Anda di halaman 1dari 20

PENDAHULUAN

Diare merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas anak di dunia
yang menyebabkan 1,6-2,5 juta kematian pada anak tiap tahunnya, serta merupakan 1/5
dariseluruh penyebb kematian. Survey kesehatan rumah tanga di Indonesia menunjukan
penurunan angka kematian bayi akibat diare dari 15,5% (1986) menjadi 13,95% (1995).
Penurunan angka kematian akibat diare juga didapatkan pada kelompok balita berdasarkan
survey serupa, yaitu 40% (1972) menjadi 16% (1986) dan 7,5% (2001). 2
Penurunan mortalitas merupakan salah satu wujud keberhasilan ORS (Oral
Rehydration Salt) untuk manajemen diare. Akan tetapi, penurunan angka mortalitas akibat
diare tidak sebanding dengan penurunan angka morbiditasnya. Studi meta-analisis yang
dilakukan oleh Kosek et al, menunjukan bahwa angka kejadian diare akut cenderung tetap
dari tahun ke tahun. Di negara bekembang setiap anak mengalami rata-rata tiga episode diare
akut tiap tahunnya, sedangkan di Indonesia sebesar 1,3 kali per tahun. Berdasarkan Survei
Kesehatan Nasional yang dilakukan tahun 2003-2004 dilaporkan prevalensi diare pada anak
sebesar 11%. Di Indonesia penurunan angka mortalitas yang signifikan terjadi sejak tahun
1970-an saat ORS mulai dimasyarakatkan. Akan tetapi, manfaat manajemen ORS ini kurang
telihat pada diare persisten sehingga angka kematian akibat diare ini cenderung tetap. 1
Diare masih merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di
negara berkembang. Mortalitas tersebut dapat disebabkan oleh dehidrasi atauakibat lingkaran
sebab akibat dari diare-malnutrisi. Bayi dan anak sangat berisikokarena kebutuhan cairan
yang lebih besar, daya tahan tubuh yang kurang, dan rentanterhadap agen fekal-organ.
Diare pada anak diperkirakan menyebabkan 5.000.000 kematian tiap tahun dinegara
berkembang. Di Amerika Serikat, kasus diare berjumlah 10% dari total kasus rawat jalan. Di
Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 200-400 kejadian diare diantara 1.000 penduduk tiap
tahunnya. Dengan demikian dapat diperkirakan terdapat60 juta kejadian diare setiap tahun.
Sebagian besar dari penderita ini (60-80%) adalah anak berusia <5 tahun. Diperkirakan
bahwa setiap anak pada kelompok usia ini rata-rata mengalami lebih dari satu kali kejadian
setiap tahunnya, sebagian dari padanya (1-2%) akan jatuh dalam keadaan dehidrasi dan 50-
60% akan meninggal bila tidaksegera mendapatkan pertolongan. Berdasarkan profil
kesehatan Indonesia 2003, penyakit diare menempati urutan kelima dari 10 penyakit utama

1
pada pasien rawat jalan di rumah sakit dan menempati urutan pertama pada pasien rawat inap
di rumahsakit.
Sebagian besar penyakit diare bersifat akut yang biasanya berlangsung selama 3-5
hari, tetapi 5-15% kejadian diare berlangsung selama 14 hari atau lebih dan menyebabkan 1/3
± 1/2 atau lebih kematian. Angka kematian akibat diare kronik di Indonesia mencapai 23-
62%, di luar negeri mencapai 45%, dan WHO melaporkansebanyak 35-56%. Kasus diare
kronik walaupun lebih jarang dibandingkan diare akut tetapi penting karena
penatalaksanaannya sulit, sering sulit menentukan penyebabnya dan memerlukan
pemeriksaan khusus, merupakan 40-50% dari total hari perawatan penderita diare,
menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kehilangan berat badantiga kali lebih banyak
daripada diare akut, dan mempunyai risiko kematian yang tinggi. Pada sari kepustakaan ini
akan dibahas tentang definisi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, diagnosis, penatalaksanaan,
dan komplikasi diare kronis pada anak.

2
DIARE KRONIS

DEFINISI
Definisi diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan kosistensi lebih lunak atau
lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam. Dalam referensi lain
disebutkan bahwa definisi diare untuk bayi dan anak-anak adalah pengeluaran tinja lebih dari
10 g/kgBB/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran tinja normal pada bayi sebesar 5-10
g/kgB/24 jam. Diare umumnya dibagi menjadi diare akut dan diare yang berkepanjangan
(kronis dan/atau persisten). Diare kronis dan diare persisten sering kali dianggap suatu
kondisi yang sama. Ghishan menyebutkan diare kronis sebagai suatu episode diare lebih dari
2 minggu, sedangkan kondisi serupa yang disertai berat badan menurun atau sukar naik oleh
Walker-Smith et al, didefinisikan sebagai diare persisten. Di lain pihak, dasar etiologi diare
kronis yang berbeda diungkapkan oleh Bhutta dan oleh The American Gastroenterological
Association. Definisi diare kronis menurut Bhutta adalah episode diare lebih dari dua minggu,
sebagian besar disebabkan diare akut bekepanjangan akibat infeksi, sedangkan definisi
menurut The American Gastroenterological Association adalah episode diare yang
berlangsung lebih dari 4 minggu, oleh etiologi non-infeksi serta memerlukan pemeriksaan
labih lanjut. Bervariasinya definisi ini pada dasarnya disebabkan perbedaan kejadian diare
kronis dan persisten di negara berkembang dan negara maju, dimana infeksi merupakan latar
belakang tertinggi di negara berkembang, sedangkan penyebab non-infeksi lebih banyak
didapatkan di negara maju. Demikian juga porsi serta prioritas penelitian maupun
pembahasan lebih didominasi permasalahan diare non infeksi, antara lain karena dalam
tatalaksananya, diare bentuk ini lebih banyak membutuhkan biaya. 1
Akan sangat membantu apabila terdapat suatu definisi standar sehingga dapat
dilakukan pembandingan antar studi serta pembuatan rekomendasi pengobatan. Di
lingkungan masyarakat gastrohepatologi anak di Indonesia digunakan pengertian bahwa ada
2 jenis diare yang berlangsung ≥ 14 hari, yaitu diare persisten yang mempunyai dasar etiologi
infeksi, serta diare kronis yang mempunyai dasar etiologi non-infeksi.
Menurut WHO, diare yang berlangsung >14 hari dibagi menjadi diare kronik dan
diare persisten. Disebut diare kronik bila diare berlangsung >14 hari namun tidak disebabkan
oleh infeksi; sedangkan diare persisten adalah bila diare berlangsung >14hari dan disebabkan
oleh infeksi. Dalam beberapa literatur juga disebutkan istilah-istilah lain yang termasuk diare
kronik antara lain protracted diarrhea, diare intraktabel, prolonged diarrhea, dan chronic

3
non spesific diarrhea. Protracted diarrhea adalah diare yang berlangsung >14 hari dengan
tinja cair dan frekuensi ≥4 kali per hari. Diare intraktabel adalah diare yang timbul berulang
kali dalam waktu singkat misalnya 1-3bulan. Prolonged diarrhea adalah diare yang
berlangsung >7 hari. Chronic nonspesific diarrhea adalah diare yang berlangsung >3 minggu
tetapi tidak disertai gangguan pertumbuhan dan tidak disertai tanda-tanda infeksi maupun
malabsorpsi.

