Anda di halaman 1dari 5

Di sisi kebijakan, dukungan pemerintah terhadap UMKM dapat dilihat dari produk hukum

terkait UMKM.

Meskipun belum secara khusus menerbitkan produk hukum mengenai UMKM, secara eksplisit
dukungan pemerintah terhadap UMKM mulai tampak dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan. Dalam pasal 12 UU ini, disebut bahwa pemerintah dapat menugaskan
Bank Umum untuk mendukung pengusaha golongan ekonomi lemah/usaha kecil.

Baru pada 1995, produk hukum yang mengatur persoalan UMKM secara formal disahkan, yakni
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Peraturan ini hadir dengan
pertimbangan usaha kecil sebagai kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki kedudukan, potensi,
dan peran yang strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional.

Undang-undang ini mengatur kriteria usaha kecil, yakni memiliki kekayaan bersih paling banyak
Rp 200 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Kriteria berikutnya adalah
memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1 miliar.

Sebagai peraturan yang bertujuan mengembangkan usaha kecil, UU ini memuat kebijakan
penting, yaitu dukungan untuk usaha kecil yang mencakup pemberdayaan, iklim usaha,
pembinaan dan pengembangan, pembiayaan, penjaminan, serta kemitraan.

Visi jangka panjang dari dukungan pemerintah ini adalah ketangguhan dan kemandirian usaha
kecil yang dihadapkan pada perdagangan bebas dalam iklim perekonomian yang semakin
terbuka. Usaha kecil yang tangguh dan mandiri diproyeksikan akan berkembang menjadi usaha
menengah. Lebih jauh, usaha kecil yang kuat akan meningkatkan produksi nasional, kesempatan
kerja, ekspor, serta pemerataan hasil-hasil pembangunan.

Untuk mendukung UU 9/1995 di atas, pada bulan Februari 1998, Presiden Soeharto menetapkan
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha
Kecil. Aturan ini memuat kebijakan dalam membina dan mengembangkan usaha kecil untuk
berkembang menjadi usaha menengah.

Ruang lingkup pemerintah dalam membina dan mengembangkan usaha kecil meliputi bidang
produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia dan teknologi. Usaha kecil yang
didampingi dan akhirnya berkembang menjadi usaha menengah masih bisa mendapatkan
pembinaan dan pengembangan hingga jangka waktu paling lama tiga tahun.

Pada masa Reformasi, muncul beberapa aturan terkait usaha kecil. Akan tetapi, aturan utama
yang diacu masih UU 9/1995 tentang Usaha Kecil.

Pada Desember 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Keppres Nomor 127 Tahun
2001 tentang Bidang/Jenis Usaha yang Dicadangkan untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha
yang Terbuka untuk Usaha Menengah atau Besar dengan Syarat Kemitraan. Keppres ini
mengatur berbagai macam bidang yang diperuntukkan bagi usaha kecil.

Bidang atau jenis usaha tersebut meliputi sektor pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan,
energi dan sumber daya mineral, industri dan perdagangan, perhubungan, telekomunikasi, serta
kesehatan. Masing-masing sektor tersebut diperinci lagi ruang lingkupnya yang dijelaskan dalam
Lampiran I Keppres 127/2001.

Selanjutnya dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terdapat
dua aturan penting terkait usaha kecil. Pertama, Inpres 3/2006 tentang Paket Kebijakan
Perbaikan Iklim Investasi. Kedua, Inpres 6/2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan
Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Aturan yang pertama mencakup empat poin penting terkait usaha kecil dan menengah, yakni
penyempurnaan aturan terkait perizinan, pengembangan jasa konsultasi, peningkatan akses
finansial, serta penguatan kemitraan antara usaha kecil dan menengah dengan usaha besar.
Sementara aturan kedua memuat 141 tindakan langsung terkait UMKM yang dijelaskan dalam
bagian lampiran kurang lebih 50 halaman.
Kedua kebijakan di atas dimaksudkan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia yang
sempat melambat pada akhir 2005 dan awal 2006 akibat kenaikan BBM (Kompas, 13/6/2007).

Setahun berselang, pemerintah memberi kebaruan terhadap usaha golongan ekonomi rendah.
Kebaruan ini ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Hal yang paling mencolok adalah istilah yang digunakan,
yakni usaha mikro, kecil dan menengah.

Tidak hanya istilahnya, kriteria untuk masing-masing kelompok juga mengalami penyesuaian.
Rincian kriteria untuk usaha mikro, kecil, dan menengah terdapat dalam pasal 6 UU No.
20/2008.

Terkait penumbuhan iklim usaha, sebagaimana tertuang dalam pasal 6 UU di atas, kebijakan
pemerintah meliputi aspek pendanaan, sarana dan prasarana, informasi usaha, kemitraan,
perizinan usaha, kesempatan berusaha, promosi dagang, dan dukungan kelembagaan.

