How is the Concept of the Ideal Islamic State and Government According to
Hasan albanah, Abul Akla Almaududi, Taqiyudin albani
Azeri
11920411358
Hukum Tata Negara Siyasah
Universitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau
Email: Azeriabzzhaazeri@gmail.com
Abstrak
Ada dua persoalan yang dikaji dalam artikel ini, yaitu: pertama, Bagaimana
konsep negara dalam Islam menurut tiga tokoh pemikiran politik islam yaitu
Hasan al-banna, Abu A’la al-Maududi, Taqiyuddin an-Nabhani. Kedua,
Bagaimana hubungan Islam dan negara menurut tiga tokoh tersebut. Adapun
tujuan Artikel ini adalah untuk memenuhi Ujian Akhir Semester mata kuliah MM
FI Siyasah dan untuk mengetahui konsep negara dalam Islam serta hubungan
Islam dan negara menurut Hasan al-banna, Abu A’la al-Maududi, Taqiyuddin
an-Nabhani. Untuk mengungkap persoalan tersebut secara mendalam dan
menyeluruh, penulis mengambil beberapa sumber dari buku dan internat untuk
memberikan informasi, fakta serta data mengenai konsep negara dalam Islam
dan hubungan Islam dan negara Hasan al-banna, Abu A’la al-Maududi,
Taqiyuddin an-Nabhani, kemudian data tersebut diuraikan, dianalisis dan
dibahas untuk menjawab permasalahan tersebut. Dari hasil yang didapat
ditemukan bahwa: Konsep negara dalam Islam menurut Hasan al-banna bahwa
antara negara dan agama tidak dapat dipisahkan, karenanya perjuang politik
untuk menyebar dakwah merupakan suatu tugas dengan tanggung jawab yang
harus dilaksanakan. Selanjutnya al-Mawdudi mencita-citakan terwujudnya
negara Islam yang berlandaskan pada al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, ia
merumuskan sebuah kerangka aturan negara Islam yang sangat komprehensif.
Meskipun demikian, ia tidak memaksakan idenya tentang negara Islam tersebut.
Ia bisa menerima bentuk atau model negara lainnya, namun yang penting
baginya adalah jenis kedaulatan yang harus menganut kedaulatan Tuhan (teo-
demokrasi) sebagai ciri negara Islam. Tidak seperti model negara republik pada
umumnya yang memakai sistem kedaulatan rakyat atau demokrasi.
Kata Kunci: Negara, Islam, Hasan al-banna, Abu A’la al-Maududi, Taqiyuddin
an-Nabhani
PENDAHULUAN
Perbincangan mengenai Islam dan Negara mendapat perhatian serius di
kalangan akademisi, negarawan, terutama di kalangan intelektual muslim. Di
antara para intelektual muslim tersebut adalah Ibnu Abi Rabi’, Al-Mawardi, Ibnu
Taimiyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya. Meskipun
objek kajian material para tokoh muslim ini sama, yaitu sama-sama tentang
hubungan Islam dan negara, namun secara substansialnya semua tokoh tersebut
memiliki perbedaanperbedaan, mulai dari persfektif, metodologi, hingga hasil
pemikirannya yang berupa kerangka konseptual tentang relasi Islam dan negara
tersebut. Konsep negara dan pemerintahan merupakan suatu ijtihad yang
merefleksikan adanya penjelajahan pemikiran spekulatif rasional dalam rangka
mencari landasan intelektual bagi fungsi dan peranan negara serta pemerintahan
sebagai sebuah faktor instrumental bagi pemenuhan kepentingan dan
kesejahteraan rakyat baik lahir maupun batin. Selain itu, perlu ditambahkan pula
bahwa lahirnya ijtihad spekulatif tersebut didorong oleh suatu keinginan untuk
mendapatkan landasan dalam rangka mempertahankan tatanan politik yang ada.
PEMBAHASAN
Biografi Singkat
Pada umur 13 tahun dia menjadi sekretaris salah satu organisasi yang
diketuai oleh Ahmad Syukri (dia kelak yang mendukung berdirinya Ikhwan Al-
Muslimin). Ketika meletus Revolusi 1919, dia mengikuti demonstrari barisan
pelajar di dalam maupun di luar sekolah. Gerakan nasional tersebut telah
memberikan kenangan dan pengalaman yang cukup berharga dan mengesankan.
Sehingga sampai ia musuk di sebuah sekolah Mu’allimin, sekolah guru di
Damanhur yang berjarak 13 mil dari barat daya Desa Mahmudiyah kenangan
tersebut terus menggelora di dalam jiwanya dan tidak bisa dilupakan begitu saja.
Berangkat dari pemahaman tersebut di atas, di satu sisi dan komitmen al-
Banna yang tinggi terhadap Islam disisi lain, tumbuh gairah dalam diri al-Banna
untuk mengaktualisasikan ajaran Islam dalam aktivitas nyata, dengan membangun
komunitas masyarakat Islam. Terbentuklah masyarakat ini sebagai prasyarat untuk
bisa diamalkannya ajaran-ajaran Islam secara utuh dan intens. Lebih lanjut
konsep-konsep Hasan al-Banna akan dipaparkan hal-hal berikut.
