Anda di halaman 1dari 45

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Syair

a. Hakikat Syair

Syair adalah karya sastra yang sangat puitis, sarat makna, dan memuat nilai-

nilai yang biasa diambil di dalamnya dapat dikatakan bahwa penciptaan syair

bertujuan untuk menciptakan kepuitisan atau membentangkan imajinasi yang

puitis dalam menyampaikan pesan dan nilai-nilai yang hendak diungkapkannya.

Puitis adalah sifat yang selalu melekat pada syair dengan kadar tertentu. Artinya,

ada syair yang benar-benar puitis ada pula syair yang kurang puitis sesuai dengan

kemampuan penyairnya. Kepuitisan syair identik dengan ketepatan kohesi dan

koherensi yang terdapat pada syair tersebut. Pada teks syair Ikan Terubuk

masyarakat Melayu Bengkalis ini tidak terlepas dari nilai-nilai estetika, moral,

pendidikan, akhlak dan lebih khususnya lagi bahwa teks syair ini berada dalam

lingkup seni sastra. Hal ini disebabkan karena pola teks yang digunakan adalah

pola puisi lama yakni pola syair. Dengan demikian untuk menguraikan cerita

dalam bait-bait syair setiap pengarang terikat oleh jumlah baris dan sajak.

Selain itu, pengarang teks syair harus mempertimbangkan pemilihan kata

yang tepat dan tetap menjaga nilai estetika teks syair tersebut. Teks syair Ikan

Terubuk masyarakat Melayu Bengkalis sebagai hasil karya sastra daerah, tidak

terlepas dari masyarakat sebagai konsumen karya itu sendiri. Sehubungan dengan

14
hal tersebut Damono (1979: 1) berpendapat bahwa sastra diciptakan untuk

dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Pemahaman masyarakat

terhadap karya sastra dipengaruhi pula oleh pandangan-pandangan dari golongan

pembaca atau penikmat hasil karya sastra tersebut. Pembaca atau penikmat

memiliki hak penuh untuk memberikan komentarnya terhadap karya sastra.

Apakah pembaca sebagai pembaca awam yang akan menghargai karya sastra

dalam apresiasi mereka yang sederhana ataukah pembaca terdidik yang di

samping menghargai juga menilai karya sastra itu dengan memperkenalkan nilai-

nilai yang terkandung di dalamnya.

Syair sebagai hasil karya sastra lama berisi cerita yang disusun dalam

bentuk rangkaian bait-bait yang terikat oleh jumlah baris dan sajak, maka syair

tergolong pula kepada bentuk puisi naratif. Braginsky (1998: 225) menjelaskan

bahwa puisi-puisi naratif atau syair (kata Melayu ’syair’ berasal dari kata Arab

syi’r, yang berarti ’sajak’, puisi), menjadi bentuk ’genre, pokok puisi tertulis

Melayu selama periode klasik. Syair ini berupa kuatrin-kuatrin berima tunggal

yang berpola a-a-a-a, b-b-b-b, c-c-c-c, dan dari segi irama agak sederhana. Sejalan

dengan pendapat Braginsky tentang pola syair, Teeuw (Liaw, 1993: 201)

mengungkapkan syair terdiri dari empat baris, setiap baris mengandung empat

kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari sembilan sampai dua belas suku kata.

Bedanya dengan pantun ialah keempat baris dalam syair merupakan satu bagian

daripada sebuah puisi yang lebih panjang. Syair juga tidak mempunyai unsur-

unsur sindiran di dalamnya. Aturan sanjak akhir ialah a-a-a-a dan sanjak dalam

(internal rhyme) hampir-hampir tidak ada. Sehubungan dengan puisi dan sajak

15
tersebut Atmazaki (2005: 41) menjelaskan bahwa syair itu bukan hanya susunan

kata-kata yang membentuk garis dan bait, tetapi sesuatu yang terkandung di dalam

kata, baris, dan bait itu. Tegasnya, syair atau puisi adalah keindahan dan suasana

yang terdapat di dalam kata-kata. Sedangkan sajak adalah kata-kata yang disusun

dengan cara tertentu, karena ia dipertentangkan dengan prosa yang berbentuk

paparan dan terdiri atas paragraf-paragraf maka sajak terdiri atas kata-kata yang

membentuk baris dan bait.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa syair

merupakan karya sastra yang memanfaatkan sarana bahasa secara khas sebagai

ungkapan sastra. Syair juga merupakan puisi atau karangan dalam bentuk terikat

yang mementingkan irama dan dituangkan dalam bentuk kata-kata. Syair adalah

bagian dari puisi lama, satu bait syair terdiri dari 4 baris, bersajak a-a-a-a,

keempat barisnya merupakan isi, jumlah kata dalam satu baris, yaitu 4-5 kata,

sedangkan jumlah suku kata dalam satu baris 8-12 suku kata. Syair merupakan

kelompok dari puisi lama atau karangan dalam bentuk terikat yang mementingkan

irama sajak. Syair dipakai untuk mencatat segala peristiwa dan pengalaman. Syair

tidak terdapat sampiran (perlambang pada dua baris pertama) dan beraneka ragam

dengan lukisan yang panjang. Orang membaca syair umumnya bukan untuk

merasakan keindahan susunan lukisan dan bunyi, tetapi untuk mendengar

ceritanya, meskipun ada juga syair yang lukisan dan bunyi tiap-tiap barisnya

indah (Alisyahbana, 1950: 46).

16
b. Syair Ikan Terubuk

Syair ini populer di kalangan masyarakat Melayu Riau khususnya Bengkalis

pada abad ke-19 yang lampau melalui media lisan, tanpa ada kejelasan siapa

penciptanya, termasuk dalam model karya anonim. Syair tersebut bukan hanya

bersifat hiburan akan tetapi juga berisi contoh teladan dan nasihat orang tua,

terutama kaum wanita dalam masyarakat Melayu Bengkalis pada masa itu,

mereka sudah sangat terbiasa membaca syair untuk mengisi waktu luangnya,

terlebih pada malam hari menjelang tidur. Dengan demikian, pesan-pesan yang

ingin disampaikan penulis melalui syair akan mudah dicerna dan dipahami.

Dalam tradisi kehidupan orang-orang Melayu, ungkapan-ungkapan dalam bentuk

pantun, syair, gurindam, peribahasa, seloka, dan lain-lain yang sering diselipkan

dalam bahasa komunikasi sehari-hari, yang di dalamnya mengandung petuah dan

nasihat disebut juga dengan tunjuk ajar yang berkaitan dengan seluruh aspek

kehidupan, mulai dari masalah keagamaan, sosial, kekeluargaan, akhlak, etika,

moral hingga politik.

Syair Ikan Terubuk dijumpai banyak versi yang beredar di masyarakat, salah

satunya yang terdapat dalam buku yang ditulis oleh Ulul Azmi seorang dosen

ilmu budaya Melayu di salah satu perguruan tinggi swasta terkemuka di daerah

Riau. Rangkaian syair ini menceritakan perjuangan Ikan Terubuk, salah satu jenis

ikan yang menjadi pemimpin kerajaan laut dengan daerah kekuasaan meliputi

beberapa selat, untuk mendapatkan putri nan cantik jelita bernama Puyu-Puyu dari

kerajaan air tawar. Untuk mendapatkan putri Puyu-Puyu, ia pun mengerahkan

bala pasukan yang dimilikinya untuk menerobos masuk ke kerajaan air tawar.

17
Namun, mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, pasukan Terubuk

terjerat jaring nelayan. Syair Ikan Terubuk merupakan karya sastra sarat makna

dan bernilai tinggi yang mempunyai pengaruh cukup signifikan terhadap

kehidupan masyarakat Bengkalis, khususnya di laut muara sungai Siak, Riau.

Azmi (2006: 12) mengatakan bahwa karya sastra yang diciptakan pada abad ke-19

ini dibuat oleh seorang penyair yang memiliki pengetahuan luas mengenai

kehidupan di dalam air, baik air asin maupun air tawar. Secara politik, rangkaian

Syair Ikan Terubuk menggambarkan ambisi yang gagal dari penguasa lautan,

yaitu Ikan Terubuk untuk menguasai daerah pedalaman, putri Puyu-Puyu. Jika

ditarik pada konteks awal keberadaan syair tersebut, dapat diketahui bahwa Syair

Ikan Terubuk menceritakan ambisi dari negeri pantai di wilayah Semenanjung

Melayu, yang diwakili oleh Sultan Mahmud dari Melaka untuk menaklukan

negeri-negeri di daerah pedalaman, seperti Pagarruyung, Minangkabau, dan

negeri-negeri agraris lainnya.

Pada perkembangannya, syair Ikan Terubuk mengalami pergeseran nilai dan

fungsi. Mulanya syair ini merupakan karya sastra sarat makna, kemudian beralih

fungsi menjadi mantra pengundang yang mempunyai kekuatan magis. Perubahan

dari sekedar karya sastra menjadi mantra berkekuatan magis menunjukkan adanya

pergeseran makna dan fungsi dari Syair Ikan Terubuk. Masyarakat Bengkalis

percaya bahwa pembacaan Syair Ikan Terubuk dapat mengundang ikan terubuk

yang "dipercaya" berasal dari selat Malaka agar datang berbondong-bondong ke

wilayah perairan Bengkalis untuk bertelur, beranak pinak, hingga akhirnya dapat

ditangkap oleh para nelayan setempat. Untuk menghadirkan kekuatan sakral

18
sebagai mantra pengundang. Syair Ikan Terubuk selalu dibacakan dalam upacara

mengundang Ikan Terubuk. Upacara ini disebut semah laut. Pelaksanaan upacara

semah laut dipandu oleh para bathin (tetua adat) yang berasal dari Kabupaten

Bengkalis sendiri. Dalam upacara ini, para tetua adat berperan sebagai mediator

untuk memanggil ikan-ikan terubuk.

