Hubungan Lingkungan Dengan Tuhan
Hubungan Lingkungan Dengan Tuhan
Membicarakan masalah lingkungan dari zaman ke zaman memang selalu eksis. Mulai
dari zaman Yunani Kuno jauh sebelum masehi yang mulai mencari tahu akan fakta alam
semesta. Seperti Thales, Plato, Sokrates, dsb. Mereka semua merupakan tokoh yang mulai
gundah akan bagaimana alam semesta ini terjadi, bagaimana lingkungan sekitar mereka hidup
itu bisa exist di hadapan mereka.
Terkait lingkungan sekitar, pada zaman Yunani Kuno tersebut hanya dikaitkan pada
mitos belaka. Disebabkan karena akal mereka yang belum bisa menguak fakta alam semesta
secara empiris dan ilmiah. Seperti pelangi misalnya, mereka beranggapan bahwa pelangi itu
adalah selendang bidadari yang turun ke bumi untuk mandi.
Seiring berjalannya waktu, tokoh-tokoh seperti Thales, Plato, Sokrates dan yang
lainnya inilah yang kemudian mulai memikirkan secara mendalam terkait alam semesta ini.
Thales misalnya yang mulai meneliti bahwasanya awal mula kehidupan ini berasal dari air.
Kemudian pada abad pertengahan, mulailah ilmu pengetahuan ini semakin berkembang. Di
mana fakta-fakta terkait alam semesta mulai terkuak sedikit demi sedikit. Di Barat mereka
berpegang pada ajaran Kristen yang dimandori oleh para pastur di gereja. Ilmu pengetahuan
apapun harus bersumber dari gereja. Dan sebaliknya di Timur, Islam berkembang pesat dengan
perkembangannya. Banyak para sarjanawan muslim yang membuat karya-karya tentang fakta
lingkungan dan alam semesta. Seperti Ibnu Rusyd, Al-Farabi, dsb.1
Dalam sisi Islam, Allah swt. menyebutkan dalam Alquran bahwa dari eksistensinya
lingkungan tempat kita hidup ini terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi orang yang mau
memikirkannya:
ٗ ُ
ٱّلل ق َِّيَٰ ٗما َّوق ُعودا
َّ ُ ُ ۡ َّ َّ َّ
َّ َّ ون ٱلذِين يذكر٠٩١ ب َٰ َّ ٓأَليَٰت ل ِأُ ْوِل ۡٱل َّأ ۡل
ب
َّ
ار َّ َّٱخت ِ َّل َٰ ِف ٱلَّ ۡيل َّوٱلن
ه
ۡ َّ
و ِ
ۡرض
َّ ۡ َّ َّ َّ َّ
أ ٱلو ت َٰ وَٰ مٱلس ق
ۡ َّ
ل خ ِي ف
َّ
ن
ِ ِ ٖ ِ ِ ِ ِ ِإ
َّ َّ َّ َّ َّ َّ َّ َّ َٰ َّ ۡ ُ ٗ َٰ َّ َّ َٰ َّ َّ ۡ َّ َّ َّ َّ َّ َّ َّ ۡ َّ َّ َّ ۡ َّ َّ َّ َّ َّ ُ َّ َّ
٠٩٠ ِاب ٱلنار ۡرض ربنا ما خلقت هذا ب ِطلا سبحنك فقِنا عذ ِ ت َّوٱلأ ِ َٰ َّوعل َٰي ُجنوب ِ ِه ۡم َّو َّيتفك ُرون ف ِي خل ِق ٱلسمَٰو
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka.”2
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa dalam penciptaan langit dan bumi ini terdapat tanda-
tanda kekuasaan Allah yang dapat dijangkau dengan panca indra manusia, seperti bintang-
bintang, matahari, bulan, planet-planet, daratan dan samudera, pegunungan, pepohonan,
1
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010),
hlm. 85.
2
QS. Ali-‘Imran [3]: 190-191.
