Anda di halaman 1dari 16

Tinjauan Kepustakaan

HIPERKOAGULOPATI PADA PASIEN COVID-19


dr. Arival Yanuar Riswanto
Dr. Meity Ardiana, dr., SpJP (K) FIHA
Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo
Departemen-SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Unair-RSUD Dr.
Soetomo

Abstract
Hypercoagulopathic states is the most common complication in severe
hospitalized COVID-19 patients. Due to the excessive inflammatory response,
endothelial dysfunction and immobilozation, venous and arterial thrombotic disease
are the clinical manifestations of this hypercoagulopathic state. The initial
coagulopathy of COVID-19 presents with prominent elevation D-dimer and fibrinogen
degradation product, while abnormalities in prothrombine time, partial tromboplastin
time, and platelet counts are relatively normal in initial presentation. COVID-19
patients receiving antithrombotic therapy for thrombotic status, which can have
implication of choice, dosing according to laboratory monitoring. Fibrinolytic therapy
is another choice in treating severe COVID-19 patients with Acute Respiratory
Distress Syndrome. This article reviews the hypercoagulopathy states in COVID-19
patients, summarizes the pathophysiology, diagnosis, and the managements of COVID-
19 associated coagulopathy.
Keywords: COVID-19, Hypercoagulopathy, Pulmonary Embolism, Thrombosis, D-
Dimer, Anticoagulant, Fibrinolytic

Pendahuluan
COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) dengan gejala berupa keluhan
penyakit pernapasan mulai dari ringan hingga berat. Pasien COVID-19 biasanya datang
dengan gejala demam, batuk, dan dispnea. Gejala lain yang jarang dikeluhkan termasuk
mialgia atau kelelahan, rinorea, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan diare. Kasus
pertama COVID-19 terjadi di Wuhan, Provinsi Hubei, China pada Desember 2019, dan
sejak saat itu menjadi pandemi di seluruh dunia. Angka kejadian COVID-19 di
Indonesia masih cukup tinggi, tercatat sejak tanggal 3 Januari 2020 hingga 12 Maret

Tinjauan Kepustakaan Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo

Surabaya – 2021

1
2021, sebanyak 1.443.853 pasien kasus terkonfirmasi dengan angka kematian
sebanyak 38.142 pasien dan angka-angka tersebut masih terus bertambah. 1,2
Wabah virus corona sebelumnya, termasuk SARS-CoV-1 dan Middle-Eastern
Respiratory Syndrome (MERS-CoV) dilaporkan adanya peningkatan risiko trombosis.
Demikian juga Novel SARS-CoV-2 sebagai penyebab penyakit COVID-19, juga
menghasilkan lingkungan yang protrombotik dan dibuktikan dengan adanya
peningkatan insidensi trombosis secara luas. Banyak bukti klinis yang menunjukkan
suatu keadaan hiperkoagulasi terjadi pada pasien COVID-19. Hal ini menjadi sangat
penting, karena keadaan hiperkoagulasi ini menunjukkan prognosis yang buruk pada
pasien COVID-19 yang kritis. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, angka
kejadian hiperkoagulasi pasien COVID-19 lebih banyak terjadi pada pasien ICU
dibandingkan non-ICU, menunjukkan bahwa pasien yang kritis memiliki resiko tinggi
terjadinya trombosis oleh karena keadaan hiperkoagulasi. Hal tersebut mungkin
disebabkan oleh peningkatan sitokin pro-inflamasi dan anti-fibrinolitik pada pasien
dengan infeksi COVID-19 yang berat. 1,3
Ada 2 manifestasi trombosis pada pasien COVID-19, yaitu tromboemboli vena
dan trombosis arteri. Emboli paru merupakan manifestasi trombosis terbanyak akibat
tromboemboli vena pada pasien COVID-19. Sedangkan trombosis arteri, lebih jarang
terjadi. Bentuk trombosis arteri yang telah dilaporkan terjadi pada pasien COVID-19
adalah infark miokard, stroke dan trombosis mikrovaskular. Keadaan hiperkoagulasi
pada penyakit kritis disebabkan oleh imobilisasi, ventilasi mekanis, akses vena sentral,
dan malnutrisi. Sedangkan pada COVID-19 ada mekanisme unik yang berhubungan
langsung antara inflamasi dan trombosis. 3

Etiologi
Virus SARS-CoV-2 merupakan famili dari coronavirus beta yang mempunyai
kapsul, berbentuk oval atau bulat dengan diameter 60-140 mm. Virologi dari SARS-
CoV-2 merupakan virus dengan single stranded RNA yang mengandung glikoprotein
pada permukaan yang memberikan karakteristik virus corona pada pemeriksaan
mikroskop elektron. Virus SARS-CoV-2 dan memiliki 4 protein yang terdapat dalam
strukturnya, yaitu Spike (S), Membrane (M), Envelope (E), dan Nucleocapside (N).
Protein S berperan pada perlengketan virus dengan reseptor ACE2. Protein M
mengandung domain transmembran yang berkontribusi terhadap bentuk virus serta
melekat pada nukleokapsid. Protein E berperan pada perakitan virus dan patogenesis.
Protein N membuat genom menjadi virion dan antagonis terhadap RNA silencing.

