Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manjamen airway atau jalan nafas merupakan keterampilan yang wajib dimiliki oleh para
dokter dan petugas kesehatan lainnya. Menurut ATLS (Advance Trauma Life Support), manajemen
airway adalah hal yang terpenting dalam resusitasi, oleh karena itu hal pertama yang harus dinilai
adalah kelancaran jalan nafas yang meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea.c1
Pengelolaan jalan nafas juga merupakan permasalahan utama kasus pasien dengan anestesi
umum/general anestesi (GA) karena beberapa efek dari obat-obatan yang digunakan dalam anestesi
dapat mempengaruhi keadaan jalan nafas.

Tujuan esensial dari manajemen airway merupakan oksigenasi dan ventilasi dimana tindakan
yang dikerjakan ialah untuk melepaskan atau membebaskan jalan napas untuk menjamin kecukupan
oksigen dalam tubuh. Kegagalan dalam mengenali periode waktu untuk melakukannya, dapat
mengancam nyawa pasien karena bila terjadi henti napas primer, jantung dapat terus memompa darah
selama beberapa menit dan sisa O2 yang ada dalam paru dan darah akan terus beredar ke otak dan
organ vital lain. Namun bila sampai terjadi henti jantung primer, O2 tidak beredar dan O2 yang tersisa
dalam organ vital akan habis dalam beberapa detik. Tubuh memiliki simpanan oksigen yang terbatas
dan cepat habis dalam satu kali berhenti nafas. Orang sehat memiliki saturasi oksigen maksimal
100% dan akan mulai menurun dan terjadi kerusakan otak dalam lima menit. Hipoksia yang
disebabkan oleh sumbatan jalan napas terjadi paling cepat dibandingkan dengan hipoksia akibat
gangguan fungsi organ lain. Sehingga manajemen jalan napas merupakan salah satu keterampilan
yang paling penting.2

1.2 Batasan Masalah

Referat ini membahas mengenai manajemen jalan napas

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui manajemen
jalan napas

1
1.4 Metode Penulisan
Penulisan ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada beberapa
literatur berupa buku teks, jurnal, dan makalah ilmiah.

1.5 Manfaat Penulisan


Diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan mengenai manajemen jalan
napas

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Manajemen Airway

Manajemen Airway yang juga disebut pengelolaan jalan nafas merupakan tindakan
yang dikerjakan untuk melapangkan atau membebaskan jalan nafas dengan tetap memperhatikan
kontrol servikal. Manajemen airway bertujuan untuk membebaskan saluran nafas agar menjamin
keluar masuknya udara ke paru secara normal sehinga menjamin kecukupan oksigen dalam
tubuh. Tindakan paling penting untuk keberhasilan resusitasi yaitu dengan segera melapangkan
saluran pernapasan menggunakan Triple Airway Manuever. Pengelolaan jalan nafas juga dapat
dilakukan dengan menggunakan alat yaitu alat jalan nafas faring (Oro pharyngeal airway/OPA
atau Naso pharyngeal airway/NPA), alat sungkup laring (laryngeal mask airway/LMA), maupun
pemasangan pipa trakea (endotracheal tube/ETT).2

2.2 Anatomi Jalan Nafas

Sistem respirasi terbagi menjadi sistem pernafasan atas dan sistem pernafasan bawah.
Sistem pernafasan atas terdiri dari hidung, faring dan laring. Sedangkan sistem pernafasan bawah
terdiri dari trakea, bronkus dan paru-paru.

1. Hidung

Hidung merupakan bagian dari wajah yang terdiri dari kartilago, tulang, otot, dan kulit
yang melindungi bagian depan dari cavum nasi. Cavum nasi merupakan bangunan menyerupai
silinder dengan rongga kosong yang dibatasi tulang dan dilapisi mukosa hidung. Fungsi dari
cavum nasi adalah untuk menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara yang memasuki
3
hidung sebelum mencapai paru. Rongga hidung kiri dan kanan masing-masing memiliki dua
komponen yaitu rongga depan eksterna (vestibulum) dan rongga hidung interna (fossa).
Vestibulum adalah bagian yang terletak paling depan dan merupakan bagian yang melebar dari
setiap rongga hidung. Kulit hidung pada bagian nares (lubang hidung) melanjut sampai
vestibulum yang memiliki apparatus kelenjar keringat, kelenjar sebasea, dan rambut pendek
kasar yang menyaring bahan partikulat dari udara inspirasi. Rongga hidung terletak di dalam
tulang tengkorak sebagai dua ruang kavernosa yang dipisahkan oleh tulang septum hidung. Dari
masing-masing dinding lateral cavum nasi terdapat proyeksi tulang yang memanjang dari depan
ke belakang berbentuk seperti rak yang disebut konka nasi.2

2. Sinus Paranasal dan Nasofaring

Sinus paranasal adalah rongga bilateral di tulang frontal, maksila, ethmoid, dan
sphenoid pada tengkorak. Sinus paranasal berhubungan dengan rongga hidung melalui lubang
kecil dan lendir yang diproduksi dalam sinus mengalir ke rongga hidung oleh karena adanya
aktivitas sel-sel epitel bersilia. Nasofaring terletak di belakang rongga hidung dan merupakan
bagian pertama dari faring, ke arah kaudal (bawah) menerus menjadi orofaring yang merupakan
bagian belakang rongga mulut.2,3,4

3. Faring

Setelah melalui cavum nasi, udara yang diinhalasi akan memasuki faring. Faring, atau
tenggorokan, adalah saluran berbentuk corong yang menghubungkan bagian ujung belakang
cavum nasi dengan bagian atas esofagus dan laring. Faring dibagi menjadi tiga bagian yaitu
nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Nasofaring merupakan bagian teratas dari faring dan
berada di belakang dari cavum nasi. Udara dari cavum nasi akan melewati nasofaring dan turun
melalui orofaring yang terletak di belakang cavum oris dimana udara yang diinhalasi melalui
mulut akan memasuki orofaring. Berikutnya udara akan memasuki laringofaring dimana
terdapat epiglottis yang berfungsi mengatur aliran udara dari faring ke laring. Dibagian posterior

