Anda di halaman 1dari 19

BUDAYA PERUSAHAAN DAN ETIKA

(dan Artikel oleh A Ashari dkk)

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah Standar Etika dan Profesi

Disusun oleh :

NAUPAL ALFARISYI (1801103010040)


FEBY NAMIRA DEVELLA (1801103010115)
FELILA SAFITRI (1801103010119)
INDHIRA AR-RIFAT (1801103010108)
SAFIRA IZZATUL AFIFAH (1801103010093)

Dosen Pengampu :
Fauziah Aida Fitri, S.E., M.Si.

PRODI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat
dan karunia-Nyalah, makalah ini dapat diselesaikan dengan baik, tepat pada waktunya.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Standar
Etika dan Profesi pada semester VII, tahun ajaran 2021, dengan judul “Budaya
Perusahaan dan Etika” dengan membuat tugas ini saya diharapkan mampu untuk
memahami lebih dalam tentang budaya perusahaan dan etika serta review artikel terkait untuk
kami pribadi dan pihak lain yang membutuhkan informasi ini.

Dalam penyelesaian karya makalah ini,kami mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Fauziah Aida Fitri, S.E., M.Si. yang telah memberikan arahan dan bimbingan;
2. Orang tua dan keluarga kami tercinta yang banyak memberikan motivasi, dorongan
dan bantuan, baik secara moral maupun spiritual.
3. Narasumber/sumber bacaan dan data yang menjadi sumber informasi dalam makalah
ini.

Sebagai Mahasiswa yang masih dalam proses pembelajaran, penulisan makalah ini
masih ada hal yang harus di perbaiki. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat positif
dan membangun sangat diharapkan, dengan harapan penulisan makalah yang lebih baik
lagi di masa yang akan datang.

Banda Aceh, 8 November 2021


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam makalah ini akan membahas cara-cara di mana perusahaan dalam
mengembangkan budaya perusahaan dan etika, di mana manusia didorong dan didukung
dalam pengambilan keputusan yang bertanggungjawab dan etis. Model pengambilan
keputusan dalam etika perusahaan menekankan tanggungjawab para individu atau kelompok
atas keputusan-keputusan yang mereka ambil dalam perusahaan. Keputusan seperti ini selain
berdampak pada integritas pribadi juga memiliki konsekuensi bagi banyak pemegang
kepentingan perusahaan yang berinteraksi dengan perusahaan.
Namun, pengambilan keputusan pribadi tidak dapat dibuat dalam kekosongan.
Pengambilan keputusan dalam perusahaan dipengaruhi, dibatasi, dibentuk, dan dalam
beberapa kasus hampir seluruhnya ditentukan oleh budaya perusahaan. Orang-orang dapat
dipersulit atau dipermudah dalam mengambil keputusan yang benar, atau yang salah, oleh
berbagai ekspektasi, nilai-nilai, dan struktur dari organisasi tempat mereka hidup dan bekerja.
Pada perusahaan-perusahaan dan berbagai institusi yang seperti sekarang ini, masih ada
budaya perusahaan yang berpengaruh. Hal ini terutama terdapat di perusahaan kecil di daerah
setempat, tetapi ini juga terdapat dalam banyak organisasi global. Walaupun faktanya
perusahaan memiliki banyak lokasi, dengan beragam latar belakang pegawai dan gaya
manajemen, seseorang yang bekerja untuk sebuah perusahaan perusahaan yang mengglobal
dalam suatu negara akan berbagi berbagai aspek dari budaya kerjanya dengan seseorang yang
bekerja diperusahaan yang sama yang berada dibelahan dunia lainnya. Hal ini bukan berarti
bahwa lingkungan kerja mereka tidak memiliki banyak perbedaan dalam berbagai hal, namun
budaya perusahaan yang sama, bagaimanapun juga mampu mengikis jarak dan perbedaan.
Maka, makalah ini meninjau beberapa masalah utama disekitar pengembangan, pengaruh,
dan manajemen budaya perusahaan serta peran para pemimpin perusahaan dalam
menciptakan dan memelihara budaya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan budaya perusahaan ?
2. Apa saja teori-teori mengenai budaya perusahaan ?
3. Apakah dimensi-dimensi budaya perusahaan ?
4. Bagaimana cara etika karyawan mempelajari budaya perusahaan ?
5. Bagaimana hubungan etika dalam budaya perusahaan ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi budaya perusahaan.
2. Untuk mengetahui teori-teori apa saja mengenai budaya perusahaan.
3. Untuk mengetahui dimensi-dimensi apa yang digunakan dalam budaya perusahaan.
4. Untuk mengetahui bagaimana etika karyawan mempelajari budaya perusahaan.
5. Untuk mengetahui hubungan etika dalam budaya perusahaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Budaya Perusahaan
Menurut Agus Arijanto budaya perusahaan dapat dikatakan sebagai kombinasi ide, adat
istiadat, praktik tradisional, nilai-nilai perusahaan dan artian bersama yang membantu
mendefinikan perilaku normal bagi setiap orang yang bekerja di suatu perusahaan. (2011:40).
Budaya perusahaan biasanya dimulai dari tindakan dan nilai-nilai dari sang pemimpin
perusahaan yang dalam kenyataannya banyak pemimpin perusahaan itu adalah pemilik atau
pendiri perusahaan. Tindakan dan nilai-nilai tadi tanpa disadari oleh sang pemimpin diikuti
dan dilaksanakan oleh para pengikut yaitu pegawai-pegawai dan akhirnya membudaya
dengan sendirinya.
Budaya perusahaan merupakan nilai dan norma yang dianut bersama yang menjadi
dasar bertindak seorang individu dalam organisasi. Budaya perusahaan inilah yang
menyebabkan mengapa suatu strategi dapat diimplementasikan pada suatu perusahaan
sedangkan gagal pada perushaan yang lain.
Jadi dengan bahasa yang sederhana budaya perusahaan itu adalah penerapan nilai-nilai
yang telah menjadi kebiasaan yang baik dalam perusahaan misalnya bagaimana seorang
pelayan toko melayani pembeli dengan sebaik-baiknya (ramah, senyum, sapa, salam) di
bidang perbankan, bagaimana seorang front liner melayani nasabahnya dengan baik atau
bagaimana seorang analis kredit melakukan penilaian kredit yang akan diberikannya sesuai
prosedur dan masih banyak lagi.
Menurut Robbins (1996) memberi pengertian budaya organisasi antara lain sebagai :
 Nilai-nilai dominan yang didukung oleh organisasi.
 Falsafah yang menuntun kebijaksanaan organisasi terhadap pegawai dan
pelanggan.
 Cara pekerjaan dilakukan di tempat itu.
 Asumsi dan kepercayaan dasar yang terdapat di antara anggota organisasi.
 Dari sudut pandang karyawan, budaya memberi pedoman bagi karyawan akan

