Anda di halaman 1dari 14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Kebudayaan
1. Kebudayaan
Kebudayaan ada, berkembang dan di bakukan dalam tradisi sosial suatu masyarakat.
Kebudyaan dalam masyarakat digunakan sebagai pedoman atau acuan masyarakat dalam
bertingkah laku pada kehidupan kesehariannya.
Pengertian kebudayaan menurut Soerjono Poespowardojo (1989) bahwa kebudayaan
adalah keseluruhan proses dan hasil perkembangan manusia yang disalurkan dari generasi ke
generasi untuk kehidupan manusiawi yang lebih baik ( Daeng, 2000). Pengertian kebudyaan
sebagai hasil dari budi dan karya manusia maka kebudayaan mencakup sistem pengetahuan.
Teknologi, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, sistem mata pencaharian hidup serta adat
kebiasaan atau tradisi upacara yang diturunkan secara turun temurun dari setiap generasi di
kelompok masyarakat. Dalam hal ini kebudayaan mengandung norma-norma serta nilai-nilai
dalam kehidupan yang berlaku dalam tata pergaulan pada masyarakat.
Kebudayaan sangat berkaitan erat dengan manusia, dan memiliki tiga wujud yaitu
wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-
norma, serta peraturan; wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam bermasyarakat; dan wujud kebudayaan sebagai benda-benda
hasil karya manusia (koentjaraningrat, 1990).
Wujud pertama merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang bersifat abstrak, tidak
dapat dilihat atau diamati kerena wujud itu tersimpan di dalam kepala manusia atau alam
pikiran manusia. Wujud kedua disebut sebagai sistem sosial masyarakat yang berupa
aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul antara manusia yang
satu dengan yang lainnya. Sedangkan wujud ke tiga disebut kebudayaan fisik yang berupa
aktivitas, perbuatan dan karya dari manusia dalam bermasyarakat.
Tiga wujud kebudayaan diatas saling berkaitan. Wujud kebudayaan pertama dan
kedua merupakan hasil dari akal budi manusia, sedangkan wujud ketiga merupakan hasil
karya manusia. Dengan adanya keterkaitan antara kebudayaan yang satu dengan yang lainnya
maka menumbuhkan unsur-unsur universal dalam kebudayaan (Herusatoto,2005).
Unsur-unsur universal tersebut antara lain sistem religi dan upacara keagamaan,
sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, mata
pencaharian hidup serta sistem teknologi dan peralatan.
Kesadaran dari masyarakat sendiri juga sangat mempengaruhi kebudayaan yang
berlangsung, jika masyarakatnya sadar akan budaya yang ada maka kebudayaan yang ada
akan tetap lestari. Menurut Kontjaraningrat (1983) ada tujuh unsur kebudayaan yang bersifat
universal yaitu: religi dan upacara keagamaan, sisitem dan organisasi kemasyarakatan, sistem
pengetahuan, bahasa kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta sistem teknologi dan
peralatan.
Menurut J.J Honigmann (dalam Kontjaraningrat,1990) tiap-tiap unsur
kebudayaan universal menjelma dalam tiga wujud kebudayaan yaitu:
a) Ideas (kompleks, ide, gagasan)
b) Activities (sistem sosial)
c) Artifact (karya benda manusia)
Setiap kebudayaan dalam suatu masyarakat memiliki nilai-nilai yang berguna sebagai
tuntunan masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Disinilah kebudayaan menjadi penting untuk tetap di lestarikan. Sistem nilai memiliki
hubungan yang erat dengan kebudyaan. Menurut Kontjaraningrat (1983) suatu sistem nilai
kebudayaan terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar
warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dalam hidup. Sistem
nilai budaya berfungsi menata dan menetapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku manusia.
Nilai budaya juga sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia, seperti dalam tata
kelakuan manusia, aturan-aturan khusus, hukum, dan norma-norma.
