Anda di halaman 1dari 26

Konsep Negara dan Pemerintahan Islam Menurut

Hasan al-banna, Abu A’la al-Maududi, Taqiyuddin an-Nabhani

How is the Concept of the Ideal Islamic State and Government According to
Hasan albanah, Abul Akla Almaududi, Taqiyudin albani

Azeri
11920411358
Hukum Tata Negara Siyasah
Universitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau
Email: Azeriabzzhaazeri@gmail.com
Abstrak
Ada dua persoalan yang dikaji dalam artikel ini, yaitu: pertama, Bagaimana
konsep negara dalam Islam menurut tiga tokoh pemikiran politik islam yaitu
Hasan al-banna, Abu A’la al-Maududi, Taqiyuddin an-Nabhani. Kedua,
Bagaimana hubungan Islam dan negara menurut tiga tokoh tersebut. Adapun
tujuan Artikel ini adalah untuk memenuhi Ujian Akhir Semester mata kuliah MM
FI Siyasah dan untuk mengetahui konsep negara dalam Islam serta hubungan
Islam dan negara menurut Hasan al-banna, Abu A’la al-Maududi, Taqiyuddin
an-Nabhani. Untuk mengungkap persoalan tersebut secara mendalam dan
menyeluruh, penulis mengambil beberapa sumber dari buku dan internat untuk
memberikan informasi, fakta serta data mengenai konsep negara dalam Islam
dan hubungan Islam dan negara Hasan al-banna, Abu A’la al-Maududi,
Taqiyuddin an-Nabhani, kemudian data tersebut diuraikan, dianalisis dan
dibahas untuk menjawab permasalahan tersebut. Dari hasil yang didapat
ditemukan bahwa: Konsep negara dalam Islam menurut Hasan al-banna bahwa
antara negara dan agama tidak dapat dipisahkan, karenanya perjuang politik
untuk menyebar dakwah merupakan suatu tugas dengan tanggung jawab yang
harus dilaksanakan. Selanjutnya al-Mawdudi mencita-citakan terwujudnya
negara Islam yang berlandaskan pada al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, ia
merumuskan sebuah kerangka aturan negara Islam yang sangat komprehensif.
Meskipun demikian, ia tidak memaksakan idenya tentang negara Islam tersebut.
Ia bisa menerima bentuk atau model negara lainnya, namun yang penting
baginya adalah jenis kedaulatan yang harus menganut kedaulatan Tuhan (teo-
demokrasi) sebagai ciri negara Islam. Tidak seperti model negara republik pada
umumnya yang memakai sistem kedaulatan rakyat atau demokrasi.
Kata Kunci: Negara, Islam, Hasan al-banna, Abu A’la al-Maududi, Taqiyuddin
an-Nabhani
PENDAHULUAN
Perbincangan mengenai Islam dan Negara mendapat perhatian serius di
kalangan akademisi, negarawan, terutama di kalangan intelektual muslim. Di
antara para intelektual muslim tersebut adalah Ibnu Abi Rabi’, Al-Mawardi, Ibnu
Taimiyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya. Meskipun
objek kajian material para tokoh muslim ini sama, yaitu sama-sama tentang
hubungan Islam dan negara, namun secara substansialnya semua tokoh tersebut
memiliki perbedaanperbedaan, mulai dari persfektif, metodologi, hingga hasil
pemikirannya yang berupa kerangka konseptual tentang relasi Islam dan negara
tersebut. Konsep negara dan pemerintahan merupakan suatu ijtihad yang
merefleksikan adanya penjelajahan pemikiran spekulatif rasional dalam rangka
mencari landasan intelektual bagi fungsi dan peranan negara serta pemerintahan
sebagai sebuah faktor instrumental bagi pemenuhan kepentingan dan
kesejahteraan rakyat baik lahir maupun batin. Selain itu, perlu ditambahkan pula
bahwa lahirnya ijtihad spekulatif tersebut didorong oleh suatu keinginan untuk
mendapatkan landasan dalam rangka mempertahankan tatanan politik yang ada.

Berbicara tentang konsep Negara Islam di dunia umat Islam sendiri


merupakan fenomena yang relatif belum terlalu lama. Selama masa penjajahan,
pembicaraan mengenai hal ini praktis tidak pernah terdengar karena adanya
aliansi kaum muslimin dari ajaran-ajaran Islam yang hampir-hampir total. Kendati
pun demikian, masyarakat Islam selalu melahirkan tokoh-tokoh intelektual dan
ulama yang selalu membawa obor di tengah kegelapan intelektual umat. Mereka
menunjukkan arah seharusnya yang mesti ditempuh oleh umat sesuai dengan
ajaran Islam. Bahwa usaha mereka sebagian kandas di tengah jalan, kita telah
mengetahui sebab-sebabnya. Di samping kesulitan mendidik massa umat untuk
memahami ajaran agamanya secara benar dan tepat. Kondisi obyektif sejarah di
masa penjajahan merupakan tembok besar yang menghalangi berhasilnya cita-cita
para pemikir Islam.

Dalam perkembangan selanjutnya, perbincangan mengenai Negara Islam


mulai memasuki kawasan kajian hukum, beberapa pemikir hukum Islam klasik
mulai memperkenalkan istilah- istilah baru dalam teori politik (Figh as-Siyasah),
mereka. Seperti Khalifah, Ahl al- Hall wa al Aqd, Bai'ah dan beberapa istilah lain
yang sejak semula tidak dikenal dalam istilah teologi Islam klasik, dalam kondisi
yang tidak jauh berbeda, pada periode selanjutnya pemikir-pemikir politik Islam
semakin intensif dikumandangkan oleh sejumlah aktivis kebangkitan Islam, baik
di Timur Tengah maupun di wilayah Islam lainnya yang pada saat itu berada
dalam cengkeraman penjajah Barat.

PEMBAHASAN

1. Pemikiran Hasan al-Banna

Biografi Singkat

Hasan al-Banna lahir pada tahun 1906 di Mahmudiyah. Ia berasal dari


keturunan keluarga yang taat beragama dan terpandang. Ayahnya bernama Syeikh
Ahmad Bin Abd. al-Rahman al-Sa’ati, seorang yang alim dibidang ilmu agama.
Sebagai seorang alim, waktunya ia gunakan untuk mengajar dan berdakwah,
disamping ia bekerja sebagai tukang jam, karena pekerjaannya inilah ia diberi
gelar al-Sa’ati.

Sejak kecil al-Banna dididik dan diajari dengan sungguh-sungguh oleh


ayahnya tentang berbagai bidang ilmu keagamaan, seperti figh, hadits dan Al-
Qur’an. Disamping belajar pada sekolah persiapan dan pendidikan guru di
Damanhur. Kemudian ia melanjutkan studinya di Dar al-Ulum selama 4 tahun.
Adapun pendidikan kerohanian, ia peroleh dari Tarekat Hasyafiyah yang ia ikuti
sejak berusia 12 tahun (Sahel,1991: 47). Ketiga macam pendidikan sebagaimana
tersebut di atas, diiringan dengan kecerdasan dan kesungguhan serta fasilitas
perpustakaan pribadi yang memadai, sama-sama memberi pengaruh (atsar) dalam
pembentukan pribadi al-Banna. Sehingga tercermin dari dirinya kepribadian
sebagai seorang pemimpin ilmuan dan orang yang taat menjalankan ritualitas
keagamaan. Hal itu sebagaimana terlihat dalam aktivitasnya berdakwah dan
komitmennya yang tinggi terhadap Islam, yang digelutinya sejak dan semasa studi
di Dar al-Ulum.
Menginjak umur 12 tahun pula, Hasan al-Banna masuk sekolah dasar
(Ibtidaiyah), dan dalam umur yang cukup relatif muda, ia telah memasuki jama’ah
diniyyah (keagamaan) diantaranya Jama’ah Suluk Akhlaqi, yang dakwahnya
banyak berorientasi pada penanaman akhlak, berbudi mulia dan memberikan
sanksi yang ketat bagi anggota yang melalaikan peraturan. Jama’ah Suluk Akhlaqi
telah mempengaruhi kepribadian Hasan al-Banna, menjadikannya konsisten
dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya, yang ia terapkan
dalam sikap dan perilakunya.