2
beragam flora dan fauna. Serta dalam peralihan siang dan malam, yang terkadang ada malam
yang panjang dan siang yang pendek, ataupun sebaliknya, ini merupakan tanda dari kekuasaan-
Nya. Dia-lah sang Pengatur dan Pemelihara, sehingga semuanya dapat berjalan sedemikian
rupa.3 Hanya orang-orang yang menggunakan akal mereka saja yang kemudian memproses apa
yang diserap oleh panca indra mereka terkait lingkungan ini, kemudian menyimpulkan sesuatu
yang luar biasa dari alam ini bahwa semuanya tertata amat rapi nan teratur. Kemudian ia
memikirkan sosok maha luar biasa yang mampu menciptakan semua ini beserta keseimbangan-
keseimbangan di dalamnya.
Pada ayat berikutnya (191) mengandung isyarat bahwa setelah kita memikirkan
bagaimana proses penciptaan langit dan bumi, serta bagaimana langit dan bumi bisa berjalan
sedemikian rupa, kemudian kita merendahkan diri kita di hadapan sang Maha Kuasa, bahwa
kita sebagai makhluk-Nya sangatlah tiada daya dan upaya yang bahkan dikatakan hampir
serupa pun mustahil dengan-Nya. Kemudian kita berzikir dan mengingat ke-Maha Kuasaan-
Nya serta Maha Pemeliharanya Dia
Ayat yang menyindir demikian agar manusia mau berfikir atas lingkungannya terdapat
beberapa. Yakni;
َّ َّ َّ ٓ َّ َّ َّ َّ ُ َّ َّ َّ ۡ َّ ۡ ۡ َّ َّ ۡ ُ ۡ َّ َّ َّ َّ ۡ َّ َٰ َّ ۡ َّ َّ ۡ َّ َّ َّ َّ ۡ َّ َّ
ك ٱلتِي تجرِي ف ِي ٱلبحرِ بِما ينفع ٱلناس وما أنزل ِ ۡرض وٱختِل ِف ٱلي ِل وٱلنهارِ وٱلفل ِ ت وٱلأ ِ َٰ إِن ف ِي خل ِق ٱلسمَٰو
َّ َّ ُ ۡ َّ َّ َّ َٰ َّ ۡ َّ َّ َّ َّ ُ َّ َّ َّ َّ َّ ۡ َّ َّ ۡ َّ َّ َّ ۡ َّ ۡ َّ َّ ٓ َّ ٓ َّ َّ َّ ُ َّ
اب ٱلمسخ ِر ِ ٱلريحِ وٱلسح ِ يف
ِ ِ رص ت و ة
ٖ ٓاب د ل
ِ ك ِن
م اِيه ف ث ب و اِه ت وم د عب ۡرض أ ٱل ِ هِ ب ا ي ح أ ف ٖ ءا م ِن م ِ ء ٱّلل مِن ٱلسما
َّ ُ َّ َّ َّ ۡ َّ ٓ َّ َّ
٠٦١ ت ل ِق ۡو ٖم َّي ۡعقِلون ٖ َٰ بين ٱلسماءِ وٱلأۡر ِض ٓأَلي
َّ ۡ َّ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang,
bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-
nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran
Allah) bagi kaum yang memikirkan.”4
ُ َّ َّ َّ ُ ُ َّ ۡ َّ ُ ۡ ُ َّ َّ َّ ُ ۡ ُ َّ ۡ َّ ۡ ُ َّ َّ ۡ َّ َّ َّ ُ ُ َّ َّ ۡ َّ َّ َّ َّ َّ ۡ َّ َّ َّ
وما يؤمِن أكثرهم بِٱّللِ إِلا وهم٠١١ ۡرض يمرون عليها وهم عنها مع ِرضون ِ ت وٱلأ َٰ َٰ َّ
ِ وكأيِن مِن ءايةٖ ف ِي ٱلسمو
َّ ُ ۡ ُ
٠١٦ مش ِركون
“Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka
melaluinya, sedang mereka berpaling dari padanya. Dan sebahagian besar dari mereka tidak
beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-
sembahan lain).”5
3
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2. (Terj. M. Abdul Ghoffar. Bogor: Pustaka Imam Asy-
Syafi’i, 2003), hlm. 209.