Menurut C. Kluckhon (dalam Kontjaraningrat 1984), ada lima masalah dasar yang
menjadi landasan bagi kerangka variasi sistem niali budaya :
a) Masalah mengenai hakekat hidup manusia
b) Masalah mengenai hakekat dari karya manusia
c) Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia
d) Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya
e) Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya
Dalam konteks kebudayaan dunia terdapat dua pembagian kebudayaan secara garis
besar yaitu kebudayaan barat dan kebudayaan timur. Bangsa Indonesia termasuk dalam
kategori kebudayaan timur, ini artinya nilai-nilai budaya timur menjadi acuan atau pedoman
normatif pada masyarakat bersangkutan dalam melakukan berbagai aktivitas kehidupannya
(Suparlan, 1990). Secara umum kebudayaan timur memliki orientasi nilai budaya yang
bersifat mistis, magis, kosmis, dan religius. Bangsa yang berorientasi pada kebudayaan timur
umumnya ingin hidup menyatu dengan alam karena umumnya mereka menyadari bahwa
dirinya merupakan bagian dari alam ( Sumardjo, 2000).
2. Kebudayaan Jawa
Pengertian budaya Jawa menurut simpulan Karkono Kamajaya (1995) dijelaskan
bahwa budaya Jawa adalah perwujudan atau gambaran budi manusia Jawa yang mencakup
kemauan, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan lahir dan batin
(Suhanjati, 2001). Budaya Jawa dapat diartikan sebagai kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat Jawa, termasuk di dalamnya berbagai tradisi-tradisi yang dilakukan.
Perkembangan budaya Jawa menurut Sutardjo (2008) masih memiliki pokok-pokok
pemikiran lama antara lain:
a) Manusia Jawa berkeyakinan kepada sang maha pencipta yang merupakan penyebab dari
segala kehidupan
b) Manusia Jawa berkeyakinan bahwa manusia adalah bagian dari kodrat alam semesta
(makro kosmos), manusai dengan alam saling mempengaruhi. Dalam hal ini manusia
sanggup melawan kodart alam sesuai dengan cita-citanya supaya dapat hidup selamat, baik di
dunia maupun akherat. Hasil dari perjuangan perlawanan terhadap kodrat alam tersebut
berasal dari kemajuan dan kreativitas kebudayaan, sehingga terjalin keselarasan dan
kebersamaan yang didasarkan pada saling hormat, saling tenggang rasa dan saling mawas
diri.
c) Manusia Jawa sangat menginginkan kondisi tata tentrem kerja raharja yaitu suatu keadaan
yang damai, sejahtera, aman, sentosa berdasarkan pada keutamaan hidup, sehingga manusia
Jawa berkewajiban untuk memayu hayuning raga, sesama bangsa dan bawana (menjaga
keselamatan diri, kelestarian sesama, bangsa dan bumi).
Oleh karena itu kebudayaan Jawa dapat dilihat sebagai suatau ciri yang membedakan
masyarakat Jawa dengan suku lainnya, karena kebudayaan itu sendiri bersifat normatif, dan
melahirkan gaya hidup tertentu. Dalam menciptakan gaya hidup yang seperti demikian hanya
akan terwujud dengan aturan-aturan yang ditetapkan bersama serta pandangan yang ideal
mengenai tatanan kehidupan , salah satunya adalah kesenian.
Kesenian sendiri adalah salah satu unsur dari kebudyaan, sesungguhnyalah
merupakan simbol yang merefleksikan atau mengekspresikan kebudayaan itu sendiri.
Perbedaanya dengan unsu–unsur kebudayaan yang lain, dalam perwujudannya, kesenian
senantiasa terwadahi dalam kemasan bentuk estetis yang spesifik ( Koentjaraningrat, 1986).
Kemasan bentuk estetis yang spesifik ini dibangun dalam suatu komposisi yang harmoni
sesuai dengan cita rasa masyarakat Jawa. Dalam hal ini cita rasa yang dimaksud adalah
sesuatu yang muncul dari benda, gejala, atau stimulus buatan yang dirasa cocok, selaras, dan
sesuai dengan pengetahuan, kepercayaan, atau nilai-nilai yang berkembang dan dimiliki oleh
masyarakat Jawa.