4
faring terdapat laring tempat letaknya pita suara (plika vocalis). Fungsi utama faring adalah
meyediakan saluran bagi udara yang keluar masuk dan juga sebagai jalan makanan dan minuman
yang ditelan dan menyediakan ruang dengung (resonansi) untuk suara percakapan. Udara yang
masuk melalui faring akan menyebabkan pita suara bergetar dan terdengar sebagai suara.3,5

4. Laring

Laring adalah suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring
tersusun atas 9 bagian jaringan kartilago, 3 bagian tunggal dan 3 bagian berpasangan. 3 bagian
yang berpasangan adalah kartilago arytenoid, cuneiform, dan corniculate. Arytenoid adalah
bagian yang paling signifikan dimana jaringan ini mempengaruhi pergerakan membrane mukosa
(lipatan vokal sebenarnya) untuk menghasilkan suara. 3 bagian lain yang merupakan bagian
tunggal adalah tiroid, epiglotis, dan cricoid. Tiroid dan cricoid keduanya berfungsi melindungi
pita suara. Epiglotis melindungi saluran udara dan mengalihkan makanan dan minuman agar
melewati esofagus.5,6

5. Trakea

Trakea atau batang tenggorokan merupakan saluran tubuler yang dilewati udara dari
laring menuju paru-paru yang dibentuk oleh 16-20 cincin yang terdiri dari tulang rawan yang
berbentuk seperti huruf C. Panjang trakea sekitar 13 cm dan diameter 2,5 cm, dilapisi oleh otot
polos, mempunyai dinding fibroelastis yang tertanam dalam balok-balok hialin yang
mempertahankan trakea tetap terbuka.7

2.3 Obstruksi Saluran Nafas Atas


2.3.1 Definisi

Obstruksi jalan nafas adalah keadaan tersumbatnya jalan nafas mulai nasal sampai
laring dan trakea bagian atas yang menyebabkan terganggunya aliran udara yang masuk ke
dalam saluran napas melalui mulut dan hidung. Obstruksi jalan nafas dapat terjadi secara tiba
- tiba dan lengkap atau perlahan. Sumbatan jalan nafas total terjadi pada seseorang yang
mengalami tersedak oleh benda asing sedangkan sumbatan sebagian disebabkan oleh cairan
seperti sisa muntah, darah atau sekret dalam rongga mulut, kondisi pangkal lidah yang jatuh ke
belakang, sumbatan benda padat, odema laring, spasme laring dan odema faring.2

5
2.3.2 Penyebab dan Gejala Klinis

Obstruksi saluran nafas bagian atas disebabkan oleh trauma, tumor, infeksi akut,
kelainan kongenital hidung atau laring, difteri, paralysis satu atau kedua plika vokalis, pangkal
lidah jatuh ke belakang pada penderita yang tidak sadar karena penyakit, cedera, atau narkose
maupun karena benda asing.

Obstruksi saluran napas bagian atas ditandai dengan sesak napas, stridor inspiratore,
ortopne, pernapasan cuping hidung, dan cekung di daerah jugularis-supraklavikula-interkostal.
Selanjutnya penderita akan sianotik dan gelisah.

2.3.3 Indikasi Bantuan Jalan Nafas Atas

a. Sumbatan diatas laring


1. Benda asing
2. Penyakit infeksi atau tumor jalan napas bagian atas
3. Trauma di daerah muka
b. Sumbatan pada laring
1. Benda asing menyumbat rima glotis
2. Reaksi alergi anafilaktik
3. Tumor laring
4. Trauma laring
5. Paralisis pita suara
6. Spasme laring
c. Sumbatan dibawah laring
1. Tumor mendesak trakea
2. Benda asing bronkus
3. Spasme bronkus tumor bronkus

2.4 Penilaian Jalan Nafas

1. Pengenalan gangguan jalan nafas8,10

6
Ada beberapa keadaan dimana adanya sumbatan jalan nafas harus diwaspadai, yaitu:

a. Trauma pada wajah yang dapat menyebabkan fraktur/dislokasi dengan gangguan orofaring
dan nasofaring. Fraktur tulang wajah dapat menyebabkan perdarahan, sekresi yang
meningkat serta avulsi gigi yang menambah masalah jalan nafas.
b. Fraktur ramus mandibula, terutama bilateral, dapat menyebabkan lidah jatuh kebelakang)
dan gangguan jalan nafas pada posisi terlentang
c. Perlukaan daerah leher mungkin ada gangguan jalan nafas karena rusaknya laring atau
trakea atau karena perdarahan dalam jaringan lunak yang menekan jalan nafas.
d. Adanya muntahan, darah, atau benda lain dalam mulut atau orofaring
e. Oedema laring akut karena trauma atau infeksi.

2. Tanda-tanda objektif sumbatan jalan nafas

a. Look, melihat apakah korban mengalami agitasi, tidak dapat berbicara, penurunan
kesadaran, sianosis (kulit biru dan keabu-abuan) yang menunjukkan hipoksemia dapat
dilihat pada kuku, lidah, telinga, dan kulit sekitar mulut. Melihat apakah terdapat retraksi
dan penggunaan otot-otot nafas tambahan.
b. Listen, mendengar adanya suara-suara pernafasan abnormal. Pernafasan yang berbunyi
(suara nafas tambahan) adalah pernapasan yang tersumbat. Suara mendengkur (snoring),
berkumur (gurgling), dan bersiul (crowing sound, stridor) mungkin berhubungan dengan
sumbatan parsial pada faring atau laring. Suara parau (hoarseness, disfonia) menunjukkan
sumbatan pada faring.
c. Feel, menentukan lokasi trakea dengan cepat apakah trakea berada di tengah. Raba
ekspirasi yang keluar dari lubang hidung atau mulut, dan ada tidaknya getaran di leher
waktu bernapas. Hal itu menunjukkan adanya sumbatan parsial.8,11,12