Pada umur 13 tahun dia menjadi sekretaris salah satu organisasi yang
diketuai oleh Ahmad Syukri (dia kelak yang mendukung berdirinya Ikhwan Al-
Muslimin). Ketika meletus Revolusi 1919, dia mengikuti demonstrari barisan
pelajar di dalam maupun di luar sekolah. Gerakan nasional tersebut telah
memberikan kenangan dan pengalaman yang cukup berharga dan mengesankan.
Sehingga sampai ia musuk di sebuah sekolah Mu’allimin, sekolah guru di
Damanhur yang berjarak 13 mil dari barat daya Desa Mahmudiyah kenangan
tersebut terus menggelora di dalam jiwanya dan tidak bisa dilupakan begitu saja.

Di tengah kesibukannya sebagai da’i al-Banna mampu menyelesaikan


jenjang pendidikannya dengan mulus. Pada tahun 1927 ia lulus dari Fakultas
Darul Islam, pada usia 21 tahun.

Untuk membantu mekanisme perjuangan Ikhwan Al-Muslimin Hasan al-


Banna menerbitkan sebuah mingguan, al-Muslimin, dan majalah alNazir, selain
melalui ceramah dan pertemuan-pertemuan, melalui media tersebutlah ia
menyuarakan semangat dan orientasi perjuangannya. Setelah tersebar ke seluruh
wilayah Mesir, Hasan al-Banna menghendaki Ikhwan alMuslimin menjadi
gerakan internasional. Karena itu, sejak 1940-an, gerakan Ikhwan al-Muslimin
meluaskan wilayahnya keseluruh dunia Arab. Bahkan ia mengirimkan
pengutusannya ke berbagai negara Islam. Juga, tahun-tahun itu, khususnya 1948,
Ikhwan al-Muslimin mulai terlibat persoalan politik Palestina. Karena
ketidaksetujuan pihak Barat atas keterlibatannya, melalui pemerintah Mesir,
Ikhwan al-Muslimin diperintahkan untuk dibubarkan. Akhirnya, Hasan al-Banna
mati terbunuh pada 12 Februari 1949 (14 Rabiustsani 1368 H) di Kairo
(Ensiklopedia Islam Indonesia, t.th: 304).

Berangkat dari pemahaman tersebut di atas, di satu sisi dan komitmen al-
Banna yang tinggi terhadap Islam disisi lain, tumbuh gairah dalam diri al-Banna
untuk mengaktualisasikan ajaran Islam dalam aktivitas nyata, dengan membangun
komunitas masyarakat Islam. Terbentuklah masyarakat ini sebagai prasyarat untuk
bisa diamalkannya ajaran-ajaran Islam secara utuh dan intens. Lebih lanjut
konsep-konsep Hasan al-Banna akan dipaparkan hal-hal berikut.

Konsep Negara Menurut Hasan al-Banna

Hasan Al-Banna menjelaskan mengenai tegaknya Daulah


Islamiyahawal merujuk pada Negara Madinah yang dibangun oleh Rasulullah
Saw. Beliau mengatakan :

Diatas pondasi sistem sosial qurani yang utama inilah tegak Daulah
Islamiyah pertama. Kita mengimaninya dengan kuat, melaksanakannya
dengan cermat dan menyebarkannya ke seluruh alam... kesatuan makna dan
fenomena yang ada di sistem tadi, melingkupi pranata umat yang baru
tumbuh ini. Oleh karenanya, kesatuan sosial Islam itu bersifat utuh dan
menyeluruh yang tergambar dalam integralitas sistem dan bahasa Alquran.
Kesatuan politik bersifat utuh dan menyeluruh di bawah naungan Amirul
Mukminin, dan di bawah kibaran panji khilafah di pusat
pemerintahan. Fikrah Islamiyah bukan hanya terpusat pada aspek
kemiliteran, baitul maal, atau pada landasan kewajiban para pemimpin,
karenanya semuanya beramal dengan landasan akidah yang satu dan instruksi
umum yang satu pula. Prinsip-prinsip qurani ini menolak sistem paganisme
mistis... menolak konsep Yahudi yang menipu..., memerangi dominasi
Nasrani..., memfokuskan kewenangan politik dan spiritual dalam Daulah
Islamiyah di dua benua besar ini (Asia-Afrika) dan berusaha menklukan
benua yang ketiga (Eropa), dengan memerangi Konstantinopel dari arah Timur
dan mengepungnya sampai berhasi.
Tonggak sejarah kepemimpinan Nabi Muhammad sebagai kepala
pemerintahan dimulai sejak Beliau bertemu dengan duabelas orang
penduduk Madinah yang datang ke Mekkah untuk melakukan ibadah haji. Saat
itu dilakukan bai’at pertama sebagai babak awal dan pengantar kepada bai’at
kedua yang menghasilkan terbentuknya tatanan sosial yang kuat di bawah
kepemimpinannya. Bai’at yang kedua dilakukan oleh Nabi Muhammad bersama
tujuhpuluh orang penduduk Madinah yang datang ke Mekkah untuk
melaksanakan ibadah haji dan sekaligus mengajak Nabi Muhammad untuk pindah
ke Madinah. Bai’at ini terjadi setahun setelah 170bai’at pertama. Dua bai’at
tersebut semakin kokoh setelah Nabi Muhammad datang ke Madinah dan
langsung diberi kepercayaan oleh penduduknya menjadi kordinator sosial
mereka. Untuk menyambut kepercayaan tersebut, Nabi Muhammad
menjawabnya dengan mengeluarkan dustur al-madinah (konstitusi madinah).

Meskipun di dalam Alquran tidak ditemukan kata Daulah Islamiyah


tetapi Piagam Madinah telah menunjukan bahwa Madinah sebagai sebuah
Negara pertama di dunia. Secara formal Piagam Madinah mengatur hubungan
antarkomponen masyarakat. Pertama, antar sesama muslim bahwa sesama
muslim adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku. Kedua,
hubungan antara komunitas muslim dengan nonmuslim didasarkan pada
prinsip bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi musuh
bersama, membela mereka yang teraniaya, serta saling menasehati dann
menghormati kebebasan beragama. Secara umum, sebagaimana terbaca dalam
teks, Atas dasar kesederajatan dan keadilan (al-musawah wal-‘adalah),
Piagam Madinah mengatur kehidupan sosial masyarakat Madinah secara lebih
luas.

Dalam pandangan Hasan Al-Banna Daulah Islamiyah(Negara Islam) yang


pertama tegak di atas unsur-unsur berikut: tegaknya daulah di atas sistem sosial
yang qurani, terwujudnya kesatun sosial yang integral dalam naungan sistem
Islam, terwujudnya kesatuan politik yang integral dalam naungan panji
khilafah Islam, pengusiran kekuatan yang melawan, seperti Paganisme, Yahudi,
dan Kristen yang agresif, perjuangan membuka wilayah Islam di Timur,
Barat, Utara dan Selatan, penguasaan terhadap berbagai aspek yang dinamis dan
perwujudan dominasi, baik di darat maupun di laut, dan komunikasi peradaban
dengan bangsa lain dan mengambil segala hal yang memberi manfaat.