Tinjauan Kepustakaan Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo

Surabaya – 2021

2
SARS-CoV-2 dapat menular melalui droplet dari pasien COVID-19 maupun melalui
aerosol atau airborne terutama pada saat tenaga medis melakukan tindakan hisap lendir
pada saluran nafas pasien, bronkoskopi, intubasi dan resusitasi kardiopulmoner. Urin
dan feses juga dipertimbangkan sebagai media penularan virus SARS-CoV-2. Namun
virus ini sensitif terhadap panas dan sinar ultraviolet. 1,4,5
Mekanisme infeksi oleh virus corona dimulai dari setelah virus corona masuk
ke dalam saluran pernapasan manusia, protein Spike berikatan dengan reseptor
Angiotensin Converting Enzyme-2 (ACE2) yang paling banyak diekspresikan sel
pneumosit tipe 2 paru, sel miosit jantung, dan sel endotel vaskular. Pengikatan protein
S ke reseptor ACE2 menyebabkan pembelahan proteolitik dari resepter ACE2 dan
aktivasi protein S oleh transmembran tipe 2 protease (TMPRSS2), sehingga
memfasilitasi masuknya partikel virus ke dalam sel. Masuknya SARS-CoV-2 ke dalam
sel memicu apoptosis melalui mekanisme ekspresi ektopik dari protein E dan interaksi
antara Terminal-C dari Protein E dengan Bcl-xL yang merupakan bagian dari Anti-
apoptosis Bcl-2. Pada akhirnya terjadi fagositosis sel apoptosis oleh APCs yaitu
Makrofag dan Sel Dendritik. Hal ini mengaktivasi respon imun dan peningkatan
pelepasan mediator inflamasi, termasuk IL-6, IL-10, G-CSF, dan TNF-alpha. 1

Gambar 1. Mekanisme Infeksi SARS-CoV-2 3

Tinjauan Kepustakaan Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo

Surabaya – 2021

3
Patofisiologi
Mekanisme hubungan infeksi SARS-CoV-2 dengan koagulopati dimulai
dengan virus SARS-CoV-2 memasuki sel inang dengan berikatan ACE2 yang banyak
terdapat di sel epitel alveolus paru, sel miosit jantung dan sel endotel pembuluh darah
dan sel-sel lainnya. Invasi virus SARS-CoV-2 dalam jumlah banyak ke paru
menyebabkan gangguan pada sel epitel dan endotel secara bersamaan yang
menyebabkan inflamasi lokal maupun sistemik dengan sekresi sitokin inflamasi dalam
jumlah besar dan berlebihan (IL-1β, IL-6 dan TNFα) pada kasus yang berat sehingga
menyebabkan badai sitokin yang dapat mencetuskan terjadinya SIRS (Systemic
Inflamatory Response Syndrome). Kondisi respon imun yang berlebihan dapat
menimbulkan kerusakan pada sel endotel hingga apoptosis sel endotel, disfungsi
endotel dan ekspresi gen protrombotik. Sel neutrofil ditarik ke tempat sel yang rusak
kemudian bermigrasi dari kapiler ke aleveolar dan ruang intertisial yang disebut NETs
(neutrophil extraceluller traps). NETs memproduksi kompleks DNA-
myelopreroxidase yang mencetuskan keluarnya sitokin proinflamasi dan memicu
prokoagulasi melalui jalur ekstrinsik dengan Tissue Factor atau jalur Faktor VIIa.
Selain itu, kondisi hipoksia dapat menyebabkan vasokontriksi dan mengurangi laju
aliran darah yang pada akhirnya menyebabkan disfungsi endotel. HIF-1 (hypoxia
inducible factor-1) merubah kondisi fisiologis dari sel basal vaskular yang mempunyai
efek antitrombosis dan antikoagulan menjadi prokoagulan dan proinflamasi.
Berdasarkan mekanisme tersebut dapat memasuki semua kriteria trias Virchow,
sehingga pada penderita COVID-19 dapat beresiko terjadinya makro maupun
mikrotrombosis, pada kondisi berat terkait kegagalan multiorgan dapat mencetuskan
terjadinya koagulasi intravaskular diseminata (DIC). 4,6
Hubungan kausal dan dua arah antara proses inflamasi dan trombosis telah
diketahui sebelumnya. Pada COVID-19 terjadi keadaan proinflamasi yang sangat
tinggi, ditandai dengan peningkatan protein C-reaktif, Laktat Dehidrogenase, Ferritin,
IL-6 dan kadar D-Dimer. Kadar IL-6 dan Fibrinogen terbukti memiliki korelasi satu
sama lain pada pasien COVID-19, menunjukkan adanya suatu trombosis sebagai akibat
dari proses inflamasi. Para peneliti percaya bahwa proses inflamasi dan trombosis
berasal dari alveoli paru, di mana SARS-CoV-2 memasuki sel epitel alveolar melalui
reseptor ACE2. Akibatnya, proses inflamasi yang berat terjadi dan menyebabkan
terjadinya trombosis melalui beberapa mekanisme. 3
Ada beberapa mekanisme yang diajukan sebagai patofisiologi keadaan
hiperkoagulasi pada pasien COVID-19, di mana mekanisme-mekanisme tersebut dapat

Tinjauan Kepustakaan Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo

Surabaya – 2021

4
berdiri sendiri atau bersama-sama menyebabkan komplikasi trombosis yang berat
sehingga meningkatkan angka mortalitas pada pasien COVID-19. Mekanisme-
mekanisme tersebut adalah:

