Anda di halaman 1dari 24

DAFTAR ISI

Halaman
Kata pengantar...............................................................................................................1

Daftar isi........................................................................................................................2

Pendahuluan..................................................................................................................3

Polip Nasi

I. Definisi...........................................................................................................4

II. Anatomi dan Fisiologi..................................................................................5 - 9

III. Etiologi...........................................................................................................10

IV. Patofisiologi...................................................................................................11

V. Gejala Klinis...................................................................................................12

VI. Diagnosis banding..........................................................................................13

VII. Penatalaksanaan..............................................................................................14

VIII. Prognosis.........................................................................................................15

IX. Kesimpulan.....................................................................................................16

Daftar Pustaka............................................................................................................17

Lampiran....................................................................................................................18
1

PENDAHULUAN

Polip nasi merupakan salah satu penyakit yang cukup sering ditemukan di bagian
THT 3. Keluhan pasien yang datang dapat berupa sumbatan pada hidung yang makin
lama semakin berat. Kemudian pasien juga mengeluhkan adanya gangguan penciuman
dan sakit kepala. Untuk mengetahui massa di rongga hidung merupakan polip atau
bukan selain perlu dikuasai anatomi hidung juga perlu dikuasai cara pemeriksaan yang
dapat menyingkirkan kemungkinan diagnosa lain. Di dalam referat ini akan dijelaskan
mengenai anatomi, fisiologi hidung serta patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan dan
penatalaksanaan pada polip nasi.
2

POLIP NASI

I. DEFINISI 1,2,3

Polip nasi adalah massa lunak yang tumbuh di dalam rongga hidung.
Kebanyakan polip berwarna putih bening atau keabu – abuan, mengkilat, lunak
karena banyak mengandung cairan (polip edematosa). Polip yang sudah lama
dapat berubah menjadi kekuning – kuningan atau kemerah – merahan, suram
dan lebih kenyal (polip fibrosa).
Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel dan
dapat bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh
ke arah belakang, muncul di nasofaring dan disebut polip koanal.
3

II. ANATOMI DAN FISIOLOGI 1,4

Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian – bagiannya dari atas ke
bawah :
1. Pangkal hidung (bridge)
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M.
Nasalis pars allaris. Kerja otot – otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar
dan menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks
(akar), antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang
terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :
- Superior : os frontal, os nasal, os maksila
- Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris
mayor dan kartilago alaris minor
Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior
menjadi fleksibel.
Perdarahan :
1. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A.
Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna).
2. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris
interna, cabang dari A. Karotis interna)
3. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)
Persarafan :
1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
4

2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)

Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan
yang membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini
berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa
kranial media. Batas – batas kavum nasi :
Posterior : berhubungan dengan nasofaring
Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus
sfenoidale dan sebagian os vomer
Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal,
bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap. Bagian
ini dipisahnkan dengan kavum oris oleh palatum durum.
Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan
(dekstra dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh
kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum yang
terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars membranosa = kolumna =
kolumela.
Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os
etmoid, konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari
tulang etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah.
Ruangan di atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid
yang berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang – kadang konka nasalis suprema
dan meatus nasi suprema terletak di bagian ini.
Perdarahan :
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina
yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior yang
merupakan cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang terletak
submukosa yang berjalan bersama – sama arteri.
5

Persarafan :
1. Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N.
Etmoidalis anterior
2. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion
pterigopalatinum masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N.
Palatina mayor menjadi N. Sfenopalatinus.

Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan
fungsional dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa
pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya
dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya
terdapat sel – sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya
lebih tebal dan kadang – kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa.
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena
diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini
dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang
penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan
didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk
membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan
banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan
gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang,
sekret kental dan obat – obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan
tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya
dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor
penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.
6

Fisiologi hidung
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga
aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk
melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara
inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain
kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari
nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir.
Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari
lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas,
sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu
udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri
dan dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada
palut lendir dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan
refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh
gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut
lysozime.
7

4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan
palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara
sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana
rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk
aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
8

III. ETIOLOGI 1,2,3

Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau


reaksi alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip
hidung belum diketahui dengan pasti tetapi ada keragu – raguan bahwa infeksi
dalam hidung atau sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan
adanya polip. Polip berasal dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa
hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung
oleh gaya berat. Polip banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang
(neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah.
Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak – anak.
Pada anak – anak, polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis.
Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :
1. Alergi terutama rinitis alergi.
2. Sinusitis kronik.
3. Iritasi.
4. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan
hipertrofi konka.
9