2.5 Pengelolaan Jalan Nafas

2.5.1 Pendekatan Non Intubasi

1. Membuka jalan napas dengan metode Triple Airway Manuver

a. Head tilt-chin lift

7
Head tilt merupakan tindakan menekan dahi dengan cara meletakkan satu telapak
tangan di dahi pasien dan tekan ke bawah sehingga kepala menjadi tengadah, penyangga leher
tegang, dan lidah terangkat ke depan. Chin lift dilakukan dengan cara jari jemari salah satu
tangan diletakkan dibawah rahang yang kemudian secara hati-hati diangkat keatas untuk
membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang sama dengan ringan menekan bibir bawah
untuk membuka mulut, ibu jari juga dapat diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah
dan secara bersamaan dagu dengan hati-hati diangkat. Manuver chin lift tidak boleh
menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada pasien trauma karena tidak
membahayakan pasien dengan kemungkinan patah ruas tulang leher atau mengubah patah
tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinal.5,7

b. Jaw Thrust

Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat didorong kedepan pada
sendinya tanpa menggerakkan kepala leher karena lidah melekat pada rahang bawah, maka
lidah ikut tertaring dan jalan napas terbuka.5,7

2. Membersihkan jalan napas

a. Back Blow

8
Teknik Back Blow merupakan teknik yang dilakukan untuk bayi, bila
penderita sadar dapat batuk keras, observasi ketat, bila napas tidak efektif atau berhenti,
maka lakukan black blow 5 kali (hentakan keras pada punggung korban di titik silang garis
antara belikat dengan tulang punggung/vertebrae)10

b. Chest Thrust

Manuver ini digunakan terutama jika seseorang mengalami obesitas atau pada
tahap akhir kehamilan dan penolong tidak dapat menjangkau sekitar perut korban untuk
melakukan dorongan perut. Untuk melakukan Chest Thrust atau dorong dada dengan
korban berdiri atau duduk, penolong berdiri di belakang korban dan meletakkan sisi ibu
jari dari kepalan tangan terhadap sternum korban, menjauhi batas kosta dan prosesus
xiphoid. Sambil memegang kepalan tangan dengan tangan satunya, penolong menekan
kepalan tangan ke dada korban dengan dorongan cepat ke belakang. Hal ini diulang sampai
sumbatan keluar atau korban menjadi tidak sadarkan diri. Untuk korban yang tidak sadar,
individu tersebut ditempatkan telentang di permukaan yang tegas dengan penolong
berlutut di dekat sisi korban. Tangan diletakkan di posisi yang sama seperti untuk kompresi
dada, yaitu pada sternu bawah dan melakukan dorong dengan cepat.10

9
c. Hemlich Manuever / Abdominal thrust

Manuver ini menggunakan prinsip menciptakan batuk buatan melalui


peningkatan diafragma dan mendesak udara dari paru-paru. Ini dapat diulang beberapa
kali. Manuver Heimlich merupakan metode yang paling efektif untuk mengatasi obstruksi
saluran pernapasan atas akibat makanan atau benda asing yang terperangkap dalam faring
posterior atau glottis.

Cara melakukan Heimlich maneuver pada penderita respon / sadar ialah


penolong berdiri di belakang korban dan meletakkan sisi jempol dari kepalan tangan ke
garis tengah perut korban tepat di atas pusar dan jauh di bawah prosesus xiphoid. Sambil
memegang kepalan tangan dengan tangan yang lain, penolong menekan kepalan tangan
ke perut korban dengan dorongan cepat ke atas. Hal ini diulang sampai sumbatan keluar
atau korban menjadi tidak sadarkan diri

Heimlich maneuver pada penderita tidak sadar dilakukan dengan cara


menempatkan korban telentang di permukaan yang keras dengan penolong duduk
mengangkang paha korban. Tumit tangan diposisikan di garis tengah tepat di atas
umbilikus korban, dan tangan kedua ditempatkan tepat di atas yang pertama. Penolong
kemudian memberikan dorongan ke atas yang cepat. Untuk dorongan yang diberikan
sendiri, individu tersebut dapat menggunakan kepalan tangannya sendiri untuk mengirim
dorongan atau bersandar pada objek yang kokoh.4,10,13

10
2.5.2 Pengelolaan Jalan Napas dengan Alat

Pada pasien yang dianestesi, tonus otot jalan napas bagian atas pada pasien
hilang sehingga menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh ke belakang ke arah dinding
posterior faring. Teknik yang disukai untuk membebaskan jalan napas ialah dengan
mengubah posisi kepala atau jaw thrust. Untuk mempertahankan jalan napas bebas, jalan
napas buatan (artificial airway) dapat dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk
menimbulkan adanya aliran udara antara lidah dengan dinding faring bagian posterior.

1. Oropharyngeal tube

Oropharyngeal Airway (OPA) adalah suatu tabung / pipa yang dirancang


untuk dimasukkan ke dalam rongga faring posterior di sepanjang lidah. Pemasangan alat
ini bertujuan untuk membebaskan jalan napas, ketika teknik head tilt chin lift dan jaw
thrust belum mampu membuka jalan napas secara adekuat. Selain itu, alat ini juga dapat
mencegah lidah jatuh kebelakang atau tertelan dan memudahkan pengisapan lendir.11

Indikasi penggunaan OPA digunakan pada pasien tidak sadar untuk mencegah
lidah supaya tidak jatuh ke belakang faring yang dapat menutupi jalan napas.
Oropharyngeal Airway juga dapat mencegah gigitan korban yang dilakukan pemasangan
intubasi. Oropharyngeal Airway juga dapat digunakan pada korban yang mendapatkan
oksigenasi melalui bag mask untuk memudahkan ventilasi dan mencegah insuflasi gastric.
Tidak boleh diberikan pada pasien dengan keadaan sadar ataupun semi sadar karena dapat
merangsang muntah, spasme laring. Harus berhati-hati bila terdapat trauma oral.11