Dengan kata lain kesenian di Jawa merupakan simbol ekspresif estetis yang
mengungkapkan pengetahuan, kepercayaan, dan nilai budaya Jawa yang ada. Dalam konteks
estetika kesenian dapat dipahami dalam dua sapek. Pertama, estetika sebagai konsep
pengetahuan, pandangan, kepercayaan, atau nilai-nilai filosofis tentang bagaimana
seharusnya kesenian dibuat dan diperlakukan. Kedua, estetika sebagai sifat, keadaan, atau
karakter fisik dari suatu benda, gejala, atau stimulus buatan yang mampu mempengaruhi atau
menimbulkan citarasa warga masyarakat pencipta atau penikmatnya. Kesenian tidak secara
eksklusif hadir sebagai bagian khusus melainkan menjadi bagian dari suatu tradisi.
Masyarakat kadang tidak sadar sedang melakukan suatu kehidupan tradisi tertentu, meskipun
apa yang dilakukan itu merupakan kegiatan artistik yang bernilai estetis.
Karya seni tradisional, baik itu seni rupa, tari, music, atau pertunjukan lainnya
seringkali di kemas atau dipentaskan untuk kepentingan peristiwa budaya tertentu misalnya
upacara adat atau kebudayaan. Kebudayaan Jawa mencakup tiga aspek penting yaitu aspek
keteraturan, pemanfaatan, dan harmoni, dengan adanya ketiga aspek ini maka kesenian yang
ada di Jawa akan memperlihatkan keindahannya. Salah satu karya seni hasil dari budaya Jawa
yang hingga kini masih digunakan yaitu kebaya. Kebaya diyakini sebagai pakaian wanita
yang muncul dari kebudayaan serta adat istiadat yang ada dalam masyarakat Jawa. Dari
perwujudan kebaya di Jawa memperlihatkan bagaimana seorang wanita di Jawa harus
bersikap dalam kesehariannya.
B. Tinjauan Busana, Pakaian dan Pakaian Tradisional
1. Busana dan pakaian
Busana adalah bahan tekstil atau bahan lainnya yang sudah dijahit atau tidak dijahit
yang dipakai atau disampirkan untuk penutup tubuh seseorang. Kata busana diambil dari
bahasa sansekerta bhusana. Namun dalam bahasa Indonesia terjadi pergeseran menjadi
busana yang dapat diartikan pakaian.
Namun pengertian busana dan pakaian terdapat sedikit perbedaan, dimana busana
mempunyai konotasi pakaian yang bagus dan indah, yaitu pakaian yang serasi, harmonis,
selaras, enak dipandang, nyaman melihatnya, cocok dengan pemakai serata seseuai dengan
kesempatan sedangkan pakaian adalah bagian dari busana itu sendiri ( Riyanto, 2003) Busana
merupakan segala sesuatu yang dipakai dari ujung rambut hingga ke ujung kaki, sedangkan
pakaian yaitu sesuatu yang di pakai untuk menutupi tubuh.
Meskipun demikian busana dan pakaian memiliki makna yang berbeda. Busana
dibagi dalam tiga garis besar ( Ernawati,2008):
a) Busana mutlak yaitu busana yang tergolong busana pokok seperti baju, rok, kebaya, blus,
bebe, dan lain-lain, termasuk pakaian seperti singlet, bra, celana dalam dan lain sebagainya
b) Milineris yaitu pelengkap busana yang sifatnya melengkapai busana mutlak serta
mempunyai nilai guna disamping juga untuk keindahan seperti sepatu, tas, topi, kaos kaki,
kaca mata, selendang scarf, shawl, jam tangan dan lain-lain.
c) Aksesoris yaitu pelengkap busana yang sifatnya hanya untuk menambah keindahan si
pemakai seperti cincin, kalung, liontin, bross dan sebagainya. Busana dalam kehidupan
manusia pada umumnya tidak dapat dilepaskan dari manusia sebagai makhluk yyang
berbudaya, yang selalu berkembang dari waktu kewaktu.
Kebudayaan bersifat akumulatif, artinya makin lama bertambah kaya, karena semakin
berkembanngnya ilmu pengetahuan sehingga busana juga semakin berkembang. Busana yang
mulanya digunakan sebagai penutup tubuh semakin berkembang menjadi sebuah simbol
status maupun kedudukan seseorang dalam suatu masyarakat.