2. Stilistika

Stilistika berasal dari bahasa Inggris yaitu stylistics, yang berarti studi

mengenai style ‘gaya bahasa’ atau ‘bahasa bergaya’. Stilistika merupakan ilmu

pemanfaatan bahasa dalam karya sastra. Penggunaan gaya bahasa secara khusus

dalam karya sastra. Gaya bahasa yang muncul ketika pengarang mengungkapkan

idenya. Gaya bahasa ini merupakan efek seni dan dipengaruhi oleh hati nurani.

Melalui gaya bahasa itu seorang penyair mengungkapkan idenya.

Simpson (2004: 2) mengatakan stylistics adalah metode penafsiran teks

yang memiliki keunggulan dalam bahasanya. Bahasa sangat penting bagi

stylisticians karena memiliki berbagai bentuk, pola, dan level yang membentuk

struktur linguistik sebagai indeks penting dari fungsi teks. Signifikansi fungsional

teks sebagai wacana bertindak sebagai pintu gerbang untuk interpretasinya.

Sementara fitur linguistik tidak dengan sendirinya merupakan makna teks, namun

akun fitur linguistik berfungsi sebagai landasan interpretasi gaya. Objek studi

yang disukai dalam gaya bahasa adalah sastra karena sastra sebagai seni tinggi

atau bentuk tulisan nonkanonikal yang lebih populer.

Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Leech dan Short (1984: 13)

menyatakan bahwa stilistika adalah studi tentang wujud performansi kebahasaan,

19
khususnya yang terdapat dalam karya sastra. Stilistika juga bertujuan untuk

menentukan seberapa jauh dalam hal apa bahasa yang digunakan dalam sastra

memperlihatkan penyimpangan dan bagaimana pengarang menggunakan tanda-

tanda linguistik untuk mencapai efek khusus. Selanjutnya Nurgiyantoro (2014:

74) mengungkapkan stilistika berkaitan erat dengan stile. Stile merupakan teknik

untuk memilih pengungkapan bahasa yang dapat mewakili sesuatu yang akan

diungkapkan dan sekaligus mencapai efek keindahan yang mana dalam stile

tersebut terdapat unsur-unsur seperti bunyi, leksikal, pemajasan, penyiasatan

struktur, dan citraan. Stilistika adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan

gaya bahasa di dalam karya sastra (Sudjiman 1993: 3).

Kajian stilistika akan memberi keuntungan besar bagi studi sastra jika dapat

menentukan suatu prinsip yang mendasari kesatuan karya sastra, dan jika dapat

menemukan suatu tujuan estetika umum yang menonjol dalam sebuah karya sastra

dari keseluruhan unsurnya (Wellek 1989: 229). Kajian stilistika diarahkan untuk

membahas isi karya sastra. Kemudian juga Junus dalam Al-Ma’ruf (2009: 11)

menegaskan bahwa stilistika ialah studi terkait pemakaian bahasa dalam karya

sastra. Stilistika dipakai sebagai gabungan antara ilmu sastra dan linguistik.

Implementasinya adalah penggunaan data pemakaian bahasa dalam karya sastra.

Dengan demikian, stilistika dapat sebagai aplikasi teori linguistik pada pemakaian

bahasa dalam sastra.

Diperkuat dengan pernyataan Burke (2014: 314) yang menggabungkan

fokus kritis sastra pada pendekatan yang lebih umum daripada dalam istilah-

istilah seperti puisi/syair, gaya bahasa, atau retorika. Fokus lain dari puisi kognitif

20
terletak pada penekanannya pada efek estetika kreativitas manusia berhubungan

dengan kognisi manusia. Proses kognitif bawah sadar yang dengannya mengalami

sebuah puisi melalui perumpamaan, bahasa, dan prosodanya. Proses-proses ini

bukan semata-mata atau bahkan terutama konseptual: elemen estetika dari sensasi

dan emosi yang diartikulasikan sebagai perasaan memungkinkan untuk

mengalami puisi (dan dalam hal ini semua bentuk seni) sebagai kemiripan

kehidupan yang dirasakan melalui bentuk-bentuk yang melambangkan perasaan

manusia dan penyampai pesan. Segundo & Caballero (2016: 1) menyatakan

potensi stilistika atau gaya bahasa sebagai bidang penelitian yang dapat

mengambil manfaat dari disiplin ilmu lain dan membuktikan efektivitasnya dalam

memeriksa aspek sastra dalam teks sastra maupun di media lain.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa stilistika

merupakan merupakan ilmu yang mempelajari tentang gaya, kalau ditinjau dari

bahasa stilistika mempelajari keindahan berbahasa mencakup berbagai aspek

kebahasaan di antaranya bahasa kiasan, majas, citraan, aspek bunyi, diksi, dan

yang lainnya.

Kajian stilistika pada hakikatnya adalah aktivitas mengekplorasi kreativitas

penggunaan bahasa. Kajian stilistik membawa ke pemahaman tentang bagaimana

bahasa dapat dikreasikan dan didayakan sedemikian rupa baik lewat

penyimpangan, pengulangan, penekanan, bahkan penciptaan ungkapan baru.

Simpson dalam Nurgiyantoro (2014: 76) bahwa objek kajian stilistika meliputi

seluruh aspek kebahasaan, mulai dari aspek bunyi, diksi, sampai grafologi dan

bahkan bentuk visual dalam puisi. Namun, dalam praktiknya pembaca diberi

21
kebebasan memilih unsur-unsur tertentu yang diminati. Tanda-tanda stilistika itu

sendiri yaitu: 1) fonologi, meliputi pola ucapan, irama, efek bunyi, dan irama; 2)

sintaksis, meliputi pemendekan, pembalikkan, pengulangan, dan penghilangan

unsur-unsur; 3) leksikal, meliputi diksi; 4) retorika, meliputi permajasan (bahasa

figuratif), penyiasatan struktur dan pencitraan (Nurgiyantoro, 2013: 374).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kajian stilistika merupakan

penjembatan antara bahasa dan sastra untuk saling memahami antarkeduanya.

Stilistika hadir untuk mengupas lebih dalam keindahan yang ada di dalam bahasa

sehingga makna yang disampaikan oleh penulis dapat tersalurkan. Kajian stilistika

berupaya menunjukkan bagaimana unsur-unsur suatu teks berkombinasi

membentuk suatu pesan. Pada penelitian ini penulis mengambil unsur-unsur yang

ada dalam kajian stilistika seperti bunyi, kata/diksi, majas dan penyiasatan

struktur yang terdapat dalam teks sastra syair Ikan Terubuk.

a. Unsur-Unsur Stilistika

1) Bunyi

Bunyi merupakan salah satu unsur yang membentuk syair. Bunyi tersebut

dapat menciptakan dan menambah keindahan. Pradopo (2005: 22) menyatakan

bahwasanya bunyi dapat memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan

menimbulkan bayangan angan yang jelas serta menimbulkan suasana yang khusus

serta keindahan. Selanjutnya, Nurgiantoro (2015: 154) mengatakan hal yang perlu

dikaji dalam mengkaji unsur bunyi sebagai bagian dari kajian stilistika adalah

persoalan yang berkaitan dengan sarana kepuitisan apa saja yang digunakan dan

didayakan untuk menghasilkan bunyi yang indah serta memiliki efek keindahan

22
dan kepuitisan pada sebuah puisi. Sarana yang dimaksud antara lain berwujud

persajakan/rima, irama, orkestrasi, dan fungsi bunyi lainnya. Pada penelitian ini

penulis memilih untuk menelaah unsur bunyi persajakan atau rima yang

digunakan dalam syair Ikan Terubuk.

Rima merupakan salah satu unsur penting dalam puisi atau syair. Melalui

rima inilah, keindahan suatu puisi tercipta. Rima tidak selalu berada diakhir baris

dalam satu bait. Rima juga dapat ditemukan dalam satu baris. Rima adalah bentuk

perulangan bunyi pada suatu rangkaian puisi. Suatu puisi atau syair pasti memiliki

suatu pola rima tertentu. Rima dan diksi disusun dan digabungkan dengan baik

sehingga akan membentuk suatu keindahan bunyi.

Sayuti (2002: 104) mengatakan persajakan dalam puisi merupakan

perulangan bunyi yang sama dalam puisi. Unsur bunyi dalam puisi, pada

umumnya dapat diklasifikasikan sebagai berikut. Dilihat dari segi bunyi itu

sendiri dikenal adanya sajak sempurna, sajak paruh, aliterasi, dan asonansi; dari

posisi kata yang mengandungnya dikenal adanya sajak awal, sajak tengah (sajak

dalam), dan sajak akhir; dan dari segi hubungan antarbaris dalam tiap bait dikenal

adanya sajak merata (terus), sajak berselang, sajak berangkai, dan sajak berpeluk.

Kadang-kadang berbagai macam ulangan bunyi (persajakan) tersebut dapat

ditemukan dalam sebuah puisi.

