Sosialisasi Peran Gender merupakan konsep dari proses pemahaman yang membagi kedua sifat gender yaitu maskulin dan feminim yang akan terbentuk menjadi pedoman bagi seorang individu dalam memandang sebuah peran dalam masyarakat. Terdapat 4 agen yang berperan penting dalam proses sosialisasi, yaitu: Keluarga, Sekolah, Teman Sebaya dan Media; terdapat juga beberapa institusi sosial lain yang dapat memengaruhi seperti agama dan budaya. Disamping menerapkan sistem Gender Binary (Laki-laki dan Perempuan) beserta kesesuaian perannya, sosialisasi juga cenderung mendukung heteronormativity yang dimana heterosexual menjadi satu-satunya orientasi seks yang paling ideal dan mudah diterima di dalam masyarakat. Keluarga Keluarga merupakan sumber dari segala sosialisasi, dan pandangan ini diakui oleh Kara Smith (2005) yang dimana ia mengatakan “Proses sosialisasi peran gender sudah dimulai dari sejak seorang individu belum lahir. Hal ini disebabkan oleh alat kelamin fetus sudah dapat dilihat ketika masih di dalam kandungan, yang alhasil para orang tua kini sudah dapat menentukan gender bayinya sebelum masuk ke tahap persalinan”. Selain itu, penelitian Smith juga membuktikan bahwa sosialisasi ini juga diperdalam setelah bayi dilahirkan ke dunia, seperti pemilihan baju laki-laki atau perempuan, dekorasi ruangan, mainan yang dimainkan sang bayi, jenis cerita dongeng yang disampaikan, cara interaksi keluarga terhadap sang bayi, dll. Sekolah Perbedaan dalam pengalaman pendidikan juga berperan penting dalam membentuk peran perempuan dan laki-laki. Dan biasanya ketika mereka memasuki kelas 5 SD, peran gender akan semakin dipersempit dan garis perbedaan laki-laki dan perempuan pun sudah terlihat jelas oleh mereka. “Cara guru dalam memperlakukan muridnya juga menjadi salah satu kunci penting dalam sosialisasi gender. Menurut Smith (1999) “seorang guru, baik laki-laki atau perempuan, cenderung memberi perlakuan lebih terhadap murid laki-lakinya dibandingkan murid perempuan contohnya seperti murid laki-laki lebih sering dipanggil untuk menjawab pertanyaan sulit dan lebih memuji hasil kerja mereka, bersamaan dengan ini juga, murid laki-laki lebih sering membuat marah gurunya dan lebih sering terkena hukuman dibandingkan murid perempuan.”. Teman Sebaya Di pergaulan dunia barat, kelompok pertemanan menjadi agen sosialisasi yang paling berpengaruh terhadap cara pandang seorang individu. Rasa keinginan untuk dipuji dan menjadi populer diantara teman sebayanya kian meningkat seiring seorang anak beranjak remaja, yang dimana remaja laki-laki merasa dirinya hebat ketika mahir dalam sebuah aktivitas olahraga, membuat lelucon, dan mengambil resiko untuk bertindak melawan norma; sedangkan remaja perempuan merasa dirinya puas ketika memiliki status sosial dan paras yang cantik. (Kimmel 2009). Tentunya karena dorongan ini, tidak sedikit remaja yang mengalami kurangnya kepercayaan diri karena merasa dirinya masih belum hebat yang dapat terbawa hingga pada usia menikah, dorongan ini juga dapat berdampak pada semakin kuatnya perilaku heteronormativity. Media Di dalam ranah media (baik itu elektronik atau massa) sosialisasi gender disajikan dengan cara yang paling se-stereotip mungkin. Hal ini menyebabkan baik laki-laki ataupun perempuan memahami beberapa tindakan atau tingkah laku lebih cocok pada gender yang satu dibandingkan yang lainnya. Hal ini menciptakan lingkungan yang berpacu pada sistem binary, sehingga ketika seseorang melihat sebuah peristiwa yang berkaitan dengan homoseksualitas, mereka akan cenderung merasa aneh dan menjadi alasan mengapa komunitas LGBTQ tidak memilik status sosial yang sama dengan masyarakat umum.