11
2. Nasopharingeal tube

Nasopharyngeal airway (NPA) adalah tabung fleksibel yang terbuat dari PVC
(Polivinilklorida) lunak pada dirancang untuk dimasukkan ke dalam saluran hidung.
Tujuan pemasangan alat ini ialah untuk membebaskan jalan nafas dan memelihara
kepatenan jalan nafas terutama bagi pasien yang baru mengalami pembedahan oral atau
facial trauma. Indikasi NPA yaitu pasien sadar membutuhkan alat lebih lanjut, trauma
kepala, cedera jalan udara langsung, syok, trauma thoraks, sadar/tidak sadar, napas
spontan, ada reflex muntah, dan kesulitan dengan OPA. Kontraindikasi NPA ialah fraktur
wajah dan fraktur tulang dasar tengkorak.11

3. Face Mask (Sungkup Muka)

Penggunaan sungkup ialah untuk mengalirkan oksigen dari sistem napas ke


pasien. Lingkaran sungkup muka disesuaikan dengan bentuk wajah pasien dan dapat
disambungkan ke sirkuit mesin anestesi melalui konektor. Bila face mask dipegang dengan

12
tangan kiri, tangan kanan digunakan untuk melakukan ventilasi dengan tekanan positif
dengan memeras breathing bag. 4,10,14

Face mask dipasang dimuka pasien dan sedikit ditekan pada badan face mask
dengan ibu jari dan telunjuk. Jari tengah dan jari manis menarik mandibula untuk ekstensi
joint atlantooccipital. Tekanan jari-jari harus pada mandibula, jangan pada jaringan lunak
yang menopang dasar lidah karena dapat terjadi obstruksi jalan napas. Jari kelingking
ditempatkan dibawah sudut jaw dan digunakan untuk jaw thrust manuver yang paling
penting untuk dapat melakukan ventilasi pasien. 4,10,14

Pada situasi yang sulit diperlukan dua tangan untuk dapat melakukan jaw
thrust yang adekuat dan sungkup muka yang rapat oleh karena itu diperlukan seorang
asisten untuk memompa kantong. Ventilasi dengan sungkup muka dalam jangka panjang
dapat menimbulkan cedera akibatt tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial. Bila
sungkup muka dan ikatan sungkup digunakan dalam jangka lama maka posisi harus sering
diubah untuk menghindari cedera. Hindari tekanan pada mata dan mata sebaiknya diplester
untuk menghidanri risiko abrasi kornea.4,10,14

4. Intubasi Endotracheal Tube (ETT)

Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau
hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi
13
nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam
trakea melalui rima glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya
berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Intubasi
nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal melalui nasal dan nasopharing ke dalam
oropharing.2,6,10

Intubasi merupakan standar emas untuk menjaga jalan napas dan memberikan
ventilasi.intubasi endotrakea harus dilakukan secara aman, proses intubasi dapat
menyebabkan trauma pada trakuea dan juga lairng meliputi hematom, laserasi, mukosa
membran, laserasi otot pita suara dan sublukasi pada kartilago arytenoid salah satu
penyebab kerusakan tersebut adalah penekanan balon ETT terhadap dinding trakea.
Tekanan balon ETT dipengaruhi volume udara dalam balon ETT, bahan dasar balon,
ukuran balon ETT terhadap diameter trakea, compliens trakea dalam balon, bahan dasar
balon ETT, serta tekanan intratorakal2,6,10.

a. Tujuan intubasi

• Mempermudah pemberian anestesi.


• Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran
pernapasan.
• Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak sadar,
lambung penuh dan tidak ada reflex batuk).
• Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.
• Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
14
• Mengatasi obstruksi laring akut

b. Indikasi intubasi trakea3

• Proteksi jalan nafas


- Hilangnya refleks pernafasan ( cedera cerebrovascular, kelebihan dosis obat)
- Obstruksi jalan nafas besar ( epiglotitis, corpus alienum, paralisis pita suara) baik
secara anatomis maupun fungsional.
- Perdarahan faring (luka tusuk, luka tembak pada leher)
- Tindakan profilaksis ( pasien yang tidak sadar untuk pemindahan ke rumah sakit
lain atau pada keadaan di mana potensial terjadi kegawatan nafas dalam proses
ransportasi pasien)

• Optimalisasi jalan nafas

- saluran untuk pelaksanaan pulmanary toilet darurat (sebagai contoh :


penghisapan atau bronchoscopy untuk aspirasi akut atau pun trakheitis
bakterialis berat)

- tindakan untuk memberikan tekanan positif dan kontinu yang tinggi pada jalan
nafas ( respiratory distress syndrome pada orang dewasa dan penyakit membran
hyalin) ( Dibutuhkan tekanan inspirasi yang tinggi atau PEEP).

• Ventilasi mekanik.

Ventilasi mekanik pada kegagalan respirasi yang dikarenakan :

- Pulmonar : penyakit asama, penyakit paru obstruktif kronik, emboli paru,


pneumonia. (”Work of breathing” berlebihan)

- Penyakit jantung atau edema pulmoner

- Neurologi : berkurangnya dorongan respirasi (Gangguan kontrol pernafasan dari


susunan saraf pusat)

- Mekanik : disfungsi paru-paru pada flail-chest atau pada penyakit neuromuskuler

15
- Hiperventilasi therapeutik untuk pasien – pasien dengan peningkatan tekanan
intrakranial.

c. Kontraindikasi intubasi endotrakeal

Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah trauma servikal yang memerlukan


keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan
intubasi.

d. Teknik Intubasi10,15,16

Persiapan alat dan bahan :

• Scope : Laringoskop, Stetoskop

Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas


intubasi trakea. Terdiri dari bagian pegangan atau batang (handle) dan bilah (blade).
Ada 3-4 ukuran bilah. Handle biasanya berisi batre untuk cahaya bola lampu pada
ujung blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung blade.
Cahaya dari bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar. Ada beberapa jenis
laringoskop yaitu tipe magill yaitu bilah lurus dan tipe macintosh dengan bentuk bilah
bengkok. Bilah macintosh ini paling sering dipakai untuk tindakan intubasi karena
kurang traumatis dan lapangan pandang luas serta kemungkinan timbul reflek vagal
berkurang.