Wiyatmi (2006: 58) mengungkapkan unsur bunyi dalam puisi pada

umumnya dapat diklasifikasikan dari segi bunyi itu sendiri dikenal adanya sajak

sempurna, sajak paruh, asonansi, dan aliterasi. Dilihat dari posisi kata yang

mendukung dikenal adanya sajak awal, sajak tengah (sajak dalam), dan sajak

23
akhir dan berdasarkan hubungan antarbaris dalam tiap bait dikenal adanya sajak

merata (terus), sajak berselang, sajak berangkai, dan sajak berpeluk. Sajak

sempurna adalah ulangan bunyi yang timbul sebagai akibat ulangan kata tertentu.

Sajak paruh merupakan ulangan bunyi yang terdapat pada sebagian baris dan kata-

kata tertentu. Asonansi adalah ulangan bunyi vokal yang terdapat pada baris-baris

puisi dan menimbulkan irama tertentu, sementara aliterasi adalah ulangan bunyi

konsonan. Sajak awal adalah ulangan bunyi yang terdapat pada tiap awal baris,

sementara sajak tengah terdapat pada tengah baris, dan sajak akhir terdapat pada

akhir baris. Sajak merata yang ditandai pada ulangan bunyi a-b-a-b disemua akhir

baris, sajak berangkai ditandai dengan ulangan bunyi a-a-b-b, dan sajak berpeluk

ditandai dengan ulangan bunyi a-b-b-a (Wiyatmi 2006: 58).

Berdasarkan berbagai jenis persajakan tersebut, penelitian ini akan mengkaji

persajakan atau rima yang digunakan dalam syair Ikan Terubuk dengan hubungan

antarbaris dalam tiap bait. Ada beberapa pola rima yang dipakai dalam penulisan

puisi, antara lain: pola (a-a-a-a) pada bait puisi mempunyai rima dengan pola ini

artinya keempat barisnya mempunyai akhiran dengan bunyi yang sama semua

pola ini juga sering disebut dengan rima terus. Pola (a-a-b-b) pada bait puisi

mempunyai rima dengan pola ini artinya dua baris pertama mempunyai akhiran

dengan bunyi yang sama dan dua baris terakhir mempunyai akhiran dengan bunyi

yang sama juga tetapi berbeda dengan bunyi akhiran kedua baris pertama pola ini

juga sering disebut sebagai rima pasang.

Pola (a-b-a-b) pada bait puisi mempunyai rima dengan pola ini artinya baris

pertama dan ketiga mempunyai akhiran dengan bunyi yang sama dan baris kedua

24
dan keempat mempunyai akhiran dengan bunyi yang sama juga tetapi berbeda

dengan bunyi akhiran baris pertama dan ketiga, sering disebut juga sebagai rima

silang (a-b-b-a). Bait puisi mempunyai rima dengan pola ini artinya baris pertama

dan keempat mempunyai akhiran dengan bunyi yang sama dan baris kedua dan

ketiga mempunyai akhiran dengan bunyi yang sama juga tetapi berbeda dengan

bunyi akhiran baris pertama dan keempat, sering juga disebut rima peluk.

2) Kata/Leksikal

Unsur leksikal yang membangun sebuah puisi atau syair yag dimaksud

mengacu pada penggunaan diksi atau pilihan kata oleh penyair. Bagaimana

penyair menggunakan kata-kata yang dapat mewakili jalannya suatu cerita.

Nurgiyantoro (2013: 390) menyatakan unsur leksikal sama pengertiannya dengan

diksi, yaitu mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja

dipilih penyair. Abrams dalam Wiyatmi, (2006: 63) menyatakan bahwa diksi

adalah pilihan kata atau frase dalam karya sastra. Setiap penyair akan memilih

kata-kata yang tepat sesuai dengan maksud yang diungkapkan dan efek puitis

yang ingin dicapai. Diksi seringkali juga menjadi ciri khas penyair atau zaman

tertentu. Diksi merupakan salah satu unsur yang ikut membangun keberadaan

puisi, berarti pemilihan kata yang dilakukan oleh penyair untuk mengekspresikan

gagasan dan perasaan-perasaan yang bergejolak dan menggejala dalam dirinya

Sayuti (2002: 143).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa diksi

adalah pilihan kata yang digunakan oleh pengarang dalam membuat membuat

sebuh karya sastra untuk mengekspresikan maksud dan memunculkan keindahan

25
karyanya. Nurgiyantoro (2013: 391) mengungkapkan untuk keperluan analisis

leksikal sebuah teks sastra dapat dilakukan berdasarkan tinjauan secara umum

seperti kata yang digunakan sederhana atau kompleks, formal atau kolokial, arah

makna kata yang ditunjuk bersifat referensial atau asosiatif, denotasi atau

konotasi, dan dapat dilakukan identifikasi berdasarkan jenis kata yang digunakan.

Identifikasi jenis kata merupakan identifikasi jenis kata apa yang digunkan oleh

pengarang seperti kata benda, kata kerja, kata sifat, kata bilangan, dan kata tugas.

Berdasarkan beberapa jenis analisis leksikal yang dapat digunakan tersebut,

penelitian ini akan mengkaji leksikal/kata yang digunakan dalam syair Ikan

Terubuk berdsasrkan jenis kata yang digunakan. Setelah identifikasi selesai

dilakukan masing-masing pemunculan bentuk kata dihitung untuk menentukan

jumlah frekuensi dan presentase masing-masing jenis kata untuk mengetahui jenis

kata yang dominan digunakan dalam teks syair Ikan Terubuk.

3) Pemajasan

Pemajasan merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan

yang maknanya tidak menunjuk pada makna harafiah kata-kata yang

mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat

(Nurgiyantoro, 2014: 215). Dengan demikian, pemajasan merupakan gaya yang

sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kiasan agar

terjadinya efek kepuitisan dan keindahan. Pemajasan memiliki bermacam jenis

yang jumlahnya relatif banyak, namun secara garis besar dapat dikelompokkan ke

dalam majas perbandingan dan pertautan. Majas perbandingan antara lain berupa

bentuk simile (perbandingan langsung), metafora (perbandingan tidak langsung),

26
personifikasi, dan alegori, sedangkan majas pertautan berupa metonimi dan

sinekdoki. Bentuk-bentuk majas itu yang sering dipergunakan ditemukan dalam

puisi atau pun syair dan pada penelitian ini penulis akan menggunakan

pengelompokkan majas di atas sebagai landasan teori untuk menemukam

pemajasan yang terdapat pada teks syair Ikan Terubuk.

a) Simile

Simile adalah majas perbandingan antara dua hal yang berbeda tetapi sengaja

dianggap sama atau menyamakan satu hal dengan hal lain dengan

mempergunakan kata-kata pembanding, seperti: bagai, sebagai, bak, seperti,

semisal, seumpama, laksana, sepantun, penaka, dan kata-kata pembanding yang

lain (Pradopo, 2000: 62). Hal serupa juga diungkapkan Keraf (2007: 138). Simile

adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Gaya bahasa ini mengungkapkan

sesuatu dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan

pengubung, seperti layaknya, bagaikan, dan sebagainya.

b) Metafora

Metafora adalah majas yang menyamakan satu hal yang sama atau seharga

dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama tetapi tidak mempergunakan kata-

kata pembanding. Metafora langsung menggantikan hal yang dibandingkan

dengan pembandingnya, selain itu metafora memberi arti yang lebih luas dan

memberi gambaran yang lebih hidup daripada majas simile (Pradopo, 2000: 66).

Hubungan antara sesuatu yang dinyatakan pertama dengan yang kedua hanya

bersifat sugestif, tidak ada kata-kata penunjuk perbandingan eksplisit

(Nurgiyantoro, 2014: 224). Oleh karena itu, metafora disebut sebagai

27
perbandingan antara dua hal yang berbeda secara implisit dengan menggunakan

kalimat yang singkat dan padat. Hal senada juga di ungkapkan Keraf (2007: 139).

