Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

M. M. FI AL - SIYASAH

“ Perbandigan Konsep Khilafah Sunni dan Imamah Syi’ah ”

Dosen Pengampu : Haswir, M.Ag

Disusun oleh

Kelompok 1 HTN B :

Agung Afnanda Putra ( 11920412235 )

Wandi Kurniawan ( 11920411767 )

Hesvika Berliani ( 12020425157 )

HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah SWT yang mana berkat Rahmat dan

Karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah M.M Fi Al-Siyasah

pembahasan tentang “Perbandigan Konsep Khilafah Sunni dan Imamah Syi’ah” sesuai

dengan waktu yang telah ditentukan. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas

mata kuliah M.M. Fi Al-Siyasah.

Tidak lupa Shalawat dan Salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad

SAW. Penulis mengaku dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan sehingga

hasilnya jauh dari kesempurnaan.

Penulis berharap kepada semua pihak kiranya memberikan kritik dan saran yang

membangun, dengan terselesaikannya makalah ini dapat menjadi tambahan bagi penilaian

dosen terhadap mata kuliah ini dan semoga isi dari makalah ini dapat di ambil manfaatnya

oleh semua pihak yang membaca. Semoga makalah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu

pengetahuan khususnya mata kuliah M.M Fi- Al- Siyasah

Pekanbaru, 21 September 2021

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...........................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I Pendahuluan.................................................................................................................iii

A. Latar Belakang...............................................................................................................iii

B. Rumusan Masalah..........................................................................................................iv

C. Tujuan Penulisan............................................................................................................iv

BAB II Pembahasan

A. Dasar Pemikiran Pendirian Negara.................................................................................1

B. Kekuatan dan Kelemahan................................................................................................1

C. Tata Cara Pengangkatan / Pemberhentian.......................................................................1

D. Bentuk Negara ...............................................................................................................4

E. Tata Cara Pemilihan Kekuasaan.....................................................................................5

BAB III Penutup

A. Kesimpulan......................................................................................................................5

B. Saran................................................................................................................................5

Daftar Pustaka...........................................................................................................................6

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perbedaan yang terjadi antara Syiah dan Sunni pada dasarnya terletak pada ke

Khalifahan (kepemimpinan), kelompok Syiah beranggapan bahwa ke Khalifahan

merupakan sesuatu yang penting dan prinsipil. Sedangkan untuk kelompok Sunni ke

Khalifahan bukanlah sesuatu yang mendasar dalam Agama hanya untuk perpolitikan.

Perbedaan inilah yang menyebabkan terjadinya keretakkan dalam perpolitikan Dunia

Islam. Gerakan perpolitikan di Timur Tengah banyak di pengaruhi oleh dua kekuatan

besar, yaitu Syiah dan Sunni. Syiah memiliki basis di Iran sedangkan Sunni berbasis

di Arab Saudi, sunni merupakan kelompok mayoritas di Timur Tengah. Namun, hal

ini tidak menjadi kendala kelompok Syiah untuk memperluas pengaruhnya di Timur

Tengah, banyak gerakan perpolitikan yang dilakukan oleh kelompok Syiah tidak

disukai oleh kelompok Sunni yang merupakan kelompok mayoritas di Timur Tengah.

Islam Sunni dan Syiah adalah dua mazhab besar dalam Islam. Kurang

mesranya hubungan antara Sunni dan Syiah berlangsung sudah sejak dulu kala.

Konon ketidak mesraan ini dilatar belakangi oleh perbedaan persepsi dalam praktik

peribadatan, dll. Sunni sebagai penganut ajaran Islam yg pertama menganggap ajaran

Syiah menyimpang dari apa yg diajarkan oleh Muhammad, sebaliknya Syiah

menganggap ajaran merekalah yang benar. Kemudian, perbedaan pandangan ini

menimbulkan diskriminasi dalam banyak bidang kehidupan. Wilayah yang mayoritas

penduduknya Sunni katanya mengucilkan kaum minoritas (Syiah), dan begitu

sebaliknya, wilayah yang mayoritas penduduknya Syiah mengucilkan kaum Sunni.