• Tubes : Endotracheal Tube (ETT) sesuai ukuran

Endotracheal tube (ETT) digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung


ke dalam trakea dan berfungsi untuk mengontrol ventilasi dan oksigenasi. Pipa
endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu misalnya di daerah
kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon
atau besi (non kinking). Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa
endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya. Pipa tanpa balon biasanya
digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerah rawan
krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit
adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan diameter internal

16
untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan perempuan 7,5 – 8,5 mm. Untuk intubasi
oral panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm.

Tabel 1. Pedoman ukuran laringoskop, pipa endotrakeal dan kateter penghisap

• Airway : Pipa orofaring / OPA atau hidung-faring/NPA


• Tape : Plester untuk fiksasi dan gunting
• Introducer : Mandrin / Stylet
• Conector : Penyambung antara pipa dan pipa dan peralatan anestesi.
17
• Suction : Penghisap lendir siap pakai.
• Bag dan masker oksigen (biasanya satu paket dengan mesin anestesi yang siap pakai,
lengkap dengan sirkuit dan sumber gas).
• Sarung tangan steril
• Xylocain jelly/ Spray 10%
• Gunting plester
• Spuit 10 atau 20 cc untuk mengisi cuff
• Obat-obatan (premedikasi, induksi/sedasi, relaksan, analgesi dan emergency).

e. Cara Intubasi10,15,16

• Persiapkan peralatan untuk tindakan intubasi dan gunakan proteksi diri (masker
dan hand schoen).
• Posisikan kepala pada posisi netral sedikit ektensi atau sniffing.
• Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi
dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup
muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.
• Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang
dengan tangan kiri. Insersikan tip dari blade ke valecula sambil visualisasi
epiglotis dan pita suara ( cegah jangan sampai bibir terjepit)
• Handel laringoskop diangkat sehingga pita suara lebih jelas tervisualisasi dan
insersikan ET tube kedalamnya sampai batas yang ditentukan (pasang stylet yang
telah diberi jelly ke dalam ET). Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui
sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum
memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita
suara akan dapat tampak dengan jelas.
• Kembangkan Cuff ET tube dan cek posisi ET tube dengan auskultasi di kedua
lapang paru pada daerah apek dan basal (pastikan suara nafas vesikuler simetris).
Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua
paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah
epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan
stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan
nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan
kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.

18
• Fiksasi posisi ET di pinggir mulut pasien dengan plester dan melanjutkan bantuan
ventilasi

f. Evaluasi kesulitan ventilasi

Kriteria ventilasi sulit :


• Obese (BMI >26 Kg/m2

• Bearded

• Elderly (>55 th)

• Snorers

• Endentulous

g. Evaluasi kesulitan intubasi


• Penilaian visual oleh seorang ahli anestesi untuk melihat tingkat kesulitan
intubasi pada seseorang12,13

Gambar class Mallapati25

• Ruang mandibular

- Jarak tiromental (T-M) (Tes Patil)

- Jarak sterno-mental

- Jarak mandibulo-hyoid

- Jarak inter-incisor

• Metoda LEMON/MELON

- Look externally

- Evaluate 3-2-1 rule

19
- Mallampat

- Obstruksi

- Neck mobility

20
Tabel 2.2 Skala LEMON

• Klasifikasi Cormack Lehane

Metode ini adalah salah satu metode yang sering digunakan untuk
menilai laring saat dilakukan laringoskopi direk
• Skor intubation difficulty scale (IDS)

Penilaian ini menggunakan 7 parameter, 4 point subjek dan 3 poin


objektif
• Simplified Airway RiskIndeks (SARI)

Menggunakan tujuh parameter meliputi bukaan mulut, jarak tiromentum,


skor mallapati, pergerakan leher, kemampuan untuk mengunyah, berat badan
dan juga riwayat intubasi sebelumnya.
• Level of Difficulty Intubation (LDI)
Metode ini hampir serupa dengan IDS dan membantu menilai tingkat kesulitan
setelah intubasi coba untuk dilakukan

21
Tabel 2.3 Penilaian LDI

h. Komplikasi Intubasi10,15,16

• Saat Intubasi
- Salah letak : Intubasi esofagus, intubasi endobronkhial, posisi balon di
laring.
- Trauma jalan nafas : Kerusakan gigi, laserasi mukosa bibir dan lidah,
dislokasi mandibula, luka daerah retrofaring.
- Reflek fisiologi : Hipertensi, takikardi, hipertense intra kranial dan
intra okuler, laringospasme.
- Kebocoran balon.

• Saat ETT di tempatkan


- Malposisi (kesalahan letak)
- Trauma jalan nafas : inflamasi dan laserasi mukosa, luka lecet mukosa hidung.
- Kelainan fungsi : Sumbatan ETT.

• Setelah ekstubasi
- Trauma jalan nafas : Udema dan stenosis (glotis, subglotis dan trakhea), sesak,
aspirasi, nyeri tenggorokan.
- Laringospasme.

5. Laryngeal Mask Airway (LMA)

Laryngeal Mask Airway (LMA) merupakan alat supra glotis airway, didesain
untuk memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam laryng untuk ventilasi
spontan dan memungkinkan ventilasi kendali pada mode level (<15 cm H2O) tekanan
22
positif. Pada awalnya LMA digunakan terurtama di kamar operasi, sekarang ini LMA
lebih banyak digunakan tempat emergensi sebagai suatu alat manajemen kesulitan jalan
nafas. LMA dibuat dari karet lunak silicone khusus untuk kepentingan medis yang terdiri
dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian proksimal dihubungkan dengan
sirkuit napas dengan konektor berukuran 15 mm, dan di bagian distal terdapat balon
berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat pipa.8,14,15
Ada bermacam jenis-jenis LMA

• LMA Classic

Pipa jalan nafas ini berujung pada lumen suatu sungkup yang
dapat dikembangkan, yang disebut mask aperture bars (MAB) untuk
mencegah terlipatnya epiglotis sehingga menutupi jalan nafas Kelemahan
utama dari teknik pemasangan LMA classic standar adalah jari-jari operator
akan terhalang oleh gigi pasien dan pembukaan mulut pasien yang kurang
maksimal setelah deflasi cuff secara penuh maka LMA dimasukan dengan
bantuan indek jari dengan menekan masker ke arah cranioposterior melewati
palatofaringeal dilanjutkan kearah kaudal sampai dirasakan adanya tahanan,
dimana ujung masker memasuki upper eshopageal spinter berbahan semirigid
sehingga memungkinkan insersi yang atraumatik dan berbahan semi
transparan, sehingga dapat untuk mengetahui adanya material regurgitan,
terdapat garis hitam disepanjang punggung pipa nafas untuk membantu
orientasinya.