EPIDEMIOLOGI
Diare persisten/kronis mencangkup 3-20% dari seluruh episode diare pada balita.
Insiden diare persisten di beberapa negara berkembang berkisar antara 7-15% setiap tahun
dan menyebabkan kematian sebesar 36-54% dari keseluruhan kematian akibat diare. Hal ini
menunjukan bahwa diare persisten dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang
mempengaruhi tingkat kematian anak di dunia. Meskipun penelitian epidemiologis mengenai
diare persisten masih terbatas, sebuah studi komunitas di Bangladesh menunjukan bahwa
secara keseluruhan angka kejadian diare persisten masih belum menurun secara bermakna
dalam rentang tahun 1980-1992. Di Indonesia, prevalensi diare persisten/kronis sebesar 0,1%
dengan angka kejadian tertinggi pada anak-anak berusia 6-11 bulan. 4

ETIOLOGI
Sesuai dengan definisi yang digunakan, terdapat perbedaan etiologi antara diare
persisten dan diare kronis. Diare berkepanjangan dapat disebabkan berbagai macam kondisi.
Di negara maju sebagian besar membahas penyebab non infeksi, umumya meliputi
intoleransi protein susu sapi atau kedelai (pada anak usia < 6 bulan, tinja sering disertai
darah); celiac disease (gluten-sensitive enteropathy), dan cystic fribrosis. Namun, perhatian
global seringkali tertuju pada diare berkepanjangan yang bermula dari diare akut akibat
infeksi saluran cerna. Diare jenis ini banyak terjadi di negara-negara berkembang. Table di
bawah menunjukan enteropatogen penyebab diare di Surabaya dari tahun 1984 hingga 1993,
berdasarkan durasi diare. 1

Etiologi Diare Akut Diare bekepanjangan Diare kronis


(< 7 hari) (7-15 hari) (> 15 hari)
Rotavirus 166 n.d n.d
V. Cholera 78 2 -

4
Salmonella sp. 86 81 21 (11,9%)
E. Coli 102 14 16 (9%)
Campylobacter j. 16 2 -
Entamoeba histolytica - 16 12 (6,8%)
Staphylococcus aureus - 11 7 (4%)
Shigella 7 1 -
Pseudomonas - 1 -
Salmonella typhi - 1 3 (1,7%)
Morganella morgagni - - 3 (1,7%)
Klebsiella - - 1 (0,5%)
Enterobacter - - 1 (0,5%)
Aeromonas 4 n.d n.d
Klebsiella oxytocia 5 - -
Infeksi campuran 54 13 12 (6,8%)
76 (100%)

Diare kronik dapat disebabkan oleh berbagai faktor, namun sering tidak ditemukan
penyebab spesifiknya. Diare kronik pada masa bayi dapat disebabkan oleh sindrom
malabsorpsi pasca gastroenteritis, intoleransi susu sapi/protein kedelai, defisiensi disakaridase
sekunder, atau fibrosis kistik. Pada masa kanak-kanak, etiologi diare kronik antara lain diare
kronik non spesifik, defisiensi disakaridase sekunder, giardiasis, sindrom malabsorpsi
gastroenteritis, penyakit celiac (gluten-sensitive enteropathy), atau fibrosis kistik. Pada masa
adolesen, etiologi diare kronik antara lain irritable bowel syndrome, inflammatory bowel
disease, giardiasis, ataupun intoleransi laktosa.
Sindrom malabsorpsi pasca gastroenteritis adalah gangguan penyerapan makanan
akibat episode gastroenteritis yang panjang dan menurunnya asupan energi. Inflammatory
bowel disease seperti kolitis ulseratif, penyakit Chron, dan colitis mikroskopik dapat
menyebabkan perubahan integritas mukosa usus sehingga terjadi penurunan absorpsi air dan
elektrolit melalui saluran cerna. Diare pada irritable bowel syndrome ditandai dengan adanya
konstipasi, nyeri abdomen, passase mucus dan rasa tidak sempurna dalam defeksi. Pada
beberapa pasien dijumpai konstipasi dengan kejang perut yang berkurang dengan diare,
kemungkinan disebabkan kelainan motilitas intestinal. Diare terjadi akibat pengaruh fekal
atau obstruksi tumor dengan melimpahnya cairan kolon diantara feses atau obstruksi.
Diare kronik non spesifik merupakan penyebab paling sering pada anak yang sedang
tumbuh. Usia rata-rata penderita 6-20 bulan. Diare terjadi 3-6 kali per hari (tidak pada saat
tidur) berupa diare berlendir. Diare makin parah bila diet rendah karbohidrat/lemak dan
selama stres dan infeksi. Diare tersebut biasanya sembuh sendiri pada saat anak mencapai
usia 3,5 tahun (biasanya bersamaan dengan toilet training). Tidak ada penyebab organik

5
ditemukan. Kemungkinan penyebabnya adalah kelainan absorpsi asam empedu di ileum
terminal, absopsi karbohidrat inkomplit, dan kelainan fungsi motorik. Sering ditemukan
adanya riwayat keluarga atau penyakit usus fungsional. Pada pemeriksaan feses tidak
ditemukan darah, leukosit, lemak, parasit,dan bakteri patogen.
Penyakit celiac (gluten-sensitive enteropathy) adalah penyakit malabsorpsi herediter
yang disebabkan oleh ketidakmampuan mentoleransi gluten secara permanen. Gliadin (suatu
protein tertentu) menyebabkan atrofi berat mukosa usus halus. Insidensi penyakit ini tinggi di
negara Irlandia.

