Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

ASPEK HUKUM KETENAGAKERJAAN SETELAH HUBUNGAN


KERJA (POST EMPLOYMENT)

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Hukum Ketenagakerjaan

Dosen Pengampu : Hj. Ida Mursidah, S.H., M.M., M.H.

Disusun Oleh :

Kelompok 10

1. Salma Aulia Nurhidayati : (181130142)

2. Evi Tamala : (181130152)

HUKUM EKONOMI SYARIAH / D / 6

FAKULTAS SYARIAH

UIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya. Dengan rahmat tersebut, penulis dapat menyelesaikan makalah
Hukum Ketenagakerjaan ini.

Adapun judul makalah yang kami tulis adalah “Aspek Hukum Ketenagakerjaan
Setelah Hubungan Kerja (Post Employment)’’. Penulis menyadari bahwa makalah ini
berhasil disusun karena bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan
terima kasih terhadap pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karenanya
saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan guna perbaikan pembuatan
makalah selanjutnya. Semoga dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi
semua pembaca.

Serang, 17 Maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .........................................................................................................1


B. Rumusan Masalah .................................................................................................. 1
C. Tujuan Penelitian .................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) .........................................................................2


B. Hak-Hak Tenaga Kerja Yang Di PHK.....................................................................4
C. Jaminan Sosial Tenaga Kerja Melalui BPJS............................................................6

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan .............................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Regulasi yang mengatur tentang ketenagakerjaan di Indonesia adalah Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003. Dalam undang-undang tersebut yang
dimaksud ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada
waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja1.
Dalam pelaksanaan operasionalnya hukum ketenagakerjaan dibagi menjadi tiga
aspek salah satunya aspek hukum ketenagakerjaan setelah hubungan kerja (post
employment). Setelah hubungan kerja ini tenaga kerja tetap mendapatkan perlindungan
sesuai keadilan. Dengan permasalahannya seperti sakit yang berkepanjangan, hari tua,
tunjangan kematian tidak dapat diabaikan begitu saja. Maka pembahasan dari aspek
hukum ketenagakerjaan setelah hubungan kerja meliputi pemutusan hubungan kerja, hak
tenaga kerja, dan jaminan sosial tenaga kerja melalui BPJS.
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian pemutusan hubungan kerja (PHK)?

2. Bagaimana hak-hak tenaga kerja yang di PHK?

3. Bagaimana jaminan sosial tenaga kerja melalui BPJS?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengertian pemutusan hubungan kerja (PHK).

2. Untuk mengetahui hak-hak tenaga kerja yang di PHK.

3. Untuk mengetahui jaminan sosial tenaga kerja melalui BPJS.

1
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 2.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)


Pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan oleh pengusaha maupun pekerja. Mereka
memiliki hak yang sama untuk melakukan PHK. Dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 1 angka 25,
mendefinisikan pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu
hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha2. Pada umumnya pemutusan hubungan kerja merupakan suatu peristiwa yang
tidak diharapkan terjadinya terutama bagi pekerja/buruh, karena pemutusan hubungan kerja
selalu terkait dengan mata pencaharian untuk membiayai kebutuhan sehari-hari.
Dasar hukum pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta telah diatur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1964. Pada Pasal 1 dalam Undang-
Undang tersebut tertulis bahwa pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi
pemutusan hubungan kerja. Pada Pasal 153 dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tertulis bahwa pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:
1. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter
selama waktu tidak melampaui dua belas bulan secara terus-menerus.
2. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjannya karena memenuhi kewajiban
terhadap negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya.
4. Pekerja/buruh menikah.
5. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai
perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan.
6. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Pemutusan hubungan kerja dapat dikelompokkan dalam beberapa jenis yaitu3:

2
Toman Sony Tambunan dan Wilson R.G. Tambunan, Hukum Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2019), hlm. 191.

2
1. Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha
Pengusaha berhak untuk melakukan PHK terhadap pekerja/buruh apabila berbagai
upaya pencegahan dan pembinaan sudah dilakukan. Permohonan penetapan
pemutusan hubungan kerja diajukan oleh pengusaha secara tertulis kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI) disertai alasan yang menjadi
dasarnya. Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar permohonan penetapan hubungan
kerja adalah:
a. Pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat.
b. Pekerja/buruh melakukan pelanggaran.
c. Pekerja/buruh mangkir.
d. Perusahaan tutup.
2. Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja/buruh
Pekerja/buruh berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan pihak pengusaha
karena pada prinsipnya pekerja/buruh tidak boleh dipaksakan untuk bekerja terus-
menerus bilamana ia sendiri tidak menghendakinya. Dalam hal ini yang aktif untuk
meminta diputuskan hubungan kerjanya adalah dari pekerja/buruh itu sendiri.
Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada
lembaga PPHI dengan alasan apabila pengusaha melakukan perbuatan sebagai
berikut:
a. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh.
b. Tidak membayar upah tepat waktu pada waktu yang telah ditentukan selama
tiga bulan berturut-turut atau lebih.
c. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang di
perjanjikan.
Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja/buruh dapat juga terjadi jika pekerja/buruh
mengundurkan diri. Pemutusan hubungan kerja dengan alasan atas kemauan sendiri
dilakukan tanpa penetapan lembaga PPHI.
3. Hubungan kerja putus demi hukum

3
Endah Pujiastuti, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, (Semarang: Semarang University Press, 2008),
hlm. 53.