23
Gambar 14: LMA
classic27
Tabel 2.4 Ukuran
LMA-classic28

• LMA Proseal
LMA Proseal adalah LMA yang paling serba guna yaitu double
cuff selang drainase makanan dan pernafasan terpisah. Bentuk ini dibuat
bersamaan dengan selang jalan nafas fleksibel, memungkinkan waktu
ventilasi yang lama dengan kerusakan minimal dinding posterior faring.
LMA ini merupakan LMA yang paling kompleks. Tujuan awal LMA ini
adalah untuk membuat LMA dengan karasteristik ventilasi yang lebih
baik dan memberikan perlindungan terhadap insuflasi dan regurgitasi
lambung. Pada LMA ini terdapat cuff yang dimodifikasi dantube untuk
drain. LMA ini memiliki dua sungkup, satu untuk saluran nafas, dan satu
untuk saluran pencernaan. LMA ini dibuat untuk mencegah aspirasi dan
regurgitasi yang tidak terduga. Indikasi pemakaian LMA proseal hampir
sama dengan LMA klasik, tetapi LMA proseal lebih menjadi pilihan bila
diperlukan yang lebih baik, proteksi jalan nafas yang lebih baik atau bila
diperlukan akses ke saluran cerna. LMA proseal menjadi alternatif yang
lebih baik pada operasi elektif yang menggunakan LMA klasik dengan
ventilasi kendali dan pada resusitasi kardiopulmonal. Pemasangan LMA
proseal dikontraindikasi pada pasien dengan risiko aspirasi sebelum
induksi anestesi.

Gambar : LMA Proseal

24
• LMA Fleksibel
LMA Fleksibel untuk mencegah terjadinya oklusi tube, meningkatkan
akses pembedahan, dan mencegah bergesernyaLMA selama pembedahan
kepala, leher, dan orofaring. LMA jenis ini terbuat dari silikon dan karet
dan dapat digunakan berulang kali. LMA fleksibel merupakan LMA
classicyang dipasangkan pada tube yangfleksible, berukuran lebih panjang
dan berdiameter lebih kecil, dengan perlindungan wire, dengan adanya
wire mencegah kinking. Ukuran tube yang lebih panjang

memungkinkan LMA ini dipasangkan pada sirkuit nafas dengan jarak yang
lebih jauh dari medan operasi. Diameter yang lebih kecil memungkinkan
menambah luas ruang medan operasi didalam mulut. LMA jenis ini lebih
dipilih untuk tindakan operasi intra oral, khususnya adenotonsilektomi.

Gambar LMA Fleksibel

• LMA fastrach
LMA fastrach merupakan jenis LMA yang diciptakan untuk memfasilitasi
intubasi, sehingga tidak diperlukan manipulasi kepala leher yang besar. LMA
fastrach terdiri 12 dari tiga komponen, yaitu LMA itu sendiri, tube trakhea, dan
batang stabilisator. LMAfastrach kaku, berbentuk melekuk mengikuti anatomi
jalan nafas. Pada tube LMA fastrach cukup besar untuk ukuran tube trakhea
hingga nomor 8,0 dan tidak terlalu panjang sehingga dapat untuk memastikan
bahwa ETT masuk melaluipita suara. Alat ini memiliki handle yang kaku
untuk memfasilitasi intubasi, ekstubasi, dan untuk memposisikanlubang LMA
sehingga menghadap rimaglotis. LMA fastrack digunakan untuk resusitasi
jantung paru dan sebagai antisipasi kesulitan jalan nafas yang tidak terduga dan
untuk memfasilitasi intubasi buta tanpa menggerakan kepala atau leher.
Pemasangan LMAfastrach dengan maneuver Chandi terdiri dari dua langkah
yaitu memposisikan sungkup LMA di laring untuk mendapatkan seal yang baik
25
diikuti dengan sedikit mengangkat handel menjauhi dinding posterior laring.
Intubasi dengan LMA fastrach direkomendasikan untuk menggunakan tube
khusus yang terbuat dari silikon, lunak, lurus, diperkuat dengan wire, dan
memiliki cuff. Untuk melepaskan LMA fasrach setelah pemasangan ETT,

operator harus terlebih dulu melepas konektor, kemudian mengeluarkan LMA


sambil mempertahankan ETT.

Gambar: LMA fastrach

• LMA Suprame
LMA Suprame suatu LMA yang dipakai untuk kemudahan insersi dan
menguatkan tekanan yang lebih tinggi dibandingkan LMA jenis lainya dan
dapat memberikan akses untuk insersi selang nasogastrik. LMA suprime ini
merupakan solusi terbaik untuk permaslahan yang mungkin terjadi ketika
pengelolaan jalan nafas pasien sangat sulit.

GambarLMA Suprame30

• LMA C Trach
LMA C Trach dibuat untuk meningkatkan keberhasilan intubasi pada
jalan nafas yang sulit, LMA ini tetap dapat memberikan ventilasi selama
dilakukan percobaan intubasi dan saat ETT memasuki trakhea dapat
dimonitor.LMA c-trach merupakan modifikasi teknik intubasi bind-on-
blind seperti pada LMA fastrach dengan mengintegrasikan fiberoptik.
Dengan alat ini laring dapat tervisualisasi secara langsung.
26
Gambar : LMA C Trach

Adapun langkah-langkah pemasangan LMA adalah sebagai berikut :

- Cuff harus dikempeskan maksimal sebelum dipasang. Pengempisan harus


bebas dari lipatan dan sisi cuff sejajar dengan sisi lingkar cuff.