Agama dan Negara

Agama dan Negara adalah dua satuan sejarah yang hakikatnya


berbeda. Agama adalah kabar gembira dan peringatan, sedangkan negara adalah
kekuasaan pemaksa. Agama mempunnyai khatib, ulama dan juru dakwah,
sedangkan negara mempunyai birokrasi, pengadilan dan
tentara.58Hubungan antara agama dan negara ini dapat disederhanakan
menjadi agama adalah kekuatan dari dalam dan negara adalah kekuatan dari
luar.

Pemikiran mengenai hubungan agama dan negara terus berlanjut


sampai pada masa kontemporer. Pada masanya Hasan Al-Banna juga
menjumpai berbagai faham yang ingin merusak pemahaman umat Islam
tentang hubungan agama dan negara dimana ketika itu penjajahan Barat
yangmenguasai berbagai Negeri Islam telah berhasil menanamkan di dalam
pemikiran kaum muslimin mengenai konsep Barat yang keras tentang agama,
yang mengatakan “Islam adalah agama bukan negara.” yang dimaksud dengan
agama disini adalah sesuai dengan pemahaman Barat. Adapun berbagai
persoalan negara tidak ada hubungannya dengan agama. Berbagai masalah
negara hanya diatur dengan akal manusia, sesuai dengan pengalaman,
situasi dan kondisi yang sekarang berkembang. Orang-orang Barat ingin
menerapkan Islam di Timurseperti Kristen yang mereka terapkan di Barat,
seolah-olah kebangkitan yang ada di Barat tidak akan berlangsung kecuali
setelah terbebas dari kekuasaan agama. Kebangkitan di Timur yang di
dominasi oleh Islam harus dibangun di atas puing-puing agama.

Menurut Hasan Al-Banna Islam adalah negara dan tanah air atau
pemerintahan dan umat. Ini adalah kalimat pertama yang ditekankan Hasan
Al-Banna pada awal penjelasannya tentang integritas Islam. Pernyataan
mengenai Islam adalah negara dan tanah air sebagaimana Islam adalah
aqidah dan ibadah adalah salah satu keistimewaan yang menonjol yang
dimiliki oleh dakwah Hasan Al-Banna.

Di antara permasalahan yang ditemukan oleh Hasan Al-Banna adalah


serangan brutal Barat terhadap Islam dan usaha mencitraburukan Islam.
Barat memberikan persepsi bahwa Islam sebagai agama penjajah yang
mengekang kebebasan manusia. Barat juga menggambarkan Islam sebagai
agama ibadah yang tidak ada hubungannya dengan pemerintahan, kekuatan
militer, kesiapan politik, dan jihad. Barat juga mengkampanyekan
bahwa Islam tidak menuntut pemeluknya untuk membela dan
memerdekakan negaranya dari penjajahan. Kolonialisme dan salibisme yang
menguasai negara-negara muslim telah mampu menanamkan pemikiran
aneh ke dalam pemikiran generasi umat Islam, inti pemikiran itu adalah
Islam sebagai agama bukan negara. Agama disini dalam pandangan Barat
yaitu religion,yang tidak berhubungan dengan urusan negara. Yang mengatur
adalah manusia. Arti agama di Barat adalah gereja, otoritas paus,
kediktatoran para tokoh pendeta tehadap nurani dan ruhani, sedangkan di
dalam Islam tidak ada paus, pendeta dan tidak ada kediktatoran. Akan
tetapi kolonialisme telah berhasil menciptakan sekelompok manusia yang
mempercayai bahwa agama tidak memiliki tempat dalam mengarahkan dan
mengatur negara, itu disebabkan karena agama terpisah dari politik. Diantara
kondisi semua itu muncul slogan-slogan yang menyatakan religion is for god and
nation for all(agama untuk Allah dan negara untuk semua). Dari slogan ini
dapat saja dikatakan “bahwaagama untuk Allah dan negara juga untuk Allah,
atau agama untuk semua dan negara untuk semua, atau agama untuk semua
dan negara untuk Allah. Yang dimaksud dengan agama untuk Allah adalah
bahwa agama itu hanya semata-mata hubungan antara nurani manusia dengan
tuhannya dan tidak terdapat sistem hidup dan masyarakat di dalam agama.

Hasan Al-Banna mengungkapkan pemikiran secara jelas seperti berikut ini :


... jika Islam adalah sesuatu yang bukan politik, bukan sosial, bukan
ekonomi dan bukan peradaban, lantas apa Islam itu? Apakah ia hanya rakaat-
rakaat kosong tanpa kehadiran hati? Apakah ia hanya lafal-lafal
sebagaimana yang dikatakan rabi’ah al-adawiyah, “istigfar yang butuh kepada
istigfar?” hanya untuk semacam inikah al-qur’an itu diturunkan sebagai aturan
yang sempurna, jelas, dan rinci?

Sebagai penjelas bagi segala sesuatu, petunjuk dan rahmat bagi


kaum yang beriman. (an-nahl: 16)

Substansi makna yang merendahkan fikrah Islamiyah dan ruang


sempit yang dibatasi oleh makna Islam semacam inilah yang
diupayakan oleh musuh-musuh Islam untuk mempersempit ruang gerak kaum
muslimin di dalamnya dan melecehkan mereka seraya (musuh-musuh itu)
mengatakan, “kami berikan kepada kalian kebebasan beragama.” Padahal
undang-undang dasar negara telah menggariskan bahwa agamaresmi negara
adalah Islam.

Untuk membantah anggapan-anggapan orang-orang non-muslim yang


memberikan batasan terhadap Islam dan mengganggap bahwa Islam hanya
mengurusi masalah ibadah, Hasan Al-Banna memberikan penjelasan.

... Islam itu bukan bukan sebagaimana makna yang dikehendaki para
musuh agar umat Islam terkurung dan terikat di dalamnya. Islam adalah
akidah dan ibadah, Negara dan kewarganegaraan, toleransi dan kekuatan,
moral dan material, serta peradaban dan 177perundang-undangan.
Sesungguhnya seorang muslim dengan hukum Islamnya dituntut untuk
memperhatikan semua persoalan umat....

Islam adalah agama yang syamil. Seorang muslim tidak akan


sempurna Islamnya kecuali jika dia seorang politikus mempunyai
pandangan yang jauh dan mempunyai kepedulian yang besar terhadap
umatnya. Pembatasan dan pembuangan makna politik dari substansi Islam tidak
pernah ada dalam Islam.
Yusuf Al-Qaradhawy menyebutkan contoh praktis dalam
permasalahan pemisahan antara agama dan politik (baca negara) adalah
“Negara sekuler” yang didirikan oleh Kamal Ataturk di Turki, yang
diperintah dengan tangan besi untuk menindas rakyat Turki yang muslim.
Pemerintahan semacam ini kemudian diikuti oleh negara-negara muslim yang
lain. Islam mulai dijauhkan dari hukum dan perundang-undangan dalam
perkara-perkara pidana, sipil, dan lainnya. Islam hanya tinggal sebatas pada
perkara-perkara perdata.