3
Hubungan kerja putus demi hukum maksudnya hubungan kerja tersebut harus putus
dengan sendirinya, dan kepada pekerja/buruh serta pengusaha tidak perlu mendapat
penetapan PHK dari PPHI. PHK ini terjadi bukan atas kedudukan pekerja/buruh
ataupun pengusaha tetapi semata-mata karena keadaan dalam ketentuan perundang-
undangan yang telah disepakati pada perjanjian kerja. PHK yang masuk pada kategori
ini adalah sebagai berikut:
a. PHK karena pekerja/buruh meninggal dunia.
b. PHK karena pekerja/buruh memasuki usia pensiun.
c. PHK karena berakhirnya perjanjian kerja.
B. Hak-Hak Tenaga Kerja Yang Di PHK
Meskipun hubungan kerja telah berakhir pekerja/buruh masih mendapatkan hak-hak
mereka sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selama proses penetapan PHK, maka upah
pekerja/buruh tetap dibayar oleh pengusaha sebagaimana diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama. Pada Pasal 156 dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003, disebutkan bahwa dalam hal terjadi pemutusan
hubungan kerja pengusaha diwajibkan membayar4:
1. Uang pesangon
Perhitungan uang pesangon ditetapkan paling sedikit sebagai berikut:
a. Masa kerja kurang dari setahun, sebesar satu bulan upah.
b. Masa kerja satu tahun atau lebih tapi kurang dari dua tahun, sebesar dua bulan
upah.
c. Masa kerja dua tahun atau lebih tapi kurang dari tiga tahun, sebesar tiga bulan
upah.
d. Masa kerja tiga tahun atau lebih tapi kurang dari empat tahun, sebesar empat
bulan upah.
e. Masa kerja empat tahun atau lebih tapi kurang dari lima tahun, sebesar lima
bulan upah.
f. Masa kerja lima tahun atau lebih tapi kurang dari enam tahun, sebesar enam
bulan upah.

4
Shidarta, Abdul Rasyid, Ahmad Sofian, Aspek Hukum Ekonomi Dan Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2018),
hlm. 119.

4
g. Masa kerja enam tahun atau lebih tapi kurang dari tujuh tahun, sebesar tujuh
bulan upah.
h. Masa kerja tujuh tahun atau lebih tapi kurang dari delapan tahun, sebesar
delapan bulan upah.
i. Masa kerja delapan tahun atau lebih, sebesar sembilan bulan upah.
2. Uang penghargaan masa kerja
Pekerja ter-PHK yang berhak mendapat uang penghargaan yang telah bekerja tiga
tahun atau lebih. Besarnya uang penghargaan masa kerja ditetapkan sebagai berikut:
a. Masa kerja tiga tahun atau lebih tapi kurang dari enam tahun, sebesar dua
bulan upah.
b. Masa kerja enam tahun atau Iebih tapi kurang dari sembilan tahun, sebesar
tiga bulan upah.
c. Masa kerja sembilan tahun atau lebih tapi kurang dari 12 tahun, sebesar empat
bulan upah.
d. Masa kerja 12 tahun atau lebih tapi kurang dari 15 tahun, sebesar lima bulan
upah.
e. Masa kerja I5 tahun atau lebih tapi kurang dari 18 tahun, sebesar enam bulan
upah.
f. Masa kerja 18 tahun atau lebih tapi kurang dari 21 tahun, sebesar tujuh bulan
upah.
g. Masa kerja 21 tahun atau lebih tapi kurang dari 24 tahun, sebesar delapan
bulan upah.
h. Masa kerja 24 tahun atau lebih, sebesar sepuluh bulan upah.
3. Uang pergantian hak
Pekerja yang di-PHK dapat memperoleh uang penggantian hak yang meliputi:
a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur.
b. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat
dimana pekerja diterima bekerja.
c. Penggantian perumahan, pengobatan, dan perawatan ditetapkan 15% dari
uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi
syarat.