Pakaian merupakan salah satu hsil kebudayaan yang bersifat material yang artinya
hasil kebudayaan yang berwujud. Bentuk pakaian setiap suku menyesuaikan dengan faktor
geografis yang ditempati. Semakin berkembangnya manusia dan kebutuhan yang ada
menyebabkan pakaian juga ikut mengalami perubahan yang disesuaikan dengan jaman dan
trend yang sedang berlangsung. Kontak dengan kebudayaan asing juga menyebabkan
perubahan terjadi pada pakaian, terjadinya alkulturasi dan inkulturasi dalam masyarakat
semakin menambah ragam jenis pakaian yang ada.
2. Pakaian Tradisional
Pada masa pemerintrahan kerajaan Kasuanan Surakarata Hadiningrat dan Pura
Mangkunegaran Surakarta, raja memiliki berbagai kegiatan tradisional yang diselenggarakan
secara rutin. Bahkan kegiatan tersebut ada beberapa yang masih tetap berlangsung hingga
masa kini, misalnya: Grebeg sura, Grebeg Maulud, Jumenengan, dan masih banyak lagi.
Setiap acara tersebut raja dan para pejabat keraajaan mengenakan pakaian khusus yang
berbeda dengan pakaian pada acara lain maupun busana harian.
Perkembangan setelah masuknya Islam dan masa kolonial membawa perubahan di
berbagai hal termasuk bentuk pakaian yang dikenakan. Beberapa pakaian yang dimodifikasi
antara pakaian keraton dengan pakaian model Islam ataupun model colonial ( bangsa eropa).
Ada juga yang benar-benar model baru yang dikenakan raja dan kerabatnya.
Lama kelamaan pakaian model keraton yang dahulu banyak diikuti masyarakat mulai
jarang dipakai bahkan ditinggalkan dan hanya dipakai pada acara tertentu saja, biasanya pada
upacara tradisi saja. Pakaian yang digunakan pada acara tradisi ini mulanya berasal dari
keraton selanjutnya di masyarakat luas dikenal dengan pakaian tradisional, atau dengan kata
lain pakaian tradisional merupakan pakaian yang bentu, jenis, motif, fungsi, dan pemakainya
telah diataur dalam lingkup keraton maupun masyarakat. Apabila dilihat secara seksama
pemakaian busana tradisional Surakarta dapat dibedakan menurut kebutuhan acara, tingkat
umur, dan status atau kedudukan pemakainya.
3. Blangkon
Blangkon berasal dari kata Blangko yang berarti mencetak kosong, adalah suatu nama
yang diberikan pada jenis-jenis iket yang telah dicetak (Soegeng T, 1980/1981:113).
Blangkon adalah kain penutup kepala yang dibentuk rapi sebagai kopiah; ketu udeng; bendo;
destar. Blangkon adalah tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria
sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa. Blangkon sebenarnya bentuk praktis dari iket
yang merupakan tutup kepala yang dibuat dari batik (Wikipedia, 2010:1). Iket atau destar
atau Blangkon adalah tutup kepala yang dapat langsung dibuat sendiri di kepala atau bantuan
orang lain. Bentuk kain iket adalah berbentuk bujur sangkar dengan sisinya 45 cm. Ada juga
iket hanya separuhnya saja dengan sudut siku-siku 80 derajat dan sudut sama kaki masing-
masing 45 derajat (Thomas Wiyasa Bratawijaya, 2006:206).
Tutup kepala atau yang disebut juga Iket, Udheng, Destar masyarakat umum di
Yogyakarta menyebut nya Iket Blangkon. Ada perbedaan yang menyolok antara Blangkon
model Yogyakarta dan Surakarta. Perbedaan yang mencolok itu merupakan ciri khas atau
identitas gaya kedaerahan dari Iket Blangkon, sebab biasanya kedua daerah pakaian adat
mereka terdiri dari setelan yang asli dan kompak. Mereka menamakan model itu gaya atau
corak, misalnya dari Yogyakarta disebut corak Mataraman, dan Surakarta disebut corak
Surakarta.