Segala sesuatu yang penting untuk dilakukan. Sejumlah peran penting yang dimainkan
oleh budaya perusahaan adalah :
 Membantu pengembangan rasa memiliki jati diri bagi karyawan.
 Dipakai untuk mengembangkan keterkaitan pribadi dengan organisasi.
 Membantu stabilitas organisasi sebagai suatu sistem sosial.
 Menyajikan pedoman perilaku sebagai hasil dari norma perilaku yang sudah
dibentuk.

Budaya organisasi yang terbentuk, dikembangkan, diperkuat atau bahkan diubah,


memerlukan praktik yang dapat membantu menyatukan nilai budaya anggota dengan nilai
budaya organisasi. Praktik tersebut dapat dilakukan melalui induksi atau sosialisasi, yaitu
melalui transformasi budaya organisasi. Sosialisasi organisasi merupakan serangkaian
aktivitas yang secara substantif berdampak kepada penyesuaian aktivitas individual dan
keberhasilan organisasi, antara lain komitmen, kepuasan dan kinerja. Beberapa langkah
sosialisasi yang dapat membantu dan mempertahankan budaya organisasi adalah melalui
seleksi calon karyawan, penempatan, pendalaman bidang pekerjaan, penilaian kinerja, dan
pemberian penghargaan, penanaman kesetiaan pada nilai-nilai luhur, perluasan cerita dan
berita, pengakuan kinerja dan promosi. Berbagai praktik di atas dapat memperkuat budaya
organisasi dan memastikan karyawan yang bekerja sesuai dengan budaya organisasi
memberikan imbalan sesuai dukungan yang dilakukan. Sosialisasi yang efektif akan
menghasilkan kepuasan kerja, komitmen organisasi, rasa percaya diri pada pekerjaan,
mengurangi tekanan serta kemungkinan keluar dari pekerjaan. Beberapa hal yang dapat
dilakukan organisasi untuk mempertahankan organisasi adalah menyusun asumsi dasar,
menyatakan dan memperkuat nilai yang diinginkan dan mensosialisasikan melalui contoh.

2.2 Teori-teori Budaya Perusahaan


Terdapat tiga asumsi yang mengarahkan pada teori budaya Perusahaan yaitu :
1. Anggota-anggota organisasi menciptakan dan mempertahankan perasaan yang
dimiliki bersama mengenai realitas organisasi, yang berakibat pada pemahaman yang
lebih baik mengenai nilai-nilai sebuah organisasi.