5
d. Hak-hak lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama.
C. Jaminan Sosial Tenaga Kerja Melalui BPJS
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1992 Pasal 1, jaminan
sosial tenaga kerja merupakan suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan
berupa uang sebagai pengganti sebagian dan penghasilan yang hilang atau berkurang, dan
pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa
kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia.
Jaminan sosial tenaga kerja diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan yang
merupakan lembaga hasil transformasi dari PT. Jamsostek (Persero). Penyelenggaraan
jaminan sosial bidang ketenagakerjaan memberikan arah dan langkah yang sistematis,
konsisten, terpadu, dan terukur dari waktu ke waktu oleh semua pemangku kepentingan
dalam rangka transformasi PT. Jamsostek (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 20115. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial membentuk dua BPJS yaitu:
1. BPJS Kesehatan
BPJS Kesehatan merupakan badan usaha milik negara yang ditugaskan khusus oleh
pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat
Indonesia. BPJS Kesehatan ini transformasi dari PT. Akses (Persero) dan program
penyelenggaraannya berupa jaminan kesehatan.
2. BPJS Ketenagakerjaan
BPJS Ketenagakerjaan merupakan sebuah badan hukum yang disediakan untuk
publik dengan tujuan memberikan perlindungan kepada seluruh tenaga kerja di
Indonesia dari risiko sosial ekonomi tertentu. BPJS Ketenagakerjaan ini transformasi
dari PT. Jamsostek (Persero) dan terdapat beberapa program penyelenggaraan yaitu:
a. Jaminan kecelakaan kerja (JKK)
Program JKK merupakan program perlindungan berbagai risiko kecelakaan
yang mungkin terjadi kepada tenaga kerja dalam hubungan kerja. Misalnya
kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan menuju ke tempat kerja.
b. Jaminan hari tua (JHT)

5
Dalinama Telaumbanua, Hukum Ketenagakerjaan, (Yogyakarta: Deepublish, 2019), hlm. 78.

6
Program JHT merupakan program penghimpunan dana yang ditujukan
sebagai simpanan yang dapat dipergunakan oleh peserta, terutama jika
penghasilan yang bersangkutan terhenti karena berbagai sebab seperti cacat
total tetap setelah ditetapkan oleh dokter, dan telah mencapai usia 55 (lima
puluh lima tahun)6.
c. Jaminan pensiun (JP)
Berdasarkan PP No. 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Pensiun, jenis BPJS Ketenagakerjaan ini merupakan jaminan sosial
yang bertujuan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak bagi
penerimanya/peserta/ahli warisnya dengan memberi penghasilan setelah
pesertanya memasuki usia pensiun, cacat tetap total, atau meninggal dunia.
Nantinya manfaat yang diterima peserta adalah pemberian uang yang akan
dibayarkan setiap bulannya.
d. Jaminan kematian (JKM)
Program JK diperuntukkan bagi ahli waris tenaga kerja peserta BPJS
Ketenagakerjaan yang meninggal dunia bukan karena kecelakaan kerja. JK
diperlukan untuk membantu meringankan beban keluarga dalam bentuk biaya
pemakaman dan uang santunan.
Dasar hukum jaminan sosial tenaga kerja melalui BPJS yaitu:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen
ke IV Pasal 28 H ayat (3) dan Pasal 34.
b. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional.
c. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial.

6
Yoga Anggoro, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun, (Jakarta: Visimedia,
2007), hlm. 12.

7
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan pada Pasal 1 angka 25, mendefinisikan pemutusan hubungan kerja
adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Meskipun hubungan kerja telah berakhir pekerja/buruh masih mendapatkan hak-
hak mereka sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pada Pasal 156 dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003, disebutkan bahwa dalam hal terjadi
pemutusan hubungan kerja pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, uang pergantian hak.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1992 Pasal 1,
jaminan sosial tenaga kerja merupakan suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam
bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dan penghasilan yang hilang
atau berkurang, dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh
tenaga kerja. Jaminan sosial tenaga kerja diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan
yang merupakan lembaga hasil transformasi dari PT. Jamsostek (Persero) sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011.

8
DAFTAR PUSTAKA

Anggoro, Yoga. 2007. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1992 Tentang
Dana Pensiun. Jakarta: Visimedia.

Pujiastuti, Endah. 2008. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan. Semarang: Semarang


University Press.

Shidarta, Abdul Rasyid, Ahmad Sofian. 2018. Aspek Hukum Ekonomi Dan Bisnis.
Jakarta: Kencana.

Tambunan, Sony Toman, dan Wilson R.G. Tambunan. 2019. Hukum Bisnis. Jakarta:
Kencana.

Telaumbanua, Dalinama. 2019. Hukum Ketenagakerjaan. Yogyakarta: Deepublish.

Wijayanti, Asri. 2009. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta: Sinar


Grafika.

Anda mungkin juga menyukai