Bentuk Negara Islam

Menurut Hasan Al-Banna yang dimaksud dengan “Negara Islam adalah


negara merdeka yang tegak di atas syariat Islam, bekerja dalam rangka
menerapkan sistem sosialnya, memproklamasikan prinsip-prinsipnya
yang lurus, dan menyampaikan dakwahnya yang bijak ke segenap umat
manusia”. Dengan berdirinya NegaraIslam maka penerapan Islam sebagai
sistem kehidupan yang integral dapat dilaksanakan. Berdirinya Negara
Islam begitu penting karena menurut Hasan Al-Banna segala konsep amal
(perbuatan) harus sesuai dengan manhaj (sistem) Islam. Tujuan akhir dari
kehidupan Islam tidak akan terwujud tanpa terbentuknya sebuah Daulah
Islamiyah Al-Amaliyah.

Negara Islam merupakan negara ideologis. Negara ini tegak di atas


landasan aqidah dan manhaj. Negara Islam bukan semata-mata sebagai alat
pengaman yang melindungi umat dari serangan internal maupun eksternal,
akan tetapi fungsi Negara Islam lebih besar dari itu.

Dasar berdirinya sebuah negara di dalam Islam adalah bersumber dari


ajaran Islam sendiri yaitu alquran dan sunnah. Mengenai Negara Islam,
Hasan Al-Banna lebih spesifik membahasnya. Dalam pandangan Hasan Al-
Banna Islam adalah agama yang hanif yang mewajibkan terwujudnya
pemerintahan yang tegak di atas kaidah sistem sosial yang telah digariskan
oleh Allah untuk manusia. Pemerintahan ini tidak menghendaki terjadinya
kekacauan dan tidak membiarkan umat Islam hidup tanpa pemimpin.

Hasan Al-Banna banyak menjelaskan tentang keprihatinannya melihat


pengaruh modernisme Barat yang sangat berpengaruh pada kehidupan
dan nilai-nilai Islam serta kelemahan pemerintah yang tidak begitu tanggap
dengan masalah yang ada. Seperti yang terjadi ketika arus modernisme Barat
yang bergejolak masuk ke dunia Timur termasuk dalam bidang politik,
khususnya setelah keruntuhan Daulah Ustmaniyah,Mesir sempat dilanda
kebingungan dalam menentukan sikap politiknya. Ketika itu Hasan Al-Banna
mengirimkan suratkepada Raja Faruq bahwa hanya ada dua pilihan dalam
menjalani kehidupan politik di Mesir, yaitu mengikuti aturan Barat atau
mengikuti aturan Islam. Dalam konteks mengikuti aturan Islam Hasan Al-
Banna menawarkan konsep tentang Negara Islam yang akan dijalani ketika
Mesir memilih Islam sebagai aturan hidup.

2. Pemikiran Abu A’la al-Maududi


Biografi Singkat
Abu al-A’la al-Mawdudi (selanjutnya ditulis al-Mawdudi) lahir pada
tanggal 3 Rajab 1321 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 25 September 1903
Masehi, di Aurangabad, suatu kota terkenal di Kesultanan Hyderabad (Decan),
sekarang masuk wilayah Andhra Predes di India. Dilihat dari garis silsilahnya, ia
dilahirkan dari keturunan keluarga terhormat. Nenek moyangnya dari garis ayah
adalah keturunan dari Nabi Muhammad Saw, karena itu pada namanya ia
memakai nama “Sayyid”.
Dilihat dari beberapa catatan sejarah dan karya yang menceritakan latar
belakang keluarganya, nenek moyang al-Mawdudi berasal dari para syaikh besar
pengikut tarekat yakni tarekat Chistiyah, yang banyak berperan dalam penyebaran
dan pengembangan Islam di India. Menurut sejarah, keluarga al-Mawdu>di
mempunyai kedekatan khusus dengan Dinasti Moghul, terutama selama
pemerintahan penguasa terakhir yakni Bahadur Syah Zhafar.
Menarik untuk dilihat sisi kontroversi nama dari tokoh ini. Jika dilihat dari
makna namanya, Abu al-A’la artinya ayah dari Yang Maha Kuasa, sedangkan
nama al-A’la (Yang Maha Kuasa) adalah merupakan salah satu atribut nama
Tuhan. Nama yang disandang al-Mawdudi ini menuai kritikan dari pihak-pihak
tertentu. Melihat kondisi ini, al-Mawdudi pun berang dan menganggap perlu
menanggapi kritikan itu.
Dilihat dari keseriusan bantahan al-Mawdudi terhadap kritikan itu,
nampaknya kontroversi di seputar nama itu cukup besar dan mengganggu al-
Mawdudi, sehingga ia merasa perlu melakukan klarifikasi atau penjelasan
terhadap namanya. Ia menjelaskan dengan mengutip dua ayat dari al-Qur’an yang
terdapat kata al-A’la dan al-A’launa, bentuk jamak dari A’la diberikan kepada
manusia yakni kepada Nabi Musa A.s dan kepada orangorang yang beriman.
Hal yang menarik lainnya berkaitan dengan sejarah pemberian nama Abu al-
A’la adalah yang diutarakan oleh sang Ayah sendiri yakni Ahmad Hasan.
Menurut cerita ayah al-Mawdudi, sekitar tiga tahun sebelum al-Mawdudi lahir,
seorang suci datang kepadanya dan berkata bahwa Allah Swt akan segera
memberkatinya dengan memberikan seorang putera yang akan ditakdirkan
menjadi orang besar dan berbakti untuk agamanya. Dalam versi yang lain, ayah
alMawdudi, Ahmad Hasan, mendatangi seorang tokoh sufi di daerahnya. Tokoh
sufi itu memberitahukan bahwa Allah akan menganugerahinya seorang anak laki-
laki yang kelak akan dihormati dan mendapatkan kedudukan tinggi. Di akhir
ceritanya, tokoh suftersebut memberikan pesan agar kelak anak itu diberi nama
Abu al-A’la. Mendengar berita itu, ayah al-Mawdudi pun bergembira dan
berharap informasi itu menjadi nyata. Ia pun berjanji jika ramalan itu benar, maka
ia akan memberikan nama lepada anak yang baru lahir itu dengan Abu al-A’la
sesuai pesan tokoh sufi itu.
Menurut Samir Abdul Hamid Ibrahim, nama “al-Maududi” adalah nama
sebuah keluarga yang garis keturunannya sudah ada sejak tahun 1300-an silam.
Nenek moyangnya yang pertama datang dari Jazirah Arab dan tinggal di suatu
tempat yang bernama “Jasyat”, dekat dengan kota Harat. Di akhir abad ke-9 H,
salah seorang nenek moyangnya yang diberi gelar “Tuan Maudud” pergi ke
India.12 Orang yang mempunyai nama “Maudud” itu adalah Khawajah
Qutbuddun Maudud (w. 527 H) seorang syaikh terkenal dari Tarekat Chisthi dan
merupakan tokoh pendiri tarekat tersebut.
Menyimak sejarah keluarganya, al-Mawdudi kental dengan dunia sufi atau
tarekat secara khusus. Dalam tradisi tarekat, kaitan dan pengenalan rangkaian
guru dan murid atau nasab sangatlah diutamakan.
Selama kariernya sebagai seorang pemikir dan penulis, tidak ku-rang dari
130 buku telah dihasilkannya.14 Dari sekian banyak karya, yang ditulis dengan
bahasa Arab, Inggris dan Urdu, al-Mawdudi membahas berbagai disiplin ilmu;
Tafsir, Hadis, Sejarah, Politik, Hukum Islam, Ekonomi dan lain sebagainya.
Kehadiran karya-karya al-Mawdudi ternyata mendapat respon yang hangat di
masyarakat luas, bukan hanya di India dan Pakistan akan tetapi diseluruh dunia.
Hal tersebut terbukti dengan hampir semua karya al-Mawdudi sudah
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