Diatas pondasi sistem sosial qurani yang utama inilah tegak Daulah
Islamiyah pertama. Kita mengimaninya dengan kuat, melaksanakannya
dengan cermat dan menyebarkannya ke seluruh alam... kesatuan makna dan
fenomena yang ada di sistem tadi, melingkupi pranata umat yang baru
tumbuh ini. Oleh karenanya, kesatuan sosial Islam itu bersifat utuh dan
menyeluruh yang tergambar dalam integralitas sistem dan bahasa Alquran.
Kesatuan politik bersifat utuh dan menyeluruh di bawah naungan Amirul
Mukminin, dan di bawah kibaran panji khilafah di pusat
pemerintahan. Fikrah Islamiyah bukan hanya terpusat pada aspek
kemiliteran, baitul maal, atau pada landasan kewajiban para pemimpin,
karenanya semuanya beramal dengan landasan akidah yang satu dan instruksi
umum yang satu pula. Prinsip-prinsip qurani ini menolak sistem paganisme
mistis... menolak konsep Yahudi yang menipu..., memerangi dominasi
Nasrani..., memfokuskan kewenangan politik dan spiritual dalam Daulah
Islamiyah di dua benua besar ini (Asia-Afrika) dan berusaha menklukan
benua yang ketiga (Eropa), dengan memerangi Konstantinopel dari arah Timur
dan mengepungnya sampai berhasi.
Tonggak sejarah kepemimpinan Nabi Muhammad sebagai kepala
pemerintahan dimulai sejak Beliau bertemu dengan duabelas orang
penduduk Madinah yang datang ke Mekkah untuk melakukan ibadah haji. Saat
itu dilakukan bai’at pertama sebagai babak awal dan pengantar kepada bai’at
kedua yang menghasilkan terbentuknya tatanan sosial yang kuat di bawah
kepemimpinannya. Bai’at yang kedua dilakukan oleh Nabi Muhammad bersama
tujuhpuluh orang penduduk Madinah yang datang ke Mekkah untuk
melaksanakan ibadah haji dan sekaligus mengajak Nabi Muhammad untuk pindah
ke Madinah. Bai’at ini terjadi setahun setelah 170bai’at pertama. Dua bai’at
tersebut semakin kokoh setelah Nabi Muhammad datang ke Madinah dan
langsung diberi kepercayaan oleh penduduknya menjadi kordinator sosial
mereka. Untuk menyambut kepercayaan tersebut, Nabi Muhammad
menjawabnya dengan mengeluarkan dustur al-madinah (konstitusi madinah).
Menurut Hasan Al-Banna Islam adalah negara dan tanah air atau
pemerintahan dan umat. Ini adalah kalimat pertama yang ditekankan Hasan
Al-Banna pada awal penjelasannya tentang integritas Islam. Pernyataan
mengenai Islam adalah negara dan tanah air sebagaimana Islam adalah
aqidah dan ibadah adalah salah satu keistimewaan yang menonjol yang
dimiliki oleh dakwah Hasan Al-Banna.
... Islam itu bukan bukan sebagaimana makna yang dikehendaki para
musuh agar umat Islam terkurung dan terikat di dalamnya. Islam adalah
akidah dan ibadah, Negara dan kewarganegaraan, toleransi dan kekuatan,
moral dan material, serta peradaban dan 177perundang-undangan.
Sesungguhnya seorang muslim dengan hukum Islamnya dituntut untuk
memperhatikan semua persoalan umat....
Al-Mawdudi memahami ayat ini dengan “berikan aku kekuasaan dan beri
aku bantuan dari otoritas yang berkuasa, yaitu negara, sehingga aku dengan
bantuan kekuasaan tersebut serta sumber-sumber kekuasaan memaksa dari negara
mampu menegakkan kebajikan, membasmi kejahatan, menumbangkan korupsi,
kecabulan dan dosa, meluruskan kebengkokankebengkokan yang telah menjalari
kehidupan sosial dan mengatur keadilan sesuai dengan hukum yang telah Engkau
wahyukan”. Menurutnya salah besar jika orang menganggap upaya ini hanya
sebagai alat atau hanya bersifat duniawi atau mencap sebagai “haus kekuasaan”.
Tetapi jika kekuasaan yang dicari ini adalah untuk menegakkan Dīn Allah, maka
tentulah dia merupakan tindakan Ilahiyah dan saleh, sama sekali jangan
dicampuradukkan dengan kehausan dan kekuasaan.
Jika ayat ini direnungkan maka akan semakin mendapat kejelasan bahwa
negara yang digambarkan oleh al-Qur’an bukan hanya negara yang bertujuan
untuk mencegah hal-hal yang negatif saja, akan tetapi juga menghendaki sebuah
negara yang berjalan dengan rencana yang positif. Dari pernyataan al-Mawdudi
di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pokok berdirinya negara Islam adalah
melaksanakan sistem keadilan sosial yang baik, seperti yang diperintahkan Allah
dalam kitab-Nya, di samping itu juga menawarkan konsep-konsep maslahat yang
diridhai oleh Allah. Dari argumentasi teks al-Qur’an di atas, al-Mawdudi
menegaskan bahwa kejahatan yang tidak dapat dimusnahkan melalui
ajaranajaranal-Qur’an membutuhkan kekuasaan memaksa dari pihak negara untuk
melakukan pembasmian.