1,6,
IV. PATOFISIOLOGI

Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan


terdapat di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan
interseluler, sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus
berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian akan turun ke
dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terbentuk polip.
Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab
tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang
lama, vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema
mukosa. Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada
akhirnya membentuk suatu struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus
maksila, kemudian sinus etmoid. Setelah polip terrus membesar di antrum, akan
turun ke kavum nasi. Hal ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang
berulang yang sering dialami oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi
karena pada rinitis alergi terutama rinitis alergi perennial yang banyak terdapat
di Indonesia karena tidak adanya variasi musim sehingga alergen terdapat
sepanjang tahun. Begitu sampai dalam kavum nasi, polip akan terus membesar
dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus media.
10

V. GEJALA KLINIS 1,6

Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di
hidung. Sumbatan ini tidak hilang – timbul dan makin lama semakin berat
keluhannya. Pada sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia
atau anosmia. Bila polip ini menyumbat sinus paranasal, maka sebagai
komplikasinya akan terjadi sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan rinore.
Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan
iritasi di hidung.
Pada rinoskopi anterior polip hidung seringkali harus dibedakan dari
konka hidung yang menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaan antara polip
dan konka polipoid ialah :
Polip :
- Bertangkai
- Mudah digerakkan
- Konsistensi lunak
- Tidak nyeri bila ditekan
- Tidak mudah berdarah
- Pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin) tidak mengecil.
11

VI. DIAGNOSIS BANDING 1

Polip didiagnosabandingkan dengan konka polipoid, yang ciri – cirinya


sebagai berikut :
- Tidak bertangkai
- Sukar digerakkan
- Nyeri bila ditekan dengan pinset
- Mudah berdarah
- Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin).
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan
polip dan konka polipoid, terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang juga
harus hati – hati pemberiannya pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler
karena bisa menyebabkan vasokonstriksi sistemik, maningkatkan tekanan darah
yang berbahaya pada pasien dengan hipertensi dan dengan penyakit jantung
lainnya.
12

VII. PENATALAKSANAAN 1,2,6

Untuk polip edematosa, dapat diberikan pengobatan kortikosteroid :


1. Oral, misalnya prednison 50 mg/hari atau deksametason selama 10 hari,
kemudian dosis diturunkan perlahan – lahan (tappering off).
2. Suntikan intrapolip, misalnya triamsinolon asetonid atau prednisolon 0,5 cc,
tiap 5 – 7 hari sekali, sampai polipnya hilang.
3. Obat semprot hidung yang mengandung kortikosteroid, merupakan obat
untuk rinitis alergi, sering digunakan bersama atau sebagai lanjutan
pengobatn kortikosteroid per oral. Efek sistemik obat ini sangat kecil,
sehingga lebih aman.
Untuk polip yang ukurannya sudah besar dilakukan ektraksi polip
(polipektomi) dengan menggunakan senar polip. Selain itu bila terdapat
sinusitis, perlu dilakukan drenase sinus. Oleh karena itu sebelum operasi
polipektomi perlu dibuat foto sinus paranasal untuk melihat adanya sinusitis
yang menyertai polip ini atau tidak. Selain itu, pada pasien polip dengan
keluhan sakit kepala, nyeri di daerah sinus dan adanya perdarahan pembuatan
foto sinus paranasal tidak boleh dilupakan.
Prosedur polipektomi dapat mudah dilakukan dengan senar polip setelah
pemberian dekongestan dan anestesi lokal.
Pada kasus polip yang berulang – ulang, perlu dilakukan operasi
etmoidektomi oleh karena umumnya polip berasal dari sinus etmoid.
Etmoidektomi ada dua cara, yakni :
1. Intranasal
2. Ekstranasal
13

BAB III

PROGNOSIS 1

Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga
perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal
pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan
eliminasi.
Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa
dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid
atau tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan
hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan.
14