Konsep Negara Islam

Konsep negara al-Mawdudi dilatar belakangi oleh konsepnya tentang


kebutuhan akan sebuah kekuasaan dalam rangka merealisasikan pesan-pesan al-
Qur’an dalam kehidupan nyata. Karena menurutnya,al-Qur’an tidak hanya
meletakkan prinsip moralitas dan etika, melainkan juga memberikan
tuntunantuntunan di bidang politik, sosial, dan ekonomi. Ditetapkan pula tuntunan
hukuman untuk kejahatan-kejahatan tertentu dan demikian juga ditetapkan
prinsip-prinsip kebijaksanaan fiscal dan moneter. Ini semua tidak dapat terealisasi
dan dipraktekkan dalam kehidupan nyata kecuali jika suatu negara Islam yang
akan menegakkannya, di sinilah menurut al-Mawdudi pentingnya sebuah
pembentukkan negara Islam sebagai pelaksana syari’at Islam yang telah
ditentukan dalam al-Qur’an. Konsep al-Mawdudi tersebut muncul dari penjelasan
al-Qur’an (QS: Al-Nur: 2);

Menurut al-Mawdudi, agama Islam melalui al-Qur’an tidak hanya terkait


dengan permasalahan ibadah saja, seperti shalat, puasa, haji, dan zakat, tetapi juga
termasuk hukum negara dan institusi kenegaraan. Jika kita ingin menegakkan
agama Allah, maka tujuan itu tidak dapat dicapai hanya dengan menegakkan
pranata puasa dan shalat saja, kita harus menegakkan hukum Ilahi dan menjadikan
Syari’at sebagai Undang-Undang Negara. Jika ini tidak ditegakkan, maka
meskipun pranata shalat dan sebagainya dilaksanakan, tidak akan menyebabkan
ditegakannya agama. Ia hanya akan merupakan penegakan sebagian saja dari dīn,
bukan dīn secara total. Jika yang ditegakkan justru hukum-hukum lain selain
hukum Tuhan, maka merupakan penolakan atas dīn itu sendiri. Ayat al-Qur’an
lain yang dijadikan sandaran oleh al-Mawdudi adalah (QS: al-Isra’: 80).

Al-Mawdudi memahami ayat ini dengan “berikan aku kekuasaan dan beri
aku bantuan dari otoritas yang berkuasa, yaitu negara, sehingga aku dengan
bantuan kekuasaan tersebut serta sumber-sumber kekuasaan memaksa dari negara
mampu menegakkan kebajikan, membasmi kejahatan, menumbangkan korupsi,
kecabulan dan dosa, meluruskan kebengkokankebengkokan yang telah menjalari
kehidupan sosial dan mengatur keadilan sesuai dengan hukum yang telah Engkau
wahyukan”. Menurutnya salah besar jika orang menganggap upaya ini hanya
sebagai alat atau hanya bersifat duniawi atau mencap sebagai “haus kekuasaan”.
Tetapi jika kekuasaan yang dicari ini adalah untuk menegakkan Dīn Allah, maka
tentulah dia merupakan tindakan Ilahiyah dan saleh, sama sekali jangan
dicampuradukkan dengan kehausan dan kekuasaan.

Jika kita melihat perjalanan pemikiran al-Mawdudi sangatlah menarik. Al-


Mawdudi yang pada awalnya menolak pendirian negara Islam yang digagas oleh
Liga Muslim ketika Pakistan memisahkan diri dari India kemudian berpaling
menjadi seorang pejuang negara Islam. Apa sebenarnya yang diinginkan oleh al-
Mawdudi?. Jika kita mencermati kata-katanya yang dituangkan dalam majalah
Tarjumānal-Qur’an, perihal penolakannya terhadap gagasan yang disuarakan oleh
Liga Muslim, nampaknya al-Mawdudi bukan tidak setuju akan pentingnya sebuah
pendirian negara Islam, hanya saja ia tidak menyepakati cara-cara yang digunakan
oleh Liga Muslim dalam mengusung gagasan pendirian negara Islam.
Menurutnya, Liga Muslim yang mengeluarkan resolusi pembentukan negara
Pakistan itu, sebenarnya bukan “Partai Islam” akan tetapi berbentuk “Partai
Sekular”. Hal ini terlihat dari ideologi yang dipakai oleh Liga Muslim yakni
mencantumkan “nasionalisme Muslim” sebagai asasnya, dan bukannya Islam itu
sendiri. Dari sini nampaknya al-Mawdudi merasa ragu akan kesungguhan dan
orientasi Liga Muslim dalam menyuarakan pentingnya negara Islam. Tidak hanya
itu, al-Mawdudi juga merasa ragu akan para elite pemimpin Liga Muslim yang
menurutnya tidak menjalankan ajaran Islam dengan sebenarbenarnya. Karena
alasan inilah menurut hemat penulis kenapa al-Mawdudi tidak sependapat dengan
Liga Muslim yang dimotori oleh Ali Jinah dan bukan penolakan atas gagasan
pendirian negara Islam seperti yang selama ini dianggap oleh beberapa peneliti
pemikiran al-Mawdudi.

Pendirian negara Islam menurutnya haruslah diperjuangkan dimana pun


dan dengan cara apa pun, apabila kita berkeinginan mengaplikasikan syari’at
Islam dalam dunia realitas. Al-Mawdudi merasa yakin bahwa dengan adanya
negara Islam, ajaran Islam yang sempurna dapat mewujudkan cita-cita Islam
menjadikan sebuah negara yang tentram, tertib, damai dan hal inilah menurutnya
yang dicita-citakan oleh Islam sendiri dalam al-Qur’an. Untuk lebih jelasnya
bagaimana pentingnya sebuah pendirian negara Islam dapat dilihat dari tujuan
pembentukan negara Islam menurut alMawdudi di bawah ini.

Bentuk Negara Islam

Menurut al-Mawdudi hanya Amir satu-satunya yang berhak menerima


ketaatan dan kesetiaan rakyat, dan bahwa rakyat mendelegasikan sepenuhnya hak
mereka untuk mengambil keputusan mengenai semua masalah yang berkaitan
dengan hajat hidup mereka. Kedudukan Amir menururt al-Mawdudi sangat
berbeda dengan raja atau ratu seperti di negara Inggris atau Presiden, atau bahkan
Perdana Menteri. Dalam konsepnya, al-Mawdudi tidak menyebutkan bentuk
pemerintahan seperti apa, ia hanya mengatakan bahwa bentuk pemerintahan yang
digagas olehnya bukan seperti bentuk pemerintahan modern. Ia hanya mengatakan
bahwa bentuk konsep kedau-latan Tuhan atau dalam istilah modern dikenal
dengan teo-demokrasi yang tepat diterapkan jika negara Islam kelak terwujud di
Pakistan.
Melihat bagaimana seharusnya perilaku seorang khalfah yang dirancang
oleh al-Mawdudi bisa dikatakan bahwa bentuk pemerintahan harus seperti pada
masa Khalfah al-Rasyidin. Akan tetapi jika kita lihat pada waktu perumusan
konstitusi dalam Dewan Konstitusnte tahun 1956, rumusan itu mencantumkan
nama resmi negara dengan “Republik Islam Pakistan”, hasil konstitusi itu ternyata
mendapat dukungan dari al-Mawdudi. Meskipun al-Mawdudi dalam konsepnya
menginginkan bentuk negara seperti Khalfah al-Rasyidin, akan tetapi ia
menyetujui bentuk pemerintahan negara republik.