PATOGENESIS
Pathogenesis diare kronis melibatkan berbagai faktor yang sangat kompleks.
Pertemuan Commonwealth Association of Pediatric Gastrointestinal and Nutrition
(CAPGAN) menghasilkan suatu konsep patogenesis diare kronis yang menjelaskan bahwa
paparan berbagai faktor predisposisi, baik infeksi maupun non-infeksi akan menyebabkan
rangkaian proses yang pada akhirnya memicu kerusakan mukosa usus dan mengakibatkan
diare kronis. Seringkali diare kronis dan diare persisten tidak dapat dipisahkan, sehingga
beberapa referensi hanya mengunakan salah satu istilah untuk menerangkan kedua jenis diare
tersebut. Meskipun sebenarnya definisi diare persisten dan diare kronis berbeda, namun
kedua jenis diare tersebut lebih sering dianggap sebagai diare oleh karena infeksi. 3

Interkuren infeksi Penurunan status Alergi makanan


imun
Faktor predisposisi utama:
 Kemiskinan Malnutrisi
Kerusakan
 Penyapihan dini mukosa
 Terapi puasa
 Organisme patogen
Insufisiensi
Malabsorbsi asam
pankreas
empedu

Diare kronis

Kolonisasi kuman
di usus halus

6
Gambar 1. Konsep Patogenesis Diare Persisten dan Kronis. Sumber : Sulivan

Diare Infeksius

Malnutrisi sejak awal Pengobatan diare yang tidak optimal


dan terlambat
Defisiensi imun
Infeksi diare yang berulang
Malnutrisi mikronutrien
(mis. Zinc dan vit A)

Diare berkepanjangan

Diare persisten dan enteropati

Gambar 2. Alur perjalanan diare akut menjadi diare persisten. Sumber: Bhutta
Gambar 2 menunjukan perjalanan diare akut menjadi diare persisten. Dijelaskan
bahwa faktor seperti malnutrisi, defisiensi imun, defisiensi mikronutrien, dan ketidaktepatan
terapi terapi diare menjadi faktor risiko terjadinya diare berkepanjangan (prolonged
diarrhea). Pada akhirnya prolonged diarrhea akan menjadi diare persisten yang memiliki
konsekuensi enteropati dan malabsorbsi nutrisi lebih lanjut.
Dua faktor utama mekanisme diare kronis adalah faktor intralumen dan faktor
mukosal. Faktor intralumen berkaitan dengan proses pencernaan dalam lumen, termasuk
gangguan pankreas, hepar, dan brush border membrane. Faktor mukosal adalah faktor yang
mempengaruhi pencernaan dan penyerapan, sehingga berhubungan dengan segala proses
yang mengakibatkan perubahan integritas membran mukosa usus, ataupun gangguan pada
fungsi transport protein. Perubahan integritas membran mukosa usus dapat disebabkan oleh
proses akibat infeksi maupun non-infeksi, seperti alergi susu sapi dan intoleransi laktosa.
Gangguan fungsi transport protein misalnya disebabkan gangguan penukaran ion Natrium-
Hidrogen dan Klorida-Bikarbonat. 4
Secara umum patofisiologi diare kronis/persisten digambarkan secara jelas oleh
Ghishan, dengan membagi menjadi 5 mekanisme: sekretoris, osmotik, mutasi protein
transport membran apikal, pengurangan luas permukaan anatomi, dan perubahan motilitas
usus. 1
1. Sekretoris
Pada diare sekretoris, terjadi peningkatan sekresi Cl- secara aktif dari sel kripta akibat
mediator intraseluler seperti cAMP, cGMP, dan Ca 2+. Mediator tersebut juga mencegah
terjadinya perangkaian antara Na+ dan Cl- pada sel villi usus. Hal ini berakibat cairan
tidak dapat terserap dan terjadi pengeluaran cairan secara massif ke lumen usus. Diare
dengan mekanisme ini memiliki tanda khas yaitu volume tinja yang banyak (> 200 ml/24
jam), konsistensi tinja yang sangat cair, konsentrasi ion Na+ dan Cl- >70 mEq, dan tidak
berespon terhadap penghentian makanan. Contoh penyebab diare sekretoris adalah Vibrio

7
cholera dimana bakteri mengeluarkan toksin yang mengaktivasi cAMP dengan
mekanisme yang telah disebutkan sebelumnya.
2. Osmotik
Diare dengan mekanisme osmotik bermanifestasi ketika terjadi kegagalan proses
pencernaan dan/atau penyerapan nutrient dalam usus halus sehingga zat tersebut akan
langsung memasuki colon. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik di lumen
usus sehinga menarik cairan ke dalam lumen usus. Absorbsi usus tidak hanya tergantung
pada faktor keutuhan epitel saja, tetapi juga pada kecukupan waktu yang diperlukan
dalam proses pencernaan dan kontak dengan epitel. Perubahan waktu transit usus,
terutama bila disertai dengan penurunanwaktu transit usus yang menyeluruh, akan
menimbulkan gangguan absorbs nutrient. Contoh klasik dari jenis diare ini adalah diare
akibat intoleransi laktosa. Absennya enzim laktase karena berbagai sebab baik infeksi
maupun non-infeksi yang didapat (sekunder) maupun bawaan (primer), menyebabkan
latosa terbawa ke usus besar dalam keadaan tidak terserap. Karbohidrat yang tidak
terserap ini kemungkinan akan dimanifestasi oleh mikroflora sehingga terbentuk laktat
dan asam laktat. Kondisi ini menimbulkan tanda dan gejala khas yaitu pH <5, bereaksi
positif terhadap substansi reduksi, dan berhenti dengan penghentian konsumsi makanan
yang memicu diare.
3. Mutasi Protein Transport
Mutasi protein CLD (Congenital Chloride Diarrhea) yang mengatur pertukaran ion
Cl-/HCO3- pada sel brush border apical usus ileo-colon, berdampak pada gangguan
absorpsi Cl- dan menyebabkan HCO3- tidak tersekresi. Hal ini berlanjut pada alkalosis
metabolic dan pengasaman isi usus yang kemudian mengganggu proses absorpsi Na+.
Kadar Cl- dan Na+ yang tinggi di dalam usus memicu terjadinya diare dengan mekanisme
osmotik. Pada kelainan ini, anak mengalami diare cair sejak prenatal dengan konsekuensi
polihidramnion, kelainan prematur dan gangguan tumbuh kembang. Kadar klorida serum
rendah, sedangkan kadar klorida di tinja tinggi. Kelainan ini telah dilaporkan di berbagai
daerah di dunia seperti Amerika Serikat, Kanada, hamper seluruh Negara di Eropa, imur
Tengah, Jepang, dan Vietnam. Selain mutasi dan penukar Cl -/HCO3-, didapat juga mutasi
pada penukar Na+/H+ dan Na+ protein pengakut asam empedu.
4. Pengurangan Luas Permukaan Anatomi Usus
Oleh karena berbagai gangguan pada usus, pada kondisi-kondisi tertentu seperti
necrotizing enterocolitis, volvulus, atresia intestinal, penyakit Crohn, dan lain-lain,
diperlukan pembedahan, bahkan pemotongan bagian usus yang kemudian menyebabkan
short bowel syndrome. Diare dengan patogenesis ini ditandai dengan kehilangan cairan
dan elektrolit yang massif, serta malabsorbsi makro dan mikronutrien.
5. Perubahan Pada Gerakan Usus
Perubahan usus akibat berbagai kondisi seperti malnutrisi, skleroderma, obstruksi usus
dan diabetes mellitus, mengakibatkan pertumbuhan bakteri berlebih di usus. Pertumbuhan
bakteri yang berlebihan menyebabkan dekonjugasi garam empedu yang berdampak
meningkatnya jumlah cAMP intraseluler, seperti pada mekanisme diare sekretorik.
Perubahan gerakan usus pada diabetes mellitus terjadi akibat neuropati saraf otonom,
misalnya saraf adrenergik yang pada kondisi normal berperan sebagai antisekretori