Khusus mengenai Blangkon corak Mataraman terdapat spesifikasi yang mencolok,
yang disebut dengan Cengkokan atau Tunjungan. Cengkokan berupa bundar di bagian bawah
sebelah belakang Blangkon yang disebut Mondholan. Bentuk Mondholan menyerupai telor
itik, selain itu bentuknya juga menyerupai tembolok ayam yang berisi penuh makanan.
Wiron atau lipatan kain Blangkon untuk tunjungan (gaya Yogyakarta, cengkok
Ngayogyakarta) bagian atas menyamping (jepiping, Jawa) dan di wiru (dilipat) pada bagian
kiri dan kanan menghadap ke atas disebut iket keprok.
Ciri khas Blangkon Yogyakarta selain ditandai dengan adanya Mondholan dan
wirunya, ciri khas lainnya adalah Shintingan. Shintingan tersebut bentuknya seperti daun
yang terletak di kiri kanan Mondholan. Blangkon corak Yogyakarta memiliki Shintingan
yang membedakan nama-nama tiap-tiap Blangkon. Nama Blangkon misalnya : Kamicucen,
Nyinthing, Njebeh, Asu Nguyuh, Nyekok, Ngobis, Kagok, dan Menduran.
1) Kamicucen
Sinthingan Blangkon “Kamicucen” berbentuk kecil, ukuran simetris (sama). Shintingan
dipasang pada Mondholan. Biasanya yang mengenakan Blangkon ini adalah para sesepuh
atau orang tua.
2) Nyinthing
Sinthing pada gaya “Nyinthing” bentuk nya tidak seperti Kamicucen, tetapi diikat dengan
kuat (tali pati, Jawa). Semua Sinthingan dilekuk tepat pada sebelah kiri dan kanan Cekokan.
Dilihat dari cara mengenakan Blangkon Nyinthing ada suatu keunikan, yaitu bila yang
mengenakan Blangkon ini orang biasa, Sinthingan bagian kiri harus ditarik ke bawah
sehingga posisinya menjadi tidak berimbang (asimetris) orang Jawa menyebutnya Sengkleh
Siji, akan tetapi jika yang mengenakan orang-orang tua dan yang memiliki status sosial tinggi
maka semua Sinthingannya mekar (jepiping, Jawa) menghadap ke atas tetapi yang lainnya
menyerong ke kanan. Pada jaman dahulu biasanya yang mengenakan corak Nyinthing yang
menyerong tersebut adalah para Abdi Dalem Bedaya (para penari klasik Keraton).
3) Njebeh
Kata Njebeh berasal dari bahasa Jawa yang berarti ditarik ke kiri kanan, sehingga bentuknya
melebar dan terbuka. Di Jebeh (Jawa berarti di Jereng Jrebebeh; di tarik melebar) besar
Sinthingannya sama dan dipasang atau diletakkan secara simetris pada kiri kanan Cekokan.
Dulu Blangkon dengan gaya Njebeh dikenakan oleh Abdi Dalem Kadipaten.
4) Asu Nguyuh
Blangkon yang disebut Asu Nguyuh bentuk Sinthingnya tidak sama, bagian kiri lebih kecil
dibanding dengan bagian kanan nya yang lebih besar. Disebut demikian karena Blangkon
gaya Asu Nguyuh mengingatkan kita pada gaya anjing jantan yang sedang kencing yang kaki
kiri sebelah kiri diangkat ke samping sehingga seolah-olah kaki kiri itu lebih kecil dan
menggantung.
5) Nyekok
Gaya Blangkon Nyekok, kedua Sinthingnya dililitkan pada tangkai Cekokan atau
Mondholan. Gaya yang demikian menyebabkan Blangkon berbentuk kecil, kelihatan praktis,
kuat, dan jantan. Dulu Blangkon Nyekok dikenakan untuk para petugas yang mengenakan
seragam militer. Oleh karena itu Blangkon Nyekok juga dikenakan sebagai kelengkapan
seragam militer Keraton.
6) Ngobis
Sinthingan Blangkon gaya Ngobis berbentuk lebar (Njrebebeh, Jawa) mengelilingi Cekokan.