- Oleskan jeli pada sisi belakang LMA sebelum dipasang. Hal ini untuk menjaga
agar ujung cuff tidak menekuk pada saat kontak dengan palatum. Pemberian jeli
pada sisi depan akan dapat mengakibatkan sumbatan atau aspirasi, karena itu
tidak dianjurkan. Sebelum pemasangan, posisi pasien dalam keadaan “air
sniffing” dengan cara menekan kepala dari belakang dengan menggunakan
tangan yang tidak dominan. Buka mulut dengan cara menekan mandibula
kebawah atau dengan jari ketiga tangan yang dominan.

- LMA dipegang dengan ibu jari dan jari telunjuk pada perbatasan antara pipa
dan cuff.

- Ujung LMA dimasukkan pada sisi dalam gigi atas, menyusur palatum dan
dengan bantuan jari telunjuk LMA dimasukkan lebih dalam dengan menyusuri
palatum.

- LMA dimasukkan sedalam-dalamnya sampai rongga hipofaring. Tahanan


akan terasa bila sudah sampai hipofaring.

- Pipa LMA dipegang dengan tangan yang tidak dominan untuk


mempertahankan posisi, dan jari telunjuk dikeluarkan dari mulut pasien.

- Cuff dikembangkan sesuai posisinya.

- LMA dihubungkan dengan alat pernapasan dan dilakukan pernapasan bantu.


Bila ventilasi tidak adekuat, LMA dilepas dan dilakukan pemasangan kembali.

27
- Pasang bite – block untuk melindungi pipa LMA dari gigitan, setelah itu
lakukan fiksasi.

Gambar 2.19 Teknik Pemasangan LMA

6. Trakeostomi

Trakeostomi adalah suatu tindakan dengan membuka dinding depan/anterior


trakea untuk mempertahankan jalan nafas agar udara dapat masuk ke paru-paru dan
memintas jalan nafas bagian atas. Terdapat beberapa hal yang menjadi indikasi dan
kontraindikasi tindakan trakeostomi. Indikasi trakeostomi antara lain adanya obstruksi
mekanis saluran napas atas, perlindungan cabang trakeobronkial pada pasien yang
beresiko aspirasi, gagal napas, retensi sekresi bronkial, dan trakeostomi elektif seperti pada
kasus bedah leher dan kepala mayor. Kontraindikasi trakeostomi antara lain koagulopati
tak terkoreksi, infeksi pada bagian insisi, rasio tinggi pada tekanan positif akhir ekspirasi
terhadap fraksi oksigen yang dihirup, peningkatan tekanan intrakranial, obstruksi trakea,
dan adanya kelainan anatomi trakea.3,17,13

Teknik Trakeostomi ialah pasien berbaring terlentang dengan bagian kaki


lebih rendah 30° untuk menurunkan tekanan vena sentral pada vena-vena leher. Bahu
diganjal dengan bantalan kecil sehingga memudahkan kepala untuk diekstensikan pada
persendian atalanto oksipital. Dengan posisi seperti ini leher akan lurus dan trakea akan
terletak di garis median dekat permukaan leher. Kulit leher dibersihkan sesuai dengan
prinsip aseptik dan antiseptik dan ditutup dengan kain steril. Obat anestetikum disuntikkan
di pertengahan krikoid dengan fossa suprasternal secara infiltrasi. Sayatan kulit dapat
vertikal di garis tengah leher mulai dari bawah krikoid sampai fosa suprasternal atau jika
membuat sayatan horizontal dilakukan pada pertengahan jarak antara kartilago krikoid
dengan fosa suprasternal atau kira-kira dua jari dari bawah krikoid orang dewasa.33

28
Sayatan jangan terlalu sempit, dibuat kira-kira lima sentimeter. Dengan gunting panjang
yang tumpul, kulit serta jaringan di bawahnya dipisahkan lapis demi lapis dan ditarik ke
lateral dengan pengait tumpul sampai tampak trakea yang berupa pipa dengan susunan
cincin tulang rawan yang berwarna putih. Bila lapisan ini dan jaringan di bawahnya dibuka
tepat di tengah maka trakea ini mudah ditemukan. Pembuluh darah vena jugularis anterior
yangtampak ditarik ke lateral. Ismuth tiroid yang ditemukan ditarik ke atas supaya cincin
trakea jelas terlihat. Jika tidak mungkin, ismuth tiroid diklem pada dua tempat dan
dipotong ditengahnya. Sebelum klem ini dilepaskan ismuth tiroid diikat kedua tepinya dan
disisihkanke lateral. Perdarahan dihentikan dan jika perlu diikat. Lakukan aspirasi dengan
cara menusukkan jarum pada membran antara cincin trakea dan akan terasa ringan waktu
ditarik. Buat stoma denganmemotong cincin trakea ke tiga dengan gunting yang tajam.
Kemudian pasang kanul trakea dengan ukuran yang sesuai. Kanul difiksasi dengan tali
pada leher pasien dan luka operasi ditutup dengan kasa. Untuk menghindari terjadinya
komplikasi perludiperhatikan insisi kulit jangan terlalu pendek agar tidak sukar mencari
trakea dan mencegah terjadinya emfisema kulit.7

7. Krikotirotomi

Krikotirotomi merupakan suatu tindakan emergensi mengatasi obstruksi jalan


nafas dengan cara membuat jalan nafas melalui membran krikotiroid. Setelah membran
terbuka maka oksigen dapat masuk ke saluran nafas secara langsung. Teknik ini dapat
dilakukan dengan menggunakan jarum (needle chrycothyrotomy) dengan melubangi
melewati mebran krikoid yang berada disepanjang trach atau melalui teknik pembedahan
(surgical chrycotirotomi). Sebuah penelitian menemukan bahwa dari 1.560 pasien yang
masuk ruang gawat darurat karena trauma tumpul atau trauma tembus laring, hanya
9pasien yang menjalani krikotirotmi atau sekitar 0,5 %.13