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung,

tetapi dalam bentuk yang singkat contohnya, bunga bangsa, buaya darat, buah

hati, cindera mata, dan sebagainya. Metafora sebagai perbandingan langsung tidak

mempergunakan kata seperti, bak, bagai, laksana, dan sebagainya, sehingga pokok

pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Proses terjadinya

sebenarnya sama dengan simile tetapi secara berangsur-angsur keterangan

mengenai persamaan dan pokok utama dihilangkan.

c) Personifikasi

Personifikasi adalah majas yang memberikan sifat-sifat kemanusiaan kepada

barang yang tidak bernyawa atau disebut penginsanian, yaitu menyamakan benda

dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya

seperti manusia. Dengan kata lain, majas yang menggambarkan benda-benda tak

hidup atau bernyawa, seolah-olah memiliki sifat-sifat insani atau hidup (Pradopo,

2000: 75). Hal serupa juga diungkapkan Keraf (2007: 140). Personifikasi adalah

semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau

barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan.

d) Alegori

Majas alegori merupakan kiasan dalam sebuah cerita untuk mengumpamakan

sesuatu atau menerangkan sesuatu. Jadi, majas alegori itu terdiri dari rangkaian

beberapa kalimat bergaya bahasa yang menerangkan sesuatu misalnya nilai

kehidupan, gagasan, cita-cita, kebijaksaan dan lainnya. Majas alegori sebenarnya

28
masih termasuk ke dalam majas perbandingan. Ada perasamaan antara majas

metafora dengan alegori yakni adanya unsur yang dibandingkan dengan unsur

pembandingnya. Namun, jika pada majas metafora perbandingan unsur tersebut

diekspresikan dalam larik atau kata-kata tertentu, dalam amajas alegori

pembandingan itu mencakup keseluruhan makna teks yang bersangkutan

(Nurgiyantoro, 2014: 239). Berdasarkan penjelasan di atas majas alegori bisa

dikatakan adalah menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau

penggambaran.

e) Metonimi
Majas metonimi adalah bentuk pengungkapan berupa penggunaan nama

untuk benda lain yang menjadi merk, ciri khas atau menjadi atribut. Majas

metonimi merupakan sebuah ungkapan yang menunjukkan adanya pertautan atau

pertalian yang dekat antara kata-kata yang disebut dan makna yang sesungguhnya

(Nurgiyantoro, 2014: 243). Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa

majas metonimi adalah kiasan yang menyebut nama lain untuk suatu benda.

f) Sinekdoki

Majas sinekdoki adalah sebuah ungkapan dengan cara menyebut bagian

tertentu yang penting dari suatu untuk sutu itu sendiri. Sinekdoki berasal dari kata

bahasa Yunani synekdechesthai yang berarti menerima bersama-sama. Sinekdoke

yaitu semacam bahasa figuratif yang menggunakan sebagian dari sesuatu hal yang

menyatakan keseleuruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk

menyatakan sebagian (totumpro parte). (Nurgiyantoro, 2014: 243).

29
4) Penyiasatan Struktur

Penyiasatan struktur (figuresbof speech) merupakan istilah lain dari sarana

retorika, sering dikenal dengan sebutan gaya bahasa. Penyiasatan struktur bermain

di ranah struktur, dimaksudkan sebagai struktur yang sengaja disiasati,

dimanipulasi, dan didayakan untuk memperoleh efek keindahan. Dalam kaitannya

dengan tujuan untuk mencapai efek retoris sebuah pengungkapan, penyiasatan

struktur (rhetorical figures) lebih menonjol daripada pemajasan, namun keduanya

dapat digabungkan dalam sebuah struktur (Nurgiyantoro, 2014: 245).

a) Repetisi

Penyiasatan struktur yang banyak ditemukan dalam teks sastra adalah

repetisi. Repetisi adalah bentuk pengulangan baik berupa pengulangan bunyi,

kata, bentukan kata, frase, kalimat, maupun bentuk lain yang bertujuan

memperindah penuturan. Bentuk-bentuk repetisi dapat mencakup berbagai unsur

kebahasaan seperti bentuk repetisi, paralelisme, anafora, polisindenton, dan

asindenton (Nurgiyantoro, 2014:247).

Berikut beberapa bentuk stile repetisi. Pertama, repetisi adalah gaya bahasa

yang mengandung pengulangan bunyi, suku kata, kata, frase ataupun bagian

kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah tulisan.

Kelompok kata yang diulang bisa terdapat dalam satu kalimat atau lebih, berada

pada posisi awal, tengah atau di tempat yang lain. Kedua, paralelisme adalah

semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian

kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk

gramatikal yang sama atau dengan kata lain paralelisme adalah mengulang isi

30
kalimat yang dimaksud dan tujuannya sama. Ketiga, anafora merupakan

pengulangan kata-kata pada awal beberapa kalimat yang berurutan. Keempat,

polisindenton merupakan pengulangan kata tugas tertentu, misalnya kata "dan"

dalam sebuah kalimat yang menghubungkan gagasan, rincian, penyebutan atau

sesuatu yang lain yang sejajar dan seimbang. Kelima, asindenton merupakan

pengulangan pungutasi, tanda baca dalam sebuah gagasana atau kalimat pada

sebuah puisi atau syair (Nurgiyantoro, 2014: 248).

b) Pengontrasan

Gaya pengontrasan atau pertentangan adalah suatu bentuk gaya yang

menuturkan sesuatu secara berkebalikan dengan sesuatu yang disebut secara

harfiah. Hal yang dikontraskan dapat berwujud fisik, keadaan, sikap dan sifat,

karakter, aktivitas, kata-kata, dan lain-lain tergantung konteks pembicaraan.

Berwujud majas hiperbola, litotes, paradoks ironi dan sarkasme (Nurgiyantoro,

2014: 260).

Pertama, hiperbola merupakan gaya bahasa biasanya dipakai jika

seseorang bermaksud melebihkan sesuatu yang dimaksudkan dibandingkan

keadaan yang sebenarnya dengan maksud untuk menekankan penuturannya.

Makna yang ditekankan atau dilebih-lebihkan sering menjadi tidak masuk akal

untuk ukuran nalar biasa. Kedua, litotes merupakan kebalikan dari hiperbola di

mana hiperbola melebih-lebihkan, namun litotes malah sebaliknya dengan

mengecilkan fakta dari yang sesungguhnya dengan tujuan untuk merendahkan

diri. Paradoks adalah majas yang mengandung pertentangan antara pernyataan

31
dan fakta yang ada. Ketiga, ironi adalah majas yang menyatakan hal yang

bertentangan dengan maksud untuk menyindir seseorang, gaya bahasa ironi

bermaksud menyindir, tapi dengan cara yang halus. Keempat, sarkasme adalah

majas sindiran yang paling kasar. Majas ini biasanya diucapkan oleh orang yang

sedang marah (Nurgiyantoro, 2014: 261).

c) Susunan Lain

Penyiasatan struktur yang terlihat intensif dipergunakan adalah yang

berbasis pada pengulangan. Masih ada stile bentuk penyiasatan struktur lain yang

dipergunakan dalam teks sastra. Misalnya, gaya pertanyaan retoris, klimaks,

antiklimaks, antitesis, dan lain-lain. Pertanyaan retoris merupakan gaya yang

menekankan pengungkapan dengan menampilan beberapa pertanyaan yang

sebenarnya tidak menghendaki jawaban. Klimaks merupakan majas yang

menyatakan beberapa hal secara berturut-turut dan makin lama makin meningkat.

Antiklimaks merupakan majas yang menyatakan beberapa hal secara berturut-turut

yang makin lama semakin menurun. Antitesis adalah majas yang mempergunakan

pasangan kata yang berlawanan artinya (Nurgiyantoro, 2014:271).

5) Citraan

Citraan merupakan penggunaan kata-kata dan ungkapan yang mampu

membangkitkan tanggapan indra. Citra (image) dan citraan (imagery) menunjuk

pada adanya reproduksi mental. Citra merupakan gambaran berbagai pengalaman

sensoris yang dibangkitkan oleh kata-kata. Abrams & Kenny dalam Nurgiyantoro

(2012: 276) menyatakan citraan merupakan kumpulan citra yang dipergunakan

untuk menuliskan objek dan kualitas tanggapan indra yang dipergunakan dalam

32
karya sastra, baik dengan deskripsi secara harafiah maupun kias. Citraan

merupakan salah satu unsur stile yang penting karena berfungsi mengonkretkan

dan menghidupkan penuturan (Nurgiyantoro, 2014: 275). Citraan terkait dengan

panca indra manusia. Kelima jenis citraan itu adalah citraan penglihatan (visual),

pendengaran (auditoris), gerak (kinestetik), rabaan (taktil termal), dan penciuman

(olfaktori).

a) Citraan visual

Citraan visual adalah citraan yang terkait dengan pengonkretan objek yang

dapat dilihat oleh mata, dapat dilihat secara visual. Objek visual adalah objek

yang tampak seperti meja, kursi, jendela, pintu, dan lain-lain. Benda-benda yang

secara ilmiah kasat mata tersebut dapat dilihat secara mental lewat rongga

imajinasi walau secara faktual benda-benda tersebut tidak ada di sekitar pembaca,

lengkap dengan spesifikasi rinciannya merupakan objek penglihatan imajinatif

yang sengaja dibangkitkan penulis (Nurgiyantoro, 2014: 279).

b) Citraan Auditif

Citraan pendengaran (auditif) adalah pengonkretan objek bunyi yang

didengar oleh telinga. Pembangkitan bunyi-bunyi alamiah tertentu lewat penataan

kata-kata tertentu dapat memberikan efek pengonkretan dan alamiah sehingga

penuturan terlihat lebih teliti dan meyakinkan (Nurgiyantoro, 2014: 281).

c) Citraan Gerak

Citraan gerak (kinestetik) adalah citraan yang terkait dengan pengonkretan

objek gerak yang dapat dilihat oleh mata. Penghadiran berbagai aktivitas baik

yang dilakukan oleh manusia maupun oleh makhluk atau hal-hal lain lewat

33
penataan kata-kata tertentu secara tepat dapat mengonkretkan dan menghidupkan

penuturan sehingga terlihat lebih teliti dan meyakinkan (Nurgiyantoro, 2014:282).

d) Citraan Rabaan dan Penciuman

Citraan rabaan (taktil termal) dan penciuman (olfaktori) menunjuk pada

pelukisan rabaan dan penciuman secara konkret walau hanya terjadi di prongga

imajinasi pembaca. Keduanya dimaksudkan untuk mengonkretkan dan

menghidupkan sebuah penuturan (Nurgiyantoro, 2014: 283).

b. Stilistika Kultural

Stilistika merupakan sebuah ilmu yang mengkaji fungsi artistik penggunaan

bahasa dalam berbagai konteks, termasuk karya sastra. Stilistika menjelaskan

perihal ketepatan dan ketidaktepatan penggunaan berbagai unsur bahasa dalam

sebuah teks. Stilistika berada dalam persinggungan studi linguistik, sastra, dan

kultur (Zyngier dalam Nurgiyantoro, 2014: 87). Stilistika sebagai salah satu kajian

untuk menganalisis karya sastra. Stile adalah sebuah seleksi terhadap berbagai

potensi bahasa yang ada pada sebuah bahasa, baik disadari maupun tidak oleh

penuturnya. Seleksi itu digunakan tidak hanya untuk memperindah bahasa saja,

namun juga digunakan agar mampu mendukung muatan makna secara tepat.