Pemimpin Menurut al-Maududi

Al-Mawdudi menjelaskan sikap yang harus dimiliki oleh seorang Amir


dalam menjalankan pemerintahan adalah sebagai berikut:

a. Seorang pemimpin kata al-Mawdudi harus selalu memperhatikan asas


musyawarah dalam menetapkan semua peraturan. Majlis permusya-
waratan rakyat harus komit dan dipercaya penuh oleh umat Islam. Sistem
perwakilan yang dipilih melalui suara umat Islam secara yuridis
dibenarkan oleh Islam, sekalipun pada masa kepemimpinan Khulafa’ al-
Rasyidin belum pernah ada.
b. Menurut al-Mawdudi bahwa peraturan harus ditetapkan berdasarkan suara
terbanyak dari seluruh anggota MPR. Hal ini menurutnya bukan berarti
Islam menjadikan dominasi kuantitas sebagai standar kebenaran hukum.
c. Menurut al-Mawdudi para calon pemimpin tidak dibenarkan meraih
kemenangannya dengan cara yang tidak sesuai dangan tuntunan Islam.
d. Dalam sistem permusyawaratan yang Islami, anggota majlis tidak dibagi-
bagi menjadi beberapa golongan atau partai, namun setiap anggota majlis
hendaknya mengeluarkan ide-ide kebenaran yang sifatnya pribadi. Islam
tidak menghendaki anggota MPR turut serta dalam kepartaian. Hal itu
akan menyebabkan mereka berserikat dengan partainya baik dalam
kebenaran maupun kebatilan. Yang sesuai dengan ruh Islam kata al-
Mawdudi adalah jika seluruh anggota majelis senantiasa berada dalam
lingkup kebenaran dan tidak dibatasi oleh norma tertentu.
e. lembaga pengadilan dan kejaksaan Islam sepenuhnya berada di luar dari
aturan-aturan lembaga eksekutif, karena tugas seorang hakim adalah
melaksanakan Undang-undang Allah untuk umatnya. Oleh karena itu,
kekuasaan hukum tidak dapat diwakili oleh siapapun, hanya hak Allah
Yang Maha Tinggi dan Agung.

Pemikiran al-Mawdudi tentang Amir cukup menarik, karena Amir berada


pada posisi lembaga eksekutif. Pemikiran al-Mawdudi ini berbeda dengan
mekanisme struktur negara yang berkembang di dunia modern. Menurutnya,
model seperti inilah yang membedakan antara sistem negara yang diterapkan di
dunia Barat dengan model negara Islam.

Tujuan Pembentukan Negara Islam

Menurut al-Mawdudi, ungkapan “al-Hadid” (besi) yang tertera dalam ayat


di atas adalah sebagai lambang kekuasaan politik. Ayat tersebut juga menjelaskan
bahwa misi para Rasul adalah menciptakan kondisi yang di dalamnya rakyat akan
dapat dijamin keadilan sosialnya sejalan dengan norma-norma yang telah
dicanangkan dalamal-Qur’an yang memberikan perintah-perintah yang jelas untuk
mencapai kehidupan yang benar-benar disiplin.

Menurut al-Mawdudi bahwa tujuan negara yang dikonsepsikan oleh al-


Qur’an tidaklah negatif, tetapi positif. Tujuan negara tidak hanya mencegah rakyat
untuk saling memeras melainkan untuk melindungi kebebasan mereka dan
melindungi seluruh bangsanya dari invasi asing. Negara bertujuan untuk
mengembangkan sistem keadilan sosial yang berkeseimbangan yang telah
diketengahkan Allah dalam al-Qur’an. Untuk merealisasikan tujuan ini, maka
menurut al-Mawdudi kekuasaan politik akan digunakan demi kepentingan itu dan
bilamana diperlukan, semua sarana propaganda dan persuasif damai akan
digunakan, pendidikan moral rakyat juga akan dilaksanakan, dan pengaruh sosial
maupun pendapat umum akan dijinakkan.

Uraian al-Mawdudi di atas dapat dipahami bahwa tujuan pembentukan


negara menurutnya adalah menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia dan
menghentikan kezaliman serta menghancurkan kesewenang-wenangan seperti
yang telah banyak disebutkan oleh Allah dalam kitab suci. Tujuan pembentukan
Negara Islam menurut al-Mawdudi juga diisyaratkan oleh al-Qur’an (QS Al-Hajj:
41).

Ayat di atas menurut al-Mawdudi menggemakan suatu negara Islam dan


ciri khas dari para penguasa dan pengatur negara. Satu ayat ini saja cukup
menurutnya untuk memberikan suatu gagasan mengenai hakikat dan sasaran suatu
negara Islam. Rahmat dan pertolongan Tuhan diperuntukan bagi orang-orang
yang jika diberi kekuatan, akan bertindak sebagai berkut: Pertama, Dalam
kehidupan pribadi mereka, mereka menganut cara hidup yang saleh dan taat.
Karakter mereka bebas dari kotoran dosa, ketidaktaatan kepada Tuhan,
keputusasaan dan pembangkangan. Mereka berprilaku laksana kesatria sejati,
menegakkan shalat bagi Tuhannya, rendah hati dan menegakkan sistem shalat
dalam kehidupan kelompok rakyat. Kedua, Kekayaan dan sumber daya mereka
tidak digunakan untuk menghamburkan nafsu atau bermewah diri. Sebaliknya,
mereka menegakkan pranata zakat serta mengorganisasikan pranata zakat
sehingga kemakmuran masyarakat dapat di bagikan secara merata dan negara
dapat memenuhi fungsinya sebagai penyelenggara kemakmuran. Ketiga, Mereka
menggunakan kekua saan negara untuk membasmi kemungkaran dan dosa serta
untuk meng-galakan dan menegakkan kebajikan dan kebaikan. Inilah menurut al-
Mawdudi tujuan Negara Islam.

Jika ayat ini direnungkan maka akan semakin mendapat kejelasan bahwa
negara yang digambarkan oleh al-Qur’an bukan hanya negara yang bertujuan
untuk mencegah hal-hal yang negatif saja, akan tetapi juga menghendaki sebuah
negara yang berjalan dengan rencana yang positif. Dari pernyataan al-Mawdudi
di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pokok berdirinya negara Islam adalah
melaksanakan sistem keadilan sosial yang baik, seperti yang diperintahkan Allah
dalam kitab-Nya, di samping itu juga menawarkan konsep-konsep maslahat yang
diridhai oleh Allah. Dari argumentasi teks al-Qur’an di atas, al-Mawdudi
menegaskan bahwa kejahatan yang tidak dapat dimusnahkan melalui
ajaranajaranal-Qur’an membutuhkan kekuasaan memaksa dari pihak negara untuk
melakukan pembasmian.

3. Pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani


Biografi Singkat
Syaikh Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin
Yusuf An Nabhani. Nama An Nabhani dinisbahkan kepada kabilah Bani Nabhan,
satu kabilah Arab penghuni padang sahara di Palestina. Mereka bermukim di
daerah Ijzim, wilayah Haifa, Palestina Utara.

Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dilahirkan di daerah Ijzim pada tahun


1909. Beliau mendapat didikan ilmu dan agama di rumah dari ayah beliau sendiri,
seorang syaikh yang faqih fid din. Ayah beliau seorang pengajar ilmu-ilmu
syariah di Kementerian Pendidikan Palestina. Ibu beliau juga menguasai beberapa
cabang ilmu syariah, yang diperolehnya dari ayahnya, Syaikh Yusuf bin Ismail
bin Yusuf An Nabhani. Beliau ini adalah seorang qadhi (hakim), penyair,
sastrawan, dan salah seorang ulama terkemuka dalam Daulah Utsmaniyah.
Mengenai Syaikh Yusuf An Nabhani ini, beberapa penulis biografi menyebutkan :

"(Dia adalah) Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin Hasan bin Muhammad An Nabhani
Asy Syafi'i. Julukannya Abul Mahasin. Dia adalah seorang penyair, sufi, dan
salah seorang qadhi yang terkemuka. Dia menangani peradilan (qadha') di
Qushbah Janin, termasuk wilayah Nablus. Kemudian beliau berpindah ke
Konstantinopel (Istambul) dan diangkat sebagai qadhi untuk menangani
peradilan di Sinjiq yang termasuk wilayah Moshul. Dia kemudian menjabat
sebagai ketua Mahkamah Jaza' di Al Ladziqiyah, kemudian di Al Quds.
Selanjutnya dia menjabat sebagai ketua Mahkamah Huquq di Beirut. Dia menulis
banyak kitab yang jumlahnya mencapai 80 buah."

Pertumbuhan Syaikh Taqiyuddin dalam suasana keagamaan yang kental


seperti itu, mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan kepribadian dan
pandangan hidup beliau.
Beliau banyak mendapat pengaruh dari kakek beliau, Syaikh Yusuf An
Nabhani, dan menimba ilmu beliau yang luas. Syaikh Taqiyuddin juga sudah
mulai mengerti masalah-masalah politik yang penting, mengingat kakek beliau
mengalami langsung peristiwa-peristiwanya karena mempunyai hubungan erat
dengan para penguasa Daulah Utsmaniyah saat itu.

Beliau banyak menarik pelajaran dari majelis-majelis dan diskusi-diskusi


fiqih yang diselenggarakan oleh kakek beliau, Syaikh Yusuf An Nabhani.
Kecerdasan dan kecerdikan Syaikh Taqiyuddin yang nampak saat mengikuti
majelis-majelis ilmu tersebut telah menarik perhatian kakeknya.

Oleh karenanya, kakek beliau begitu memperhatikan Syaikh Taqiyuddin


dan berusaha meyakinkan ayah beliau --Syaikh Ibrahim bin Musthafa-- mengenai
perlunya mengirim Syaikh Taqiyuddin ke Al Azhar untuk melanjutkan
pendidikan beliau dalam ilmu syariah.

Syaikh Taqiyuddin menerima pendidikan dasar-dasar ilmu syariah dari


ayah dan kakek beliau, yang telah mengajarkan hafalan Al Qur'an sehingga beliau
hafal Al Qur'an seluruhnya sebelum baligh. Di samping itu, beliau juga
mendapatkan pendidikannya di sekolah-sekolah negeri ketika beliau bersekolah di
sekolah dasar di daerah Ijzim.

Kemudian beliau berpindah ke sebuah sekolah di Akka untuk melanjutkan


pendidikannya ke sekolah menengah. Sebelum beliau menamatkan sekolahnya di
Akka, beliau telah bertolak ke Kairo untuk meneruskan pendidikannya di Al
Azhar, guna mewujudkan dorongan kakeknya, Syaikh Yusuf An Nabhani. Syaikh
Taqiyuddin kemudian meneruskan pendidikannya di Tsanawiyah Al Azhar pada
tahun 1928 dan pada tahun yang sama beliau meraih ijazah dengan predikat
sangat memuaskan.

Lalu beliau melanjutkan studinya di Kulliyah Darul Ulum yang saat itu
merupakan cabang Al Azhar. Di samping itu beliau banyak menghadiri halaqah-
halaqah ilmiah di Al Azhar yang diikuti oleh syaikh-syaikh Al Azhar, semisal
Syaikh Muhammad Al Hidhir Husain --rahimahullah-- seperti yang pernah
disarankan oleh kakek beliau. Hal itu dimungkinkan karena sistem pengajaran
lama Al Azhar membolehkannya. Meskipun Syaikh Taqiyuddin menghimpun
sistem Al Azhar lama dengan Darul Ulum, akan tetapi beliau tetap menampakkan
keunggulan dan keistimewaan dalam kesungguhan dan ketekunan belajar.

Syaikh Taqiyuddin telah menarik perhatian kawan-kawan dan dosen-


dosennya karena kecermatannya dalam berpikir dan kuatnya pendapat serta hujjah
yang beliau lontarkan dalam perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi
pemikiran, yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga ilmu yang ada saat itu di
Kairo dan di negeri-negeri Islam lainnya. Syaikh Taqiyuddin An Nabhani
menamatkan kuliahnya di Darul Ulum pada tahun 1932. Pada tahun yang sama
beliau menamatkan pula kuliahnya di Al Azhar Asy Syarif menurut sistem lama,
di mana para mahasiswanya dapat memilih beberapa syaikh Al Azhar dan
menghadiri halaqah-halaqah mereka mengenai bahasa Arab dan ilmu-ilmu syariah
seperti fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir, tauhid (ilmu kalam), dan yang sejenisnya.

Dalam forum-forum halaqah ilmiah tersebut, An Nabhani dikenal oleh


kawankawan dan sahabat-sahabat terdekatnya dari kalangan Al Azhar, sebagai
sosok yang mempunyai pemikiran yang genial, dengan pendapat yang kokoh,
pemahaman dan pemikiran yang mendalam, serta berkemampuan tinggi untuk
meyakinkan orang dalam perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi pemikiran.
Demikian juga beliau sangatlah bersungguh-sungguh, tekun, dan bersemangat
dalam memanfaatkan waktu guna menimba ilmu dan belajar.

Bentuk Negara dan Pemerintahan

Proses Pembentukan dan Tujuan Negara Negara (Islam) menurut


Taqiyuddin an nabhani adalah seorang khalifah yang menerapkan hukum syara'.
Negara Islam merupakan kekuatan politik praktis yang berfungsi untuk
menerapkan dan memberlakukan hukum-hukum Islam, serta mengemban dakwah
Islam ke seluruh dunia sebagai sebuah risalah dengan dakwah dan jihad. Disini
yang menarik adalah pendefenisian taqiyuddin mengenai negara yang merujuk
pada seseorang, dalam pemahaman ilmu politik modern penggunaan istilah negara
merujuk pada konotasi tertentu yakni, kumpulan tanah (wilayah), penduduk serta
penguasa. Menurut taqiyuddin pemahaman ilmu politik moderm (barat), uegara
didirikan untuk menjaga batas teritorial yang biasa disebut dengan tanah air.
Sedangkan taqiyuddin berbeda pandangan dengan pemahaman ilmu politik
modern ini, menurutnya Negara Islam tidak ada batas-batas teritorial secara
permanen. Karena hukum mengemban dakwah keseluruh dunia adalah wajib.
Sehingga batas-batas teritorial tersebut akan berubah dengan berubahnya
kekuasaan Islam terhadap negara-negara lain. Disinilah pengertian negara dalam
pandanganya sangat berbeda dengan pandangan negara dalam ilmu politik
mainstream, selanjutnya negara dalam pandanganya hanya terbatas dalam hal
kekuasaan. Sehingga wewenangnya merupakan wewenang penguasa. Sedangkan
yang memimpin kekuasaan tersebut adalah khalifah. Maka, khalifah adalah
negara. Selanjutnya taqiyuddin mengatakan Negara Islam adalah negara yang
berbentuk khilafah. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum
muslimin di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syari'at Islam dengan
pemikiran-pemikiran yang dibawa oleh Islam dan hukum-hukum yang telah
disyari'atkannya.