1. Kerusakan sel endotel


Salah satu yang berperan penting dalam terjadinya vaskulopati dan trombosis
pada pasien COVID-19 adalah sel endotel vaskular, karena sel endotel vaskular
sangat penting untuk regulasi permeabilitas vaskular, mempertahankan
homeostasis dan mengatur hemolisis. Lesi terhadap endotel vaskular menjadi hal
yang penting diobservasi dari paru-paru pasien COVID-19. Jika sebelumnya
diperkirakan bekuan darah yang terbentuk di paru-paru pasien COVID-19 adalah
akibat emboli paru, namun kini diketahui bahwa segala bekuan darah yang terkait
COVID-19 dan proses di mana pembentukan trombosis primer terjadi langsung di
paru-paru. 1
SARS-CoV-2 menginfeksi sel endotel melalui ACE2. Sebagai tambahan,
terdapat perubahan morfologis sel endotel yang signifikan pada pasien COVID-19,
termasuk diantaranya adalah gangguan pada sambungan antar sel, pembengkakan
pada sel, kehilangan kontak membran basal sebagai akibat adanya virus intrasel
dan gangguan pada membran sel. Baik COVID-19 maupun influenza menunjukkan
adanya kerusakan alveolus yang luas disertai infiltrasi sel limfosit perivaskular,
namun pada paru-paru pasien COVID-19 terjadi mikrotrombus di kapiler alveolus
sebanyak 9 kali lebih besar dibandingkan dengan infeksi influenza lain.
Mikrotrombus di kapiler alveolus ini dapat menyebabkan gambaran klinis seperti
Disseminated Intravascular Coagulopathy (DIC), di mana produk pemecahan D-
dimer dan fibrin/fibrinogen meningkat secara signifikan, mirip dengan DIC klasik,
tetapi protrombin time, partial tromboplastin time, dan jumlah trombosit tidak
berubah pada awal klinis. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa adanya virus
SARS-CoV-2 di dalam sel dapat menyebabkan kerusakan sel endotel. 1
2. Terbentuknya mikrotrombus mikrovaskular
Mekanisme patofisiologi lain yang mungkin terjadi adalah terbentuknya
mikrotrombus mikrovaskular yang memicu ekspresi aktif Tissue Factor (TF) pada
makrofag dan sel endotel sehingga meningkatkan jumlah Tissue Factor yang
melalui darah (blood-borne TF) di pembuluh darah paru. Peningkatan Tissue
Factor ini bersamaan dengan terjadinya hipoksia akibat gagal nafas oleh karena
COVID-19, membuat umpan balik positif dari tromboinflamasi, yang juga disebut
sebagai badai sitokin (Cytokine Storm). Peningkatan sitokin proinflamasi Tumor

Tinjauan Kepustakaan Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo

Surabaya – 2021

5
Necrosis Factor-α (TNF-α), Interleukin-1 (IL-1), dan Interleukin-6 (IL-6) telah
dikaitkan dengan reaksi inflamasi COVID-19 yang berat. Tampaknya hal ini
berimplikasi terhadap terbentuknya keadaan prokoagulan, karena IL-6 diketahui
berperan sebagai pemicu ekspresi Tissue Factor (TF) di sel mononuklear.
Kompleks Tissue Factor dengan faktor VIIa menginisiasi jalur ekstrinsik dari
kaskade koagulasi, dan pada akhirnya terbentuk trombin dan fibrin. Adanya sitokin
proinflamasi dan aktivasi kaskade koagulasi, selain dinding pembuluh yang tipis,
memicu imunotrombosis yang mengakibatkan kerusakan jaringan dinding
pembuluh darah, infark paru, dan perdarahan. Temuan patologis ini menunjukkan
bahwa trombosis paru primer, yaitu trombosis yang berasal dari paru itu sendiri,
juga terjadi selain adanya tingkat emboli paru yang tinggi pada pasien COVID-19.
Faktanya, emboli yang berasal dari luar pembuluh darah paru (trombosis sekunder)
telah terbukti terjadi pada sebanyak 58% pasien yang diautopsi setelah kematian
akibat COVID-19. Baik trombosis mikrovaskuler dan makrovaskular telah diamati
pada pasien COVID-19 dengan mikrotrombus trombosit-fibrin terlihat pada
mikrovaskulatur dan trombus merah dan putih terlihat pada makrovaskular. 1
3. Jalur komplemen
Mekanisme lain terjadinya komplikasi trombosis pada pasien COVID-19
mungkin terjadi pada jalur komplemen. Dengan ditemukannya deposisi
komplemen pada mikrovaskular menunjukkan perannya memediasi kerusakan
mikrovaskular yang merupakan komplikasi pada penyakit ini. Trombosis pasien
COVID-19 tidak hanya terbatas pada sirkulasi vena saja. Sebuah studi
menunjukkan peningkatan angka kejadian Acute Limb Ischaemia (ALI) pada
pasien COVID-19 bila dibandingkan pada pasien yang tidak terinfeksi COVID-19.
Umumnya, usia muda dan jenis kelamin perempuan merupakan faktor risiko yang
terkait dengan gangguan hiperkoagulasi, namun pada pasien dengan COVID-19,
oklusi arteri juga ditemukan pada individu yang lebih muda dan lebih tua, dan lebih
sering pada laki-laki. Selain itu, penampilan makroskopik trombosis pada pasien
COVID-19 ini sangat berbeda. Trombosis pada pasien COVID-19 tampak lebih
kenyal dan lebih panjang dari trombosis pada pasien bukan COVID-19. Namun
peningkatan angka kejadian ALI kemungkinan tidak terkait dengan gangguan
hiperkoagulabilitas, tetapi terkait infeksi langsung COVID-19. Trombosis koroner
juga dilaporkan terjadi pada pasien dengan COVID-19. Pada angiografi koroner,
ditemukan stenosis trombotik multivessel yang dipercaya sebagai trombosis in situ
karena tidak ditemukan adanya ateroma dan trombus pada LAD tidak oklusif

Tinjauan Kepustakaan Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo

Surabaya – 2021

6
menjadikan emboli koroner tidak mungkin terjadi. Penemuan ini mengimplikasi
bahwa koagulopati COVID-19 sebagai penyebab trombosis tidak hanya terjadi
pada pembuluh darah vena. 1