VIII. KESIMPULAN

1. Polip nasi merupakan salah satu penyakit THT yang memberikan keluhan
sumbatan pada hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat
dirasakan.
2. Etiologi polip di literatur terbanyak merupakan akibat reaksi
hipersensitivitas yaitu pada proses alergi, sehingga banyak didapatkan
bersamaan dengan adanya rinitis alergi.
3. Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan obstruksi hidung, anosmia,
adanya riwayat rinitis alergi, keluhan sakit kepala daerah frontal atau sekitar
mata, adanya sekret hidung.
4. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan massa yang lunak,
bertangkai, mudah digerakkan, tidak ada nteri tekan dan tidak mengecil
pada pemberian vasokonstriktor lokal.
5. Penatalaksanaan untuk polip nasi ini bisa secara konservatif maupun
operatif, yang biasanya dipilih dengan melihat ukuran polip itu sendiri dan
keluhan dari pasien sendiri.
6. Pada pasien dengan riwayat rinitis alergi, polip nasi mempunyai
kemungkinan yang lebih besar untuk rekuren. Sehingga kemungkinan
pasien harus menjalani polipektomi beberapa kali dalam hidupnya.
15

DAFTAR PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Polip Hidung

2.1.1 Definisi

Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di

dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat

inflamasi mukosa. Bentuk menyerupai buah anggur, lunak dan dapat

digerakkan. Polip timbul dari dinding lateral hidung. Polip yang diakibatkan
16

proses inflamasi biasanya bilateral (Schlosser & Woodworth 2009;

Mangunkusumo & Wardani 2007).

2.1.2 Epidemiologi

Polip hidung biasanya diderita oleh orang dewasa usia 30-60

tahun. Laki-laki lebih dominan dengan perbandingan 2:1 sampai 4:1.

Prevalensi polip hidung dari seluruh orang dewasa Thailand sekitar 1-4%.

Prevalensi pada anak-anak jauh lebih rendah. Prevalensi polip hidung di

Swedia sekitar 2,7% dengan laki-laki lebih dominan 2,2:1. Di Finlandia,

prevalensi polip hidung sekitar 4,3%. Di Amerika Serikat dan Eropa,

prevalensi polip 2,1-4,3% (Storms, Yawn, Fromer 2007; Bachert, Watelet,

Gevaert, Cauwenberge 2005; Kirtsreesakul 2005; Akerlund, Melen,

Holmberg, Bende 2003).

Di Indonesia, Sardjono Soejak dan Sri Herawati melaporkan

penderita polip hidung sebesar 4,63% dari semua pengunjung poliklinik

THT-KL RS.Dr. Soetomo Surabaya. Rasio pria dan wanita 2-4:1. Di RSUP

H.Adam Malik Medan selama Maret 2004 sampai Februari 2005, kasus

polip hidung sebanyak 26 orang terdiri dari 17 pria (65%) dan 9 wanita

(35%). Selama Januari sampai Desember 2010 didapatkan kasus polip

hidung sebanyak 43 orang terdiri dari 22 pria (51,2%) dan 21 perempuan

(48,8%). Indrawati (2011) melakukan penelitian di RS DR. Sardjito

Universitas Sumatera Utara

Yogyakarta, melaporkan terdapat 24 penderita polip dimana tipe 1 sekitar

20,8%, tipe 2 sekitar 58,3%, tipe 3 sekitar 16,7% dan tipe 4 sekitar 4,2%.
17

(Dewi 2011; Munir 2008).

Faktor genetik dianggap berperan dalam etiologi polip hidung.

Sekitar 14% penderita polip memiliki riwayat keluarga menderita polip

hidung. Etnis dan geografis memiliki peranan dalam patofisiologi polip.

Pada populasi Caucasian dominan polip eosinofilik sementara di Asia

dominan neutrofilik (Aaron, Chandra, Conley & Kern 2010).

2.1.3 Patogenesis polip hidung

Alergi ditengarai sebagai salah satu faktor predisposisi polip hidung

karena mayoritas polip hidung mengandung eosinofil, ada hubungan polip

hidung dengan asthma dan pemeriksaan hidung menunjukkan tanda dan

gejala alergi. Suatu meta-analisis menemukan 19% dari polip hidung

mempunyai Ig E spesifik yang merupakan manifestasi alergi mukosa

hidung (Kirtsreesakul 2005).

Ketidakseimbangan vasomotor dianggap sebagai salah satu faktor

predisposisi polip hidung karena sebagian penderita polip hidung tidak

menderita alergi dan pada pemeriksaan tidak ditemukan alergen yang

dapat mencetuskan alergi. Polip hidung biasanya mengandung sangat

sedikit pembuluh darah. Regulasi vaskular yang tidak baik dan

meningkatnya permeabilitas vaskular dapat menyebabkan edema dan

pembentukan polip hidung (Kirtsreesakul 2005).

Fenomena Bernouilli terjadi karena menurunnya tekanan akibat

konstriksi. Tekanan negatif akan mengakibatkan inflamasi mukosa hidung

yang kemudian memicu terbentuknya polip hidung (Kirtsreesakul 2005).