Muatan makna tersebut dalam beberapa hal juga kan dipengaruhi atau bahkan

ditentukan oleh nilai-nilai, norma, konvensi sosial atau ideologi masyarakat

bahkan budaya pengguna bahasa tersebut (Nurgiyantoro, 2014: 84).

Hal ini juga menujukkan bahwa stile atau gaya bahasa sebagai unsur stilitika

yang digunakan seorang penyair juga dipengaruhi oleh kultur dan budaya yang

berkembang dimasyarakatnya. Tanpa keindahan bahasa, karya sastra menjadi

34
hambar. Keindahan suatu karya sastra pasti dipengaruhi oleh kemampuan penulis

mengolah kata, latar belakang kultur, dan budaya penulisnya. Keindahan karya

sastra juga memberikan bobot penilaian pada karya sastra itu. Seperti yang telah

dijelaskan pada bagian sebelumnya pengkajian stilistika adalah terletak pada

penggunaan bahasa dan gaya bahasa suatu sastra, dengan tujuan utamanya adalah

meneliti efek estetika dan keindahan suatu bahasa. Keindahan juga merupakan

bagian pengukur dan penentu dari sebuah sastra yang bernilai.

Stilistika kultural merupakan suatu pendekatan yang dipakai dalam

pengkajian gaya sebuah teks yang sarat muatan makna filosofis-kultural.

Pemahaman gaya sebuah teks akan lebih tepat jika dilakukan dengan berangkat

dan atau mempertimbangkan aspek kultur yang melatarbelakanginya. Teks sastra

yang mengangkat aspek kultur masyarakat tampaknya lebih tepat jika didekati,

dianalisis, atau dipahami dengan pendekatan stilistika kultural. Ada banyak karya

sastra nusantara yang mengangkat latar belakang budaya Melayu dengan aspek

filosofis dan budayanya. Salah satunya adalah syair Melayu Ikan Terubuk yang

mengisahkan kondisi sosial dan budaya masyarakat Melayu. Melalui pendekatan

ini makna sebuah teks kesastraan dapat dipahami, digali, dan dijelaskan dengan

baik. Pendekatan ini juga penulis gunakan untuk pendekatan stilistika kultural

untuk menjelaskan makna-makna budaya yang terdapat didalam teks syair

Melayu Ikan Terubuk.

35
3. Nilai Pendidikan Karakter

a. Pengertian Nilai Pendidikan Karakter

Nilai adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek. Nilai suatu

benda berarti kualitas baik atau buruknya benda. Pada hakikatnya nilai adalah

suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan yang ada. Menilai

berarti menimbang suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan dengan yang

lain kemudian diambil keputusannya (Kaelan, 2004: 87). Selanjutnya Lubis

(2008: 18) mengatakan bahwa nilai merupakan esensi yang melekat pada sesuatu

yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Keberadaan nilai akan menjadi

tampak, seiring dengan kebutuhan yang diperlukan terhadap sesuatu tersebut.

Nilai dapat dikatakan sebagai sesuatu yang berguna bagi kehidupan manusia.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian

nilai adalah pandangan atau anggapan terhadap sesuatu hal yang dilihat dari

berbagai sudut pandang sehingga seseorang dapat menyebut sesuatu hal itu bagus

atau baik atau buruk dan sebagainya.

Karakter adalah nilai-nilai yang unik baik yang terpatri dalam diri dan

terejawantahkan dalam perilaku. Koesoema (2010: 79) mendefinisikan karakter

sebagai kondisi dinamis struktur antropologis individu yang tidak mau sekedar

berhenti atas determinasi kodratinya, melainkan juga usaha hidup untuk menjadi

semakin integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya sediri sebagai proses

penyempurnaan dirinya terus menerus. Karakter sebagai identitas atau jati diri

suatu bangsa merupakan nilai dasar perilaku yang menjadi acuan tata nilai

interaksi antarmanusia. Secara universal berbagai karakter dirumuskan sebagai

36
nilai hidup bersama berdasarkan atas pilar, kedamaian (peace), menghargai

(respect), kerja sama (cooperation), kebebasan (freedom), kebahagiaan

(happiness), kejujuran (honesty), kerendahan hati (humility), kasih sayang (love),

tanggung jawab (responsibility), kesederhanaan (simplicity), toleransi (tolerance),

dan persatuan (unity) (Samani dan Hariyanto, 2012: 43).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Almerico (2014: 4) menunjukkan

karakteristik dari program pengembangan karakter yang efektif untuk kelas K-6

yang dibangun di sekitar literatur anak-anak. Diskusi berfokus pada bagaimana

sastra dapat dimasukkan ke dalam kurikulum dalam membantu mengembangkan

sifat-sifat karakter secara bermakna dan substansial. Hal tersebut dilakukan

dengan mengintegrasikan pengajaran karakter dengan pengajaran keaksaraan

berbasis penelitian melalui literatur anak-anak. Pendidikan karakter memeringkat

sifat-sifat karakter dan merekomendasikan ciri-ciri karakter berikut yang penting

untuk dimasukkan dalam kurikulum pengembangan karakter berbasis keaksaraan:

(1) kepedulian, kasih sayang, kebaikan, dan empati, (2) kewarganegaraan, (3)

keberanian, (4) keadilan, (5) kejujuran dan kepercayaan, (6) integritas, (7)

kepemimpinan, (8) ketekunan dalam membangun dan mencapai tujuan, (9) rasa

hormat, (10) tanggung jawab, dan (11) kerja tim dan kerja sama. Ciri-ciri karakter

ini diakui secara universal oleh orang-orang dari semua lapisan masyarakat dan

melampaui kepercayaan agama dan budaya yang berasal dari latar belakang

berbeda yang mungkin memiliki keyakinan berbeda.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa karakter adalah

watak atau sifat batin atau dalam diri manusia yang mempengaruhi seluruh

37
pikiran dan tindakan yang membedakan seseorang dengan yang lainnya. Karakter

dapat dibentuk dengan memberikan pengetahuan pendidikan karakter melalui

pembelajaran, pengamatan dan pemberian teladan yang baik dan positif untuk

dicermati dan diimplementasikan dalam kehidupan.

Pendidikan karakter disebut sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi

pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan

kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara

apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan

sepenuh hati. Berdasarkan hal itu, pendidikan karakter bukan sekedar

mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan

karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik

sehingga peserta didik menjadi faham (kognitif) tentang mana yang benar dan

salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya

(psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan

bukan saja aspek pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga

merasakan dengan baik atau loving good (moral feeling), dan perilaku yang baik

(moral action) (Wibowo, 2012: 44).

Syafaruddin (2012: 181) menyatakan bahwa pendidikan karakter merupakan

proses menanamkan karakter tertentu sekaligus menanamkan benih agar peserta

didik mampu menumbuhkan karakter khasnya pada saat menjalankan

kehidupannya, dengan kata lain peserta didik tidak hanya memahami pendidikan

nilai sebagai bentuk pengetahuan, namun juga menjadikannya sebagai bagian dari

hidup dan secara sadar hidup berdasarkan nilai tersebut. Pendidikan karakter

38
adalah upaya sadar dan sunguh-sungguh dari seoarng guru untuk mengajarkan

nilai-nilai kepada siswanya (Winton dalam Samani & Hariyanto, 2012: 43).

Pendidikan karakter adalah membangun manusia yang utuh antara jasmani dan

rohani, keseimbangan antara kecerdasan dalam berpikir, sikap, dan serta alchlak

mulia yang sesuai tatanan nilai dan norma yang ada di masyarakat dan tuntutan

ajaran agama (Anawas, 2011: 683). Lickona (2015: 82) mengemukakan

pendidikan karakter merupakan usaha yang dilakukan dengan sengaja untuk

mengembangkan kebajikan yang memampukan kita mengarah para kehidupan

yang saling memenuhi dan membangun dunia yang lebih baik.

Alex Ogbola dan Kaun Chen Tsei dalam jurnal penelitiannya menjelaskan

bahwa pendidikan karakter merupakan disiplin yang berkembang dengan usaha

yang disengaja untuk mengoptimalkan perilaku IOR etika siswa. Hasil dari

pendidikan karakter selalu menggembirakan, kokoh, dan terus mempersiapkan

pemimpin masa depan. Promosi pendidikan karakter seharusnya tidak hanya

layanan lompatan tetapi memiliki rencana aksi untuk latihan. Dengan kata lain,

kebijakan pendidikan harus memimpin untuk mengaktualisasikan pendidikan

moral. Secara bersama-sama, orang tua, guru, dan administrator sebagai

stakeholder harus bergabung kamp ini untuk mendorong siswa dalam rangka

mewujudkan nilai-nilai yang baik dalam hidup mereka. (Agboola, 163: 2012).