Asumsi yang pertama berhubungan dengan pentingya orang di dalam kehidupan


organisasi. Secara khusus, individu saling berbagi dalam menciptakan dan
mempertahankan realitas. Individu-individu ini mencakup karyawan, supervisor, dan
atasan. Pada inti dari asumsi ini adalah yang dimiliki oleh organisasi. Nilai adalah
standar dan prinsip-prinsip dalam sebuah budaya nya yang memiliki nilai intrinsik
dari sebuah budaya. Nilai menunjukkan kepada anggota organisasi mengenai apa
yang penting. Orang berbagi dalam proses menemukan nilai-nilai perusahaan.
Menjadi anggota dari sebuah organisasi membutuhkan partisipasi aktif dalam
organisasi tersebut. Makna dari simbol-simbol tertentu misalnya, mengapa sebuah
perusahaan terus melaksanakan wawancara terhadap calon karyawan ketika terdapat
sebuah rencana pemutusan hubungan kerja besar- besaran dikomunikasikan baik oleh
karyawan maupun oleh pihak manajemen. Makna simbolik dari menerima karyawan
baru ketika yang lainnya dipecat tidak akan dilewatkan oleh pekerja yang cerdik;
mengapa memberikan uang pada karyawan baru ketika yang lama kehilangan
pekerjan mereka? Karyawan memberikan kontribusi dalam pembentukan budaya
organisasi. Perilaku mereka sangatlah penting dalam menciptakan dan pada akhirnya
mempertahankan realitas organisasi.

2. Penggunaan dan intepretasi simbol sangat penting dalam budaya orgaisasi.


Realitas organisasi juga sebagiannya ditentukan oleh simbol-simbol, dan ini
merupakan asumsi kedua dari teori ini. Perspektif ini menggaris bawahi penggunaan
simbol di dalam organisasi. Simbol merupakan representasi untuk makna. Anggota-
angota organisasi menciptakan, menggunakan, dan mengintrepetasikan simbol setiap
hari. Simbol-simbol ini sangat penting bagi budaya perusahaan. Simbol-simbol
mencakup komunikasi verbal dan nonverbal di dalam organisasi. Seringkali, simbol-
simbol ini mengkomunikasikan nilai-nilai organisasi. Simbol dapat berupa slogan
yang memiliki makna. Sejauh mana simbol-simbol ini efektif bergantung tidak hanya
pada media tetapi bagaimana karyawan perusahaan mempraktikannya.

3. Budaya bervariasi dalam organisasi-organisasi yang berbeda, dan interpretasi


tindakan dalam budaya ini juga beragam.
Asumsi yang ketiga mengenai teori budaya organisasi berkaitan dengan keberagaman
budaya organisasi. Sederhana, budaya organisasi sangat bervariasi. Persepsi mengenai
tindakan dan aktivitas di dalam budaya-budaya ini juga seberagam budaya itu sendiri. 

2.3 Dimensi Budaya Perusahaan


Terdapat banyak dimensi yang membedakan budaya. Dimensi ini mempengaruhi
perilaku yang dapat mengakibatkan kekeliruan pemahaman, ketidaksepakatan, atau bahkan
konflik. Konsep budaya pada awalnya berasal dari lapangan antropologi dan mendapat
tempat pada awal perkembangan ilmu perilaku organisasi. Dimensi-dimensi yang digunakan
untuk membedakan budaya.
Menurut Robbins (1996) ada tujuh karakteristik primer yang secara bersama-sama
menangkap hakikat budaya organisasi, yaitu:
 Inovasi dan pengambilan resiko.
 Perhatian ke hal yang rinci.
 Orientasi hasil.
 Orientasi Orang.
 Orientasi Tim.
 Keagresifan
 Kemantapan

Menurut Luthan (1998) menyebutkan sejumlah karakteristik yang penting dari budaya
organisasi, yang meliputi:
1. Aturan-aturan perilaku Yaitu bahasa, terminologi, dan ritual yang biasa dipergunakan
oleh anggota organisasi.
2. Norma adalah standar perilaku yang menjadi petunjuk bagaimana melakukan sesuatu.
Lebih jauh di masyarakat kita kenal adanya norma agama, norma susila, norma sosial,
norma adat.
3. Nilai-nilai dominan adalah nilai utama yang diharapkan dari organisasi untuk
dikerjakan oleh para anggota, misalnya tingginya kualitas produk, rendahnya tingkat
absensi, tingginya produktivitas dan efisiensi, serta tingginya disiplin kerja.
4. Filosofi adalah kebijakan yang dipercaya organisasi tentang hal-hal yang disukai para
karyawan dan pelanggannya, seperti “Kepuasan Anda adalah harapan Kami”.
5. Peraturan-peraturan adalah aturan yang tegas dari organisasi. Pegawai baru harus
mempelajari peraturan ini agar keberadaannya dapat diterima dalam organisasi.
6. Iklim Organisasi adalah keseluruhan “perasaan” yang meliputi hal-hal fisik,
bagaimana para anggota berinteraksi dan bagaimana para anggota organisasi
mengendalikan diri dalam berhubungan dengan pelanggan atau pihak luar organisasi

