Anda di halaman 1dari 9

PENYAKIT MENTAL: PENATALAKSANAAN DEPRESI

PADA LANSIA

Oleh:

Kelompok 5

Nurhikmah (18301060)

Nurmila (18301061)

Resti julita (18301064)

Resky hidayat (18301065)

Salima cerlina laia (18301068)

Tri imelda butar-butar (18301073)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

STIKES PAYUNG NEGERI

PEKANBARU

2021
PENDAHULUAN

Menjadi tua adalah suatu proses natural/alami yang terjadi pada manusia . Secara umum
proses penuaan ini menyangkut 2 komponen utama yaitu komponen biologis dan komponen
psikologis. Perubahan pada kedua komponen ditambah dengan sikap masyarakat terhadapnya
akan mempengaruhi kualitas hidup lansia. Jika lansia dihargai, dicintai dan dihormati
keluarganya baik dalam keadaan sehat maupun sakit, kontribusi lansia di komunitas tempat
tinggal diakui dan dihargai maka lansia menjadi sangat aktif dan hidup mandiri.
Lansia merupakan kelompok masyarakat yang memiliki peran penting dalam membangun
bangsa (Mentri Sosial Salim Segaf Al Jufri, 2012), namun masyarakat yang berusia lanjut
adalah masyarakat yang rentan terhadap gangguan kesehatan, seperti pernyataan Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) yang telah mengidentifikasi lansia sebagai kelompok masyarakat
yang mudah terserang kemunduran fisik dan mental termasuk depresi. Depresi pada lansia
disebabkan oleh stres dalam menghadapi perubahan-perubahan kehidupan. Perubahan –
perubahan yang dimaksud adalah masa pensiun, penyakit atau ketidakmampuan fisik,
ditempatkan dalam panti wreda, kematian pasangan, dan kebutuhan untuk merawat pasangan
yang kesehatannya menurun, kemiskinan, kegagalan yang beruntun, stress yang
berkepanjangan, ataupun konflik dengan keluarga atau anak, atau kondisi lain seperti tidak
memiliki keturunan yang bisa merawatnya dan lain sebagainya (Suadirman, 2011).
Purbowinoto (2011) mengatakan bahwa depresi merupakan masalah mental yang paling
banyak ditemui pada lansia. Depresi sering terjadi pada usia tua sebagaimana pada usia paruh
baya. Hal ini mempengaruhi sekitar 13% lansia.
Hubungan antara prevalensi depresi dan usia sebagian besar dihitung dari morbiditas fisik
dan ketidak mampuan. Gangguan depresi diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahan, dan
mengidentifikasi tiga gejala utama yaitu mood yang buruk, anhedonia (kehilangan rasa
senang pada kegiatan yang sebelumnya menyenangkan), dan penurunan energi (atau
peningkatan rasa mudah lelah) (Katona et.al, 2008).
MATERI

A. Pengertian Depresi

Depresi merupakan masalah kesehatan mental yang paling umum terjadi pada lansia.
Seseorang dengan depresi dan khususnya lansia yang mengalami depresi mengalami
peningkatan resiko bunuh diri. Orang tua yang mengalami depresi mungkin enggan
untuk mengakui terjadinya perubahan mood dan juga perasaan sedih (Menzel, 2008).
Menurut Nugroho (2008) depresi adalah suatu perasaan sedih dan pesimis yang
berhubungan dengan suatu penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri
sendiri atau perasaan marah yang mendalam. Menurut Azizah (2011), gangguan depresi
merupakan keluhan umum pada lanjut usia dan merupakan penyebab tindakan bunuh
diri.
Sedangkan menurut Lau dan Lewis et al (2011) depresi adalah gangguan yang
kompleks dan multifaktorial, merupakan efek yang melibatkan interaksi genetik dan
risiko lingkungan. Depresi mayor adalah suasana hati (afek) yang sedih atau kehilangan
minat atau kesenangan dalam semua aktifitas selama sekurang-kurangnya dua minggu
yang disertai dengan beberapa gejala yang berhubungan, seperti kehilangan berat badan
dan kesulitan berkonsentrasi (Idrus, 2007).

