berarti menghadapi ilmu pengetahuan yang memerlukan pemikiran yang
sungguh-sungguh. Dalam brahmacari seorang siswa akan membentuk wataknya
sehingga mempunyai pribadi yang utama berdasarkan dharma.
Setelah melewati masa brahmacari seseorang diwajibkan untuk memasuki
Grhasta. Dalam tingkat hidup Grhasta asrama ini masalah artha dan kama
menjadi tujuan hidup yang cukup penting. Namun dalam mendapatkan artha

68
dan kama tersebut senantiasa berdasarkan dharma. Seseorang yang telah
memasuki Grhasta asrama akan mempunyai bermacam-macam kewajiban, baik
kewajiban yang berkaitan dengan masalah keagamaan maupun kemasyarakatan.
Di samping mempunyai kewajiban untuk melanjutkan keturunan, seorang
grhastin berkewajiban pula untuk melaksanakan yajna dan Bhuta yajna. Jelaslah
bahwa kehidupan dalam masa Grhasta ini adalah merupakan tingkat hidup yang
sangat berat. Namun apabila semua kewajiban-kewajiban tersebut dapat
dilaksanakan berdasarkan dharma maka masa hidup ini adalah sangat mulia.
Masa hidup Wanaprastha adalah masa berikutnya setelah masa hidup
Grhasta. Seseorang yang telah memasuki masa kehidupan ini akan mulai
mengasingkan dirinya dari kegiatan kehidupan kemasyarakatan. Hal ini berarti
pula bahwa manfaat dari artha dan kama telah berkurang. Sehingga artha dan
kama dalam tingkat hidup Vanaprastha ini tidak mempunyai kedudukan yang
penting. Memasuki tingkat hidup Vanaprastha berarti berani melepaskan diri
dari ikatan artha dan kama tersebut. Sedangkan tujuan pokok adalah untuk
mencapai moksa. Untuk dapat memasuki tingkat hidup ini sudah tentu mesti
diawali dengan persiapan-persiapan yang matang, yang berarti pula telah dapat
menyelesaikan dengan baik kewajiban-kewajiban dalam keluarga. Untuk dapat
mencapai tujuan akhir yaitu penunggalan dengan Ida Sang Hyang Widhi, maka
pada masa ini kegiatan yang dilakukan lebih banyak berupa tapa brata atau
samadhi.
Tingkat hidup yang terakhir adalah Sannyasa atau Bhiksuka. Sebenarnya
antara tingkat hidup Vanaprastha dengan Sannyasa tidak banyak bedanya.
Dalam tingkat Sannyasa seseorang telah benar0benar matang dalam samadhi-
nya. Tidak ada sesuatu yang berarti yang masih mengikat pikiran seseorang
Sannyasa. Seorang Sannyasa benar-benar sudah tanpa keiginan untuk mencapai
artha dan kama. Hanya satu yang menjadi tujuannya yaitu mencapai
penunggalan dengan Ida Sang Hyang Widhi yang berupa suka tan pawali dukha
yaitu moksa. Seorang Sannyasa akan lebih banyak melakukan dharma yatra
atau tirtha yatra yaitu mengunjungi tempat-tempat suci.
Uraian di atas telah menunjukkan bahwa tiap-tiap tingkat kehidupan
ternyata mempunyai tujuan pokok. Dengan jelas pula dapat diketahui dalam
masa Brahmacari, saat mana dharma merupakan tujuan utama, adalah

69
merupakan tingkat hidup yang sangat menentukan berhasilnya tingkat hidup
yang lain, yaitu Grhasta, Vanaprasta dan Sannyasa. Dengan kata lain Grhasta,
Vanaprasta dan Sannyasa tidak akan tercapai dengan baik tanpa terlebih dahulu
dapat menghayati dharma. Di samping itu tingkat hidup Grhasta dalam kitab-
kitab seperti dinyatakan pula sebagai tingkat kehidupan yang sangat penting.
Karena pada masa itu tujuan hidup yang berupa dharma, artha dan kama
(disebut juga Triwarga) benar-benar tercakup seutuhnya.

70
BAB VII
CATUR MARGA

Tujuan Instruksional
Menjelaskan tentang pengertian Catur Marga
Memahami pembagian Catur Marga
Melaksanakan Catur Marga dalam menjalankan aktivitas keagamaan.
Catur Marga adalah empat buah jalan yang bisa ditempuh untuk mencapai

A. Pengertian Catur Marga


Catur Marga adalah empat buah jalan yang bisa ditempuh untuk mencapai
tujuan hidup manusia, keempat jalan itu sama utamanya. Yang dimaksud
Catur Marga itu adalah : Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga dan Yoga
Marga. Setiap orang bebas memilih salah satu dari keempat jalan ini sesuai
dengan kondisi masing-masing. Keempat marga ini hendaknya digerakkan
secara harmonis seperti seekor burung, sayap kanannya adalah bhakti marga,
sayap kirinya adalah jnana marga, sedangkan ekornya burung adalah raja
marga dan kekuatan pendorongnya adalah karma marga. Seekor burung akan
bisa melayang dengan baik kalau sayap kiri dan kanannya seimbang. Burung
tidak akan mencapai tujuan yang dikehendaki kalau tidak mempunyai daya
dorong yang kuat. Kemudian sayap ekor yang berfungsi sebagai kemudi
mengarahkan sebaik-baiknya supaya jangan terbangnya menyimpang dari
tujuan.
B. Bagian-Bagian Catur Marga
1.Bhakti Marga
Bhakti artinya cinta kasih. Istilah itu digunakan adalah untuk
pernyataan cinta kasih kepada sesuatu yang lebih dihormati seperti : Ida Sang
Hyang Widhi, Negara, serta pribadi-pribadi yang mesti dihormati. Bhakti
dibagi atas dua tingkat yaitu :
 Aparabhakti adalah cinta kasih yang perwujudannya lebih rendah dan
dipraktekkan oleh mereka yang belum mempunyai tingkat kerohanian
yang lebih tinggi.

71
 Parabhakti adalah cinta kasih dalam perwujudannya yang lebih tinggi
dan kerohaniannya lebih meningkat.
Ajaran Bhakti adalah ajaran yang langsung mencari Tuhan yang mudah
diterima dan dilaksanakan oleh orang awam, baik orang miskin, kaya., petani,
orang pandai, pejabat dapat menempuh jalan ini. Seorang Bhakta (penganut
bhakti marga) adalah orang yang penuh cinta kasih cinta kepada Tuhan, cinta
alam semesta ciptaan Tuhan. Bagi seorang Bhakta tidak perlu tahu apakah
Tuhan itu baik atau buruk, besar atau kecil, kuasa atau tidak kuasa, yang
penting bagi mereka Tuhan adalah dicintai.
Seorang Bhakta mencintai Tuhan karena ingin mendapat imbalan supaya mask
sorga maupun moksa, karena bagi mereka kebahagiaan tertinggi itu adalah
bercinta kepada Tuhan. Bhakti Marga menggunakan rasa sebagai sarana, rasa
cinta yang alamiah tetapi meluap-luap, rasa cinta yang seperti aliran sungai
yang bergerak dengan deras karena rindunya bertemu dengan laut. Hampir
semua agama besar yang ada di dunia adalah berdasar kepada cinta kasih atau
Bhakti Marga, jalan ini di samping mudah juga wajar bagi semua lapisan
masyarakat bisa melaksanakan dan bahayanyapun kurang. Adapun gejala-
gejala bhakti dalam kehidupan sehari-hari adalah :

a.Kerinduan Untuk Bertemu


Sebagaimana halnya seorang yang jatuh cinta, maka setiap saat
rasanya dia ingin mengunjungi kekasihnya, dia rindu untuk bertemu
menyampaikan rasa hatinya. Di dalam agama keinginan untuk bertemu itu
diwujudkan dengan sembahyang. Demikian orang yang sudah bergetar
dengan rasa cinta kepada Tuhan akan taat melaksanakan persembahyangan
dan setiap sembahyang tiba dia merasakan kerinduan yang mendesak.
Sebelum rasa demikian dirasakan, maka secara jujur belum boleh
seseorang menyebutkan dirinya bhakti, meskipun mereka sembahyang
seribu kali dalam sehari, sembahyang tanpa dorongan kerinduan tidak
akan banyak manfaatnya apalagi sembahyang sekedar ikut-ikutan ata
terpaksa adalah perbuatan yang sia-sia. Kesungguhan dan kemantapan
adalah dasar utama untuk dapat merealisiasi Tuhan dalam pikiran.

72
b.Keinginan Untuk Berkorban
Rasa bhakti dan rasa cintalah yang melahirkan suatu keikhlasan
untuk berkorban, sebagaimana halnya seorang pemuda yang jatuh cinta
pada seorang gadis di samping rindu ingin bertemu juga ingin memberikan
sesuatu yang berbentuk materi maupun tenaga, inginlah dia menyerahkan
segala harta miliknya, ingin pula dia berbuat sesuatu yang bisa
menyenangkan kekasihnya meskipun kekasih belum memintanya.
Demikianlah pula kita lihat di masyarakat Hindu, meskipun mereka tidak
memiliki uang tidak segan-segan untuk meminjam kepada teman mereka
agar dapat mempersembahkan sajen pada waktu upacara. Dengan rasa
bhakti mereka menjadi mantap, upacara sangat penting dilakukan dengan
penuh keikhlasan berkorban dan bebas dari pamrih.
Di dalam Bhagawadgita disebutkan sebagai berikut :
Yajna dana tapah karma
Na tyajyam karyam eva tat
Yadano danam chai va
Pavanani manishim
(Bhg. XIII.5)

Artinya :
Mengadakan upacara, sedekah dan tapa brata jangan diabaikan melainkan
harus dilakukan sebab upacara sedekah serta tapa brata adalah bagi orang
arif bijaksana.

73
Demi bhakti ke hadapan Tuhan umat Hindu ikhlas membeli buah-
buahan untuk membuat gebogan, memotong ayam, melengkapi dengan
telor dan sebagainya yang bisa menghabiskan uang pilihan ribu rupiah.
kalau tidak dengan alasan upacara agama, belum tentu mereka akan
membeli buah ataupun daging walaupun semuanya memberikan manfaat
kesehatan bagi seluruh anggota keluarganya. Andaikata dia mempunyai
kebun pisang dan berbuah masak, mereka lebih suka menjualnya agar
dapat uang lebih banyak disisihkan dan yang kecil-kecil saja untuk
diberikan kepada anak-anaknya, mereka masih lebih mencintai uang
daripada kesehatan. Tetapi sebaliknya kalau ada keperluan upacara mereka
rela untuk mengeluarkan uang demi upacara. Inilah ciri dari seorang bhakti
keinginan untuk mempersembahkan segala sesuatu yang mereka miliki
demi bhakti.
Dalam melaksanakan upacara ada pantangan-pantangan yang perlu
ditaati seperti tidak boleh marah, tetap memegang kesucian dan kejujuran.
Seorang bhakta tidak kenal payah, pura-pura yang jauh di puncak gunung
maupun di tepi laut mereka kunjungi, persiapan-persiapan yang
memerlukan tenaga berhari-hari mereka melaksanakan dengan senang
karena bhakti. Pengorbanan seorang bhakta adalah pengorbanan tanpa
pamrih demi Tuhan yang mereka cintai.

c.Keinginan Untuk Mewujudkan Tuhan

74
Apakah Tuhan agama Hindu mempunyai wujud? Apakah Tuhan
agama Hindu itu sama dengan manusia sehingga dipersembahkan sajen-
sajen yang terdiri dari bermacam-macam makanan? Kalau tidak mengapa
umat Hindu membuat patung-patung, sajen-sajen dan sebagainya? Untuk
memahami marilah kita jangan melihat filsafatnya saja tetapi hendaknya
memahami bagaimana cara-cara penghayatan bagi orang awam. Dalam
bait Tri Sandya disebutkan Om Sanghyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa)
yang diberi gelar Narayana, segala makhluk yang ada berasal dari Tuhan,
Dikau bersifat gaib tak berwujud, tak terbatas oleh waktu, Dikau Maha
Cemerlang, Maha Suci, Maha Esa, tidak ada duanya, disebut Narayana
dan dipuja oleh semua makhluk. Di sini jelas Tuhan tidak berwujud dan
tidak dapat diwujudkan tetapi mengapa ada patung-patung dewa?

75
Marilah kita lepaskan segala prasangka dan tuduhan dengan mengambil
banding pada apa yang dilakukan oleh orang intelek dan modern. Kita tahu
semua bangsa di dunia mencintai dan menghormati bangsanya tetapi tidak
seorang pun tahu bagaimana sebenarnya rupa dari bangsa itu. Bangsa
Indonesia menggambarkan simbul bangsanya itu dengan bendera Merah
Putih, Garuda Pancasila dan sebagainya. Apakah memang betul bangsa
Indonesia itu? Bendera Merah Putih itu hanya secarik kain yang terdiri
dari warna merah dan warna putih apakah kita menghormati kain? Yang
merupakan ciptaan manusia. Apakah kita menghormati binatang seperti
burng garuda itu hanya merupakan simbk keinginan manusia yang ingin
menvisualisasikan bentuk-bentuk yang abstrak, untuk lebih mudah
dimengerti ata dihayati oleh orang awam. Demikianlah Tuhan dalam
agama Hindu seperti yang terdapat dalam Weda bahwa Tuhan tidak dapat
digambarkan, dipikirkan jga tidak. Tetapi kalau orang sembahyang tidak
menggambarkan bentuk yang disembah, maka konsentrasinya tidak akan
sempurna. Meskipun tidak berwujud patung, orang sembahyang tentu
menggambarkan Tuhan itu di dalam hatinya dalam bentuk pikiran,
namapun juga sebuah simbul, nama baru ada kalau ada bentuk walaupun
bentuk yang bersifat abstrak. Istilah Tuhan adalah simbul untuk menamai
bentuk pikiran yang tidak dapat dilukiskan karena sebenarnya,
kecenderungan ingin melukiskan Tuhan dalam bentuk patung adalah
cetusan rasa cinta.

76
d.Persembahan
Jika kita melihat Hindu membawa sajen ke Pura penuh dengan
buah-buahan dan makanan yang lezat tentu orang berpikir apakah Tuhan
agama Hindu seperti manusia ska makan yang enak-enak?
Demikian pula jika pura dihias dan diukir demikian indah mungkin
orang berpikir Tuhan umat Hindu suka dengan seni dan suka pula dengan
nonton tari-tarian. Secara filosofis kita bisa mengatakan bahwa Tuhan
Maha Esa, Beliau menciptakan alam semesta mengadakan semua
makanan, menciptakan semua keindahan tidak akan kelaparan jika tidak
dipersembahkan sajen. Apakah artinya persembahan yang kecil ini di mata
Tuhan, sedangkan Beliau memiliki alam semesta ini semua. Tuhan tidak
memerlukan semua ini hanya manusialah yang menganggap ini perlu,
semua sajen dan kesenian ini hanyalah sebagai alat untuk rasa bakti atau
cintanya kepada Tuhan. Seperti seorang ibu yang mencintai bayinya yang
berumur tiga bulan, si ibu membuatkan baju bagus untuk anaknya, dia
buatkan kalung emas buat bayinya padahal bayinya tidak meminta bahkan
tidak mengerti apa arti daripada kalung tersebt dan baju yang bagus itu.
Semua pemberian dari si ibu yang lahir dari dorongan rasa cinta kasih itu
membikin bahagia si ibu karena dia merasa telah berbuat sebaik-baiknya
untuk bayinya yang dikasihinya. Demikianlah sajen dan kesenian yang
disuguhkan pada waktu ada upacara agama mat Hindu, secara spiritual
memberikan kebahagiaan kepada orang yang melaksanakan karena semua
alat ini mereka bisa mencurahkan rasa bhakti atau rasa cinta kasihnya.
Tuhan tidak minta untuk dipuja tetapi manusialah yang mencurahkan rasa
bhaktinya. Bagi orang awam persembahan itu diyakini akan membikin
Tuhan menjadi senang. Cetusan rasa cinta yang suci terwujud dalam
keinginan untuk memberi dan berkorban, tetapi sebaliknya jika cinta telah
dihinggapi oleh keserakahan, maka lahirlah keinginan untuk memiliki dan
menuntut dengan penuh nafsu.

77
e.Tempat dan Arah Memuja Ida Sanghyang Widhi

78
Umat Hindu percaya bahwa alam semesta dengan bintang dan
planet di ruang angkasa yang tidak terlihat oleh mata bahkan teropong-
teropong bintang sekalipun, sebenarnya ada di dalam diri Ida Sanghyang
Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). bumi kita tidak lebih dari sebuah
sel dari tubuh Ida Sanghyang Widhi. Kalau kita bandingkan diri kita
seperti satu titik di dalam samudra, titik air tidak boleh dikatakan samudra
tetapi sebaliknya di dalam samudra titik air ini merupakan bagian kecil
dari samudra. Dalam titik air ini sifat asin dari samudra ada, demikian
pulalah manusia walaupun berada di dalam diri Tuhan tidak bisa
mengatakan dirinya Tuhan, meskipun sifat-sifat Ketuhanan itu ada dalam
diri manusia. Dalam susunan yang demikian, maka sulit untuk mengatakan
di mana sebenarnya Tuhan itu bertahta. Beliau ada di mana-mana dan
tidak ada tempat di mana Beliau tidak ada. Jika Tuhan berada di mana-
mana mengapa manusia memuja Tuhan di tempat-tempat ibadat, apa
perlunya membuat pura bahkan dari tempat tidur saja bisa sembahyanga?
Cara yang paling mudah dan indah untuk mendekati Tuhan adalah melalui
rasa. Untuk membangkitkan rasa agama, rasa cinta kepada Tuhan, maka
diperlukan suatu kondisi tertentu, kondisi yang bisa menggiring agar rasa
Ketuhanan muncul dan bergelora dengan mantap. Hal inilah yang
menyebabkan umat Hindu membuat pura mereka di tempat-tempat yang
indah, tempat-tempat bersejarah ata tempat-tempat yang bisa
membangkitkan kekaguman akan kebesaran Tuhan di samping dekat dan
mudah dicapai oleh umatNya. Pura-pura Sad Kahyangan di Bali
merupakan pura-pura inti seperti pura Besakih, Batur, Lempuyang,
Uluwatu, Watukaru, Puncak Mangu dan lain-lainnya semua penuh dengan
ketenangan, keindahan dan keagungan. Di tempat-tempat ini orang dirinya
kecil di tengah-tengah kebesaran dan keindahan alam yang diciptakan oleh
Ida Sanghyang Widhi. Dalam kondisi yang demikian, maka orang akan
mudah mengagumi dan menghormati Tuhan, di tempat yang demikian rasa
ego mulai melenyap diganti rasa kagum dan hormat, maka konsentrasi
pikiran kepada Tuhanpun akan lebih mantap dan terpusat. Bahan dan
bentuk purapun tidak dibuat menyerupai rumah tempat tinggal ataupun
menyerupai gedung perkantoran. Bagi umat Hindu pura itu dengan bentuk

79
dan bahan yang lain dari yang lain, sehingga bila kita masuk pura, maka
perasaanpun seperti masuk Kahyangan dan Tuhan rasanya di sana.
Gunung dan matahari adalah merupakan kiblat (arah) di mana umat
Hindu menundukkan kepala ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi sebagai
perwujudan rasa bhakti. Gunung yang dikenal dengan nama Acala Lingga
yang berarti tempat Tuhan yang tidak bergerak, karena kenyataannya
gunung tidak bisa dipindahkan namun umat Hindu yakin gunung adalah
sebagai linggih Ida Sang Hyang Widhi. Mengapa Tuhan dipuja di puncak
gunung? Bukankah Tuhan Tuhan ada di mana-mana? Meskipun Tuhan
ada di mana-mana tetapi pada saat umatnya memujanya Beliau
didudukkan di tempat yang ketinggian. Makin tinggi suatu tempat, maka
makin mulialah yang dipujanya. Itu pula sebabnya gunung Mahameru
yang tertinggi di India dianggap sebagai linggih Ciwa. Di Pulau Jawa
gunung Semerulah yang merupakan gunung Mahamerunya umat Hindu
pada jaman dahulu. Sedangkan di Bali gunung Tolangkir atau gunung
Agung adalah merupakan linggih Ida Sang Hyang Widhi (Ciwa). Di pura-
pura bangunan meru merupakan simbul gunung, di mana kata meru
mengingatkan kita kepada gunung Mahameru dan Semeru. Hal kedua
yang menyebabkan gunung yang mempunyai arti penting adalah karena
dengan adanya gunung inilah manusia dapat menikmati air untuk diminum
maupun mengaliri sawahnya. Gunung dengan hutan dan tanahnya yang
gembur menyebabkan air hujan masuk dan disimpan di dalam tanah serta
sedikit demi sedikit dialirkan melalui sungai, hingga hampir sepanjang
tahun kita bisa menikmati aliran air sungai tidak henti-hentinya, meskipun
di waktu malam di saat kita tidur nyenyak air sungai terus mengalir.
Gunung adalah waduk ciptaan Tuhan, karena itu wajarlah kalau umat
Hindu menghadap ke gunung karena di sana tempat Tuhan menyampaikan
anugrah berupa kemakmuran dan keselamatan, maka melalui gunung pula
umat Hindu menyampaikan terima kasih. Perwujudan rasa hormat itu
tampak pada sebagai hulu, kata Kaja berasal dari kata keadya yang berarti
ke gunung, di mana adya artinya gunung. Sedangkan Kelod berasal dari
kata laut dan dianggap sebagai hilir. Di masyarakat pegunungan jika
mereka tidur kepala mereka tentu ada di arah gunung karena gunung

80
dianggap sebagai hulu atau kepala. Demikian pula jika menguburkan
mayat, maka letak kepala di mayat ada di arah gunung. Di samping arah
gunung dan arah matahari terbit yait dari arah timur adalah arah yang
dianggap suci. Letak bangunan-bangunan pura umat Hindu sebagian besar
di arah timur menghadap ke barat, sehingga orang yang sembahyang akan
menghadap ke timur, mengapa arah matahari terbit itu disucikan?
Matahari adalah merupakan simbul kekuasaan Ida Sang Hyang
Widhi menurut para ahli ilmu bumi, planet katanya berasal dari pecahan
matahari dan jasad manusia berasal dari unsur Pancamahabhuta yaitu air,
tanah, panas, angin, dan angkasa yang berasal dari unsur-unsur kita ini.
Kekuatan yang diciptakan oleh matahari menyebabkan bumi kita berputar
angin dan air beredar. Dengan sinar matahari semua makhluk bisa hidup
jika matahari tidak ada, maka bumipn akan mati. Dalam Niti Castra
disebutkan :
Jika tidur ke arah matahari terbit menyebabkan panjang umur, jika tidur
dengan kepala ke arah utara (gunung) akan menyebabkan murah rejeki.
Kata Utara berasal dari urat kata Ud yang artinya menonjol atau menjalang
yang dimaksud dalam hal ini ialah tanah yang menjulang tinggi yaitu
gunung.
Dalam kenyataannya matahari memang mempunyai pengaruh terhadap
keselamatan, sedangkan gunung mempunyai pengaruh terhadap
kemakmuran, di mana tanah gunung yang gembur berfungsi sebagai
waduk air, yang merupakan sumber-sumber aliran sungai dengan airnya
yang memberikan kemakmuran. Mengapa Tuhan memilih gunung,
matahari dan pura-pura sebagai tempat Beliau padahal Beliau di mana-
mana menguasai alam semesta. Demikianlah mengapa umat Hindu
mencakupkan tangannya memuja Tuhan ke arah matahari terbit ke arah
gunung, tempat dari Ida Sang Hyang Widhi, menyampaikan kasihnya
Beliau yang berlimpah kepada semua makhluk di planet ini. Matahari dan
gunung adalah angrah Tuhan sebagai tanda kasih Tuhan, maka wajarlah
dari mana datangnya kasih melalui itu pula umat Hindu menundukkan
kepala menyatakan terima kasih.

81
f.Bhakti Melahirkan Rasa Seni
Keinginan untuk menggambarkan Tuhan dan menghias Tuhan
yang dicintai itu seperti menghias anak yang dikasihi, pura-pura yang
dibangun selalu diukir dengan indah sedangkan untuk bangunan rumah
belum tentu akan diperbuat sedemikian rupa. Jajan untuk sajen yang
berwarna-warni dan jenisnya lebih dari seratus tetapi jajan ntuk makanan
sehari-hari paling banyak hanya sepuluh macam. Hiasan seni janur yang
beraneka ragam penjor dan lamak serta perlengkapan lainnya mengandung
simbul dan penuh kreasi seni. Seni pahat dan seni ukir dapat diselamatkan
di Bali karena agama Hindu yang dipeluk adalah Bhakti Marga. Seni
taripun dapat berkembang di Bali karena agama Hindu cinta melahirkan
simbul-simbul kiasan inilah maka imaginasi berkembang dan lahirlah seni.
Hubungan seni dengan Bhakti Marga sangat erat sekali dia saling mengisi
dan saling memperkaya karena dasarnya satu yaitu rasa. Dengan rasa pula
Tuhan lebih dihayati, memuja Tuhan yang ada di pura atau tempat ibadah
adalah bukan kemauan akan karena akal jauh lebih terlambat untuk
menghayati hal-hal yang abstrak, akal mulai menanggapi sesuatu dengan
curiga. Seorang Bhakta tidak peduli apakah Tuhan itu baik atau Tuhan itu
buruk, seperti seorang pemuda jatuh cinta kepada kekasihnya adalah
terbaik dan terburuk.

g.Bhakti Melahirkan Rasa Terharu


Orang yang bhakti sering mengeluarkan air mata pada waktu
sembahyang air mata yang aneh bukan karena sedih bukan pula gembira
melainkan air mata karena terharu.
Rasa terharu nampak pula dalam bunyi-bunyian seperti gambelan
dan kidung di pura. Menurut lontar Aji Gurita adalah gambelan yang
melagukan Semarapagulingan, suara yang mengharukan dan sedih tetapi
manis. Demikian pura kehidupan yang dipergunakan di pura nadanya
sedih seperti orang sedih dan rindu rupanya rindu pada kekasihnya
memang demikian kalau dia bicara seperti orang sedih, lemah lembut.

h.Doa

82
Doa adalah salah satu cara yang paling mudah, tepat dan alamiah
dalam menghubungkan diri dengan Tuhan. Doa adalah cetusan hati yang
lugu dari kerendahan hati seseorang. Dalam agama Hindu Gayatri
Mantram adalah doa yang paling mendalam dan setiap Trisandya,
sembahyang tiga waktu, pagi, siang dan sore bagi umat Hindu. Doa yang
umum yang bersifat spiritual tidak mengandung permohonan yang bersifat
pemuasan kebutuhan indrawi dan duniawi. Cobalah camkan dan rasakan
serta hayati dengan arti dari mantram gayatri itu akan terkandung tiga
unsur pokok yaitu :
 Pengakuan akan kelemahan diri dan ketidakmampuan dalam
menghadapi suatu hal yang memuncak dengan penyerahan diri.
 Mengandung unsur pengharapan dan permohonan.
 Mengandung unsur puji dan syukur

83
Bagaimanapun pandai para dokter selalu saja timbul penyakit yang
belum disembuhkan, betapapun banyaknya penemuan-penemuan baru
masih terlalu banyak rahasia alam yang belum diungkapkan. Apa yang
disebut ciptaan para sarjana tidak lebih dari kepandaian mengubah dari
bentuk lama menjadi bentuk baru dari unsur yang sudah ada. Manusia
tidak bisa mengadakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada, gempa bumi,
angin ribut, yang menimbulkan bencana, membikin manusia tidak berdaya
dan akhirnya menyerah dan mengakui bahwa ada kekuatan yang jauh lebih
daripadanya. Tuhan menghendaki agar kita maju, rahasia demi rahasia
Beliau buka satu persatu namun pada saat-saat tertentu Beliau tunjukkan
kemuzizatan dan kehebatan yang di luar kemampuan pikiran manusia.
Dengan tujuan agar manusia jangan sombong. Bencana dan penderitaan
adalah pelajaran yang diberikan oleh Tuhan agar manusia mengurangi
egonya dan mengakui bahwa ada kekuatan yang lebih hebat daripada yang
mereka miliki. Doa yang mengandung unsur pengakuan dan penyerahan
diri adalah alat yang paling ampuh untuk meredakan kobaran
kesombongan, Tuhan sengaja menurunkan bencana dan penderitaan yang
sukar diatasi untuk melumpuhkan keangkuhan manusia. Kapan mereka
tidak berdaya, maka mulailah mereka kepada Tuhan dan berdoa tidak saja
diucapkan pada waktu mereka mendapat bencana atau penderitaan tetapi
setiap hari dan setiap saat baik di waktu sembahyang maupun tidak saat
sembahyang. Bagi mereka yang sadar terhadap hakekat hidup malahan
menganggap penderitaan adalah tantangan yang menguntungkan. Doa
menjadikan orang rendah hati, kita tidak boleh menjadi keangkuhan dari
keserakahan. Dengan doa orang akan mendapatkan rasa aman dan tabah,
tenang terlindungi dari bahaya dan penderitaan. Itulah karunia Tuhan yang
menjadi dasar keberhasilan karenaNya patutlah kita bersyukur. Orang bisa
bersyukur adalah orang yang dapat menundukkan egonya orang yang
rendah hati dan penuh iman.

i.Bersyukur

84
Suka dan duka adalah seperti riaknya lautan yang datang silih
berganti, nikmatilah semua dengan tabah dan rasa syukur, orang bisa
bersyukur dalam keadaan yang paling menyedihkan adalah orang yang
optmis yang merupakan dasar kekuatan hidup. Orang yang pesimis dalam
pertempuran pesimis sudah kalah sebelum berperang, orang bisa
bersyukur adalah orang yanga percaya kepada takdir dan mengakui bahwa
itu ditentukan oleh Tuhan. Penyerahan diri secara total kepada Ruhan
adalah penting seperti emas jika bisa meleleh sampai cair akan
mempermudah si tukang emas untuk memberikan bentuk yang diinginkan.
Demikian hati seorang Bhakta yang pasrah kepada Tuhan seperti emas
yang meleleh mudah dityuntun dan diarahkan oleh Tuhan.

j.Pengampunan
Dalam Kitab Bhagawadgita disebutkan :
Ye tu sarvani karmani
Mayu samyosya marpara
Ananyenai va yogena
Man dhayayanta upasate
(Bhag.XII.6)

Artinya :
Tetapi sesungguhnya mereka yang menumpahkan segala kegiatan hidup
mereka kepadaKu, memikirkan bermesditasi hanya padaKu dengan
kebaktian yang terpusatkan.
Dalam sloka ini jelaslah bahwa kebaktian kepada Tuhan dengan sepenuh
hati dan pikiran dapat membebaskan karma tidak baik atau dosa, disinilah
peranan bhakti yang bisa melonggarkan karma dan pengampunan tuhan
bisa masuk ke dalamnya. Dalam setiap doa di samping berisi pengakuan
hampir selalu diikuti dengan permohonan ampun. Apakah dengan
pengampunan ini orang akan bertamban berani berbuat dosa karena setelah
mohon ampun dosanya akan dihapus. Dalam masalah pengampunan
marilah kita ambil banding keringanan hukuman yang diberikan oleh
pengadilan. Jika ada seseorang membunuh orang tetapi setelah membunuh

85
dia menyatakan penyesalannya. Menurut hukum mestinya si pembunuh
dijatuhi hukuman 20 tahun penjara, tetapi karena menyatakan
penyesalannya dan menyerahkan diri dengan sukarela ditambah lagi
dipersidanagan tidak berbelit-belit maka rencana hukuman yang 20 tahun
itu diringankan menjadi 14 tahun penjara. Selama di penjara pemuda itu
menunjukkan sikap dan tingkah laku yang baik dan dan patuh setelah
sepuluh tahun pengadilanpun memberikan keringanan hukuman lagi dan
membebaskan dari penjara.
Dengan demikian pemuda yang membunuh itu telah mendapatkan
pengampunan berupa keringanan hukuman selama sepuluh tahun
semuanya ini adalah akibat dari tingkah laku yang baik. Betul-betul
bertobat dengan mengurangi sebagian dari penderitaan yang mestinya dia
terima. Tampaklah disini karma tetap berjalan dan pengampunan bisa
terjadi.

2.Jnana Marga
Dimuka sudah dijelaskan bahwea weda menurut isinya dibagi dalam tiga
bagian yaitu : Mantra, Brahmana, dan Upanisad. Dalam membicarakan jnana
marga maka kita akan banyak mengambil sumber dari Upanisad dan Tattwa.
Apakah bedanya antara Weda, Upanisad dan Tattwa. Weda adalah sumber
tetapi sangat sukar untuk dimengerti oleh karena itu weda dijelaskan secara
filosofis dan penjelasannya ini disebut Upanisad. Tattwa adalah inti agama,
tidak merupakan teori lagi tetapi sepenuhnya harus dipercaya, nama-nama
yang dipergunakan adalah nama dewa-dewa yang dipuja, demikianlah
Brahman dalam Upanisad disebut Parama Ciwa atau Sang Hyang Widhi
dalam Tattwa istilah samsara dalam Upanisad disebut nereka di dalam Tattwa.
Demikian dalam ajaran agama Hindu orang tidak pernah memuja prakerti dan
Brahman melainkan Dewi Uma, dan Parama Ciwa. Dalam Tattwa brahman
dipersonifikasikan dengan Ciwa di Bali disebut Sang Hyang Widhi. Ciwa
mempunyai tiga nama lagi sesuai dengan sifat, fungsi, dan aktifitasnya sebagai
akibat yang ditimbulkan oleh ada tidaknya atau sedikit banyaknya pengaruh
maya (prakerti) sehingga dibedakan sebagai berikut :

86
Paraciwa disebit juga Cetana atau Purusa yang dalam istilah umumnya
disebut Tuhan, keadaannya tanpa aktifitasnya, kekal abadi tiada awal dan tiada
akhir ada dimana-mana dan maha tahu diberi gelar Nirguna Brahman.
Sada Ciwa adalah Brahman yang sudah berkrida yang sudah kena imbas
dari prakerti atau Acetana (sumber materi0 sehingga mempunyai sifat, fungsi
dan aktifitas dan diberi gelar Saguna Brahman.
Ciwa atau Ciwatman adalah Parama Ciwa tetapi dalam keadaan yang telah
banyak terpengaruh oleh prakerti sehingga sifat kemahakuasaanNya
berkurang. Ciwatrman inilah yang memberikan hidup (jiwa) kepada semua
makhluk hidup.

a. Pencipta Alam Semesta


Mama yonir mathad Brahma
Tasmin garban dadhamy aham
Sambhawah sarvabhutanam
Tato bhawati bharata
(Bhag.VIV.3)
Artinya:
Kandungan Ku adalah brahmayoni yang esa
Di dalamnya Aku letakkan benih
Dan dari sanalah terlahir
Semua makhluk wahai Bharata

Dalam uraian di atas Tuhan atau Brahman dipersonifikasikan sebagai


manusia yang mengadung. Isi kandungannya adalah Brahmayoni yang Esa
tidak lain adalah alam semesta ini. Brahmayoni ini di dalam filsafat
Samkhya disebut juga Prakerti. Isi kandungan Brahman ini diisi benih
kehidupoan sehingga alam semesta ini menjadi tempat terlahirnya semua
makhluk termasuk manusia sendiri. Di dalam Bhrihadaranyaka Upanisad
digambarkan hanya seperempat bagian dari badan Brahman yang berkrida
jadi kalau dihubungkan ulasan Bhagawadgita maka seperempat bagian
dari tubuhnya Brahman inilah kandungan brahman. Dengan demikian
dapatlah kita bayangkan bagaimana terbatasnya Brahman itu. Kalau mata

87
memandang ke langit di waktu malam hari dimana terhampar jutaan
planet-planet yang tidak dapat dihitung jumlahnya, tetapi juga yang belum
kita lihat jauh lebih banyak maka betul-betul belum terpikirkan rahasia
Tuhan yang maha hebat ini. Umat Hindu boleh bangga karena abad ke-7
sebelum masehi di India telah lahir tokoh terkenal di bidang filsafat yang
mengulas tentang rashasia terjadinya alam semesta dengan teori
evolusinya dengan teori-teori yang dikagumi sampai sekarang. Beliau itu
tidak lain dari Rsi Kapila yang terkenal dengan filsafta Samkyanya.
Pokok-pokok pikiran yang menonjol dari teori Rsi Kapila adalah:
 Sesuatu yang tidak mungkin lahir dari yang tidak ada, dengan
demikian brahman atau Tuhan itu memang betul ada meskipun tidak
dapat dilihat dari mata lahiriah.
 Teori sebab akibat yang dikenal dengan hukum karmaphala, bahwa
terjadinya perkembangan ini karena sebab akibat yang
berkeseimbangan.
 Kehancuran berarti pengembalian ke bentuk asal.
 Bahwa hukum alam ini tertib dan teratur.
 Terbentuknya cosmos ini adalah dari evolusi Prakerti, evolusi mulai
apabila keseimbangan benda-benda terganggu, kepadatannya menjadi
tidak keseimbangan dengan bagian-bagian lain dari prakerti itu. Proses
mencarei keseimbangan yang terus menerus menyebabkan terjadinya
evolusi.
Phase pertama dari evolusi energi cosmos ini adalah terciptanya akasa
bila akasa ini digetarkan oleh prana yang dikeluarkan oleh purusa maka
terciptalah angin. Bila angin digetarkan oleh prana yang dikeluarkan oleh
purusa maka terjadilah panas atau teja (timbul pergesekan angin).
Perputaran ini menyebabkan terjadinya pusat-pusat panas yang akan
menimbulkan radiasi sehingga temperatur menjadi turun bagian luar inti
panas ini dan gas yang membungkus inti panas lalu berubah menjadi
benda cair. Prana dari purusa terus menggetarkan lagi zat cair ini dan
akibat dari turunnya panas secara terus menerus maka terjadilah proses
kimiawi antara benda cair dan gas sehingga terjadi benda padat yaitu
pertiwi atau tanah. Demikianlah bumi kita tercipta mulai dari tuhan yang

88
terpikirkan juga disebut purusa, Brahman, Sang Hyang Widhi yang
menciptakan prana dan akasa. Dari akasa dan prana inilah terjadi Panca
Maha Bhuta yang masing-masing memupnyai sifat yang jumlahnya lima
disebut Panca Tan Matra (ras, suara, sentuhan, bentuk dan bau).
Ether hanya memiliki suara gerakannya begitu halus tak terbatas
sanggup menembus segala zat dengan perantaraan ether inilah gelombang
radio disalurkan, angin hanya mempunyai dua sifat yaitu suara danb
sentuhan, kita dapat merasakan sentuhan angin yang mendesir dan dapat
mendengar suara berkobarnya api dapat merasakan panasnya api dan dapat
melihat bentuk dan rupa api. Zat cair mempunyai empat sifat yaitu kita
mendengar suara air yang mengalir dapat merasakan sentuhan air dapat
dilihat bentuknya dapat merasakan rasa air kalau diminum. Pertiwi
memiliki kelima unsur di atas yaitu punya suara kalau bergerak punya rasa
kalau dicicipi punya bau kakau dicium punya rasa kalau disentuh punya
bentuk dapat dilihat. Teori penciptaan benda-benda ala ini sesuai dengan
teori-teori penemuan para ahli modern sekarang seperti teori Prof. Stevens,
Dr. Lewes dan Dr. Jeans, perkembangan evolusi dari benda alam
melahirkan tumbuh-tumbuhan kemudian binatang dan akhirnya manusia.
Manusia adalah tingkatan tertinggi dari makhluk ciptaan tuhan, perbedaan
manusia dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan sebenarnya bersifat
gladual dasar dan asal-usul bahannya sama yaitu Purusa (jiwa) dengan
Panca Mahabhuta hanya tingkatan kualitasnya yang berbeda. Kalau
binatang hanya punya instiknk, instink itu telah meningkat menjadi pikiran
sehingga pada manusia dikenal moral etik serta budaya. Semua makhluk
yang berbeda-beda bentuk dan jenisnya hanya mempunyai satu jalan untuk
bebas dari penjara kelahiran di dunia melalui lahir sebagai manusia. Dewa-
dewapun untuk mencapai moksa harus lahir sebagai manusia utama
terlebih dahulu. Tujuan utama dari evolusi dari kehiduapan makhluk alam
semesta ni adalah kesempurnaan spiritual dan itulah yang disebut Moksa.

b.Manusia

89
Ditinjau dari arti kata maka manusia itu berasal dari kata manushya yang
berarti makhluk yang mempunyai pikiran, pikiran inilah yang
membedakan manusia dengan binatang serta tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-
tumbuhan hanya mempunyai satu kemampuan yaitu untuk tumbuh dan
bergerak (bayu), binatang mempunyai kemampuan yang lebih dari
tumbuh-tumbuhan yaitu bergerak dan berbicara (bayu dan sabda) dan
manusia adalah makhluk yang paling sempurna dari ciptaan Tuhan karena
manusia manusia memiliki kemampuan bergerak, berbicara, dan berpikir
(bayu, sabda, idep). Manusia memiliki kesempurnaan peralatan untuk
mengantarkan dirinya menemui penciptaNya yaitu Tuhan. Dengan
memiliki pikiran manusia bisa berubah nasibnya dan memperbaiki dirinya
seperti apa yang disebutkan dalam Sarascamuscaya sebagai berikut :
Manusah sarwa bhutesu wartate wai cubhachubhe
Acubhesu sawawistam cubheswewa wakaryet
Artinya :
Dari demikian banyaknya makhluk hidup yang dilahirkan sebagai
manusia itu saja yang dapat berbuat baik dan buruk kemampuan
melebur perbuatan buruk ke baik demikianlah pahalanya menjadi
manusia.
Di sinilah peranan kita sangat penting karena dengan pikiran bisa
membedakan baik dan buruk karena manusia bisa melakukan
pembaharuan sehingga memiliki sarana budaya untuk mendekatkan diri
dengan Tuhan. Bila kita meninjau manusia dari Tatttwa dan Upanisad
maka manusia adlaah paduan antara purusa dan prakerti antara jiwa denga
jasad perpaduan antara yang abstrak dengan yang kongkrit. Pertemuan
dengan prakerti melahirkan kehidupan. Seperti listrik merupakan
pertemuan positif dengan negatif menjadikan bola lampu yang menyala.
Bila kita tinjau dari sejarah kelahiran hidup yang paling sederhana yang
berwujud protoplasma meningkatkan diri menjadi tumbuh-tumbuhan
kemudian binatang dan akhirnya manusia. Maharsi Kapila dengan ajaran
Samkhyanya mengatakan bahwa yang berevolusi bukanlah pysiknya
melainkan rohaninya, peningkatan rohani dari binatang bisa menjadi
manusia meskipun dalam kualitasnya yang lebih rendah bentuk rohanilah