Menurut Hofsede (dalam Gibson, 1996) mengemukakan empat dimensi budaya, yaitu:
1. Penghindaran atas ketidakpastian adalah tingkat dimana anggota masyarakat merasa
tidak nyaman dengan ketidakpastian. Perasaan ini mengarahkan mereka untuk
mempercayai kepastian yang menjanjikan dan untuk memelihara lembaga- lembaga
yang melindungi penyesuaian.
2. Maskulin vs feminim yaitu, Maskulin adalah kecenderungan dalam masyarakat akan
prestasi, kepahlawanan, ketegasan, dan keberhasilan materiil. Sedangkan, Feminitas
berarti kecenderungan akan kesederhanaan, perhatian pada yang lemah, dan kualitas
hidup.
3. Individu vs kebersamaan yaitu, Individu adalah kecenderungan dalam kerangka sosial
dimana individu dianjurkan untuk menjaga diri sendiri dan keluarganya. Kebersamaan
berarti kecenderungan dimana individu dapat mengharapkan kerabat, suku, atau
kelompok lainnya melindungi mereka sebagai ganti atas loyalitas mutlak yang mereka
berikan.
4. Jarak kekuasaan adalah ukuran dimana anggota suatu masyarakat menerima bahwa
kekuasaan dalam lembaga atau organisasi tidak didistribusikan secara merata.

Selanjutnya budaya perusahaan dapat ditemukan dalam tiga tingkatan, yaitu:


1. Artefak
Pada tingkat ini budaya bersifat kasat mata tetapi seringkali tidak dapat diartikan,
misalnya lingkungan fisik organisasi, teknologi, dan cara berpakaian. Analisis pada
tingkat ini cukup rumit karena mudah diperoleh tetapi sulit ditafsirkan.
2. Nilai
Nilai memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi daripada artefak. Nilai ini sulit
diamati secara langsung sehingga untuk menyimpulkannya seringkali diperlukan
wawancara dengan anggota organisasi yang mempunyai posisi kunci atau dengan
menganalisis kandungan artefak seperti dokumen.
3. Asumsi dasar
Merupakan bagian penting dari budaya organisasi. Pada tingkat ini budaya diterima
begitu saja, tidak kasat mata dan tidak disadari. Asumsi ini merupakan reaksi yang
bermula dari nilai-nilai yang didukung. Bila asumsi telah diterima maka kesadaran
akan menjadi tersisih. Dengan kata lain perbedaan antara asumsi dengan nilai artefak
terletak pada apakah nilai-nilai tersebut masih diperdebatkan dan diterima apa adanya
atau tidak.

Tahap-tahap pembentukan atau pembangunan budaya organisasi dapat diidentifikasikan


sebagai berikut:
1. Seorang (biasanya pendiri) datang dengan ide atau gagasan tentang sebuah usaha
baru.
2. Pendiri membawa orang-orang kunci yang merupakan para pemikir, dan menciptakan
kelompok inti yang mempunyai visi yang sama dengan pendiri.
3. Kelompok inti memulai serangkaian tindakan untuk menciptakan organisasi,
mengumpulkan dana, menentukan jenis dan tempat usaha dan lain-lain yang relevan.
4. Orang-orang lain dibawa ke dalam organisasi untuk berkarya bersama-sama dengan
pendiri dan kelompok inti, memulai sebuah sejarah bersama.

Pembianaan budaya perusahaan dapat dilakukan dengan serangkaian langkah sosialisasi


sebagai berikut:
1. Seleksi pegawai yang objektif.
2. Penempatan orang dalam pekerjaan sesuai dengan kemampuan dan bidangnya.
3. Perolehan dan peningkatan kemahiran melalui pengalaman.
4. Pengukuran prestasi dan pemberian imbalan yang sesuai.
5. Penghayatan akan nilai-nilai kerja atau hal lain yang penting.
6. Ceritera-ceritera dan faktor-faktor organisasi yang menumbuhkan semangat dan
kebanggan.
7. Pengakuan dan promosi bagi karyawan yang berprestasi.