Blangkon ini lazimnya dikenakan untuk seragam upacara-upacara saja atau Pasamuwan, di
samping itu karena bentuknya yang kelihatan formal, maka Blangkon Ngobis dipakai oleh
para penari Lawung yang sedang menarikan tari Gagahan, misalnya tari perang-perangan dan
wayang orang lakon menak dan tarian lainnya yang patriotik, misalnya tarian Trunajaya.
Kegemaran mengenakan Blangkon sebagai tutup kepala memiliki arti simbolis
tersendiri, misalnya Blangkon jenis Jenthitan yang hanya dikenakan oleh golongan
bangsawan, Blangkon dengan hiasan huruf Arab dikenakan oleh para santri, Blangkon
Jeplakan dikenakan oleh para prajurit Keraton dan Blangkon Tempen dikenakan oleh para
Lurah (Depdikbud, 1990:80).
4. Batik
Kata “batik” berasal dari bahasa Jawa, dari kata “amba” yang berarti menggambar
dan “tik” yang berarti kecil. Seperti misalnya terdapat dalam kata-kata Jawa lainnya yakni
“klitik” (warung kecil), “bentik” (persinggungan kecil antara dua benda), “kitik” (kutu kecil)
dan sebagainya (Teguh Suwarto, dkk, 1998: 8).
Pengertian lain dari batik menjelaskan bahwa batik merupakan suatu seni dan cara
menghias kain dengan penutup lilin untuk membentuk corak hiasannya, membentuk sebuah
bidang pewarnaan, sedang warna itu sendiri dicelup dengan memakai zat warna bisaa (Endik
S, 1986: 10).
Berdasarkan dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa batik merupakan suatu
seni menghias kain dengan menggambar pola-pola tertentu di atas kain dengan menggunakan
malam.
Ada beberapa pandangan yang mengelompokkan batik menjadi dua kelompok seni
batik, yakni batik keraton (Surakarta dan Yogyakarta) dan seni batik pesisir. Motif seni batik
keraton banyak yang mempunyai arti filosofi, sarat dengan makna kehidupan.
Gambarnya rumit/halus dan paling banyak mempunyai beberapa warna, biru, kuning
muda atau putih. Motif kuno keraton seperti pola panjji (abad ke-14), gringsing (abad 14),
kawung yang diciptakan Sultan Agung (1613-1645), dan parang, serta motif anyaman seperti
tirta teja.
Batik pesisir memperlihatkan gambaran yang lain dengan batik keraton. Batik pesisir
lebih bebas serta kaya motif dan warna. Mereka lebih bebas dan tidak terikat dengan aturan
keraton dan sedikit sekali yang memiliki arti filosofi. Motif batik pesisir banyak berupa
tanaman, binatang, dan ciri khas lingkungannya. Warnanya semarak agar lebih menarik
konsumen.
Batik tulis dikerjakan dengan menggunakan canthing yaitu alat yang terbuat dari
tembaga yang dibentuk bisa menampung malam (lilin batik) dengan memiliki ujung berupa
saluran/pipa kecil untuk keluarnya malam dalam membentuk gambar awal pada permukaan
kain. Bentuk gambar/desain pada batik tulis tidak ada pengulangan yang jelas, sehingga
gambar nampak bisa lebih luwes dengan ukuran garis motif yang relatif bisa lebih kecil
dibandingkan dengan batik cap.
Gambar batik tulis bisa dilihat pada kedua sisi kain nampak lebih rata (tembus bolak-
balik) khusus bagi batik tulis yang halus. Warna dasar kain biasanya lebih muda ibandingkan
dengan warna goresan motif (batik tulis putih/tembokan). Setiap potongan gambar (ragam
hias) yang diulang pada lembar kain biasanya tidak akan pernah sama bentuk dan ukurannya.
Berbeda dengan batik cap yang kemungkinannya bisa sama persis antara gambar yang
satu dengan gambar lainnya. Waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan batik tulis relatif lebih
lama (2 atau 3 kali lebih lama) dibandingkan dengan pembuatan batik cap.
BAB III
METODOLOGY

A. Metode Kegiatan
Kegiatan ini menggunakan metode wawancara. Wawancara adalah proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan tanya jawab sambil bertatap muka
antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau informan dengan
menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara) (Nazir, 1999).