29
Gambar krikotirotomi
Teknik krikotirotomi3,13,21

• Teknik krikotirotomi dengan menggunakan jarum (needle/cannula


cricothyrotomy)
Teknik krikotirotomi dengan jarum ialah teknik dimana pasien
dalam posisi supine dengan ekstensi pada leher, identifikasi membran
krikotiroid dengan jari telunjuk dan stabilkan posisi kartilago tiroid,
dengan menggunakan jarum suntik yang telah dihubungkan dengan iv
kateter nomor 12 atau 14 yang berisi cairan salin dengan sudut 45°
kearah kaudal.
• Krikotirotomi melalui pembedahan (surgical cricothyrotomy)
Teknik krikotirotomi melalui pembedahan ialah teknik dimana
pasien tidur posisi supine dengan posisi leher netral, identifikasi
membran krikotiroid, stabilkan kartilago tiroid dengan tangan kiri, buat
insisi kulit transversal sampai membran krikotiroid, kemudian putar
pemegang pisau bedah 90° untuk melebarkan jalan nafas, tarik
kartilago krikoid dengan hook krikoid, masukkan kanul trakheostomi
yang sesuai, kembangkan cuff dan berikan ventilasi, observasi
pengembangan paru dengan auscultasi untuk menilai ventilasi yang
adekuat, fiksasi kanul pada leher pasien.3,13,21

30
Gambar Teknik Krikotirotomi

31
BAB III
KESIMPULAN

Management airway merupakan usaha untuk mempertahankan jalan napas,


membebaskan saluran nafas agar menjamin keluar masuknya udara ke paru secara
normal sehinga menjamin kecukupan oksigen dalam tubuh.

Obstruksi saluran napas atas adalah sumbatan pada saluran napas atas (laring)
yang disebabkan oleh trauma, tumor, infeksi akut, kelainan kongenital hidung atau
laring, difteri, paralysis satu atau kedua plika vokalis, pangkal lidah jatuh ke belakang
pada penderita yang tidak sadar karena penyakit, cedera, atau narkose maupun karena
benda asing.

Menjaga jalan napas dapat dilakukan dengan maupun tanpa alat, seperti triple
airway manuver. Sedangkan yang menggunakan alat dapat menggunakan alat seperti
nasopharyngeal airway, oropharyngeal airway, face mask dan intubasi trakea.

Pembebasan jalan nafas merupakan hal utama yang harus dikuasai karena
terkait dengan kebutuhan oksigen tubuh yang apabila terjadi kegagalan akan
berdampak pada kematian. Dengan kemampuan manajemen jalan nafas yang baik dapat
merperkecil risiko kematian karena obstruksi jalan nafas sehingga menurunkan angka
mortalitas dan morbiditas

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Gupta, S, Sharma, R, Jain, D. 2005. Airway Assessment : Predictors of Difficult Airway.

Indian J Anaesth : 4. pp. 257-262.

2. American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and

Emergency Cardiovascular Care: Section 1. Executive summary. Circulation 2010; 122:

S640-S656

3. Clinical Practice Procedure. 2015. Airway Management/Surgical Cricothyrotomy.

Queensland Ambulance Service. Pp: 380-385. Tersedia pada link

https://ambulance.qld.gov.au/%5Cdocs%5Cclinical%5Ccpp%5CCPP_Surgical%20crico

thyrotomy.pdf

4. Galvin I, Drummond GB, Nirmalan M. Distribution of blood flow and ventilation in the

lung: gravity is not the only factor. British Journal of Anaesthesia; 2007, 98: 420-8.

5. European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2010: Section 1. Executive

summary. Resuscitation 2010; 81:1219-1276

6. Stock MC. Respiratory Function in Anesthesia in Barash PG, Cullen BF, Stelting RK,

editors. Clinical Anesthesia 5th ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2006, p.

791-811.

7. Durbin, C.G. 2005. Techniques for Performing Tracheostomy. Respiratory Care 4 (50):

488-496

8. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in Clinical Anesthesilogy 4th ed.

McGraw-Hill; 2007.

9. Boulton et al, 2013. Utamakan Keselamatan Jiwa. Anatesiologi Ed. 10. Jakarta, EGC pp

43-49

10. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu dasar Anestesi in Petunjuk Praktis

Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8

33
11. Schwartz SI, ed. Principles of surgery companion handbook. 7th ed. New york:McGraw-

Hill; 2009:53-70.

12. Prasenohadi. Manajemen Jalan Napas; Pulmonologi Intervensi dan Gawat Darurat Napas.

FK UI, Jakarta, 2010.

13. Mace, S.E., J.R. Hedges. 2012. Chricotyrotomi and Translaryngeal Jet Ventilation. Dalam

The ABCs of Emergency Medicine. Edisi 12. Pp:115-125. Toronto: University of Toronto

14. Guyton AC, Hall JE.Textbook of medical physiology. 9th ed. Pennsylvania: W.B.saunders

company; 2007: 375-393

15. American Society of Anesthesiologists. 2013. Practice Guidelines for Management of the

Difficult Airway : An Updated Report by the American Society of Anesthesiologists Task

Force on Management of the Difficult Airway. Anesthesiology

16. Izakson, et al. “Complete airway obstruction by foreign body: another anesthetic

challenge. A brief review” Jurnalul Român de Anestezie Terapie Intensivă 2013 Vol.20

Nr.2, 125-129

17. Michael B. Dobson, (1994), Penuntun Praktis Anestesi, EGC-Penerbit Buku Kedokteran,

Jakarta

18. Roberts F, Kestin I. Respiratory Physiology in Update in Anesthesia 12th ed. 2000.

19. Morris, L.L., A. Whitmer., E. McIntosh. 2013. Tracheostomy Care and Complications in

the Intensive Care Unit. Critical Care Nurse 5 (33): 18-30

20. Price, T. 2004. Tracheostomy. Dalam Tracheostomy: A Multiprofessional Handbook. Pp:

29-58. Cambridge: Cambridge University Press

21. Vukmir, R.B., A. Grenvik., C.E. Lindholn. 1995. Surgical Airway, Cricothyrotomy, and

Tracheotomy: Procedures, Complications, and Outcomes. Dalam Textbook of Critical

Care. Edisi ketiga. Pp: 724-734. Philadelphia: WB. Saunders

34

Anda mungkin juga menyukai