8
dan/atau proabsorbtif cairan usus, sehingga gangguan pada fungsi saraf ini memicu
terjadinya diare.
Patogenesis terjadinya proses diare kronik sangat kompleks dan multipel. Patogenesis
utama pada diare kronik adalah kerusakan mukosa usus, yang menyebabkan gangguan digesti
dan transportasi nutrien melalui mukosa. Faktor penting lainnya adalah faktor intraluminal
yang menyebabkan gangguan proses digesti saja misalnya akibat gangguan pankreas, hati,
dan membrane brush border enterosit. Biasanya kedua faktor tersebut terjadi bersamaan
sebagai penyebab diare kronik. Pada tahap awal kerusakan mukosa usus disebabkan oleh
etiologi diare akut yang tidak mendapat penanganan dengan baik. Akhirnya berbagai faktor
melalui interaksi timbal balik mengakibatkan lingkaran setan. Keadaan ini tidak hanya
menyebabkan perbaikan kerusakan mukosa tidak efektif tetapi juga menimbulkan kerusakan
mukosa yang lebih berat dengan segala komplikasinya. 3
Enteropatogen misalnya infeksi bakteri/infestasi parasit yang sudah resisten terhadap
antibiotik/anti parasit, disertai overgrowth bakteri non-patogen seperti Pseudomonas,
Klebsiella, Streptococcus, Staphylococcus, dan sebagainya akan memprovokasi timbulnya
lesi di mukosa usus. Kerusakan epitel usus menyebabkan kekurangan enzim laktase dan
protease yang mengakibatkan maldigesti dan malabsorpsi karbohidrat dan protein. Pada tahap
lanjut, setelah terjadi malnutrisi, terjadi atrofi mukosa lambung, usus halus disertai
penumpulan vili, dan kerusakan hepar dan pankreas yang mengakibatkan terjadinya
maldigesti dan malabsorpsi seluruh nutrien. Makanan yang tidak dicerna dengan baik akan
meningkatkan tekanan koloid osmotik dalam lumen usus sehingga terjadilah diare osmotik.
Overgrowth bakteri yang terjadi mengakibatkan dekonjugasi dan dehidroksilasi asam
empedu. Dekonjugasi dan dehidroksilasi asam empedu merupakan zat toksik terhadap epitel
usus dan menyebabkan gangguan pembentukan ATP-ase yang sangat penting sebagai sumber
energi dalam absorpsi makanan.
Usus merupakan organ utama untuk pertahanan tubuh. Defisiensi sekretori IgA
(SigA) dan cell mediated immunity akan menyebabkan individu tidak mampu mengatasi
infeksi bakteri/virus/jamur atau infestasi parasit dalam usus, akibatnya kuman akan
berkembang biak dengan leluasa, terjadi overgrowth dengan akibat lebih lanjut berupa diare
kronik dan malabsorpsi makanan yang lebih berat.

Defisiensi Imun Infeksi & overgrowth bakteri

Kerusakan epitel usus

Laktase Protease

Malnutrisi

Hepar Atrofi mukosa Pankreas


dekonjugasi & lambung & villi usus Pankreozimin &
dehidroksilasi asam Gastrin, HCl, pepsin, polipeptida pankreas
empedu sekretin 9
ATP-ase Maldigesti/ Sekresi & Absorpsi
malabsorpsi motilitas protein asing
nutrien

Tekanan osmotik Alergi


koloid sensitisasi

Diare Kronik

MENIFESTASI KLINIS
Roy et al (2006) mengungkapkan bahwa anak dengan diare persisten lebih banyak
menunjukan manifestasi diare cair dibandingkan diare disentriform. Selain itu, malnutrisi
merupakan gambaran umum anak-anak dengan diare persisten. Studi kohort di America
menunjukan bahwa gejala penurunan nafsu makan, muntah, demam, adanya lendir dalam
tinja, dan gejala-gejala flu, lebih banyak ditemukan pada diare persisten dibandingkan diare
akut. Gejala lain yang mungkintimbul tidak khas, karena sangat terkait dengan penyakit yang
mendasarinya. 1
Penderita sindrom malabsorbsi usus halus biasanya mengalami penurunan berat
badan. Jika lemak tidak diserap sebagaimana mestinya, tinja akan berwarna terang, lunak,
berminyak, berbau busuk dan jumlahnya sangat banyak, yang disebut sebagai steatorrhea.
Jika terjadi kekurangan enzim laktase, mungkin akan mengalami diare, perut kembung dan
flatulen, karena kurangnya absorbsi air dan karbohidrat serta iritasi usus oleh asam lemak
yang tidak larut. 3
Gejala-gejala dari pertumbuhan bakteri yang berlebihan termasuk mual , kembung ,
flatus, kronis diare, dan sembelit . Beberapa pasien dapat mengalami ketidaknyamanan pada
perut dan berat badan menurun. Anak-anak dengan pertumbuhan bakteri yang berlebihan
dapat berkembang menjadi kekurangan gizi dan mengalami kesulitan mencapai pertumbuhan
yang tepat. Steatorrhea adalah jenis diare dimana lipid yang malabsorbsi dan tumpah ke
dalam tinja. Pasien dengan pertumbuhan bakteri yang berlebihan yang lama dapat
berkembang dengan komplikasi dari penyakit mereka sebagai akibat dari malabsorpsi zat
gizi. Anemia dapat terjadi dari berbagai mekanisme, karena banyak nutrisi yang terlibat
10
dalam produksi sel darah merah diserap di usus kecil yang terkena dampak. Besi diserap
dalam bagian yang lebih proksimal dari usus kecil, duodenum, dan jejunum, dan pasien
dengan malabsorpsi zat besi dapat berkembang menjadi anemia mikrositik, dengan sel darah
merah yang kecil. Vitamin B 12 diserap di bagian terakhir dari usus kecil ileum, dan pasien
yang malabsorbsi vitamin B 12 dapat berkembang menjadi anemia megaloblastik dengan sel
darah merah yang besar.