90
yang memesan bentuk jasmani bukan sebaliknya. Menurut Resi Kapila
bukan saja kera tetapi semua binatang dalam tingkatan yang tertingi akan
bisa berinkarnasi lahir menjadi manusia. Sang Budha sendiri sebagai orang
suci yang sudah jiwan mukti membenarkan bahkan beliau mengatakan
sebelum lahir sebagai manusia beliau pernah lahir menjadi seekor gajah.
Jika kita meninjau asal usul manusia dari Purusa maka manusia adalah
keturunan Manu. Manu dianggap sebagai leluhuir atau cikal bakal
manusia. Diceritakan bahwa pada suatu hari yang sedang berdoa di tepi
sungai Gangga, tiba-tiba didatangi oleh seekor ikan kecil yang sedang
diburu oleh ikan besar yang mau memangsanya. Manupun menyelamatkan
ikan kecil tersebut, ikan itu dibawa pulangb dan ditaruh di dalam sebuah
bak kecil di rumahnya tetapi besoknya ikan tersbeut sudah bertambah
besar sebesar bak dimana dimana ikan itu ditempatkan. Manupun
memindahkan ikan tersbeut ke tempat yang lebih besar lagi namun
besoknya kejadian yang sama terjadi kembali. Manupun kembali
memindahkan ikan tersebut ke tempat yang lebih besar lagi kejadia yang
samapun terjadi. Manupun memindahkan ikan tersebut ke sungai,
sungapiun sesak lalu Manu memindahkan ikan tersebut ke laut ikan itu
berkata : Saya telah mengambil bentuk ini untuk memberitahu kepadamu,
bahwa saya akan menenggelamkan duni ini. Oleh karena itu buatlah
sebuah perahu teruhlah masing-masing sepasangf dari semua jenis
binantang dan tumbuh-tumbuhan bersama keluargamu di dalam perahu
itu. Bila air naik ikatkanlah tali dari perahumu disiripku, bila air telah surut
beruhal kamu turun kembali kedaratan.
Berdasarkan cerita ini maka manu bukanlah manusia pertama ada,
tetapi adalah manusia yang selamat dari banjir besar dan menjadi cikal
bakal manusia sekarang. Rupanya air besar yang menenggelamkan
sebagian dari dunia ini adalah lukisan peristiwa pada waktu mencairnya es
batu di kutub-kutub di bumi ini akibat dari bertambahnya suhu panas dari
bumi.

c.Tri Guna
Perilaku seseorang ditentukan oleh dua hal yaitu:

91
 Faktor pembawaan adalah merupakan karakter atau guna
seseorang yang dibawa sejak lahir.
 Faktor lingkungan termasuk pendidikan budaya dan
pengalaman yang dialami sesudah lahir.
Dari guna inilah muncul kecendrungan-kecendrungan perilaku
seseorang, apapun macamnya guna ini begitulah sifat dari pikiran, perilaku
seseorang akan ditentukan oleh intensitasnya pengalaman salah satu dari
tri guna ini. Bila sifat sattwa yang menguasai pikiran orang itu aklan
bijaksana tahu benar dan salah hormat dan sopan lurus hati an kasih
sayang suka membantu orang menderita, setia dan bakti serta tidak
mementingkan diri sendiri. Bila guna rajas yang menguasai pikiran
manusia itu akan mempunyai pribadi yang keras, kasar, cepat tersinggung,
suka mengagung-agungkan diri sendiri kurang belas kasihan pemarah
angkuh, egois, loba, bengis, kata-katanya menyakitkan hati. Bila guna
tamas menguasai pikiran orang itu akan menjadi pribadi pemalas,
pengotor, suka makan, suka tidur, dungu, besar birahinya, iri hati. Dari
uraian di atas jelas bahwa sattwa mempunyai sifat tenang, rajas
mempunyai sifat dinamis dan tamas mempunyai malas. Ketiga inilah yang
menyebabkan manusia mempunyai keinginan dan dari uraian keinginan
inilah timbul gerak, orang yang tidak memiliki ketiga guna ini sama
dengan batu, tidak akan mempunyai aktifitas. Dalam Tattwa Jnana 10
disebutkan, bila sattwa bertemu dengan rajas terang bercahaya pikirannya
itulah yang mengantarkan atma bisa mencapai sorga. Sifat sattwa ingin
berbuat baik dan sifat rajas giat bekerja melaksanakan kehendak sattwa.
Bila sifat sattwa , rajas, dan tamas seimbang menguasai pikiran atma itu
akan lahir menjadi manusia. Semua realisasi manusia adalah reealisasi
kerja ketiga guna tersebut. Sifat tamas (malas) harus menguasai tamaas
berulah sattawa menundukkan dan menguasai rajas.
Dalam cerita Ramayana Wibisana sebagai simbul sattwa, Rahwana
sebagai sumbul rajasa dan Kumbakarna simbul tamas. Kumbakarna yang
suka tidur dan suka makan saja ini menunjukkan bahwa tamas ditindukkan
oleh sifat rajas. Akhirnya tamas dan rajas harus dikalahkan oleh sattwa,

92
dalam ceritra disimbulkan Wibisana diangkat menjadi raja di Alengkapura
setelah Rahwana dan Kumbakarna gugur.
Selama hidup sebagai manusia selama itu Tri Guna sangat bermanfaat.
Tanpa Tri Guna manusia tidak mempunyai kemauan untuk bergerak kalau
diumpamakan hidup ini sebagai suatu perjalanan naik mobil, tubuh kita
seumpama badan mobil, pedal rem ibarat sifat tamas, pedal gas dan
kemudi ini memegang peranan penting. Bila rajas berkawan dengan sattwa
minus tamas sama seperti mobil yang remnya blong, maka lajunya mobil
tidak tertahan kemudian tidak mampu untuk mengendalikannya. Bila
tamas bertemu dengan sattwa tanpa rajas tidak ada sesuatu pekerjaanpun
yang bisa dilakukannya. Dalam hal ini sulit membedakan antara orang
malas dengan sadhu, karema sama-sama tidak suka bekerja. Di India
banyak kita lihat orang malas menyamar seperti orang sadhu ia meminta-
minta. Bila tamas berkawan dengan rajas minus sattwa sama seperti mobil
berjalan tanpa tujuan. Pahamilah Tru Guna itu yang menjadi motor
penggerak dari pikiran, sehingga sangat berguna selama hidup. Ia dapat
mengantarkan ke tempat tujuan namun setelha sampai ia harus dilepaskan.

d. Sorga dan Neraka


Sejak kecil anak-anak telah diberi dongeng mengenai sorga yang
penuh dengan keindahan dengan widyadara dan widyadari yang ganteng dan
cantik-cantik, gamelan sorga yang ditabuh oleh para gandarwa dengan
menawan, pohon kalpataru yang berbuat segala macam keindahan yang
terdapat di dunia, memberikan khayalan yang menarik dan memancing pikiran
anak-anak untuk berbuat baik, karena dengan berbuat baik mereka akan
mendapatkan sorga. Sebaliknya kesengsaraan di neraka dengan jenis siksaan
yang dilakukan oleh algojo nraka Sang Cikrabala dan Jogormanik dengan
saksi yang tidak bisa ditipu Sang Citragota atau Sang Suratma dan hakim yang
menakutkan Sang Yamadipati. Kawah Candra Gohmuka dengan arwah-arwah
yang penuh dosa dimana lintah dan ulat menggerayangi dan mengigitnya
terendam di dalam air yang terdiri dari kotoran. Di bagian lain dilukiskan roh-
roh yang diikat dibawah pohon kayu yang berdaun bermacam-macam senjata
yang tajam-tajam yang pada setiap saat berjatuhan menimpa diri mereka.

93
Lukisan neraka yang dilukiskan dalam lontar Atma Prasanga cukup membikin
kecut dan takut hati setiap orang yang mendengarnya, baik cerita sorga
maupun cerita neraka telah memberi banyak andil di dalam mengendalikan
moral umat Hindu untuk takut berbuat dosa, khususnya mereka yang masih
gugon tuwon. Tetapi dengan majunya ilmu pengetahuan anak-anak sudah
berpikir secara kritis maka munculllah pertanyaan-pertanyaan yang sukar
untuk dijawab. Kalau pada jaman dahulu jika ada orang yang menanyakan
dimana sorga itu maka si bapak akan cepat menjawab sorga itu ada di atas si
anak cukup puas, dengan majunya ilmu pengetahuan pertanyaan mengenai
sorga dan neraka perlu mendapat jawaban yang ilmiah. Untuk itu maha resi-
maha resi sejak seribu lima ratus tahun sebelum masehi telah mengupas soal
itu dan ajarannyapun tidak disebar ke masyarakat awam karena masyarakat
awam belum mampu untuk mengartikannya. Sorga dan neraka menurut
Upanisad bukan suatu tempat bukan pula suatu bentuk melainkan suatu
keadaan pikiran bahagia atau pikiran menderita. Kalau pikiran dalam keadaan
senang dan bahagia maka itulah sorga, bila pikiran sedih dan menderita itulah
neraka, baik pikiran semasih hidup maupun pikiran yang membungkus roh
sesudah mati. Neraka adalah suatu istilah untuk menyebutkan keadaan yang
menderita setelah meninggal. Sebagaimana diketahui roh seseorang semasih
hidup oleh pikiran (suksma sarira) san sthula sarira yang tidak lain adalah
sarira hancur menjadi abu karena dibakar tetapi jiwa dan pikiran bisa terbakar
dan lepas seperti angin yang tetap dibungkus oleh pelembungan. Sewaktu
masih hidup gerak roh masih berat karena masih digondoli oleh jasad
sedangkan sesudah mati roh itu dapat pergi dengan cepat kemaja saja bersama
pikiran. Bagaimana penderitaan roh sesudah meninggal, jika seseorang pada
waktu hidupnya suka dengan minuman keras dan suka mabuk-mabukan,
setelah meninggal kesukaannya itu masih melekat dalam pikiran, tidak hangus
terbakar. Roh ini ingin menikmati minuman keras, roh itu datang ke tempat
dia biasa minum, melihat bekas temannya semaish hidup minum sampai
mabuk, roh itu ingin ikut minum tetapi tidak bisa karena tidak lagi mempunyai
mulut dan tubuh, dia kecewa dan itulah penderritaan di alam sesudah mati.
Jadi Sorga dan neraka itu bukan suatu tempat tetapi suatu keadaan pikiran.
Roh-roh yang tidak tertarik lagi dengan benda-benda sukar sekali dipanggil

94
melalui dukun karena itu bukannya jauh tetapi karena ia tidak tertarik lagi
dengan benda-benda duniawi. Sebaliknya roh-roh yang lebih rendah lebih
mudah memanggilnya, diberikan badan berupa kayu, orang-orangan serta
sekedar makanan sudah bisa cepat datang, jauh dan dekat tidak ada bagi roh
yang tidak lagi digondoli oleh jasad. Jika pikiran roh masih terikat maka
kontakpun cepat dilakukan sebaliknya roh suci yang tidak terikat sulit sekali
untuk mengadakan hubungan jauh dekat hanya ada dalam pikiran.

e.Moksa
Mengapa kelahiran sebagai manusia dianggap sebagai tingkat
terakhir dari usaha mencapai kebebasan ?. Kelahiran sebagai adalah
merupakan pintu gerbangnya moksa karena dewa-dewapun akan lahir
menjadi manusia untuk dapat meningkatkan diri agar bisa moksa.
Moksa adalah suatu istilah untuk menyebutkan kalau roh manusia telah
kembali dan menjadi satu dengan Tuhan. Dimana roh tidak mengalami
kelahiran kembali artinya bebas dari inkarnasi serta mencapai
kebahagiaan tertinggi yaitu kebahagiaan tanpa wali duka. Sebenarnya
manusia dengan atmanya ini telah pernah bersatu dengan Brahman dan
telah pernah merasakan kenikmatan dari suka tanpa wali duka. Dengan
kridanya Brahman maka dia terlempar lagi kegelombangnya maya. Di
dalam maya ini segala kebahagiaan dan kesukaan itu selalu disertai
dengan kedukaan atau dimana kesukaan tentu ada penderitaan yang
mengikuti. Jadi Atma rindu kembali kepada asalnya yaitu Tuhan,
seperti halnya titik-titik air laut yang menjadi embun dan kemudian
jatuh menjadi hujan serta mengalir menjadi sungai melaju dengan
derasnya karena rindu bertemu lagi dengan laut (sumbernya). Ajaran
agama Hindu mengajarkan orang agar melalui kehidupan di dunia
secara bertahap melepaskan keterikatan terhadap benda-benda duniawi.
Catur Asrama adalah contoh tahap-tahap hidup yang harus ditempuh.
Mulai dari Brahmacari sampai dengan Buksuka. Hal ini bukan berarti
umat Hindu tidak mementingkan dunia, justru dunia merupakan alat
untuk mencapai moksa, melalui pengenalan terhadap dunia orang baru
bisa membebaskan diri dari dunia. Dunia adalah tempat praktek untuk

95
melepaskan diri dari ikatan dunia moksa hanya akan bisa dicapai
melalui kelahiran di dunia sebagai manusia.
Dalam Brahman Purana 228.45 disebutkan :
Djharmathakamamokshamam sariram sadhanam, yang
artinya bahwa tubuh adalah alat untuk mendapatkan dharma
arta, kama dan moksa. Selanjutnya kitab Saracamuscya
sloka 12 menyebutkan :

Kamarthau lipsamanastu dharmatmeditasearet

Na hi dharmadapetyarthah kamo wapi kadacana

Artinya :
Pada hakekatnya jika arta dan kama dituntut maka
seharusnya dharma hendaknya dilakukan lebih dahulu, tak
disangsikan lagi pasti akan diperoleh atha dan kama itu nanti
tidak akan ada jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang
dari dharma.
Dalam sloka-sloka di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai moksa
orang harus lahir dan mempunyai tubuh sebagai manusia.
Tubuh manusia ini perlu dipelihara, diberi makan (artha) diberi
kenikmatan (kama). Artha dan kama hanya bisa didapat di dunia sebab
itu manusia harus lahir di dunia. Meskipun dunia ini menyediakan
artha dan kama tetapi kalau mendapatkan artha an kama itu
menyimpang dari dharma, maka disamping sia-sia, juga akibatnya
akan menderita. Sebab itu carilah artha dan kama itu melalui Dharma.
Dharma adalah ajaran agama yang memberikan petunjuk, seperti
rambu-rambu lalu lintas, jalan yang mana boleh ditempuh dan jalan
mana dilarang untuk dilalui. Demi kesehatan tubuh agama tidak
melarang mencari artha dan kama, tetapi hendakya didapat dengan
jalan halal tidak menyalahi ajaran agama. Agama Hindu tidak menolak
artha dan kama, melainkan disuruh mencari artha itu sebanyak-
banyaknya untuk kemudian diabaikan demi kepentingan umat manusia.

96
Demikianlah artha itu dicari dengan jalan yang halal dan dipergunakan
untuk kepentingan mereka yang membutuhkan tanpa mementingkan
diri sendiri. Usaha yang demikian merupakan jasa yang bisa
mengantarkan seseorang mencapai moksa. Janganlah disalah artikan
“melepaskan kepentingan duniawi ini” dimaksud tidak boleh mencari
artha, ajaran agama Hindu tampaknya kontradiktif. Untuk moksa orang
harus lahir ke dunia dan bergulat mengatasi dunia. Untuk bisa
membebaskan diri dari ikatan artha orang harus mencari artha.
Sebagaimana halnya untuk naik menjadi pemimpin yang baik, orang
harus terjun kepada masyarakat. Keinginan juga sangat penting
sebagai motor penggerak, karena adanya keinginan maka orang mau
bergerak dan bekerja. Setelah keinginan kuat, perlu pengendalian.
Keinginan terkendali sangat berguna untuk peningkatan spiritual.
Tubuh pikiran dan panca indra yang melahirkan keinginan akan bisa
jadi kendaraan dari jiwa menuju alam moksa, tetapi telah sampai di
tempat semuanya ini harus ditinggalkan. Tubuh ini seperti mobil hanya
diperlukan selama masih perjalanan, setelah sampai mobilpun
ditinggalkan. Demikianlah pentingnya arti dunia dan tubuh yang
merupakan anugrah Tuhan sebagai kendaraan perjalanan menuju
moksa.

3.Karma Marga
Karma Marga adalah ajaran yang menekankan pada pengabdian
yang berwujud kerja tanpa pamrih untuk kepentingan diri sendiri.
Dalam kitab Bhagawadgita disebutkan :
Na chi kascity ksnam api jatu tisthati akarmakrit
Karyate hy awasah karma sarwah prakrituair gunaih
Artinya :
Walau sesaat juga tidak seorangpun untuk tidak berbuat karena
manusia tidak berdaya oleh hukum alam yang memaksa
bertindak.
Kenyataan memang benar demikian tiada orang yang bisa
menghindarkan diri untuk bekerja walaupun waktu tidur karena jantung tetap

97
berdetak darah selalu mengalir dan selalu bekerja walaupun kita tidak sadari.
Pikiran yang menjadi motivasi dari kerja menentukan hasil suka dalam karma
sebab berpikir saja melahirkan karma, lebih-lebih kalau pikiran itu dituangkan
dalam bentuk ucapan atau perbuatan maka sempurnalah karma yang
dibuatnya. Supaya hidup kita yang singkat ini tidak sia-sia dan banyak waktu
yang tidak dapat dimanfaatkan maka bekerjalah dengan giat sebab berbuat
lebih baik daripada tidak berbuat, janganlah kita takut keliru atau salah asal
jangan sengaja berbuat kesalahan. Kekeliruan atau kesalahan memberikan
hikmah tidak berani mencoba karena takut salah tidak beda halnya seperti
anak kecil yang takut mencoba berjalan karena khawatir akan jatuh, akhirnya
lama dia baru bisa berjalan oleh sebab itu jangan takut coba terus biar jatuh
akhirnya akan bisa berlari. Kerja adalah simbul hidup dengan bertambahnya
pengalaman dan ilmu pengetahuan. Walaupun demikian manusia
berkemampuan yang terbatas perlu bekerja dengan seefisien mungkin (tepat
guna). Catur asrama adalah pembagian tugas kewajiban berdasarkan umur
yang erat sekali kaitannya dengan kemampuan. Manusia adalah ciptaan dan
juga gambaran Tuhan dalam pengertian Bhuana Agung dan Bhuana Alit, jika
Tuhan diumpamakan sungai yang mengalir maka manusia adalah titik air
yang ikut dalam arus sungai tersebut. Oleh karena itu maka manusia
hendaknya meniru geraknya Tuhan jika menginginkan seperti apa yang
disebutkan sebagai berikut :

Yadi hy aham na warteyam


Jatuu karmany atandritah
Mama wartha nuwartante
Mansyah partha sawasah
Utsideyur ime loka
Na kuryam karma ced aham
Samkarasya ce karta syam
Upahanyam in ah prajah
(Bhagawadgita III.23.24).

98
Artinya :
Sebab kalau aku tidak selalu bekerja, aku jadi pencipta kekacauan
itu, dalam segala bidang apapun juga.
Dunia ini akan hancur jika Aku tidak bekerja, Aku jadi pencipta
kekacauan itu, memusnahkan manusia itu semua. Dengan demikian jika orang
tidak bekerja dia akan dilindas oleh harus berputarnya dunia dan menderita.
Penderitaan akan menjadikan kehancuran diri sendiri dan dia sendiri sebagai
pencipta kehancuran dirinya. Untuk mengatur alam semesta ini agar tidak
hancur Tuhan telah menurunkan hukum karena atau hukum sebab akibat.

a.Karma Phala
Istilah karma phala berarti hasil dari perbuatan, karena setiap
perbuatan pasti ada akibatnya, berwujud baik dan buruk, suka atau duka,
penderitaan atau kebahagiaan. Tidak ada perbuatan yang sia-sia semua akan
membuahkan hasil disadari atau tidak disadari. Dalam bayangan kebanyakan
orang hasil atau akibat dari perbuatan itu bentuknya seperti apa yang menjadi
sebab, misalnya jika saya memukul orang maka saya akan menerima balasan
pukulan, kalau saya menanam padi hasilnyapun padi. Jika demikian jalannya
karma maka orang akan takut untuk berbuat, seorang tentara tidak akan berani
maju ke medan perang membunuh musuh karena takut kena karma
pembunuhan. Proses karma phala sungguh rumit sekali, sifatnya komplek
wujudnya bisa kongkret atau abstrak, walaupun demikian karma phala adalah
suatu kebenaran suatu yang nyata-nyata ada. Jika kita berdiri di pantai maka
kita akan mendengar deburan ombak yang menakutkan menerjang batu
karang, dari mana datangnya suara yang begitu hebat ? tidak lain adalah
akibat dari titik-titik air dengan sesamanya dan sentuhan titik-titik air dalam
jumlah yang banyak menghantam pantai. Bayangkan kalau hanya setitik air
yang menghantam pantai karang tidak akan terdengar suara yang besar.
Demikian pula karma yang banyak kita perbuat secara sadar maupun secara
tidak sadar karma baik dan karma buruk semuanya tercatat dalam otak
ditampung dalam pikiran dibawah sadar. Demikian pula waktu dan situasi
pada waktu karma itu dibuat. Marilah kita lihat jalannya karma yang dibuat
oleh Dewi Drupadi dalam ceritra Mahabrata. Dewi Drupadi menerima karma

99
malu, karena secara kasar ditelanjangi oleh Dussasana atas perintah
Duryodana setelah Panca Pandawa kalah main dadu. Sebaliknya Dewi
Drupadi menerima karma pertolongan dari Sri Kresna yang membantunya
dari jauh dengan kain yang berlapis-lapis tidak habis-habisnya sampai
Dussana kehabisan tenaga tidak mampu menelanjanginya.
Karma apa yang diperbuat oleh Drupadi ? pada waktu istana Indra
Prasta telah selesai dibangun dan akan dilangsungkan upacara Rajasuya,
Karawapun diundang. Duryadana dan Dussana dengan saudara-saudaranya
datang, ditengah gedung istana ada kolam yang airnya sangat jernih sehingga
dasar kolam kelihatan jelas. Pada waktu itu Duryodana dan Dussana sedang
terheran-heran kekaguman melihat indahnya istana tidak melihat ada kolam di
depannya sehingga Duryodana dan Dussana terperosok ke dalam kolam
sampai pakainnya basah kuyup, kejadian ini dilihat oleh Dewi Drupadi dan
secara tidak sadar ia tertawa. Duryodana dan Dussana memang menaruh hati
kepada Dewi Drupadi dan sekarang ditertawai oleh orang yang dipujanya
bukan main malunya. Dendampun tertanam pada diri mereka kejadian inilah
yang merupakan karma pada Dewi Drupadi sehingga patut mendapat malu
dan ditertawai oleh mereka. Malu dibalas dengan malu pertolongan yang
diterima bisa berbeda dengan bentuk malu dan pertolongan ketika Drupadi
membuatnya. Karma phala ini adil obyektif dan tidak memihak, namun
karena kebanyakan orang tidak mengetahui proses terjadinya sehingga ada
tanggapan yang keliru. Hubungan karma dengan karma phala adalah ibarat
orang main catur hanya langkah pertama orang mempunyai kebebasan
sepenuhnya menentukan langkah berikutnya tergantung pada reaksi yang
ditimbulkan oleh langkah pertama itu. Demikianlah selanjutnya sampai
permainan selesai, langkah selanjutnya adalah merupakan jawaban dari
langkah sebelumnya. Semua sebab menimbulkan akibat dari akibat itu
menimbulkan akibat baru. Karma phala yang kita terima sekarang sebagian
besar merupakan hasil dari perbuatan yang lampau dan adanya hasil karma
yang baru saja dibuatnya.
Ada beberapa jenis karma phala yang didasarkan atas waktu karma
phala itu diterima yaitu :

100
 Prarabda Karma Phala yaitu perbuatan yang dibuat pada waktu hidup
sekarang dan diterima dalam waktu hidup sekarang juga. Orang Bali
menyebut karma semacam ini karma cicih umumnya pada jaman kaliyuga
dan saat-saat kekacauan prarabda karma itu sering terjadi.
 Kryamana Karma Phala yaitu perbuatan yang diperbuat sekarang ini
tetapi hasilnya akan diterima di alam baka setelah mati, jika perbuatan
baik yang dilakukan maka akan menikmati sorga dan begitu pula
sebaliknya karmanya buruk dia akan mendapat siksaan di neraka.
 Sancita Karma Phala yaitu perbuatan yang dibuat sekarang di dunia ini
yang hasilnya akan diterima pada kelahiran yang akan datang.

1. Raja Marga
Raja Marga adalah salah satu jalan dari empat jalan yang
dikenal di dalam Agama Hindu untuk mencapai moksa, tiga
diantaranya yaitu bhakti, karma dan janana marga telah diuraikan
dimuka. Raja Marga menggunakan pikiran sebagai alat karena itu
pengenalan terhadap pikiran itu sangat penting, tergantung dari
tidaknya kita mengendalikan / mengalahkan pikiran.
Di dalam kitab Bhagawadgita ada disebutkan beberapa cara
melakukan meditasi :

Biarlah yang memusatkan pikirannya


Terus menerus pada atman ditempat yang aman
Sendirian menguasai jiwa dan raganya
Bebas dari nafsu keinginan dan harta benda (Bhag. G.VI.10)

Dengan tubuh duduk di tempat suci, diatur untuk


Dirinya tidak tinggi dan tidak rendah
Dialasi dengan rumput suci kusa (alang-alang)
Ditutup dengan kulit rusa dan kain. (Bhag. VI.11)

Disana dengan memusatkan pikiran kesatu arah


Mengendalikan panca indra dan kerja panca indra

101
Duduk diatas tempat duduknya
Melaksanakan yoga dan menyucikan jiwa. (Bhag. G.VI.12)

Dengan badan dan leher tegak


Duduk diam tiada bergerak
Tetap memandang ke ujung hidungnya
Dan tanpa menoleh-noleh ke sekitarnya (Bhag. G.VI.13)

Dengan tentramnya atman tidak takut


Teguh melakukan Brahmacari, memikirkan
Aku dalam bhaktinya, biarlah ia duduk dengan
Aku jadi tujuannya. (Bhag.G.VI.14)

Seperti lampu di tempat tak berangin


Nyalanya tak berkedip
Dengan pikirannya yang dikendalikan
Terlatih mengendalikan diri. (Bhag.G.VI.21)

Disana dimana pikiran telah tentram


Terkendalikan oleh konsentrasi yoga jiwa
Menyaksikan jiwa bertemu jiwa
Merasa dalam bahagia, bahagia. (Bhag.G.VI.22)

Kalau kita perhatikan bait-bait diatas telah disebutkan pokok-pokok


tata cara orang untuk melaksanakan meditasi adalah sebagai berikut :
Pertama-tama carilah tempat suci yang tenang ada suci jauh dari
keramaian yang pada hakekatnya hal itu bisa dilakukan dimana saja yang
suasananya bisa mengiring ketenangan. Setelah tempat didapatkan barulah
duduk dengan sikap Padmasana yaitu kaki kanan diletakkan diatas kaki kiri,
kaki kiri diletakkan diatas kaki kanan.
Pada mulanya posisi ini memang sukar tetapi kalau sudah sering
dilatih dan dibiasakan akan terasa enak dan stabil, jari-jari harus bersentuhan

102
erat satu dengan yang lainnya dan kedua jari tangan harus diletakkan di depan.
Mata bisa dipejamkan sepenuhnya tetapi sebaiknya setengah terbuka. Apabila
semua hal tersebut telah terlaksana baru kita mengkonsentrasikan pikiran. Di
dalam mengkonsentrasikan pikiran ada dua arah yang bisa ditempuh :
 Pemusatan pikiran Tuhan dianggap di luar diri sendiri seperti di
Padmasana, Pratima, Gambar Ciwa atau Guru pada Daksina Pelinggih,
semua hal tersebut bukan saja dianggap sebagai alat untuk memusatkan
pikiran tetapi dipercaya Tuhan berada di dalamnya.
 Pemusatan pikiran bahwa Tuhan berada di dalam diri sendiri, umumnya
sebagian besar dari pemeluk agama mencari Tuhan di luar dirinya sendiri
tetapi para yogin sebaliknya Tuhan dicari di dalam dirinya sendiri sebagai
rumah Tuhan (pura) adalah badan sendiri. Di dalam Upanisad disebutkan
bahwa di dalam diri kita bertahta Atma dan Paramatma dilukiskan seperti
dua ekor burung yang bertengge pada sebuah dahan yang satu dari
padanya aktif menikmati buah yang ada di dahan itu sedangkan yang
lainnya hanya menonton hanya menyaksikan apa yang dilakukan oleh
temannya tetapi kedua burung itu adalah burung yang sama. Meditasi
adalah pertemuan Atma dengan Paramatma antara jiwa dengan jiwa seru
sekalian alam antara titik air dengan samudra.
Pemusatan pikiran dengan tujuan mencari Tuhan di dalam diri sendiri
memang sulit dan berbahaya sebab itu tuntunan guru sangat diperlukan.
Adapun dasar-dasarnya yang diperlukan dalam pemusatan
pikiran adalah sebagai berikut :

a.Kesucian Pikiran
Pikiran dapat disucikan dengan peningkatan guna sattwa mula-
mula dengan mengatasi pengaruh rajas dan tamas lama-kelamaan
menggantikan keseluruhannya dengan guna sattwa. Penyucian pikiran
secara garis besarnya dapat dilaksanakan melalui :
 Peningkatan Kesucian Melalui Makanan, Chandogya Upanisad VI.5.4.
menyebutkan :
Makanan yang kita makan dirubah menjadi tiga hal yaitu : sebagian besar
daripadanya menjadi kotoran bagian yang lainnya akan menjadi daging

103
dan yang terhalus akan menjadi pikiran. Makanan yang bersifat suci akan
menambah kesucian pikiran sedangkan pikiran yang bersifat buruk akan
menambah kekotoran pikiran. Bagi para yogi makan daging binatang
memang dipantangkan karena kebanyakan daging mengandung
unsurunsur yang bersifat rajas.
Makanan yang kita makan harus didapat dengan cara baik dengan
memperoleh makanan secara halal dan juga tempat menghidangkan atau
waktu menghidangkan serta pada saat membuatnya alat-alat yang
dipergunakan harus bersih.
 Peningkatan Kesucian Melalui Kebersihan Jasmani
Hubungan jasmani dan rohani sangat erat dan bersifat timbal balik bila
pikiran sedang sedih maka nasipun rasanya tidak enak dan nafsu makan
berkurang serta pikiranpun tidak terasa enak.
Kebersihan rohani bisa dirangsang dengan kebersihan jasmani bila baru
habis mandi maka badanpun terasa enak / segar serta pikiranpun menjadi
jernih. Orang tidak akan merasa nyaman melakukan persembahyangan
kalau badan masih penuh dengan lumpur baru datang dari sawah. Oleh
karena itu sebelum melakukan persembahyangan hendaknya mandi atau
paling sedikit mencuci muka terlebih dahulu.
 Japa, Dhyana dan Smara menyucikan pikiran kita dari semua kemelakatan
duniawi. Japa yaitu selalu menyebutkan nama Tuhan atau selalu
mengucapkan Om, Dhyana yaitu memusatkan pikiran kepada Tuhan dan
Smara yaitu ingatan selalu membayangkan Tuhan. Ketiganya ini adalah
alat yang ampuh dalam menyucikan pikiran sebagaimana halnya sabun
yang digunakan untuk membersihkan kotoran jasmani.
 Mengunjungi tempat suci, selalu bergaul dan dekat dengan orang suci
membersihkan pengaruh yang besar terhadap kesucian diri sendiri. Para
raja-raja jaman dahulu mengambil berkah dengan mengunjungi pura
ataupun candi serta tempat pemukiman para petapa dengan tujuan
menambah kesucian yang ada pada diri raja itu sendiri. Getaran kesucian
yang dipancarkan oleh orang suci mempengaruhi pikiran orang yang ada
didekatnya. Pura yang selalu disucikan mengeluarkan pula gelombang
kesucian seumpamanya kolam yang bisa membersihkan badan seseorang

104
yang menceburkan diri kedalamnya. Itu pulalah sebab pergi sembahyang
ke pura adalah lebih utama dari di rumah sendiri. Pura adalah rumah
Tuhan yang disucikan oleh orang banyak orang pikiran-pikiran suci
ditanamkan oleh umatnya pada waktu upacara penyucian bangunan pura
tersebut. Oleh karena itu pancaran kesucian Tuhan yang keluar dari tempat
suci ini akan lebih hebat dari rumah kita sendiri yang kita sering
pergunakan untuk memenuhi kebutuhan duniawi.
Namun walaupun demikian arti suci itu tidak sama dengan bersih, dalam
arti suci terkandung lahiriah dan kebersihan rohaniah.

105
BAB VIII
AGAMA HINDU DAN PEMBANGUNAN NASIONAL

Tujuan Instruksional
Menjelaskan tujuan agama Hindu dan pembangunan nasional
Mengimplementasikan dharma agama dan dharma negara
Memahami pelaksanaan ajarana agama dalam dunia modern
Mempraktekkan konsepsi Tri Hita Karana dalam kehidupan
Melaksanakan kehidupan beragama yang baik

A.Keselarasan Tujuan Agama Hindu dan Tujuan Pembangunan


Nasional
Agama Hindu adalah agama yang riil mempunyai tujuan yang ingin
dicapainya.Tujuan tersebut tersurat secara jelas dalam formula Veda
dinyatakan sebagai berikut : Moksartham jagathita ya ca iti dharmah. Tujuan
agama Hindu yang ingin dicapai dan diwujudkan dalam kehidupan ini adalah
pasti, yaitu berupa Moksa dan Jagathita melalui jalan dharma. Moksa adalah
berupa kebahagiaan bathin, sedangkan Jagathita adalah kesejahteraan lahir
dengan cara yang baik dan benar sesuai dengan petunjuk ajaran agama Hindu /
dharma.
Umat Hindu adalah manusia. Manusia adalah makhluk hidup yang
tertinggi tingkatnya dan paling sempurna keberadaannya diantara sesama
makhluk hidup ciptaan Tuhan, yang terdiri atas lahir dan batin. Ajaran agama
Hindu menuntun setiap umatnya untuk melaksanakan dharma selaras dalam
kehidupannya, berupa kesejahteraan dalam lahir yang dapat dicapai akan

106
membaca kebahagiaan dalam bathinnya. Pembangunan nasional yang telah
dicanangkan oleh pemerintah Indonesia, mempunyai tujuan yang pasti
sebagaimana disebutkan dengan satu kalimat yang oleh masyarakatnya telah
secara umum pula diketahui yaitu untuk membangun manusia Indonesia
seutuhnya.
Pengertian pembangunan adalah merupakan suatu proses menciptakan
diri yang kurang baik menjadi baik, dan manusia adalah makhluk Tuhan yang
mampu untuk itu sebab mempunyai budi dan daya yang tinggi. Seutuhnya yang
dimaksudkan adalah mencakup lahir dan batin. Pembangunan lahir adalah
pembangunan fisiknya menjadi sehat dan kuat melalui berbagai bidang
pembangunan yang telah dicanangkan tahap demi tahap baik melalui
pembangunan jangka pendek maupun jangka panjang pembangunan batin
adalah pembangunan mentalnya menjadi sadar dan bertanggung jawab sebagai
manusia makhluk tertinggi, sempurna dan mampu menjadi subyek dan obyek
dalam kehidupannya untuk membangun bangsanya.
Bila dikaji secara mendalam hakekat dan tujuan agama Hindu dengan
tujuan pembangunan nasional adalah selaras, sama dan sesuai yaitu sama-sama
ingin mewujudkan keseimbangan dalam lahir dan batinnya, sebab subyeknya
sama yaitu manusia dan obyeknya pun sama yaitu keseimbangan dalam lahir
dan batin manusia. Keseimbangan lahir dan batin manusia akan mampu
menciptakan kesejahteraan dalam lahir dan kebahagiaan dalam batin adalah
selaras dengan manusia seutuhnya yaitu tenang, aman dan damai dalam
kehidupan lahir dan batin berdasarkan dharma agama dan dharma negaranya.

B.Dharma Agama dan Dharma Negara


Dharma agama adalah merupakan tugas dan kewajiban yang patut
dilaksanakan oleh setiap umat untuk mencapai tujuan agama. Apa-apa yang
diajarkan oleh agamanya patut dapat dipedomani, dihayati dan lanjut
diamalkan dalam kehidupannya sehari-hari. Dharma agama merupakan
santapan rohani yang patut didalami secara perlahan-lahan melalui proses
berpikir mendekatkan diri kepada Tuhan / Hyang Widhi Waas, karena
sebenarnya pada diri kita masing-masing hal itu sudah ada dan tinggal
menghubungkan untuk menjadi lebih dekat lagi. Sarana mendekatkan adalah

107
dengan menuntun sang diri melalui ajarannya. Setelah tuntutan diperoleh,
terangilah diri dengan tuntutan itu agar dapat membedakan mana yang baik dan
benar serta mana pula yang buruk dan salah dan patut dihindari. Sebab tanpa
melaksanakan Dharma agama kita tahu caranya.
Kemudian setelah kita dapat menerangi diri, dharma agama mengandung
ajaran moral yang tinggi, patut untuk dihayati dengan memotivasi diri,
sehingga kita dapat mempunyai daya dorong yang lebih meyakinkan, sehingga
tak takut akan berbuat, karena apa yang akan diperbuat telah diyakini sesuai
dengan dharma. Perbuatan didasarkan pada dharma agama akan memberikan
kepuasan dan kebahagiaan tersendiri secara dinamis, sehingga menyebabkan
pemeluk agama menjadi berani, tidak takut ataupun gelisah dalam berlomba-
lomba membuat kebaikan dengan Tuhan.
Dharma negara adalah merupakan tugas dan kewajian warga masyarakat
terhadap tujuan negaranya yaitu dalam pembangunan yang telah dicanangkan.
Pembangunan negara adalah membangun untuk kepentingan kita bersama,
maka kepentingan umum berada di atas kepentingan pribadi atau golongan.
Pembangunan negara adalah pembangunan kebersamaan semua warga
masyarakat yang mendiami negara itu. Setiap orang yang tinggal dan hidup
dalam satu negara mempunyai tugas dan kewajiban untuk membangun
negaranya secara lahir dan batin sama-sama dengan warga masyarakatnya.
Semua tujuan yang ingin diwujudkan merupakan tugas pula untuk diciptakan
secara kebersamaan melalui musyawarah dan mufakat serta gotong royong.
Negara adalah tempat kehidupan untuk dapat hidup secara tenang, aman
dan damai secara lahir dan batin, maka oleh sebab itu setiap warga negara patut
berusaha menciptakannya.
Semua aturan-aturan untuk kepentingan pembangunan negara telah diatur
dan diundangkan dengan ketetapan-ketetapan dan peraturan-peraturan. Sebagai
warga negara patut mematuhinya sebagai pengabdiannya berupa dharma
terhadap negaranya.

C.Agama dan Modernisasi


Agama adalah keyakinan terhadap suatu kebenaran. Agama
Hindu mempunyai tujuan untuk mencapai moksa dan Jagathita berdasarkan

108
dharma. Dalam mengejar kesejahteraan lahir dan kebahagiaan bathin, mau
tidak mau kita dihadapkan dengan modernisasi. Modernisasi termasuk dalam
kemajuan ilmu pengetahuan. Agama Hindu menerima modernisasi secara
selektif sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama Hindu.
Modernisasi itu peranannya hanya sebagai penopang atau penunjang untuk
mencapai hakekat dari pada tujuan hidup beragama, di dalam pelaksanaan
upacara / upakara agama. Di dalam kehidupan sebagai manusia beragama,
modernisasi berpengaruh di dalam mencapai kesejahteraan hidup dan
kehidupan.
Yang dipakai tolok ukur dalam menerima atau menolak perkembangan
modernisasi yaitu :
1.Tri Samaya
- Atita = penyesuaian dengan masa lampau
- Wartamana = penyesuaian dengan masa sekarang
- Nagata = penyesuaian dengan masa yang akan datang
2.Tri Pramana
- Pratyaksa = berdasarkan penglihatan langsung
- Anumana = berdasarkan kesimpulan logis
- Agama = berdasarkan pemberitahuan orang yang dapat dipercaya
3.Rasa, usaha dan logika (akal)
- Desa = penyesuaian dengan tempat
- Kala = penyesuaian dengan waktu
- Awastha = penyesuaian dengan keadaan
Sebagai pedoman, berikut ini akan dikutipkan beberapa hasil Keputusan
Seminar Kesatuan Tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu yang berhubungan
dengan Agama dan modernisasi, dari berbagai kasus yang ada, sebagai berikut :

1.Sulinggih
Sebaiknya tidak mengemudikan kendaraan, mengingat resiko hukum bila
terjadi pelanggaran lalu lintas.
2.Melasti
Dianjurkan tidak memakai kendaraan, sepanjang masih memungkinkan.
3.Pemakaian Kaset

109
Tidak dibenarkan dipergunakan untuk mengiringi upacara agama, kecuali
untuk mengisi kekosongan sepanjang tidak merusak suasana keagamaan.
4.Plastik
a. Didalam memohon dan mundut atau memabwa tirtha, dianjurkan
supaya mempergunakan tempat dan sikap yang patut demi menjaga
kesuciannya.
b. Tidak dibenarkan memakai alat-alat yang berasal dari plastik,
imitasi dan sejenisnya sebagai pengganti dari pada daun, bunga dan
buah yang berfungsi sebagai upakara yajna.
c. Penggunaan plastik dan barang-barang imitasi sebagai wadah / hiasan
masih bisa diterima.
5.Crematorium
a. Tidak dibenarkan dipergunakan dalam pengabenan, karena ada ketentuan
khusus dalam upacara misalnya ada api pralina dan alat-alat upacara
lainnya.
b. Kalau hanya untuk pembakaran mayat guna memudahkan membawa jazad
ke tempat yang jauh atau karena alasan-alasan kesehatan, masih bisa
diterima.
6.Kompor
Penggunaan kompor dalam rangkaian pembakaran mayat bisa diterima,
sepanjang tidak merusak suasana dan tidak mengurangi syarat upacara.
7.Seng dan Genteng
Dianjurkan mempergunakan lalang dan ijuk serta bambu sebagai atap untuk
bangunan suci dan sedapat mungkin menghindari seng dan genteng sebagai
atap.
8.Beton Cetakan
a. Guna memenuhi persyaratan astha kosala kosali dan astha bhumit
bangunan pelinggih sebaiknya tidak mempergunakan beton cetakan.
b. Kalau penggunaannya bukan untuk pelinggih, masih bisa diterima.
9.Bayi Tabung
a. Bayi tabung dapat diterima atas persetujuan suami istri.