Demikian pula dalam Pemerintahan. Pemerintah yang berkuasa memperlakukan cara

cara diskriminatif terhadap kaum yang dikuasai.

iii
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas

dan untuk mempermudah dalam menganalisis, maka penulis merumuskan masalah

yaitu:

1. Apa yang di maksud dengan dasar pemikiran pendirian Negara?

2. Bagaimana Tata cara dalam pengangkatan / pemberhentian ?

3. Sebutkan bagaimana Bentuk Negara ?

4. Bagimana tata cara peralihan kekuasaan?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan adalah :

1. Untuk mengetahui dasar pemikiran pendirian Negara.

2. Untuk mengetahui Tata cara pengangkatan / pemberhentian pada khilafah

sunni dan imamah syiah.

3. Untuk mengetahui Bentuk Negara khilafah sunni dan imamah syiah.

4. Untuk mengetahui Tata cara peralihan kekuasaan khilafah sunni dan

imamah syiah.

iv
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dasar Pemikiran Pendirian Negara

Cabang Islam Sunni menetapkan bahwa, sebagai kepala negara, seorang

khalifah dapat berkuasa dengan salah satu dari empat cara baik melalui pemilihan,

melalui pencalonan atau melalui seleksi oleh komite. Perbedaan yang paling mendasar

antara Islam Syi'ah dan Sunni terletak pada persoalan khilafah (imamah). Bagi Syi'ah

imamah adalah suatu masalah penting dan prinsipil, karena merupakan bagian dari

akidah dan mempunyai posisi sentral serta perwujudan dari lutf (anugerah) terhadap

makhluk-Nya sebagaimana Nubuwah. Adapun hal-hal prinsip dalam akidah Syi'ah

adalah: Tauhid, Nubuwah, keadilan ilahi, imamah dan hari kebangkitan. Sedangkan

dalam Islam Sunni persoalan imamah (khilafah) tidaklah sepenuhnya ditolak, tetapi

bukanlah suatu prinsip utama dalam agama (lebih bernuansa politis dan sosial

(Muthahari, 1991: 7). Pendirian institusi imamah pada hakikatnya untuk

menyelamatkan manusia dari kejahatan dan kemaksiatan. Untuk itulah Allah

mengangkat seorang imam yang dipercaya. Kepercayaan itu adalah lutf kepada

hamba-Nya dan ia diyakini sebagai pelanjut misi kenabian sehingga imam harus

selalu ada. Keberadaan imam merupakan hal mutlak, sehingga ketiadaan sementara

harus digantikan oleh seorang faqih sampai kedatangan imam al-Mahdi yang biasa

dikenal dengan wilayah al-faqih yang merupakan implikasi imamah dalam kehidupan

sosial politik dan keagamaan. Sementara di kalangan Sunni, tidak didapati ajaran

seperti yang dipahami oleh Syi'ah. Dipahami Sunni, imamah bukanlah wahyu ilahi

dan tidak ditetapkan rasul-Nya, tetapi diserahkan pada umat yang memilih siapa yang

dianggap oleh mereka tepat menurut situasi dan kondisi serta memenuhi persyaratan-

1
persyaratan yang ditentukan. Oleh karena itu, jabatan imamah walaupun pada

dasarnya mengurusi masalah keagamaan, dalam beberapa hal mempunyai sifat

keduniaan. Oleh karena itu, dalam penunjukkan imam diserahkan pada orang banyak

untuk dimusyawarhkan. Perbedaan-perbedaan Syi'ah dan Sunni sebagaimana

disebutkan di atas, bukan hanya disebabkan oleh perbedaan nash atau perbedaan

memahami nash-nash Alquran maupun hadis, melainkan juga harus pula dilihat dari

latar belakang kesejarahan bangsa Arab. Sebagaimana disinggung sebelumnya, sikap

dominan dan paling utama pada masyarakat Arab adalah kesetiaan pada suku. Dari itu

pemahaman dan kebanggaan akan prestasi nenek moyang titik sentral dalam

kesadaran masyarakat Arab yang juga merupakan tolak ukur bagi kehormatan dan

keagungan suatu suku dibanding dengan suku lain (Jafri, 1989: 28). Dalam sistem

kesukuan yang kaku, seperti dalam masyarakat Arab, kemasyhuran leluhur dan

perbuatan terpuji mereka merupakan sumber gengsi paling utama dan klaim

superioritas. Bahkan bukan hanya ciri-ciri fisik diturunkan secara generalis tetapi

kemuliaan pun diwariskan dalam garis keturunan (Jafri, 1989: 30). Pandangan-

pandangan sosio-antropologis bangsa Arab di atas, telah dikemukakan oleh Nicholson

(1969). Welhausen (1927).