DIAGNOSIS
Evaluasi pada pasien dengan diare kronis/persisten meliputi: 1
A. Anamnesa
Anamnesis harus dapat menggali secara jelas perjalanan penyakit diare, antra lain berapa
lama diare sudah berlangsung dan frekuensi berak. Selain itu anamnesis juga bertujuan
untuk mengetahui faktor-faktor risiko penyebab diare, antara lain riwayat pemberian
makanan atau susu, ada tidaknya darah dalam tinja anak, riwayat pemberian obat dan
adanya penyakit sistemik. Anamnesis pada diare kronik sangat penting bukan saja untuk
mengetahui lamanya diare tetapi juga untuk mengungkap etiologi diare kronik, derajat
beratnya malabsorpsi, menemukan penyakit yang mendasari terjadinya diare kronik,
menentukan derajat malnutrisi, dan failure to thrive. Status nutrisi penderita
harusdiidentifikasi melalui anamnesis makanan dalam tiga hari terakhir. Hal-hal yang
perlu ditanyakan antara lain onset dan durasi diare; gambaran feses dan faktor-faktor yang
memperberat/memperingan; kualitas feses (warna, bau, konsistensi,volume, adanya
darah/lendir/makanan yang tidak dicerna); adanya demam atau gejala-gejala lain yang
berhubungan; riwayat gastroenteritis, konstipasi, riwayat pneumonia sebelum onset diare
kronik; riwayat perjalanan atau paparan infeksi; riwayat pengobatan; atau riwayat
keluarga. Penderita juga dianamnesis tentang jumlah dan jenis cairan yang diminum
setiap hari. Diare non spesifik kronik perlu dicurigai pada penderita yang banyak minum
cairan berkarbonat atau jus buah-buahan >150 mL/kg/24 jam dan tidak disertai gangguan
pertumbuhan dan parameter tinggi badan.
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada diare kronis/persisten harus mencakup perhatian khusus pada
penilaian status dehidrasi, status gizi, dan status perkembangan anak. Pada pemeriksaan
fisik perlu dievaluasi status hidrasi penderita, berat badan, tinggi badan, indikator
pertumbuhan; kulit apakah disertai edema, ikterus, pucat, rash kemerahan, jari tabuh;
paru-paru apakah disertai mengi atau crackles; abdomen apakah nyeri, adanya massa
(feses, abses, tumor, organomegali); dan rektum apakah disertai tanda-tanda penyakit
perianal, prolaps rekti, hirschprung ,atau konstipasi.
C. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah standar meliputi pemeriksaan hitung darah lengkap, elektrolit,
ureum darah, tes fungsi hati, vitamin B12, folat, kalsium, ferritin, laju endap darah, dan
protein C-reaktif.

11
b. Pemeriksaan Tinja
Pemeriksaan tinja spesifik antara lain meliputi tes enzim pankreas, seperti tes fecal
elatase, untuk kasus yang diduga sebagai insufisiensi pankreas. pH tinja <5 atau
adanya substansi yang mereduksi pemeriksaan tinja, membantu mengarahkan
kemungkinan intoleransi laktosa dengan mekanisme yang telah dijelaskan
sebelumnya. Kultur tinja diperlukan unutk menyingkirkan kemungkinan infeksi
protozoa, seperti giardiasis, dan amebiasis yang banyak dikaitkan dengan kejadian
diare persisten.
Pemeriksaan feses merupakan langkah penting dalam investigasi diare kronik. Bagian
feses yang paling penting untuk diperiksa adalah cairan yang terkandung dalam feses.
Spesimen feses harus disimpan dalam kulkas sebelum dilakukan pemeriksaan. Untuk
pemeriksaan kultur feses dianjurkan menggunakan specimen feses segar. Adanya
darah dalam pemeriksaan makroskopis feses menandakan inflamasi kolon. Warna
feses sangat penting dianalisis kecuali disertai darah. Occult testing bermanfaat untuk
mengetahui adanya perdarahan mikroskopik. Pada pemeriksaan mikroskopik juga
perlu diperiksa adanya leukosit, telur/parasite seperti Giardia, amuba, atau
kriptosporidia
c. Sweat chloride test, deteksi malabsorpsi lemak, elektrolit feses, osmolalitas feses;
pemeriksaan phenophthalein, magnesium sulfat, fosfat feses; breath hydrogen test.
Sweat chloride test bermanfaat untuk menyingkirkan fibrosis kistik. Pengumpulan
feses selama 72 jam merupakan syarat untuk mengetahui adanyamalabsorpsi lemak
bila sweat chloride test negatif. Pemeriksaan phenolphthalein, magnesium sulfat, dan
fosfat berguna untuk mengetahui apakah diare akibatpenggunaan yang salah laksatif
(diare factitia). Breath hydrogen test berguna untuk menentukan malabsorpsi
karbohidrat. Breath hydrogen test untuk glukosa atau laktulosa bermanfaat untuk
diagnosis pertumbuhan bakteri. Hidrogen dihasilkan dari fermentasi bakteri dari
karbohidrat;hidrogen akan meningkat pada pertumbuhan bakteri dan intolerans
laktosa. Breath hydrogen test akan mencapai puncaknya dua jam setelah pertumbuhan
bakteridan 3-6 jam pada pasien dengan defisiensi laktasa atau insufisiensi pancreas.
Membedakan defisiensi laktosa dan insufisiensi pancreas adalah dengan pemberian
enzim pancreas; metode ini akan menurunkanbreath hydrogen

TERAPI
Manajemen diare persisten harus dilakukan secara bertahap dengan meliputi: 1, 2
1. Penilaian awal, resusitasi, dan stabilisasi.
2. Pemberian nutrisi
a. Kebutuhan dan jenis diet pada diare persisten/kronis
i. Diet elemental
Komponen-komponen yang terkandung dalam diet elemental terdiri atas asam
amino kristalin atau protein hidrolisat, mono- atau disakarisa, dan kombinasi
trigliserida rantai panjang atau sedang. Kelemahan diet elemental ini adalah
harganya mahal. Selain itu, rasanya yang tidak enak membuat diet ini sulit