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa

pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk

mengembangkan kepribadian, menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter

dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa sehingga peserta didik

39
menjadi pribadi religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri,

demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai

prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli

lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab di lingkungan masyarakat.

Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi

pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan

kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik buruk, memelihara

apa yang baik, dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh

hati.

b. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter

Kesuma (2011: 5) menjelaskan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah

usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak

dan mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat

memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Ramli (2011: 32)

mengatakan bahwa pendidikan karakter memiliki esensi makna dan makna yang

sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah

membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik warga masyarakat

dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, dan warga

negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa secara umum adalah nilai-

nilai sosial tertentu yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan

bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks

pendidikan Indonesia adalah pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari

budaya bangsa Indonesia sendiri dalam rangka membina kepribadian generasi

40
muda. Tujuan pendidikan karakter membesarkan anak-anak sebagai wawasan,

peduli, orang-orang berjiwa benar dan individu yang menggunakan kapasitas

terbaik mereka untuk melakukan yang terbaik, dan yang memahami tujuan hidup

(Turan & Ulutas 2016).

Muwafik (2011: 15) berpendapat bahwa karakter memberikan gambaran

tentang suatu bangsa, sebagai penanda, penciri sekaligus pembeda suatu bangsa

dengan bangsa lainnya. Karakter memberikan arahan tentang bagaimana bangsa

itu menapaki dan melewati suatu zaman dan mengantarkannya pada suatu derajat

tertentu. Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki karakter yang mampu

membangun sebuah peradaban. Membangun karakter bangsa menjadi tanggung

jawab bersama dan semua komponen bangsa untuk menyingsingkan lengan baju

dalam rangka membangun karakter yang kuat khas.

Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan

dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan

karakter atau akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu dan seimbang, sesuai

standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik

mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya,

mengkaji, dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan

akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.

Pendidikan karakter secara terperinci memiliki lima tujuan. Pertama,

mengembangkan potensi kalbu atau nurani peserta didik yang memiliki nilai-nilai

karakter bangsa. Kedua, mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik

yang terpuji dan sejalan dengan tradisi budaya bangsa yang religius. Ketiga,

41
menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggungjawab. Keempat, mengembangkan

kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, dan

berwawasan kebangsaan. Kelima, mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah

sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan

dan dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dengan rasa

kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity ) (Hasan 2010: 20). Salah

satu cara untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan karakter maka diperlukan

strategi-strategi yang tepat.

Hasil penelitian Djailani (2013: 49) di sekolah unggulan Banda Aceh yang

menerapkan pembentukan karakter siswa dengan menggunakan strategi, yaitu:

memberikan pemahaman tentang karakter/kepribadian peserta didik,

mengembangkan budaya Islam di sekolah, membangun karakter melalui forum

khusus, contoh, dan sanksi bagi peserta didik yang melanggar. Strategi yang

diterapkan untuk pembangunan karakter sekolah unggulan harus dipertahankan

karena cukup sukses membentuk karakter peserta didik. Selain itu, guru dan staf

pendidikan di sekolah unggulan harus tetap tampil sebagai panutan bagi peserta

didik dalam penampilan, perilaku, dan sikap.

Pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama. Pertama, fungsi

pembentukan dan pengembangan potensi. Pendidikan karakter berfungsi

membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik agar berpikiran baik,

berhati baik sesuai dengan falsafah hidup Pancasila. Kedua, fungsi perbaikan dan

penguatan. Pendidikan karakter berfungsi memperbaiki dan memperkuat peran

keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpatisipasi

42
dan bertanggung-jawab dalam pengembangan potensi warga negara dan

pembangunan bangsa menuju bangsa yang maju, mandiri, dan sejahtera. Ketiga,

fungsi penyaring. Pendidikan karakter berfungsi memilah budaya bangsa sendiri

dan menyaring budaya bangsa yang bermartabat. (Zubaedi, 2011: 18).

Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional jelas bahwa

pendidikan di setiap jenjang harus diselenggarakan secara sistematis guna

mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter

peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan

berinteraksi dengan masyarakat. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia

yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,

lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,

perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,

budaya, dan adat istiadat.

c. Nilai-nilai Pendidikan Karakter

Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter di Indonesia

diidentifikasi dari empat sumber: (1) agama, masyarakat Indonesia merupakan

masyarakat beragama; (2) pancasila, NKRI ditegakkan atas prinsip-prinsip

kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yaitu Pancasila; (3) budaya, nilai budaya

dijadikan dasar karena tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak

didasari nilai-nilai budaya; (4) tujuan pendidikan nasional, berdasarkan Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional. (Hasan dkk, 2010: 8).

43
Berdasarkan keempat nilai tersebut, teridentifikasi 18 macam nilai dalam

pendidikan karakter, yaitu: jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri,

demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai

prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli

sosial, tanggung jawab. Dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter

bangsa ada 18 nilai-nilai pendidikan karakter yang dibuat (Kemendiknas, 2010:

109). Mulai tahun ajaran 2011 seluruh tingkat pendidikan di Indonesia harus

menyisipkan pendidikan berkarakter tersebut dalam proses pendidikannya.

Adapun 18 nilai-nilai dalam pendidikan karakter menurut Diknas adalah religius,

jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu,

semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,

bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli

sosial, dan tanggung jawab.

Berdasarkan peraturan tersebut maka hasil penelitian Novianti (2017: 256)

menunjukkan adanya pengaruh pada karakter peserta didik melalui pembelajaran

sastra seperti novel. Namun demikian, pendidikan karakter harus diintegrasikan

dengan semua mata pelajaran untuk hasil yang lebih baik. Sementara itu dalam

panduan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) tahun 2016 yang dikeluarkan

oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke-18 nilai pendidikan karakter

sebelumnya di kelompokkan menjadi lima nilai utama yang meliputi; (1) religius;

(2) nasionalis; (3) mandiri; (4) gotong royong; (5) integritas. Kelima nilai utama

karakter bangsa yang dimaksud adalah sebagai berikut.

44
1) Religius

Religius berasal dari kata religi yan merupakan kata benda yang berarti

kepercayaan kepada tuhan, kepercayaan akan adanya adikodrati di atas manusia.

Religius jiga berarti sifat sesorang yang religi. Nilai karakter religius

mencerminkan keberimanan terhadap Tuhan yang Maha Esa yang diwujudkan

dalam perilaku melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan yang dianut,

menghargai perbedaan agama, menjunjung tinggi sikap toleran terhadap

pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan lain, hidup rukun dan damai dengan

pemeluk agama lain. (Tim PPK, 2016).

Nilai karakter religius dalam agama memiliki peran dan pengaruh terhadap

pembentukan karakter dan pembangunan negeri. Dengan dasar nilai agama bisa

mendekatkan manusia dengan keyakinan yang akan dibawa hingga ke akhir

hidupnya (Lickona, 2015: 65). Orang yang religius berarti menjadikan agama

sebagai panduan keseharian dalam berpikiran dan bertingkah laku. Panduan

keagamaan menjadi nilai yang diyakini sehingga ritual dan kebiasaan yang

muncul akan dijalankan sesuai dengan keyakinan itu sendiri (Farida, 2014:38).

Nilai karakter religius ini meliputi tiga dimensi relasi sekaligus, yaitu

hubungan individu dengan Tuhan, individu dengan sesama, dan individu dengan

alam semesta (lingkungan). Nilai karakter religius ini ditunjukkan dalam perilaku

mencintai dan menjaga keutuhan ciptaan. Subnilai religius antara lain cinta damai,

toleransi, menghargai perbedaan agama dan kepercayaan, teguh pendirian,

percaya diri, kerja sama antarpemeluk agama dan kepercayaan, antibuli dan

kekerasan, persahabatan, ketulusan, tidak memaksakan kehendak, mencintai

45
lingkungan, melindungi yang kecil dan tersisih. Cinta damai merupakan sikap dan

tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi

masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.

Selanjutnya toleransi merupakan sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan

agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari

dirinya (Tim PKK, 2016). Hal serupa juga ungkapkan oleh Zuchdi (2012: 32)

yang mengatakan bahwa pelaksaaan berbagai program pembangunan karakter

yang didasari kecerdasan spritual akan menghasilkan akhlak mulia.

2) Nasionalis

Nasionalis berasal dari kata nasional yang artinya bersifat kebangsaan;

pencinta nusa dan bangsa sendiri; orang yang memperjuangkan kepentingan

bangsanya (KBBI, 2015). Nasionalisme adalah keharusan fungsional dalam

moderenitas terhadap argumen perspektif yang menyatakan bahwa sesorang

memiliki nilai moral karena bersatu tubuh dan jiwa dengan masyarakat (Frost,

2006: 20). Konsep nasionalis merupakan pilihan sesorang yang telah ditentukan

dengan tujuan membela negara. Nasionalis juga sebagai suatu sifat kebangsaan

yang berarti suatu perasan cinta kepada tanah tumpah darah, suatu perasaan halus

dalam jiwa, dan sebagai suatu yang tidak dapat hilang begitu saja. Ada perasaan

malu dan rasa dihina jika dikatakan tidak bernegara dan tidak ada tanah air

(Bakry, 1993: 140). Selanjutnya juga Farida (2014: 120) menjelaskan bahwa

nasionalisme ditunjukkan dengan memberi sumbangsih kepada tanah air dengan

segala kemampuan yang dimiliki.