18

Ruptur epitel mukosa hidung akibat alergi atau infeksi dapat

mengakibatkan prolaps lamina propria dari mukosa. Hal ini akan memicu

terbentuknya polip hidung (Kirtsreesakul 2005).

Universitas Sumatera Utara

Infeksi merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan

polip hidung. Hal ini didasari pada percobaan yang menunjukkan rusaknya

epitel dengan jaringan granulasi yang berproliferasi akibat infeksi bakteri

Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus atau Bacteroides

fragilis (merupakan bakteri yang banyak ditemukan pada rhinosinusitis)

atau Pseudomonas aeruginosa yang sering ditemukan pada cystic fibrosis

(Lund 1995).

2.1.4 Makroskopis

Secara makroskopik polip hidung tampak sebagai lesi nonneoplastik

yang merupakan edema mukosa sinonasal, yang prolaps ke

dalam rongga hidung (Choi et al 2006).

2.1.5 Mikroskopis

Secara mikroskopik didapatkan perubahan struktur epitel yaitu

hiperplasia sel goblet, metaplasia skuamosa serta infiltrasi sel-sel radang

seperti eosinofil, limfosit dan sel plasma. Selain itu terdapat pula edema

hebat lamina propria disertai dengan akumulasi matriks protein dan

penebalan membran basal. Pada tingkat seluler, proses inflamasi akan

melibatkan epitel, sel dendritik, sel endothelial dan sel inflamasi seperti

limfosit, eosinofil, neutrofil dan sel mast. Pada tingkat molekular banyak
19

sekali gen-gen pro-inflamasi yang sudah dapat diidentifikasi (Liu et al

2004).

2.1.6 Klasifikasi histopatologi polip hidung (Hellquist 1996)

1. Edematous, Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp)

Gambaran histopatologi berupa edematous stroma, hyperplasia

goblet cells di epitel respiratori, didapatinya sejumlah besar eosinofil dan

sel mast di stroma polip dan penipisan bahkan adanya hialinisasi minimal

pada membran basalis yang terlihat jelas membatasi stroma yang edema

dengan epitel. Pada stroma terlihat sejumlah fibroblast yang jarang

Universitas Sumatera Utara

dimana terdapat juga sejumlah sel inflamasi. Stroma yang edema

sebagian terisi cairan yang membentuk rongga seperti pseudokista.

Infiltrasi sel inflamasi dapat sangat tegas. Polip edematous biasanya

bilateral.

AB

Gambar 1. A. Edematous, Eosinophilic Polyp. Terdapat banyak sel-sel inflamasi, paling

banyak adalah eosinofil dan sel mast. Terlihat adanya penipisan membran basal (tanda

panah). B. Edematous polyp dengan hiperplasia sel goblet, penipisan membran basal

(tanda panah) dan stroma longgar yang mengandung pseudocystic berisi cairan.

AB

Gambar 2. A. Adanya sejumlah sel goblet di epitel saluran nafas yang mengalami

hiperplasia. Kebanyakan sel-sel inflamasi tidak jelas, stroma yang edema didominasi

eosinofil. B. Sebuah polip dimana sebagian epitel saluran nafas menggantikan sel goblet.
20

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3. Polip edematous dengan infiltrasi sel-sel inflamasi yang padat.

2. Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp)

Tidak adanya edema stroma dan hiperplasia sel goblet adalah

tanda khas tipe histopatologi polip ini. Dijumpai sel goblet tetapi epitel

devoid hiperplasia sel goblet. Sering terlihat adanya epitel squamous dan

metaplasia epitel cuboidal. Terdapat penipisan membran basal walaupun

tidak sejelas penipisan membran basal pada tipe eosinofilik. Sering terlihat

adanya infiltrasi sel inflamasi dengan dominasi limfosit yang sering

bercampur dengan eosinofil. Stroma mengandung sejumlah fibroblast dan

tidak jarang terdapat fibrosis. Pada tipe ini sering kali terlihat adanya

hiperplasia minimal kelenjar seromusin dan dilatasi pembuluh darah sering

terlihat.

Gambar 4. Polip tipe inflamasi. Terdapat sebagian daeran epitel permukaan saluran

nafas yang mengalami metaplasia kuboidal tetapi tidak terdapat hiperplasia sel goblet.