Bagan 3. Mekanisme Hiperkoagulopati pada COVID-19 1

Diagnosis
Hiperkoagulopati terjadi pada pasien COVID-19 yang berat dan mengancam
nyawa, dengan gejala klinis yaitu adanya ARDS, sepsis hingga syok sepsis, kegagalan
multisistem organ, dan penyakit tromboembolik. Dengan manifestasi klinis yang berat
oleh karena hiperkoagulopati ini adalah emboli paru masif, gejala klinisnya yaitu sesak
nafas berat, dengan tanda-tanda hipoksemia berupa penurunan kesadaran, akral
menjadi pucat dan dingin, kadang disertai sianosis tipe sentral yang mungkin tidak
responsif terhadap pemberian oksigen. Secara radiologis emboli paru masif tampak
sebagai infiltrat, yaitu gambaran ground glass bilateral, serta beberapa area lobular dan
subsegmental konsolidasi bilateral.1,7,8

Tinjauan Kepustakaan Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo

Surabaya – 2021

7
Temuan laboratorium umum termasuk limfositopenia dan peningkatan CRP,
sementara kelainan laboratorium lain pada kasus dengan komplikasi koagulopati
termasuk peningkatan D-dimer, trombositopenia, pemanjangan Prothrombine Time
(PT), peningkatan fibrinogen, peningkatan laktat dehidrogenase, dan peningkatan
feritin. Dalam studi kohort retrospektif multisenter oleh Zhou et al., ditemukan bahwa
54 pasien yang meninggal karena infeksi COVID-19 lebih cenderung mengalami
limfopenia berat, serta peningkatan D-dimer, troponin jantung, ferritin, peningkatan
laktat dehidrogenase (LDH), dan IL-6, pemanjangan PT, peningkatan fibrinogen serta
peningkatan CRP. Peningkatan D-Dimer adalah kelainan laboratorium sering terlihat
pada pasien dengan COVID-19 berat yang menunjukkan suatu keadaan koagulopati.
Peningkatan serum laktat dehidrogenase dan serum feritin juga dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas pada pasien COVID-19. Kelainan ini mirip seperti yang
ditemukan pada trombosis mikroangiopati, sehingga mendukung sebagai penyebab
mikroangiopati sebagai komplikasi trombosis COVID-19. Pada pasien dengan dengan
koagulopati yang signifikan, ditemukan adanya Anticardiolipin IgA Antibodi, Anti-b2-
glycprotein I (b2GPI) IgA dan IgG Antibodi yang positif. Munculnya antibodi ini juga
terlihat pada infeksi virus yang lain dan dapat menyebabkan trombosis melalui
mekanisme serupa dari pembentukan kompleks yang ditemukan pada heparin-induced
thrombocytopenia (HIT) dan sindroma antifosfolipid. Kompleks protrombotik
mengaktivasi trombosit melalui F(ab)2 region yang menyebabkan mikrotrombus dan
makrotrombus.1,7,9
Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa COVID-19 juga mungkin
menyebabkan suatu keadaan anti-fibrinolitik melalui sebuah fenomena yang disebut
fibrinolysis shutdown. Fibrinolysis shutdown diukur melalui penurunan pemecahan
bekuan darah dalam 30 menit pengamatan pada pemeriksaan thromboelastogram (TEG
LY30), dan peningkatan D-Dimer yang meningkatkan resiko venous thromboemboli
(VTE), gagal ginjal, dan kejadian trombosis. Penurunan pemecahan bekuan darah pada
30 menit pengamatan terjadi pada 57% pasien dan merupakan prediktor signifikan
terjadinya VTE. Sedangkan D-Dimer >2600 ng/mL merupakan prediktor yang
signifikan untuk diperlukannya hemodialisis pada pasien COVID-19. Peningkatan D-
dimer ini kemungkinan besar mencerminkan jumlah fibrin terpolimerisasi
intravaskular yang berlebihan, yang membebani fibrinolisis sistemik. Fibrinolysis
shutdown juga baru-baru ini dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas
pada sepsis dini, yang menunjukkan keberadaannya dalam COVID-19 dapat digunakan
sebagai prediktor prognosis yang buruk.1

Tinjauan Kepustakaan Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo

Surabaya – 2021

8
Modalitas tambahan yang saat ini digunakan untuk menilai keadaan
hiperkoagulasi pasien dengan COVID-19 termasuk tromboelastografi (TEG) dan
tromboelastometri rotasi (ROTEM). Tes TEG dan ROTEM telah terbukti lebih dapat
diandalkan untuk mendeteksi koagulopati daripada tes koagulasi tradisional (jumlah
trombosit, APTT, PT, D-dimer, fibrinogen), namun tes ini tidak umum digunakan.
TEG dan ROTEM adalah tes yang mengukur modulus elastisitas geser selama
pembekuan dan fibrinolisis, yang memungkinkan tes ini untuk menentukan waktu
pembekuan, pembentukan bekuan, penguatan bekuan, amplitudo bekuan, stabilitas,
dan lisis bekuan. Dalam kasus oleh Iwasaki dkk., Pasien ICU dengan COVID-19
dievaluasi dengan CT yang ditingkatkan kontras dan pengujian laboratorium koagulasi
konvensional yang tidak menunjukkan bukti keadaan hiperkoagulasi. ROTEM
dilakukan, menunjukkan nilai kekencangan bekuan dan waktu pembentukan bekuan
yang menunjukkan hiperkoagulopati. Pasien kemudian diberikan UFH dan akhirnya
diekstubasi karena perbaikan kondisi klinis. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
menentukan kegunaan modul pengujian ini dalam mengenali hiperkoagulabilitas pada
pasien yang menderita COVID-19.1

Manajemen
Pasien yang menderita penyakit akut dan rawat inap di rumah sakit termasuk
COVID-19 seharusnya dinilai resiko tromboemboli vena dan resiko perdarahan.
Beberapa alat penilaian resiko yang dapat digunakan yaitu IMPROVE, Caprini dan
skor Padua. Berdasarkan The American College of Chest Physician 9th Edition
Guideline antithrombotic Therapy and Prevention Thrombosis dapat menggunakan
PPS (Padua prediction score) untuk menilai resiko pasien yang akan rawat inap terjadi
suatu tromboemboli vena dan dapat digunakan untuk pemberian kemoprofilaksis
antikoagulan. Pemberian profilaksis dapat diberikan bila nilai dari PPS ≥ 4 dan dapat
dipertimbangkan menggunakan profilaksis mekanik bila nilai IMPROVE ≥ 7. Resiko
perdarahan pada pemberian terapi antikoagulan sebaiknya dipertimbangkan, dan
pasien yang mendapatkan terapi tersebut harus dalam pemantauan yang ketat. 7,10