Cara Etika Karyawan Mempelajari Budaya Perusahaan


Proses transformasi budaya oleh karyawan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :
1. Keritera-Keritera
Keritera-Keritera mengenai bagaimana kerasnya perjuangan pendiri organisasi di
dalam memulai usaha sehingga kemudian menjadi maju seperti sekarang merupakan
hal yang baik untuk disebarluaskan. Bagaimana sejarah pasang surut perusahaan dan
bagaimana perusahaan mengatasi kemelut dalam situasi tak menentu merupakan kisah
yang dapat menodorong dan memotivasi karyawan untuk bekerja keras jika mereka
mau memahaminya.
2. Ritual / Upacara-upacara
Semua masyarakat memiliki corak ritual sendiri-sendiri. Di dalam perusahaan, tidak
jarang ditemui acara-acara ritual yang sudah mengakar dan menjadi bagian hidup
perusahaan.
3. Simbol-simbol material
Simbol-simbol atau lambang-lambang material seperti pakaian seragam, ruang kantor
dan lain-lain, atribut fisik yang dapat diamati merupakan unsur penting budaya
organisasi yang harus diperhatikan sebab dengan simbol-simbol itulah dapat dengan
cepat diidentifikasi bagaimana nilai, keyakinan, norma, dan berbagai hal lain itu
menjadi milik bersama dan dipatuhi anggota organisasi.
4. Bahasa
Bahasa merupakan salah satu media terpenting di dalam mentransformasikan nilai.
Dalam suatu organisasi atau perusahaan, tiap bidang, divisi, strata atau semacamnya
memiliki bahasa atau jarigan yang khas, yang kadang-kadang hanya dipahami oleh
kalangan itu sendiri. Hal ini penting karena untuk dapat diterima di suatu lingkungan
dan menjadi bagian dari lingkungan, salah satu syaratnya adalah memahami bahasa
yang berlaku di lingkungan itu. Dengan demikian menjadi jelas bahwa bahasa
merupakan unsur penting dalam budaya perusahaan.

2.4 Hubungan Etika Bisnis dengan Budaya Perusahaan


Etika pada dasarnya adalah standar atau moral yang menyangkut benar atau salah, baik atau
buruk. Dalam kerangka konsep etika bisnis terdapat berbagai pengertian tentang etika
perusahaan, etika kerja, dan etika perorangan, yang menyangkut hubungan-hubungan
sosial antar perusahaan, karyawan, dan lingkungannya. Etika perusahaan menyangkut
hubungan perusahaan dengan karyawan yang sebagai satu kesatuan dengan
lingkungannya. Etika kerja berkaitan dengan antara perusahaan dengan karyawannya,
dan etika perorangan mengukur hubungan masyarakat.
Pelaku yang telah berkembang dalam perusahaan menimbulkan situasi saling percaya antara
perusahaan dan stakeholder, yang memungkinkan perusahaan meningkatkan
keuntungan jangka panjang. Perilaku akan mencegah pelanggan, pegawai, dan pemasok
bertindak oportunis, serta timbulnya saling percaya. Budaya perusahaan memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan perilaku etis, karena budaya
perusahaan merupakan seperangkat nilai dan norma yang membimbing tindakan
karyawan. Budaya dapat mendorong terciptanya perilaku yang etis, dan sebaliknya
dapat pula mendorong perilaku yang tidak etis. Kebijakan perusahaan untuk
memberikan perhatian yang serius pada etika perusahaan dan memberikan citra bahwa
manajemen mendukung perilaku etis dalam perusahaan.
Kebijakan perusahaan biasanya secara formal didokumentasikan dalam bentuk Kode Etik
(Code of Conduct). Ditengah iklim keterebukaan dan globalisasi yang membawa
keragaman budaya, kode etik memiliki peranan yang sangat penting sebagai penahan
dalam interaksi intensif beragam ras, pemikiran, pendidikan, dan agama. Sebagai
persamaian untuk menumbuhkan perilaku etis, perlu dibentuk iklim etika dalam
perusahaan. Iklim etika tersebut tercipta, jika dalam suatu perusahaan terdapat
kumpulan pengertian tentang perilaku apa yang dianggap benar dan tersedia
mekanisme yang memungkinkan permasalahan mengenai etika dapat diatasi. Terdapat
tiga faktor utama yang memungkinkan terciptanya iklim etika dalam perusahaan yaitu :
 Terciptanya budaya perusahaan secara baik.
 Terbangunnya suatu kondisi organisasi berdasarkan saling percaya.
 Terbentuknya manajemen hubungan antar pegawai.

Iklim etika dalam perusahaan dipengaruhi oleh adanya interaksi beberapa faktor, yaitu :
1. Faktor kepentingan sendiri.
2. Faktor keuntungan perusahaan.
3. Faktor pelaksanaan efisiensi.
4. Faktor kepentingan kelompok.
5. Penciptaan iklim etika mutlak diperlukan, meskipun memerlukan waktu, biaya, dan
ketekunan manajemen.