Wawancara merupakan metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang
dilakukan secara sistematis dan berlandasakan kepada tujuan penelitian. Wawancara yang
dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan mewawancarai salah satu sentra produksi
Batik dan blangkon di wilayah Surakarta.
Dengan perlengkapan berupa kamera, pewawancara akan mendokumentasikan
informasi yang didapat dari narasumber baik berupa tulisan, gambar, dan video yang
kemudian akan dijadikan bahan / materi dalam pembuatan video dokumentasi yang
menyeleruh terkait jalannya kegiatan tersebut.
Kemudian tahap akhir, yaitu mengupload video dokumentasi tersebut via channel
Youtube sebagai bukti pemenuhan tugas Project Citizen dan sekaligus menjadi bahan
evaluasi terhadap jalannya kegiatan bagi dosen pengampu mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan.

B. Lokasi Kegiatan
Lokasi kegiatan Project Citizen ini adalah

C. Sumber Data
Suber data yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder.
1. Data Primer
Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan.
Data ini dapat diperoleh melalui pengamatan langsung maupun hasil wawancara kepada
informan berdasarkan pedoman wawancara yang dibuat oleh peneliti.
2. Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini didapat melalui peninggalan tertulis yang
dilakukan dengan cara membaca buku-buku literatur, dokumen, dan tulisan yang dianggap
peneliti berkenan dengan permasalahan yang sedang diteliti.

D. Teknik Pengumpulan Data


Untuk mendapatkan kelengkapan informasi yang sesuai dengan fokus
penelitian maka yang dijadikan teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut:
1. Data Primer
Data Primer merupakan data yang diperoleh langsung dari informan
penelitian, berupa hasil wawancara, data primer akan menjadi sumber data utama dalam
penelitian. Dalam mendapatkan data primer, dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a) Wawancara; Teknik pengumpulan data melalui tanya jawab langsung dengan
informan untuk mendapatkan informasi-informasi tambahan yang berkaitan dengan
penelitian ini.
b) Observasi; Mengamati secara langsung-tanpa mediator-sesuatu objek untuk melihat
dengan dekat kegiatan yang dilakukan objek tersebut. Kegiatan observasi meliputi
melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematik kejadian-kejadian, perilaku,
obyek-obyek yang dilihat dan hal-hal lain yang diperlukan dalam mendukung
penelitian yang sedang dilakukan.
c) Dokumentasi; Mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis dengan cara
membaca literature, tulisan, maupun dokumen yang dianggap peneliti berkenan dengan
penelitian yang sedang diteliti.

2. Data Sekunder
Data Sekunder merupakan data yang mendukung data primer. Data yang
ditambahkan atau pelengkap yang bisa didapat dari studi pustaka dan literatur- literatur yang
berkaitan dengan penelitian.
PENUTUP
Demikian proposal ini kami tulis, dalam rangka melaksanakan tugas “Project Citizen”
pada mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan sekaligus menjadi upaya kami sebagai
mahasiswa Universitas Slamet Riyadi dalam memberikan sumbangsih kepada Masyarakat.
Semoga dengan terlaksananya program ini, dapat memberikan efek yang positif, baik
bagi kami sebagai Mahasiswa maupun bagi masyarakat pada khususnya. Serta menjadi
momentum untuk meningkatkan Nasionalisme dan rasa cinta terhadap kebudayaan Indonesia.
Atas perhatian dan kesediaan Bapak dalam menyetujui pelaksanaan kegiatan Project
Citizen ini, kami mengucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA

Mulder, Niels. 1973. “Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional”. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press
Koentjaraningrat. 1975. “Antropology in Indonesia”. Jakarta
Kodiran. 1975. “Kebudayaan Jawa”, dalam Koentjaraningrat. Jakarta
Sajogo. 1978. “Lapisan Masyarakat yang Paling Lemah di Pedesaan Jawa”. Bandung: Prisma
Kartodirdjo. 1975. “Sejarah Nasional Indonesia”. Jakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan

Anda mungkin juga menyukai