Tabel 1. Padua Pediction Score 10


Padua risk assessment model Point
Active Cancer* 3
Previous VTE 3
Reduced mobility○ 3
Thrombophilic condition 2
Recent (< 1 month) trauma/surgery 1
Age ≥ 70 years 1

Tinjauan Kepustakaan Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo

Surabaya – 2021

9
Heart or Respiratory Failure 1
Acute Myocardial Infarction or Ischemic Stroke 1
BMI ≥ 30 1
Ongoing Hormonal Treatment 3
Scores interpretation: Score < 4: Low VTE risk; Score ≥ 4: High VTE risk

Tabel 2. IMPROVE Score 10


Risk Factor Point
Moderate renal failure (CrCl 30 - 50 ml/min.) 1
Male Sex 1
Age 40 - 84 years 1.5
Active Cancer 2
Rheumatic disease 2
Central venous catheters 2
Admissions in Intensive Care 2.5
Severe Renal Failure (CrCl < 30 ml/min.) 2.5
Liver insufficiency (INR > 1.5) 2.5
Age ≥ 85 3.5
Thrombocytopenia (<50 × 109 cell/L) 4
Recent (3 months) bleeding : active GI Bleeding 4

WHO memberikan rekomendasi terapi profilaksis pada pasien COVID-19 yang


sedang dirawat inap adalah dengan Low Moluecular Weight Heparin (LMWH) untuk
mencegah VTE. ISTH (International Society on Thrombosis and Hemostasis) pun
memberikan rekomendasi yang sama terkait terapi profilaksis pada pasien COVID-19
yang dirawat, dengan memperhatikan kontraindikasi pada pasien tersebut. Pasien rawat
COVID-19 yang mengalami gagal nafas atau mempunyai komorbid baik berupa
kanker atau penyakit jantung, yang tirah baring lama, atau membutuhkan penanganan
di ICU seharusnya mendapatkan tatalaksana profilaksis. Selain memberikan efek
antikoagulan, heparin pada LMWH juga menunjukkan efek anti-inflammasi yang
bermanfaat untuk keadaan proinflammasi akibat infeksi virus SARS-CoV-2. Heparin
juga memiliki efek supresi terhadap IL-6 dan IL-8 yang diekspresi oleh sel epitel paru,
dan bermanfaat menurunkan komplikasi trombosis terkait badai sitokin pada
pneumonia COVID-19. Lebih lanjut, heparin juga menunjukkan ikatan kompetitif
dengan jenis coronavirus sebelumnya, dan mungkin dapat menurunkan patogenisitas
SARS-CoV-2. Pada pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap terapi antikoagulan,
profilaksis VTE yang direkomendasikan adalah penggunaan Pneumatic Compression
Devices.1,11
Tromboprofilaksis yang disarankan adalah menggunakan LMWH dengan dosis
sedang yaitu Enoxaparin 40 mg sehari sekali atau 40 mg sehari dua kali dengan
pemberian subkutan, bila BMI ≥ 30Kg/m2 selama 5-7 hari dengan pneumonia ringan,
peningkatan D-Dimer 2-3x dari batas normal, prothrombine time (PT) normal dan

Tinjauan Kepustakaan Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo

Surabaya – 2021

10
pemeriksaan USG normal. Fondaparinux yang bekerja dengan menghambat faktor Xa
tanpa menyebabkan perubahan pada platelet, dapat dipertimbangkan sebagai
tromboprofilaksis pada pasien COVID-19 dengan dosis 2.5mg/hari. Pemberian
LMWH dan Fondaparinux jika klirens kreatinin ≥ 50mg/menit. UFH (Unfractionated
heparin) digunakan apabila pasien menderita gangguan ginjal yang berat dengan
klirens kreatinin < 30 ml/menit. Pada kasus pneumonia COVID-19 yang berat yang
didapatkan D-dimer meningkat 3-6x, trombositopenia ringan (100.000-150.000), dan
pada pemeriksaan USG dan CT-scan didapatkan kecurigaan adanya tromboemboli
maka dosis LMWH yang diberikan 1 mg/kgbb/hari. Pada pneumonia COVID-19 berat
yang mengalami gagal organ multipel, membutuhkan ventilator dan membutuhkan
oksigenasi membran ekstrakorporal (ECMO) dapat diberikan UFH dengan dosis 5000
U tiap 8 jam bila berat badan pasien 50-120 kg dan 7500 U tiap 8 jam bila berat badan
pasien >120 kg. Pemilihan terapi antikoagulan LMWH maupun UFH pada pneumonia
COVID-19 yang berat adalah mempertimbangkan ada tidaknya interaksi antar obat
dengan obat yang digunakan sebagai terapi utama COVID-19.12,13

Pasien Covid
Yang Rawat Inap

Resiko Tinggi Tromboemboli Vena Resiko Rendah


Tromboemboli Vena
 RR >24x/menit
 SpO2 <90%
 CRP meningkat
D-dimer > D-dimer D-dimer 0,5-
 D-dimer meningkat
 Fibrinogen meningkat 3mcg/ml <0,5 mcg/ml 3 mcg/ml
mlmcg/ml

Enoxaparin Enoxaparin
Perawatan Enoxaparin
1mg/kgBB terbagi 40 mg tiap
di ICU 40 mg/hari
tiap 12 jam 12 jam