B. Tata Cara Pengangkatan / Pemberhentian

Mekanisme Pengangkatan Kepala Negara Tentang pengangkatan kepala

negara, ia mengemukakan dua cara. Pertama, seorang kepala negara mungkin

diangkat melalui lembaga pemilih (ahl al-hall wa al-‘aqd). Kedua, ia mungkin juga

diangkat melalui penunjukan kepala negara yang sedang berkuasa. Al-Mawardi

mengajukan beberapa syarat yang harus dipenuhi setiap anggota pemilih. Yaitu, 1]

adil, 2] memiliki pengetahuan yang dapat menentukan siapa yang layak menjadi

kepala negara, 3] memiliki wawasan yang luas dan sikap yang arif sehingga dapat

2
memilih calon yang paling tepat untuk jabatan kepala negara dan yang paling

mumpuni untuk menangani dan mengelola kepentingan umum. Persyaratan yang

diberikan al-Mawardi seperti di atas merupakan persyaratan yang tepat, sebab dari

kelompok pemilih itu diharapkan terwujudnya kepala negara yang cakap, terampil,

dan mengetahui mana yang harus dilakukan untuk kepentingan rakyat. Untuk itu

hanya kelompok tertentu yang berhak menjadi kelompok pemilih kepala negara.

Kemudian, terhadap pengangkatan kepala negara melalui pemilihan tersebut

terdapat perbedaan pendapat tentang jumlah peserta dalam pemilihan tersebut.

Pertama, kelompok yang mengatakan bahwa ahl al-hall wa al-‘aqd terdiri dari

perwakilan seluruh kota yang ada di bawah kekuasaan negara. Kedua, kelompok yang

menyatakan bahwa pemilihan baru dianggap sah apabila paling kurang dilakukan lima

orang. Seorang di antara mereka diangkat sebagai imam dengan persetujuan empat

orang yang lain. Dasar pertimbangan kelompok ini ialah bahwa dahulu Abu Bakar

diangkat sebagai khalifah pertama melalui pemilihan lima orang, dan bahwa Umar bin

Khattab telah membentuk dewan formatur yang terdiri dari enam orang untuk memilih

seorang di antara mereka sebagai khalifah penggantinya dengan persetujuan lima

anggota yang lain dari dewan itu.

Al-Mawardi tidak memberikan preferensi mana yang terbaik dari dua cara itu.

Kecenderungan dari al-Mawardi penting diungkapkan karena berhubungan erat

dengan teori yang dikemukakannya mengenai mekanisme pengangkatan kepala

negara melalui pemilihan. Dapat diduga, ia sebenarnya ia menghendaki pemilihan itu.

Akan tetapi karena tradisi yang berlaku waktu itu adalah monarchi, ia cukup

menyuguhkan cara penunjukan meskipun secara agak terinci memberikan prasyarat

yang cukup ketat.

3
Secara sepintas terlihat, lagi-lagi ia berusaha menjadikan praktik al-Khulafa`

alRasyidun sebagai patokan. Padahal, diakui bahwa usaha itu sulit diwujudkan oleh

karena ternyata tidak ada satu model pemilihan pun yang dianggap baku pada masa-

masa awal Islam itu. Bahkan al-Maraghi menegaskan bahwa Nabi Muhammad saja

tidak memiliki model yang baku dalam bermusyawarah, terlebih para sahabat

sesudahnya. Tidak adanya model yang baku justru memberika peluang kepada umat

Islam untuk menentukan model tertentu sesuai dengan situasi dan kondisinya. Baca

Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun),

Juz X, hlm.

