Anda di halaman 1dari 3

Perjalanan dan Tahapan Hidup Manusia

Dalam Eksistensialisme Kierkegaard

Setiap manusia memiliki cara dan bagaimana ia hidup demi memenuhi kehidupannya.
Beragam tantangan atau permasalahan pada setiap individu, sehingga manusia memiliki
pertanyaannya masing-masing: tentang bagaimana ia bahagia, akan menjadi manusia seperti apa,
dengan siapa ia akan menikah, dan pertanyaan eksistensial lainnya (Tjaya, 2019 : 86). Jawaban yang
diberikan pun variatif, tergantung keyakinan macam apa yang ia pegang, yang nantinya
mempengaruhi caranya memandang dan menjalani realitas.

Kierkegaard mencoba merumuskan wilayah eksistensi manusia ke dalam tiga tahapan, yang
masing-masing memiliki perspektifnya sendiri: tahap estetis, tahap etis, dan tahap religius. Tahapan
hidup demikian tidak bersifat teoritis, namun praktis selaras dengan pergulatan batin dan
konsekuensinya. Sehingga setiapnya melibatkan kesadaran eksistensialnya sendiri-sendiri.
Kierkegaard memberikan teladan pada tiap tahapannya, seperti Don Juan sebagai tokoh yang
merepresentasikan manusia estetis, lalu Sokrates sebagai manusia etis, dan Abraham sebagai teladan
manusia religius.

Victor Eremita, nama samaran Kierkegaard, dalam karyanya (Kierkegaard, 1843)


menjelaskan tahap estetis sebagai kehidupan yang didikte oleh kepuasan belaka. Estetis sendiri erat
kaitannya dengan bahasa latin, yakni aisthesis, yang bermakna sensasi, terutama sensasi psikis. Don
Juan merupakan tokoh yang digambarkan Kierkegaard sebagai contoh manusia estetis. Dia (baca:
Don Juan) kelimpungan sana-sini untuk memuaskan hasrat seksualnya, dia hanya memuaskan nafsu
sensualnya kepada wanita. Don Juan mana mengerti bagaimana membangun intimasi bersama
seorang wanita, sebab hidupnya sendiri hanya didikte oleh kepuasan. Semua wanita di matanya sama
saja, hanya berbeda dari segi sensasi, lekukan tubuhnya (Swenson, 1959 : 93). Dus, ketika Don Juan
tidak mampu memenuhi hasratnya, dia akan gelisah. Dia bertindak sejauh itu memuaskan
eksistensinya, dan tidak ada pertimbangan lain selain senang atau tidak senang.

Jika tahap estetis hanya melibatkan kepuasan, maka tahap etis menjadikan baik dan buruk
sebagai pertimbangan eksistensinya. Berbeda dengan estetis yang imediasi, yang tidak memikirkan
apakah tindakan yang akan diambil demikian ini baik atau buruk, sehingga boleh dilakukan. Manusia
etis justru menghadapi kehidupan dengan mempertimbangkan ‘Apakah yang saya lakukan demikian
baik atau buruk?’ Orang seperti ini memiliki dimensi moral dalam kausalitas tindakannya.
Eksistensinya dihidupi dengan tanpa rasa puas atau tidak puas lagi.

Meskipun tahap etis berada diatas tahap estetis, ini tidak berarti sebuah tahapan mana yang
baik dan yang buruk. Orang tidak bisa memilih hendak hidup pada tahap yang mana. Sebab
Kierkegaard sendiri berpendapat bahwa hidup merupakan realitas yang perlu dijalani. Manusia bisa
berpindah tahap, itu bersesuaian dengan pergulatan batinnya. Dus, ketika manusia itu sampai pada
tahap etis, ia tidak bisa serta merta meninggalkan tahap estetis begitu saja. Sehingga unsur-unsur
estetis itu tetap ada dan dibawa bersamanya menuju tahapan selanjutnya (Lowrie, 1972 : 181).

Tahap terakhir, yakni tahap religius. Manusia dalam tahap ini tidak lagi mempertimbangkan
hidup hanya dalam tataran baik atau buruk saja. Namun ia (baca: manusia) melampauinya, yakni
hidupnya bergantung pada Yang Ilahi. Seperti kisah Abraham (Kejadian 22 : 1-19) yang bergulat dan
bergumul karena harus mengorbankan putranya, Iskak, di bukit Moria. Abraham rela mengorbankan
semuanya demi cintanya pada Allah. Bahkan Abraham memendam rahasia terbesarnya ini sendirian,
ia bergulat dengan Yang Ilahi dalam kesendiriannya. Beliau merupakan contoh tepat sebagai manusia
religius. Sebab hidupnya didedikasikan hanya kepada Allah. Allah-lah tujuan terakhir dari pergulatan
eksistensi manusia, dengan-Nya manusia mampu menjalani hidup sepenuhnya dan penuh makna.
Dus, inilah tahap eksistensi tertinggi manusia.
Daftar Pustaka

Kierkegaard, Soren. Either/Or. Copenhagen: Reitzel University. 1843.


__________. Either/Or, vol. 1. Terj. David F. Swenson dan Lillian Marvin Swenson.
Princeton, NJ: Princeton University Press. 1959.
__________. Either/Or, vol. 2. Terj. Walter Lowrie. Princeton, NJ: Princeton University
Press. 1972.
__________. Fear and Trembling. Terj. Howard V, Hong, dan Edna H. Hong. Princeton, NJ:
Princeton University Press. 1983.
Tjaya, Thomas Hidya. Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri. Jakarta: KPG. Cet.
IV. 2019.
Duckjesui. “Mengupas Fear and Trembling Soren Kierkegaard” diakses pada 20 Desember 21
dari http://www.ducksophia.com/mengupas-fear-and-trembling-soren-kierkegaard/.

Anda mungkin juga menyukai