B. Faktor Resiko Depresi


Menurut Setiawan (2011), faktor resiko dari depresi dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu
diantaranya:
1) Umur, rata-rata usia onset untuk depresi berat adalah kira-kira 40 tahun, 50 % dari
semua pasien mempunyai onset antara usia 20 dan 50 tahun. Gangguan depresif berat
juga mungkin memiliki onset selama masa anak-anak atau pada lanjut usia, walaupun
hal tersebut jarang terjadi.
2) Jenis kelamin, terdapat prevalensi gangguan depresi berat yang dua kali lebih besar
pada wanita dibandingkan laki-laki. Alasan adanya perbedaan telah didalilkan sebagai
melibatkan perbedaan hormonal, perbedaan stressor psikososial bagi perempuan dan
laki-laki.
3) Status perkawinan, pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada
orang-orang yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat atau karena
perceraian atau berpisah dengan pasangan.
4) Status fungsional baru, adanya perubahan seperti pindah ke lingkungan baru,
pekerjaan baru, hilangnya hubungan yang akrab, kondisi sakit, adalah sebagian dari
beberapa kejadian yang menyebabkan seseorang menjadi depresi.

C. Tanda dan Gejala Depresi


Menurut Azizah (2011), perilaku yang berhubungan atau mencerminkan dengan
depresi meliputi beberapa aspek seperti.
1) Afektif
Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan perasaan, kemurungan, rasa
bersalah, ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian, harga diri rendah, kesedihan.
2) Fisiologis
Nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, konstipasi, pusing, keletihan, gangguan
pencernaan, insomnia. Perubahan haid, makan berlebihan/kurang, gangguan tidur,
dan perubahan berat badan.
3) Kognitif
Kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan minat dan motivasi,
menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri, pikiran yang destruktif tentang diri
sendiri, pesimis, ketidakpastian
4) Perilaku. Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas, kecanduan obat,
intoleransi, mudah tersinggung, kurang spontanitas, sangat tergantung, kebersihan
diri yang kurang, isolasi sosial, mudah menangis, dan menarik diri.