4
QS. Al-Baqarah [2]: 164.
5
QS. Yusuf [12]: 105-106.
3
Ibnu Katsir menjelaskan lagi dalam tafsirnya, yang bahkan dikutip oleh para mufasir
lainnya seperti Wahbah Az-Zuhaili, At-Thabari, dsb., bahwasanya dari ayat-ayat di atas, akan
muncul 2 variabel jenis manusia setelah merenungi dan memikirkan alam semesta.
1. Orang yang kemudian menyerahkan dirinya untuk berdzikir sepenuhnya mengingat
kekuasaan Allah swt. baik di segala keadaan. Seperti perbuatan seorang syaikh yang
dikutip oleh Ibnu Katsir, yakni Syaikh Abu Sulaiman Ad-Darani. Ia mengatakan:
“Sesungguhnya aku keluar dari rumahku, lalu setiap yang aku lihat merupakan nikmat
dari Allah dan pelajaran bagiku”.6
2. Orang yang kemudian berpaling dan menolak dari setiap tanda-tanda kekuasaan Allah,
dan mereka tetap musyrik kepada-Nya.
Maka, orang yang ada pada variabel pertama, setelah mereka mengetahui akan kuasa-
Nya, rahmat-Nya, dan karunia-Nya akan alam semesta, kemudian menjadikan mereka sebagai
hamba yang lebih taat nan bertakwa, juga merasa rendah di hadapan Allah swt., serta enggan
untuk berbuat kerusakan (fasad) di muka bumi. Mereka menyadari, bila mereka merusak apa
yang telah Allah ciptakan baginya di alam semesta ini, maka akan terjadi ketidakseimbangan
yang akan mengakibatkan timbulnya berbagai bencana alam.
Bahkan, kriteria manusia seperti ini yang dikatakan oleh Al-Hasan Al-Bashri: “Berfikir
sejenak akan tanda kekuasaan-Nya, jauh lebih baik daripada mendirikan shalat malam”.
Sufyan bin ‘Uyainah pun berkata: “Berfikir tentang kekuasaan Allah adalah cahaya yang
masuk ke dalam kalbu”. Nabi Isa as. pun berkata: “Berbahagialah bagi orang yang lisannya
selalu berdzikir, diamnya selalu berfikir akan kekuasaan Allah, dan pandangannya mempunyai
pelajaran”. Luqman Al-Hakim pun menambahkan: “Lama menyendiri akan membuat orang
berfikir, dan lama berfikir akan kekuasaan Allah akan membukakan jalan ke surga baginya”. 7
Ini menunjukkan keutamaan orang yang senantiasa berfikir akan kekuasaan Allah,
bahkan sampai akan dibukakan jalan menuju surga. Ini seumpama orang yang hendak berlibur
dari kepenatan duniawi, kemudian memilih menenangkan diri di alam. Kemudian orang
tersebut setelah melihat ketenangan akan keindahan alam sekitar, menjadikan lisannya selalu
berdzikir dan bertasbih menyebut nama-Nya. Serta memuji-muji-Nya akan Maha
Sempurnanya apa yang telah dia ciptakan. Setelah itu, menjadikannya enggan untuk merusak
apa yang indah tersebut, justru ingin merawatnya. Inilah golongan manusia yang diberi cahaya
ke dalam kalbunya
Sebaliknya, orang yang ada pada variabel kedua, justru mereka selalu membuat alibi
untuk kufur dan syirik dari kuasa Allah swt.. Mereka tetap pada kekufuran mereka, dan
menolak untuk menerima bahwa Allah saja lah sang Tuhan yang ada. Golongan orang seperti
inilah yang kemudian akan selalu berbuat kerusakan (fasad) di muka bumi. Sebab mereka tidak
mau menerima dan tidak mau tahu akibat dari yang diperbuatnya tersebut.
6
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2. (Terj. M. Abdul Ghoffar. Bogor: Pustaka Imam Asy-
Syafi’i, 2003), hlm. 210.