Iya : Tidak :
Pemberian heparin Dapat dberikan
drip sesuai protokol Enoxaparin 1
dengan target aPTT mg/kgBB atau Jika pos  dilanjutkan
60-85 heparin antikoagulan

Dilakukan USG
Tromboemboli vena Jika neg  de-eskalasi ke
enoxaparin 40 mg tiap 12 jam

Bagan 2. Alur Pemberian antikoagulan pada pasien COVID-19.14

Tinjauan Kepustakaan Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo

Surabaya – 2021

11
Pemberian profilaksis antitrombotik diperpanjang pada kasus pneumonia
COVID-19 berat dan sebelumnya mendapatkan perawatan di ICU (intensive care unit).
Tromboprofilaksis pada pasien dengan rawat jalan dapat dipertimbangkan diberikan
DOAC yaitu rivaroxaban 10 mg/ hari dengan tidak ada kontraindikasi. Syarat lain yang
digunakan untuk perpanjangan penggunaan antirombotik adalah penilaian IMPROVE
≥4, peningkatan D-dimer >2x dari nilai normal, usia ≥ 60 tahun, platelet ≥ 25.000, tidak
ada faktor resiko perdarahan dan pasien sudah tidak mengkonsumsi obat antiviral
(lopinavir/ritonavir). Pemberian tromboprofilaksis sebaiknya sampai 39-45 hari setelah
keluar rumah sakit, namun pada penderita yang sebelumnya dicurigai adanya emboli
paru sebaiknya diberikan antitrombotik hingga 3 bulan dan pada pasien yang sudah
terdiagnosis adanya tromboemboli vena sebaiknya diberikan antitrombotik 3-6 bulan.3
Pasien dengan tanda dan gejala yang menunjukkan tromboemboli, seperti
trombosis vena dalam dan emboli paru, harus ditangani dengan jalur diagnostik dan
pengobatan yang sama dengan populasi umum, kecuali ada kontraindikasi. American
Society of Hematology saat ini merekomendasikan antikoagulasi terapeutik empiris
pada individu yang secara klinis diduga mengalami emboli, trombosis, atau gagal napas
dengan peningkatan D-dimer dan / atau fibrinogen, ketika tidak ada kemungkinan
melakukan pencitraan untuk memastikan diagnosis. Pemberian antikoagulasi sistemik
pada pasien dengan COVID-19 berat, dan Padua score >4 atau D-Dimer > 3.0 ug/ml
diberikan pada pasien terkait peningkatan angka kejadian emboli paru pada pasien
COVID-19. Selain itu, dalam rangkaian kasus dari 15 pasien yang sakit kritis, resistansi
terhadap UFH terapeutik ditemukan pada 80% pasien, yang selanjutnya menunjukkan
perlunya penelitian untuk menentukan tromboprofilaksis yang optimal dan pengobatan
pada pasien COVID-19.1,7,10
Pasien COVID-19 juga mengalami gangguan ginjal akibat proses inflamasi
SARS-CoV-2 tersebut, sehingga pemilihan obat tromboprofilaksis perlu menyesuaikan
dengan keadaan fungsi ginjal. Swiss Society of Hematology merekomendasikan
LMWH hanya diberikan pada pasien dengan klirens kreatinin > 30 ml/ menit,
sedangkan Heparin bisa diberikan pada pasien dengan klirens kreatinin < 30 ml/menit
secara subkutan 2-3 kali per hari, dengan peningkatan dosis pada kedua keadaan
tesebut jika pasien obesitas (100 kg). Karena LMWH lebih sulit untuk ditangani jika
terjadi perdarahan, UFH lebih tepat diberikan pada pasien dengan gagal ginjal.
Berdasarkan panduan yang diberikan oleh European Society of Cardiology (ESC),
pemberian terapi antikoagulan DOAC perlu mempertimbangkan klirens kreatinin
pasien. Antikoagulan DOAC tidak direkomendasikan untuk diberikan kepada pasien

Tinjauan Kepustakaan Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo

Surabaya – 2021

12
dengan klirens kreatinin < 15 ml/menit. Dan beberapa obat antikoagulan DOAC juga
memerlukan penyesuaian dosis terkait gangguan ginjal pada pasien. Apixaban, dengan
dosis standar yaitu 2 x 5mg harus diturunkan menjadi 2x2.5mg bila ditemukan 2 dari
3 kriteria berikut, yaitu berat badan ≤ 60 Kg, usia ≥ 80 tahun, dan serum kreatinin ≥
1.5 mg/dl atau klirens kreatinin 15-29 ml/menit. Edoxaban, dengan dosis standar yaitu
1 x 60mg, diturunkan menjadi 1 x 30mg bila berat badan < 60 Kg dan klirens kreatinin
< 50 ml/menit. Serta Rivaroxaban, dengan dosis standar 1 x 20mg, diturunkan menjadi
1 x 15mg bila klirens kreatinin < 50 ml/menit.1,15
Dalam pemberian antitrombotik juga dipertimbangkan terjadinya interaksi
dengan obat antivirus pada COVID-19 yaitu lopinavir dan ritonavir sehingga
mempengaruhi pemilihan dan penentuan dosis antitrombotik. Lopinavir atau ritonavir
menghambat enzym CYP3A4 atau P-glycoprotein sehingga dapat mengurangi efek
dari clopidogrel dan meningkatkan efek ticagrelor sehingga pemberian antiplatelet
dapat diganti ke prasurgel kecuali ada kontraindikasi berupa stroke. Pemberian
antikoagulan oral (DOAC) (apixaban, betrixaban, edoxaban, rivaroxaban) sering
digunakan untuk praktek klinis, namun penggunaan dengan antiviral yang
menghambat enzym CYP3A4 (atazanavir, lopinavir) atau P-glycoprotein (ritonavir)
dapat meningkatkan konsentrasi obat dua kali lipat. Interaksi obat golongan antagonis
vitamin K dengan antivirus yang menghambat CYP2C9 (atazanavir) dapat
meningkatkan konsentasi obat dalam serum, sedangkan antiviral yang menginduksi
CYP2C9 (ritonavir/lopinavir, ribavirin) dapat menurunkan konsentrasi obat dalam
serum sehingga membutuhkan penyesuaian dosis. Antikoagulan parenteral maupun
subkutan baik UFH, LMWH, fondaparinux tidak membutuhkan penyesuaian dosis dan
data digunakan dengan aman.15,16
Terlepas dari rekomendasi WHO, uji klinis mengenai manfaat terapi
profilasksis menggunakan LMWH pada pasien rawat inap dengan COVID-19 masih
sedikit, dan temuannya beragam. Satu studi menemukan bahwa tidak ada penurunan
insidensi emboli paru pada pasien COVID-19 rawat inap yang mendapatkan terapi
profilaksis LMWH. Demikian pula, sebuah penelitian tidak menemukan perbedaan
dalam mortalitas antara pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit yang menerima
heparin profilaksis dan mereka yang tidak menerima heparin profilaksis. Hal ini dapat
dijelaskan oleh tingkat antitrombin yang rendah, yang biasa terlihat pada pasien dengan
COVID-19, yang membuat heparin profilaksis atau LMWH tidak efektif. Namun, Tang
et al. menemukan manfaat heparin profilaksis pada pasien dengan kadar D-Dimer> 3,0