2.5 Artikel : Kesadaran Korupsi Dan Etika Pengambilan Keputusan di Indonesia


2.5.1 Pengambilan keputusan yang etis
Jones (1991) mendefinisikan keputusan etis sebagai keputusan yang secara hukum dan
moral dapat diterima oleh masyarakat luas. Definisi ini selaras dengan model lama
pengambilan keputusan etis yang mendukung keputusan etis dalam suatu komunitas atau
organisasi sebagai bergantung pada lingkungan pribadi, organisasi dan sosial di samping
faktor etika-isu yang berlaku (Lam & Shi, 2007). Ferrel, Fraedrich, & Ferrell (2011)
mengusulkan bahwa pengambilan keputusan etis dapat digambarkan seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 1.
Tahap pertama dalam pengambilan keputusan etis adalah bahwa seorang individu
mengenali isu-isu tentang tindakan yang benar atau salah, yang kemudian dievaluasi oleh
berbagai pemangku kepentingan di dalam dan di luar perusahaan. Setiap masalah intensitas
etika yang mungkin terjadi pada saat itu akan berdampak pada sensitivitas etika. Kebenaran
masalah hanya akan dianggap penting di mata individu. Ketika individu menyelesaikan
masalah etika dalam kehidupan sehari-hari mereka, hasil yang dihasilkan lebih sering
didasarkan pada nilai dan prinsip mereka sendiri tentang apa yang mereka anggap benar atau
salah. Individu belajar tentang nilai benar atau salah melalui interaksi dengan anggota
keluarga, kelompok sosial, pendidikan, dan melalui lensa agama tertentu mereka. Penelitian
sebelumnya telah meneliti faktor individu yang mempengaruhi kesadaran etis, niat dan
perilaku. Faktor-faktor ini termasuk jenis kelamin, pendidikan, pengalaman kerja,
kebangsaan, usia dan locus of control. Individu tidak beroperasi dalam ruang hampa dalam
hidup, mereka juga tidak melakukannya dalam situasi bisnis mereka. Pilihan etis dalam bisnis
paling sering dibentuk bersama dalam kelompok kerja dan komite, dalam percakapan dan
diskusi dengan rekan kerja. Oleh karena itu, keputusan etis tidak hanya dipengaruhi oleh
nilainilai organisasi, tetapi juga oleh nilai-nilai individu itu sendiri. Nilai-nilai organisasi
yang mempengaruhi keputusan etis termasuk budaya etis organisasi dan kepatuhan terhadap
otoritas.

2.5.2 Korupsi
Korupsi didefinisikan sebagai penggunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi,
atau dengan kata lain, penggunaan jabatan, pangkat, atau status resmi oleh seorang pejabat
untuk keuntungan pribadinya (Myint, 2000). Perilaku tersebut dapat mencakup penyuapan,
pemerasan, penipuan, penggelapan, nepotisme, kronisme, perampasan aset publik dan
properti untuk penggunaan pribadi, dan pengaruh menjajakan. Dalam kegiatan pemerintah,
korupsi dapat muncul dalam keadaan seperti kontrak pemerintah, jalur pendapatan
pemerintah, keuntungan pemerintah yang akan diperoleh, penghindaran waktu dan peraturan,
dan pengaruh proses hukum dan peraturan. Menurut Klitgaard (1998), korupsi dapat
ditentukan dengan persamaan berikut:
Di mana   adalah korupsi,   adalah monopoli,   adalah kekuasaan diskresi, dan   adalah
akuntabilitas. Monopoli dapat muncul ketika seseorang memiliki kekuatan unik atau khusus
untuk membebankan lebih dari harga normal untuk sesuatu, atau di mana individu tersebut
dapat mengambil bayaran untuk menjalankan kekuasaannya. Jika diterapkan pada pejabat
pemerintah, kekuasaan dapat dipegang oleh individu untuk memberikan hasil yang
diinginkan.
Demikian pula, semakin besar kekuasaan diskresi () diberikan kepada administrator,
semakin besar kemungkinan korupsi akan terjadi. Kekuasaan diskresi muncul ketika tidak
mungkin untuk dengan mudah merancang aturan dan peraturan yang kedap air dan sangat
mudah; aturan yang akan menangkap semua kemungkinan yang mungkin timbul dalam
kegiatan pengendalian. Akuntabilitas berkaitan dengan fakta bahwa untuk kepatuhan yang
tepat terhadap aturan dan peraturan, orang yang memiliki kekuatan monopoli dan diskresi
harus bertanggung jawab dan bertanggung jawab atas tindakannya. Korupsi dapat dikurangi
dengan akuntabilitas. Jika akuntabilitas dapat ditingkatkan pada tingkat yang sama dengan
monopoli dan kekuasaan diskresi, maka korupsi dapat diminimalkan. Di lingkungan
pemerintahan, salah satu badan terpenting dalam menciptakan akuntabilitas adalah audit
internal pemerintah itu sendiri.