Bentuk dan Sistem Pemerintahan

An-Nabhani menginginkan tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah (Negara


Khilafah Islam) dengan ideologi Islam karena Islam adalah suatu sistem yang
universal (untuk seluruh dunia), tetapi thariqahnya tidak mengharuskan adanya
perjuangan secara universal di seluruh dunia sejak awal. Islam memang mesti
didakwahkan secara universal ke seluruh dunia, tetapi harus ditetapkan adanya
wilayah geraknya terlebih dahulu di satu atau di beberapa negeri, sampai dakwah
Islam dapat memantapkan diri di negeri tersebut. Kemudian Daulah Islam
selanjutnya akan meluas secara alami hingga meliputi seluruh negeri Islam. Ini
adalah tahap pertama. Tahap selanjutnya, Daulah Islam tersebut akan
menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia sebagai risalah Islam dan risalah
umat manusia yang bersifat universal dan abadi

Pemikiran Politik
Dalam bidang politik dan pemerintahan, pandangan kritis Taqiyuddin Al-
Nabhani cenderung puristis dan analitis. Taqiyuddin Al- Nabhani tidak sepakat
bahwa bentuk negara Islam adalah republik dan sistem politiknya demokrasi,
karena konsep-konsep yang lahir dari demokrasi bertentangan dengan aqidah
Islam.

Taqiyuddin Al-Nabhani pun menolak bentuk negara republik, kekaisaran,


monarki, dan federasi. Menurutnya, semua konsep itu tidak bersumber dari aqidah
Islam, tetapi dari akal manusia. Sedangkan Islam memiliki bentuk negara sendiri
yang khas dan unik, yaitu khilafah.

Politik dalam pandangan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani adalah mengurus


urusan umat dengan menerapkan hukum Islam baik di dalam maupun di luar
negeri. Sedangkan menurutnya ideologi di dunia ini terdapat tiga macam yaitu
ideologi kapitalis, ideologi komunis/sosialis, dan Islam.

1. Politik menurut syeikh Taqiyuddin an-Nabhani mempunyai pengerrtian


pengaturan urusan umat baik dalam maupun diluar negri, Sedangkan ideologi
mempunyai pengertian yaitu suatu aqidah aqliyah yang melahirkan pengaturan.
Yang dimaksud aqidah aqliyah adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam
semesta, manusia dan hidup (biotik), serta apa yang ada sebelum dan setelah
kehidupan, disamping hubungannya dengan Dzat yang ada sebelum dan setelah
kehidupan dunia ini.

2. Menurut Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani Segala problematika umat adalah


permasalahan politik. Oleh sebab itu setiap muslim wajib untuk terjun dalam
politik. Sehingga seetiap muslim tahu dan paham semua problem yang sedang
dihadapi. Untuk itu diperlukan wadah sebagai pengimplementasian dari kesadaran
politik yaitu partai politik.

3. Pendirian Negara Islam atau Daulah Khilafah Islamiyah menurut pandangan


Taqiyuddin an-Nabhani adalah sebuah solusi yang klimaks dari semua
permaslahan yang melanda kaum muslimin. Karena dalam Negara Islam Daulah
Khilafah Islamiyah mempunyai landasan yang kuat yaitu, ideologi islam.
Dalam pengangkatan kepala Negara taqiyuddin membedakan antara metode
pengangkatan khalifah dengan metode pemilihan khalifah :

1. Menurutnya metode mengangkat khalifah (nashb al-khalîfah) bersifat baku


yaitu baiat.

2. Sementara tata cara pemilihan khalifah (intikhôb al-khalîfah) dapat berubah-


ubah sesuai dengan tuntutan jaman sehingga dapat dijumpai pada prosesi
pemilihan al-Khulafa arRasyidun pun terjadi perbedaan. Tetapi berjalan pada satu
metode pengangkatan yang baku yaitu baiat. Tentu pendapat seperti ini berbeda
dengan para pemikir politik Islam kontemporer.

Sebab menurut para pemikir modern, prosesi pemilihan kepala negara yang
dialami khalifah yang empat mengalami perbedaan sebagai indikasi bahwa tata
cara pemilihan kepala negara tidak ada yang baku.

Menurut Taqiyuddin, tahapan pembentukan Parpol Islam untuk meraih


kebangkitan tersebut didasarkan pada sirah nabawiyah, karena dari segi perbuatan
nabi dapat dibedakan beberapa kriteria, yaitu :

1. Perbuatan jibîliyyah atau perbuatan alami manusia seperti duduk, tidur,


berkedip dan lain sebagainya. Pada perbuatan ini tidak disunahkan mengikutinya
melainkan mubah saja.

2. Perbuatan selain dalam kontek manusia biasa (ghair Jibîliyah), tetapi hanya
khusus untuk nabi dan tidak boleh diikuti oleh umatnya. Contohnya puasa wishal,
shalat tahajud dan witir wajib bagi nabi, menikah lebih dari empat dsb.

Perbuatan yang bukan dari sisi manusia biasa (al-Jibiliyah), bukan kekhususan
dan bukan pula penjelas (al-bayan) dari alQur‟an.
A. Penutup
Di dalam Islam sejarah terbentuknya negara pertama kali
adalah negara yang didirikan oleh nabi Muhammad di Madinah.
kemudian Negara ini diyakini sebagai Negara Islam pertama di dunia.
Negara Islam ini berdiri sebagai sebuah negara yang menjadi payung
bagiseluruh kehidupan masyarakat yang ada saat itu. Negara ini
didirikan di atas panji-panji Islam, di mana semua rakyat madinah
hidup di bawah naungan Islam. Negara ini juga mempraktekan
fikrah Islamiyah yang tidak hanya terwujud dalam bidang militer,
tetapijuga dalam bidang ekonomi dan pemerintahan. Semua amal
kerja yang dilakukan dengan landasan akidah yang satu yaitu Islam.
Konsep Negara Islam oleh Hasan Al-Banna digambarkan sebagai
sebuah negara yang merdeka yang berdiri di atas syariat Islam dan dalam
segala aspeknya. Mengenai nama dan bentuk Negara Islam
sendiri tidaklah dipermasalahkan, baik itu berbentuk Khilafah,
Kesultanan, Mamlakah ataupun Imarah, karena yang terpenting adalah
penerapan kaidah pokok-pokok Islam. Meskipun secara pribadi Hasan
Al-Banna lebih menyukai jika Negara Islam bernama daulah
Islamiyah.Selain landasannya berdasarkan Islam, di dalam Negara
Islam kita juga memerlukan pemerintahan yang Islami yang
akan menjadi roda penggerak dalam suatu negara.
al-Mawdudi mencita-citakan terwujudnya negara Islam yang
berlandaskan pada al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, ia merumuskan
sebuah kerangka aturan negara Islam yang sangat komprehensif.
Meskipun demikian, ia tidak memaksakan idenya tentang negara Islam
tersebut. Ia bisa menerima bentuk atau model negara lainnya, namun yang
penting baginya adalah jenis kedaulatan yang harus menganut kedaulatan
Tuhan (teo-demokrasi) sebagai ciri negara Islam. Tidak seperti model
negara republik pada umumnya yang memakai sistem kedaulatan rakyat
atau demokrasi.

Anda mungkin juga menyukai