110
b. Inseminasi atau pembuahan secara suntik bagi umat Hindu dipandang
tidak sesuai dengan tata kehidupan agama Hindu, karena tidak melalui
samskara dan menyulitkan dalam hukum kemasyarakatan.
10.MR (Menstruasi Regulation)
Tidak dibenarkan, karena tergolong Brunaha, membunuh manik / embriyo
dalam kandungan, kecuali untuk kepentingan keselamatan sang ibu.

4.Tri Hita Karana


Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu
bersumber pada keharmonisan hubungan antara :
a. Manusia dengan Tuhannya,
b. Manusia dengan alam lingkungannya,
c. Manusia dengan sesamanya.
Tri Hita Karana merupakan landasan dasar bagi kehidupan desa adat di
Bali yang patut dikokohkan oleh setiap warganya dalam penerapannya.
Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu sebagai berikut :
a. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya diwujudkan dengan Dewa Yajna.
b. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya diwujudkan dengan Bhuta
Yajna.
c. Hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra Yajna
dan Manusa Yajna.
Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu di Bali dijumpai
dalam perwujudan :
. Parhyangan
. Palemahan
. Pawongan.

1.Parhyangan
Untuk di tingkat daerah berupa kahyangan jagat, di tingkat desa adat berupa
Kahyangan Desa atau Kahyangan Tiga dan di tingkat keluarga berupa
Pamerajan atau Sanggah.

111
2.Palemahan
Di tingkat daerah meliputi wilayah daerah yang bersangkutan, untuk tingkat
desa adat meliputi asengker Bale Agung, di tingkat keluarga meliputi
pekarangan perumahan.
3.Pawongan
Untuk di tingkat daerah meliputi umat Hindu yang ada di daerah itu, untuk di
desa adat meliputi krama desa adat dan di tingkat keluarga meliputi seluruh
anggota keluarga.
Penjabaran Tri Hita Karana dalam kehidupan sehari-hari antara lain
sebagai berikut :

TRI HITA KARANA


Parhyangan Palemahan Pawongan
Kahyangan Tiga Wilayah desa adat Krama desa adapt
Kahyangan Banjar Wilayah banjar Krama banjar
Pamerajan / Sanggah Pekarangan rumah Anggota keluarga
Pura Masceti / Ulun Swi Wilayah subak Krama subak
/ Bedugul
Pura Melanting Areal pasar Para pedagang
Padmasana Kantor Areal kantor Karyawan / wati kantor
bersangkutan
Padmasana Sekolah Areal sekolah Guru, pegawai dan
murid
Padmasana Kampus Areal kampus Dosen, pegawai,
mahasiswi
Padmasana Rumah Sakit Areal rumah sakit Dokter, pegawai,
perawat, pasien
Padmasana Bank Areal kantor bank Pengurus, pegawai

5.Kerukunan Hidup Beragama


Kerukunan hidup beragama dalam negara Indonesia yang berdasarkan
Pancasila, serta menjunjung tinggi sila I yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa
merupakan tugas dan kewajiban kita bersama. Sebagai umat beragama hal ini
secara jelas telah ditetapkan oleh pemerintah dengan Tri kerukunan hidup umat

112
beragama, yang menjadi tugas pada Departemen Agama selaku pembina dan
pengawasnya.

Tri kerukunan hidup umat beragama meliputi :


a. Kerukunan intern umat beragama
b. Kerukunan antar umat beragama, dan
c. Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah

6. Kerukunan Intern Umat Beragama


Kerukunan intern umat beragama mencakup kerukunan antar kita
sesama umat Hindu meliputi pribadi dengan pribadi, antara keluarga, warga
banjar, desa, sesama pemeluk sampai ke tingkat yang lebih tinggi. Untuk
memelihara kerukunan ini peranan majelis umat Hindu yaitu Parisada Hindu
Dharma Indonesia pada setiap jenjangnya memegang peranan yang penting
dalam memberikan tuntunan dan pembinaannya secara intern, mengenai
keagamaan. Sedangkan dalam pengamanan kehidupannya dan tata cara
pelaksanaannya peranan Badan Pembina Pelaksana Lembaga Adat dan
Majelis Pembina Lembaga Adat.Untuk di tingkat banjar dan desa adat, karena
desa adat mempunyai hak otonomi yaitu mengatur ke dalam sesuai dengan
Perda No. 6 Tahun 1986 (khusus untuk daerah Bali) maka kelian adat atau
Bendesa adat dapat mengatur bersama-sama dengan krama adatnya melalui
paruman dengan musyawarah dan mufakat, sehingga kerukunan intern itu
dapat diwujudkan.

7. Kerukunan Antar Umat Beragama


Kerukunan antar umat beragama adalah menyangkut antara umat yang
berbeda-beda agama. Diam di wilayah negara Republik Indonesia patut sama-
sama menegakkan Pancasila. Kerukunan dalam kehidupannya masing-masing,
patut dapat saling cinta mencintai, harga menghargai dan hormat menghormati
karena pada dasarnya semua manusia di mata Tuhan adalah sama. Untuk
mewujudkan kerukunan ini, pemerintah melalui Departemen Agama telah
mengeluarkan peraturan dan perundang-undangan yang menyangkut tata
kehidupan beragama dan pendirian rumah-rumah ibadah yang patut dipedomi,

113
dihayati dan diamalkan. Selain itu masing-masing majelis umatnya patut
memberikan tuntunan untuk mewujudkan kerukunan itu, agar ketentraman
dan kedamaian sesama umat beragama dapat diciptakan.

8. Kerukunan Antar Umat Beragama dengan Pemerintah


Kehidupan agama di Indonesia ditetapkan oleh pemerintah Republik
Indonesia dengan Penetapan Pemerintah No. 1 Tahun 1965, dimana agama
Hindu yang kita anut adalah agama yang resmi sama kedudukannya dengan
agama-gama yang lainnya seperti Islam, Kristen, Katolik dan Buddha.
Sebagai agama yang resmi, maka dalam kehidupannya disamping
memperoleh santunan maka kita sebagai pemeluknya wajib mentaati segala
aturannya yang telah ditetapkan untuk mewujudkan kerukunan yang
didambakan bersama, demi tegaknya negara dan Pancasila dan Undang-
undang Dasar 1945. Dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam pasal 29 ayat
(1) dan (2) dengan tegas telah dinyatakan, bahwa negara Indonesia
berdasarkan Pancasila dan setiap umat beragama diberikan kebebasan untuk
memeluk agamanya masing-masing sesuai dengan kepercayaannya. Kemudian
dalam tata kehidupan beragama pemerintah melalui Departemen Agama
menjabarkan lagi, hal-hal mana yang perlu diatur, karena telah dirasakan
sangat peka. Akhirnya keluarlah berbagai keputusan. Instruksi dan lain
sejenisnya demi lebih mantapnya kerukunan hidup umat beragama itu.
Berikut ini dikutipkan Keputusan Menteri Agama No. 70 Tahun 1978,
tentang pedoman penyiaran agama, isinya adalah :

Pertama
Untuk menjaga stabilitas nasional dan demi tegaknya kerukunan antar
umat beragama, pengembangan dan penyiaran agama supaya
dilaksanakan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, tepi-saliro,
saling menghargai, hormat menghormati antar umat beragama sesuai
dengan jiwa Pancasila.

Kedua

114
a. Penyiaran agama tidak dibenarkan untuk ditujukan terhadap orang dan atau
orang yang telah memeluk sesuatu agama lain.
b. Dilakukan dengan menggunakan bujukan / pemberian materiil, uang,
pakaian, makanan, minuman, obat-obatan dan lain-lain agar supaya orang
tertarik untuk memeluk suatu agama.
c. Dilakukan dengan cara penyebaran pamflet, buletin, majalah, buku-buku dan
sebagainya di daerah-daerah / di rumah-rumah kediaman umat / orang yang
beragama lain.
d. Dilakukan dengan cara-cara masuk keluar dari rumah ke rumah orang yang
telah memeluk agama lain dengan dalih apapun.

Ketiga
Bilamana ternyata pelaksanaan pengembangan dan penyiaran agama,
sebagaimana yang dimaksudkan diktum kedua, menimbulkan tegangnya
kerukunan hidup antar umat beragama akan diambil tindakan sesuai
dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Keempat
Seluruh aparat Departemen Agama sampai ke daerah-daerah diperintahkan
untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan ini dan selalu
mengadakan konsultasi / koordinasi dengan unsur-unsur pemerintah dan tokoh-
tokoh masyarakat setempat

115
BAB IX
SOSIOLOGI HINDU DHARMA

Tujuan Instruksional
Menjelaskan kehidupan keluarga dan masyarakat
Memahami kewajiban keluarga
Memahami kewajiban bermasyarakat
Memahami perbedaan Catur Warna

A.Keluarga dan Masyarakat dalam Agama Hindu


1.Tingkatan Hidup Manusia
Tujuan hidup menurut ajaran Hindu dipisahkan dengan tujuan agama.
Tujuan agama adalah untuk mencapai Jagadhita, yaitu kesejahteraan hidup dan
moksa. Sedang tujuan hidup manusia adalah tercapainya Catur Purusa Artha,
yang terikat sebagai suatu jalinan yang harmonis dalam kehidupan ini, yaitu :
Dharma, Artha, Kama dan Moksa.
Tujuan hidup yang sekaligus merupakan dasar kehidupan ini adalah hal
yang sangat hakiki dan bersifat universal. Di dalam mencapai tujuan itu
hendaknya senantiasa berdasarkan dharma. Mencapai atau mencari artha dan
kama, terlebih lagi di dalam mencari moksa, seseorang tidak boleh sama sekali
mengingkari dharma.
Selanjutnya bila ditinjau dari segi manusia sebagai makhluk individu yang
selalu berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan alam lingkungannya,
maka agama Hindu membagi tingkat masa kehidupan manusia menjadi empat
tingkatan yang disebut Catur Asrama.
Adapun empat masa kehidupan atau tingkatan hidup manusia itu adalah :
a. Brahmacari Asrama, yakni masa kanak-kanak, masa untuk belajar.
b. Grhasta Asrama, yakni masa berumah tangga.

116
c. Vanaprastha Asrama, yakni masa untuk mengurangi ikatan keduniawian.
d. Sannyasa atau Bhiksuka Asrama, yaitu masa memusatkan pikiran untuk
mencari moksa.
Untuk lebih jelasnya uraian tentang Catur Asrama ini kami kutipkan
naskah Agastya Parwa dalam bahasa Jawa Kuno sebagai berikut :
Catur asrama naranya brahmacari, grhastha, vanaprastha, bhiksuka.
Nahan tan caturasrama, naranya. Brahmacari naranya san sdhen
magabhyasa san mankana kramanya san brahmacari narannya.
Kunan san sinanguh bramacaring rin loka, ikan san wisaya istriyadi,
yeka brahmacari rin loka. Kunan ikan brahmacari waneh sinanguh
brahmacari carapan, paranin atma pradesa sanksepannya, san
yogisware sira brahmacari rin sastrantara ring sastranjna. Huwus
pwenak tama nira rin aji kabeh ikan sagaregep denira, grihastha pwa
sira, mastripwa sira manak, madrewya kulun, ityeawawadi,
manunaken kayika dharma yatha sakti. ri tlasnire grahastha dharma,
ginawayaken ira wanaprastha ta sira, mur saken graha mwan
mungwin sucidesa, makadi wukir, magawe patapan sesananira,
gumawayaken pancakarma mwan malwani wisaye mwan
mandesanaken dharma. Huwus pwasira wanaprastha, bhiksuka ta
sira, mur saken patapan nira, nispaigraha, tan panaku patapan, tan
panaku sisya, tan panaku panawruh, pada ya tiningalaken nira.
Agastya Parva, 10
Artinya :
Yang bernama Catur Asrama adalah Brahmacari, Grhasta,
Vanaprastha, Bhiksuka. Demikianlah yang bernama Catur
Asrama, Brahmacari namanya orang yang sedang membiasakan
(mempelajari dengan cermat) ilmu pengetahuan (sastra) dan
yang mengetahui perihal ilmu huruf (aksara) orang yang
demikian pekerjaannya bernama Brahmacari. Adapun yang
dianggap Brahmacari di dalam masyarakat (ialah) orang yang
tidak terikat keduniawian (sebagai) beristri dan sebagainya.
Adapun Brahmacari yang lain (dari itu) disebut Brahmacari
caranam, artinya menurut ilmu kerohanian (Atmapradesa). Sang

117
Yogesvara beliau Brahmacari di dalam berbagai-bagai ilmu
(sastrantara), di dalam pengertian ilmu (sastajna) setelah puas
dimasukinya pengetahuan semua yang dikehendaki beliau
(menjadi) grhastalah beliau, beranak mempunyai budak dan
sebagainya, menempuh kebajikan yang berhubungan dengan
diri pribadi (kayikadharma) dengan kekuatan yang ada padanya
(yathasakti). Setelah dilakukan dharma grhasta (menjadi)
vanaprasthalah beliau pergi dari desa dan menetap di tempat
yang bersih suci terutama di gunung, mendirikan pertapaan
sebagai tempat melakukan Pancakarma dan mengurangi nafsu
keduniawian serta mengajarkan ajaran kerohanian (dharma).
Setelah beliau vanaprastha, bhiksukalah beliau, pergi dari
pertapaan, tidak terikat, tidak mengaku memiliki pertapaan,
tidak merasa memiliki murid (sisya), tidak merasa
berpengetahuan, semua itu ditinggalkan beliau.
Berdasarkan kutipan di atas maka tingkatan Catur Asrama ini harus
dilalui secara bertahap sesuai dengan pertumbuhan rohani dan
jasmani seseorang.

2.Kedudukan dan Kewajiban Keluarga


Tingkatan hidup berumah tangga atau membina keluarga disebut
Grhastha. Seorang Grhastin atau kepala keluarga memikul tanggung jawab
yang besar. Menurut ajaran agama Hindu yang berfungsi sebagai kepala
kelaurga adalah ayah, seorang ibu adalah pengasuh atau pembina keluarga
terutama anak-anak yang lahir dalam keluarga itu. Mengingat adalah ayah
sebagai penanggungjawab keluarga, maka seorang anak laki-laki dimasa yang
lalu mempunyai kedudukan yang istimewa dibandingkan anak perempuan.
Seorang anak laki-laki bertindak sebagai penerus kelangsungan hidup keluarga.
Bila tidak terdapat anak laki-laki dalam keluarga itu anak perempuan boleh
bertindak sebagai anak laki-laki, asal tetap tinggal di rumah ayahnya.
Seandainya dia kawin maka perkawinan bersifat istimewa dan suaminya
mengikuti istrinya. Perkawinan itu disebut “Nyentana”. Kata itu rupanya
berasal dari kata “Sanatana” yang berarti “abadi”.

118
Menurut Manavadharmasastra dan Mahabratha bahwa setiap anggota
keluarga mempunyai kewajiban masing-masing sesuai dengan dharma.

a.Kedudukan dan Kewajiban Ayah


Seorang ayah atau suami mempunyai kedudukan yang sejajar dengan ibu dan
istrinya. Namun demikian Svadharmanya secara kodrati peranan ayah atau
suami lebih menonjol. Suami sebagai bapak mempunyai fungsi sebagai kepala
rumah tangga yang harus dihormati.
Adapun kewajiban ayah atau suami menurut Manawa dharmasastra
adhyaya IX, sloka 3, 7, 11, 74 dan 102 intinya sebagai berikut :
 Seorang ayah harus melindungi ibu serta putra putrinya, dan mengawinkan
bila saatnya tiba nanti.
 Ia harus menyerahkan harta atau penghasilannya kepada ibu untuk
mengurus rumah tangga.
 Menjamin hidup dan memberi nafkah kepada ibu, bila karena sesuatu
urusan penting (tugas) – dimana harus meninggalkan keluarga keluar
daerah.
 Memelihara kehidupan yang suci dan saling mempercayai sehingga
terbina keharmonisan keluarga.
 Memberi kebahagiaan kepada ibu dan putra-putrinya digambarkan oleh
Maharsi Yajnavalkya seperti halnya kerang dengan kulitnya, mereka tidak
boleh terpisah karena perpisahan diantara mereka akan mengakibatkan
kehancuran.

b.Kedudukan dan Kewajiban Ibu


Kedudukan ibu memegang peranan yang sangat penting dalam rumah
tangga. Tugas dan tanggung jawab seorang ibu sangatlah berat. Sejak ibu hamil
melahirkan, memelihara dan mendidik putra-putrinya dalam rumah tangga yang
merupakan tugas yang dilakukan oleh seorang ibu.
Tentang kewajiban seorang ibu, di dalam Manavadharmasastra maupun
Itihasa ditentukan sebagai berikut :
 Seorang ibu tidak boleh bertindak sendiri-sendiri tanpa sepengetahuan
ayah.

119
 Ibu harus pandai menempatkan diri, mengatur dan memelihara
keharmonisan rumah tangga.
 Ibu harus setia kepada ayah dan putra-putrinya dengan tetap berpegang
pada dharma.
 Seorang ibu harus selalu mengendalikan pikiran, perkataan dan
tindakannya dengan selalu mengingat dan memuja Sang Hyang Widhi,
merenungkan kebenaran dan mencintai sepenuh hatinya, ayah dan putra-
putrinya. Ibu demikian disebut Patibrata dan kelak bila meninggal dunia
niscaya akan mencapai sorga.
 Ibu wajib menegur ayah bila ayah melakukan perbuatan yang keliru dan
menjurus pada kehancuran rumah tangga. Demikian kewajiban seorang
ibu yang sangat mulia yang patut dicintai dan dihormati putra-putrinya.

c.Kedudukan dan Kewajiban Anak Laki dan Perempuan


Kelahiran seorang anak laki-laki di dalam kelaurga Hindu merupakan
kebahagiaan, karena mempunyai anak laki-laki adalah tujuan utama dari setiap
keluarga Hindu. Demikian pandangan umat Hindu di masa lalu.
Anak laki-laki disebut putra dan dipandang sebagai juru selamat nenek
moyang yang telah meninggal, menyelamatkannya dari neraka. Penjelasan ini
dijumpai dalam kitab Adiparva.
Walaupun memperoleh anak laki-laki merupakan anugrah utama bagi
keluarga, tetapi dengan kedudukan anak laki-laki yang berbeda antara yang satu
dengan yang lain. Dikatakan bahwa yang berhak melakukan upacara Sraddha
(Upacara Pitra Yajna) adalah anak laki-laki yang sulung. Putra sulung itulah
yang dapat menebus hutang ayahnya yang disebut “Pitra Rnam”.
Apabila seorang ayah meninggal maka saudara-saudaranya menjadi
tanggung jawabnya untuk membimbing dan mengasuhnya. Jadi keselamatan
keluarga tergantung dari baik buruknya dari sifat anak laki-laki tertua itu.
Demikian antara lain kedudukan dan kewajiban putra sulung dan anak laki-laki
dalam keluarga.
Berbeda halnya dengan kedudukan anak laki-laki maka kedudukan anak
perempuan karena dianggap sebagai dewi kemakmuran bertahta.

120
Apabila dalam satu keluarga tidak terdapat anak laki-laki maka ia berhak
pula mewarisi semua harta peninggalan orang tuanya. Sedang bila mempunyai
saudara laki-laki maka ia berhak pula mewarisi separo dari yang diterima oleh
saudaranya laki-laki.
Jadi dalam keluarga Hindu kedudukan anak perempuan mendapat tempat
yang istimewa pula.

d.Kedudukan Orang Tua dalam Keluarga


Disamping kedudukannya sebagai seorang ayah atau seorang ibu seperti
telah diuraikan di depan namun secara umum orang tua mempunyai kedudukan
sebagai pelindung keluarga, karena itu seorang anak berhutang hidup kepada
orang tuanya. Selain itu orang tua juga dianggap guru, sehingga mereka harus
dihormati.
Bagi keluarga Hindu rasa hormat dan bhakti kepada orang tua (ayah, ibu,
kakek, nenek, dan seterusnya) dilakukan dengan penuh kesadaran tanpa
memandang status sosial orang tuanya, karena orang tua itu adalah guru dan
mediator penciptaan manusia.
Dalam hal ini suatu keluarga, rumah tangga atau grhasta merupakan
tempat pemeliharaan keharmonisan hidup atau tempat seseorang memperoleh
kesempurnaan hidupnya, melakukan yajna dan mewujudkan Purusartha. Dalam
keluarga itu adalah suatu dharma, dimana artha dan kama dapat dicapai sebaik-
baiknya.
Apabila setiap kewajiban dalam keluarga dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya niscaya tujuan hidup berupa Jagadhita dan Moksa akan dapat dicapai.

3.Kewajiban Hidup dalam Masyarakat


Setiap orang tidak dapat memisahkan dirinya dengan kehidupan masyarakat.
Masyarakat yang sejahtera dan bahagia akan dapat diwujudkan apabila setiap
individu dalam masyarakat telah melaksanakan kewajiban dengan sebaik-
baiknya. Dengan melaksanakan kewajiban hidup dan swadharma masing-
masing akan terwujud hubungan yang serasi dan harmonis antara seseorang
dengan yang lainnya dan antara seseorang dengan masyarakat.

121
Tentang kewajiban hidup dalam masyarakat, Maharsi Manu dan
Yajnavalkya menjelaskan bermacam-macam dharma yang menjadi svadharma
hidup seseorang. Dharma dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat
dibedakan atas :
 Varna Dharma, yaitu dharma atau kewajiban hidup sesuai dengan varna
atau profesi masing-masing seperti Brahmana (pendeta), Ksatriya
(angkatan bersenjata, politisi), Vaisya (para pedagang) dan sudra (buruh
dan tani).
 Asrama Dharma, yakni kewajiban hidup sesuai dengan tingatan atau
tahapan hidup seseorang, misalnya sebagai brahmacari (pelajar,
mahasiswa), grhastha (rumah tangga), vanaprastha (orang tua yang mulai
mengurangi ikatan duniawi) dan sebagai sannyasin (seseorang yang
mempersiapkan diri mencari kelepasan).
 Varnasrama Dharma, yaitu kewajiban hidup antara profesi dan tingkatan
hidup seperti diatas.
 Guna Dharma, yaitu kewajiban seseorang yang ada hubungannya dengan
sifat dan pembawaan, misalnya seniman, dan lain-lain.
 Nimita Dharma, yaitu kewajiban seseorang yang ada hubungannya dengan
hal-hal tertentu misalnya kelahiran.
 Sadhararana Dharma, yaitu kewajiban yang meliputi kewajiban-
kewajiban umum bagi setiap anggota masyarakat dengan tidak
mengindahkan pangkat atau jabatan seseorang dalam masyarakat.
Salah satu contoh untuk menjelaskan salah satu kewajiban hidup dalam
masyarakat di sini dikemukakan kewajiban seorang Brahmana atau Pendeta
dalam masyarakat. Seorang Brahmana dalam hidupnya sehari-hari harus
mengutamakan penyucian rohani, sebagai lokapalasraya yakni mengamalkan
ilmunya serta melayani kehidupan keagamaan masyarakat baik yang bersifat
rutin maupun insidental. Contoh-contoh tentang swadharma seseorang dalam
masyarakat dapat kita dalam pergaulan hidup sehari-hari.

B.Catur Warna

122
Kata Warna dalam bahasa Sansekerta berasal dari kata Vr yang berarti
pilihan. Catur Varna berarti 4 pilihan setiap orang terhadap profesi yang cocok
untuk dirinya masing-masing.
Ajaran Catur Warna ini diamanatkan dalam kitab suci Weda Mandala X,
sukta 90 yang terkenal dengan nama Purusa Sukta. Mantra ini juga dijumpai
dalam Sama Weda, Aranya Samhita (IV.3), Atharvaveda (19.6) Pranyaka dari
Krsna Yajurweda (III.12) dan lebih dikembangkan dalam sukta yajurweda
Wajasaneyi (31,2). Selanjutnya dapat juga kita jumpai dalam Maitri Upanisad,
Mahabratha, Bhagawadgita dan Manava Dharmasastra.
Catur Warna sebagai ditegaskan di dalam Bhagavadgita berdasarkan guna
dan karma. Guna (sifat) dan karma (macam pekerjaan) menunjukkan golongan
seseorang. Hal ini juga ditunjang oleh Bhagavan Sri Krsna dalam Gita, Beliau
bersabda :
Empat golongan manusia berasal dari-Ku dengan pembagian sifat dan
kegiatan yang berbeda. Ketahuilah bahwa Aku yang menjadi asal mula
mereka, walaupun tanpa kerja dan terjadi terus menerus (IV.13).
Ada tiga sifat atau Guna, yaitu sattva (murni), rajas (nafsu) dan tamas
(lembam). Sattva adalah putih, rajas adalah merah dan tamas adalah hitam.
Ketiga sifat ini terdapat pada setiap orang dalam berbagai imbangan. Bila
sattva yang lebih berpengaruh pada beberapa orang, yaitu para Brahmana, yang
merupakan orang-orang bijaksana dan para pemikir. Mereka adalah para
pendeta, menteri atau para filsuf, yang menuntun para raja atau pemerintah.
Pada beberapa orang rajas yang lebih berpengaruh; yaitu para Ksatriya, berupa
tentara, atau orang-orang trengginas. Mereka bertempur dengan musuh-musuh
atau para penyerang dan mempertahankan negara. Pada beberapa orang tamas
lebih berpengaruh, berupa orang-orang Waisya atau para pengusaha. Mereka
melakukan perdagangan dan pertanian dan menimbun kekayaan. Sudra adalah
para nelayan. Tak ada sifat-sifat yang dikembangkan secara menonjol pada
mereka. Mereka melayani ketiga golongan yang lain.
Dalam pengertian yang lebih luas, manusia sattvika adalah mereka yang
saleh dan bajik serta menuntun kehidupan kedewataan, merupakan seorang
Brahmana; seorang rajasika dengan sifat heroik adalah seorang Ksatriya;
seorang rajasika dengan kecenderungan berusaha adalah seorang Vaisya dan

123
seorang tamasika adalah seorang Sudra. Hitler dan Musolini adalah ksatriya
sedangkan Ford adalah seorang Vaisya.
Ketenangan, pengendalian diri, kesederhanaan, kemurnian, ampunan dan
juga ketulusan, pengetahuan, realisasi dan percaya pada Tuhan merupakan
kewajiban para Brahmana, yang lahir dari sifatnya (sendiri). Kegagahan,
kecermelangan, kemantapan, kecekatan dan juga tidak lari dari peperangan,
kedermawanan dan keagungan, merupakan tugas dari para ksatriya yang lahir
dari sifatnya (sendiri). Pertanian, pengembalaan ternak, dan berusaha
(berdagang) merupakan tugas para vaisya yang lahir dari sifatnya (sendiri).
Dan kegiatan yang mengandung pelayanan merupakan tugas para sudhra, yang
lahir dari sifatnya (sendiri).

1.Hukum Ekonomi Spiritual


Prinsip-prinsip yang mendasari sistem golongan atau varna dharma,
merupakan pembagian kerja. Para rsi mempelajari sifat-sifat manusia secara
cermat dan mereka sampai pada kesimpulan bahwa semua orang tidak sama
kemampuannya untuk segala jenis pekerjaan. Oleh karena itu mereka
berpendapat perlunya untuk menentukan jenis tugas yang berbeda untuk
golongan orang yang berbeda. Para Brahmana ditugaskan menangani masalah
spiritual dan intelektual. Pekerjaan administrasi politik dan pertahanan
diberikan kepada para ksatriya. Vaisya dipercayakan dengan tugas
menyediakan makanan bagi bangsa dan mengatur kesejahteraan ekonomi
mereka. Para Sudra melakukan pekerjaan kasar. Para rsi merasakan semuanya
perlu bagi masyarakat Hindu dan memulai sistem varna dan asrama. Pembagian
kerja ini dimulai pada jaman Weda. Weda mengajarkan bahwa para Brahmana
merupakan otak masyarakat; para Ksatriya lengannya, para Waisya perutnya
dan Sudra adalah kakinya.
Ada suatu perselisihan antara indriya, pikiran dan prana; siapa yang lebih
unggul di antara mereka. Ada juga perselisihan anatra organ-organ yang
berbeda dengan perut. Bila tangan berselisih dengan perut, organ akan
menderita. Kepala atau perut tak dapat menuntut keunggulannya atas kaki dan
tangan. Tangan dan kaki sama pentingnya seperti perut atau kepala. Bila terjadi
perselisihan antara golongan yang berbeda, tentang keunggulan masing-masing,

124
maka keseluruhan struktur sosial akan menderita. Hal-hal yang demikian ini
akan menjadi tidak selaras, terpecah dan berselisih. Para pemulung dan tukang
cukur, sama pentingnya dengan seorang menteri bagi kelangsungan jalannya
masyarakat. Struktur sosial dibangun pada hukum-hukum ekonomi spiritual.
Tak ada yang berlaku lebih unggul atau lebih rendah. Setiap golongan
menyumbangkan karya yang terbaik pada kesejahteraan umum atau solidaritas
dunia. Di sini tak ada masalah lebih tinggi atau lebih rendah.

2.Watak Penentuan Golongan


Seorang Brahmana bukanlah Brahmana, bila tidak dikaruniai dengan
watak yang murni dan baik serta bila ia menjalani kehidupan yang tak bermoral
dan pemboros. Seorang Sudra adalah Brahmana, bila ia menjalani kehidupan
bajik dan mulia. Sebagai contoh, bagaimana keagungan jiwa Widura.
Bagaimana mulai, terus terang, ketulusan murid Satyakama Jabala dan
Chandogya Upanisad, Golongan merupakan masalah watak. Warna bukanlah
tentang warna kulit, tetapi varna dari karakter atau sifat silsilah keturunannya
sendiri. Bila seseorang kelahiran Brahmana dan pada saat yang sama, bila ia
memiliki kebajikan seorang Brahmana, hal itu benar-benar sangat baik, karena
kualifikasi kebajikan tertentu hanya memantulkan kelahiran seorang
Brahmana.

3.Penggunaan dan Salah Penggunaan Sistem Golongan


Orang Hindu tetap bertahan hidup, walaupun banyak penakluk asing,
disebabkan oleh sistem golongan mereka. Tetapi mereka telah mengembangkan
golongan kecemburuan dan kebencian pada nama sistem golongan. Mereka
tidak memakainya dalam kerja sama spiritual. Itulah sebabnya mengapa mereka
sekarang lemah dan terpecah belah. Mereka telah menjadikannya sekte-sekte
pada sistem golongan itu, sehingga terjadi kemerosotan di India, atau dimana
saja.
Sesungguhnya golongan merupakan hal yang baik sekali, yang tetap tanpa
cacat. Tetapi kerusakan muncul dari mana-mana. Golongan tersebut secara
bertahap mengabaikan kewajibannya dan cobaan kecakapan dan karakter secara
pelan-pelan lenyap. Kelahiran menjadi pertimbangan utama dalam golongan.

125
Semua golongan berjatuhan dari cita-cita mereka dan melupakan semua
masalah kewajiban mereka. Para Brahmana menjadi egois dan menyatakan
keunggulan mereka terhadap yang lain cuma pada masalah kelahiran, tanpa
memikirkan hak atas kemampuan tersebut. Para Ksatriya kehilangan semangat
dan keksatriyaan berkorban. Para Waisya menjadi sangat pelit. Mereka
memperoleh kekayaannya dengan cara yang tidak baik dan tidak
memperhatikan kesejahteraan ekonomi rakyat dan tidak memberikan sedekah.
Mereka juga kehilangan semangat berkorban. Para Sudra menghentikan
pelayanannya. Mereka menjadi orang-orang kantor dan mengiginkan orang lain
untuk melayani mereka. Ketamakan dan kesombongan manusia telah
menimbulkan perpecahan dan ketidakselarasan.
Tak ada yang salah pada sistem varnasrama. Kecongkakan dan
keangkuhan manusialah yang mendatangkan petaka. Manusia atau jiwa kecil
tidaklah sempurna. Ia penuh dengan cacat dan hanya menunggu kesempatan
untuk mengatasi orang lain. Kaum Brahmana berpikir bahwa ketiga golongan
yang lain lebih rendah dari padanya. Seorang Sudra yang kaya berpikir bahwa
ia lebih unggul dari pada seorang Brahmana atau Ksatriya yang miskin, ataupun
Waisya yang miskin.

126
BAB X
SILA DAN ETHIKA HINDU

Tujuan Instruksional
Memahami pengertian Sila dan Etika
Mampu mengendalikan diri dalam kehidupan sehari-hari
Memahami agama sebagai dasar kesusilaan
Memahami ajaran etika dalam kitab suci Hindu

A.Pengertian Ethika
Ethika adalah pengetahuan tentang kesusilaan. Kesusilaan berbentuk
kaidah-kaidah yang berisi larangan-larangan atau suruhan-suruhan untuk berbuat
sesuatu. Dengan demikian dalam ethika kita akan dapati ajaran tentang perbuatan
yang baik dan perbuatan yang buruk. Perbuatan yang baik itulah supaya
dilaksanakan dan perbuatan yang buruk itu dihindari.
Tiap-tiap perbuatan itu berdasarkan atas kehendak atau buddhi. Jadi apa
yang diperbuat orang itu bermula dari kehendak. Oleh karena manusia dihadapkan
kepada dua pilihan yaitu pilihan pada yang baik dan buruk maka ia harus
mempunyai kehendak bebas untuk memilih. Tanpa kebebasan itu orang tidak
dapat memilih menurut kehendaknya ? Dalam hubungan ini manusia mempunyai
kebebasan yang terbatas juga. Yang membatasinya itu adalah norma-norma yang
berlaku.
Pada mulanya norma berarti penyiku, suatu perkakas yang digunakan oleh
tukang kayu untuk mengetahui apakah suatu sudut memang benar-benar siku-
siku. Bahkan pembuat perabot rumah tidak akan secara untung-untungan
menggergaji sebilah papan, sebelum ia menggambarkan sebuah sudut siku-siku
pada papan tersebut. Dengan demikian norma berarti sebuah ukuran yang
kemudian dalam hubungan dengan etika berarti pedoman, ukuran atau haluan

127
untuk bertingkah laku. Norma ini timbul karena kita berada bersama orang lain
dan lingkungan hidup dan alam.

1.Subha Asubha Karma


Dalam Bhagawadgita kecenderungan-kecenderungan sifat manusia
dibedakan menjadi dua bagian yaitu :
a. Daivi Sampat, yaitu kecenderungan kedewataan. Kecenderungan kedewataan
adalah kecenderungan-kecenderungan yang mulia yang menyebabkan
manusia berbudi luhur yang mengantarkan orang untuk mendapatkan
kerahayuan.
b. Asuri Sampat, yaitu kecenderungan keraksaan. Kecenderungan ini adalah
kecenderungan yang rendah yang menyebabkan manusia berbudi rendah yang
menyebabkan manusia dapat jatuh ke jurang neraka.
Kedua kecenderungan itu ada pada diri semua orang hanya dalam ukuran
yang berbeda-beda. Ini berarti bahwa dalam diri orang terdapat sifat baik dan sifat
buruk atau subhakarma dan asubha karma.
Sarasamuccaya menyebutkan bahwa hanya manusialah yang mengenal
perbuatan yang salah dan benar, baik dan buruk. Dan dapat menjadikan yang tidak
baik itu menjadi baik. Itulah salah satu kemampuan manusia yang diberikan oleh
Tuhan.

2.Pengendalian Diri
Agar orang tidak dikuasai oleh kecenderungan-kecenderungan yang
rendah ia harus mengendalikan diri dari guncangan-guncangan hati yang tidak
baik. Guncangan-guncangan itu semula ada angan dalam bentuk keinginan.
Setiap keinginan menuntut kepuasan pada obyeknya. Indriya merupakan
alat untuk memenuhi keinginan itu. Indriyalah yang menghubungkan manusia
dengan alam ini. Sentuhan indriya dengan alam ini menimbulkan guncangan-
guncangan pribadi orang. Bahkan tidak jarang orang mendapat celaka karena
terlalu memenuhi keinginan indriyanya. Karena itu orang harus dapat
mengendalikan indriya pada hal-hal yang membawa kerahayuan. Kitab
Sarasamuccaya 71 mengatakan demikian :
Indriyanyeva tat sarvam yat svarganarakavubhau,

128
Nigrhitanissrstani svargaya narakaya ca.
Nyan pajara waneh, indriya ikan sinangah swarganaraka,
Kramanya, yan kawasa kahrtanya, ya ika saksat swarga
Naranya, yapwan tan kawasa kahrtanya saksat naraka ika.
Terjemahan :
Inilah yang patut saya ajarkan lagi, indriyalah yang dianggap
sorga dan neraka. Bila orang sanggup mengendalikannya, itu
semata-mata sorga namanya, tetapi bila tidak sanggup
mengendalikannya benar-benar nerakalah ia.
Kitab Katha Upanisad I.3.3-8 menyebutkan demikian :
Atmanam rathinam vidhi,
Sariram ratham eva tu,
Buddhim tu saradhim viddhi,
Manah pragraham eva ca.
(Katha Upanisad I.3.3)
Terjemahan :
Ketahuilah bahwa sang pribadi dalam Tuannya kereta, badan adalah
kereta,
Ketahuilah bahwa kebijaksanaan itu adalah kusir, dan pikiran adalah
tali kekangnya.
Indriyani hayan ahur visayam tesu gocaran, atmendriya mano yuktam
bhoktety ahur manisinah.
(Katha Upanisad I.3.4)
Terjemahan :
Indriya, mereka menyebut, adalah kuda, sasaran indriya adalah
jalan. Sang pribadi dihubungkan dengan badan, indriya dan
pikiran, ialah yang menikmati. Demikian orang-orang pandai
menyebutkannya.
Yas tv avijnanavan bhavaty, ayuktena manasa sada tasyendriyany
avasyani dustasva iva saratheh.
(Katha Upanisad I.3.5)
Terjemahan :
Dia yang tidak memiliki kesadaran,

129
Yang pikirannya tidak terkendali,
Yang indriyanya tidak dapat diawasi,
Semua itu adalah laksana kuda-kuda binal bagi si kasir
Yas tu vijananavan bhavati, yuktena manasa sada,
Tasyendriyani vasyani sadasvani iva saratheh.
(Katha Upanisad I.3.6)
Terjemahan :
Dia yang tidak memiliki kesadaran,
Yang pikirannya selalu terkendali,
Yang indriyanya selalu dapat diawasi,
Semua itu laksana kuda-kuda yang bagus bagi si kusir,
Yas tvabijnanavan bhavaty amanaskas sada ‘sucih
Na sat tat padam apnoti samsaram cadhigacchati.
(Katha Upanisad I.3.7)
Terjemahan :
Dia yang tidak memiliki kesadaran,
Yang tidak kuasa atas pikirannya yang tidak suci,
Ia tidak akan sampai pada tujuan hidupnya
Bahkan akan kembali kepada kesengsaraan.
Yas tu vijnanavan bhavati samanaskas sada sucih
Sa tu tat padam apnoti yasmat bhujo na jayate.
(Katha Upanisad I.3.8)
Terjemahan :
Ia yang memiliki kesadaran akan kusir kereta itu dan mengendalikan
tali kekang pikirannya,
Ia mencapai akhir dari perjalanan itu yaitu alam tertinggi,
alamnya ia yang meresapi segala.