46
Nilai karakter nasionalis merupakan cara berpikir, bersikap, dan berbuat

yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap

bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa,

menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan

kelompoknya. Subnilai nasionalis antara lain apresiasi budaya bangsa sendiri,

menjaga kekayaan budaya bangsa, rela berkorban, unggul, dan berprestasi, cinta

tanah air, semangat kebangsaan, menjaga lingkungan, taat hukum, disiplin,

menghormati keragaman budaya, suku, dan agama. Semangat kebangsaan

merupakan cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan

kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

Sedangkan cinta tanah air merupakan cara berpikir, bersikap, dan berperilaku

yang menunjukkan rasa kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi

terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

Disiplin merupakan tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada

berbagai ketentuan dan peraturan. Peduli lingkungan merupakan sikap dan

tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di

sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam

yang sudah terjadi (Tim PKK, 2016).

3) Mandiri

Karakter mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung

pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Mandiri adalah sikap atau

perilaku dalam bertindak yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam

menyelesaikan masalah atau tugas (Supinah dan Parmi, 2011: 24). Knowless

47
dalam Farida (2014: 128) peserta didik yang mandiri harus mempunyai kreativitas

dan inisiatif sendiri, serta mampu bekerja sendiri dengan merujuk pada bimbingan

yang diperolehnya.

Nilai karakter mandiri merupakan sikap dan perilaku tidak bergantung pada

orang lain dan mempergunakan segala tenaga, pikiran, waktu untuk

merealisasikan harapan, mimpi dan cita-cita. Subnilai mandiri antara lain etos

kerja (kerja keras), tangguh tahan banting, daya juang, profesional, kreatif,

keberanian, dan menjadi pembelajar sepanjang hayat. Kerja keras adalah kegiatan

yang dikerjakan secara sungguh-sungguh tanpa mengenal lelah atau berhenti

sebelum targetkerja tercapai dan selalu mengutamakan atau memperhatikan

kepuasan hasil pada setiap kegiatan yang dilakukan atau mempunyai sifat yang

bersungguh-sungguh untuk mencapai sasaran yang ingin dicapai. Kreatif

merupakan sikap berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau

hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. Rasa ingin tahu merupakan sikap dan

tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari

sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. Gemar membaca merupakan

kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan

kebajikan bagi dirinya (Tim PKK, 2016).

4) Gotong Royong

Pengertian gotong royong dalam KBBI adalah bekerja bersama-sama,

tolong-menolong, bantu-membantu antara anggota-anggota suatu komunitas.

Bakry (1993: 122) mengatakan gotong-royong adalah sifat yang mendorong

seseorang untuk membantu dan bekerja sama dengan orang lain dalam mencapai

48
suatu tujuan bersama. Gotong royong dilakukan atas dasar kebersamaan dan

untuk kebaikan bersama yang membangun hubungan ketergantungan antar pribadi

dalam masyarakat.

Nilai karakter gotong royong mencerminkan tindakan menghargai semangat

kerja sama dan bahu membahu menyelesaikan persoalan bersama, menjalin

komunikasi dan persahabatan, memberi bantuan/ pertolongan pada orang-orang

yang membutuhkan. Subnilai gotong royong antara lain menghargai, kerja sama,

inklusif, komitmen atas keputusan bersama, musyawarah mufakat, tolong-

menolong, solidaritas, empati, anti diskriminasi, anti kekerasan, dan sikap

kerelawanan. Komitmen atas keputusan bersama merupakan sikap dan tindakan

yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi

masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. Peduli

sosial merupakan sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada

orang lain dan masyarakat yang membutuhkan (Tim PKK, 2016).

5) Integritas

Integritas dalam KBBI adalah mutu, sifat, dan keadaan yang

menggambarkan kesatuan yang utuh, sehingga memiliki potensi dan kemampuan

memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Integritas merupakan suatu sikap di

mana ketika ucapan dan perbuatan sesuai dengan nilai yang diyakini, sesorang

yang berintegritas akan selalu berusaha melakukan perbuatan yang benar dalam

situasi apapun, keputusan yang diambil sesuai dengan kebenaran dan prinsip

hidupnya (Farida, 2014: 53). Hal serupa juga diungkapkan Aqib (2011: 87) bahwa

49
integritas ditunjukkan dengan adanya kesamaan antara ucapan dan tindakan dan

perbuatan atau satunya kata dengan perbuatan.

Integritas merupakan kesetiaan kepada nurani dan kejujuran pada diri

sendiri maupun orang lain sehingga akan membentuk karakter. Konsep integritas

berhubungan dengan konsekuensi dengan unsur-unsur seperti: keteguhan dalam

memegang prinsip moral, istiqomah dalam tindakan, dan kesesuaian ucapan

dengan tindakan (McCain & Mark, 2009). Nilai karakter integritas merupakan

nilai perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang

selalu jujur, dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, memiliki

komitmen dan kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral (Tim PKK,

2016).

Karakter integritas meliputi sikap tanggung jawab sebagai warga negara,

aktif terlibat dalam kehidupan sosial, melalui konsistensi tindakan dan perkataan

yang berdasarkan kebenaran. Sub-nilai integritas antara lain kejujuran, cinta pada

kebenaran, setia, komitmen moral, anti korupsi, keadilan, tanggungjawab,

keteladanan, dan menghargai martabat individu (terutama penyandang

disabilitas). Jujur merupakan perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan

dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan

pekerjaan. Tanggungjawab ialah sikap dan perilaku seseorang untuk

melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap

diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan

Yang Maha Esa (Tim PKK, 2016).

50
Kelima nilai utama karakter bukanlah nilai yang berdiri dan berkembang

sendiri-sendiri melainkan nilai yang berinteraksi satu sama lain, yang berkembang

secara dinamis dan membentuk keutuhan pribadi. Dari nilai utama manapun

pendidikan karakter dimulai, individu dan sekolah perlu mengembangkan nilai-

nilai utama lainnya baik secara kontekstual maupun universal. Nilai religius

sebagai cerminan dari iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa diwujudkan

secara utuh dalam bentuk ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-

masing dan dalam bentuk kehidupan antarmanusia sebagai kelompok, masyarakat,

maupun bangsa. Dalam kehidupan sebagai masyarakat dan bangsa nilai- nilai

religius dimaksud melandasi dan melebur di dalam nilai-nilai utama nasionalisme,

kemandirian, gotong royong, dan integritas. Demikian pula jika nilai utama

nasionalis dipakai sebagai titik awal penanaman nilai-nilai karakter, nilai ini harus

dikembangkan berdasarkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan yang tumbuh

bersama nilai-nilai lainnya.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pada

dasarnya pilar-pilar atau nilai-nilai pendidikan karakter adalah sama secara

universal, yang membedakan pembagian nilai-nilai karakter tersebut ditinjau dari

perspektif yang berbeda-beda sehingga nilai-nilai karakter tersebut juga

menempati posisi yang berbeda. Selanjutnya, teori nilai-nilai pendidikan karakter

yang digunakan untuk menganalisis dan mengidentifikasi nilai-nilai pendidikan

karakter pada syair Ikan Terubuk adalah nilai-nilai pendidikan karakter yang

dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam panduan

Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) tahun 2016 , yang mana ke-18 nilai

51
pendidikan karakter sebelumnya di kelompokkan menjadi lima nilai utama yang

meliputi; (1) religius; (2) nasionalis; (3) mandiri; (4) gotong royong; (5) integritas.

B. Kajian Penelitian yang Relevan

Kajian penelitian yang relevan merupakan penelusuran terhadap penelitian

terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Hal ini diharapkan

dapat memberi masukan serta dapat menjadi pembeda yang dilakukan dengan

penelitian yang pernah ada. Sehubungan dengan itu, dari penelusuran yang

dilakukan tidak ditemukan penelitian Pendekatan Stilistika dan Nilai-nilai

Pendidikan Karakter di dalam syair Ikan Terubuk sebelumnya. Namun demikian,

terdapat beberapa penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini, baik yang

mengkaji tentang stilistika, nilai-nilai pendidikan karakter maupun mengkaji

bentuk sastra lisan lainnya.

Kajian relevan terkait pendekatan stilistika ditemukan dalam Jurnal

Pendidikan Universitas Negeri Malang tahun 2016 yang ditulis oleh Laili

Fatmalinda dengan judul "Stilistika dalam Novel Ayah karya Andrea Hirata"

dimana berdasarkan hasil analisis, ditemukan adanya kekhasan diksi, struktur

kalimat, majas dalam novel Ayah karya Andrea Hirata.

Berikutnya peneltian relevan terkait kajian stilistika juga ditemukan pada

Jurnal Bahas (Jurnal Ilmu-ilmu Bahasa dan Sastra) Universitas Riau tahun 2013

oleh Elsa Yanta dengan judul "Telaah Stilistika dalam Syair Burung Pungguk".