D. Jenis-jenis Depresi
Depresi dibedakan dalam tiga tingkatan, yaitu diantaranya:
1) Depresi ringan (mild), jika terdapat sekurang-kurangnya dua dari tiga gejala utama
ditambah sekurang-kurangnya dua dari gejala tambahan yang sudah berlangsung
sekurangkurangnya selama dua minggu. Dan tidak boleh ada gejala yang berat di
antaranya ( Idrus, 2007).
2) Depresi sedang (moderate), jika terdapat sekurang-kurangnya dua dari tiga gejala
utama ditambah sekurang-kurangnya tiga (sebaiknya empat) gejala tambahan ( Idrus,
2007 ).
3) Depresi berat (severe), jika terdapat tiga gejala utama ditambah sekurang-kurangnya
empat gejala tambahan, beberapa di antaranya harus berintensitas berat ( Idrus, 2007).
E. Penatalaksanaan Depresi
Penatalaksanaan gangguan depresi dilakukan dengan terapi farmakologi
menggunakan anti depresan dan psikoterapi. Tujuan terapi adalah untuk mencapai remisi
gejala klinis. Terapi gangguan depresi harus dilakukan dengan kerjasama yang baik
antara dokter, pasien, dan keluarga. Rujukan ke spesialis kesehatan jiwa perlu dilakukan
apabila (Amir, 2016):
a. Pasien mengalami depresi dengan komorbiditas lain
b. Depresi yang membahayakan diri sendiri dan/atau orang lain
c. Depresi dengan ciri psikotik
d. Depresi berat
e. Depresi yang tidak respon dengan terapi lini utama
Berikut penatalaksanaan depresi farmakologi dan nonfarmakologi:
1. Farmakologi
Obat utama yang diberikan pada pasien dengan gangguan depresi adalah obat-obat
anti depresan. Obat-obat anti-depresan umumnya diberikan selama 6-12 minggu,
dimulai dari dosis awal yang direkomendasikan. Faktor terpenting dalam memilih
antidepresan adalah efektifitas dan toleransi pasien terhadap obat tersebut.
Antidepresan yang sering digunakan adalah (Amir, 2016):
a. Penghambat selektif serotonin/selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI).
SSRI adalah antidepresan generasi kedua. Obat ini merupakan obat pilihan utama
untuk gangguan depresi karena efek samping minimal dan rendahnya resiko untuk
overdosis. SSRI yang sering kali digunakan adalah fluoksetin, sertralin, paroksetin,
fluvoksamin, citalopram, esitalopram.
b. Penghambat serotonin dan norpeinefrin/serotonin norepinephrine reuptake
inhibitor (SNRI)
SNRI merupakan antidepresan generasi kedua dan umumnya digunakan pada
pasien yang tidak menunjukkan respon terapi atau tidak dapat mentoleransi SSRI.
SNRI yang umum digunakan adalah duloksetin, denlafaksin, desvenlafaksin,
dilnasipran.
c. Antidepresan trisiklik/tricyclic antidepressants (TCA)
TCA merupakan antidepresan generasi satu. TCA umumnya digunakan pada
pasien dengan depresi yang lebih berat atau yang tidak menunjukkan respon
dengan terapi SSRI. Meskipun lebih efektif dibandingkan dengan anti depresan
generasi kedua, TCA tidak rutin digunakan sebagai terapi lini utama karena
banyaknya efek samping yang disebabkan karena aktifitas antikolinergik, seperti
mulut kering, visus menurun, konstipasi, retensi urin, takikardia, delirium,
halusinasi, overdosis, kejang, teratogenik, dan lainnya. Obat TCA yang paling
umum digunakan adalah amitriptilin, imipramin, nortriptilin
d. Penghambat oksidase monoamin/monoamine oxidase inhibitor (MAOI)
MAOI merupakan obat antidepresan generasi pertama dan sudah sangat jarang
digunakan karena dapat memicu aktivitas simpatis, hipertensi, dan reaksi dengan
banyak bahan makanan. MAOI sebaiknya dihindari pemberiannya pada depresi
dan tidak digunakan untuk pengobatan lini pertama. Pemberian MAOI sebaiknya
dibawah pengawasan spesialis.
e. Anti-depresan lainnya
Anti-depresan golongan lain merupakan obat yang lebih baru. Beberapa contoh
obat golongan ini adalah bupoprion: memiliki efek terapetik yang hampir sama
dengan SSRI dengan efek samping yang lebih minimal, mitrazapin, nefazodon:
tidak direkomendasikan karena efek hepatotoksisitas.
2. Nonfarmakologi (Psikoterapi)
a. Terapi keluarga
Problem keluarga dapat berperan dalam perkembangan gangguan depresi,
sehingga dukungan terhadap keluarga pasien adalah sangat penting. Proses
penuaan mengubah dinamika keluarga, diantaranya ada perubahan posisi dari
dominan menjadi dependen pada lanjut usia. Tujuan dari terapi terhadap keluarga
pasien yang depresi adalah untuk meredakan perasaan frustasi dan putus asa,
merubah dan memperbaiki sikap atau struktur dalam keluarga yang menghambat
proses penyembuhan pasien.
b. Terapi kognitif perilaku
Terapi kognitif perilaku bertujuan mengubah pola pikir pasien yang selalu
negatif (persepsi diri yang buruk, masa depan yang suram, dunia yang tak ramah,
diri yang tak berguna lagi, tak mampu dan sebagainya) ke arah pola pikir yang
netral atau positif. Ternyata pasien lanjut usia dengan depresi dapat menerima
metode ini meskipun penjelasan harus diberikan secara singkat dan terfokus.
Melalui latihan-latihan, tugas-tugas dan aktivitas, terapi kognitif-perilaku bertujuan
mengubah perilaku dan pola pikir untuk menurunkan tingkat depresi penderita.
c. Terapi musik
Menurut Erkkiila (2008) dan Siedliecki (2006) menyatakan bahwa terapi musik
memiliki potensi baik sebagai terapi komplemen, sebagai fasilitator bahkan sebagai
terapi alternatif non farmakologis. Penambahan terapi musik pada pengobatan yang
dilakukan pada pasien depresi dapat meningkatkan efek analgesik, efek
kenyamanan yang dapat menurunkan depresi dan juga dapat meningkatkan
kepercayaan dalam diri seseorang. Musik dapat berperan sebagai fasilitator dimana
musik dapat menyentuh seseorang secara emosional dan mencapai perasaan
terdalam pasien sehingga dapat menjadi alat untuk mengungkapkan ekspresi
nonverbal pasien dan pasien dapat lebih membuka diri (Chan, et al., 2009). Dengan
demikian terapi musik juga sangat memungkinkan dapat menghindari polifarmasi
yang biasa dihadapi dalam pengobatan pada lansia.
Pasien yang akan diberikan terapi musik dikondisikan berada di ruangan yang
tenang dengan posisi yang rileks. Sebelum musik didengarkan, pasien akan
dilakukan pengukuran terlebih dahulu. Berselang waktu sekitar 5- 10 menit, musik
didengarkan oleh pasien, baik menggunakan headset ataupun CD. Selama pasien
mendengarkan musik, baik perawat atau tenaga medis lainnya tidak berada di
ruangan yang sama dengan pasien. Mmusik didengarkan kurang lebih selama 20-
30 menit. Berselang waktu 5-10 menit kemudian, dilakukan pengukuran lagi pada
pasien.
SIMPULAN