B.Agama Sebagai Dasar Kesusilaan


Andaikata orang mengatur dirinya bertingkah laku hanya karena orang
lain, maka sewaktu-waktu ia akan berani saja berbuat tidak baik, apabila tidak ada
orang melihatnya, karena dengan demikian tidak ada orang yang memberikan

130
hukuman. Tetapi untunglah tidak demikian halnya, karena orang-orang yang
hidup di dunia ini mempunyai kesadaran, bahwa disamping orang lain, alam,
Hyang Widhi akan menentukan akibat dari perbuatannya. Kalau perbuatannya
baik maka baik pula akibatnya dan bila buruk perbuatannya maka buruk pula
akibatnya.
Kalau orang berani mengiris kulitnya, alam akan memberikan
hukumannya. Orang itu akan luka dan sakit .
Tidak ada seorangpun yang luput dari hukum alam. Dengan menyadari
adanya hukum alam itu orang akan mengatur dirinya dalam berbuat sesuatu sesuai
dengan hukum alam itu agar selamatlah hidupnya di dunia ini.
Tetapi bagaimanakah halnya dengan perbuatan-perbuatan jahat seperti
mencuri, menyiksa, menipu dan sebagainya yang tampaknya tak membawa akibat
apa-apa bila tak ada orang lain melihatnya ?
Dirinya sendiri adalah menjadi saksi. Seseorang tak dapat mengingkari
akan segala sesuatu perbuatannya terhadap dirinya sendiri, karena di dalam
dirinya ada sesuatu yang tidak dapat ditipu dan dibohongi yaitu Sang Hyang
Atma.
Walau bagaimanapun juga mulut kita membilang benar akan perbuatan
salah, Atma akan tetapi menjadi saksi segala apa yang dipikirkan, dikatakan dan
dilakukan orang. Apabila orang membicarakan perbuatannya yang tidak baik itu
berdebarlah hatiya, karena ingat akan kesalahannya. Kadang-kadang diikuti
dengan rasa takut, ia menderita, karena perbuatannya sendiri. Ia sendiri yang
berbuat, dan sendiri pulalah menanggung akibatnya. Orang lain tak ikut, bahkan
tahupun tidak pula.
Atma adalah bagian dari Hyang Widhi berada dimana-mana. Beliau
mengetahui segala. Beliau mengetahui apapun pula. Karena itu orang tidak dapat
menyembunyikan segala perbuatannya terhadap beliau. Karena beliau adalah
saksi agung akan segala kejadian di alam semesta ini. Beliau akan menentukan
akibat dari perbuatan seseorang, apakah perbuatannya itu baik atau tidak baik.
Dengan demikian maka orang tidak akan dapat dan tidak akan berani berbuat
yang menyimpang dari peraturan-peraturan tingkat laku yang benar dan bila ia
berani melanggarnya, menderitalah akibatnya. Ajaran tentang peraturan-peraturan

131
tingkah laku itu tentang adanya Atma, adanya Tuhan, terdapat dalam ajaran
agama. Maka agama merupakan dasar kesusilaan yang kuat.
Ajaran-ajaran agama memberikan sangsi hukum yang niskala atas sesuatu
perbuatan yang ditentukan oleh Tuhan. Orang lebih berani menentang dna
melanggar hukum-hukum yang sakala (nyata) yang ditentukan oleh manusia
karena ia dapat membayangkan akibatnya dibandingkan dengan menentang
hukum-hukum niskala.
Bagaikan sebuah bangunan yang kuat perlulah didirikan di atas dasar yang
kuat, demikian pula halnya dengan tata susila perlu didirikan di atas dasar yang
kuat. Dasar yang kuat itu adalah ajaran-ajaran agama.
Aditya san hyan surya, candra san hyan wulan, anilanala san hyan
hanin mwan apuy. Tumut ta san hyan akasa, prthiwi mwan toya,
muwah san hyan atma, san hyan yama tamolah in rat kabeh. Nahan
tan rahina weni mwan sandhya lawan san hyan dharma sira, san
dewata mankana tigawlas kweh nira, sira ta manawruh ia ulah nin
wwan rin jagat kabeh, tan kna winutan, byapara niren rat.
(Adip. 10.37)
Terjemahan :
Matahari, Bulan, Angin dan Api. Dan Angkasa, bumi dan air,
Hyang Atma, Hyang Yama, yang diam di seluruh dunia.
Demikian pula Siang, Malam dan Senjakala dengan Hyang
Dharma, para Dewa itu dengan demikian tigabelas banyaknya.
Semua itu tahu akan tingkah laku orang di seluruh dunia. Tidak
dapat diketahui, Dewa itu memenuhi dunia.

3.Dasendriya
Dasendriya adalah sepuluh indriya yang ada pada diri kita. Indriya-indriya
tersebut merupakan bagian dari alam pikiran kita untuk mengenal, merasakan dan
melaksanakan sesuatu. Dari indriya inilah timbulnya keinginan-keinginan dan
melalui indriya pulalah kita mendapat kepuasan, kesenangan dan kesusahan.

132
Sepuluh indriya tersebut dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu : Panca
buddhindriya dan Panca karmendriya.

a.Panca Budhindriya
Ialah lima indriya penyebar yang menyebabkan orang dapat mengetahui
dan merasakan sesuatu. Kelima indriya tersebut ialah :
 Caksvindriya, ialah indriya yang menyebabkan orang dapat melihat,
terletak di mata.
 Srotendriya, ialah indriya yang menyebabkan orang dapat mendengar
melalui telinga.
 Ghranendriya, ialah indriya yang menyebabkan oang dapat membau
melalui hidung.
 Jihwendriya, ialah indriya yang menyebabkan orang dapat mengecap
sesuatu melalui lidah.
 Twakindriya, ialah indriya yang menyebabkan orang dapat merasakan rasa
sentuhan, panas, dingin, melalui kulit.

b.Panca Karmendriya
Ialah lima indriya gerak / pekerja :
 Panindriya, ialah indriya pekerja dengan tangan
 Padendriya, ialah indriya pekerja dengan kaki
 Garbhendriya, ialah indriya pekerja dengan perut
 Payuindriya, ialah indriya pekerja dengan pelepasan
 Upasthendriya, ialah indriya pekerja dengan kelamin laki-laki.
Bhagendriya, ialah indriya pekerja dengan kelamin wanita.
Berhubung keinginan itu timbul dari indriya, maka indriya tersebut patut
dikendalikan baik-baik sebab ia akan menghantarkan kita kepada kebahagiaan
atau kesengsaraan, tetapi bukan berarti kita harus mengekang segala apa yang
timbul dari indriya tersebut.
Kita patut mempertimbangkan keinginan indriya tersebut baik-baik agar
kita mendapatkan keselamatan di dalam hidup kita.
Janganlah sampai kita diperbudak oleh indriya kita, tetapi kitalah harus
memperbudaknya. Manakala kita sampai diperbudak, payahlah keadaan diri kita

133
dan kesengsaraanlah yang akan kita jumpai. Tetapi hendaklah disadari bahwa
membunuh keinginan-keinginan indriya itu sama sekali tidaklah benar, karena
Tuhan memberikan kita indriya adalah untuk kesempurnaan hidup kita. Hanya
saja kita harus tahu mempergunakan dan tahu mengendalikan agar kita
mendapatkan keselamatan.
Indriyanyeva tat sarvam yat svarganarakavubbau,
Nigrhitanisrstani svargaya narakaya ca.
Nyan pajara waneh, indriya ikan sinangah swarganaraka, kramanya,
yan kawasa kahrtanya, ya ika saksat swarga naranya, yapwan tan
kawasa kahrtanya, saksat naraka ika.
(Sarasamuccaya 71)
Terjemahan :
Inilah yang patut (saya) ajarkan lagi, indriyalah yang dianggap sorga
neraka, penjelasannya, bila sanggup mengendalikannya, itu semata-
mata sorgalah namanya tetapi bila tidak sanggup mengendalikannya,
benar-benar nerakalah ia itu.

4.Beberapa Ajaran Ethika dalam Kitab Suci Hindu


a.Weda
Segala yang ada ini tunduk pada rta. Demikian pula halnya dengan
manusia. Dengan mengikuti rta orang akan hidup harmonis dengan alam dan
sesama manusia. Perbuatan yang berlawanan dengan rta disebut anrta, yang
artinya ketidakberatan. Rta juga disebut satya. Orang yang satya adalah orang
yang berbuat benar, yang jujur. Weda mengajarkan bahwa orang harus bhakti
kepada Tuhan. Disamping bhakti kepada Tuhan orang harus memperhatikan
orang lain, orang harus kasih mengasihi satu sama lain. Orang harus hidup damai,
hidup dalam suasana persahabatan. Kutipan berikut mencerminkan hal ini :
Drte drmha ma
Mitrasya ma caksusa sarvani bhutani samiksantam,
Mitrasyaham caksusa sarvani bhutani samikse,
Mitrasya caksusa samiksamahe.
(Yajurveda, 36.18)

134
Terjemahan :
Tuhan, kuatlahkan kami
Semoga semua makhluk memandang kami dengan pandangan mata
seorang sahabat,
Semoga saya memandang semua makhluk dengan pandangan mata
seorang sahabat,
Semoga kami pandang memandang dengan pandangan mata seorang
sahabat.
Dengan hidup bersahabat berarti orang harus kasih sayang kepada orang
lain, hormat kepada orang tua, menjauhi kebencian mendambakan kesatuan dan
persatuan. Hal ini tercermin dari kutipan berikut :
Sahrdayam sammanasyam avidvesam krnomi vah, anyo anyam abhi
haryata vatsam jatam ivaghnya.
Anuvratah pituh putro matra bhavatu sammanah, jaya patye madhu
matim vacam vadatu santivam,
Ma bhrata bhrataram dviksan ma svasaram uta svasa samyancah
savrata bhutva vacam vadata bhdraya.
(Atharva Veda, 3.30.1-3)
Terjemahan :
Aku jadikan engkau sehati, satu pikiran, bebas dari kebencian.
Kasihlah satu sama lain seperti sapi mengasihi anaknya yang ia
lahirkan.
Biarkan anak setiap kepada ayah dan satu hati dengan ibu.
Biarlah istri bercakap dengan manis dan dengan kata-kata yang bagus
pada suami.
Janganlah saudara laki benci pada saudara laki, saudara perempuan
dengan saudara perempuan.
Rukunlah, bersatulah dalam tujuan, berkatalah dengan kata-kata
persahabatan.

b.Ethika dalam Manusmrti


Manusmrti adalah salah satu kitab Dharmasastra yang terbaik. Di dalam
kitab ini banyak terdapat ajaran ethika. Kitab ini mengajarkan agar hidup ini

135
didasarkan atas Dharma. Ini berarti kita harus berpikir, berkata dan berbuat yang
baik dan benar sehingga kita mendapatkan kerahayuan. Hanya dengan
melaksanakan Dharma orang mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Manusmrti menyebutkan :
Adharmiko naro yo hi
Yasya capyantam dhanam,
Himsaratas ca yo nityam
Nehasau sukhamedhate
(Manusmrti, IV.170)
Terjemahan :
Seseorang yang tidak menjalankan dharma atau orang yang
mendapat kekayaan dengan jalan curang dan orang yang suka
menyakiti makhluk lain, tidak akan pernah berbahagia di dunia
ini.
Namutra hi sahayartham pita
Mata ca tisthatah,
Na putradaram na jnatir
Dharmas tisthati kevalah
(Manusmrti IV.239)
Terjemahan :
Tidak bapak, tidak ibu, tidak anak, tidak istri atau teman akan
mengantarkan orang ke dunia sana. Yang tetap ada padanya
hanyalah Dharma.
Salah satu Dharma kita yang amat mulia ialah hormat kepada ibu dan
bapak. Demikian pula kepada ibu dan bapak guru di sekolah. Ibu dan bapaklah
yang menyebabkan kita ada yang merawat dan membiayai hidup kita sejak kecil.
Betapa besarnya pengorbanannya kepada anak tak dapat dihitung dan dibayar.
Tiada kasih yang dapat menyamai kasih ibu. Lalu apakah yang kita pakai
membalas jasa ibu? Hanya bakti kita mempersenang mereka, dan ibu akan
memberkati kita. Demikian pula hormat kita kepada ibu dan bapak guru di
sekolah.
Yat matapitarau klesam sahete sambhave nrnam,
Na tasya niskrtih sakya kartum varsasatair api.

136
(Manusmrti II.227)
Terjemahan :
Penderitaan ibu dan bapak sewaktu lahirnya anak tidak dapat
dibayar, walaupun dalam waktu seratus tahun.
Tayornityam priyam kuryat
Acaryasya ca sarvada,
Tesveva trisu tustesu
Tapah sarvam samapyate.
(Manusmrti II.228)

Terjemahan :
Hendaknya ia selalu mempersenang kedua mereka itu (ibu dan
bapak) dan guru pengajian (guru yang memberikan pengetahuan).
Andaikata kita dapat mempersenang ketiga mereka itu maka semua
tapa akan berhasil.

3.Ethika dalam Mahabharata


Mahabharata adalah salah satu kitab Itihasa. Itihasa yang lain adalah
Ramayana. Mahabharata mengajarkan supaya orang menaruh kasih sayang, rasa
bersahabat, simpati dan beritikad baik terhadap semua makhluk. Ini semuanya
akan mengantarkan orang kepada kedamaian, dan dengan kedamaian orang akan
dapat mewujudkan kesejahteraan hidup, kebahagiaan hidup sehat lahir batin.
Kutipan berikut menunjukkan hal itu :
Yadanyesam hitam nasyat atmanah karma purusam,
Srapatrapeta va yena na tat kuryat katamcana.
(Mahabharata)
Terjemahan :
Perbuatan yang tidak mengantarkan orang kepada kerahayuan,
atau membawa malu kepada kita, janganlah itu dilakukan
kepada siapapun.
Sarve bhavantu sukhinah
Sarve santu niramayah,
Sarve bhadrani pasyantu,

137
Ma kascid dukha bag bhavet
(Mahabharata)
Terjemahan :
Semoga semua bahagia,
Semoga semua sehat dan jujur,
Semoga semua menjumpai kebahagiaan,
Semoga tidak ada yang sengsara.

138
BAB XI
YADNYA

Tujuan Instruksional
Mengerti tentang makna Yadnya
Memahami pelaksanaan Yadnya
Melaksanakan ajaran Yadnya dalam kehidupan sehari-hari

Di atas telah disebutkan semua perbuatan yang dilakukan dengan sadar


maupun tidak sadar disebut karma yang secara garis besarnya dibagi dua yaitu
karma baik (subha karma) dan karma buruk (asubha karma). Karma baik yang
disertai dengan keikhlasan berkorban untuk orang lain maupun untuk Tuhan
disebut Yajna.
Dalam yajna terkandung suatu pengetian kesengajaan berkorban untuk
kebaikan orang lain, dengan pengorbanan kepentingan dan keinginan serta
kesenangan pribadi demi untuk menyenangkan orang lain.
Pengorbanan secara garis besarnya dapat dibagi dua yaitu :
a. Pengorbanan ini bisa berbentuk upacara yang dikenal dengan upacara yajna
seperti : manusa yajna, bhuta yajna, pitra yajna, dewa yajna dan rsi yajna.
Semua pengorbanan itu dilakukan dalam bentuk simbul dituangkan dalam
bentuk upakara-upakara (banten). Simbul-simbul yang dituangkan dalam
bentuk ini adalah peragaan dari tattwa dan filsafat, karena yajna tersebut
merupakan wujud konkrit dari filsafat. Bila diteliti upakara-upakara itu
sungguh-sungguh mengagumkan artinya semua hal-hal yang abstrak bisa
digambarkan dalam banten. Tuhan tidak bisa dipikirkan bisa digambarkan
dengan bantan seperti banten di sanggar surya, pikiran yang tidak bisa dilihat
bisa dilukiskan dengan berjenis-jenis macam sesayut, pikiran mohon maaf saja
bisa dilukiskan dengan banten guru piduka.
b. Pengorbanan yang berbentuk Tri Kaya yaitu pengorbanan yang berbentuk
pikiran mau mengerti kebenaran orang lain bersikap toleransi bisa menghargai
pendapat orang lain adalah sesuatu yajna. Pengorbanan berbentuk kata-kata

139
yang baik tidak menyakiti orang lain lemah lembut mengendalikan diri tidak
sampai mengeluarkan kata-kata kasar adalah suatu yajna. Dengan demikian
yang disebut yajna adalah segala pengorbanan yang dilakukan oleh seseorang
dengan tujuan berbuat kebaikan kepada orang lain termasuk kepada Tuhan
dengan mengorbankan kepentingan diri sendiri bahkan diri sendiri / pribadi.

A. Pengertian Yadnya
Yajna berasal dari bahasa Sansekerta dengan urat kata “yajn” yang
artinya memuja atau memberi pengorbanan atau menjadi suci. Kata ini juga
diartikan mempersembahkan bertindak sebagai perantara. Dari urat kata itu
timbul kata yajna yang berarti pemujaan, doa dan persembahan yang
kesemuanya berarti sama dengan Bahma. Didalam Rg. Weda VIII 40.4 kata
yajna berarti kurban atau pemujaan. Dari istilah yayus yang bersumber dari
urat kata yaj, timbul pula istilah Yajur Weda yaitu himpunan Weda Mantra
yang menguraikan mengenai pokok-pokok ajaran tentang beryajna atau
hubungan antara manusia yang disembah. Disamping itu juga yajna adalah
cara atau acara dalam persembahyangan yang dilakukan berdasarkan
ketentuan Weda. Disamping penjelasan diatas terdapat pula keterangan lain
yang dapat kita ungkapkan dari berbagai sumber weda yang menyebutkan
makna yajna secara umum yang dapat dipergunakan untuk menambah
penjelasan tentang makna atau arti kata yajna antara lain :
1. Yajna sebagai cara pelaksana ajaran agama. Dengan ajaran yajna sabda-
sabda suci dalam Rg. Weda akan dikembangkan jadi yajna adalah salah
satu sistim penerapan dan pengembangan dalam mengamalkan ajaran
Weda.
2. Yajna merupakan pengorbanan lahir bathin. Di dalam Rg. Weda X.13.4
dan Atharwa Weda XVII.3.49 diungkapkan bahwa bentuk yajna yang
tertinggi adalah pengorbanan lahir batin.
Dari pengertian di atas dapat diungkapkan yajna ialah berkorban demi
Tuhan dan kemanusiaan dalam menegakkan kebenaran maupun untuk
melindungi kemanusiaan adalah merupakan jalan yang paling utama bagi
orang yang imam dalam menjalankan ajaran agama atau mengamalkannya.

140
Didalam kitab Rg. Weda menjelaskan teori penciptaan dunia melalui
yajna dikemukakan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta ini dengan jalan
yajna dimana untuk keperluan yajna itu ia telah menjadi dirinya sebagai dasar
yajna. Ide yang terkandung didalamnya adalah perantara kedudukan yajna
sebagai lembaga kurban untuk kepentingan kemanusiaan, dengan melakukan
yajna saja bukan merupakan jaminan mutlak bahwa orang itu akan dapat
mencapai moksa dan Brahma Nirwana.
Menurut sumber-sumber tertulis sebagaimana disebut dalam kitab
Sruti maupun Smerti sebagai sumber ajaran yajna dasar hukum berlakunya
yajna bersumber pada kaedah etika sosio moral religius yang dapat dibedakan
dalam dua macam yaitu :
 Yajna berdasarkan Teori Rna atau hutang, manusia pada hakekatnya
dinyatakan sejak lahir terikat oleh adanya hutang. Ada tiga macam hutang
yang diajarkan dalam Agama Hindu yaitu :
-Dewa Rna atau hutang kepada Tuhan
-Rsi Rna atau hutang kepada Rsi
-Pitra Rna yaitu hutang kepada para leluhur.
Rna artinya hutang yang menurut azas hukum setiap hutang harus
dibayar. Apabila orang tidak membayar hutangnya sendiri selama
hidupnya dan demikian pula ketenangannya atau anaknya sebagai penurun
keluarga tidak dapat membayar hutangnya itu maka selamanya orang itu
terikat oleh hutang yang menyebabkan pada suatu saat ia harus turun
menjelma atau turun kembali ke dunia ini agar supaya mereka dapat
menyempurnakannya dirinya sampai akhirnya mencapai moksa dan tidak
lagi menjelma untuk selama-lamanya.
 Kesadaran berdosa sebagai dasar berlakunya yajna dengan kesadaran
berdosa artinya bahwa manusia secara langsung maupun secara tidak
langsung menyadari bahwa dirinya adalah berdosa. Inilah yang
mendorong manusia untuk berusaha secara terus menerus tanpa henti-
hentinya dengan penuh kesadaran untuk menghapuskan dosa-dosa yang
dilakukan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan dengan harapan bila
kesucian telah dicapai akan membantu mempermudah bagi dirinya untuk
mencapai moksa.

141
Lembaga yajna sebagai acara bersifat publik (umum) yang dapat
dibedakan menjadi lima macam yajna atau Panca Maha Yajna. Perbedaan
kelima macam bentuk yajna itu didasarkan pada cara pelaksanaannya dan
obyek pelaksanaannya.
Baik obyek maupun cara pelaksanaannya pada garis besarnya akan
melakukan lima macam bentuk tata cara yajna yang disebut Panca Maha
Yajna.

B. Panca Maha Yajna


Dasar utama dari ajaran agama Hindu adalah Panca Maha Yajna.
Panca artinya lima, Maha artinya besar sedangkan Yajna artinya kurban atau
persembahan. Jadi Panca Maha Yajna lima macam cara utama dalam
melakukan persembahan atau yajna. Adapun kelima macam maha yajna itu
adalah :
1. Dewa Yajna
Dewa yajna adalah yang diadakan dan ditujukan sebagai
penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan para dewa. Istilah dewa
mengandung dua arti yaitu :
a. Dewa yaitu sebutan anak Tuhan Yang Maha Esa dan dalam hal ini
sebagai Dewata.
b. Dewa yaitu sebutan untuk segala jenis makhluk Tuhan yang dijadikan
dari sinar atau makhluk cahaya.
Menurut ajaran agama Hindu bahwa Dewa adalah wujud sifat
kemahakuasaan yang bersifat khas atau khusus. Ini tidak berarti Tuhan
tidak memegang peranan. Justru adanya dan bentuk sifat kekuasaan
Tuhan. Karena Dewa itu adalah perwujudan Tuhan, karena itu cara
penghormatanNya yang dikaitkan pada salah satu sifat kekuasaan Tuhan
akan menimbulkan cara penghormatan yang bermacam-macam. Dewa
yajna adalah pemujaan atau persembahyangan yang ditujukan kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan kepada segala bentuk perwujudan
(manifestasinya). Berbakti, sujud menyembah kepada Tuhan Yang Maha
Esa adalah merupakan dasar keimanan yang pertama dalam panca maha
yajna.

142
Yang merupakan tujuan dari Dewa yajna adalah :
 Menyampaikan hormat dan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rakhmat dan nikmat yang diberikan yang disampaikan setiap hari
dalam bentuk Trisandhya dan pada hari-hari tertentu.
 Memohon perlindungan, berkah, kesejahteraan, umur panjang, kesaksian,
kemuliaan, bimbingan, petunjuk-petunjuk yang benar, keselamatan untuk
diri sendiri, keluarga dan orang lain, kesucian, kesempurnaan,
keberhasilan dalam segala usaha dan kekuatan lahir bathin.
 Menyampaikan rasa syukur
Di dalam kitab Purana terdapat beberapa petunjuk tentang tata cara
pemujaan Tuhan Yang Maha Esa meliputi :
 Membersihkan diri dan segala alat upakara.
 Melakukan Sandhya atau menghubungkan diri kepada Tuhan
Yang Maha Esa dengan memusatkan pikiran kepada Tuhan
Yang Maha Esa termasuk membayangkan wujudNya,
keadaanNya dan mengusahakan sampai terbanyak seakan-akan
beliau hadir.
 Menyampaikan puji-pujian sebagai pujaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa dengan memakai mantra-mantra stotra atau stawa.
 Menyuguhkan acmania dan padyargha dan segala persembahan
seperti sesajen dan mantra-mantra.
 Menyampaikan niat tujuan sembahyang yang dilakukan dengan
memohon agar diperkenankan.
 Menyampaikan perasaan terima kasih dan permohonan maaf
kepada para dewa-dewa dan para pitra atau permohonan yang
disampaikan serta serba kekurangan atau ketidaksempurnaan
segala yang dipersembahkan baik mantra maupun sesajen.
 Permohonan berkah dan rahmat yang ditujukan dalam bentuk
ucapan yang disampaikan seperti Sri-Sukha-Purna dan
kemudian air tirtha untuk diterima sebagai pemberian dan
dipergunakan sebagai acamania.
 Memakai busana sebagai cara pensucian lahir bathin
membasmi segala kekotoran.

143
Yang perlu diperhatikan ialah bahwa dalam melakukan pemujaan
kepada Tuhan pada umumnya banyak pantangan dan hambatan karena
makhluk-makhluk lain terutama yang sifatnya berlawanan dengan
Tuhan pada hakekatnya tidak menghendaki agar doa permintaan kita
didengar oleh Tuhan. Oleh karena itu tidak jarang kalau tujuan
sembahyang itu tidak berhasil. Untuk itu harus diperhatikan hal
sebagai berikut :
 Kesucian
 Sikap mental serta dan niat yang belum siap menyatu, tidak
boleh ragu atau setengah-setengah kita harus yakin dan percaya
kepada Tuhan.
 Mengusahakan membuat perlindungan pada diri dari segala
gangguan atau serangan dari berbagai jenis kekuatan yang tidak
tampak.
 Menjauhkan makhluk-makhluk dari tempat itu dengan
menganggu baik secara halus dengan pemberian dana atau
dengan cara kekerasan.
Yang merupakan beberapa bentuk acara Dewa Yajna adalah sebagai
berikut :
 Yang bersifat rutin.
 Yang dikaitkan dengan upacara pujawali yaitu jadinya Pura tempat
upacara itu (pemakuh, pemelaspas dan ngenteg linggih).
 Yang dikaitkan dengan hari tertentu tergolong upacara umum
seperti antara lain :
 Budha Kliwon, Pagerwesi, Tumpek Landep, Tumpek Wariga,
Galungan, Kuningan, Tumpek Uye, Tumpek Wayang, Saraswati,
Siwaratri dan Nyepi.
Yang bersifat insidentil misalnya dalam hal melakukan tirta yatra pergi
ke tempat-tempat suci dan pura-pura.

2. Resi Yajna
Resi yajna juga disebut Brahma yajna, intinya adalah yajna yang
ditujukan kepada Resi atau Brahmana yang dianggap sebagai penerima

144
wahyu dan pengubah Weda. Menurut agama Hindu berpegang pada Weda
pandangan hdup Hindu berdasar Weda. Hindu menjadi manusia yang
berbudaya dan berbudi pekerti luhur adalah karena Weda. Karena itu
setiap umat Hindu menganggap dirinya dan dianggap berhutang pula
kepada para Maha Resi atau Brahmana.
Brahmana adalah dewa yang dianggap berkuasa atau Weda. Ia
dianggap menyampaikan ajaran itu melalui Maha Resi. Karena itu baik
Brahmana maupun Resi dianggap sangat berjasa terhadap umat manusia.
Dengan demikian wajib hukumnya untuk membayar hutang kepada
mereka sebagai balas budi. Untuk balas budi itu diwajibkan melakukan
yajna kepada para Maha Resi atau Brahma itu. Inilah yang menjadi dasar
pelaksanaan Resi Yajna itu.
Pelaksanaan Resi Yajna secara garis besarnya dapat dibagi
beberapa cara antara lain :
1. Melakukan Swadhyaya atau belajar sendiri kitab-kitab suci Weda.
2. Memperingati hari turunnya Weda.
3. Menyebar luaskan ajaran Weda.
4. Melakukan punia dan daksina kepada para pandita pada hari-hari
tertentu sesuai dengan ketentuan kitab suci Weda.
Dinyatakan bahwa mereka yang ingin melakukan punia dan tidak
lupa memberi daksina kepada para pendeta karyanya pasti berpahala.
Bahkan pengisian sarin canang pada waktu upacara itupun mp Brahma
yajna pula. Karena itu bila menyampaikan sesajen berupa canang sari atau
lainnya jangan lupa mengisi sarinya canang berupa uang sebagai daksina
atau yajna. Yang penting adalah kesadaran dan tanggung jawab kita untuk
memenuhi kewajiban itu. Agama Hindu akan bertambah kuat dan baik
apabila setiap umat sadar dan terpanggil untuk beryajna termasuk Resi
Yajna.

3. Manusa Yajna
Salah satu yajna panca adalah manusa yajna. Di dalam berbagai
kitab ajaran agama, manusa yajna dapat dibedakan dalam dua macam yaitu
:

145
a. Untuk manusia itu sendiri yang umum disebut manusa yajna
b. Untuk manusia tetapi bukan diri sendiri yaitu untuk orang lain dan
umum disebut dengan Ahtiti yajna.
Jadi atithi dan manusa yajna itu keduanya disebut manusa yajna
pula. Untuk menekankan perbedaan kedua jenis itu sering dipergunakan
istilah samskara untuk mengganti manusa yajna. Kata samskara sering
dipakai kata sangaskara tetapi kata sangaskara itu sendiri sering diartikan
dalam pengertian yang lebih sempit yaitu upacara pensucian atau
prayascita.
Yang merupakan tujuan dari upacara Manusa Yajna adalah :
 Untuk menjadikan lahir dan bathin agar manusa itu menjadi suci.
 Untuk mendidik secara lahir dan bathin agar manusia itu menjadi
sempurna lahir dan bathi.
 Untuk meningkatkan status manusia lari satu tingkat ke tingkat yang lebih
tinggi.
 Untuk menjadikan manusia itu sempurna sehingga dapat berhubungan
dengan Tuhan.
 Untuk memberi perlindungan secara spiritual sehingga luput dari segala
gangguan.
 Untuk meningkatkan budhi daya manusia sehingga lebih mulia.
Dari pokok pengertian itu jelas kepada kita bahwa upacara manusa
yadnya adalah merupakan yajna yang amat penting. Penting dalam arti kita
harus selalu membuat badan pikiran dan ucapan itu suci. Bagi mereka
yang belum mampu menyucikan dirinya itu mereka perlu dibantu dan
dalam hal ini kewajiban setiap orang tua terhadap keturunannya untuk
mensucikannya.
Hidup dalam kesucian merupakan dambaan karena itu jalan
kesucian harus ditempuh. Dinyatakan bahwa Tuhan bersifat suci dan mulia
dan karena itu yang suci dan yang mulia itu. Ini terutama dirasakan perlu
karena pada hakekatnya orang yang iman mereka mempunyai kesadaran
dosa yang tinggi atau selalu berusaha mensucikan diri lahir dan bathin.
Bagaimanakah cara pelaksanaan manusa yajna itu ? Pertanyaan ini
sering timbul pada diri kita. Untuk menjawab pertanyaan itu kita harus

146
mengetahui tidak saja pengertian manusa yajna itu tetapi juga manusa
yajna.
Disamping itu kitapun harus mengenal sifat-sifat berbagai macam
sifat benda yang akan disucikan karena ketentuannya tidak sama. Benda
rohani, jasmani dan benda materi semuanya berbeda. Badan, benda-benda
tertentu apabila kotor harus dibersihkan dengan air. Pikiran manusia yang
tidak suci harus disucikan dengan ucapan kata-kata yang jujur yang
berpikir yang selalu baik. Roh manusia dapat dibersihkan melalui Yoga
Semadhi dan dengan yajna sedangkan budhi indrya manusia harus
disucikan dengan pengetahuan yang baik dan benar. Jadi jelas tidak semua
benda atau obyek yang akan disucikan dapat dilakukan dengan cara yang
sama. Manusia dalam keadaan tidak suci atau kotor harus disucikan baik
dilakukan sendiri maupun atas bantuan orang lain. Ketidaksucian itu
terjadi pula karena kita ada dosa. Disadari atau tidak setiap manusia yang
lahir menurut ajaran agama Hindu adalah dianggap berdosa atau
mempunyai dosa. Karena itu kewajibannya adalah melenyapkan dosa-dosa
itu.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membersihkan diri
manusia dalam upacara samskara yaitu :
a. Melakukan upacara byakala. Kata byakala artinya memberi sedekah
kepada kala. Acara ini juga disebut dengan beakaon yaitu pemberian
dengan harapan roh jahat meninggalkan tempatnya atau mengusir dan
mendatangkan roh yang baik.
b. Upacara melukat (ngelukat) atau Prayascita adalah upacara
membersihkan diri. Upacara ini juga tergolong upacara prayascita
sebagaimana dimaksud di dalam kitab Weda. Dinamakan melukat
karena di dalam upacara ini sarana upacara terpenting adalah tirta
palukatan yang khusus diperuntukkan untuk tujuan itu.
Panglukat fungsinya membersihkan diri raga itu dari semua noda dan
dosa baik yang timbul dari ucapan pikiran maupun perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja. Khusus di Bali acara ini
dibedakan dalam tiga macam yaitu :
1. Penglukatan sederhana yang paling kecil.

147
2. Padudusan Alit yang berikutnya lebih besar dari penglukatan biasa.
3. Pedudusan Agung yaitu penglukatan yang paling besar.
Ketiga macam itu menentukan jenis upacara yang berbeda-beda pula.
Untuk kesaksian rokhani dilakukan dengan membuat daksina atau
lebih besar lagi adalah sanggar Surya dan diselenggarakan di balai
paruman atau balai Agung. Ketiga cara itu sebagai pengganti bentuk
tapa brata.
c. Upacara Natab (ngayab) adalah cara pemanggilan atau mengundang
kekuatan yang dianggap suci seperti para dewa.
d. Upacara Muspa (sembahyang) intinya adalah pada upacara
“padyargha” yaitu memohon tirta masuh pada. Muspa artinya
menyembah kepada Tuhan, dewa-dewa, Dewa Bhatara dan pitara
(Dewa Hyang) untuk mohon perkenan merakhmati apa yang diminta
oleh mereka yang sembahyang.
e. Brata atau tapa pada umumnya ditentukan sebagai cara pensucian lahir
bathin sebagai akibat perbuatan dosa.
f. Pranayama adalah merupakan cara pensucian badan rokhani
Pranayama artinya mengatur jalannya nafas mulai dari cara mengambil
nafas, menahan nafas dan mengeluarkan nafas. Ini dibagi atas :
1. Recaka (mengeluarkan nafas)
2. Kumbaka (menarik nafas)
3. Menahan nafas menyebarkan ke seluruh tubuh.
Apabila pranayama dapat dilakukan dengan baik dan benar pikiran
akan menjadi tenang, dosa-dosa secara bertahap dapat dihapuskan dan
badan rokhani akan menjadi suci.
Sebelum melakukan Tri Sandhya dianjurkan melakukan pranayama,
demikian pula sebelum melakukan yoga samadhi. Pranayama di dalam
purana dianggap sebagai salah satu bentuk yajna. Kesehatan dapat pula
dipelihara melalui jalan pranayama secara terakhir. Untuk memberi
kekuatan dan memperkirakan lama waktu pranayama dapat dibantu
dengan pengucapan mantra dan pemakaian Japa Aksamala.
g. Pengucapan mantra-mantra

148
Mantra adalah lafal-lafal yang dianggap sangat penting. Yajna tanpa
mantra dan doa dianggap belum sempurna, oleh karena itu dalam
setiap yajna peranan dan fungsi pedanda atau pemangku amat penting.
Akan lebih baik apabila setiap orang mempelajari dan menghafalkan
mantra-mantra tertentu. Jaman kaliyuga seperti sekarang ini bantuan
pedanda memang amat perlu. Ini tidak berarti mutlak karena apabila
setiap orang dapat memantra sudah cukup. Mantra diucapkan berkali-
kali dan bentuknya singkat dinamakan japa. Melakukan japa berkali-
kali disebut Prajapala. Untuk membantu dalam prajapala dipergunakan
aksamala.
Disamping itu masih ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
melakukan acara manusa yajna yaitu tentang waktu-waktu yang tepat
untuk melakukan manusa yajna. Sebagaimana berbagai macam yajna
memerlukan landasan yang kuat dan rational demikian pula manusa
yajna itu. Di dalam Dharmasastra dan Purana dibedakan antara :
1. Nita Karma (setiap hari)
2. Naimitika Karma (kadangkala)
3. Kamya Karma (upacara wajib)

a. Nitya Karma yaitu ritus-ritus yang wajib dilakukan setiap harinya dan
yang bersifat mutlak. Sifat wajib karena telah ditetapkan demikian.
Adapun yang bersifat rutin harian misalnya puja Tri Sandhya pemuja
setiap hari melalui Ista Dewata dan Kula Dewata, disamping itu termasuk
wajib adalah Panca Mahayana.
b. Naimitika Karma yaitu upacara atau ritus yang dilakukan secara khusus
dan bersifat sukarela. Upacara ini dilakukan karena untuk tujuan tertentu
misalnya upacara hari ulang tahun atau piodalan upacara untuk minta
hujan, upacara untuk keselamatan dari wabah, karena habis sakit, setelah
melakukan pitra yajna. Melakukan Tapa Brata seperti puasa pada hari-
harri tertentu dapat pula berarti Naimitika karma walaupun dalam
pelaksanaan tertentu tapa brata itu adalah merupakan Naimitika Karma.
Tapa berarti pengendalian panca indriya dan lahir bathin sedangkan brata

149
artinya melakukan puasa untuk tidak makan makanan tertentu atau tidak
makan sama sekali pada hari tertentu.
c. Kamya Karma adalah upacara keagamaan atau ritual yang bersifat mutlak
atau wajib yang harus dilakukan oleh setiap umat Hindu. Bila ia tidak
melakukannya ia dianggap berdosa, adapun diantara berbagai upacara
yang bersifat wajib adalah Panca Maha Yajna.
Pada garis besarnya upacara manusa yajna dibedakan antara lain
yaitu :
1. Upacara sebelum lahir
Upacara sebelum lahir dikenal dengan istilah upacara magedong-
gedongan. Upacara ini dilakukan untuk calon bayi itu berumur 6 bulan di
dalam kandungan. Kebiasaan upacara ini dan tata pelaksanaannya tidak
sama antara masing-masing daerah, kebiasaan yang serupa kita jumpai
hampir di semua daerah yang pernah mendapat pengaruh Hindu. Yang
merupakan tujuan dari upacara ini adalah :
a. Mengundang kekuatan yang baik untuk memberi perlindungan kepada
calon bayi.
b. Menjauhkan dari semua pengaruh-pengaruh buruk.
Oleh karena itu ada dua jenis banten yang diperlukan yaitu tataban
dan beakala. Disamping itu ada beberapa pantangan yang harus dilakukan
oleh calon ibu dan calon ayah dari calon bayi yang intinya agar tidak
terkena pengaruh buruk atau jahat. Maksudnya adalah untuk menjauhkan
pengaruh sifat-sifat karena apa-apa yang diperkirakan dan yang dikerjakan
oleh orang tuanya, cenderung akan menimbulkan akibat seperti yang
diperlukan dan menurun kepada calon bayi itu.