2.5.3 Kesadaran Korupsi


Kesadaran perilaku kognitif hampir di anak tangga terbawah domain afektif
(Krathwohl, Bloom, & Masia, 1964). Konsep kesadaran korupsi dapat diturunkan dari konsep
kesadaran situasional dan iklim etika organisasi. Kesadaran situasi adalah persepsi unsur-
unsur dalam lingkungan dalam ruang dan waktu, pemahaman maknanya, dan proyeksi
statusnya dalam waktu dekat (Endsley, 1995). Berdasarkan definisi ini, ada tiga unsur
kesadaran situasi: persepsi unsur-unsur dalam lingkungan dan organisasi; pemahaman
maknanya; dan proyeksi status masa depan mereka.
Persepsi elemen dalam lingkungan melibatkan membuat perbedaan antara informasi
yang relevan dan tidak relevan. Lingkungan korupsi yang berisiko tinggi kemungkinan akan
berisi banyak informasi yang relevan bagi auditor internal dalam menyelesaikan penilaian
kecurangan. Peran penilai adalah untuk memahami informasi ini. Namun pemahaman ini
melampaui persepsi dan mencakup pemahaman mendalam tentang pentingnya setiap
informasi. Setelah persepsi dan pemahaman, peran terakhir adalah memproyeksikan tindakan
di masa depan. Jika seorang auditor memahami bahwa korupsi ada dalam suatu situasi, dia
perlu mengajukan skeptisisme profesional yang lebih tinggi seperti yang disyaratkan oleh
standar audit.
2.5.4 Sensitivitas Etis
Sensitivitas etis adalah kemampuan untuk mengidentifikasi aspek yang menonjol dari
dilema etika. Ini melibatkan kemampuan untuk melihat implikasi dari suatu tindakan di luar
lingkungan seseorang, namun dalam konteks gambaran sosial yang lebih luas. Kepekaan
moral (moral awareness) sebagaimana dijelaskan oleh Rest (1986) adalah kemampuan
individu untuk mengenali bahwa suatu situasi mengandung masalah moral. Mengenali
masalah moral membutuhkan kesadaran individu bahwa tindakannya berpotensi merugikan
dan/atau menguntungkan orang lain. Penelitian selanjutnya memperluas definisi Rest,
menunjukkan bahwa sensitivitas moral adalah pengakuan pembuat keputusan bahwa suatu
situasi memiliki moralisi. Akibatnya, perspektif moral valid (Fritzsche & Oz, 2007).
Sementara auditor mampu mengidentifikasi dilema etika di sekitar organisasinya sendiri,
persepsinya mungkin terganggu.