"(Dia adalah) Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin Hasan bin Muhammad An Nabhani
Asy Syafi'i. Julukannya Abul Mahasin. Dia adalah seorang penyair, sufi, dan
salah seorang qadhi yang terkemuka. Dia menangani peradilan (qadha') di
Qushbah Janin, termasuk wilayah Nablus. Kemudian beliau berpindah ke
Konstantinopel (Istambul) dan diangkat sebagai qadhi untuk menangani
peradilan di Sinjiq yang termasuk wilayah Moshul. Dia kemudian menjabat
sebagai ketua Mahkamah Jaza' di Al Ladziqiyah, kemudian di Al Quds.
Selanjutnya dia menjabat sebagai ketua Mahkamah Huquq di Beirut. Dia menulis
banyak kitab yang jumlahnya mencapai 80 buah."
Lalu beliau melanjutkan studinya di Kulliyah Darul Ulum yang saat itu
merupakan cabang Al Azhar. Di samping itu beliau banyak menghadiri halaqah-
halaqah ilmiah di Al Azhar yang diikuti oleh syaikh-syaikh Al Azhar, semisal
Syaikh Muhammad Al Hidhir Husain --rahimahullah-- seperti yang pernah
disarankan oleh kakek beliau. Hal itu dimungkinkan karena sistem pengajaran
lama Al Azhar membolehkannya. Meskipun Syaikh Taqiyuddin menghimpun
sistem Al Azhar lama dengan Darul Ulum, akan tetapi beliau tetap menampakkan
keunggulan dan keistimewaan dalam kesungguhan dan ketekunan belajar.
Pemikiran Politik
Dalam bidang politik dan pemerintahan, pandangan kritis Taqiyuddin Al-
Nabhani cenderung puristis dan analitis. Taqiyuddin Al- Nabhani tidak sepakat
bahwa bentuk negara Islam adalah republik dan sistem politiknya demokrasi,
karena konsep-konsep yang lahir dari demokrasi bertentangan dengan aqidah
Islam.
Sebab menurut para pemikir modern, prosesi pemilihan kepala negara yang
dialami khalifah yang empat mengalami perbedaan sebagai indikasi bahwa tata
cara pemilihan kepala negara tidak ada yang baku.
2. Perbuatan selain dalam kontek manusia biasa (ghair Jibîliyah), tetapi hanya
khusus untuk nabi dan tidak boleh diikuti oleh umatnya. Contohnya puasa wishal,
shalat tahajud dan witir wajib bagi nabi, menikah lebih dari empat dsb.
Perbuatan yang bukan dari sisi manusia biasa (al-Jibiliyah), bukan kekhususan
dan bukan pula penjelas (al-bayan) dari alQur‟an.
A. Penutup
Di dalam Islam sejarah terbentuknya negara pertama kali
adalah negara yang didirikan oleh nabi Muhammad di Madinah.
kemudian Negara ini diyakini sebagai Negara Islam pertama di dunia.
Negara Islam ini berdiri sebagai sebuah negara yang menjadi payung
bagiseluruh kehidupan masyarakat yang ada saat itu. Negara ini
didirikan di atas panji-panji Islam, di mana semua rakyat madinah
hidup di bawah naungan Islam. Negara ini juga mempraktekan
fikrah Islamiyah yang tidak hanya terwujud dalam bidang militer,
tetapijuga dalam bidang ekonomi dan pemerintahan. Semua amal
kerja yang dilakukan dengan landasan akidah yang satu yaitu Islam.
Konsep Negara Islam oleh Hasan Al-Banna digambarkan sebagai
sebuah negara yang merdeka yang berdiri di atas syariat Islam dan dalam
segala aspeknya. Mengenai nama dan bentuk Negara Islam
sendiri tidaklah dipermasalahkan, baik itu berbentuk Khilafah,
Kesultanan, Mamlakah ataupun Imarah, karena yang terpenting adalah
penerapan kaidah pokok-pokok Islam. Meskipun secara pribadi Hasan
Al-Banna lebih menyukai jika Negara Islam bernama daulah
Islamiyah.Selain landasannya berdasarkan Islam, di dalam Negara
Islam kita juga memerlukan pemerintahan yang Islami yang
akan menjadi roda penggerak dalam suatu negara.
al-Mawdudi mencita-citakan terwujudnya negara Islam yang
berlandaskan pada al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, ia merumuskan
sebuah kerangka aturan negara Islam yang sangat komprehensif.
Meskipun demikian, ia tidak memaksakan idenya tentang negara Islam
tersebut. Ia bisa menerima bentuk atau model negara lainnya, namun yang
penting baginya adalah jenis kedaulatan yang harus menganut kedaulatan
Tuhan (teo-demokrasi) sebagai ciri negara Islam. Tidak seperti model
negara republik pada umumnya yang memakai sistem kedaulatan rakyat
atau demokrasi.