12
diterima oleh anak-anak sehingga membutuhkan pemasangan pipa nasogastric
untuk mendapatkan hasil maksimal. Oleh karena itu, diet elemental mayoritas
hanya digunakan di negara maju.
ii. Diet berbahan dasar susu
Diet berbahan dasar susu yang utama adalah ASI. ASI memiliki keunggulan
dalam mengatasi dan mencegah diare persisten, antara lain mengandung nutrisi
dalam jumlah yang mencukupi, kadar laktosa yang tinggi (7 gram laktosa/100
gram ASI, pada susu non-ASI sebanyak 4,8 gram laktosa/100 gram) namun
mudah diserap oleh system pencernaan bayi, serta membantu pertahanan tubuh
dalam mencegah infeksi. Proses pencernaan ASI di lambung berlangsung lebih
cepat disbanding susu non-ASI, sehingga lambung cepat kembali ke kondisi pH
rendah, dengan demikian dapat mencegah invasi bakteri ke dalam saluran
pencernaan. ASI juga membantu mempercepat pemulihan jaringan usus pasca
infeksi karena mengandung epidermial growth factors.
iii. Diet berbahan dasar daging ayam
Keunggulan makanan berbahan dasar ayam antar lain bebas laktosa,
hipoosmolar, dan lebih murah. Sejumlah studi menunjukan bahwa pemberian
diet berbahan dasar ungags pada diet persisten memberikan hasil perbaikan yang
signifikan. Tesis S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Gizi Masyarakat FK
UGM dengan single blind, randomized-controlled trial menunjukan durasi diare
yang lebih pendek secara bermakna pada anak dengan diare yang mendapat
bubur ayam dibanding yang mendapat bubur tempe. Namun demikian,
mengingat harga bubur refeeding ayam empat kali lebih tinggi daripada bubur
refeeding tempe, penggunaan bubur tempe dapat menjadi pilihan tatalaksana
diare pada situasi keterbatasan kondisi ekonomi.
b. Pemberian mikronutrien
Defisiensi zinc, vitamin A, dan besi pada diare persisten/kronis diakibatkan asupan
nutrisi yang tidak adekuat dan pembuangan mikronutrien melalui defekasi.
Suplementasi multivitamin dan mineral harus diberikan minimal dua RDA
(Recommended Daily Allowances) selama dua minggu. Satu RDA untuk anak umur 1
tahun meliputi asam folat 50 mikrogram, zinc 10 mg, vitamin A 400 mikrogram, zat
besi 10 mg, tembaga 1 mg, dan magnesium 80 mg. WHO (2006) merekomendasikan
suplementasi zinc untuk anak berusia ≤ 6 bulan sebesar 10 mg (1/2 tablet) dan untuk
anak berusia > 6 bulan sebesar 20 mg (1 tablet), dengan masa pemberian 10-14 hari.
Meta-analisis yang dilakukan The zinc Investigator Collaboration Group menunjukan
bahwa pemberian zinc menurunkan probabilitas pemanjangan diare akut sebesar 24%
dan mencegah kegagalan terapi diare persisten sebesar 42%.
c. Probiotik
Gaon et al. (2003) mengungkapkan bahwa pemberian susu yang mengandung
Lactobacillus casei, Lactobacillus acidophilus, dan Saccharomyces boulardii pada
penderita diare persisten selama 5 hari menurunkan jumlah tinja, durasi diare, dan
durasi muntah yang menyertai. Meta-analisis yang dilakukan ohnston et al. (2006)

13
menunjukan bahwa pemberian probiotik dapat mencegah terjadinya antibiotic-
associated diarrhea.
d. Tempe
Anak yang mendapat bahan makanan campurantempe-terigu berhenti diare setelah
2,39 ± 0,09 hari (rerata), lebih cepat bila dibandingkan dengan anak yang mendapat
bahan makanan campuran beras-susu (rata-rata 2,94 ± 0,33 hari). Sebuah studi uji
klinis randomized controlled double-blind yang dilakukan oleh Soenarto et al. (2007)
menunjukan bahwa formula yang berbahan dasar tempe dapat mempersingkat durasi
diare akut serta mempercepat pertambahan berat badan setelah menderita satu episode
diare akut.
3. Terapi farmakologis
Terapi antibiotic rutin tidak direkomendasikan karena terbukti tidak efektif. Antibiotik
diberikan hanya jika terdapat tanda-tanda infeksi, baik infeksi intestinal maupun ekstra-
intestinal. Jika dalam tinja didapatkan darah, segera diberikan antibiotik yang sensitif
untuk shigellosis. Metronidazol oral (50 mg/kgBB dalam 3 dosis terbagi) diberikan pada
kondisi adanya trofozoit Entamoeba histolytica dalam sel darah, adanya trofozoit Giardia
lamblia pada tinja, atau jika tidak didapatkan perbaikan klinis pada pemberian dua
antibiotic berbeda yang biasanya efektif untuk Shigella. Jika dicurigai penyebab adalah
infeksi lainnya, antibiotik disesuaikan dengan hasil biakan tinja dan sensitivitasnya.
4. Follow up
Follow up diperlukan untuk memantau tumbuh kembang anak sekaligus memantau
perkembangan hasil terapi. Anak-anak yang tidak menunjukan perbaikan dengan terapi
diare persisten membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk menyingkirkan
kemungkinan intractable diarrhea, yaitu diare yang berlangsung ≥ 2minggu dimana 50%
kebutuhan cairan anak harus diberikan dalam bentuk intravena. Diare ini banyak
ditemukan di negara maju, dan berhubungan dengan kelainan geentik. Kegagalan
manajemen nutrisi ditandai dengan adanya peningkatan frekuensi berak dan diikuti
kembalinya tanda-tanda dehidrasi, atau kegagalan pertambahan berat badan dalam waktu
7 hari.

Diare persisten
(diare > 14 hari disertai malnutrisi)

Diagnosis, resusitasi, dan stabilisasi awal

 Intravena stsu rehidrasi oral


 Atasi gangguan elektrolit
 Pelacakan dan pengobatan infeksi sistemik

ASI diteruskan
Mengurangi asupan laktosa dengan:
Diet susu\ serial (umumnya berbahan dasar beras)
Atau suplemen pengganti susu diare yogurt
Suplemen mikronutrien (zinc, vitamin A, folat) 14
Sembuh diare berlanjut atau berulang
Berat badan tidak naik

Pemantauan pertumbuhan
Pelacakan ulang untuk penyebab infeksi
Terapi dan obat sekunder
ayam dan diet elementasi
diare lanjut dan dehidrasi

Pelacakan ulang untuk mengingkirkan


Diare intractable pada bayi
Hiperalimentasi intravena

diagram manajemen diare persisten. Sumber: Bhutta

Penatalaksanaan diare kronik terutama difokuskan pada penyakit yang mendasarinya.