Setelah ada pembaruan konsep tentang UMKM melalui UU 20/2008, Presiden SBY pada 2014
mengeluarkan Perpres Nomor 98 Tahun 2014 tentang Perizinan untuk Usaha Mikro dan Kecil.
Produk hukum ini bertujuan menambah kuatnya legalitas usaha kecil dan menengah. Izin Usaha
Mikro dan Kecil (IUMK) memberi kepastian dan perlindungan berusaha di lokasi yang telah
ditetapkan.

Pelaksana IUMK adalah camat yang mendapat pendelegasian wewenang dari bupati/wali kota.
Sementara, camat akan mendelegasikan pelaksanaan terhadap lurah/kepala desa dengan
pertimbangan karakteristik wilayah. Hal praktis yang dilakukan oleh lurah/kepala desa adalah
mendata usaha mikro dan kecil di wilayahnya.

Sebagaimana tertulis dalam pasal 2 ayat 4 Perpres ini, untuk pengurusan IUMK, pelaku usaha
tidak dikenakan biaya, retribusi, serta pungutan yang lain.
Selanjutnya, perhatian pemerintah pada pengusaha kecil tampak dari pembentukan kelembagaan
baru. Lembaga pemerintah yang membidangi masalah UMKM secara pokok adalah Kementerian
Koperasi dan UMKM.

Dalam Kabinet Pembangunan VI, pemerintah mengganti nama Departemen Koperasi menjadi
Departemen Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil melalui Keppres 58/1993. Departemen inilah
yang menjadi cikal bakal Kemenkop dan UMKM saat ini.

Tiga tahun kemudian, Departemen Koperasi membentuk tiga direktorat jenderal baru sebagai
langkah lanjut penyesuaian, yaitu Ditjen Pembinaan Koperasi Perkotaan, Ditjen Pembinaan
Koperasi Pedesaan, dan Ditjen Pembinaan Usaha Kecil.

Pada tahun 1998, Departemen Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil diubah menjadi
Departemen Koperasi Pengusaha Kecil dan Menengah melalui Keppres 102/1998.

Pada tahun 1999, departemen ini berubah menjadi Menteri Negara Koperasi dan Pengusaha
Kecil dan Menengah berdasarkan Keppres 134/1999. Menteri negara bertugas menangani bidang
tugas tertentu dalam kegiatan pemerintahan negara yang tidak ditangani oleh suatu departemen.

Kebijakan ini berlanjut pada tahun 2000 dengan penambahan nama “urusan” menjadi Menteri
Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah sesuai Keppres 163/2000. Pada tahun
2001, nama tersebut kembali menjadi Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
berdasarkan Keppres 101/2001.

Pada tahun 2015, Menteri Negara Koperasi dan UKM diubah menjadi Kementerian Koperasi
dan Usaha Kecil dan Menengah melalui Perpres 62/2015. Kementerian ini mengurus sisi
dukungan pemberdayaan dan pendampingan selain juga melakukan koordinasi dan sinkronisasi
pelaksanaan kebijakan terkait UMKM.

Meskipun demikian, urusan UMKM tidak melulu terkait dengan Kementerian Koperasi dan
UMKM. Dengan cakupan sektor yang luas, hampir semua kementerian yang terkait dengan
sumber daya dan perekonomian bersinggungan dengan kegiatan UMKM.

Beberapa kementerian yang terkait secara signifikan, di antaranya Kementerian Keuangan,


Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan.
Kementerian Keuangan mengambil bagian terutama dalam urusan pembiayaan dan pemberian
kredit. Salah satu program yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan adalah Kredit Ultra
Mikro (UMi). Program ini menyasar pelaku UMKM yang belum terfasilitasi oleh Kredit Usaha
Rakyat (KUR) dari perbankan.

Sementara, Kementerian Perindustrian memiliki bagian khusus yang membidangi UMKM, yakni
Dirjen Industri Kecil, Menengah dan Aneka (IKMA). Salah satu agenda Dirjen IKMA baru-baru
ini adalah membangun jejaring antara industri kecil dan menengah dengan industri besar.
Harapannya, sektor kecil dan menengah mampu menjadi rantai suplai untuk industri lokal
maupun global.

Lembaga berikutnya yang terkait dengan UMKM adalah Kementerian Perdagangan. Tugas
Kemendag dalam mendukung UMKM adalah memberi atau membukakan pangsa pasar. Tidak
hanya di dalam negeri, peluang pasar luar negeri juga diusahakan oleh Kemendag dengan
melakukan kajian intelijen pasar serta membangun jaringan dengan para pembeli, asosiasi, dan
kamar dagang di negara-negara tujuan. Harapan dari upaya ini adalah meluasnya pasar UMKM
di dalam dan luar negeri.

Di luar beberapa kementerian di atas, masih banyak pihak yang terkait dengan UMKM sesuai
dengan penekanan BAB I UU 20/2008 bahwa pihak-pihak yang terkait mendukung UMKM
mencakup Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat umum. (LITBANG
KOMPAS)

Anda mungkin juga menyukai