2. Upacara sesudah lahir


Upacara-upacara sesudah bayi lahir meliputi masa sejak lahir
sampai perkawinan, adalah tanggung jawab orang tuanya. Jenisnya banyak
dan dikaitkan pada umur atau tingkat perkembangan anak itu sendiri.
Adapun upacara-upacaranya antara lain :
1. Upacara Medapetan

150
Upacara medapetan berasal dari kata “dapat” atau memperoleh, yaitu
memperoleh anak yang lahir. Jadi dapat pula diartikan upacara yang
berkaitan dengan lahirnya seorang anak pada keluarga.
Upacara ini bertujuan :
a. Rasa terima kasih kepada Tuhan karena telah dirakhmati anak.
b. Memberi perlindungan kepada sang bayi.
c. Melakukan perawatan pada ari-ari.
Menurut kepercayaan Hindu ari-ari adalah saudara kembar sang bayi.
Ari artinya adik yang secara rakhmat dalam kehidupan ini selalu
dianggap menyertai saudaranya. Oleh karena itu ari-ari adalah satu
jasad lain iapun harus mendapat perawatan dan dikubur dengan acara
singkat.
Pada mulanya ari-ari dibersihkan lalu dibungkus dengan kain putih
dimasukkan ke dalam kelapa yang dibelah dua untuk dikubur di
halaman rumah tinggal, belahan kelapa itu ditulis lafal aksara Omkara
dan Angkara.
2. Upacara Lepas Puser
Upacara lepas puser adalah upacara yang dilakukan pada hari lepas
pusarnya yang terjadi setelah seminggu atau sembilan hari.
Upacara ini juga merupakan saat permulaan sang ibu tidak lagi
melakukan brata atau pembatasan makanan yang dilakukan pada saat
setelah melahirkan. Disamping itu upacara bertujuan untuk memohon
bantuan kepada Hyang Kumara yang di dalam mitologi dianggap
sebagai putra Siwa. Tujuan utama adalah membersihkan lingkungan
disamping untuk memberi upacara kepada pusar yang lepas dari tubuh
si bayi.
3. Upacara Lepas Hawon
Upacara pada saat bayi 12 hari, inti upacara sama dengan upacara lepas
dan tujuannya adalah penyucian bagi sang bayi dan mohon
keselamatan. Asal mula upacara ini adalah merupakan acara pemberian
nama.
4. Upacara Kambuhan

151
Upacara kambuhan adalah upacara bayi pada umur satu bulan tujuan
hari atau 42 hari. Dinamakan kambuhan karena pada hari itu bayi
diberi kambuh atau benang pawitra yang tujuannya adalah untuk
memberi perlindungan dan kekuatan karena sejak hari itu sang bayi
sudah boleh dibawa keluar rumah.
Upacara ini disebut juga upacara macolongan. Intinya adalah bersifat
upacara prayascita bagi si ibu karena dengan acara ini sang ibu telah
menjadi bersih kembali dan diperkenankan untuk masuk ke tempat
suci.
5. Upacara Tiga Bulan
Upacara tiga bulan bertujuan untuk memberi kekuatan dan
perlindungan kepada si anak karena sesudah upacara ini si anak mulai
diajarkan menyentuh tanah. Upacara ini juga dimaksudkan untuk
pemberi kesucian dan karena itu semua upacara supaya diselaraskan
pula dengan tujuan.
Pada umumnya upacara ini diikuti pula dengan pemberian nama. Yang
merupakan upacara yang umum dipakai dalam upacara ini adalah,
pengelepasan, penyambutan, banten kumara, tataban, bila lebih besar
ditambah dengan pulagembal. Tempat upacara sebaiknya dilakukan di
depan sanggar kemulan.
6. Upacara Otonan (210 hari)
Oton artinya satu siklus kalender waktu dan karena itu disebut sutatahu
wuku yang lama 210 hari yaitu 7 x 30 wuku. Asal mula upacara ini di
dalam Weda disebut Cudakarana yaitu potong rambut pertama dan
ditinggalkan sedikit saja pada ubun-ubun di bayi karena masih dalam
keadaan lemah. Tujuan upacara ini adalah untuk memohon
perlindungan keselamatan dan pensucian. Upacara ini adalah untuk
memohon perlindungan keselamatan dan pensucian. Upacara ini
diikuti dengan upacara turun ke tanah di beberapa daerah dikenal pula
dengan upacara tidak siti.
7. Upcara Tumbuh Gigi
Upacara tumbuh gigi disebut upacara nyempugin. Upacara ini
dilakukan pada saat matahari terbit adapun tujuan penyelenggaraan

152
upacara ini seperti halnya dengan upacara-upacara lainnya adalah
untuk memohon keselamatan dan perlindungan yang ditujukan kepada
Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Surya, Brahma
dan Sri.
8. Upacara Lepas Gigi
Upacara lepas gigi disebut upacara melupak seperti halnya dengan
upacara tumbuh gigi. Tujuan upacara ini adalah memohon
keselamatan. Pada saat ketus (lepas gigi) si anak tidak lagi dibawah
asuhan Dewa Kumara dan karena itu Dewa Kumara tidak lagi
diadakan. Yang penting si anak telah mulai siap untuk mempelajari
berbagai macam ilmu dan karena itu tidak Weda pada saat umur
dianggap saat paling baik untuk memulai melakukan Brahmacari
dengan upacara Upanaya. Kadang kala upacara ini tidak dilakukan
tepat pada waktu lepas itu tetapi dipilih saat bersamaan dengan otonan,
hari ulang tahun menurut kalender pawukon. Upacara upanayana sama
tujuannya dengan upacara mawinten karena dengan upacara mawinten
ini seorang diperbolehkan membaca Weda mantra. Inti upakara lepas
gigi adalah pabiakalaan dan sesayut tetebasan.
9. Upacara Meningkat Dewasa
Upakara ini dimulai sejak hasil pertama dan perobahan suara pada
anak pria sebagai ciri meningkat dewasa dan bagi anak yang
perempuan biasanya ditandai dengan datang bulan pertama.
Upakaranya sederhana saja yaitu pebiakalaan dan prayascita atau
dilengkapi sesuai dengan tujuan yaitu untuk keselamatan dan
perlindungan.
10. Upacara Potong Gigi (Mepandes)
Upacara potong gigi atau mepandes adalah upacara bersamaan pula
dengan telah meningkat dewasa. Karena itu tujuan upacara ini sering
digabung. Potong gigi sebagai upacara bertujuan untuk mengurangi
sad ripu yang ada pada diri seseorang yang secara simbolis dilakukan
dengan cara memotong gigi seri dan taring.
Pada jaman dahulu pemotongan gigi sampai tampak rata dan rapi,
dewasa ini hanya proform atau simbolis saja. Adapun sad ripu yang

153
dimaksud adalah sifat loba, suka menipu, suka dipuji, suka marah,
suka menyakiti makhluk dan suka memfitnah.
Sesuai dengan tujuan upacara maka upakaranya adalah jenis-jenis yang
menunjang seperti pabeakalaan, prayascita, panglukatan dan tataban,
yang lebih besar ditambah dengan pulagembal dan berarti minta
perlindungan dari Dewa Guru. Upacara ini tampak meriah dan megah
karena sering dilengkapi dengan berbagai tambahan upacara dan
pemakaian berbagai sarana untuk membantu pelaksanaannya.
11. Upacara Mawinten
Upacara mawinten adalah upacara inisiasi untuk dapat diperbolehkan
mempelajari Weda. Latar belakang upacara ini adalah pada upacara
panayama yaitu upacara untuk seseorang yang direstui menjadi
Brahmacari atau belajar pada perguruan.
12. Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan atau pawiwahan adalah merupakan upacara
manusa yajna paling akhir yang wajib dilakukan oleh orang tua
tehradap para sentananya. Wiwaha atau pawiwahan sebagai upacara
kesaksian dan meresmikan ikatan lahir bathin sebagai suami istri
sehingga terjadi kesatuan yang selaras seperti Ardhanareswari.
Mengenai tata cara terjadinya perkawinan diatur didalam kitab suci
dan pengesahannya ditentukan di dalam UU No. 1 Tahun 1974.
Apabila telah disahkan secara agama maka resmi dan sah sebagai
suami istri. Perkawinan yang sah harus dicatat pula pada Kantor
Catatan Sipil atau yang ditunjuk menurut UU. Adapun runtutan
upacaranya seperti :
1. Upacara makala-kalaan atau medengen-dengen
2. Upacara natab dan mapejati bertujuan untuk pemberkahan dan
kesaksian.
Disamping upacara itu terdapat pula berbagai jenis upakara yang
secara simbolis bertujuan menunjang tata cara upacaa seremonial itu
seperti Upakara : Peras, Daksina, Suci, Prayascita dan Pengelukatan,
Pabyakalan, Canang, Pejati dan Penegtegan.

154
Dengan selesainya kesemua upacara manusa yajna itu maka selesailah
tanggung jawab orang tua kepada para sentananya baik rohaniah dan
sosial. Dengan upacara perkawinan itu sesungguhnya tanggung jawab
orang tua telah berakhir dan anaknya harus berdiri sendiri lepas dari
orang tua dan tejun ke masyarakat menjadi anggota masyarakat yang
baru.
Selain daripada manusa yajna diatas yang juga merupakan golongan
manusa yajna adalah Atithiyajna. Atithiyajna adalah penghormatan
tamu atau yang datang berkunjung ke rumah sebagai tamu dan bukan
keluarga. Athitiyajna ini mengandung ajaran sosipo moral diwajibkan
kepada setiap umat Hindu untuk melakukanny dengan penuh tanggung
jawab dan keimanan. Yang merupakan pelaksanaan daripada
Atithiyana adalah sebagai berikut :
1. Diwajibkan agar menerima para tamu dengan penuh hormat dan
sopan.
2. Dilarang mengeluarkan kata-kata kasar dan tidak hormat kepada
para tamu.
3. Diwajibkan untuk mempersilahkan duduk dan menyuguhkan air
penyapa baik sebagai suguhan.
4. Bila kemalaman dan tamunya berasal dari daerah jauh wajib
diundang menginap dan memberi makan apa adanya bila santap
malam telah tiba.
5. Dilarang mengusir tamu dengan maksud untuk menghindarkan
kewajiban itu.
Apabila hal tersebut dilaksanakan maka ia telah melakukan
Atithiyajna.

3. Upacara Pitra Yajna


Pitra yajna adalah yajna yang ditujukan kepada para Pitra. Pitra
adalah roh suci para leluhur, orang tua atau keluarga yang telah meninggal
dan telah disucikan. Arwah para orang tua leluhur atau sanak keluarga

155
yang belum disucikan disebut Preta. Selama belum disucikan /
disempurnakan dianggap sering gentayangan dan mengganggu. Adapun
gangguan itu sifatnya memberi peringatan kepada para sentananya agar
mereka melakukan balas budi dengan melakukan upacara pengabenan atau
tiwah atau Pitra Yajna.
Apabila upacara itu telah dilakukan maka berubahkan status itu
menjadi Pitara. Sebagai Pitara, Roh atau Atmanya masih selalu
berhubungan dan cenderung akan datang kembali. Untuk meningkatkan
status Pitra ke tingkat yang lebih tinggi yaitu setingkat dengan dewa dapat
dilakukan dengan upacara Atma Wedana. Upacara ini ada beberapa
macam seperti malgia, ngeroras, nyekah dan mukur. Tujuan upacara
terakhir ini adalah meningkatkan status pitara ke tingkat para Dewa. Pitara
menjadi Dewa Hyang dan diarcakan atau disucikan dengan berbagai jenis
padharman atau dadia. Yang merupakan dasar hukum berlakunya Upacara
Pitra Yajna adalah karena kewajiban seorang anak adalah :
1. Untuk membayar hutang yaitu salah satu hutang yang disebut Pitra
Rna.
2. Sebagai seorang anak yang baik dan berbudi luhur yang merasa
terpanggil secara moral atau rohaniah berkewajiban mengangkat
derajat serta menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka.
Pelaksanaan upacara Pitra Yajna ini bertujuan adalah
mengembalikan jasad roh wadag ini ke alam asalnya yaitu Panca
Mahabhuta dan mensucikan roh orang yang akan meninggal sehingga dari
Preta berubah menjadi Pitara.
Secara garis besarnya Upacara Pitra Yajna dapat dibagi dalam
beberapa tahap seperti :

a. Sawa Prateka (Sawa Wedana)


Sawaprateka atau sawa wedana adalah tata cara dan upacara
perawatan dan penyelesaian jenasah. Upacara ini dilakukan sesaat
setelh orang itu meninggal dunia. Orang yang meninggal perlu dirawat
dengan baik sebagai penghormatan kepadanya. Menurut ajaran agama
Hindu sesungguhnya orang itu tidak mati karena roh atau iwa atau

156
atmanya tetap hidup. Badan raganya yang terdiri dari Panca Maha
Bhuta perlu dirawat dan disimpan atau dikembalikan ke alam asalnya.
Ada beberapa cara yang disebut dalam Weda yaitu :
a. Dibakar (disimpan dalam api)
b. Ditanam di tanah
c. Ditaruh di peranginan
d. Disimpan di rumah
e. Dikubur di dalam air.
Tetapi yang paling umum adalah dikubur terlebih dahulu
kemudian tulangnya dibakar setelah setahun atau dua tahun atau lebih,
kadangkala dibakar langsung sebelum diaben. Sebelum penyelesaian
itu jenasah harus dimandikan, diberi pakaian dan diberi penghormatan
atau disembahkan dan dikubur. Karena atmanya masih hidup walaupun
tidak tampak harus dihormati dengan cara pemberian makanan atau
tarpana. Sesajen yang dipersembahkan kepada arwah orang meninggal
dinamakan tarpana. Selesai jenasah dibawa ke kuburan atau dikubur
atau dibakar langsung. Abu jenasah dikumpulkan kemudian dibuang
ke laut atau ke sungai. Menurut tradisi Cina abunya disimpan di rumah
abu sebagai tempat penyimpanan.

b. Asti Wedana
Asti wedana adalah upacara perawatan tulang orang yang telah
meninggal. Upacara ini merupakan upacara memperabukan tulang dan
lebih umum disebut upacara ngaben atau memperabukan. Jenasah yang
telah dikubur diangkat tulangnya dan kemudian diupacarakan dalam
upacara pengabenan. Dapat pula upacara ini ditempuh langsung setelah
orang itu meninggal tanpa dikubur terlebih dahulu. Upacara ini disebut
Swasta. Sebelum upacara pembakaran terlebih dahulu diadakan
upacara yang intinya sama seperti orang yang baru saja meninggal.
Ada tiga macam bentuk upacara Asti Wedana yaitu :
- Sawa Wedana yaitu apabila yang dibakar adalah jenasah itu
langsung dalam acara pengabuan ini disebut Swata.

157
- Asti Wedana yaitu apabila yang dibakar dan diupacarakan adalah
tulang dari jenasah yang telah lama meninggal dan dikumpulkan
dari kuburan atau yang disekah atau disimpan dalam rumah.
- Ngerca Wedana yaitu apabila yang dibakar dan diupacarakan
adalah simbul penggantian tulang orang yang meninggal karena
pada umumnya apabila telah lama dikubur tulangnya tidak
diketemukan lagi untuk itu sebagai pengganti tulang dibuatkan
badan pengganti dari kayu cendana atau bunga.

c. Atma Wedana
Atma Wedana adalah upacara yang ditujukan pada
penyempurnaan Atma orang yang telah diaben. Tujuan Atma Wedana
adalah untuk menyeberangkan Atma dari alamnya sekarang di surga
menuju alam moksa. Ada beberapa istilah yang lazim dipergunakan
untuk Atma Wedana yaitu :
- Ngeroras
- Mukur
- Maligia.
Dengan upacara ini leluhur yang telah di aben diupacarakan
dengan tujuan meningkatkan statusnya dan bentuk Pitara menjadi
Dewa Hyang. Upacara Atma Wedana yang disebut Ngeroras (mukur,
maligia) adalah merupakan upacara sudi yang berbeda dengan upacara
Asti Wedana maupun sawa prateka. Pada umumnya sebelum
melakukan upacara yajna ini dilakukan dengan penurunan roh melalui
orang-orang tertentu yang disebut Balian Sadeg. Beliau dianggap
mampu berkomunikasi dengan para roh dan dapat diajak berdialog
langsung oleh para sentananya. Pada kesempatan ini dapat ditanyakan
keinginan untuk melakukan Upacara Maligia dan meminta keterangan
tentang keinginannya. Menurut Kitab Parana dinyatakan bahwa
upacara maligia yang diikuti dengan cara pemberian punia kepada para
pendeta dinyatakan sangat terpuji.
Bentuk upacara ini hampir sama seperti upacara ngaben tetapi
yang diupacarakan adalah Puspalingga sebagai pengganti badan

158
rohani. Puspalingga dibangun dalam bentuk tumpeng yang disebut
ukur dan dibuatkan pula alat pengangkutannya yang disebut bukur.
Karena itu upacara ini disebut Mukur. Karena inti yajna adalah
mendudukkan para pitara untuk disempurnakan menjadi Dewa upacara
ini disebut pula Maligia. Upacara dianggap selesai setelah mapralina
yaitu pembakaran puspa sarira dan dilarung ke laut. Dengan upacara
ini semua Upacara Pitra Yajna dianggap selesai. Adapun acara nuntun
sesudah Maligia adalah tidak tergolong Pitra Yajna melainkan upacara
Dewa yajna. Para pitara yang telah berubah statusnya sebagai Dewa
Hyang distanakan pada Pedharman atau pura-pura Dadia yang khusus
dibangun untuk tujuan itu. Sejak itu upacara yang diselenggarakan
bersifat Sraddha ditempatkan pada Dewa Hyang.

4. Upacara Bhuta Yajna


Bhuta Yajna adalah yajna yang khusus ditujukan kepada para
Bhuta dan Kala. Bhuta dan Kala adalah berbagai macam jenis Roh halus
yang lebih rendah tingkat kedudukannya dan pada umumnya dianggap :
a. Sebagai penjaga tempat-tempat tertentu dengan fungsi dan tugas
khusus diberikan wewenang oleh para dewa-dewa.
b. Sebagai pengganggu terhadap manusia yang dianggap dapat
menyesatkan atau menimbulkan akibat yang lebih baik.
Apabila orang ingin mengadakan hubungan dengan Tuhan mereka
selalu menghambat, mereka merasa berhak mengendalikan atau paling
tidak merasa paling kuasa. Untuk mengatasi dan mendamaikan atau
membujuknya ibarat menghadapi anak kecil mereka harus pula dilayani
dan dipuaskan keinginannya. Untuk itu mereka harus diberi sedekah atau
sesajen sebagai bea atau dana berupa makanan dan minuman. Semua ini
disebut Caru. Caru adalah suguhan kepada Bhuta kala disajikan pada
tempat-tempat tertentu diikuti dengan ucapan mantra dan permintaan apa
yang kita kehendaki dari mereka.
Pada umumnya jenis caru itu terdiri dari atas benda-benda yang
berbau amis dan tajam seperti : bawang, jae, jeroan, darah, nasi dan
minum-minuman yang merangsang. Semua diramu ditata sesuai dengan

159
tujuan dan besar kecilnya caru yang akan disajikan. Yang paling utama
cukup nasi dengan garam dan bawang sebagai lauknya dengan jumlah
yang secukupnya.
Yang merupakan tujuan daripada melakukan Bhuta yajna adalah
sebagai berikut :
a. Mengusir roh-roh jahat
b. Memberi kesenangan kepada roh-roh yang bertugas untuk tugas-tugas
tertentu.
c. Mengadakan perdamaian kepada roh-roh atau bhuta dan kala agar
tidak mengganggu atau setidak-tidaknya mau memberi jalan bagi
terlaksananya upacara.
Ada beberapa jenis upacara bhuta yajna yang sering dilakukan
menurut besar kecilnya upacara atau tujuan upacara antara lain :
a. Segehan
Segehan adalah bentuk yajna terkecil yang dilakukan setiap hari atau
hari-hari tertentu misalnya purnama, tilem atau setiap kajeng kliwon
dan lain-lain.
Ada beberapa macam segehan yang dikenal antara lain : segehan
kepel, segehan cacahan dan segehan agung.
b. Gelar Sanga
Gelar sanga adalah bentuk segehan pula tetapi dalam bentuk dan isi
yang lebih lengkap lebih banyak dan lebih sempurna. Penggunaannya
tida tentu dan pada saat ada upacara piodalan yang termasuk gelar
sanga adalah seperti : gelar sanga alit dan gelar sanga agung.
c. Caru
Bentuk bhuta yajna yang besar dan bersifat umum disebut dengan caru
dan diadakan untuk tujuan tertentu seperti mengusir roh jahat
mensucikan wilayah dan lain-lain. Yang merupakan macam-macam
cara antara lain : seperti caru kesanga, caru untuk membangun rumah
baru, rsi gana, panca sanak dan lain-lain.
d. Beakaon

160
Beakaon adalah semacam caru pula tetapi ditujukan untuk pensucian
badan jasmani manusia. Umumnya dilakukan pada hari-hari tertentu
yang ada kaitannya dengan manusa yajna.

C. Upakara Dalam Agama Hindu


Upakara yajna adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan karya
itu selesai sempurna. Di dalam upacara agama urutan dalam melaksanakan
ritual kita memerlukan sarana penunjang yang disebut upakara atau sadhan
taua sarana. Jadi yang dimaksud dengan upakara adalah segala macam
peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan upacara terutama dalam
melaksanakan panca maha yajna sarana ini adalah simbol atau lambang-
lambang sebagai pengganti untuk menyampaikan ekspresi antara pemuja
dengan yang dipuja.
Agama Hindu adalah agama yang penuh dengan simbul dengan
simbolisma. Simbul adalah salah satu repleksi atau pantulan pemikiran yang
dipergunakan sebagai pengganti seakan-akan yang dimaksud adalah seperti
sebenarnya. Simbol atau tanda pengganti sebagai syarat yang amat penting
adalah sebagai saran komunikasi antara penyampai dengan penerima atau
antara komunikator dengan diajak berkomunikasi. Penggunaan simbol dalam
dunia kehidupan ini cukup banyak. Simbol adalah ibarat bahasa perasaan dari
orang yang bisu. Makin tinggi filsafatnya makin rumit pula bahasanya dalam
teknologi modern bahasa simbol itu makin sulit pula.
Kadang-kadang hanya berbentuk gambar titik-titik gerakan tangan
nada-nadan tertentu dan berbagi kata sandhi yang bersifat rahasia. Agama
adalah salah satu bentuk kehidupan spiritual dimana terdapat hubungan antara
pemuja dengan yang dipuji. Yang diajak berkomunikasi yaitu Tuhan Yang
Maha Esa, dewa-dewa, dewa rsi, pitara bhuta yang kesemuanya merupakan
hakekat yang tak dapat dilihat dengan mata. Bahasanya pun kita tidak
mengerti dan karena itu kita selalu ia yang mengetahui sebagai yang maha
tahu mengerti segala bahasa dan mengerti segala makna dan judul simbol.
Adapun dewa, rsi pitara dan bhuta kadang kala kita mengukur pada diri kita

161
sendiri. Bahasanya adalah bahasa sehari-hari yang kita ketahui. Apabila sulit
maka simbol adalah sarana pengganti dalam komunikasi.

D. Upakara Dalam Upacara Agama Hindu


Upacara yajna adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan karya
itu selesai sempurna. Di dalam upacara agama urutan dalam melaksanakan
itual kita memerlukan sarana penunjang yang disebut upakara atau sadhana
atau sarana. Jadi yang dimaksud dengan upakara adalah segala macam
peralatan yang diperlukan untuk melakukan upacara terutama dalam
melaksanakan Panca Maha Yajna. Sarana ini adalah simbol atau lambang-
lambang sebagai pengganti untuk menyampaikan ekspresi antara pemuja
dengan yang dipuja.
Agama Hindu adalah agama yang penuh dengan simbol dengan
simbolisme. Simbol adalah salah satu refleksi atau pantulan pemikiran yang
dipergunakan sebagai pengganti seakan-akan yang dimaksud adalah seperti
sebenarnya. Simbol atau tanda pengganti sebagai syarat yang amat penting
adalah sebagai sarana komunikasi antara penyampai dengan penerima atau
antara komunikator dengan yang diajak berkomunikasi. Penggunaan simbol
dalam dunia kehidupan ini cukup banyak. Simbol adalah ibarat bahasa
perasaan dari orang yang bisu. Makin tinggi filsafatnya makin rumit pula
bahasanya dalam teknologi modern bahasa simbol itu makin sulit pula.
Kadang-kadang hanya berbentuk gambar titik-titik gerakan tangan
nada-nada tertentu dan berbagia kata sandhi yang bersifat rahasia. Agama
adalah salah satu bentuk kehidupan spiritual dimana terdapat hubungan antara
pemuja dengan yang dipuja. Yang diajak berkomunikasi yaitu Tuhan Yang
Maha Esa, Dewa-dewa. Dewa Resi, Pitara dan Bhuta yang kesemuanya
merupakan hakikat yang tak dapat dilihat dengan mata. Bahasanya pun kita
tidak mengetahui dan karena itu kita selalu beranggapan ia yang mengetahui
sebagai Yang Maha Tahu mengerti segala bahasa dan mengerti segala makna
dan tujuan simbol.
Adapun Dewa, Resi, Pitara dan Bhuta kadangkala kita mengukur pada
diri kita sendiri. Bahasanya adalah bahasa sehari-hari yang kita ketahui.
Apabila sulit maka simbol adalah sarana pengganti dalam berkomunikasi.

162
Dengan banyak simbol maka filsafa dan pemahaman makna amat penting dan
perlu diketahui. Dengan filsafat kita tidak hanya memahami maknanya tetapi
lebih lanjut bertujuan untuk menata dan membudayakannya. Karena itu
apabila kita melakukan upacara yajnya itu tidak lain adalah merupakan
refleksi tingkat budaya agama Hindu itu sendiri. Satu benda sebagai simbol
dapat pula berarti banyak dan karena itu latar belakang yang menalari arti dan
sejarah benda itupun harus diketahui. Banyak yang perlu kita pahami dan yang
dapat kita pelajari dari sejarahnya dan mitologinya. Ini tidak berarti
mempersulit diri kita sendiri justru untuk lebih memperoleh ketatapan dan
kejujuran atau ketulusan dari seorang dalam melakukan yajnya.
Dari sekian banyak sarana atau upakara yang umum dan khusus kita
jumpai di dalam Weda disebutkan antara lain : api, air wangi-wangian, bunga,
daun, buah, biji, uang, benda-benda logam, barang pecah belah, sesajen,
gambar, mudra, mantra dan lain-lain. Semua benda-benda yang disebut diatas
mengandung arti simbolis dan sakral. Untuk singkatnya perhatikan makna dan
fungsi serta penggunaannya dalam upacara menurut ajaran agama Hindu baik
satu persatuan maupun dirangkai sebagaimana terurai dalam uraian berikut :

1. Api (Ageni)
Api adalah sarana yang paling penting dalam pelaksanaan ajaran
agama Hindu terutama fungsi sembahyang. Fungsi api dalam Weda
disebut sebagai berikut :
a. Api berfungsi sebagai dewa yang paling utama.
b. Api berfungsi sebagai saksi dalam sumpah dan persembahyangan.
c. Api berfungsi sebagai pendeta yang akan melakukan tugas-tugas
kependetaan dalam upacara yang dilakukan oleh manusia.
d. Api sebagai ahli upacara, ahli Weda yang memberi inspirasi kepada
para pendeta dan para resi mengubah mantram.
e. Api berfungsi sebagai duta atas utusan yang siap menerima perintah
untuk mendatangkan para dewa yang dikehendaki hadir dalam
upacara.

163
f. Api berfungsi sebagai mulut para dewa dan semua kekuatan yang tidak
kelihatan untuk menerima sesajen yang dipersembahkan untuk di
santap.
g. Api sebagai pelindung dan pemberi kesejahteraan bagi orang berumah
tangga karena fungsinya didapur.
h. Api berfungsi sebagai penjaga dan mengusir roh-roh yang jahat dan
akan mengganggu jalannya upacara.
i. Api berfungsi sebagai pemberi tenaga atau kekuatan kepada yang
memakainya.
j. Api sebagai sarana penyucian benda-benda keramik atau logam mulia
lainnya.
k. Api sebagai sarana penolak bala dan balik sumpah agar tidak
mengeenai diri.
Jadi sangat banyak fungsi dan tugas api sehingga menempati
tempat yang amat penting di dalam upacara. Karena api selalu dipakai
dalam setiap upacara api dikenal sebagai dewa yang selalu muda artinya
dihidupkan setiap hari setiap rumah tangga. Karena itu agama Hindu kita
selalu menghormati api karena fungsi dan kedudukannya. Hanya sekarang
tergantung kepada manusia apakah kita dapat memanfaatkan kedudukan
dan fungsi api secara terarah. Bila tidak apipun dapat menjadi bencana,
membakar habis semua yang terkena. Ada beberapa jenis api yang disebut
dalam ajaran agama Hindu adalah :
1. Api yang ada di dapur
2. Api yang terdapat dalam diri manusia
3. Api yang ada pada matahari.
Disamping itu juga dikenal juga istilah Tri Agni seperti :
1. Api di dapur untuk masak makan
2. Api sebagai sarana membakar jenasah
3. Api sebagai sarana waktu upacara pawiwahan.
Di dalam upacara ritual kita jumpai istilah Agni Homa yaitu api
yang dinyalakan sebagai sarana pengantar semua sesaji seperti api takep
dan api pasepan.

164
2. Air
Agama Hindu melihat kedudukan air amat penting bagi kehidupan
manusia dan seluruh makhluk hidup termasuk pohon-pohonan. Bila tidak
ada air maka matilah semua kehidupan ini. Kita mengenal banyak istilah
untuk air seperti : toya, tirta, banyu, nara apah dan lain-lain. Fungsi airpun
amat banyak dalam upacara maupun dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi
air dalam upacara ritual dipergunakan sebagai berikut :
1. Sebagai alat penyuci segala sarana upacara (tirta pabersih)
2. Sebagai tirtha amrta atau ambrosia
3. Sebagai wasuh pada disebut acamannya dan pdyargha
4. Sebagai air penyuci roh orang meninggal (tirtha pengentas)
5. Sebagai air minum tarpana atau keperluan minum sehari-hari.
Oleh karena air berfungsi bermacam-macam cara pembinaanpun
bermacam-macam pula yang jelas air yang dipakai adalah air bersih baik
sumur ledeng atau di tempat-tempat khusus seperti mata air, air dari
pertemuan dua sungai atau campuhan. Apabila air itu diambil dengan tata
cara upacara ritual maka fungsi dan arti air itu berubah mengandung aspek
magis. Air yang telah diastrani dengan mantra-mantra dicampur dengan
kembang harum telah merubah arti air biasa menjadi air suci dan langsung
dapat dipergunakan untuk tujuan upacara misalnya menyucikan segala alat
upacara dengan memercikannya. Apabila air atau toya itu diletakkan di
Padmasana yaitu altar untuk Pemujaan Tuhan Yang Maha Esa maka
fungsi air sebagai tirtha bisa berubah menjadi Tirtha Amrta yang
mempunyai nilai amat tinggi dalam agama Hindu. Di samping tirtha amrta
terdapat pula kepada Yang Maha Esa sang para dewa yang tidak kelihatan.
Pembudayaan itu berakar tata cara menerima tamu menghormati tamu
yang dimulyakan yaitu untuk menyapa dengan menyuguhkan air bersih
untuk cuci tangan, berkumur, minum dan mencuci kaki sebelum
dipersilahkan duduk dan menyantap hidangan. Kedua air itu umum dalam
semua upacara keagamaan terutama dalam persembahyangan umum. Tirta
Amrta dan wasuh pada dicampur sebagai rakhmat yang dibagi-bagi dan
dipercikkan kepada para peserta dalam upacara untuk kesucian dan
rakhmat.

165
3. Wangi-wangian
Dalam setiap upacara kita memerlukan wangi-wangian baik
berbentuk kayu cendana, minyak wangi, bunga-bunga yang wangi,
kemenyan dan lain-lain. Intinya adalah segala yang berbau harum karena
itu disebut pengharum-harum.

4. Bija (biji-bijian)
Biji-bijian dapat dipergunakan beras dan kacang-kacangan, biji-
bijian ini adalah biji dan lambang sebagai Ganapati. Di dalam berbagai
upacara pemakaian tepung tawar wujudnya berupa berbagai biji-bijian
terdiri dari beras kuning yang diberi warna kuning yang dicampur dengan
daun dapdap dan areng sebagai lambang pesucian.

5. Daun-daunan (lawa)
Penggunaan daun dalam upacara yajna sangat banyak tidak saja
berfungsi sebagai sarana alas atau taledan tetapi juga sebagai hiasan dan
simbol. Diantara berbagai daun tersebut yang sering dipergunakan antara
lain : daun beringin, daun dapdap, daun enau, daun kelapa dan lain-lain.
Diantara berbagai daun tersebut yang sering dipergunakan antara lain
adalah : daun beringin adalah daun yang paling umum dipergunakan
sebagai lambang kesucian lambang Agni dan sebagai alas untuk kesucian
dalam upacara dewa yajna.

6. Puspa (bunga-bungaan)
Bunga atau kembang adalah merupakan sarana yang penting
hampir dalam setiap yajna kita memerlukan kembang baik sebagai bunga
rampai dan kembang-kembang tertentu. Pemakaian bunga yang baik
adalah untuk keharuman baunya dan warnanya (merah, putih, ungu atau
hitam, kuning dan warna campuran).

7. Wasta (benda-benda)

166
Dalam upacara sering diperlukan benda-benda tertentu seperti
kayu, batu, besi, tembaga, emas, perak kaca dan lain-lain. Benda itu
dipergunakan dalam berbagai upacara tertentu. Batu sebagai simbol
keteguhan dan ketetapan iman agama seperti bata. Kayu cendana atau garu
untuk bangunan agama dan untuk mendapatkan bau yang baik. Besi dan
logam merupakan lambang kekuatan.

8. Gambar atau Huruf


Gambar atau huruf tertentu dipergunakan dalam berbagai yajna
baik sendiri-sendiri atau kedua-duanya, gambar sebagai pengganti pratima
baik gambar tertentu maupun sekedar bentuk garis tertentu atau titik-titik.
Gambar mengandung pengertian yang paling luas dan pada jaman Mesir
Kuno gambar sebagai pengganti huruf dan berfungsi sebagai sarana
komunikasi yang paling ampuh baik untuk mendatangkan gaib ataupun
untuk mengusir roh jahat lainnya. Adapun gambar atau huruf yang banyak
dipergunakan seperti gambar Swastika, Padma, huruf Ongkara dan lain-
lain.

9. Canang
Canang adalah persembahan yang sederhana berupa buah-buahan
dan kue, ada beberapa macam jenis canang dan dibedakan menuut
kelengkapan dan tujuan penggunaannya seperti : canang genten, canang
tubungan, canang burat wangi / lenge wangi, canang tadah pawitra, canang
sari, canang oyodan, canang rebong, canang meraka dan canang gebongan.

10. Daksina
Daksina adalah sesajen yang dibuat untuk tujuan kesaksian
spiritual, daksina adalah lambang Hyang Guru dan karena itu
dipergunakan sebagai saksi Dewata sedangkan isi daripada daksina antara
lain : beras, kelapa, uang, telur itik, benang putih, bija ratus, gantusan,
pisang mentah dan kemiri, pangi, daun sirih dan canang genten. Ada
beberapa jenis daksina antara lain : daksina alit, daksina pekala-kalaan,
daksina krepa, daksina gede dan daksina gulahan.

167
11. Bhoja (makan-makanan)
Salah satu jenis upakara yang selalu dipersembahkan pada setiap
upacara adalah makanan, persembahan makanan untuk berbagai tujuan
dan diberi nama berbeda-beda, seperti :
a. Persembahan untuk para dewa-dewa disebut ajuman
b. Persembahan untuk arwah meninggal disebut sodan
c. Persembahan untuk bhuta kala disebut caru
d. Persembahan untuk para pitara disebut saji tarpana.
Makin besar dan makin lengkap isinya berbeda pula namanya,
tujuan dan fungsi tetap sama seperti contoh :
a. Saeban atau jotan adalah persembahan nasi dengan garam dan irisan
bawang sebagai bentuk yang paling kecil dan sederhana.
b. Bila nasi itu dilengkapi dengan lauk-pauk yang lebih sempurna seperti
ikan, daging, sayur, telur dan lain-lain disebut perayuman atau
perangkat.
c. Apabila perayuman dilengkapi dengan peras dan daksina disebut
rayuman bawa atau bawa saja.
d. Apabila rayuman bawa ditambah dengan suci dan punia disebut Resi
Bojana.

12. Peras
Peras yaitu sesajen untuk upacara dan dipergunakan untuk tujuan
keberhasilan upacara (sidha karya, dinyatakan apabila tidak ada peras
tujuan upacara tan prasida (tidak tercapai). Peras adalah merupakan simbol
Triyoga Sakti. Isi peras tersebut antara lain : beras, daun sirih, tumpeng
dengan lauk pauknya, buah-buahan, tebu, canang genten dan sampian
peras.

13. Kewangen
Kewangen adalah sarana sembahyang dan fungsinya sama seperti
bunga. Yang dibuat dalam bentuk kojong terdiri dari : daun pisang, daun
sirih, kapur sirih, gambir, pinang, bunga, uang dan pelawa. Kewangen

168
banyak dipergunakan pada upacara Pitra Yajna dan Dewa Yajna sebagai
lambang Ardhanareswari. Karena itu penggunaannya akan sangat tepat
apabila diikuti dengan pemakaian mantra.

E. Hubungan Agama dengan Kebudayaan


Suatu kenyataan yang dapat diingat bahwa Agama Hindu telah
memberi warna dan jiwa pada segala corak kesenian di Bali ini. Disamping itu
pula agama memelihara kelangsungan perkembangan dan hidup seni karena
agama itu ikut aktif berpartisipari didalamnya, mengingat dengan berbagai
macam mytologi dan disucikan dalam bentuk upacara-upacara dan banten-
banten. Jalinan yang demikian erat menyebabkan kesenian Bali itu
mempunyai coak yang berbeda dengan kesenian di luar Bali. Untuk
memberikan gambaran yang singkat dan umum dari kaitan seni dan agama itu
baiklah kami akan mengemukakan satu persatu dari beberapa seni di bawah
ini :

a. Seni Bangunan
Bangunan-bangunan rumah adat di Bali baik untuk pura-pura
maupun bale-bale adat pada mula membuatnya maupun setelah selesainya
selalu diupacarai dengan secara agama.
Umat Hindu percaya bahwa rumah itu merupakan buana alit
ciptaan manusia, oleh sebab itu ia meniru sifat-sifat dan hakekat bhuana
agung yang diciptakan oleh Ida Sang Hyang Widhi. Kalau bhuana agung
terdiri dari bhur, bwah dan swah loka maka suatu bangunanpun dibuat
sedemikian rupa. Dimana dasar bangunan adalah bhur loka ruangannya
adalah bwah loka sedangkan atapnya adalah swah loka setelah itu
diadakan upacara-upacara pengurip-urip. Sebagaimana kita ketahui semua
alat bangunan itu adalah benda-benda mati seperti kayu, alang-alang,
kapur, pasir dan lain-lain sebab itu benda-benda itu harus dihidupkan
secara ritual (upacara). Fungsi dan namanya harus dirubah kalau
sebelumnya bernama alang-alang maka setelah menjadi bangunan berubah
bernama atap. Nama ini baru disertai dengan hidup baru. Untuk memberi
hidup baru ini diupacarailah dengan bakang-bakang atau sasat yaitu sejenis

169
sampian seperti orang-orangan yang mempunyai mata dan lain-lainnya.
Sebab itu bangunan yang sudah selesai diisi secarik kasa dengan
berlukiskan Ongkara, Padma, Acintya atau Naga. Tetapi kalau bangunan
itu untuk memohonkan kemakmuran dan kesejahtraan dilukiskan gambar
naga sebagai simbul Naga Basuki dan Naga Anantabhoga. Sebagai
dimaklumi Naga Basuki adalah simbul keselamatan dan Ananta artinya
tidak habis-habis sedangkan Bhoga, Upabhoga dan Paribhoga artinya
makanan, pakaian dan perlengkapan. Jadi suatu bangunan bagi umat
Hindu bukan sekedar tempat tidur melainkan sifat dan jiwa.

b. Seni Tari
Sebagaimana telah diputuskan di dalam seni sakral maka tari-tarian
Bali dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
1. Tari Wali
2. Tari Bebali
3. Tari Balih-balihan
Dari ketiga jenis tari ini maka tari Wali dan Bebali yang paling erat
hubungannya dengan agama. Tari Wali berfungsi sebagai pelaksanaan
upacara baik tari maupun ceritanya erat sekali kaitannya dengan jalannya
upacara seperti tari rejang berfungsi menuntun Ida Bhatara pada waktu
melelasti atau tedun ke pasekang, Uang bolongnya berfungsi sebagai
ngarad para dewa dan rog-roh suci untuk memberkahi upacara itu. Topeng
Sidakarya dengan peras dengan beras kuning dan uang bolongnya sebagai
puput karya dengan disimbulkan dengan beras kuning dan uang bolong.
Wayan Mpu Leger dan Wayang Sapu Leger dua-duanya berfungsi
sebagai penyucian bayi atau anak lahir pada Tumpek Wayang. Sedangkan
tari Belali berfungsi lebih ringan dari wali karena setengahnya bersifat
hiburan dan setengahnya menunjang succesan upacara.
Disamping fungsi-fungsi dari tari wali dan bebali ini telah
ditetapkan sedemikian rupa juga untuk menguatkan dan memantapkan
keyakinan dari umat maka dibuatkanlah mytologi-mytologi yang memuat
asal-usul dari tari tersebut. Hampir semua tari-tarian Bali menggunakan
sajen-sajen baik tari balih-balihan, tari wali dan bebali. Tujuannya tidak

170
lain adalah memohon kehadapan Ida Bhatara agama tari-tarian ini succes.
Disamping penggunaan sajen secara umum di Bali dikenal upacara
Masupati dimana alat-alat seperti topeng, rangda, barong atau gelungan
dan juga orang yang menarikan itu dipasupati. Dibuatkan sesajen khusus
untuk memohon kekuatan supermater material power untuk menuntun dan
mengarahkan peran tersebut secara gaib sehingga menarik atau
menakutkan. Kata pacupati berasal dari kata pacu yang berarti hewan dan
pati berarti raja maksudnya yaitu dimana si penari diumpamakan sebagai
hewan gembalan dimana Ida Bhatara sebagai pengembalanya maka gaya
tarik yang ditimbulkan oleh si penari ini bukanlah semata-mata disebabkan
oleh kelemahan dan kecantikan si penari tetapi adalah disebabkan oleh
kekuatan niskala dari Ida Bhatara tempat penari nunas pacupati.

c. Seni Tabuh
Gambelan dianggap mempunyai dewa sebab itu ada upacara untuk
memperingati atau memohon kekuatan pada gong itu yaitu pada hari
Tumpek Krulut. Kata krulut berarti cinta kasih mungkin hal ni ada
hubungannya dengan mytology-mytology terciptanya gong atau bunyi-
bunyian dimana Sang Hyang Semara menciptakan bunyi-bunyian yang
pertama yang dinamai Smarapegulingan. Kemudian Bhatara Siwa, Bhatara
Wisnu dan Bhatara Indra menuri ciptaan Sang Hyang Semara ini maka
terciptalah Semara Aturu, Semara Wungu, Semara Ngadeg. Para
Bhutakala tidak mau ketinggalan dan ikut juga meniru ciptaan Sang Hyang
Semara dibuatlah gegambelan Bebonangan oleh para Bhutakala. Tata
penggunaan gambelan disesuaikan dengan jenis upacara yang dilakukan,
misalnya upacara Dewa Yajna dipergunakan Semar Pegulingan dan
Selonding. Kalau upacara Pitra Yajna dipergunakan bebonangan dengan
tabuh boganjur, gelak dan gambang. Upacara manusa yajna
dipergunakanlah Semar Pegulingan, Gong Gede dan sebagainya.

d. Seni Sastra
Seni sastra lama lebih-lebih yang berbahasa Bali boleh dikatakan
hampir semua berbau etik mengandung tutur yang berpangkal pada ajaran

171
agama. Kidung-kidung dan kekawin yang sering sekali anomynya tidak
disebut nama pengarangnya menunjukkan suatu etika ketimuran yang
tidak menonjolkan namanya sendiri. Bahkan isinya dihubungkan dengan
tokoh-tokoh Dewa atau oang yang terkenal pada jaman dahulu. Mereka
beranggapan kalau namanya ditonjolkan nilai sastranya akan berkurang.
Sebagian lagi pengarang-pengarang Bali ini akan menyebutkan namanya
tetapi bukan nama asli melainkan nama samaran. Apa sebabnya orang Bali
tidak mau menonjolkan diri karena ini merupakan watak orang timur yang
kemudian dibenarkan lagi oleh etika agama Hindu dianjurkan
Anresangsya hak yang Dharma artinya tidak mementingkan diri sendiri
adalah kebajikan yang tertinggi. Selain itu juga pada waktu upacara
dinyanyikan kidung-kidung dan pembacaan kekawin yang baik biasanya
diambil dari ceritera-ceritera Ramayana dan Mahabrata. Kidung dan
kekawin itupun disesuaikan dengan jenis upacara / jalannya upacara.