Pemberhentian Kepala Negara Tidak sebagaimana dalam pengangkatan kepala

negara, dalam hal pemberhentian kepala negara al-Mawardi tidak menyuguhkan resep

dan mekanisme pemberhentian atau penggantian kepala negara. Ia hanya berpendapat

jika ternyata kepala negara telah menyimpang dari nilai-nilai moral agama, maka

rakyat berhak untuk menyatakan”mosi tidak percaya”. Secara tegas, al-Mawardi

mensinyalir, seorang kepala negara dapat diturunkan dari kursi kekuasaannya kalau

ternyata sudah keluar dari cita keadilan, 57 hilangnya panca indera,58 atau organ-

organ tubuh yang lain59 atau 54 Al-Mawardi, ibid.,55 Al-Mawardi, ibid., 1356

Qamaruddin Khan, Al-Mawardi’s Theory of the State, Delhi: Idarah al-

Adabiyah,1979, hlm. 19. Dimaksud dengan penyimpangan tersebut adalah fisq;

Pertama, suka melaksanakan kemungkaran dengan memperturutkan hawa nafsu.

Kedua, menakwil ayat-ayat mutasyabihat, sehingga menyimpang dari kebenaran

(pendapat mayoritas). Yang terakhir ini masih diperselisihkan para ulama. Baca, al-

Mawardi, ibid., hlm. 17. Abd Moqsith, Mekanisme Pengangkatan dan Pemberhentian

Kepala Negara JAUHAR, VOLUME 2, NO.1, JUNI 2001 18 tidak cakap bertindak.60

Al-Mawardi sampai disini kehilangan jejak dan berhenti tidak meneruskan

4
penjelajahan lebih lanjut. Sehingga, bagaimana jika kepala negara menyimpang dari

amanat rakyat ? Tambahan pula, ia tidak menjelaskan tentang bagaimana cara atau

mekanisme pemakzulan seorang kepala negara yang sudah dipandang tidak kridibel

untuk memimpin sebuah negara. Tidak jelas pula, siapa yang harus melakukan

pemakzulan itu ? Tampaknya, masalah ini lepas dari amatan dan kajian al-Mawardi.

Padahal beberapa pokok soal ini sangat penting dikemukakan untuk mengetahui

sejauh mana hak pemberi mandat-dalam hal ini rakyat—terhadap mandatarisnya. Dari

sini terlihat, al-Mawardi tidak berpretensi untuk mempersoalkan apa yang sudah baku

atau dibakukan menyangkut absolusitas seorang khalifah. Namun, teori al-Mawardi

tentang kemungkinan adanya pemberhentian kepala negara--disaat khalifah masih

absolut—sudah dapat dikatakan sebagai langkah maju dan berani. Penting dicatat

bahwa al-Mawardi lah satu-satunya dari enam pemikir politik Islam sejak zaman

klasik sampai zaman pertengahan (Ibnu Abi Rabi’, al-Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali,

Ibnu Taymiyah, Ibnu Khaldun) yang berpendapat tentang kemungkinan

dilengserkannya seorang kepala Negara jika ternyata tidak mampu lagi untuk

melaksanakan tugas, baik disebabkan oleh soal moral maupun soal-soal lain. Apa

yang telah diberikan dan dilakukan al-Mawardi, itulah andil dia yang sangat berharga.

Selanjutnya, dia sendiri berhak bertanya apa kemudian andil kita.

C. Bentuk Negara

Struktur pemerintahan

Khilafah adalah dipimpin oleh orang yang mewakili umat dalam menjalankan

pemerintahan kekuasaan dan penerapan syariah yang disebut oleh khalifah. Tak

seperti teori teokrasi dimana aturan yang diterapkan adalah aturan Tuhan yaitu dari

aturan agama tertentu, kekuasaan Khilafah sangat berbeda dengan sistem teokrasi.

Khalifah diangkat oleh umat melalui bai’at. Khalifah juga bukan manusia suci yang

5
bebas dari kesalahan dan dosa. Khalifah bisa dikoreksi dan diprotes oleh umat jika

kebijakannya menyimpang dari ketentuan syariat. Khalifah juga bisa salah dan bisa

dihukum -yang dalam struktur Khilafah fungsi ini dilakukan oleh mahkamah

madzalim- yaitu ketika khalifah menyimpang dari ketentuan syariat Islam. Sementara

dalam sistem teokrasi kekuasaan dianggap “takdir” atau penunjukkan Tuhan.