Dimana hasil temuanya adalah bahasa kiasan perbandingan yang paling dominan

dalam syair Burung Pungguk, disusul dengan bahasa kiasan metafora dan bahasa

52
kiasan personifikasi yang terakhir. Pada analisis diksi konotasi dijumpai tiga puluh

sembilan bait syair Burung Pungguk dari seratus tiga puluh enam bait syair yang

dianalisis. Hasil penelitian ini menunjukkan gaya berbahasa yang digunakan pada

teks syair Burung Pungguk berkaitan erat dengan nasihat yang terkandung didalam

bait syair. Penyampaian nasihat dalam tiap bait syairnya dilakukan dengan diksi

dan bahasa yang indah. Selanjutnya nasehat yang terdapat pada teks syair Burung

Pungguk ini bisa dijadikan bahan ajar atau upaya pembentukan karakter.

Berkaitan dengan nilai pendidikan karakter terhadap karya sastra penelitian

relevan yang pernah dilakukan oleh Daulay dalam tesisnya (2013) dengan judul

“Nilai-nilai Edukatif dalam Lirik Nyanyian Onang-onang pada Acara Pernikahan

Suku Batak Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara”. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai edukatif yang terdapat dalam lirik

nyanyian Onang-onang pada acara pernikahan Suku Batak Angkola Kabupaten

Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara adalah nilai-nilai edukatif religius, nilai-

nilai edukatif ketangguhan, nilai-nilai edukatif kepedulian, dan nilai-nilai edukatif

kejujuran.

Kajian relevan berikutnya juga pernah dilakukan oleh Amar Salahudin

(2014) dengan judul “Nilai-nilai Pendidikan Karakter di dalam Syair Nyanyian

Rakyat Senandung Maondu Pojo di Kecamatan Kapur IX Kabupaten Lima Puluh

Kota”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat lima jenis nilai

pendidikannya antara lain: (1) nilai-nilai tentang keimanan dan ketaqwaan, (2)

nilai-nilai kejujuran, (3) nilai-nilai tentang kecerdasan, (4) nilai-nilai tentang

ketangguhan, (5) nilai-nilai tentang kepedulian

53
Selanjutnya, Febriana dalam tesisnya (2014) dengan judul “Nilai-nilai

Pendidikan Karakter dalam Novel Rantau Satu Muara Karya Ahmad Fuadi:

Tinjauan Sosiologi Sastra”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat nilai-

nilai pendidikan karakter di dalam novel yang berjudul Rantau Satu Muara antara

lain sebagai berikut. (1) nilai-nilai pendidikan karakter religius, (2) nilai-nilai

pendidikan karakter kerja keras, (3) nilai-nilai pendidikan karakter cinta tanah air,

(4) nilai-nilai pendidikan karakter komunikatif/bersahabat, (5) nilai pendidikan

karakter gemar membaca, (6) nilai-nilai pendidikan karakter tanggung jawab.

Hal serupa juga pernah diteliti Neldawati dalam tesisnya (2015) dengan

judul “Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam Pantun Badondong Masyarakat Desa

Tanjung Bungo Kecamatan Kampar Timur Kabupaten Kampar”. Hasil penelitian

ini menunjukkan bahwa terdapat nilai-nilai pendidikan karakter di dalam Pantun

Badondong Masyarakat Desa Tanjung Bungo Kecamatan Kampar Timur

Kabupaten Kampar antara lain sebagai berikut. (1) nilai-nilai pendidikan karakter

berhubungan dengan Tuhan, (2) nilai-nilai pendidikan karakter berhubungan

dengan diri sendiri, (3) nilai-nilai pendidikan karakter berhubungan dengan

sesama, dan (4) nilai-nilai pendidikan karakter berhubungan dengan lingkungan.

Selanjutnya penelitian serupa ditemukan pada e-Jurnal Pendidikan Bahasa

dan Sasstra Indonesia, Undiksha yang di teliti oleh Ni Luh Lina Agustini Dewi,

Ida Bagus Putrayasa dan I Gede Nurjaya pada tahun 2014 dengan judul “Analisis

Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara

dan Relevansinya Terhadap Pengajaran Pendidikan Karakter Sekolah Di

Indonesia”. Adapun hasil penelitian menemukan (1) nilai-nilai karakter yang

54
terkandung dalam novel Sepatu Dahlan ada 14 yaitu, nilai karakter religius,

toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, menghargai prestasi,

bersahabat/komunikatif, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, jujur,

mandiri, rasa ingin tahu, dan tanggung jawab, (2) terdapat relevansi atau hubungan

yang terkait antara nilai-nilai pendidikan karakter novel Sepatu Dahlan terhadap

pengajaran pendidikan karakter sekolah di Indonesia. Jadi, dalam novel Sepatu

Dahlan terdapat nilai-nilai karakter yang dapat dikaitkan dengan pengajaran

pendidikan karakter sekolah di Indonesia.

Meskipun terdapat beberapa relevansi dengan penelitian-penelitian di atas,

namun terdapat beberapa pembeda penelitian ini dengan penelitian sebelumnya

antara lain: (1) objek penelitian, (2) hasil penelitian, (3) tempat penelitian yang

menjadikan penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya.

C. Kerangka Pikir

Syair adalah karya sastra yang sangat puitis, sarat makna, dan memuat

nilai-nilai yang biasa diambil di dalamnya bahkan dapat dikatakan bahwa

penciptaan syair bertujuan untuk menciptakan kepuitisan atau membentangkan

imajinasi yang puitis dalam menyampaikan pesan dan nilai-nilai yang hendak di

ungkapkannya. Puitis adalah sifat yang selalu melekat pada syair dengan kadar

tertentu. Artinya, ada syair yang benar-benar puitis ada pula syair yang kurang

puitis sesuai dengan kemampuan penyairnya. Adapun syair Ikan Terubuk yang

menjadi objek penelitian adalah teks syair Ikan Terubuk yang hidup dan populer

dalam Masyarakat Melayu Bengkalis. Syair ini tidak terlepas dari nilai-nilai

55
estetika, moral, pendidikan, akhlak dan lebih khususnya lagi bahwa teks syair ini

berada dalam lingkup seni sastra.

Dengan demikian, penilitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan unsur

stilistika, makna budaya dan nilai pendidikan karakter yang ada di dalam syair

Ikan Terubuk. Dengan mengangkat unsur kearifan budaya lokal peneliti berharap

agar nantinya hasil dari penelitian ini dapat menjadi bahan ajar bagi tenaga

pendidik dalam memberikan materi yang berkaitan dengan analisis syair dan

pendidikan berkarakter. Serta menggugah rasa cinta kita terhadap kearifan budaya

lokal demi melestarikan budaya dan karya sastra yang kita miliki.

Aspek penting dari teknik penelitian ini berupa analisis isi secara semantik

untuk menemukan unsur-unsur stilistika dan makna budaya yang terkandung

dalam syair Ikan Terubuk dan anaisis isi secara pragmatik untuk menemukan nilai-

nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam syair Ikan Terubuk. Berikut

langkah agar menemukan dan mengklasifikasikan bagian-bagian sesuai degan

rumusan masalah yang diambil: (1) membaca berulang-ulang dan membaca kritis

teks syair Ikan Terubuk, (2) mengumpulkan data dan mempelajari teori-teori yang

relevan sesuai dengan kajian penelitian, (3) mencatat dan menganalisis semua data

yang berupa kutipan penting sesuai denga rumusan masalah yang dibahas.

Berdasarkan uraian tersebut kerangka pikir dalam penelitian ini dapat

digambarkan sebagai berikut.

56
Teks Syair Ikan Terubuk

Analisis Analisis
Semantik Pragmatik

Unsur-unsur Makna Budaya Nilai Pendidikan


Stilistika Karakter

1. Bunyi
1. Religius
2. Kata/Leksikal
2. Nasionalis
3. Pemajasan
3. Mandiri
4. Penyiasataan Struktur
4. Gotong-royong
5. Citraan
5. Integritas

Kesimpulan

Gambar 1
Kerangka Pikir Pendekatan Stilistika dan Nilai Pendidikan Karakter dalam
Syair Ikan Terubuk

D. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah, fokus penelitian, identifikasi

masalah, dan kerangka berpikir penelitian yang telah disusun, serta untuk

57
memulai rangkaian kerja dan prosedur analisis yang dilakukan dalam penelitian

ini, pertanyaan penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah wujud pola penulisan unsur stilistika bunyi di dalam syair

Ikan Terubuk?

2. Bagaimanakah wujud pola penulisan unsur stilistika kata/leksikal di dalam

Syair Ikan Terubuk?

3. Bagaimanakah wujud pola penulisan unsur stilistika pemajasan di dalam

Syair Ikan Terubuk?

4. Bagaimanakah wujud pola penulisan unsur stilistika penyiasatan struktur

di dalam Syair Ikan Terubuk?

5. Bagaimanakah wujud pola penulisan unsur stilistika citraan di dalam Syair

Ikan Terubuk?

6. Bagaimanakah wujud makna budaya di dalam Syair Ikan Terubuk?

7. Bagaimanakah wujud nilai pendidikan karakter religius di dalam Syair

Ikan Terubuk?

8. Bagaimanakah wujud nilai pendidikan karakter nasionalis di dalam Syair

Ikan Terubuk?

9. Bagaimanakah wujud nilai pendidikan karakter mandiri di dalam Syair

Ikan Terubuk?

10. Bagaimanakah wujud nilai pendidikan karakter gotong royong di dalam

Syair Ikan Terubuk?

11. Bagaimanakah wujud nilai pendidikan karakter integritas di dalam Syair

Ikan Terubuk.

58

Anda mungkin juga menyukai