172
BAB XII
TEMPAT SUCI

Tujuan Instruksional
Menjelaskan istilah-istilah tempat suci
Memahami syarat-syarat pembuatan Pura
Memahami fungsi tempat suci

A.Pengertian dan Istilah-istilah Tempat Suci


Tempat suci umat Hindu bernama Pura. Pura adalah tempat suci untuk
memuja Hyang Widhi Wasa dalam segala prabhawaNya dan Atma Sidha Dewata
(roh suci leluhur). Selain istilah Pura untuk tempat suci atau tempat pemujaan
dipergunakan juga istilah Kahyangan atau Parhyangan.

B.Syarat-syarat Pembuatan Tempat Suci (Pura) Mengenai Letak


Areal
Letak areal untuk tempat suci Pura menurut keyakinan umat Hindu adalah
di hulu, berpedoman kepada arah matahari terbit atau letak gunung. Matahari
terbit dan letak gunung dipandang sebagai arah yang suci, karena kedua sumber
alam itu diciptakan oleh Tuhan sebagai sumber kehidupan semua makhluk. Untuk
di Bali arah hulu itu adalah timur dan utara atau di sudut timur laut. Selain itu
adapula yang memakai hulu itu ke jalan (seperti di Kabupaten Tabanan) dan ada
pula ke arah sungai bila di tempat itu sulit ditentukan).
Setelah penentuan letak diperoleh persyaratan selanjutnya diselenggarakan
pembangunan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
 Ngeruwak karang / merubah status tanah
 Nyukat karang / mengukur secara pasti
 Nasarin / meletakkan dasar bangunan
 Memakuh / melaspas / upacara peresmian
 Ngurip-urip / menghidupkan secara lahir dan batin.
Kesemuanya ini diselenggarakan melalui suatu upacara keagamaan.

173
C.Fungsi Tempat Suci (Pura)
Tempat suci (Pura) berfungsi sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi
Wasa dalam segala prabhawa-Nya dan roh suci sidha dewata (roh suci leluhur),
dengan sarana upakara yajna sebagai perwujudan dari tri marga.

D.Jenis-jenis Tempat Suci


Pura di Bali ada beberapa jenis dan letaknya dikelompokkan. Tujuan
pengelompokan itu adalah untuk :
- Meningkatkan pengertian dan kesadaran umat terhadap Pura sebagai tempat
suci umat Hindu.
- Menghindari adanya salah tafsir bahwa dengan adanya banyak pelinggih di
suatu pura, agama Hindu dianggap politheistik.
Berdasarkan fungsinya Pura itu digolongkan menjadi 2 kelompok :
 Pura Jagat : tempat memuja Hyang Widhi Wasa dalam segala prabhawa /
manifestasi-Nya.
 Pura Kawitan : tempat memuja atma sidha dewata / roh suci leluhur.
Berdasarkan karakterisasi fungsinya pura digolongkan menjadi 4
kelompok :
a.Pura Kahyangan Jagat
Yaitu Pura tempat pemujaan Hyang Widhi Wasa dalam segala prabhawa-Nya
seperti Pura Sad Kahyangan dan Pura Jagat lainnya.
b.Pura Kahyangan Desa (Teritorial)
Yaitu pura yang disungsung oleh desa adat, contohnya seperti Pura
Kahyangan Tiga.
c.Pura Swagina (Pura Fungsional)
Yaitu pura yang penyungsungnya terikat oleh ikatan swyagjna
(kepercayaannya) yang mempunyai profesi sama dalam sistem mata
pencaharian hidup seperti Pura Subak, Pura Melanting dan lain sejenisnya.
d.Pura Kawitan
Yaitu pura yang penyungsungnya ditentukan oleh ikatan wit atau leluhur
berdasarkan garis kelahiran (genalogis) seperti Sanggah / Merajan. Pura Ibu,
Pura Panti, Pura Dadia, Pura Padharman dan sejenisnya.

174
5.Bentuk-bentuk Denah dan Jenis-jenis Palinggih

Denah Pura Desa

b a c
d
UTARA

BARAT

Keterangan :
a. Gedong bata, linggih / sthana Dewa Brahma
b. Palinggih Ratu Ketut Petung
c. Linga stahana sedahan Panglurah
d. Padmasana, linga sthana Hyang Widhi Wasa
e. Bale Agung, linga sthana Bhagawan Panyarikan
f. Gedong / Bebaturan (Hulun Bale Agung), linga sthana Bhatara Sri
Sedhana (Melanting).

175
Denah Pura Puseh

d a
c

f
UTARA

BARAT

Keterangan :
a. Meru (tumpang 7) linga sthana Deva Visnu
b. Linga sthana Ratu Made Jelawung
c. Linga sthana Sedahan Panglurah
d. Padmasana, linga sthana Hyang Widhi Wasa
e. Batur Sari linga sthana Dewi Danuh
f. Gedong, linga sthana Ibu Pertiwi

176
Denah Pura Dalem

b a c

c e
UTARA

BARAT

Keterangan :
a. Gedong bata, linga sthana Dewi Durgha (Sakti Siva)
b. Linga sthana Ratu Nyoman Sakti Pengadangan
c. Linga sthana Sedahan Panglurah (Tepas Macaling)
d. Bedogol (apit lawang), linga sthana Sang Bhuta Diyu
e. Bedogol (apit lawang), linga sthana Sang Bhuta Garwa

177
Denah Pura Prajapati

a b
UTARA

BARAT

Keterangan :
a. Padma, linga sthana Hyang Prajapati
b. Bebaturan

178
Denah Pura Desa dan Pura Puseh

a c
d b

h
UTARA

BARAT
Keterangan :
a. Gedong, linga sthana Deva Brahma
b. Linga sthana Ratu Ketut Petung
c. Linga sthana Sedahan Panglurah
d. Padmasana, linga sthana Hyang Widhi Wasa
e. Linga sthana Dewi Danuh
f. Linga sthana Tepas Macaling
g. Meru (sekurang-kurangnya tumpang 3), linga sthana Deva Visnu
h. Linga sthana Ratu Made Jelawung
i. Linga sthana Ibu Pertiwi (Ananta Bhoga)
j. Gedong Bebaturan / Hulu Bale Agung, linga sthana Dewi Sri Sedhana
k. Bale Agung, linga sthana Bhagawan Panyarikan.

179
Denah Merajan / Sanggah

a
b

c
UTARA

BARAT

Keterangan :
a. Kemulan rong tiga, linggih Hyang Guru Kemulan / Tri Murti / Leluhur
b. Linggih Sedahan Panglurah
c. Linggih Gedong Taksu.

180
BAB XIII
HARI RAYA SUCI AGAMA HINDU

Tujuan Instruksional
Menjelaskan jenis-jenis hari suci Hindu
Melaksanakan hari suci Hindu
Mengimplementasikan makna hari suci Hindu dalam kehidupan

A.Nyepi
Hari raya Nyepi merupakan hari suci agama Hindu yang dirayakan setiap
tahun sekali. Hari suci ini berdasarkan pada pengalihan Purnama dan Tilem.
Hari raya Nyepi juga dikenal sebagai Hari Tahun Baru Saka, yang secara resmi
telah diakui sebagai hari libur nasional sejak tahun 1983.
Hari raya Nyepi dirayakan setiap awal sasih ke dasa atau sehari setelah
hari Tilem sasih kasanga. Diperkirakan jatuh pada bulan Maret dan April pada
tahun Masehi. Perhitungan penetapannya berdasarkan pada :
 Peredaran matahari dan bulan mengelilingi bumi
 Pergantian musim.

Runtutan Pelaksanaan Hari Raya Nyepi


Sebelum Nyepi dirayakan diawali dengan pelaksanaan upacara :
 Melis / Mekiyis / Melasti
Upacara ini bertujuan untuk memohon kehadapan Hyang Widhi Wasa /
Manifestasi Beliau yang bersthana di laut sebagai sumber air,
membersihkan semua alam beserta isinya, yang telah setahun lamanya
berada dalam arena dunia manusia dengan pelbagai noda dan gangguan
hingga kotor. Disamping itu juga mengambil tirtha amertha untuk sarana
penyucian alam semesta beserta isinya.
 Pecaruan / Bhuta Yajna
Upacara ini dilaksanakan dari masing-masing perubahan, banjar, desa,
kecamatan, kabupaten dan propinsi, dengan mengambil tempat melalui
lebuh (depan pintu masuk pekarangan), perempatan jalan, alun-alun /
lapangan. Adapun tujuannya adalah memohon pada Hyang Widhi Wasa /

181
manifestasi Beliau sebagai Dewata Nawa Sanga (Penguasa penjuru mata
angin) di alam raya ini agar menyucikan dan mengharmoniskan kembali
alam semesta beserta segala isinya menjadi bersuasana baru. Selain itu
juga meredakan gangguan dari kekuatan bhutakala yang tidak baik
(bersifat keraksaan).
 Pelaksanaan Nyepi
Pelaksanaan Nyepi bertujuan untuk menyepikan diri. Semua perjuangan
hidup yang resah, semua bentuk keinginan-keinginan dan hawa nafsu
diredakan dan berusaha menarik diri dari kegiatan-kegiatan sehari-hari
masuk ke dalam diri. Berusaha mengendalikan diri agar dapat tenang dan
damai lahir dan batin. Pelaksanaan Nyepi dilakukan melalui catur brata
penyepian untuk dapat sepi, sipeng lahir dan batin. Keempat brata tersebut
adalah :
 Amati Geni
Maksudnya tidak menyalakan api secara lahir, sedangkan secara batin
dimaksudkan untuk meredakan nafsu yang mengarah pada hal-hal bersifat
negatif seperti : Sad Ripu, Sad Atatayi, Sapta Timira dan lain sejenisnya.
 Amati Karya
Maksudnya tidak bekerja secara lahir. Sedangkan secara batin berusaha
untuk menghentikan kegiatan jasmani dengan merenung dan menghitung-
hitung perbuatan di masa lampau, seberapa yang masih perlu diperbaiki,
karena kesempatan hidup yang diperoleh itu justru patut dipergunakan
untuk menolong diri dengan jalan berbuat baik.
 Amati Lelungan
Maksudnya tidak pergi yaitu menyediakan waktu untuk memusatkan
pikiran melaksanakan tapa, brata, yoga dan semadi, mawas diri.
 Amati Lelanguan
Maksudnya menekan atau meredakan tuntutan hawa nafsu / kesenangan
terhadap Sad Ripu, Sad Atatayi, Sapta Timira dan lain sejenisnya. Selain
itu berusaha mengurangi kesenangan yang berlebihan mengarah pada
kesombongan dan berakhir dengan kesusahan itu, karena hal tersebut
bukan merupakan tujuan.

182
Besoknya setelah perayaan Nyepi berakhir, dilanjutkan dengan upacara
Ngembak Geni maksudnya mengakhiri masa melaksanakan Catur Brata
Penyepian itu. Dilanjutkan dengan pelaksanaan Dharma Santi, yang
bermakna saling maaf-memaafkan dengan saling kunjung-mengunjungi
atau dipusatkan pelaksanaannya pada satu tempat. Hal ini dapat diatur
sesuai dengan keperluan dan kesempatan.

B.Sivaratri
Hari raya Sivaratri merupakan hari raya umat Hindu yang dirayakan
setiap tahun sekali, perayaannya dilaksanakan pada hari panglong ping pat
belas, sehari sebelum Tilem sasih kepitu, pada umumnya jatuh di bulan
Februari tahun masehi.
Hari suci Sivaratri berarti malam Hyang Siva yang bermakna melebur
segala dosa, sehingga sering disebut dengan hari suci untuk peleburan dosa.
Pemujaan ditujukan kehadapan Hyang Siva dan pelaksanaannya pada malam
hari semalam suntuk. Malam Sivaratri adalah merupakan malam yang paling
gelap dan kurun waktu selama setahun itu. Pada saat itu beryogalah Hyang
Siva Mahadeva memberikan pengampunan kepada setiap umatnya yang sujud
bakti melaksanakan dharmanya di bumi ini.
Pelaksanaan upacara Sivaratri diwajibkan untuk melaksanakan brata
sebagai berikut :
 Monabrata : artinya tidak berbicara atau berkata-kata
 Upavasa : artinya tidak makan dan minum
 Jagra : artinya tidak tidur dari pagi hingga malam sampai
pagi kembali
Tentang cerita Sivaratri terdapat dalam pustaka Lubdhaka oleh Mpu
Tanakung yang antara lain sebagai berikut :

Diceritrakan Sang Lubdhaka sebagai seorang pemburu, pagi-pagi sekali telah


meninggalkan rumah dan anak istrinya untuk berburu binatang ke hutan.
Tepat saat itu hari Sivaratri. Lubdhaka sampai menjelang malam belum
memperoleh seekor binatangpun hasil buruannya. Karena sudah malam dan
dibebani berbagai perasaan kurang enak dan takut disergap oleh binatang

183
buas. Akhirnya ia naik ke pohon Bila dan duduk di sana sambil memetik daun
pohon Bila dan satu persatu dijatuhkannya ke bawah sambil memuja Deva
Siwa. Akhirnya hal tersebut dilakukan hingga menjelang pagi dan setelah
agak terang dilihat ke bawah, tampak olehnya sebuah telaga berisi linga. Di
situlah sang Lubdhaka mohon ampun atas segala perbuatannya, dan kebetulan
saat itu masih termasuk malam Siva, maka permohonannya atas segala dosa
yang telah diperbuatnya dapat dikabulkan.
Selain pustaka tersebut, juga mengenai Sivaratri ini ada diungkapkan pada
pustaka Padma-Purana, Kakawin Sivaratri-Kalpa, Puja Sivaratri, Tutur
Lubdhaka.

Tata Cara Pelaksanaan Siwaratri


 Melaksanakan brata-brata tersebut di atas seperti monabrata, upavasa dan
jagra.
 Pemujaan oleh Pendeta Siva dan Buddha.
 Masing-masing umat membersihkan diri pribadinya pada pagi-pagi
harinya dan sore harinya dilanjutkan dengan upacara maprayascitta.
 Sembahyang sebanyak 3 kali yaitu menjelang malam, tengah malam dan
pagi. Untuk waktu antara sembahyang itu menjaga supaya tidak tidur
dapat diisi dengan pembahasan untuk pendalaman tentang inti-inti ajaran
agama yang dapat dipakai pedoman dan penghayatan untuk menuntun
sang diri dalam kesempatan hidup ini.

C.Sarasvati
Hari Sarasvati adalah hari raya suci agama Hindu berdasarkan pawukon
yang datangnya setiap 6 bulan (210 hari) sekali, tepatnya setiap hari Sabtu
Umanis, wuku Watugunung. Hari Sarasvati merupakan manifestasi-Nya
sebagai Dewanya Ilmu Pengetahuan, yang juga disebut hari Pawedalan Sang
Hyang Haji Saraswati.
Kekuatan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya ini, dilambangkan dengan
seorang Dewi membawa alat musik, Genitri, Pustaka suci, Teratai, serta duduk
di atas angsa. Adapun arti dari simbul-simbul tersebut adalah sebagai berikut :

184
 Dewi adalah simbul kekuatan yang indah, cantik, menarik, lemah lembut,
dan mulia yang merupakan sifat dari ilmu pengetahuan itu.
 Alat musik, adalah simbul seni budaya yang agung.
 Genitri, adalah simbul dari kekekalan dan tak terbatasnya ilmu
pengetahuan itu.
 Pustaka suci, adalah simbul dari ilmu pengetahuan suci.
 Teratai, adalah simbul kesucian Hyang Widhi Wasa.
 Angsa, adalah simbul dari kebijaksanaan untuk membedakan antara yang
baik dengan yang buruk.

Sasana dan Brata Saraswati


 Upacara pemujaan Saraswati dilaksanakan pagi hari atau sebelum tengah hari.
 Sebelum upacara Saraswati dan sebelum lewat tengah hari tidak
diperkankan membaca atau menulis mantra dan kesusastraan.
 Bagi umat Hindu yang melaksanakan Brata Saraswati secara penuh tidak
diperkenankan membaca dan menulis selama 24 jam.
Dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan pangawruh agar senantiasa
dilandasi dengan hati yang jernih dan pikiran astiti bakti kehadapan Hyang
Saraswati termasuk merawat pustaka-pustaka yang dimiliki.

D.Galungan
Hari raya Galungan merupakan hari suci agama Hindu berdasarkan
pawukon, diperingati setiap 210 hari (6 bulan) sekali yaitu pada hari Rebo
Kliwon Wuku Dungulan.
Hari Galungan juga disebut hari Pawedalan Jagat mengandung makna
untuk pemujaan kehadapan Hyang Widhi Wasa karena telah diciptakan dunia
dengan segala isinya. Selain itu juga Galungan merupakan hari kemenangan
dharma melawan adharma. Hari raya Galungan diperkirakan sudah ada di
Indonesia sejak abad ke XI. Hal ini didasarkan atas antara lain :
Kidung Panji Malat Rasmi dan Pararaton kerajaan Majapahit. Perayaan
semacam ini di India dinamakan hari raya Sraddha Wijaya Dasami.
Di Bali sebelum pemerintahan raja Sri Jaya Kasunu, perayaan Galungan
pernah tidak dilaksanakan, oleh karena raja-raja pada jaman itu kurang

185
memperhatikan upacara keagamaan. Hal tersebut daat mengakibatkan
kehidupan rakyat sangat menderita dan umur raja-raja sangat pendek-pendek.
Kemudian setelah Sri Haji Jayakasunu naik tahta dan juga setelah
mendapatkan pewarah-warah dari Bhatari Durga atas permohonannya, maka
Galungan kembali dirayakan dengan suatu ketetapan tidak ada Galungan
buwung atau tidak ada Galungan batal.
Perayaan Galungan diawali dengan :
1.Tumpek Wariga
Yaitu 25 hari sebelum Galungan yang jatuh pada hari Sabtu Kliwon wuku
Wariga. Tumpek ini juga disebut dengan nama Tumpek Pengatag,
Pengarah, Bubuh, dan Uduh, yang intinya memohonkan keselamatan
kepada semua jenis tumbuh-tumbuhan agar dapat hidup dengan sempurna
dan dapat memberikan hasil untuk bekal merayakan Galungan.
3. Hari Sugihan Jawa
Dirayakan setiap 210 hari atau 6 bulan sekali pada hari Kamis Wage wuku
Sungsang yaitu 6 hari sebelum hari raya Galungan. Perayaan saat ini
bermakna memohonkan kesucian terhadap bhuwana agung (alam
semesta).
4. Hari Sugihan Bali
Dirayakan setiap 210 hari atau 6 bulan sekali pada hari Kamis Wage wuku
Sungsang yaitu 6 hari sebelum hari raya Galungan. Perayaan saat ini
bermakna memohonkan kesucian terhadap diri pribadi (bhuwana alit).
5. Hari Panyekeban
Jatuh pada hari Minggu / Redite Paing wuku Dungulan yaitu 3 hari
sebelum Galungan. Hari ini merupakan awal wuku Dungulan yang
bermakna patut waspada, karena para bhuta kala (Sang Tiga Visesa) mulai
turun menggoda kemampuan dan keyakinan manusia dalam wujud Bhuta
Galungan. Panyekeban bermakna anyekung jnana sudha nirmala agar
terhindar dari godaan-godaannya.
6. Hari Penyajaan Galungan
Yaitu pada hari Senin Pon wuku Dungulan, 2 hari sebelum hari raya
Galungan. Hari ini dipergunakan sebagai hari persiapan membuat jajan.
Juga dimaksudkan sebagai hari-hari yang patut diwaspadai terhadap

186
godaan Sang Kala Tiga Visesa dalam wujud Bhuta Dunggulan. Hari
penyajaan bermakna sebagai hari kesungguhan hati untuk menyambut dan
merayakan Galungan.
7. Hari Penampahan Galungan
Jatuh pada hari Selasa Wage wuku Dungulan yaitu sehari sebelum hari
raya Galungan. Pada hari ini dilaksanakan untuk memotong hewan,
membuat sate dan lawar untuk perlengkapan sesajen. Pada hari ini juga
patut diwaspadai, karena merupakan hari yang terakhir bagi Sang Kala
Tiga dalam wujd sebagai Bhuta Amangkurat untuk mengganggu manusia.
Hindarkan diri dari pertengkaran agar terhindar dari godaannya. Bagi ibu-
ibu dan remaja putri saat ini dipergunakan untuk mengatur sesajen yang
akan dipersembahkan besoknya, sedangkan pada sore hari setelah selesai
memasak diselenggarakan uapcara Mabayakala dan lanjut para bapak atau
pemudanya mulai memasang penjor.
8. Hari Raya Galungan
Jatuh setiap hari Rebo Kliwon wuku Dungulan, merupakan puncak
upacara peringatan terhadap hari kemenangan dharma melawan adharma
sebagai hari Pawedalan Jagad dengan mempersembahkan upacara sesajen
pada setiap tempat-tempat suci dilanjutkan dengan pelaksanaan
sembahyang.
9. Hari Pemaridan Guru
Jatuh setiap hari Sabtu Pon wuku Dungulan, hari akhir wuku Dungulan.
Pada hari ini dipergunakan sebagai hari penyucian diri dan dilanjutkan
dengan mohon keselamatan ditandai dengan memakan sisa yajna berupa
Tumpeng Guru secara bersama-sama sekeluarga.

E.Hari Kuningan
Hari Kuningan merupakan hari suci agama Hindu yang dirayakan setiap 6
bulan atau 210 hari sekali, yaitu setiap hari Sabtu Kliwon wuku Kuningan, 10
hari setelah hari raya Galungan.
Hari Kuningan merupakan hari resepsi bagi hari Galungan sebagai
kemenangan dharma melawan adharma yang pemujaannya ditujukan kepada
para Deva dan Pitara agar turun melaksanakan pensucian serta mukti atau

187
menikmati sesajen-sesajen yang dipersembahkan. Penyelenggaraan upacara
Kuningan disyaratkan supaya dilaksanakan semasih pagi dan tidak dibenarkan
setelah matahari condong ke barat.
Sarana upacara sebagai simbul kesemarakan, kemeriahan terdiri dari
berbagai macam jejahitan yang mempunyai simbolis sebagai alat-alat perang
yang diparadekan seperti tamiyang kolem, ter, endongan, wayang-wayang dan
lain sejenisnya.
Tujuan pelaksanaan upacara Kuningan ini adalah untuk memohon
kesentosaan, kedirgayusan serta perlindungan dan tuntunan lahir dan batin.

F.Purnama dan Tilem


Purnama adalah saat bulan bersinar penuh, dipandang sebagai hari suci
agama Hindu dan patut dirayakan. Hari Purnama merupakan saat beryoganya
Bhatara Parameswara, Sang Hyang Purusangkara, disertai para Deva,
Widyadara-widyadari, turun membersihkan diri dan menyucikan alam semesta
beserta segala isinya.
Pada saat Purnama kita patut mengadakan pemujaan terhadap Sang Hyang
Bulan dan Matahari karena keduanya itu sangat besar bantuannya terhadap
alam dengan segala isinya dalam kehidupannya. Tilem adalah saat bulan tidak
memberikan sinarnya (bulan mati). Pemujaan pada hari Tilem baik
dipergunakan untuk memohon pembersihan diri dengan melukat seluruh
kekotoran yang berada pada anggota badan.
Mengenai batas ketentuan jarak dari Purnama ke Tilem tidak dapat
ditentukan secara pasti, yaitu kadang-kadang 15 hari sekali dan kadang-kadang
pula 14 hari sekali, karena lamanya peredaran bulan itu selama saat bulan
lamanya 29,5 hari.

188
BAB XIV
PANDITA DAN PINANDITA
Tujuan Instruksional
Menjelaskan pengertian Pandita dan Pinandita
Memahami perbedaan status Pandita dan Pinandita
Memahami perbedaan wewenang Pandita dan Pinadita
Mengerti tentang syarat-syarat menjadi Pandita
Mengerti tentang syarat-syarat menjadi Pinandita

A. Pengertian Pandita dan Pinandita


Rohaniawan dalam agama Hindu yang bertugas secara langsung
mengantarkan suatu upacara dikenal dengan berbagai nama. Dilihat dari
tingkat penyuciannya umumnya hanya dibedakan atas dua golongan yaitu :
1. Rohaniawan yang terglong Dwijati, dengan sebutan Pandita atau
sulinggih.Dalam istilah nasional juga disebut Pendeta. Kata dvijati
berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu dari kata dvi yang artinya dua dan
jati berasal dari akar kata ja artinya lahir. Lahir yang pertama adalah
dari kandungan ibu dan lahir yang kedua adalah dari kaki Dang Guru
Sucianya yang disebut Nabe. Maka dari itulah dalam upacara Madiksa,
yaitu upacara pengesahan untuk menjadi seseorang Sulinggih atau
pandita dilakukian nuwun pada atau juga disebut metapak. Istilah
Pandita juga berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya: terpelajar,
pintar, bijaksana (orang arif bijaksana). Istilah Pedanda di Bali
mengandung arti yang sama dengan Dvijati. Mengenai istilah Viku
erat hubungannya dengan Bhiksu (Bahasa Sansekerta) yang berasal
dari kata Biks artinya minta-minta. Bhiksu artinya Pendeta minta-
minta. Dalam Catur Asrama tingkat yang terakhir disebut Biksuka,
yang artinya kehidupan yang tidak lagi terikat dengan harta milik
melainkan hanya memuastkan perhatian menuju kesucian diri. Untuk
menyambung hidupnya hanya penghandalkan dengan minta-minta.
Demikian pula halnya seorang Wiku atau Pendeta tidak lagi terikat
akan arta dari bantuan/dunia para sisyanya. Dengan demikian seorang
Wiku/Sulinggih/Pendeta akan dapat lebih memusatkan diri pada

189
kesucian dan mendoakan kesejahteraan dan keselamatan dunia. Istilah-
istilah lain yang juga seirng digunakan di daerah Bali khususnya untuk
menyebut rohaniawan yang terglong Dwi Jati, antara lain :Rsi, Empu,
Pedanda, bujangga, Senggu, Dukuh, Danghyang, Bagawan,. Istilah-
istilah tersebut umumnya dipergunakan oleh keluarga-keluarga tertentu
yang diterima secara tradisi.
2. Rohaniawan yang tergolong Eka jati, dengan sebutan Pinandita,
Pemangku, Wasi, dan sejenisnya. Pinandita adalah rohaniawan yang
bertugas selaku pembantu mewakili Pendeta, hal ini ditetapkan oleh
Parisada Hindu Dharma dalam Maha Sabha II tahun 1968 yang
menetapkan sebagai berikut : Pemangku, Wasi,
Mangku/Balian/Dukun, Mangku Dalang, Pengemban, dan Dharma
Acarya. Pemangku umumnya terkait dengan adanya suatu Pura
(tempat suci Hindu) bertugas, sedangkan Wasi atau Pinandita, Mangku
Dalang, Mangku Balia/Dukun, Pengemban maupun Dang Acarya,
tidak selalu memiliki ikatan dengan suatu tempat suci tertentu. Olah
karena itu mereka umumnya lebih banyak melaksanakan tugas selaku
rohaniawan yang bersifat umum, seperti melaksanakan upacara
perkawinan, manusia yadnya, kematian dan lain-lainnya.

B. Status Pandita dan Pinandita


Status Pandita adalah tergolong dvijati, yang artinya lahir dua kali yaitu
kelahiran pertama dan kelahiran kedua. Kelahiran pertama hanya bersifat
kelahiran pisik jasmani, sedangkan kelahiran kedua kalinya adalah kelahiran
seorang guru suci yang disebut Nabe, dalam arti kelahiran karena telah
memperoleh ilmu pengetahuan suci kerohaniaan yang dilalui melalui
pelaksanaan aguron-guron (berguru/belajar) serta telah diresmikan melalui
upacara Diksa atau Pudgala. Pelaksanaan upacara Diksa sebagai pengesahan
pada kelahiran yang kedua ini bersifat merubah status yang bersangkutan
setelah diikuti dengan disiplin yang cukup ketat. Ikatan disiplin yang pertama-
tama yang patut dilaksanakan oleh seorang diksita dikenal dengan istilah
Catur Bandana Dharma artinya empat ikatan disiplin kehidupan kerohanian
meliputi:

190
a. Amari Aran artinya yang bersangkutan sejak diresmikan menjadi
seorang Pandita melalui upacara diksa wajib mengganti namanya yang
dipakai saat masih walaka dengan nama yang baru sesuai dengan
pemberian Nabe.
b. Amari Sesana artinya meninggalkan tugas dan kewajiban semula dan
mengganti dengan sesana kawikon, yaitu tugas dan kewajiban serta
disiplin kehidupan seorang Pendeta. Misalnya tan wenang adol atuku
(tidak boleh berjual beli) dan sebagainya.
c. Amari Wesa artinya meninggalkan atau mengganti tanda-tanda
kewelakaannya dengan wesu atau ciri-ciri pendeta. Misalnya dalan
tatat busana tidak lagi boleh bercukur, melainkan bagi pendeta Siwa
yang laki-laki biasanya mengenakan dandanan rambut yang disebut
Aketujata memakai mahkota rambut yang diikat demikian rupa atau
disebut pula dengan Malingga mudra di Bali dikenal dengan maprucut.
Bagi wanita memakao dandanan rambut yang disebut Anandong.
Pakaian Pendeta saat memuja memakai:
 Sampet, yaitu secarik kain yang disebut dilipat pada dadanya.
 Rudraksa yaitu hiasan dari rangkaian buah genitri yang
dikenakan pada kedua bahunya.
 Kundala yaitu anting-anting yang umumnya juga dibuat terbuat
dari rangkaian buah genitri.
 Kantha Brata yaitu hiasan pada leher.
 Karna Brata yaity hiasan pada telinga.
 Guduha yaitu gelang rangkaian biji/buah genitri yang
dikenakan pada kedua pergelangan tangannya.
 Bhava yaitu hiasan pada kepala sering disebut dengan Ketu.
Pada saat pemujaan juga dilengkapi dengan peralatan pemujaan
yang disebut Sivopakarana serta gerakan tangan yang bersifat
magis yang disebut Mudra atau Patanganan.

d. Umulahaken Kaguru Susrusan yaitu melaksanakan dengan patuh dan


berdisiplin ajaran guru serta selalu hormat dan patuh kepada guru
termasuk keluarganya. Kesemua ciri-ciri/identitas tersebut hanya boleh

191
dipergunakan oleh seorang yang telah resmi menjadi Pandita setelah
melalui proses yang telah ditentukan. Dengan melaksanakan disiplin
yang ketat serta mengikuti segala aturan yang telah ditetapkan bagi
seorang Sulinggih yang dikenal dengan Sasana kawikon mengantarkan
seorang pandita pada status sebagai seorang Wiku/Dang
Acarya/Sulinggih/Dvijati. Kedudukan Wiku selaku Dvijati adalah
suatu kedudukan khusus yang hanya menuruti sasana serta sesuai
dengan ketentuan parisada Hindu Dharma Indonesia. Dengan status itu
pula beliau memiliki tugas dan wewenang dan kewajiban yang berbeda
dengan seorang rohaniawan yang masih tergolog Eka Jati seperti
Pinandita atau Pemangku.
Sedangkan status Pinandita/pemangku tergolong dalam tingkat Eka Jati.
Walaupun bagi seorang Pinandita, mampu melaksanakan tugasnya juga
bel;ajar/berguru, namun tingkat pengetahuan yang dipelajari tidaklah setinggi
Pandita. Veda yang dipelajari terbatas, umumnya hanya yang berhubungan
dengan pangastawa. Upacara pengesahannyapun jauh berbeda dengan pengesahan
menjadi Pandita. Upacara yang dilakukan untuk seorang pandita hanya sampau
pada tingkat pewintenan. Upacara pewintenan bahkan juga boleh dilaksanakan
oleh umat secara umum, ytang bermaksud untuk menyucikan diri. Misalnya
sebelum akan mempelajari kitab-kitab suci, sebelum akan bertugas menangani
upacara yang agak besar dan sebagainya.
Upacara pewintenan ini boleh dilakukan berkali-kali. Berbeda dengan
upacara Padiksan yang hanya boleh dilakukan sekali saja. Dengan tingkatan
upacara seperti ini tidak memabwa perubahan status, sebagaimana yang dilakukan
bagi seorang Pandita. Seorang Pemangku masih boleh bercukur, berpakaian
sebagai layaknya masyarakat biasa, masih memiliki tugas dan kewajiban dalam
hubungan kemasyarakatan sebagai seorang Walaka. Namanya juga tidak diganti
dengan nama yang baru, sebagaimana bhiseka seorang Pendeta. Seorang
Pemangku dalam melaksanakan tugasnya tidak boleh mempergunakan alat
pemujaan sebagaimana alat pemujaan Pendeta demikian pula tidak dibenarkan
mempergunakan Mudra atau Patanganan. Pelanggaran dalam hal ini disebut
Nyumuka yaitu menjadikan dirinya sendiri selaku Pendeta yang sesungguhnya
belum berwenang untuk itu.

192
Bagi seorang Pinandita memiliki sasana khusus yang disebut sasana Pemangku,
antara lain :
 Gagelaran/Agem-ageman/tata cara Pemangku melaksanakan tugasnya
disesuaikan dengan ketentuan dalam lontar Kusuma Dewa, Sangkul Putih
serta Gegelaran Pemangku.
 Bagi Pemangku Dalang, sasananya sesuai dengan Dharmaning
Padalangan, panyudamalan, dan nyapu leger.
Ciri-ciri umum yang dipergunakan bagi seorang Pinandita adalah:
 Rambut panjang atau boleh juga bercukur.
 Pakaian : saat melaksanakan tugas memakai destar putih, baju putih,
kampuh putih, sedangkan di luar itu masih dibenarkan berpakaian
sebagaimana umat lainnya. Dalam melakukan pemujaan memakai :genta,
pasepan, bunga, gandaksata, dan tempat tirta.

C. Wewenang Pandita dan Pinandita


Sesuai dengan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-
Aspek Agama Hindu, seorang pandita berwenang dalam menyelesaikan
segala upacara/upakara yakni Panca Yadnya yang dilaksanakan oleh umat
Hindu. Kewenangan ini tidak terbatas pada upacara yang bersifat rutin
maupun persembahan, melainkan juga termasuk menyelesaikan upacara yang
bermakna mengesahkan, penyumpahan dan sebagainya. Kewenangan seorang
pandita tidak secara otomatis diperoleh setelah menyelesaikan upacara
pediksan, melainkan masih diperlukan pengesahan yang bersifat memberi
legalitas. Pengesahan tersebut terkadang harus dilalui dalam beberapa tahapan
lagi. Untuk berwenang menggunakan weda dan menyelesaikan upacara-
upacara tingkat sederhana, seorang pandita yang telah mediksa, harus
melaksanakan upacara Ngalinggihang Veda yang disaksikan oleh navenya
serta Viku Saksi lainnya. Pada upacara ini seorang pandita dites kembali
apakah yang bersangkutan sudah menguasai Veda dengan baik atau belum.
Setelah upacara Ngelingguhang Veda ini dapat dilaksanakan dengan baik,
barulah seorang Pandita mempunyai kewenangana menyelesaikan upacara
tingkat yang tertentu, seusai dengan ijin dari Nabenya. Untuk dapat
menyelesaikan upacara tingkat besar seorang Pandita harus memiliki

193
kemampuan dalam penguasaan Weda yang diistilahkan dengan Apasang
Lingga, yaitu tingkat tertentu dalam penguasaan Weda.
Bagi pandita yang telah berhasil melewati tahapan penguasaan Weda
sebagaimana tersebut di ata, maka tugas pokok seorang Pandita adalah
Ngeloka Parasraya yaitu melaksanakan tugas selaku sandaran umat untuk
mohon bantuan umat dalam hal kehidupan keagamaan secara umum. Dalam
prakteknya lebih banyak membantu dalam pelaksanaan upacara keagamaan,
di samping itu dalam kehiduapan beragama sehari-hari, seperti bagaimana
tata cara mendirikan pura, mendirikan rumah, mencari hari baik untuk
melaksanakan upacara, dan sebagainya, pendetalah tempat bersandarnya umat
untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk yang diperlukan. Oleh karena itu
Pendeta juga disebut sebagai Guru Loka atau Dang Acarya yang artinya guru,
terutama dalam kehidupan keagamaan. Hubungan antara Pendeta dengan
umat dilukiskan sebagai hubungan Siva dengan sisyanya, dimana Pendeta
dipandang sebagai Siva, terutama pada saat beliau muput atau menyelesaikan
suatu upacara, membuat tirtaserta melaksanakan tugas-tugas kependetaan.
Sedangkan umat dipandang sebagai sisyanya artinya sebagai muris pendeta
yang bersangkutan. Bilaman umat mengalami kesulitan untuk mendapatkan
petuynjuk dari kitab suci maka petunjuk Pandita itulah yang dijadikan sebagai
penggantinya. Hal ini sejalan dengan kitab Manava Dharmasastra yang
menguraikan sebagai berikut :
Idanim dharma pramananyaha
Vedokhilo darmamulan
Smrtisile ca tadvidam
Acarascaiva sadhunam
Atmanastustir eva ca
(Manava Dharmasastra. II.6)
Artinya:
Seluruh pustala suci weda adalah sumber pertama daripada dharma,
kemudian adat istiadat, dan lalu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang
biduman yang mendalami ajaran pustala suci weda, juga tata cara
perikehidupan orang-orang suci dan akhirnya kepuasan diri pribadi.

194
Sedangkan bagi pandita yang hanya melaksanakan penyucian diri
semata-mata untuk kesucian diri sendiri. Beliau tidak melaksanakana tugas
Loka Para Sraya terutama yang berhubungan dengan tugas membantu umat
dalam menyelesaikan upacara agama. Namun tugas dan kewajiban seorang
guiri loka, dalam arti membimbing dan memberi petunjuk tentang ajaran
agama tetap dilaksanakan sesuai dengan permintaan umat itu sendiri. Dengan
adanya ketentuan seorang pandita amari sasana maka seoranfg pandita
dibebaskan dari tugas-tugas dan kewajiban selaku warga masyarakat umum.
Tugas dan kewajiban Pandita setiap harinya adalah melaksanakan pemujaan
yang dikenal dengan Nyurya Sewana, yaitu melaksanakan pemujaan untuk
menyucikan diri serta mendoakan kesejahteraan dan kebahagiaan semua
makhluk di dunia ini. Pemujaan ini biasanya dilakukan di Merajan/tempat suci
yang ada di rumahnya masing-masing. Tugas dan kewajiban harus
dilaksanakan setiap hari, kecuali karena sakit.
Sesuai dengan keputusan Maha Sabha II Parisada hindu Dharma Pusat
tahun 1968, ditetapkan fungsi/tugas kewajiban Pendeta sebagai berikut :
 Memimpin umat dalam hidupnya mencapai kebahagiaan lahir bathin.
 Melakukan pemujaan penyelesaian yadnya.
Pendeta sejak mendapat ijin Ngeloka para Sraya bagi kemantapan
Ngalinggihang Weda, harus melakukan tirta yatra pemujaan pada tempat-
tempat suci, terutama pada pura yang sangat keramat. Dalam hubungan
dengan pembinaan umat menuju kepada kemantapan pelaksanaan ajaran
agama seoarng Pandita juga sangat diharapkan untuk melaksanakan tugas-
tugas :
 Dalam memimpin upacara yadnya menyesuaikan dengan ucap sastra yang
mengaturnya.
 Pandita agar berkenan membimbing untuk meningkatkan kesucian dan
kemampuan para Panandita.
 Aktif mengikuti paruman dalam rangka menyesuaikan, memantapkan dan
meningkatkan ajaran agama dihubungkan dengan perkembangan
kemajuan zaman.

195
 Pandita disamping memimpin menyelesaikan upacara yadnya juga patusd
memberikan Upadesa untuk memantapkan pengertian dan pengalaman
ajaran agama Hindu.
Sedangkan wewenang seorang Pinandita secara umum dengan berbagai
sebutannya memiliki batas wewenang yang jauh lebih kecil dibandingkan
denbgan pandita dalam hal mengantarkan yadnya.
Maha Sabha II Parisada Hindu Dharma tahun 1968 menetapkan tugas
/kewajiban Pinandita sebagai berikut :
 Melakukan pewintenan orang yang akan menjadi Pinandita.
 Untuk mendapatkan Tirta Pengentas harus dengan jalan memohon kepada
Ida Sang Hyang Widhi.
 Menyelesaikan dewa yadnya dan manusya yadnya pada tingkat medudus
alit.
Dalam hubungan dengan Panca Yadnya, batas kewenangan tersbedut lebih
lanjut dirinci sebagai berikut :
 Menyelesaikan upacara pujawali/piodalan sampai tingkat piodalan pada
pura yang bersangkutan.
 Apabila Pinandita menyelesaikan upacara di luar Pura atau jenis upacara
tersebut bersifat rutin seperti pujawali manusia yadnya, bhuta yadnya yang
seharusnya dipuput dengan tirta Sulinggih, maka Pinandita boleh
menyesaikian dengan nganteb serta menggunakan tirta Sulinggih
selengkapnya.
 Pinandita berwenang untuk menyelesaikan upacara rutin di dalam pura
dengan nganteb serta memohon tirta kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
dan Bhatara-Bhatari yang melinggih atau yang distanakan di Pura tersebut
termasuk upacara yadnya membayarkaul dan lain-lainnya.
 Dalam menyelesaikan upacara Bhuta yadnya Pinandita diberi wewenang
muput upacara Bhuta Yadnya tersebut maksimal sampai dengan tingkat
menggunakan tirta Sulinggih.
 Dalam hubunganya muput upacara Manusia Yadnya Pinandita diberi
wewenang dari upacara bayi lahir sampai dengan otonan biasa dengan
menggunakan tirta Sulinggih.