Membran basal menunjukkan tidak adanya hialinisasi. Stroma mengandung jaringan ikat

dengan beberapa pembuluh darah yang mengalami dilatasi dan sejumlah besar dengan

infiltrasi limfosit. Terdapat banyak kelenjar seromusin, lebih banyak daripada polip

edematous.

3. Polyp with Hyperplasia of Seromucinous Glands

Tipe polip ini ditandai dengan didapatinya banyak kelenjar

seromusin dan stroma yang edema. Tipe ini mempunyai banyak

kesamaan dengan tipe edematous. Terdapat kelenjar yang sangat banyak


21

dengan kelenjarnya merupakan gambaran histopatologi yang khas tipe ini.

Hiperplasia kelenjar menyebabkan gambaran histopatologi tipe ini mirip

neoplasma glandular jinak dan sering disebut pada banyak literature

Universitas Sumatera Utara

sebagai tubulocytic adenoma. Polip disusun oleh banyak kelenjar dengan

sel silindris dengan inti sel ganjil terletak didepan bagian basal sel.

Kelenjar biasanya berhubungan dengan overlying epitel dan menunjukkan

ketiadaan atypia. Perbedaan dengan tumor kelenjar, pada tipe ini kelenjar

terletak terpisah satu sama lain, berbeda dengan tumor dimana kelenjar

sering kali saling bersentuhan bahkan lengket pada bagian leher satu

sama lain. Tipe polip ini sangat jarang, hanya sekitar 5% dari seluruh

polip.

Gambar 5. Polip hidung dengan hiperplasia kelenjar seromusin. Namun tidak terdapat

atipik.

4. Polyp with Stromal Atypia

Tipe ini adalah tipe yang paling jarang. Dapat dengan mudah

dianggap sebagai suatu neoplasma jika ahli patologi anatomi tidak familiar

dengan gambaran histopatologi ini. Secara makroskopis sama dengan

polip hidung yang lain tetapi gambaran histopatologi ditandai dengan

stroma yang atypik.

Gambar 6. A. Polip dengan stroma atipik. Stroma lebih gembur dengan sel-sel inflamasi

tetapi terdapat sejumlah sel bizarre dan sebagian berbentuk seperti bintang berselubung.
22

Inti sel-sel tersebut atipik dan cenderung hiperkromatik. Tidak adanya mitosis. B. Tipe

Universitas Sumatera Utara

lain dari polip dengan stroma atipik. Sel-sel atipik terlihat berada di tengah gambar.

Terlihat inflamasi tegas di gambar A dan edema di gambar B.

2.1.7 Histomorfologi dan patomekanisme polip

Peradangan merupakan prinsip utama dalam patogenesis

pembentukan dan pertumbuhan polip. Karakteristik polip hidung yang

matang ditandai dengan proses peradangan yang tampak seperti

pembentukan pseudokista yang kosong dan penumpukan sel-sel radang

di subepitel, dimana eosinofil adalah sel yang dominan. Banyak penelitian

yang fokus terhadap rekruitmen dan usia eosinofil di polip hidung. Sitokin

dan kemokin bertindak sebagai mediator dalam proses ini. Pada polip

yang kecil yang tumbuh dari mukosa meatus media yang normal pada

penderita polip hidung bilateral, dijumpai sejumlah eosinofil pada masa

awal pertumbuhan polip. Dari sini diduga ada penumpukan protein plasma

yang diatur oleh eosinofil. Albumin dan protein plasma yang lain

menumpuk didalam pseudokista bersama infiltrasi eosinofil. Histomorfologi

polip didominasi oleh epitel yang rusak, membran basal yang menipis dan

meradang dan terdapat sedikit jaringan stroma yang mengalami fibrosis,

dengan minimal pembuluh darah dan kelenjar serta tidak adanya struktur

saraf.

Peradangan eosinofil pada polip diatur oleh sel T yang teraktivasi.

IL-5 memegang peranan penting dalam proses rekruitmen, aktivasi dan


23

inhibisi apoptosis eosinofil.

TGF-β1, suatu sitokin dengan kerja menginhibisi sintesis IL-5.

Produksi IL-5 yang tinggi dan tidak adanya TGF-β1 diduga menjadi

penyebab utama lamanya usia eosinofil dan menfasilitasi degradasi

jaringan matrix, kedua hal tersebut merupakan karakteristik struktur polip.

ICAM-1, E-selectin dan P-selectin juga terlihat pada epitel polip

yang berperan dalam rekruitmen eosinofil. VCAM-1 juga meningkat secara

bermakna pada polip. Pengobatan dengan steroid topikal menurunkan

Anda mungkin juga menyukai