Sehingga pemimpinnya menganggap diri sebagai wakil Tuhan, menjadi manusia suci,

terbebas dari salah maupun dosa. Khalifah juga dibantu oleh para pembantu khalifah

di berbagai bidang seperti pemerintahan, administrasi, kota, keamanan, perindustrian,

peradilan, kesehatan, keuangan, penerangan, dan majelis umat.

Cabang Islam Sunni menetapkan bahwa, sebagai kepala negara, seorang

khalifah dapat berkuasa dengan salah satu dari empat cara baik melalui pemilihan,

melalui pencalonan atau melalui seleksi oleh komite. Namun, para pengikut Islam

Syiah percaya bahwa seorang khalifah haruslah seorang imam yang dipilih oleh

Tuhan dari Ahl al-Bayt (merujuk pada keluarga Muhammad).

D. Tata Cara Pemilihan Kekuasaan

Dalam ketatanegaraan Islam khususnya pada masa Nabi Muhmamd SAW dan

khulafaurroidin, kekuasaan kepala negara itu mencakup bidang agama dan bidang

keduniaan (sebagai kepala pemerintahan dan sebagai kepala negara). Istilah khalifah

adalah pimpinan yang bertanggung jawab tentang masalah agama dan dunia.

Kekuasaan itu sudah diperkenalkan pada masa Nabi Muhammad SAW dan masa

khulafaurrosidin. Adapun yang menjadi kekuasaan kepala negara adalah: melindungi

agama, mengepalai kekuasaan pemerintahan, menetapkan undang-undang negara,

melindungi berjalannya hukum dan undang-undang, mengepalai seluruh angkatan

perang, menyatakan keadaan bahaya dan perang, mengawasi pemungutan iuran

6
negara, memberikan anugerah dan pangkat kehormatan, mengangkat pegawai sipil

dan militer serta mencampuri pemerintahan.

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

 Dasar Pemikiran pendirian negara

Cabang Islam Sunni menetapkan bahwa, sebagai kepala negara, seorang

khalifah dapat berkuasa dengan salah satu dari empat cara baik melalui pemilihan,

melalui pencalonan atau melalui seleksi oleh komite. Perbedaan yang paling mendasar

antara Islam Syi'ah dan Sunni terletak pada persoalan khilafah (imamah).

 Tata Cara Pengangkatan/Pemberhentian

Mekanisme Pengangkatan Kepala Negara Tentang pengangkatan kepala

negara, ia mengemukakan dua cara. Pertama, seorang kepala negara mungkin

diangkat melalui lembaga pemilih (ahl al-hall wa al-‘aqd). Kedua, ia mungkin juga

diangkat melalui penunjukan kepala negara yang sedang berkuasa.

 Bentuk Negara

Khilafah adalah dipimpin oleh orang yang mewakili umat dalam menjalankan

pemerintahan kekuasaan dan penerapan syariah yang disebut oleh khalifah. Khalifah

diangkat oleh umat melalui bai’at. Khalifah juga bukan manusia suci yang bebas dari

kesalahan dan dosa. Khalifah bisa dikoreksi dan diprotes oleh umat jika kebijakannya

menyimpang dari ketentuan syariat.

 Tata Cara Pemilihan Kekuasaan

8
Dalam ketatanegaraan Islam khususnya pada masa Nabi Muhmamd SAW dan

khulafaurroidin, kekuasaan kepala negara itu mencakup bidang agama dan bidang

keduniaan (sebagai kepala pemerintahan dan sebagai kepala negara). Istilah khalifah

adalah pimpinan yang bertanggung jawab tentang masalah agama dan dunia.

Kekuasaan itu sudah diperkenalkan pada masa Nabi Muhammad SAW dan masa

khulafaurrosidin.

B. Saran

Dengan mengetahui bagaimana perbedaan antara Sunni dan Syiah baik itu

dasar pemikiran pendirian negara, tata cara pengangkatan bentuk negara dan tata cara

peralihan kekuasaan. Kita dapat membedakan persoalan penting tersebut.

9
DAFTAR PUSTAKA

Abidin ,Zainal, “Syiah dan Sunni dalam perspektif pemikiran islam”, Jakarta,2007.

https://dalamislam.com/fatwa-ulama/tasawuf-syiah/amp

10

Anda mungkin juga menyukai