196
 Dalam hubungan dengan muput upacara Pitra yadnya Pinandita diberi
wewenang sampai pada mendem sawa sesuai dengan Catur Dresta.
Dalam hubungan pembinaan kehidupan beragama, Pinandita juga bertugas
untuk menuntun umat dalam menciptakan ketertiban dan kehidmatan
pelaksanaan upacara di Pura tempatnya bertugas, serta mengatur
persembahyangan, maupun mengatur sajen yang akan dipersembahkan. Di
luar kegiatan upacara di Pura, Pinandita bertugas untuk menjaga danb
memelihara kelestarian dan kesucian pura.

D. Syarat-syarat Calon Pandita


Secara umum syarat-syarat calon Pandita telah ditetapkan oleh Parisada
Hindu Dharma dalam Keputusan Maha Sabha II tahun 1968 bahwa umat
Hindu dari segala warga yang memenuhi syarat dapat didiksa menjadi
Pandita. Adapun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut;
1. Laki-laki yang sudah kawin
2. Laki-laki yang Nyukla Brahmacari
3. Wanita yang sudah kawin
4. Wanita yang tidak kawin (kanya)
5. Pasangan suami istri
6. Umur sudah dewasa
7. paham dalam bahasa Kawi, sansekerta dan Indonesia. Memiliki
pengetahuan umum, mendalami intisari ajaran-ajaran agama.
8. Sehat lahir dan bathin, ingatan tidak terganggu, tidak cacat.
9. Mendapat tanda kesediaan dari pendeta calon nabenya yang akan
menyucikan.
Setelah memenuhi syarat-syarat tersebut, seorang calon Pandita masih
harus memenuhi prosedur administrasi yang telah ditentukan yaitu :
a. Calon diksa mengajukan permohonan untuk ini kepada Parisada
Hindu dharma Indonesia setempat yang mewilayahinya selambat-
lambatnya tiga bulan sebelum hari padiksan.
b. Permohonan disertai dan dilampiri surat seperti:
 Keterangan berbadan sehat
 Surat keterangan kecakapan

197
 Keterangan tidak tersangkut perkara
 Keterangan berkelakuan baik
 Riwayat hidup
c. Permohonan ditembuskan kepada pemerintah setempat untuk
dimaklumi.
d. Parisada setempat seterimanya surat permohonan itu secepatnya
melakukan penyelidikan dan testing bersama calon nabe, guna
mendapat kepastioan tentang terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat di
depan.
e. Penyelidikan dan testing bila perlu diulang 3 atau 6 bulan kemudian
apabila ternyata permohonan belum memenuhi syarat. Hasil
penyelidikan pengetesan itu disampaikan kepada parisada atasnya
(pusat) dengan tembusan kepada parisada setempat.
f. Parisada yang akan membirikan pernyataan sikapnya selambat-
lambatnya 2 minggu sebelum hari padiksan dengan tembusan ke
Parisada Pusat dan Pemerintah setempat.
g. Pemohon yang permohonannya ditolak dapat mengajukan permohonan
lagi setelah berselang 3 bulan kemudiannya sampai sebanyak 3 kali.
h. Seorang pendeta yang baru didiksa, boleh mulai melakukan lokapala
sraya setelah mendapat ijin untuk itu dari nabenya yang disaksikan
oleh parisada yang memberi ijin diksa.
i. Parisada ini wajib menyiarkan tentang hak lokapala sraya itu.
Sedangkan syarat-syarat calon Pandita/pemangku secara formal
terutama yang menyangkut prosedur administrasi Parisada Hindu Dharma
menetapkan syarat-syarat bagi calon Pinandita hampir sama dengan calon
Pandita. Kecuali yang menyangkut hubungan dengan nabe. Oleh karena
seorang Pinandita dalam proses penyuciannya tidak memerlukan seorang
Nabe seperti pada padiksan seorang Pandita. Dalam aspek mental spiritual,
seorang calon Pinandita juga sangat diperhatikan. Tindakan dan perilaku
Pinandita yang tidak terpuji, tidak saja mencemari dirinya sendiri tetapi
juga dipandang akan menodai lingkungannya. Bilamana seorang Pinandita
yang telah diresmikan melalui upacara pawintenan, berbuat yang

198
menyalahi aturan ia wajib mengilang lagi melaksanakan upacara
penyucian diri.
Adapun beberapa cara yang telah umum dilakukan dalam pemilihan
Pinandita antara lain:
 Melalui Nyanyan, cara ini ditempuh dengan bantuan seorang mediator
yang mapu menghubungkan diri dengan dunia gaib, kemudian menerima
petunjuk secara langsng, siapa yang akan dipilih untuk menjadi Pinandita
tersebut.
 Melalui Keturunan, cara ini melalui prosedur yang berbelit-belit, oleh
karena cara ini telah diterima secara tradisi, bilamana seorang Pinandita
yang sudah tua tidak dapat lagi melaksanakan tugasnya, secara otomatis
akan digantikan oleh keturunanya.
 Melalui pemilihan, cara ini dilakukan bilamana cara-cara lain ternyata
tidak berhasil dilaksanakan. Ada juga yang memang melaksanakan secara
tradisi sehingga akan berlanjut untuk waktu yang berikutnya.

199
BAB XV
SAD DHARSANA

Tujuan Instruksional
Menjelaskan pandangan Hindu yang Ortodok (Astika)
Menjelaskan perbedaan pandangan antara berbagai filsafat
Memahami makna masing-masing Dharsana

Pandangan Hindu yang Ortodok disebut juga Astika secara garis besarnya
dapat dibagi menjadi enam antara lain :

A. Nyaya Dharsana (Filsafat Nyaya)


Filsafat Nyaya ditulis oleh seorang resi yaitu Reso Gotama. Filsafat
nyaya ini adalah filsafat yang realistik yang mendasar dirinya pada ilmu
logika. Filsafat ini dalam memecahkan ilmu pengetahuan empat jalan antara
lain :
1. Pratyaksa adalah pengetahuan yang diperoleh dari suatu objek dengan
melalui panca indria secara langsung. Didalam memperoleh pengetahuan
secara pratyaksa ini dapat dibagi atas dua bagian yang disebut Bahya
adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan indra luar seperti
melihat dengan mata langsung dan sentuhan langsung melalui kulit
sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui pikiran disebut dengan
manas.
2. Anumanas adalah pengetahuan yang diperoleh dari suatu objek dengan
tidak melalui penglihatan dari tanda-tanda yang diperoleh yang merupakan
kesimpulan dari suatu objek yang ditentukan.
3. Upamanas adalah ilmu pengetahuan yang dipeoleh dengan melalui
perbandingan dari nama suatu benda nama ini akan dapat memberikan
pengertian kepada masing-masing jenis famili objek yang dicari.
4. Sabda adalah pengetahuan yang dengan menurunkan atau mendengarkan
dari penjelasan-penjelasan orang yang patut dipercaya.
Obyek ilmu pengetahuan yang diuraikan dalam ilmu filsafat Nyaya adalah
mengenai : Atman, tentang tubuh, Panca Indria, Budhi manas, Pravrtti,

200
dosa, Prethyabhava (lahir kembali), Phala, Dunkha dan Apavarga (bebas
dari pengetahuan).
Sama halnya dengan filsafat-filsafat India lainnya filsafat Nyaya
juga mencari pandangan-pandangan dari ilmuwan yang diyakini tentang
diri kita sendiri. Dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa atman merupakan
sinar dari tubuh dan pikiran. Tubuh kita mrrp adonan dari benda-benda
yang terbuat dari bahan-bahan tertentu sedangkan manas merupakan
bagian yang sangat jalus yang tidak dibagi yang merupakan bagian yang
kekal, abadi yang sering disebut dengan Anu, demikian pula mengenai
jiwa merupakan sifat dari perasaan sedih dan lain-lainnya. Atman
merupakan bagian yang unik antara pikiran dan tubuh dan atman
memperoleh kontak kesadaran ketika atman tersebut berhubungan dengan
suatu obyek melalui indra. Tetapi kesadaran belum dapat dikatakan inti
yang penting dari atman akan tetapi hal tersebut merupakan pengalaman
atau kejadian yang nantinya dapat membawa atman ke alam kebebasan
yang disebut dengan istilah Mukti. Pikiran merupakan sesuatu yang tiada
terbatas dan sangat kecil seperti : atom demikian pula mengenai atman
meliputi segala-galanya tak dapat dihancurkan dan kekal abadi. Atman
adalah merupakan dari senang atau tidak senang pada suatu obyek,
gembira, sedih dan berbuat sesuatu kebodohan dari suatu yang benar dan
gerakan dari nafsu yang salah, keseganan, kebingungan semua itu
merupakan dorongan atman sehingga akhirnya dapat diketahui bahwa hal
tersebut adalah baik atau buruk yang dapat membawa manusia ke dunia
dosa, penderitaan, kelahiran dan kematian. Kebebasan yang disebut
Apawarga adalah suatu kebebasan yang tidak terikat akan kesedihan
penderitaan sehingga dapat membawa manusia kepada kebenaran
pengetahuan yang disebut dengan Tattwa Jnana, sehingga banyak orang
menyebutkan hal tersebut sebagai bahagia walaupun pada kenyataannya
itu adalah salah dimana tidak ada kesenangan tanpa penderitaan tidak ada
sinar tanpa bayangan demikian pula kebebasan dari penderitaan dan bukan
kesenangan atau kebahagiaan.
Mengenai adanya Tuhan pada filsafat Nyaya dapat dikemukakan
dengan bermacam-macam argumentasi. Tuhan adalah sebagai pencipta,

201
pemelihara dan sebagai pelebur alam semesta. Ia tidak menciptakan dunia
ini tidak dengan benda-benda luar diriNya sendiri, akan tetapi ia
menciptakan dengan kekekalan dari atom, ruang, waktu, ether, pikiran dan
jiwa.
Setelah dunia ini tercipta maka diperintahkan jiwa perorangan dengan
demikian dapatlah dirasakan bahagia, senang atau menderita, sedih untuk
melakukan sesuatu jasa atau tidak selama hidup atau selama berada di
dunia. Suatu teori yang sangat terkenal tentang adanya Tuhan adalah
dengan melihat semua benda-benda di dunia ini adalah hasil ciptaanNya
seperti gunung dan laut. Matahari dan bulan yang semuanya itu mereka
kerjakan dari bagiannya itulah sebabnya dijuluki Karta (pembuat atau
perancang). Atman dari setiap orang tidak dibuat atau diciptakan oleh alam
semesta sebab dunia ini sangat terbatas dalam kekuatan dan pengetahuan
lagi pula tidak dibuat atau diciptakan oleh bersifat umum.
Pengetahuan lagi pula tidak banyak terdapat bagian-bagian yang
halus seperti atom pada semua bagian adonan tubuh. Oleh karena itu
pencipta dunia sewajarnya mempunyai kejiwaan kekuatan yang tidak
terbatas dan kebijaksanaan yang luar biasa beserta pemelihara moral dan
dunia. Tuhan menciptakan alam semesta adalah untuk kebahagiaan dari
seluruh kehidupan oleh karena itu dunia ini adalah untuk kebahagiaan dan
bukan untuk saling jegal. Apabila setiap individu telah memiliki sedikit
kebebasan mereka akhirnya akan melakukan perbuatan baik atau buruk
yang dapat membawa kebahagiaan dan kepahitan pada dri mereka sendiri.
Akan tetapi dengan adanya tuntunan dari Dewa-dewa yang merupakan
sinar suci Tuhan maka semua ciptaan akan segera menuju dharma yang
akhirnya dapat membebaskan diri dari penderitaan yang disebut Mukti.

B. Vaisasika Dharsana
Peletak dasar dari filsafat Vaisasika adalah Maha Resi Kanada yang
sering juga Beliau dijuluki Rsi Uluka. Dalam pandangan umum filsafat
Vaisasika ini hampir kebebasan dari jiwa setiap individu.
Pandangan filsafat ini terhadap ilmu pengetahuan tentang dunia dibagi
atas tujuh bagian :

202
1. Dravya : Zat yang berada pada dunia
2. Guna : Mutu dari dunia
3. Karma : Perbuatan
4. Samaya : Isi umum
5. Vesesa : Keistimewaan, inti
6. Samavaya : Berpaut dengan
7. Abhada : Tidak berwujud
Dravya adalah kekuatan dan kegiatan zat-zat yang terdapat pada
lapisan dunia paling bawah. Zat jumlahnya ada sembilan antara lain : tanah,
air, api, udara, ether, waktu, ruang, jiwa dan pikiran.
Tanah, air, api, udara dan ether diberi nama bhutas dan dapat
menimbulkan bau, rasa, warna, sentuhan, dan suara. Bagian ini merupakan
campuran dari empat elemen dari atom, pertiwi, air api dan udara merupakan
bahan yan tidak tampak. Atom merupakan sesuatu yang tidak berwujud dan
merupakan sesuatu yang abstrak yang nantinya merupakan dari benda material
yang didalamnya terdapat bagian-bagian yang kecil yang tidak dapat dibagi
lagi.
Akasa, ruang dan waktu adalah suatu zat yang tidak berbentuk yang
kesemuanya dapat memenuhi semua ruangan. Pikiran sering disebut dengan
manas juga merupakan suatu zat yang sangat kekal namun tidak meliputi
keseluruhan akan tetapi hal ini sangat halus bagaikan atom. Pada manas inilah
merupakan sentral dari semua fungsi kegiatan indra baik yang langsung
maupun tidak langsung seperti pengamatan, perasaan dan kemauan. Pikiran
adanya seperti atom yang sangat sulit diketahui kecuali melalui sesuatu
pengalaman yang sewaktu-waktu. Jiwa juga bersifat kekal abadi dan meliputi
kesemuanya dari zat-zat sampai pada zat yang terbawah yang merupakan
kesadaran yang luar biasa. Jiwa perseoranganpun dapat memahami secara
mendalam oleh pikiran seseorang seperti yang disebutkan oleh seseorang.
SAYA BAHAGIA. Tuhan merupakan pencipta alam semesta. Tuhan
menciptakan alam semesta diluar atom yang kekal. Partikel-partikel dari atom
yng terurai maupun tersusun kemudian diatur menurut kemauannya sendiri
dan sumber penggeraknya adalah Tuhan yang langsung mengerjakan sebagai
ukuran karma. Atom-atom tersebut berbentuk dunia dengan mengatur pula

203
bagian-bagiannya yang cocok bagaikan jiwa pada manusia yang telah
ditakdirkan olehNya.
Sifat kekuatan yang terdapat pada dasar suatu zat bukan seperti atma
yang dapat menimbulkan keaktifan atau gerak akan tetapi zat-zat yang dapat
diberikan kekuatan oleh sang atma tidaklah sama dengan kekuatan dari suatu
benda. Karena itulah pada benda tidak terdapat suatu langkah gerakan. Tenaga
untuk melakukan gerakan seperti sifat yang hanya dimiliki oleh zat dasar
jumlahnya ada lima seperti :
1. Utsepana : Gerak menuju keatas
2. Aveksepana : Gerak menuju kebawah
3. Akuncana : Gerak yang berlawanan
4. Prasarana : Gerak yang menyerang
5. Gamana : Gerak yang pergi
Visesa adala keistimewaan yang dimiliki oleh masing-masing benda
yang berbeda. Biasanya perbedaan suatu benda dengan benda lain disebabkan
kevisesaan (keistimewaan) yang dimiliki oleh sifat masing-masing benda
tersebut. Dengan demikian pemberian nama terhadap vaisasika berasal dari
visesa yang merupakan sistim kategori dan keistimewaan sifat pada benda.
Samavaya adalah sifat yang kekal yang terdapat pada masing-masing
bagian dari benda sifat umum maupun sifat istimewa mengenai mutu gerak
kerja dari suatu benda.
Penghormatan terhadap Tuhan dan kebebasan jiwa setiap orang
mempunyai suatu persamaan dengan filsafat nyaya.

C. Sankhya Dharsana
Samkhya adalah filsafat yang serba dua, diturunkan oleh Maha Rsi
Kapila. Keistimewaan darri filsafat ini adalah pemecahan serba dua yang
disebut dengan nama Purusa dengan Prakerti, serta adanya sangat netral.
Purusa adalah suatu prinsip kesadaran yang sangat tinggi yang tidak berbentuk
tetapi merupakan suatu yang sangat penting dimana purusa ini merupakan
sinar ketenangan dari tubuh termasuk panca indria dan pikiran. Purusa ini
berada diantara dunia dan obyek dari itu merupakan kesadaran yang kekalpun
pula ia merupakan saksi dari segala perbuatan di dunia, namun ia

204
menunjukkan ke jalan yang benar. Bentuk dari suatu benda seperti kursi dipan
dan lain-lainnya adanya benda ini bertujuan untuk menyenangkan diri sendir
dna makhluk lainnya. Walaupun purusa ini merupakan sinar cahaya dari
prakerti sehingga timbul hubungan antara beberapa jenis purusa pada beberapa
benda yang nanti dapat menimbulkan orang senang dan sedih, mati dan lahir.
Prakerti adalah penyebab dari terbentuknya dunia. Sifat prakerti adalah
ketidaksadaran yang selalu berubah-ubah dan tidak pernah merasa puas. Tiga
sifat yang selalu berada pada prakerti yang tidak pernah diam yaitu sattwa,
rajas dan tamas. Dengan adanya guna itu dapat membuat sifat yang senang,
sedih yang kita jumpai pada semua benda di dunia.
Hal yang sangat menarik seperti suka tidak suka kepada apa yang
menyenangkan atau tidak senang yang dirasakan oleh setiap orang didalam
kondisi yang berada seperti menikmati selada, pada beberapa orang rasanya
nikmat dan yang lainnya tidak. Kondisi-kondisi yang demikian akan terwujud
seperti minyak wangi merupakan perubahan dari bibit minyak yang ada.
Demikian pula benda-benda di dunia mempunyai sifat menghasilkan senang,
sedih atau sesuatu yang tidak menarik. Pradana dan Prakerti penyebab
timbulnya tiga elemen yaitu satwam, rajas dan tamas yang berada pada
wilayah senang, sedih dan bosan yang nantinya dapat membawa pengaruh
yang aktif dan pasif. Perubahan-perubahan yang ada dalam akibat dari
pertemuan purusa dan pradana yang nantinya akan menimbulkan perubahan
pada ketenangan yang sejati dari seseorang yang kemudian dapat
menimbulkan gerakan untuk berbuat. Proses timbulnya perubahan itu adalah
sebagai berikut : adalah dari Prakerti yang menimbulkan gerakan-gerakan
yang dimaksud dengan nama “Mahat” sifat kesadaran pada diri seseorang
secara reflek akan bangkit dan timbul sadar pada dirinya, yang kemudian
bangkitlah secara alami yaitu alam pikir seseorang yang diberi nama budhi,
budhi kemudian berkembang menjadi pemikir yang sangat kreatif. Ahankara
muncul kemudian yang merupakan hasil kedua dari budhi.

D. Yoga Dharsana
Maha Rsi Patanjali adalah peletak ajaran filsafat Yoga. Filsafat Yoga
ini sebagian besar mengambil atau menitikberatkan ajaran Epistimologi dan

205
Metha phisis dari filsafat Yoga hanya ditambahkan adanya Tuhan. Yang
sangat menarik dalam filsafat ini adalah praktek dari latihan yoga untuk
mencapai VIVEKA JNANA atau pengetahuan untuk membeda-bedakan yang
merupakan penunjang pada filsafat Sankhya mengenai kebebasan. Tentu saja
dalam filsafat ini dipraktekkan cara pengertian mengenal fungsi-fungsi yang
berhubungan dengan jiwa yang disebut CITTA VRTTINIRODA.
Dalam filsafat yoga ini terdapat lima tingkatan dari fungsi jiwa antara
lain :
1. Ksipa : Pikiran untuk pengumbaran nafsu cemburu rayu dengan
suatu obyek.
2. Mudha : Kondisi bodoh seperti orang tidur.
3. Vrksipta : Adalah kondisi yang tenang tidak menentu.
4. Ukraga : Pemusatan pikiran pada suatu obyek dan renungan.
5. Niruddha : Pemberhentian dari fungsi gerak pada renungan.
Ada delapan langkah untuk harus dilaksanakan dalam mempraktekkan
ajaran yoga antara lain :
1. Yama : Latihan menahan penderitaan hidup dari kepalsuan dunia
seperti pencurian, melampiaskan hawa nafsu dan
ketamakan.
2. Nyama : Adalah kesusilaan dengan melaksanakan perbuatan baik
seperti penyucian, ketenangan penebusan dosa, mempelajari
weda dan melakukan renungan Tuhan.
3. Asana : Adalah mengambil sikap badan yang menyenangkan.
4. Panayama : Mengatur keluar masuknya pernafasan.
5. Pratyara : Pengontrolan terhadap indra dan membawa indra ke
gambaran dari suatu obyek.
6. Dharma : Membawa pikiran pada suatu obyek yang ada di dalam
maupun di luar seperti pandangan mata ke ujung hidung.
7. Dhyana : Adalah meditasi untuk merenung kepada obyek dimana
pikiran tidak terpecah lagi.
8. Semadi : Disini telah berada pada lenyapnya kesadaran dalam
renungan pada suatu obyek dan tidak sadar akan dirinya.

206
Yoga adalah suatu sistim filsafat yang membicarakan Ketuhanan
Sankhya yang berbeda dengan teori Sankhyanya Rsi Kapila yang secara
umum tidak membicarakan mengenai Tuhan. Filsafat ini percaya sepenuhnya
kepada Tuhan yang menjadi obyek renungan yang utama bagi yang
melakukan semadi dan melaksanakan diri sendiri.

E. Mimamsa Dharsana
Filsafat Mimamsa terkenal dengan sebutan Purwa Mimamsa yang
ditulis oleh Maha Rsi Jaimini. Obyek yang utama dalam filsafat ini adalah
keyakinan akan kebenaran dari upacara-upacara dalam Weda. Dalam filsafat
ini akan dijumpai suatu pandangan dunia yang ditinjau dari segi upacara.
Penulis dari ajaran ini mempergunakan dasar dari upacara-upacara dalam
Weda dimana dalam rumusan mengenai pandangan filsafat-filsafat mimamsa
terhadap Weda, bahwa Weda tersebut bukan dibuat oleh manusia. Weda
adalah kekal abadi dan penulis Weda adalah para Maha Rsi yang diturunkan
hanya pada saat tertentu saja. Mengenai kemurnian Weda maka filsafat
Mimamsa beranggapan bahwa pengetahuan yang terdapat pada Weda
merupakan pengerjaan dari Maha Rsi dengan sangat teliti sehingga pemecahan
terhadap suatu obyek adalah benar karena setiap pengetahuan merupakan
wahyu Tuhan.
Konsep dari ajaran Mimamsa tentang kebebasan hanya bersifat negatif
yaitu tidak lahir kembali dan bebas dari semua penderitaan. Jiwa adalah
sesuatu zat yang kekal abadi, apabila jiwa tersebut meninggalkan kematian
dan telah mengikuti ajaran-ajaran atau suruhan-suruhan Weda mengenai
upacara maka jiwa tersebut akan menuju sorga walaupun tidak tahu sama
sekali. Filsafat Jaina dimana jiwa itu adanya kekal abadi dan filsafat ini
menolak pandangan metrealsitis pada diri manusia. Tetapi filsafat ini tidak
membicarakan tentang kesadaran yang merupakan hal yang hakiki dari jiwa.
Sebab kesadaran itu akan tumbuh hanya dengan adanya kesatuan antara atman
tubuh dan obyek ilmu pengetahuan yang terdiri dari lima indra dan manas.
Kebebasan untuk melakukan perbuatan inilah yang terpenting dari filsafat
mimamsa. Jiwa yang terdapat dalam tubuh berbeda dengan ilmu pengetahuan.

207
Salah satu aliran dari filsafat Mimamsa yang dipimpin oleh Maha Rsi
Prabharkara beliau mengatakan adanya lima sumber pramana antara lain :
1. Pratiaksa : Penglihatan langsung
2. Anumana : Menarik kesimpulan
3. Upamana : Mengadakan perbandingan
4. Sabda : Pembuktian
5. Atrthapati : Perempuan
Aliran lain dari filsafat Mimamsa yang diajarkan oleh Maha Rsi
Kumarila Bhatta beliau menjelaskan mengenai pengamatan yang merupakan
tambahan dari lima teori di atas yang disebut anupalabi yang berarti tanpa
pengamatan. Antara lain dijelaskan. : seseorang yang masuk ke dalam salah
satu kamar dan melihat berkeliling dalam kama tersebut bahwa di kamar itu
tidak kipas, kita mengatakan tidak ada kipas karena kita tidak melihat kipas.
Penglihatan itu timbul terhadap suatu obyek apabila indra tersebut dirangsang
oleh suatu obyek dan tidak adanya obyek yang diketahui karena indra tidak
dirangsang olehnya, demikianlah ilmu pengethuan yang dapat melalui
Anupalabdhi yaitu kita memberi pertimbangan tentang kipas tidak ada karena
kita tidak melihat kipas melalui pengamatan.
Filsafat Mimamsa percaya akan kenyataan dari dunia phisyk melalui
kekuatan dan penglihatan walaupun filsafat ini adalah realistis namun filsafat
ini percaya juga mengenai keberadaan dari jiwa akan tetapi filsafat ini tidak
percaya bahwa Brahman atau Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Bahan
penciptaan dunia dibentuk dari bahan-bahan luar yang sesuai dengan karma
dari jiwa-jiwa oleh sebab itu hukum karma merupakan penguasa dunia.
Filsafat Mimamsa lebih jauh menjelaskan bila setiap orang melaksanakan
sedikit saja mengenai upacara maka jiwa tersebut diangkat oleh sesuatu
kekuatan yang diberi nama Apurwa yang kemudian hari dapat menghasilkan
buah yang dikerjakan dengan baik. Perhitungan dari Apurwa secara
menyeluruh terhadap jiwa hendaknya dilakukan dengan bentuk upacara yang
nantinya dapat memberikan hasil yang sangat memuaskan.

F. Vedanta Dharsana

208
Teori dari filsafat vedanta ini diambil dari Upanisad yang merupakan
titik terakhir ilmu Weda, itulah sebabnya filsafat ini diberi nama wedanta yang
berarti akhir dari Weda, sebagai telah kita perhatikan bahwa vedanta ini
berkembang melalui dasar-dasar kebenaran dari ajaran Upanisad. Bahan-
bahan yang menjadi pokok uraian dalam filsafat ini adalah ajaran Brahma
Sutra dari Badra Yama.
Kitab Brahmana Sutra Upanisad ini diberikan tafsir tulisan oleh dua
orang Maha Rsi yang bernama Resi Sankara dan Resi Ramanuja. Purusa
adalah meliputi semua alam semesta dan tidak ada celah yang tidak diisi
olehnya. Demikian terurai didalam Mantra Reg Weda, semua benda-benda
yang ada di alam semesta ini merupakan bagian dari purusa. Di dalam
Upanisad semua yang ada berasal dari satu yaitu SAT, atau merupakan suatu
rncana dari satu purusa atau satu Brahman sehingga semua ini adalah
kesamaan. Dunia berasal dari Purusa berada padaNya dan kembali padaNya
diberi nama Pralaya. Kenyataan yang bermacam-macam yang terdapat di alam
semesta tidak dapat dibantah bahwa kesemua itu merupakan kesatuan dari
purusa sehingga timbul sebutan “SARVAM KHALU IDAM BRAHMA”
artinya semua adalah Brahman demikian pula mengenai jiwa adalah Brahman
juga dan tidak ada banyak dialami ini. Purusa dan Pradana adalah Satya. Ia
tidak terbatas dari jnana dan ananda. Resi Sankara memberikan tafsir terhadap
Upanisad dan Brahma Sutra bahwa Purusa itu amat suci dan tidak ternoda
walaupun bercampur di tempat tersebut. Purusa hanyalah satya, bukan salah
satu indra saja beliau berada namun di semua indra beliau juga menempati
segala sesuatu yang terlarang dari keseluruhan merupakan kesatuan dari jiwa
atau Brahman. Brahman menghidupkan alam semesta sehingga Brahman
mengetahuinya semua diketahui olehnya sehingga pandangan sama dengan
yang terdapat dalam Upanisad. Beraneka ragam benda disebabkan oleh
Brahman termasuk juga Siwa hal yang sama dengan terurai dalam Weda.
Akan tetapi di dalam Weda penciptaan itu dilakukan oleh Maya. Brahman
menyebutkan bahwa penciptaan dunia dilakukan melalui kekuatan maya.
Samkara tetapi beliau berpegang bahwa di alam ini hanya ada satu Brahman.
Dunia ini tidak diciptakan dalam bentuk yang nyata akan tetapi Tuhan

209
menciptakan dunia dan tidak menampakkan diri. Brahman melakukan dengan
kekuatan yang rahasia yang disebut maya.
Mengenai pengertian terhadap maya beliau menjelaskan hal tersebut
dengan suatu pengalaman yang biasa saja kemudian beliau meenginterprotasi
kekuatan itu dengan gambaran biasa dalam hidup ini dengan mempergunakan
tali sebagai contoh dimana dibuat tali sebagai ular atau kerang yang berkilauan
berubah menjadi perak di dalam hal ini merupakan dasar dari bayangan yang
nyata dari suatu benda yang nampak seperti ular dan perak imajinasi yang
semacam ini dihasilkan oleh pencipta yang pandai untuk orang yang bodoh,
kebodohan ini tidak hanya diterima oleh golongan lapisan bawah tetapi juga
orang lain dapat melihat hal semacam. Sehingga apersepsi tentang dunia dapat
disamakan dengan contoh diatas kita melihat beraneka ragam obyek. Dalam
pandangan Sankara mengenai fakta adanya dua zat yaitu Tuhan dan Maya
maka pikiran mengenai teori semua ini adalah satu mendapat suatu pukulan
akan tetapi lebih jauh Samkara menjelaskan bahwa Maya merupakan kekuatan
dari Tuhan yang kelihatannya saja berbeda namun ia satu seperti api dengan
kekuatan membakarnya, oleh karena itu bukanlah dua adanya namun tetap
satu, inilah yang disebut Advaita. Untuk maya yang tidak dapat dipercaya
akan adanya hanya dapat dilihat melalui akal muslihat sehingga ilmu maya itu
akan menjadi lenyap dan akhirnya nampaklah bahwa Tuhan mencipta itu tidak
dengan kekuatan maya. Sama halnya barang siapa dapat keselubungan Tuhan
dalam dunia, maka Tuhan akan berhenti mempunyai kekuatan Maya atau
kekuatan lain untuk mencipta. Pandangan Sankara terhadap hal tersebut
terdapat dua macam perbedaan yaitu :
1. Vya Vararika : adalah sesuatu yang tidak memberikan keterangan kepada
orang bahwa dunia ini adalah betul-betul ada, sebab itu hidup ini harus
memperhatikan kebebasan diatasnya, dari pandangan ini muncullah bahwa
dunia adalah nyata dan Tuhan adalah Maha Kuasa maha tahu sebagai
pencipta pemelihara dan pelebur sehingga Tuhan muncullah sifatnya yang
disebut Saguna dan jumlahnya banyak oleh Samkara. Tuhan dalam hal ini
disebut Saguna Brahma.
2. Paramartika : adalah pandangan yang memberikan pengertian bahwa dunia
ini betul-betul ada dan munculnya dunia tidak oleh dirinya sendiri tetapi

210
oleh Tuhan. Dari pandangan ini muncullah pemikiran bahwa dunia kekal
Tuhan pencipta sesuatu yang kekal.
Kita hendaknya belajar ilmu Vedanta dibawah asuhan Guru dan
berusaha untuk mempergunakan Meditasi. Setelah tiba saatnya yang tepat
guru akan memberikan bisikan terakhir kepadanya bahwa jiwa adalah
Brahman. Tuhan memiliki semua sifat kemaha tahuan dan kemaha kuasaan
sebagai laba-laba yang membuat saranya keluar dari tubuhnya demikian
halnya dengan Tuhan menciptakan alam semesta ini kelar dari dirinya juga
mengenai jiwa yang digambarkan sebagai hal yang terbatas kecilnya dan kekal
adanya mereka tewujud dari kesadaran sifat alam dan kecemerlangan sifat
jiwa. Setiap jiwa ia berada dibawah dari tubuh dan didalamnya menyesuaikan
diri dengan hukum karma. Semua ciptaan baik dunia maupun yang lainnya
berasal dari Tuhan yang satu akan tetapi monismenya Ramanuja adalah
Visistadvaita yaitu satu Tuhan namun adanya beraneka ragam. Tuhan memilki
kesadaran jiwa dan ketidaksadaran benda yang kesemuanya itu adalah satu.

211
BAB XVI
NITISASTRA

Tujuan Instruksional
Mengerti tentang istilah kepemimpinan
Memahami peranan seorang pemimpin
Mengimplementasikan pemimpin di masyarakat
Memahami syarat-syarat seorang pemimpin
Mengerti tentang tugas Asta Brata, Catur Pariksa dan Pancadasa Paramiteng
Prabu

A.Pengertian Kepemimpinan
Agama Hindu tidak saja merupakan agama tertua di dunia, tetapi juga
merupakan agama yang mengandung segala aspek kehidupan manusia, karena
Agama Hindu yang nama asalnya Sanatha Dharma diturunkan oleh Ida Sang
Hyang Widhi Wasa untuk meningkatkan peradaban dan kebudayaan manusia.
Disamping itu pula Agama Hindu merupakan hukum atau aturan yang
membimbing umat manusia untuk mencapai Moksartham Jagad Ita termasuk
didalamnya asas kepemimpinan.
Kepemimpinan adalah suatu sistim mengkoordinasikan, kemampuan
untuk mengadakan perencanaan, kemampuan menggerakkan serta dapat
mengadakan pengawasan. Kepemimpinan merupakan tindakan-tindakan
pemimpin menurut tugas dan fungsi pokoknya. Kepemimpinan juga adalah seni
untuk mempengaruhi tingkah laku orang dan kemampuan untuk membimbing
orang-orang. Berdasrkan pengertian diatas dapatlah disimpulkan bahwa seorang
pemimpin harus memiliki kemampuan, pengetahuan dan kelebihan tertentu dari
bawahannya. Sehingga dengan kelebihan itu bawahannya menjadi patut taat
dan percaya dalam rangka melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan bersama.
Dalam ajaran agama Hindu kepemimpinan dengan istilah Nitisastra.
Nitisastra berasal dari kata Niti dan Sastra. Kata Niti berarti kebijaksanaan
duniawi, etika sosial politik, tuntunan dan juga berarti ilmu pengetahuan
tentang negara atau ilmu bangunan politik berdasarkan ajaran agama Hindu.

212
Berdasarkan pengertian etimologi di atas, maka pengertian Nitisastra dapat
diperluas lagi yaitu ilmu yang bertujuan untuk membangun suatu negara baik
dari segi tata negaranya, tata pemerintahan dan tata kemasyarakatannya. Dalam
membangun negara, pemerintah dan masyarakat Nitisastra meletakkan nilai-
nilai moral agama Hindu sebagai landasannya. Dalam pengertian ini Nitisastra
bukan ilmu pemerintahan suatu negara Hindu tertentu, karena itu Nitisastra
yang berlaku secara umum dan teoritis namun juga mengandung nilai-nilai
praktis.
Di samping hal tersebut di atas, Nitisastra juga mengandung ajaran
kepemimpinan juga bersifat umum dan praktis berlandaskan ajaran agama
Hindu. Perlu dijelaskan bahwa Nitisastra ini bukanlah ilmu pengetahuan hanya
untuk kalangan negarawan atau politisi saja tetapi juga untuk setiap orang
dalam rangka memantapkan pengalaman kehidupan bernegara yang
berdasarkan Pancasila. Nitisastra mengajarkan keadaan warga negara pada
hukum dan kebijaksanaan negara, menanamkan jiwa patriotisme dan kesadaran
untuk membela bangsa dan negara.
Mengingat lingkup Nitisastra demikian luasnya, maka pada uraian
selanjutnya akan dibatasi pada ajaran kepemimpinan Hindu di anatra Catur
Pariksa, Astabrata, Pancadasa, Paramiteng Prabhu, Sadvarnaning Nrpati, Panca
Upaya Sandhi dan Navanatya.

B.Syarat-syarat Seorang Pemimpin


Seorang pemimpin harus memiliki syarat-syarat intlek, karater, rasa
tanggung jawab, kesiapsiagaan yang dapat diuaikan sebagai berikut :
1. Intelegensi adalah kemampuan dalam mengobservasikan pengetahuan dan
kemampuan dan menghadapi situasi baru kemampuan melihat kenyataan
dalam situasi bau.
2. Karakter adalah sifat-sifat kepribadian yang berhubungan dengan nilai-
nilai karakter meliputi segala pada seseorang yang dilihat dari pandangan
benar tidaknya, baik buruknya. Gejala ini dilihat dari kesungguhan
kejujuran dan kepercayaan.

213
3. Kesiapsiagaan adalah selalu awas dan waspada terhadap suatu
kemungkinan yang terjadi dengan memelihara fisik dan memelihara
kesadaran jiwa.
4. Satya adalah kesetiaan. Kesetiaan adalah merupakan kode etik dari semua
dari semua umat Hindu. Hal ini ditegaskan dengan kata-kata seperti :
Satya Mukhaning Dharma artinya setia puncaknya agama.
Satya atau kesetiaan itu ada lima yang disebut dengan Panca Satya
antara lain :
1. Satya Hradaya adalah jujur terhadap diri sendiri.
2. Satya Wacana adalah setia terhadap ucapan / perkataan.
3. Satya Semaya adalah setia kepada janji, harus konsekwen yakni selalu
menepati atau memenuhi segala janji yang pernah diucapkan.
4. Satya Mitra adalah setia terhadap sahabat, walaupun sudah mendapatkan
kedudukan yang baik.
5. Satya Laksana adalah jujur dalam perbuatan (tidak pernah berbuat curang).

C.Tugas dan Wewenang Pemimpin


Tugas adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Wewenang adalah
hak untuk bertindak. Dalam rangkaian pencapaian tujuan tertentu seorang
pemimpin harus mendahulukan tugas daripada wewenang. Dan harus disadari
bahwa antara keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Tidak ada
tugas tanpa wewenang dan tidak ada wewenang tanpa tugas. Demikianlah
seorang pemimpin harus melaksanakan tugas-tugsnya sesuai dengan
wewenang dan wewenang seorang pemimpin adalah hak untuk menggerakkan
bawahannya. Setiap pemimpin selalu memiliki pengikut. Kepengikutan itu
diambil karena pemimpin itu memiliki :
a. Abhiganika yaitu dapat menarik simpati orang.
b. Pradnya yaitu selalu bertindak bijaksana.
c. Atma Sampart yaitu bermoral dan berbudi pekerti yang luhur.
d. Sakya Sataka yaitu selalu bertindak teliti dan cermat.

214
D.Sifat-sifat Kepemimpinan
Pada umumnya seorang pemimpin harus mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut :
1. Integritas ialah perpaduan keteguhan watak, sehat dalam prinsip-prinsip
moral mengutamakan kebenaran lurus hati dan perasaan halus mengenia
tata susila keadilan dan kebenaram.
2. Pengetahuan ialah ingin memperdalam pengetahuan dalam segala bidang
dengan cara rajin membaca buku latihan berpikir secara serius.
3. Keberanian ialah memiliki sifat kstaria. Seorang pemimpin harus
mempunyai keberanian fisik dan moral yang dapat dikembangkan dengan
cara selalu merasa tanggung.
4. Inisiatif ialah kemampuan berbuat walaupun tidak ada perintah dan
memberikan saran-saran guna kemajuan dan tercapainya suatu tujuan
dengan baik. Inisiatif itu dapat dikembangkan dengan cara menumbuhkan
keberanian bekerja secara berencana.
5. Kecakapan mengambil keputusan ialah mengambil tindakan bila
diperlukan.
6. Kebijaksanaan, adalah kekuatan berpikir atau menganalisa suatu masalah
kemudian mempertimbangkan, sehingga dapat mengambil suatu keputusan
yang sehat.
7. Keadilan, ialah memberikan keputusan secara adil, tidak memihak salah
satu dan konsekwen dalam keputusan.
8. Dapat dipercaya, adalah kesanggupan menjalankan tugas dan kewajiban
tanpa pengawasan, karena memberi tugas itu telah yakin kepada yang
diberi tugas akan mampu dan sanggup mengerjakan kewajiban dengan
baik dan jujur.
9. Sikap, adalah segala tindakan, perbuatan dan perkataan yang menunjukkan
kepribadian yang luhur.
10. Tahan menderita, ialah memiliki daya tahan jasmaniah dan rohaniah
dengan kesanggupan menahan letih, tahan menghadapi kesukaan dan
penderitaan serta selalu ulet dalam segala usaha.
11. Kegembiraan, yaitu menunjukkan memperhatikan yang tulus ikhlas dalam
melaksanakan segala kewajiban.

215
12. Tidak mementingkan diri sendiri, yaitu menjauhkan diri dari keinginan
mendapat suatu yang menyenangkan diri sendiri atau keuntungan diri
sendiri dengan merugikan orang lain.
13. Loyalitas, ialah kualitas kesetiaan seseorang terhadap negara bangsa dan
terhadap atasan atau bawahan.
14. Mampu untuk mempertimbangkan, ialah kemampuan atau kualitas
seseorang, tentang memperhatikan fakta-fakta atau kenyataan-kenyataan
yang ada kemungkinan pembenahan persoalan dan mewujudkannya dalam
bentuk keputusan yang sehat.