Menurut Suraatmaja, penatalaksanaan diare kronik meliputi tiga langkah sebagai berikut:
1. Rehidrasi enteral/parenterala.
a. Tanpa malnutrisi
Penderita diare kronik yang mengalami dehidrasi ringan/sedang tetap
diupayakan memberikan terapi rehidrasi oral, bila perlu cairan diberikan
melalui pipa nasogastrik sampai anak bisa minum per oral secara adekuat.
Oralit efektif untuk sebagian besar penderita diare kronik. Pada sebagian kecil
penderita mungkin terjadi gangguan absorpsi monosakarida (glukosa)
sehingga diare menjadi berat. Pada kasus demikian perlu dilakukan rehidrasi
intravena. Cara pemberian rehidrasi intravena sama dengan pemberian pada
diare akut.
b. Dengan malnutrisi
Cairan yang diberikan adalah resomal, bila perlu dengan sonde. Infus hanya
diberikan dalam keadaan dehidrasi berat/syok dan muntah yang tidak
terkendali. Cairan infus yang digunakan untuk penderita diare kronik dengan
malnutrisi adalah DG 10% (banyak mengandung kalium). Pantau ketat untuk
mencegah kelebihan cairan dengan perhatian khusus pada tanda-tanda edema
dan produksi urin.
2. Terapi nutrisi

15
Tujuan terapi nutrisi pada penderita diare kronik adalah agar pertumbuhan dan
perkembangan tetap berlangsung optimal. Nutrisi sedapat mungkin diberikan per oral
karena lebih murah, efek samping minimal, dan rehabilitasi mukosa jauh lebih cepat
dan sempurna bila diberikan nutrisi intraluminal. Nutrisi yang diberikan harus
lengkap, berkualitas tinggi, dan mudah dicerna mengingat adanya
maldigesti/malabsorpsi yang kemungkinan dialami penderita. Makanan yang
diberikan sedikit-sedikit tapi sering. Nutrisi yang diberikan adalah:
a. Nutrisi enteral
Pada bayi yang mendapat ASI harus dilanjutkan. Bila tidak ada ASI, beri susu
formula rendah/bebas laktosa. Bila dengan susu formula rendah/bebas laktosa
tidak ada perbaikan, berikan susu formula khusus seperti Pepti Junior,
Nutramigen, Pregestemil, dan lain-lain. Pada anak-anak, makanan diberikan
bertahan dimulai dari makanan cair, lunak, lalu makanan biasa sesuai dengan
umur.
b. Nutrisi parenteral total (total parenteral nutrition= TPN)
TPN adalah suatu teknik memberikan nutrisi yang diperlukan tubuh melalui
intravena. Nutrisi yang diberikan terdiri dari air, elektrolit, asam amino, emulsi
lemak, mineral, vitamin, dantrace elements. TPN diberikan pada penderita
yang tidak dapat mentoleran atau menyerap zat makanan yang diberikan per
oral. Bila diberikan dengan benar TPN sangat bermanfaat bahkan dapat
menyelamatkan jiwa penderita.
3. Medikamentosa.
a. Antibiotika
Antibiotika pada umumnya tidak dianjurkan bahkan berbahaya karena dapat
mengubah atau menimbulkan overgrowth flora usus sehingga diare bertambah
berat. Jika diperlukan, berikan sesuai dengan hasil biakan dan tes resistensi.
Pengalaman selama 25 tahun di Brazil menunjukkan bahwa penggunaan
antibiotik dan/atau obat-obat lain secara rutin pada diare kronik
(diarepersisten) tidak bermanfaat untuk mengontrol diare.
b. Obat antidiare.
Pemberian obat-obat anti diare seperti difenoksilat, loperamidedan obat
pengeras tinja seperti kaolin, pektin, arang aktif, attapulgit, smectite; tidak
dianjurkan. Obat-obatan tersebut berbahaya karena memberikan kesan
‘sembuh palsu’ dan dapat mempengaruhi motilitas usus yang justru
menghambat pengeluaran bakteri bersama tinja sehingga memberi kesempatan
pada bakteri untuk berada lebih lama dan berkembang biak dalam usus.
c. Kolestiramin dan bismut sub salisilat
Kolestiramin (anion exchange resin) dan bismut sub salisilat mengikat asam
empedu yang toksis terhadap usus menjadi kompleks yang tidak larut dan
dikeluarkan bersama tinja sehingga stimulasi pada usus hilang. Dosis 4-20
gram cukup efektif dalam mengurangi jumlah tinja.
d. Mikronutrien

16
Berbagai mikronutrien seperti vitamin A, B12, asam folat, dan seng sangat
berguna untuk regenerasi mukosa dan reaksi imunologis. Penelitian yang
memperlakukan pasien dengan pemberian makanan tertentu dan beberapa
mikronutrien lain seperti vitamin A, thiamin, riboflavin, vitamin B6, B12,
asamfolat, niasin, asam panthotenat, vitamin C, D, E, zat besi, seng, tembaga,
dan selenium menunjukkan bahwa penambahan berat badan lebih cepat dari
pada kelompok kontrol.
Seng memegang peran penting untuk melindungi integritas sel membrane dan
mungkin berguna untuk melindunginya dari perlukaan yang diakibatkan oleh
radikal bebas. Pada diare kronik kadar seng berkurang dengan bertambah
beratnya penyakit sehingga pemberian seng dapat memperbaiki status seng
penderita. Suplemen seng juga baik dalam rehabilitasi nutrisi untuk
meningkatkan berat badan anak dengan diare kronik.
Defisiensi vitamin A juga merupakan faktor risiko berkembangnya diare
kronik. Penelitian pada beberapa kasus mendapatkan bahwa pemberian
vitamin A dapat mengurangi risiko diare. Vitamin A dapat memperbaiki
pertumbuhan anak dengan HIV dan malaria serta menurunkan risiko stunting
dalam hubungannya dengan diare persisten.

FAKTOR RISIKO DAN PENCEGAHAN


Malnutrisi, defisiensi mikronutrien, dan defisiensi status imun pasca trauma
menyebabkan terlambatnya perbaikan mukosa usus, sehingga menjadi kontribusi utama
terjadinya diare persisten. 2
Kelompok penderita diare kronis terbanyak adalah kelompok usia < 12 bulan. Hal ini
didukung dengan studi Fraser et al (1998) yang mengemukakan bahwa kejadian diare
persisten paling banyak pada anak usia ≤ 3 bulan. Studi yang dilakukan di Bangladesh
menunjukan bahwa rata-rata usia anak penderita diare kronis adalah 10,7 bulan. Baqui et al
(1993) menyatakan bahwa kelompok usia terbanyak penderita diare persisten adalah usia
kurang dari 1 tahun. 6
Kejadian diare kronis sangat terkait dengan pemberian ASI dan makanan. Penderita
diare persisten rata-rata mendapatkan ASI eksklusif 2,5 bulan lebih singkat dibandingkan
kelompok kontrol. Penundaan pemberian ASI pertama pada awal kelahiran juga merupakan
salah satu faktor risiko diare persisten. Pemberian makanan pendamping terlalu dini
meningkatkan risiko kontaminasi sehingga insiden diare persisten semakin tinggi. Oleh
karena itu, pencegahan terhadap kejadian diare persisten meliputi pemberian ASI eksklusif
selama 6 bulan, pemberian makanan tambahan yang higienis, dan manajemen yang tepat
pada diare akut sehingga kejadian diare tidak berkepanjangan. Manajemen diare akut yang
tepat meliputi pemberian ORS, manajemen nutrisi dan suplementasi zinc.
Faktor-faktor risiko terjadinya diare persisten: 1