Tinjauan Kepustakaan Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo

Surabaya – 2021

13
mg / mL (6 kali batas atas normal), karena terdapat penurunan mortalitas sekitar
20%.1,17
Kegunaan terapi antiplatelet untuk tromboprofilaksis pada COVID-19 tidak
jelas dan dipersulit oleh peran trombosit dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi
melalui pembentukan trombus dan perekrutan neutrofil paru. Selain itu, dengan
perdarahan alveolar difus yang sering dilaporkan pada COVID-19, ketidakmampuan
untuk menyimpan fibrinogen dan memperbaiki pembuluh darah paru yang rusak
menjadi perhatian pada pasien yang menjalani terapi anti-platelet. Karena
trombositopenia adalah manifestasi COVID-19 yang dilaporkan dan terkait dengan
peningkatan risiko pneumonia dan ARDS, tindakan proaktif harus diambil pada pasien
yang menggunakan terapi antiplatelet dengan jumlah trombosit <100.000/mL. Terapi
antiplatelet harus dihentikan pada pasien dengan jumlah trombosit <50.000/mL.
Penting bagi klinisi untuk mewaspadai risiko dan manfaat terapi antiplatelet pada
pasien COVID-19 dan peran terapi antiplatelet pada tromboprofilaksis perlu dievaluasi
lebih lanjut.1
Selain dengan menggunakan terapi antikoagulan, trombosis yang terjadi pada
pasien COVID-19 mungkin dapat diterapi dengan obat-obatan fibrinolitik untuk
menurunkan fibrin yang sudah terbentuk di dalam paru-paru. Dengan mengaktifkan
plasmin yang berperan untuk mendegradasi fibrin, terapi fibrinolitik untuk trombolisis
dapat menjadi pilihan terapi yang efektif dan aman pada pasien dengan emboli paru
yang luas, terutama pada pasien COVID-19 dengan ventilator mekanis dan dengan
pemantauan ketat selama perawatan di ICU. Setelah pemberian trombolisis dapat
dilanjutkan pemberian terapi antikoagulan dengan mempertimbangkan interaksi antar
obat dengan antiviral yang diberikan. Pilihan terapi fibrinolitik yang sudah dikenal
yaitu Alteplase yang merupakan tissue plasminogen activator (tPA), Tenecteplase
(TNK), Reteplase (rPA) dan Streptokinase. Efek antiinflamasi sebagai manfaat
tambahan dari obat tPA mungkin dapat memperbaiki prognosis pasien COVID-19. 7,18

Prognosis
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan badai sitokin adalah
penyebab kematian utama pada pasien COVID-19. Tingginya insidensi komplikasi
trombosis akibat hiperkoagulopati seperti emboli paru dikaitkan dengan peningkatan
angka mortalitas COVID-19. Pasien dengan tingkat D-Dimer yang tinggi memiliki
prognosis yang buruk, terkait terjadinya trombosis sebagai manifestasi keadaan
hiperkoagulopati pada pasien COVID-19. Hal ini menjadi sangat penting, karena

Tinjauan Kepustakaan Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo

Surabaya – 2021

14
keadaan hiperkoagulasi ini menunjukkan prognosis yang buruk pada pasien COVID-
19 yang kritis. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, angka kejadian
hiperkoagulasi pasien COVID-19 lebih banyak terjadi pada pasien ICU dibandingkan
non-ICU, menunjukkan bahwa pasien yang kritis memiliki resiko tinggi terjadinya
trombosis oleh karena keadaan hiperkoagulasi. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh
peningkatan sitokin pro-inflamasi dan anti-fibrinolitik pada pasien dengan infeksi
COVID-19 yang berat. Fibrinolysis shutdown juga baru-baru ini dikaitkan dengan
peningkatan morbiditas dan mortalitas pada sepsis dini, yang menunjukkan
keberadaannya dalam COVID-19 dapat digunakan sebagai prediktor prognosis yang
buruk.1,3,18