E.Asas-asas Kepemimpinan Hindu


Mencapai masyarakat adil dan makmur tidak terlepas dari perananan
pemimpinnya. Agama Hindu mengajarkan tentang konsep kepemimpinan yang
dikenal dengan Asta Brata berasal dari dua kata yaitu asta yang berarti delapan
sedangkan brata berarti pedoman / pegangan. Jadi asta brata berarti delapan
pegangan atau pedoman yang harus dijalankan oleh seorang pemimpin. Di
dalam Manavadharmasastra yang dikenal juga dengan nama Vedasmrti
disebutkan perilaku seorang pemimpin hendaknya seperti prilaku para deva :
“Indrasya arkasya vayosca yamasya varunasya ca,
candrasya agneh prthivyasca tejo vrtam nrpascaret”
Manavadharmasastra IX.303
(Hendaknya seorang pemimpin berbuat seperti perilaku deva
Indra, Surya, Vayu, Yama, Varupa, Candra, Agni dan Prthivi)
Sikap dan sifat kepemimpinan ini dikenal dan populer dengan nama
Astabrata dan dimasukkan dalam kakawin Ramayana berbahasa Jawa Kuno,
merupakan nasehat Sri Rama kepada Vibhisana :
“Hyan indra yama surya candranila kuvera baruna agni nahan
wwalu, sira ta maka anga san bhupatimatan nira inisti astabrata”
Ramayana XXV.52
(Deva Indra, Yama, Surya, Candra, Anila, Kuvera, Varuna dan
Agni adalah delapan dewata (sifat dan sikapnya) patut ditiru
oleh seorang pemimpin agar meresap dalam jiwa dan raganya).

216
Lebih jauh diuraikan sifat dan sikap yang patut dimiliki dan
dilaksanakan oleh seorang pemimpin sesuai ajaran. Astabrata
Adapun bagian-bagian yang termasuk Asta Brata itu antara lain :
a. Indra Brata
Seorang pemimpin harus bertindak seperti sifat Dewa Indra yaitu dapat
memberikan kesenangan dapat memenuhi kebutuhan anak buahnya
akan sandang dan pangan. Pemimpin mempunyai kewajiban untuk
kebenaran dan keadilan. Pemimpin yang menjalankan Indra Brata akan
berusaha memberikan kecukupan kebutuhan hidup kepada
pengikutnya bagaikan Ida Sang Hyang Indra memberikan hujan dan
air yang menyebabkan hidupnya tumbuh-tumbuhan dan makhluk
lainnya di dunia ini. Sebagai kesimpulan bahwa Indra Brata
mengajarkan seorang pemimpin untuk memikirkan nasib anak
buahnya selalu bekerja untuk mencapai kemakmuran masyarakat
secara menyeluruh tidak boleh mementingkan dirinya sendiri saja.
b. Yama Brata
Dewa Yama dalam mythologi Hindu adalah sifat Tuhan sebagai
penyabut nyawa atau dalam Asta Brata ini menjadi penghukum segala
bentuk kejahatan tanpa pandang bulu. Setiap orang yang melakukan
perbuatan jahat harus dijatuhi hukuman sesuai dengan kesalahannya.
Pemimpin harus bertindak tegas.
c. Surya Brata
Dalam Surya Brata tersimpul ajaran seorang pemimpin harus dapat
memberikan kekuatan kepada anak buahnya baik jasmani dan rohani.
Pimpinan harus dapat memberikan kesadaran akan tanggung jawab
kepada anak buahnya. Seperti matahari yang memancarkan sinar
sucinya ke seluruh pelosok penjuru demikianlah hendaknya seorang
pemimpin tidak jemu-jemunya mengadakan hubungan dengan
bawahannya sehingga pemimpin mengetahui benar keadaan anak
buahnya.

d. Candra Brata

217
Candra adalah rembulan yang memberikan penerangan sejuk dan
nyaman di malam hari. Pemimpin yang mempunyai sifat candra itu
akan menyenangkan anak buahnya.
Casi Brata hunar sukang rat katon, ulah ta merdu komala yan
katon, guyon ta mamanis ya tulya marta, asing matuha pandi
zat swagaten.
Artinya :
Kalau Dewa Bulan adalah memberikan kegembiraan, hendaknya
tingkah lakumu kelihatan lemah lembut. Semua orang tua yang
cerdik pandai hendaknya engkau jamu dengan selayaknya.
e. Bayu Brata
Seorang pemimpin harus dapat mengetahui segala hal ikhwal dan
pikiran anak buahnya. Bayu menunjukkan pendirian yang teguh tidak
dapat mengembalikan semangat kerja jika diketahui anak buahnya
mengalami krisis mental.
f. Dhana / Kuwera Brata adalah Dewa Kekayaan. Ajaran yang dalam
Kuwera Brata ini adalah seorang pemimpin itu harus berpakaian rapi.
Sebelum mengatur orang lain, pemimpin hendaknya dapat mengatur
diri sendiri terlebih dahulu.
g. Paca Brata
Panca adalah Dewa Baruna yang memiliki senjata Nagapasa.
Kesaktian seorang pemimpin adalah ilmu pengetahuan yang luas untuk
membimbing anak buahnya, seorang pemimpin harus bijaksana.
Seorang pemimpin hendaknya dapat mendengarkan dan
memperhatikan pendapat anak buahnya sehingga mendorong
kegairahan kerja karena sesuai dengan hati nurani bawahannya.
h. Agni Brata
Dalam Agni Brata terdapat ajaran yang mengatakan bahwa dalam
menghadapi kesukaran hendaknya diatsi dengan sebaik-baiknya
sampai tuntas. Seorang pemimpin harus mempunyai semangat anak
buahnya yang diarahkan melaksanakan tugas. Secara keseluruhan
dikatakan bahwa Asta Brata memuat faktor-faktor hubungan antar
manusia yang sesuai dengan prinsip demokrasi Pancasila oleh karena

218
itu dapat kita terapkan dewasa ini dalam bidang kepemimpinan karena
bagaimanapun juga kita sebagai ahli waris daripada kebesaran umat
Hindu jaman dahulu sudah selayaknya kita mengetahui tentang teknik-
teknik kepemimpinan yang tidak mengenal diri kita sendiri.
Disamping Astra Brata seorang pemimpin harus juga menerapkan
ajaran Catur Pariksa seperti :
a. Sama
Seorang pemimpin harus bertindak dan berbuat sama terhadap anak
buahnya atau anak didiknya setiap orang mempunyai kesempatan yang
sama untuk maju dan berkembang. Seorang pemimpin tidak boleh
pilih kasih ia harus memandang pengikutnya secara adil dan
menyeluruh sesuai dengan dharma baktinya. Jasa dan nama baik harus
dituntut dengan cepat jangan ditangguhkan. Jasa orang membikin
telaga sama dengan membikin sebuah sumur. Jasa orang yang
membikin seratus buah telaga sama dengan orang yang melaksanakan
tugas dengan baik. Ini semua dengan seorang yang mempunyai putra
yang baik sebagai alat untuk mencapai sorga loka.
b. Beda
Pemimpin harus dapat menilai anak buahnya dengan mencurahkan
perhatian yang tidak berbeda-beda. Bagi mereka yang rajin dan tekun
diberikan penghargaan yang lebih besar dibandingkan dengan mereka
yang malas. Pemimpin harus menunjukkan keadilan walaupun dalam
hal ini harus dibedakan antara yang rajin dengan yang malas. Setiap
bawahannya hendaknya dapat menerima apa yang menjadi haknya.
Sendi keadilan itu bersumber pada ajaran karma phala yang
mengatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan phala sesuai
dengan karmanya. Pemimpin harus dapat membedakan antara
hubungan dinas dan hubungan pribadi. Pemimpin harus membedakan
mana hal yang penting yang perlu segera dikerjakan dan mana yang
dapat ditangguhkan dan pemimpin harus ambeg paramarta (tidak
mementingkan diri sendiri).

219
c. Dhana
Pemimpin hendaknya senantiasa rela mengeluarkan tenaga untuk
menolong orang yang benar-benar memerlukan pertolongan demikian
pula terhadap anak buahnya senantiasa dapat memberikan kesukaran
sesuai dengan kemampuan dan fasilits yang ada.
Bagaikan air yang menggenangi pohon tebu tidak hanya pohon tebu itu
saja tergenangi oleh air, tetapi juga rumput-rumputnya, pohon-pohon
kecil lainnya, serta segala yang dekat kepada tebu itu turut mendapat
genangan. Demikianlah orang yang melaksanakan dharma turut
bawahannya mendapat kebahagiaan sesuai dengan kewajiban. Ajaran
ini mengajarkan bahwa seorang pemimpin tidak hanya memikirkan
nasibnya sendiri, melainkan harus pula memikirkan nasib anak
buahnya. Hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap ketaatan
bawahannya itu sendiri, karena harus diperhatikan oleh seorang
pemimpin.
d. Denda
Seorang pemimpin harus berani bertindak tegas yaitu berani
memberikan sangsi kepada setiap bawahan yang melanggar ketentuan-
ketentuan yang berlaku. Pemimpin harus dapat menegakkan disiplin
kerja kepada para pengikutnya.
Dalam kitab Nagarakrtagama, rakawi Prapanca yang menyusun kita ini
melukiskan sifat-sifat kepemimpinan Gajah Mada yang berhasil memimpin
kerajaan Nusanatra Majapahit. Sifat utama Gajah Mada ini dirangkum dalam 15
sifat yang dikenal dengan nama Pancadasa Paramiteng Prabhu, dan hal ini
dikomentari oleh Prof. Mohammad Yamin, dalam bukunya yang berjudul Gajah
Mada. Sifat-sifat utama kepemimpinan Gajah Mada itu adalah :
 Vicaksana, berlaku bijaksana
 Mantrivira, pemberani menegakkan kebenaran
 Vicaksanengnaya, bijaksana dalam memimpin
 Natanggwan, mendapat kepercayaan rakyat dan negara
 Satyabhakti Aprabhu, selalu setia kepada atasan
 Vagmivak, pandai bicara dan berdiplomasi
 Sarjava Upasava, sabar dan rendah hati

220
 Dhirotsaha, teguh hati dalam segala usaha
 Tulalana, teguh iman, riang dan selalu antusias
 Dibyacitta, lapang dada, menghargai pendapat orang lain
 Tansatrsna, tidak terikat kepentingan pribadi
 Masihtasabhuvana, menyayangi setiap makhluk dan alam lingkungan
 Ginengpratidina, setiap hari senantiasa berbuat baik
 Sumantri, taat dan patuh menjadi abdi negara dan penasehat baik
 Amayakenmusuh, mampu menghancurkan musuh-musuh.
Menurut teori Hindu Kuno yang dimuat dalam kitab “Substance of Hindu
Polity” yang disusun oleh Chandra Prakash Bhambari menyebutkan 6 syarat
seorang pemimpin yang dapat diberi istilah Savarnaning Rajaniti, yaitu :
 Abhigamika, pemimpin harus mampu menarik perhatian positif dari
rakyatnya.
 Prajna, pemimpin harus bijaksana
 Utsaha, pemimpin harus kreatif mengembangkan usaha
 Atmasampad, pemimpin harus bermoral luhur
 Sakhyasamanta, pemimpin harus mampu mengontrol bawahan
 Aksadraparisakta, pemimpin harus mampu memimpin rapat atau sidang
dan dapat menarik kesimpulan secara bijaksana.
Dalam sebuah naskah lontar bernama Sivabhuddhagama Tattva
disebutkan Panca Upaya Sandhi, yang harus dilakukan oleh seorang dalam
menghadapi musuh negara maupun mengatasi berbagai persoalan yang menjadi
tanggung jawabnya, yang terdiri dari :
 Maya, seorang pemimpin harus mampu berupaya mengumpulkan data
yang dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
 Upeksa, pemimpin harus mampu menganalisa, meneliti semua bahan, data
atau informasi untuk menyelesaikan persoalan menurut proporsinya.
 Indrajala, pemimpin harus mampu menyelesaikan dan mengatasi atau
mencari jalan keluar dalam memecahkan berbagai masalah.
 Vikrama, pemimpin harus mampu melaksanakan keputusan yang telah
ditetapkan sebagai jalan untuk mengatasi berbagai masalah.

221
 Lokika, pemimpin mampu mempertimbangkan segala sesuatunya dengan
matang sehingga menemukan alternatif terbaik dalam menyelesaikan
berbagai persoalan.
Di dalam lontar berbahasa Jawa Kuno bernama Navanatya diperoleh
penjelasan bahwa seorang pemimpin di dalam memilih pembantu-pembantu
dekatnya harus bijaksana. Kebijaksanaan itu diumpamakan memilih segunung
bibit bunga yang akan ditanam dalam sebuah taman.
Hendaknya yang dipilih bunga yang harus baunya, indah warnanya, yang
tidak cepat layu serta mempunyai manfaat utama, memberikan kepuasan bagi
yang melihat atau memakainya.
Demikianlah seorang pemimpin dalam memilih pembantu-pembantu
dekatnya seperti memilih bibit bunga itu. Adapun yang patut dipilih atau
ditunjuk adalah sebagai berikut :
 Prajna Vidagda, bijaksana dan mahir dalam berbagai cabang ilmu dan
teguh pendirian.
 Virasarvayuddha, pemberani, pantang menyerah dalam pertempuran.
 Pramartha, mempunyai sifat mulia dan luhur.
 Dhirotsaha, ulet dalam mensukseskan tugas.
 Pragivakva, pandai berbicara dan mempengaruhi massa.
 Samaupaya, setia kepada janji atau sumpah.
 Laghavangartha, tidak pamrih terhadap harta benda.
 Wruh ring sarwa bhrasta, tahu mengatasi permusuhan.
 Viveka, mampu membedakan anatra yang salah dan benar, baik dan buruk.

Demikianlah ajaran yang terdapat dalam Nitisastra, khususnya yang


menyangkut ajaran kepemimpinan Hindu yang menekankan moral sebagai
landasan melaksanakan kepemimpinan.

222
DAFTAR PUSTAKA

1. Ardana, I Gusti Gde. Hari Raya Saraswati. Proyek Peningkatan Prasarana


dan Sarana Kehidupan Beragama.
2. Bajrasana, BA, I Gede dan Arisudhana, BA, Ida Bagus. Acara III.
3. Berata Ashrama, Tri Hita Karana, Denpasar: Bali Travel News, 2005
4. Cudamani, Pengantar Agama Hindu, Jakarta:Yayasan Wisma Karma,
1987.
5. Kadjeng, I Nyoman dkk.Sarascamuscaya, Pemerintah Daerah Tingkat I
Bali, Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama,
1996/1997.
6. -------------------Kamus Istilah Agama Hindu, Denpasar: Pemerintah
Propinsi Bali, 2002.
7. Mantra, Prof. Ida Bagus. Bhagawadgita.
8. Mas Putra, Ny.I G.Ag. Upacara Dewa Yadnya. Jakarta: Yayasan Dharma
Sarati.
9. Maswinara I Wayan, Tanya Jawab Ajaran Hindu Berdasarkan Kitab Suci
”Veda”.Surabaya:Paramita, 1998.
10. Musna, Drs. I Wayan Sad Darsana, Denpasar: CV.Kayu Mas.
11. Nesawan, BA.I Nyoman, Pendidikan Agama Hindu. Bandung: Ganeca
Exact.
12. Ngurah, dkk, Drs. I Gusti Made. Buku Pendidikan Agama
Hindu untuk Perguruan Tinggi. Surabaya: Paramita, 1999.
10. Pemda Tingkat I Bali. Catur Yadnya. Proyek Pengembangan
Penyuluhan dan Penerbitan Buku Agama, 1983.
11. Pudja, Gede MA, SH, Pengantar Agama Hindu III, VEDA.
Surabaya: Paramita, 1998.
12. Pudja, MA,SH, Pengantar Agama Hindu. Jakarta: Mayasari, 1985.
13. Pudja, MA, SH, Weda. Jakarta, 1994.
14. Pudja, MA, SH. Menawa Dharma Sastra. Jakarta: Mayasari.
15. Pudja, MA, SH. Bhagawadgita. Surabaya: Paramita, 2005.
16. Punyatmadja, Drs. Ida Bagus Oka. Panca Sradha. Denpasar:

223
Upada Sastra, 1992.
17. Purwita, Ida Bagus, Upacara Potong Gigi, 1989/1990.
18. Putra Prata, SE. Asal Usul Manusia Menurut Sastra Hindu,
Denpasar: Upada Sastra, 1994.
19. Sadia, BA.Wayan dan Gede Pudja, MA,SH, Rg.Weda. Proyek
Pengembangan Kitab Suci Hindu Departemen Agama Republik
Indonesia, 1992.
20. Titib, Dr. I Made. Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama
Hindu. Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri, 2000
21. Swami Vivekananda. Karma Marga. Jakarta: Hanuman Sakti, 1991.
22. Wiana Ketut dan Raka Santeri. Kasta dalam Agama Hindu,
Yayasan Dharma Narada, 1993.
23. Astana, I Made, C.S. Anomdiputra, Kautilya (Canakya)
Arthasastra, Paramita, Surabaya, 2003.
24. Awanita, Made, Agama Hindu (Modul Orientasi Pembekalan
Calon PNS), Proyek Pembibitan Calon Tenaga Kependidikan Biro
Kepegawaian Sekretariat Jenderal Departemen Agama RI, Jakarta, 2003.
25. Bagus Wirawan,A.A., dkk, Dharma Agama dan Dharma Negara,
Balai Pustaka, Denpasar, 1995.
26. Bertens, K. Etika. Gramedia, Jakarta, 2004.
27. Bose, A.C. , The Calls of the Vedas, Bharatiya Vidya Bhavan,
Bombay, India, 1981.
28. Budiman, Arief. Dimensi Sosial Ekonomi dalam Konflik Antar
Agama di Indonesia dalam Dialog Kritik & Identitas Agama. Intertidei:
Yogyakarta, 2003.
29. Dick Hartoko, Manusia dan Seni, Kanisius, Yogyakarta, 1991.
30. Donder, I Ktut, Acarya Sista Guru dan Dosen Yang Bijaksana,
Paramita, Surabaya, 2008.
31. ------------------, Brahmavidya, Teologi Kasih Semesta, Paramita,
Surabaya, 2006.
32. Dharmika, Ida Bagus, Kerukunan Hidup Beragama: Studi Kasus di
Subak Medewi, Jembrana Bali dalam Profil Kerukunan Hidup Umat

224
Beragama. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama,
Departeman Agama RI, 1996
33. ------------------, Kerukunan Antar Umat Beragama di desa
Angantiga, Petang Badung. Denpasar: Univ. Hindu Indonesia Denpasar,
2000
34. ------------------, Menyama Braya (Hakikat Hubungan Manusia
Dengan Manusia Di Bali), Denpasar : Musyawarah Majelis Agama
dalam Forum Komunikasi Antar Umat Beragama Prop. Bali di Hotel
Oranje, 2005
35. Durkheim, Emile, The Elementary Form of the Religious Life A
study In Religious Sociology. Joseph Ward Swain (Trans.), 1985.
36. Edi Sedyawati, Saiwa dan Bauddha di Masa Jawa Kuna, Widya
Dharma, 2009.
37. Gedong Bagoes Oka, Spiritualitas baru dalam Agama Hindu”
dalam Spiritualitas Baru : Agama dan Asplrasi Rakyat. Intertidei:
Yogyakarta, 2003.
38. Hakim, Lukman, Pandangan Islam tentang Pluralitas dan
Kerukunan Umat Beragama dalam Konteks Bernegara. Jurnal
Multikultural & Multireligius, Harmoni, Vol.X, Nomor 1, Januari-Maret
2011:11-23
39. Hariyono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, PT Dunia Pustaka
Jaya, Jakarta, 1995.
40. Kajeng, I Nyoman, dkk, Sarasamuscaya, Paramita, Surabaya,
2003.
41. Kusumohamidjojo, Budiono. Kebhinekaan Masyarakat Indonesia,
Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan. Gramedia, Jakarta, 1999.
42. Lancar, I Ketut, dkk, Materi Pokok Nitisastra, Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Hindu Departemen Agama RI, Jakarta, 2009.
43. Ma’arif, A. Syafi’i dkk. Politik Identitas dan Masa Depan
Pluralisme Indonesia, Paramadina, Jakarta, 2010.
44. Maswinara, I Wayan, Tujuan Pengembaraan Kehidupan Manusia,
Paramita, Surabaya, 2000.

225
45. Meredith, G. Geoffrey. Kewirausahaan: Teori dan Praktik.
Pustaka Binaman Presindo: Jakarta, 1996
46. Nala, I Gusti Ngurah dan IGK Adia Wiratmadja, Murddha Agama
Hindu, Upada Sastra, Denpasar, 1991.
47. ------------------------, dkk, Moksrtham Jagaddhita, Upada Sastra,
Denpasar, 1995.
48. Parisada Hindu Dharma Pusat, Swastikarasa Pedoman Ajaran
Agama Hindu, Jakarta, 2013.
49. Paul Suparno, Guru Demokratis di Era Reformasi, Grasindo,
Jakarta, 2004.
50. Pidarta, I Made, Hindu Untuk Masyarakat Umum Pada Zaman
Pasca Modern, Paramita, Surabaya, 2000.
51. Pudja, I Gde, Bhagawag Gita, Paramita, Surabaya, 2003.
52. Prabhupada, AC Bhaktivedanta Swami, Bhagavad-gita Menurut
Aslinya. Hanuman Sakti, Lisensi The Bhaktivedanta Book Trust
International, Inc, Jakarta, 2006
53. ---------------- dan Tjokorda Rai Sudharta. Manava Dharmasastra
atau Veda Smrti. Surabaya: Paramita, 2004.
54. ---------------- dan Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra (Manu
Dharmasastra) atau Weda Smrti, Widya Dharma, Denpasar, 2012
55. Pastika, Mangku Made Pastika, Mudji Waluyo, Arief Sumarwoto,
dan Ulani Yunus, pecegahan Narkoba Sejak Usia Dini. Jakarta: Badan
Narkotika Nasional Republik Indonesia, 2007
56. Radendra S, I.B., Ekonomi dan Politik Dalam Artha Sastra, PT.
Mabhakti, Denpasar, 2007.
57. Rindjin, Ketut. Etika Bisnis dan Implementasinya. Jakarta:
Gramedia, 2004.
58. Sanjaya, IGMA, Mengangkat Nilai-nilai Agama dalam Menhadapi
Globalisasi, Paramita, Surabaya 2002.
59. Sara Sastra, I Gede, Konsepsi Monotheisme Dalam Agama Hindu,
Upada Sastra, Denpasar, 1994.
60. Saraswasti, Sri Chandrasekharendra. Peta Jalan Veda. Terj. Media
Hindu, Jakarta. 2009

226
61. Sāyaņācārya, Of Bhāşya, Atarvaveda Samhitā I (Terjemahan
Sudiastawan, dkk). Paramita, Surabaya, 2005
62. Sāyaņācārya, Of Bhāşya, Atarvaveda Samhitā II (Terjemahan Ivan
Taniputera). Paramita, Surabaya, 2005
63. Sāyaņācārya, Of Bhāşya, Atarvaveda Samhitā III (Terjemahan Ivan
Taniputera). Surabaya: Paramita, Surabaya, 2007
64. Sudharta, Tjok Rai. Sarasamuccaya Smrti Nusantara (Berisi
Kamus Jawa Kuno-Indonesia). Paramita, Surabaya, 2009
65. Suwardani, Ni Putu. 2011. Jurnal Pendidikan Agama dan Seni
Volume I. Denpasar: Fakultas Pendidikan Agama dan Seni.
66. Suyanto. 2001. Formula Pendidikan Nasional Era Global. Makalah.
Malang: Forum Komunikasi Mahasiswa Program Pascasarjana UNM.
67. Sharma. Mengapa? Tradisi dan Upacara Hindu. Surabaya:
Paramita, 2007.
68. Sinar Grafika, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Tahun 2003, Jakarta,2007.
69. Sivanda, Sri Svami. Hari Raya dan Puasa Dalam Agama Hindu.
Surabaya: Paramita, 2002.
70. Sivananda, Sri Svami. Intisari Ajaran Hindu, Paramita, Surabaya,
1997.
71. Sofyan, Ahmadi, Narkoba Mengincar Anak Anda Panduan bagi
Orang tua, Guru, dan Badan Narkotika dalam Penanggulangan Bahaya
Narkoba di Kalangan Remaja.
72. Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2007
73. Suamba, I.B. Putu, Siwa-Buddha di Indonesia, PT. Mabhakti,
Denpasar, 2007.
74. Subagiasta, I Ketut. Teologi, Filsafat, Etika dan Ritual dalam
Suastra Hindu. Paramita, Surabaya, 2006.
75. Suhardana, K.M., Pengantar Etika dan Moralitas Hindu Bahan
Kajian Untuk memperbaiki Tingkah Laku, Paramita, 2006.
76. ______________ Upawasa, Tapa, dan Brata. Paramita, Surabaya
2002.

227
77. ______________ Pengantar Etika dan Moralitas Hindu: Bahan
Kajian Untuk Memperbaiki Tingkah Laku. Paramita, Surabaya 2006.
78. Suwindia, I Gede, Sejarah Agama Hindu, Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Hindu Departemen Agama RI, Jakarta, 2012.
79. Sura, I Gede, Pengendalian Diri dan Etika Dalam Agama Hindu,
Paramita, Surabaya, 2003.
80. Suryana. Kewirausahaan. Pedoman Praktis: Kiat dan Proses
Menuju Sukses. Salemba Empat: Jakarta, 2006
81. Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, Alfabeta,
Bandung 2005.
82. Tilaar, H.A.R., Membenahi Pendidikan Nasional, Rineka Cipta,
2002.
83. Tim Penyusun, Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi
Umum, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian
Agama RI, Jakarta, 2012.
84. Tim Penyusun, Pedoman Kerukunan Umat Beragama Hindu.
Jakarta : CV. Mitra Abadi Press, 2007.
85. Titib, I Made, Ketuhanan Dalam Weda, Pustama Manik Geni,
Denpasar, 1995.
86. ----------------, Veda sabda Suci. Surabaya. Paramita, 2003.
87. ----------------, Teologi & Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu.
Surabaya. Paramita, 2003.
88. ----------------, Keutamaan Manusia dan Pendidikan Budhi Pekerti,
Paramita, Surabaya, 2004.
89. Watra, I Wayan, Filsafat Manusia Dalam Perspektif Hindu,
Paramita, Surabaya, 2006.
90. Wiana, Ketut, Cara Belajar Agama Hindu yang Baik, Yayasan
Dharma Naradha, 1997
91. ----------------, Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan,
Manikgeni, Denpasar, 1998
92. ----------------,Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu. Paramita:
Surabaya, 2007

228
93. ----------------, Cara Belajar Agama Hindu yang Baik, Yayasan
Dharma Naradha, 1997
94. Widana, I Gusti Ketut, Mengenal Budaya Hindu di Bali, Balai
Pustaka, Denpasar, 2002
95. Wikana, Ngurah Heka. Merekonstruksi Hindu: Merangkai
Kembali Filsafat Veda Yang Terdistorsi. Narayana Smrti Press,
Yogyakarta, 2011
96. Wiranta, I Gede A.B. Dasar-dasar Etika dan Moralitas. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2005
97. Wisnu, I Gede Ardhana. Mengendalikan dan Menaklukan Musuh-
musuh Dalam Diri Manusia. Manikgeni, Jakarta, 2001
98. Zuchdi, Darmiyati. 2010. Humanisasi Pendidikan, Menemukan
Kembali Pendidikan yang Manusiawi

GLOSARIUM

Agama (a=tidak, gam=pergi), tidak pergi.


Merupakan bagian dari Tripramana (pratyaksa pramana, anumana pramana dan
agama pramana).
Agnibrata

229
Bagian dari Astabrata dalam Kakawin Ramayana. Dalam Agni Brata terdapat
ajaran yang mengatakan bahwa dalam menghindari kesukaran hendaknya diatasi
dengan sebaik-baiknya sampai tuntas.
Akroda (a=tidak, krodha=marah), tidak marah
Ajaran yang menyatakan bahwa orang jangan cepar marah. Karena ia harus dapat
mengendalikan diri agar tidak cepat marah.
Anima (anu=kecil, atom, amat kecil),
Bagian dari Astaiswarya (delapan sifat Tuhan)
Anumana
Kumpulan dari gejala-gejala yang ada, bagian dari Tri Pramana.
Anumana Pramana
Dengan menyimpulkan dari sesuatu perhitungan yang logis seperti kita
mengetahui bahwa segala yang ada di dunia ini ada yang mengadakan seperti
adanya meja dibuat oleh tukang kayu adanya rumah dibuat oleh tukang rumah dan
seterusnya.
Apah (air)
Salah satu bagian dari Panca Mahabhuta.
Arca (arca pujaan) = patung pujaan
Pada umumnya arca itu adalah patung Dewa yang dipuja
Artha (arth=mencari)
Tujuan yang dicari orang, sasaran, harta benda. Dalam Triwarga
dirangkai:dharma, artha, kama, sedangkan dalam Catur Purusa Artha (dharma,
artha, kama. Moksa).
Asta brata
Delapan cara bertingkah laku dalam memimpin negara. Ajaran ini adalah
merupakan nasehat Rama kepada Wibhisana dalam kakawin Ramayana.
Astaiswarya
Delapan kekuasaan Bhatara Siwa yaitu : anima, laghima, mahima, prapti,
prakamya, istwa, wasitwa, yatrakamawasayitwa.
Asubhakarma
Perbuatan jahat
Atharwa Weda

230
Weda yang berhubungan dengan Rsi Atharwa. Weda keempat dari Catur Weda.
Weda ini terdiri dari 5.987 mantra.
Atma
Hidupnya hidup, azas hidup. Dalam Upanisad disebut atman dan dinyatakan
bahwa atman adalah Brahman.
Awatara (ava=ke bawah, tara dari/tr=menyebrang), penjelmaan. Tuhan yang
turun ke dunia yang menjelma sebagai manusia. Di dalam Purana ada sepuluh
Awatara.
Bhakti Marga
Jalan bhakti, melaksanakan agama dengan jalan sembahyang, mempersembahkan
upakara, dan sebagainya. Bagian dari Catur Marga.
Bhatara
Siwa dipuja sebagai Bhatara-bhatari sebagai Istadewata yaitu Dewata yang
didambakan, misalnya sebagai Bhatara Brahma, Bhatara Wisnu dan Bhatara
Iswara.
Brahmacari
Jenjang hidup pertama dalam Catur Asrama
Brahman
Sebutan Tuhan dalam Upanisad sebagai pencipta alam semesta ini. Di dalam
Weda disebut Icwara. Dalam Wraspati Tattwa disebut Parama Ciwa dan lontar
Purwa Bumi Kemulan disebut Sang Hyang Widhi Wasa.
Brahmana
Himpunan doa-doa dan tuntunan yang dipergunakan untuk keperluan upacara
yadnya, ceritra-ceritra dan simbol-simbol yang bisa dipergunakan untuk
memantapkan rasa hati percaya kepada Tuhan.
Byasa (wyasa=pengusun)
Nama Resi yang menyusun Itihasa dan Purana
Canda
Metrum, khususnya untuk mantra-mantra Catur Veda Samhita. Metrum-metrum
itu terkait pada banyaknya baris, jumlah suku kata pada setiap baris.
Catur Asrama
Empat jenjang hidup manusia (Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha, Bhiksuka)
Catur Marga

231
Empat buah jalan yang bisa ditempuh untuk mencapai tujuan Moksartham
Jagadhita. Catur Marga (Bhakti Marga, Jnana Marga, Karma Marga dan
Raja/Yoga Marga).
Catur Veda (catur=empat, Veda=pengetahuan), empat Veda (Rg Veda, Sama
Veda, Yayur Veda, Atharwa Veda).
Catur Warna (Vr=pilihan)
Empat pilihan setiap orang terhadap profesi yang cocok untuk dirinya masing-
masing. Ajaran ini diamanatkan dalam kitab suci Veda Mandala X, sukta 90 yang
terkenal dengan nama Purusa Sukta.
Dharma (dhr=menjinjing, memegang)
Kebajikan, kesucian, kebenaran. kewajiban, hukum.
Dasendrya (indriya=indra) sepuluh indria.
Gabungan dari Pancabudhindrya dan Pancakarmendrya.
Dewa (div=bersinar)
Dewa-dewa dalam Veda menunjukkan personifikasi kuasa di balik badan-badan
angkasa yang bersinar seperti: Agni, Surya, Varuna, Indra, dan sebagainya. Dalam
perkebangannya dewa-dewa itu adalah aspek dari Tuhan Yang Maha Esa,
sehingga dewa itu sesungguhnya adalah Yang Esa itu sendiri dalam aspek
tertentu.
Dewa Yadnya
Persembahan yang ditujukan kepada para dewa.
Dhyana
Bagian ke 7 dari Astanggayoga. Pikiran yang tidak mendua, tidak berubah-ubah
tetap suci, tenang senantiasa tak terhalang, itulah yang disebut dhyanayoga.
Doa
Cetusan hati yang lugu dari kerendahan hati seseorang dalam menghubungkan diri
kehadapan Tuhan.
Ethika
Pengetahuan tentang kesusilaan. Kesusilaan berbentuk kaidah-kaidah yang berisi
larangan-larangan atau suruhan-suruhan untuk berbuat sesuatu.
Galungan

232
Hari raya umat Hindu terbesar di Bali yang jatuh pada Budha Kliwon Dunggulan,
dilakukan oleh semua umat Hindu memuja Tuhan dengan segala aspeknya.
Peringatan hari kemenangan Dharma melawan Adharma.
Istadewata
Dewa yang dimohon agar turun dalam upacara. Misalnya dalam upacara Ngaben
yang selalu dimohon agar hadir di antara dewa-dewa yang lain ialah Dewa Siwa
sebagai Giripati dan Dewa Brahma sebagai Prajapati, serta disthanakan di sanggar
tempat upacara.
Itihasa (iti+ha+asa=demikianlah sesungguhnya adanya).
Pengejewantahan ajaran Weda dalam bentuk cerita sehingga mudah dihayati oleh
orang yang sedikit kemampuannya dalam menerima ajaran Weda secara langsung.
Jnana Marga (jalan pengetahuan)
Salah satu jalan bhakti kepada Tuhan dan mencapai kelepasan
Karma Phala (karma=perbuatan, phala=buah)
Buah perbuatan, hasil perbuatan. Setiap perbuatan yang dilakukan manusia.
Karma Marga
Ajaran yang menekankan pada pengabdian yang berwujud kerja tanpa pamerih
untuk kepentingan diri sendiri
Kuningan
Hari Kuningan merupakan hari suci agama hindu yang dirayakan setiap 6 bulan
atau 210 hari sekali, yaitu setiap hari Sabtu Kliwon wuku Kuningan, 10 hari
setelah hari araya Galungan.
Laghima (ringan)
Salah satu bagian dari Astaiswarya (delapan sifat-sifat Tuhan).
Moksa
Pembebasan dari segala belenggu, yaitu pencapaian keberadaan yang abadi,
kemantapan abadi, atma tattva yang murni selalu mendapatkan pembebasan dari
yang selalu berubah, yang selalu tidak nyata, deha tattva yang tidak murni. Yang
merupakan tujuan hidup umat Hindu ialah mendapatkan kebahagiaan lahir dan
bathin. Kebahagiaan bathin yang terdalam ialah bersatunya Atman dengan
Brahman.
Nitisastra

233
Kebijaksanaan duniawi, etika sosial politik, tuntunan dan juga berarti ilmu
pengetahuan tentang negara atau ilmu bangunan politik berdasarkan ajaran agama
Hindu. Pengertian yang lebih luas ilmu yang bertujuan untuk membangun suatu
negara baik dari segi tata negaranya, tata pemerintahannya dan tata
kemasyarakatannya.
Nyepi
Hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap tahun sekali. Hari suci ini
berdasarkan pada pengalihan Purnama dan Tilem. Hari Nyepi juga dikenal dengan
Hari Tahun Baru Saka, yang secara resmi telah diakui sebagai hari libur nasional
sejak tahun 1983.
Pagerwesi
Hari raya umat Hindu untuk memuliakan Sang Hyang Siwa (Pramestiguru) yang
jatuh pada hari Rabu Kliwon Sinta.
Pancadasa Paramiteng Prabu
Dalam kitab Negara Kertagama yang disusun oleh rakawi Prapanca melukiskan
15 sifat kepemimpinan Gajah Mada yang berhasil memimpin kerajaan nusantara
Majapahit.
Panca Sradha (panca=lima, Sradha=keyakinan)
Lima kepercayaan dalam agama Hindu
99. Percaya dengan adanya Tuhan Yang Maha Esa
100. Percaya dengan adanya Atman
101. Percaya dengan adanya karmaphala
102. Percaya dengan adanya punarbhawa
103. Perrcaya dengan adanya moksa
Panca Yadnya (panca=lima, yadnya=persembahan)
Lima macam persembahan dalam agama Hindu (Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra
Yadnya, Manusia Yadnya, Bhuta Yadnya).
Panyajan
Hari Senin Pon Dunggulan, pada hari ini orang membuat kue-kue sajen untuk hari
raya Galungan
Pandita/Pendeta

234
Rohaniawan Hindu yang tergolong Dvijati. Lahir dua kali yakni lahir pertama dari
kandungan si ibu dan lahir kedua kalinya adalah dari kaki Dang Guru Suci yang
disebut Nabe
Pinandita/Pemangku
Orang yang dikukuhkan oleh pengemong pura untuk memimpin upacara agama
hindu dalam pura bersangkutan
Pura (pur=benteng), istana, kota
Tempat suci untuk memuja Ida sang Hyang Widhi Wasa dalam segala prabhawa
(manifestasinyNya) dan Atman Siddha Dewata (roh leluhur).
Purana
Kitab yang berhubungan dengam mitologi Hindu. Purana yang terkenal ada 18
buah.
Purusartha
Tujuan hidup manusia. Empat tujuan manusia yaitu Dharma, Artha, Kama, Moksa
Rajas (nafsu,emosi)
Salah satu bagian dari Tri Guna (sattwam, rajas, tamah)
Raja Marga
Salah satu jalan dari empat jalan yang dikenal di dalam agama Hindu untuk
mencapai Moksa. Raja marga menggunakan pikiran sebagai alat, oleh karena itu
pengenalan terhadap pikiran itu sangat penting. Berhasil atau tidaknya tergantung
dari berhasil atau tidaknya kita mengendalikan pikiran.
Ramayana (Rama=sang Rama, ayana=perjalanan, kisah), kisah Sang Rama
Ceritra yang mengisahkan perjalanan hidup Sang Rama
Rg.Weda
Salah satu dari Catur Weda Samhita yang memuat ajaran-ajaran umum dalam
bentuk pujaan
Saka
Nama tariks tahun Hindu. Tahun 1 Saka-tahun 78 masehi
Sama Weda
Salah satu dari Catur Weda Samhita yang memuat ajaran umum mengenai lagu-
lagu pujaan.
Saptarsi (sapta=tujuh, rsi=orang suci)

235
Tujuh orang suci penerima wahyu Tuhan yang terhimpun dalam Veda
(Grtsamada, Visvamitra, Vamadeva, Atri, Kanwa, Bharadvaja, Vasista).
Sarascamuscaya (sara=inti sari, samuscaya=himpunan)
Nama pustaka yang berisi himpunan inti sari dari pustaka Mahabrata
Saraswati
Dewa ilmu pengetahuan, sakti Dewa Brahma. Hari raya memuja Saraswati yang
datangnya setiap hari Sabtu Umanis Watugunung
Siwalatri (Siwa=Hyang Siwa, latri=malam)
Malam Siwa. Hari raya untuk memuja Hyang Siwa yang jatuh pada Purwaning
(Panglong 14) Tilem Kepitu.
Smrti (smrti=ingatan)
Yang diingat, kenangan, kesadaran. Kitab suci setelah Sruti (batang tubuh Weda)
yang meliputi Siksa, Vyakarana, Chanda, Nirukta, Jyotisa, Kalpa.
Sthula Sarira
Badan kasar. Salah satu bagian Tri Sarira (Stula Sarira, Suksma sarira, Antakarana
Sarira)
Tirta Penembak
Air suci untuk upacara Pitra Yadnya
Tri Guna (guna=sifat, karakter, unsure pokok)
Tiga guna yang menjadi dasar sifat segala yang tercipta
Tri Hita Karana (Tri=tiga, hita=kesejahtraan, kebahagiaan, karana=penyebab)
Tiga penyebab kebahagiaan yaitu parahyangan, pawongan dan palemahan
Trikaya Parisudha
Tiga bagian tubuh yang disucikan: kayika parisuddha, perbuatan yang disucikan,
wacika parisuddha, perkataan yang disucikan, manacika, pikiran yang disucikan.
Tri Murti (Tri=tiga, murti=manifestasi, perwujudan, inkarnasi)
Tiga manifestasi Tuhan yaitu Brahma, Wisnu dan Iswara
Tri Pramana
Tiga sumber untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, yaitu Pratyaksa
Pramana, Anumana Pramana dan Sabda/Agama Pramana)
Tri Sakti (sakti=kekuasan)
Tiga kekuasaan, tiga kekuatan Tuhan (Saraswati, Laksmi, Uma).

236
Upanisad
Ajaran yang memuat soal teori mengenai Tuhan dan ciptaannya
Upaweda (upa=dekat, weda=sruti)
Kitab yang ada kaitannya dengan Weda. Kitab-kitab yang termasuk Upaweda
diantaranya Itihasa, Purana, Dharmasastra, Kamasastra, Ayurweda dan
Gandarwaweda.
Warna
Warna, rupa, bentuk. Tugas atau kewajiban seseorang menurut profesi. Catur
Warna.
Weda (Veda=pengetahuan)
Kitab suci umat Hindu. Kata-kata yang diucapkan, dinyanyikan atau dilagukan.
Yajna
Upacara kurban/korban suci. Sebagai suatu pemujaan yang memakai korban suci
maka yajna memerlukan dukungan sikap mental yang suci pula, di samping
adanya sarana yang akan dipersembahkan.
Yoga Marga
Jalan Yoga, bagian dari Catur Marga

237
238

Anda mungkin juga menyukai