Faktor bayi Bayi berusia <12 bulan


Berat badan lahir rendah (<2500 gram)
Bayi atau anak dengan malnutrisi

17
Anak-anak dengan gangguan imunitas
Riwayat infeksi saluran napas
Faktor maternal Ibu berusia muda dengan pengalaman yang terbatas dalam
merawat bayi
Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu mengenai higienis,
kesehatan, dan gizi, baik menyangkut ibu sendiri maupun
bayi
Pengetahuan, sikap, dan perilaku dalam pemberian ASI serta
makanan pendamping ASI
Pemberian susu pada bayi Pengenalan susu non-ASI
Penggunaan botol susu
Riwayat infeksi sebelumnya Riwayat diare akut dalam waktu dekat (khususnya pada bayi
<12 bulan)
Riwayat diare persisten sebelumnya
Penggunaan obat sebelumnya Obat antidiare, karena berhubungan dengan menurunnya
motilitas gastrointestinal
Antimikroba, termasuk antibiotik dan anti-parasit

DIARE KRONIS PADA KONDISI KHUSUS 1, 7


1. Diare kronis pada Infeksi HIV
Diare kronis merupakan salah satu manifestasi klinis yang banyak dijumpai pada
penderita HIV. Studi Zaire menunjukan bahwa insidensi diare persisten lima kali lebih
tinggi pada anak-anak dengan status HIV seropositif. Faktor penting yang meningkatkan
kerentanan anak-anak dengan HIV terhadap kejadian diare persisten adalah jumlah
episode diare akut sebelumnya. Setiap episode diare akut pada pasien HIV meningkatkan
risiko 1,5 kali untuk terjadinya diare persisten. Parthasarathy (2006) mengemukakan
bahwa skrining yang dilkukan di India menunukan 4,1% anak dengan diare persisten
berstatus HIV seropositif.
Meskipun patogenesis virus HIV dalam menyebabkan diare pada anak-anak belum
diketahui secara jelas, diduga kejadian diare persisten pada kasus HIV terkait dengan
perubahan status imunitas. Pada infeksi HIV, terjadi penurunan kadar CD4, IgA
sekretorik, dan peningkatan CD8 lamina propria. Perubahan keadaan ini memacu
pertumbuhan bakteri.
Berbagai patogen dari kelompok virus, bakteri, dan parasit dapat menyebabkan diare
persisten pada HIV. Attili et al (2006) menyebutkan bahwa parasit yang terbanyak
dijumpai pada penderita HIV dengan diare persisten adalah Entamoeba histolytica
(17,1%). Insidensi infeksi oportunistik ini meningkat pada keadaan kadar CD 4 yang
rendah. Schmidt (1997) mengemukakan bahwa microsporodia adalah parasit terbanyak
penyebab diare perssiten pada HIV. Parasit ini menyebabkan pemendekan dan
pengurangan luas permukaan villi usus, meskipun kondisi ini juga didapatkan pada
pasien-pasien HIV tanpa gejala diare persisten. Selain itu, insidensi defisiensi laktase
lebih tinggi pada pasien HIV dengan infeksi microsporidiasis. Grohmann et al (1993)

18
menyatakan bahwa Astrovirus, Picobirnavirus, Calicivirus, dan Adenovirus adalah
enterovirus terbanyak pada HIV dengan diare.
2. Diare Kronis pada keganasan
Beberapa tumor yang dapat menghasilkan hormon yang secara langsung menstimulasi
sekresi usus dan menyebabkan diare. Ada pula tumor yang dapat menyebabkan
gangguan pada absorpsi nutrien dan berdampak pada diare. Pada pancreatic cholera,
terbentuk neoplasma sel endokrin pada pankreas yang menghasilkan suatu
neurotransmitter dan memicu terjadinya sekresi berlebihan di usus. Pada sindrom
carcinoid, terbentuk tumor carcinoid yang mensekresi serotonin, bradikinin,
prostaglandin, dan substansi P yang kesemuanya menstimulus proses sekresi di usus.
Karsinoma meduller tiroid menghasilkan kalsitonin yang menstimulus sekresi di usus,
menyebabkan sekitar 30% penderita karsinoma tersebut mengalami diare. Pada sindroma
Zollinger-Ellison (gastrinoma), peningkatan produksi asam lambung yang disebabkan
tumor penghasil gastrin dapat mengganggu enzim pencernaan dan menyebabkan
presipitasi asam empedu sehingga menyebabkan malabsorbsi zat nutrien. Pada diare jenis
ini, tinja memiliki pH yang rendah.
Diare pada keganasan juga berhubungan dengan efek samping kemoterapi. Kemoterapi
menyebabkan peradangan membran mukosa traktus gastrointestinal (mukositis). Agen-
agen kemoterapi yangs erring berkaitan dengan diare adalah 5-Fluorouracil dan
Irinotecan. 5-Fluorouracil menginduksi diare melalui peningkatan rasio jumlah kripta
terhadap villi, sehingga meningkatkan sekresi cairan ke lumen usus.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Soenarto, Yati. Diare kronis dan Diare Persisten. Buku Ajar Gastroenterologi-
Hepatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Cetakan kedua. 2010. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI. Hlm: 121-133.
2. Moh I. Indonesia: Demographic and Health Survey. Jakarta: Government of
Indonesia. 2003.
3. Ghishan RE. Chronic Diarrhea. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th Edition. WB
Saunders, Philadelphia. 2007.
4. Walker-Smith J, Barnard , Bhutta Z et al. Chronic Diarrhea and Malabsorption:
Working Group Report of the First World Congress of Pediatric Gastroenterology,
Hepatology, and Nutrition. Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition.
2002; 33.
5. Bhutta ZA. Persistent Diarrhea in Deveoping Countries. Ann Nestle. 2006; 64: 39-47
6. Thomas ED, Fortes A, Green C. Guideline For The Investigation of Chronic
Diarrhea. 2nd edition. GAD. 2003; 52: V1-V15.
7. Budiwiarti, TE. Pengaruh Pemberian Bubur Refeeding Tempe Terhadap Diare pada
Anak Diare Akut usia 6-24 bulan si RS Dr. Cipto Mangkusumo, FK UGM. 2005
8. Badruddin SH, Hendricks KM, Bhuttha ZA, Snyder JD. Dietary risk factors
associated with acute and persistent diarrhea in children in Karachi, Pakistan. Am J
Clint Nutr. 2000; 54: 745-749.

20

Anda mungkin juga menyukai