7
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2. (Terj. M. Abdul Ghoffar. Bogor: Pustaka Imam Asy-
Syafi’i, 2003), hlm. 211.
4
“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya,
(sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.”8
Ibnu Katsir menjelaskan, ini merupakan dalil dari Allah swt. bahwasanya Dia menjadikan
matahari, bulan, bintang-bintang, gunung, hutan, lautan, sungai dan segala hal yang bisa
dimanfaatkan oleh manusia, sebagai rahmat dari ciptaan sang Maha Kuasa.9
Perumpamaan manfaat dari rahmat ini adalah seperti orang-orang zaman dahulu yang
mengambil manfaat dari bintang-bintang di langit sebagai kalender, kapan untuk migrasi dan
kapan untuk menetap dan berkebun. Juga digunakan sebagai arah penunjuk jalan di saat malam
yang gelap gulita. Manfaat dari matahari yang mampu memberikan kehidupan pada flora dan
fauna, bahkan manusia sendiri di bumi, yang kemudian tumbuhlah berbagai macam tumbuh-
tumbuhan dari kebun-kebun yang indah nan menyejukan mata, serta sangat bermanfaat bagi
kesehatan manusia, dsb. Bagi orang yang berfikir, mereka akan mensyukuri nikmat yang telah
diberikan Allah swt. ini, dan menjadikan ia semakin taat dan bertakwa kepada-Nya.
Kemudian Allah swt. berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 96:
ْ ُ َّ َّ ُ َّ ۡ َّ َّ َّ ْ ُ َّ َّ َٰ َّ َّ َّ ۡ َّ ٓ َّ َّ
َّ َٰ َّ َّ َّ ۡ َّ َّ َّ ۡ َّ َّ َّ ْ ۡ َّ َّ َّ ْ ُ َّ َّ َٰٓ َّ ُ ۡ َّ ۡ َّ َّ َّ ۡ َّ َّ
َٰ
كن كذبوا فأخذنهم بِما كانوا ِ ۡرض ول ِ ت مِن ٱلسماءِ وٱلأ ٖ ولو أن أهل ٱلقرى ءامنوا وٱتقوا لفتحنا علي ِهم برك
َّ ۡ
٩٦ يَّكس ُِبون
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-
ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”10
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa dalam ayat ini, jika suatu kaum beriman dan bertakwa, serta
menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan
menurunkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi berupa hujan yang akan menyuburkan
tumbuhan-tumbuhan dan kebun-kebun sehingga manusia akan mendapatkan berkah dan
kenikmatan yang luar biasa.11
Sebaliknya jika mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan berbuat kemaksiatan dan
kerusakan di muka bumi, maka Allah swt. akan menimpakan bencana dan azab berupa
dirusakkannya alam yang akan menyebabkan manusia menderita. Atau ditahannya hujan dari
8
QS. Al-Jatsiyah [45]: 13.
9
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7, (Terj. M. Abdul Ghoffar. Bogor: Pustaka Imam Asy-
Syafi’i, 2004), hlm. 338.
10
QS. Al-A’raf [7]: 96.
11
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3, (Terj. M. Abdul Ghoffar. Bogor: Pustaka Imam Asy-
Syafi’i, 2004), hlm. 427.
5
langit yang menyebabkan kekeringan dan paceklik. Ini bertujuan agar manusia merasakan
akibat dari perbuatannya.
Hal ini juga diperjelas dan diperinci dalam ayat lainnya:
َّ
١٠ ج ُعون ۡ َِّيق ُهم َّب ۡع َّض ٱلَّذِي َّع ِملُوا ْ لَّ َّعلَّ ُه ۡم ي
ر
َّ ُ
ذ ِي ل ِ
اس
َّ
ٱلن ِي
د ۡت َّأي
ۡ حر ب َّما َّك َّس َّبۡ َّ ۡ َّ َّ ۡ ُ َّ َّ ۡ َّ َّ َّ
ِ ِ ِ ظهر ٱلفساد ف ِي ٱلبرِ وٱلب
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar).”12
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Al-Barru pada ayat ini adalah
hamparan padang yang luas. Sedangkan Al-Bahru adalah perkotaan dan kampung-kampung.
Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa Al-Bahru yang dimaksud adalah perkampungan-
perkampungan yang ada di sisi pantai.
Ibnu Katsir dan kebanyakan ahli tafsir pun cenderung lebih mengartikan makna Al-
Barru dan Al-Bahru pada ayat ini dengan makna di atas. Maka, maksud dari ayat ini adalah
sudah banyaknya terjadi kerusakan di alam dan kemaksiatan di perkotaan dan perkampungan
yang mengakibatkan Allah menahan curah hujan, sehingga mereka kekurangan tumbuh-
tumbuhan dan buah-buahan serta paceklik.
Ibnu Katsir mengutip perkataan Abu Al-‘Aliyah: Bahwasanya kerusakan di muka bumi
ini murni diakibatkan oleh perilaku maksiat manusia kepada Allah. Sebab, keseimbangan alam
di bumi dan langit disebabkan oleh perilaku taat manusia kepada Allah swt.13
12
QS. Ar-Rum [30]: 41.
13
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6, (Terj. M. Abdul Ghoffar. Bogor: Pustaka Imam Asy-
Syafi’i, 2004), hlm. 379-380.
6
14
QS. Al-An’am [6]: 59.
15
Hamka, Tafsir Al-Azhar Jilid 3. (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD), hlm. 2052.
7
Satu ayat ini merupakan salah satu argumen dari Allah swt. bahwasanya semua ciptaan-
Nya ada dalam kendali dan kuasa-Nya. Tidak mungkin alam semesta ini ada begitu saja tanpa
ada sebab musabab yang menciptakannya. Tidak mungkin alam semesta terjadi begitu saja
dengan ketidaksengajaan, dan semuanya berjalan dengan seimbang sedemikian rupa, tidak
saling menghancurkan tanpa ada kuasa yang mengaturnya.
Jika Isaac Newton mengatakan bahwa alam semesta ini dapat bergerak secara dinamis
dan teratur ini disebabkan oleh gaya gravitasi setiap benda di alam semesta, ini juga masih
menimbulkan pertanyaan. Kuasa apa yang mengatur gaya gravitasi tersebut? Pastinya sang
Maha Kuasa.
Jika kita analogikan alam semesta ini dengan sebuah buku, kemudian kita tanyakan
kepada orang Atheis, “Siapakah yang menulis buku ini?” tentu ia akan mencari tahu dan
menjawab penulisnya. Dan pasti ada yang menulisnya, sebab bukti tulisannya ada di depan
mata mereka. Kemudian kita tanyakan kembali kepadanya, “Siapakah yang menciptakan alam
semesta ini? Jika mereka menjawab: “Tidak ada”. Maka bukti alam seperti gunung, lautan,
bintang, matahari ada di depan mata kita. Lantas mereka buatan siapa? Tidak mungkin mereka
ada dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan. Sebagaimana buku ini, tidak mungkin
buku ini ada sendiri beserta tulisannya jika tidak ada yang menulisnya. Tentu ini sangat tidak
masuk akal, dan tidak logis dan rasional.
Dalam Alquran ini, Allah swt. sudah mengklaim Diri-Nya sendiri bahwa Dia-lah sang
Pencipta alam semesta ini. Bila kita masih ragu dengan apa yang dikatakan Alquran, maka
buktikan lah bahwa ternyata Alquran yang menyebutkan proses penciptaan alam semesta, juga
keteraturan lingkungan ini sudah terbukti kebenarannya secara ilmiah. Padahal Alquran
diturunkan 1400 tahun yang lalu, di mana belum ada ilmu pengetahuan yang mumpuni untuk
membahasnya. Maka mungkinkah apa yang dikatakan Alquran itu berupa dusta belaka? Tentu
tidak, Alquran merupakan firman dari Sang Maha Pencipta, sebab dia tahu segalanya terkait
ciptaan-Nya.
Wallahu a’lam