Populasi usia lanjut semakin tahun semakin bertambah dan pertambahan populasi ini
diikuti juga oleh semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi baik fisik maupun
psikologis. Kondisi ini memerlukan perhatian dan penatalaksanaan yang semakin
komprehensif. Deteksi dini depresi pada pasien usia lanjut dengan gangguan/penyakit fisik
yang disertai dengan intervensi optimal, akan memperbaiki prognosis dan mencegah
terjadinya disabilitas yang akan membuat pasien menderita berkelanjutan. Pendekatan
multidisiplin dengan fokus pada kepentingan pasien harus menjadi perhatian bagi seluruh
anggota tim. Kesejahteraan jiwa pasien, harapan-harapan pasien dan kehidupan sosialnya
sebaikinya juga diupayakan terpenuhi disamping upaya penyembuhan penyakitnya.
Pada dasarnya tanda dan gejala yang dialami penderita depresi yaitu: 1) Afektif;
kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan perasaan, kemurungan, rasa bersalah,
ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian, harga diri rendah, kesedihan. 2) Fisiologis; Nyeri
abdomen, anoreksia, sakit punggung, konstipasi, pusing, keletihan, gangguan pencernaan,
insomnia. Perubahan haid, makan berlebihan/kurang, gangguan tidur, dan perubahan berat
badan. 3) Kognitif; Kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan minat dan
motivasi, menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri, pikiran yang destruktif tentang diri
sendiri, pesimis, ketidakpastian 4) Perilaku; Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat
aktivitas, kecanduan obat, intoleransi, mudah tersinggung, kurang spontanitas, sangat
tergantung, kebersihan diri yang kurang, isolasi sosial, mudah menangis, dan menarik diri.
Penalaksanaaan depresi dapat dilakukan dengan psikofarmaka dan psikoterapi, yaitu
diantaranya: Penghambat selektif serotonin/selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI),
penghambat serotonin dan norpeinefrin/serotonin norepinephrine reuptake inhibitor  (SNRI),
antidepresan trisiklik/tricyclic antidepressants (TCA), terapi keluarga, terapi kognitif, dan
terapi musik.
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L. Ma’rifatul.(2011). Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta : Graha Ilmu


Hemmawati, Nurul. 2018. Depresi Pada Lansia. Journal of Holistic and Traditional Medicine:
Vol 03 No 02.
Idrus, M. Faisal.(2007). Depresi Pada Penyakit Parkinson. FKUNHAS. Makasar
Kowel, Richard, dkk. 2016. Pengaruh senam lansia terhadap derajat depresi pada lansia di
panti werda. Jurnal e-Biomedik (eBm): Vol 4, No 1.
Nugroho, H. Wahjudi.(2008). Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC
Setiawan, I. Teguh.(2011). Hubungan Gambaran Diri dengan Tingkat Depresi

Anda mungkin juga menyukai