Ringkasan
COVID-19 merupakan penyakit yang baru, disebabkan oleh virus SARS-CoV-
2 dengan komplikasi terberatnya adalah keadaan hiperkoagulopati. Respon inflamasi
yang berlebihan, disfungsi endotel dan aliran darah yang stasis memungkinkan
terjadinya trombosis pada pasien COVID-19 yang berat. Koagulopati pada COVID-19
dapat terjadi baik pada sirkulasi vena maupun arteri, dengan yang terbanyak adalah
emboli paru. ARDS sebagai akibat dari emboli paru, kegagalan multisistem organ,
sepsis hingga sepsis syok merupakan gejala dari COVID-19 yang berat yang
mengalami keadaan hiperkoagulopati. Peningkatan D-dimer, fibrinogen, serta
abnormalitas dari Prothrombine Time dan Partial Thromboplastine Time dengan
jumlah platelet yang masih dalam rentang normal merupakan tanda awal koagulopati.
Pemberian terapi tromboprofilaksis dengan LMWH maupun UFH dapat menjadi
pilihan bagi pasien-pasien dengan gejala awal koagulopati. Pemilihan terapi
antikoagulan dengan memperhatikan interaksi antar obat seperti obat antiviral yang
digunakan, serta memperhatikan fungsi ginjal dan monitoring ketat perlu dilakukan.
Salah satu pilihan terapi lain yang mungkin bisa menurunkan mortalitas pada pasien
COVID-19 adalah dengan terapi fibrinolisis. Namun terapi tersebut masih dalam tahap
uji klinis.

Daftar Pustaka
1. Kichloo A, Dettloff K, Aljadah M, et al. COVID-19 and Hypercoagulability: A
Review. Clin Appl Thromb. 2020;26. doi:10.1177/1076029620962853
2. Indonesia: WHO Coronavirus Disease (COVID-19) Dashboard | WHO
Coronavirus Disease (COVID-19) Dashboard.
https://covid19.who.int/region/searo/country/id. Accessed March 20, 2021.
3. Abou-Ismail MY, Diamond A, Kapoor S, Arafah Y, Nayak L. The

Tinjauan Kepustakaan Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo

Surabaya – 2021

15
hypercoagulable state in COVID-19: Incidence, pathophysiology, and
management. Thromb Res. 2020;194:101-115.
doi:10.1016/j.thromres.2020.06.029
4. Becker RC. COVID-19 update: Covid-19-associated coagulopathy. J Thromb
Thrombolysis. 2020;50(1):54-67. doi:10.1007/s11239-020-02134-3
5. Lang JP, Wang X, Moura FA, Siddiqi HK, Morrow DA, Bohula EA. A current
review of COVID-19 for the cardiovascular specialist. Am Heart J.
2020;226:29-44. doi:10.1016/j.ahj.2020.04.025
6. Joly BS, Siguret V, Veyradier A. Understanding pathophysiology of
hemostasis disorders in critically ill patients with COVID-19. Intensive Care
Med. 2020;46(8):1603-1606. doi:10.1007/s00134-020-06088-1
7. Alharthy A, Faqihi F, Papanikolaou J, Balhamar A, Blaivas M. Thrombolysis
in severe COVID-19 pneumonia with massive pulmonary embolism. Am J
Emerg Med. 2020;(January). https://doi.org/10.1016/j.ajem.2020.07.068.
8. Rahmatullah P. Tromboemboli Paru. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setyohadi B, Syam AF, eds. Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi
Keenam Jilid II. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2017:1692-1701.
9. Zhou X, Li Y, Yang Q. Antiplatelet Therapy after Percutaneous Coronary
Intervention in Patients with COVID-19: Implications from Clinical Features
to Pathologic Findings. Circulation. 2020;141(22):1736-1738.
doi:10.1161/CIRCULATIONAHA.120.046988
10. Arpaia GG, Caleffi A, Marano G, et al. Padua prediction score and IMPROVE
score do predict in-hospital mortality in Internal Medicine patients. Intern
Emerg Med. 2020;15(6):997-1003. doi:10.1007/s11739-019-02264-4
11. Iba T, Levi M, Levy JH. Sepsis-Induced Coagulopathy and Disseminated
Intravascular Coagulation. Semin Thromb Hemost. 2020;46(1):89-95.
doi:10.1055/s-0039-1694995
12. Watson RA, Johnson DM, Dharia RN, Merli GJ, Doherty JU. Anti-Coagulant
and Anti-Platelet Therapy in the COVID-19 Patient: A Best Practices Quality
Initiative across a Large Health System. Vol 48. Taylor & Francis; 2020.
doi:10.1080/21548331.2020.1772639
13. Levi M, Thachil J, Iba T, Levy JH. Coagulation abnormalities and thrombosis
in patients with COVID-19. Lancet Haematol. 2020;7(6):e438-e440.
doi:10.1016/S2352-3026(20)30145-9
14. Atallah B, Mallah SI, AlMahmeed W. Anticoagulation in COVID-19. Eur
Hear J - Cardiovasc Pharmacother. 2020;6(4):260-261.
doi:10.1093/ehjcvp/pvaa036
15. European Society of cardiology. ESC Guidance for the Diagnosis and
Management of CV Disease during the COVID-19 Pandemic. Eur Heart J.
2020:1-115.
16. Canonico ME, Siciliano R, Scudiero F, Sanna GD, Parodi G. The tug-of-war
between coagulopathy and anticoagulant agents in patients with COVID-19.
Eur Hear J - Cardiovasc Pharmacother. 2020;6(4):262-264.
doi:10.1093/EHJCVP/PVAA048
17. Tang N, Bai H, Chen X, Gong J, Li D, Sun Z. Anticoagulant treatment is
associated with decreased mortality in severe coronavirus disease 2019
patients with coagulopathy. J Thromb Haemost. 2020;18(5):1094-1099.
doi:10.1111/jth.14817
18. Asakura H, Ogawa H. Perspective on fibrinolytic therapy in COVID-19: The
potential of inhalation therapy against suppressed-fibrinolytic-type DIC. J
Intensive Care. 2020;8(1):8-11. doi:10.1186/s40560-020-00491-y

Tinjauan Kepustakaan Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo

Surabaya – 2021

16

Anda mungkin juga menyukai