2.5.5 Skeptisisme profesional


Ciri-ciri kepribadian telah ditunjukkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan etis
dalam literatur teoritis yang diterbitkan (Paolillo & Vitell, 2002). Skala Skeptisisme
Profesional Hurrt (Hurtt, 2010) adalah ukuran sifat skeptisisme. Skeptisisme terbentuk ketika
individu menciptakan "kategori" kognitif dari informasi yang masuk dan memperlakukan
semua informasi sesuai dengan seperangkat stereotip atau keyakinan sehubungan dengan apa
yang mereka rasa ingin dicapai oleh pesan tertentu (Friestad & Wright, 1999). Menurut
definisi ini, auditor membutuhkan skeptisisme atau kecurigaan yang sehat ketika menilai
bukti seputar audit (lihat Kerler & Killoug, 2009; Nelson, 2009; Rose, 2007). Badan Standar
Audit telah mengakui pentingnya skeptisisme professional.
Nelson (2009) mendefinisikan skeptisisme profesional sebagai penilaian dan keputusan
auditor yang bergantung pada informasi yang tersedia yang menunjukkan keyakinan yang
tinggi tentang risiko bahwa suatu pernyataan tidak benar. SAS No. 109 (AICPA, 2006)
menyatakan bahwa auditor melakukan prosedur penilaian risiko untuk memahami entitas dan
lingkungannya. Prosedur ini mungkin termasuk mengarahkan permintaan keterangan kepada
manajemen dan pihak lain dalam entitas, prosedur analisis, observasi dan inspeksi. Dua
dimensi skeptisisme profesional Hurrt (Hurtt, 2010) adalah pikiran yang mempertanyakan
dan penangguhan penilaian. Kedua dimensi ini sesuai dengan konsep ketidakpercayaan, yang
sebenarnya merupakan kebalikan dari kepercayaan.
2.5.6 Diskusi
Hipotesis pertama menguji pengaruh kesadaran korupsi di masyarakat terhadap
skeptisisme profesional. Dari Tabel 6 terlihat bahwa tidak ada pengaruh positif korupsi
(CAS) di masyarakat terhadap skeptisisme profesional (PS). Model determinan skeptisisme
profesional Nelson (Nelson, 2009) menunjukkan bahwa penilaian skeptis dipengaruhi oleh
masukan bukti seperti tingginya risiko lingkungan yang korup. Dari perspektif itu,
pengetahuan auditor tentang adanya korupsi dalam suatu lingkungan harus mempengaruhi
skeptisisme profesional. Penelitian ini tidak mendukung proposisi bahwa jika auditor
mempersepsikan adanya korupsi di lingkungannya, maka skeptisisme profesional auditor
akan semakin tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan Wimbush et al. (1997),
Hipotesis kedua melihat pengaruh kesadaran korupsi dalam suatu organisasi terhadap
skeptisisme profesional. Berbeda dengan hipotesis pertama, temuan ini mendukung teori
etika terbaru tentang pengaruh masalah etika yang dirasakan dalam suatu organisasi pada
pengambilan keputusan etis individu. Pengaruh positif etika organisasi terhadap skeptisisme
profesional berbeda dengan pengaruh yang tidak signifikan dari iklim etika lingkungan
umum terhadap skeptisisme profesional. Ini mungkin karena seorang individu secara aktif
berinteraksi dalam organisasinya dan oleh karena itu niat mereka untuk bertindak secara
profesional lebih dipengaruhi oleh organisasi itu daripada oleh masyarakat secara
keseluruhan. Selain itu, bagi auditor, skeptisisme profesional merupakan atribut profesional
yang diperlukan, sehingga individu Iklim organisasi cenderung lebih berdampak pada
skeptisisme profesional. Dickerson (2009) dan James & McManus (2011) juga melaporkan
pengaruh positif iklim organisasi terhadap pengambilan keputusan etis.
Hipotesis ketiga dan keempat konsisten dengan hipotesis pertama dan kedua yang
menguji pengaruh iklim etika organisasi dan lingkungan terhadap niat etis. Di Sini Pusat
Pengembangan Praha 2018 - 581 - Cakrawala Bisnis dan Ekonomi Kesadaran korupsi dan
pengambilan keputusan etis di Indonesia | BEH: www.beh.pradec.eu variabel terikatnya
adalah sensitivitas etika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesadaran korupsi baik dalam
organisasi maupun masyarakat berpengaruh positif terhadap sensitivitas etika. Hasil ini
memperkuat teori saat ini tentang pengaruh faktor organisasi dan lingkungan pada sensitivitas
etika. Hasil ini juga konsisten dengan penelitian sebelumnya (Dickerson, 2009; Al-Kazemi &
Zajaz, 1999; Hill, Stevenson, & Clarke, 1998, dan Bernardi & Arnold, 1997).
Hipotesis kelima menjelaskan pengaruh sensitivitas etis terhadap pengambilan
keputusan etis. Hasilnya mengkonfirmasi proposisi bahwa jika seorang auditor memiliki
sensitivitas etika yang lebih tinggi, dia akan bertindak secara etis. Hasil ini mendukung
kerangka teoritis bahwa sensitivitas etika melibatkan kemampuan untuk mengidentifikasi
aspek yang menonjol dari dilema etika dan untuk melihat di luar lingkungan seseorang
implikasi tindakan dalam konteks gambaran sosial yang lebih luas. Hasil ini konsisten dengan
Shaub (1989), Sweeney (1995), Douglas, Davidson, & Schwartz (2001) yang meneliti
pengaruh sensitivitas etika terhadap keputusan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa pokok kesimpulan
sebagai berikut :
Budaya perusahaan tidak muncul dengan sendirinya di kalangan anggota organisasi,
tetapi perlu dibentuk dan dipelajari karena pada dasarnya budaya perusahaan adalah
sekumpulan nilai dan pola perilaku yang dipelajari, dimiliki bersama, oleh semua anggota
organisasi dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Budaya perusahaan sangat penting peranannya dalam mendukung terciptanya suatu
organisasi atau perusahaan yang efektif. Secara lebih spesifik, budaya perusahaan dapat
berperan dalam menciptakan jati diri, mengembangkan keikut sertaan pribadi dengan
perusahaan dan menyajikan pedoman perilaku kerja bagi karyawan.

3.2 Saran
1. Seorang pemimpin harus mengetahui semua hal yang menyangkut tentang organisasi
baik secara individu mau kelompok.
2. Diharapkan terbangunnya suatu kondisi organisasi berdasarkan saling percaya.
3. Perusahaan dan karyawan sebagai satu kesatuan dengan lingkungannya (misalnya
dengan perusahaan lain atau masyarakat setempat.
4. Terbentuknya manajemen hubungan pemimpin dan pegawai maupun pegawai antar
pegawai.
5. Etika perorangan mengatur hubungan antar karyawan. Faktor utama yang dapat
menciptakan iklim etika dalam perusahaan.
REFERENSI

Arijanto, Agus. 2011. Etika Bisnis Bagi Pelaku Bisnis. Jakarta.Rajawali Pers.
Ashari, A., Nanere, M., & Trebilcock, P. (2018). Corruption awareness and ethical decision
making in Indonesia. Business and Economic Horizons (BEH), 14(1232-2019-857), 570-
586.
Donelly, Gibson. 1996. Organisasi, Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Penerbit Erlangga
Dharma Agus. 1992. Organisasi, Perilaku, Struktur dan Proses (Terjemahan). Jakarta:
Erlangga.
 Desjardins, Hartman. 2011. Etika Bisnis Pengambilan Keputusan untuk Integritas Pribadi
dan Tanggung Jawab Sosial. Jakarta: Penerbit Erlangga
Keraf Sonny. 1998. edisi baru, Etika Bisnis tuntutan dan relevansinya. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius

Anda mungkin juga menyukai