NIM : M1A120065
KELAS : KEHUTANAN B
Colfer, dkk: (1999) menggunakan istilah stakeholders bagi pihak pihak yang
berkepentingan terhadap hutan tersebut. Seharusnya di antara mereka yang memiliki
kepentingan berbeda tersebut, memiliki pula perbedaan hak serta kewajiban.
Walaupun bisa saja terjadi per debatan lebih jauh mengenai kesamaan dan pengguna
hutan dan pihak berkepentingan terhadap hutan, akan tetapi menurut hemat saya pada
dasarnya kelompok kedua juga memandang kegunaan sumberdaya hutan bagi suatu
tujuan pemenuhan kebutuhan tertentu (meski tidak selalu kegunaan tersebut dalam
bentuk produk material hutan). Dari hasil penelitian Colfer dan tim penelitiannya di
tiga lokasi terpilih se bagai contoh, yaitu di Kalimantan Timur (Indonesia, tahun
1995), Pantai Gading (Afrika, tahun 1995), dan Bushler Bay (Amerika Serikat, 1970-
1977), para stakeholders dimaksud bervariast.
Bertitik tolak dari uratan di atas dapat disimpulkan Pertama, yang di sebut
pengguna hutan meliputi pihak-pihak berkepentingan terhadap hutan, hasil hutan dan
lahan hutan secara luas dan beragam, bisa terkait dengan lembaga/institust,
kelompok, dan bahkan orang per orang (meskipun merupakan kelompok atau
lembaga), Kedna, walaupun be ragam akan tetapi secara umum dijumpai empat
kelompok pengguna hutan utama, yaitu: Masyarakat (lokal, kecuali seperti kasus di
Bushler Bay), Pemerintah (Aparat Kehutanan), Pengusaha Perkayuan (termasuk
pekerjanya), dan kelompok Pemerhati Lingkungan (umumnya dari kalangan
organisasi non-pemerintah/ornop).
3. Pengusaha kehutanan, dalam hal ini bisa dalam bentuk pengusaha per kayuan
yang mengusahakan hutan alam (perusahaan HPH) dan hutan tanaman
(perusahaan HPHT).
Dari kelompok utama pengguna hutan di Indonesia, maka inten sitas interaksi
tertinggi terjadi antara masyarakat lokal dengan pihak pengusaha hutan Tingginya
intensitas interaksi dikarenakan kedua belah pihak berada langsung di lapangan/di
dekat sumberdaya yang diusahakan. Sekali lagi, hal ini bisa berlangsung baik antar
individual, kolektif anggotanya ataupun dalam kelompok besar pengguna hutan
Mengingat banyak faktor yang mempengaruhi bentuk dan arah suaru interaksi sosial
(positif atau negatif-lihat Soekanto, 1990), maka di pertimbangkan untuk
menyederhanakannya ke dalam dua kelompok besar saja, sebagai berikut:
Toleransi dan Menghargai Perbedaan Kebudayaan.
Telah dibahas pada bab terdahulu, bahwa konflik merupakan salah satu
pencerminan dan interaksi sosial yang bersifat disosiatif. Konflik merupakan cara
pencapaian tujuan dengan melemahkan pihak lawan, tanpa menghiraukan norma dan
nilai yang berlaku (Hartini dan Kanasapotra, 1992) Dalam kaitan ini perlu
ditambahkan apa yang ng dikemukakan oleh Polak (1966), bahwa konflik atau per.
atketaan bisa ditimbulkan dari persaingan (compezion) dengan rasa emosi, rasa benci
dan bahkan rasa marah, sehingga pihak pihak yang bersangkutan ingin menyerang,
melukai, merusak, atau me musnahkan pihak yang lain (aggressions).
Kolom 4.1. Tujuh Persoalan Mendasar Terkait Karakter Pertentangan Atas Tanah
dan Beberapa Contohnya yang Pernah Terjadi
Pertama, sengketa tanah karena penerapan fungsi tanah sebagai sumber eks
ploitasi Contoh-contoh: Kasus sengketa tanah yang pernah terjadi antara
masyarakat adat Dayak Bentian dengan pemegang HPH-IFTI di Jelmu
Sibak atau konflik antara masyarakat adat Dayak Bahau dengan pemegang
konsesi HPH di Matalibaq dan sengketa antara masyarakai adat Davak
Benuaq dengan pemegang hak kuasa pertambangan batubara di Muara
Begai. Ke seluruhannya merupakan kasus di Propinsi Kalimantan Timur.
Aspek legal formal yang dipegang oleh pengusaha hutan dimulai dari in
konsesi dan perjanjian kehutanan (forestry agreement) yang telah dibuatnya dengan
pemerintah, hingga kepada peraturan serta kebijakan pemerintah (dalam hal ini
instansi kehutanan) yang diterbitkan selama jangka waktu pengusahaan hutan (al.
Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Menteri ataupun Direktur Jenderal, hingga
Surat Edaran). Dengan demikian, kalaupun ada kewajiban yang dibebankan kepada
mereka terkait misalnya dengan kepentingan masyarakat lokal, adalah yang
tercantum dan dipahami--'di atas kertas-kertas' itu saja yang pada umumnya
dilaksanakan (atau kita sebut prinsip minimalis). Sedangkan apa-apa yang tidak diatur
atau tertulis dalam peraturan kebijakan, tidak -atau kalaupun ada sangat jarang--
dilakukan atas inisiatif sendir Pada hal sudah menjadi rahasia umum, bahwa masih
banyak terdapat kele mahan-kelemahan dalam peraturan kebijakan kehutanan atau
pengelo laan sumberdaya alam secara umum di Indonesia. Kelemahan dimaksud
disebabkan antara lain yang terpenting: (1) Tidak tersedianya data dan informasi yang
akurat terhadap sasaran peraturan kebijakan; (2) stansi peraturan kebijakan yang
memang tendensius, karena sangat ber orientasi pada kepentingan negara (bisa
dibaca: Pusat), dan yang tidak kalah pentingnya; (3) Masih kuatnya pengaruh kolusi,
korupsi, dan nepotisme (KKN) di kalangan birokrasi dan pengambil keputusan
khususnya selama tiga dasawarsa pembangunan kehutanan (baca al LATIN, 1998;
Ascher, 1999).
C. Kajian Mengenai Resolusi Konflik
1. Lamping it, terkait dengan kegagalan salah satu pihak yang bersengketa
untuk menekankan tuntutannya. Dengan kata lain isu yang dilontarkan
diabaikan (mply ignor) dan hubungan dengan pihak lawan terus ber jalan.
Prosedur ini dilakukan karena penuntut (claimant) kekurangan mformasi
atau akses terhadap hukum dan peraturan yang berlaku dan menganggap
keberhasilan tuntutan akan rendah dan/atau biaya yang dikeluarkan untuk
itu terlalu besar atau udak sebanding dengan pen capaian hasilnya
3. Coernes, yaitu satu pihak yang bersengketa menerapkan hasrat pada pihak
yang lain. Bisa saja penerapannya dilakukan dengan ancaman atau paksaan,
sebagaimana banyak terjadi di masyarakat.
1. Kegiatan Bina Desa Hutan (BDH) atau Pembinaan Masyarakat Desa Hutan
(PMDH), yang telah dikemukakan terdahulu dikenakan bagi setiap pengusaha
hutan (diberlakukan sejak tahun 1991). Bila dilihat dan tujuan utamanya yaitu
menyejahterakan masyarakat lokal me rupakan upaya: (a) Menumbuhkan
pandangan positif (positive image) masyarakat atas empati (empathy)
pengusaha hutan; serta (b) Men dorong terjalinnya kerjasama saling
menguntungkan (mutualism coo peration) antara pengusaha hutan dengan
masyarakat di sekitarnya. Tetapi upaya yang didasarkan pada pemikiran top-
down serta asumsi terbatas bahwa program-program 'gaya amal (charity
programs) mampu meredam konflik laten dan bahkan menciptakan kelestarian
hutan, jelas tidak mengarah pada substansi tuntutan yang berkem bang di
masyarakat lokal. Tuntutan dimaksud menyangkut peng akuan penguasaan
dan keamanan akses terhadap sumberdaya hutan. Bahkan ada kesan, bahwa
interdependensi hutan dan masyarakat dicoba untuk dialihkan kepada sumber-
sumber pendapatan non kehutanan, pola dan nilai tradisional dicoba
dimmodernisasikan me lalui program pembangunan desa atau pemberdayaan
masyarakat. Ketidakseriusan sebagian besar pengusaha hutan dalam
melaksana kan kegiatan PMDH dimaksud menambah pandangan negatif dari
masyarakat, karena mereka merasa dibohongi (lihat kembali Wentzel, 1997).
Secara jujur harus diakui, bahwa konflik sosial yang meletus dan meluas sejak
tuntutan reformasi disampaikan tahun 1998 hanyalah me rupakan satu dari banyak
buah' politik (termasuk politik kehutanan) Pemerintah Orde Baru yang sentralistik
dan otoriter selama kurun waktu yang demikian panjang. Dengan demikian tidaklah
berlebihan apa yang dikemukakan oleh Putra (1999), bahwa politik sentralisasi me
rupakan pangkal dari segala persoalan. Rezim berkuasa yang demikian kuat telah
menutup peluang bagi parapihak kehutanan yang lain ter utama masyarakat lokal di
lapisan bawah (grass roof) untuk turut ber partisipasi dalam proses pembuatan dan
pengambilan keputusan, meskipun kebijakan atau upaya yang akan dilaksanakan
tersebut akan terkait obyek (dalam bahasan kita adalah sumberdaya hutan) yang erat
dengan kehidupan dan masa depan mereka (lihat juga Ross, 1993).
Guna mengetahui secara detil perbedaan keempat bentuk kerja sama di atas,
kita mencoba menguraikannya satu persatu sebagai berikut (Himmelman, 1994;
dengan beberapa perubahan):
Konsepsi yang dibangun atas dasar pengalaman tersebut di atas, tentu saja
juga berlaku bagi kegiatan pembangunan kehutanan. Pe nguatan modal manusia
diperlukan agar partisipasi dan kerjasama yang dibangun bersifat setara atau tidak ada
dominasi/penguasaan salah satu pihak kepada pihak yang lain. Mengingar dalam
bidang kehutanan pihak masyarakat lokal yang hingga saat ini dalam kenyataannya
dari sisi kapa sitas tawar (bargaining pour) akibat keterbatasan finansial, pendidikan
dan wawasan-adalah yang paling lemah, maka kapasitas ini harus di tingkatkan
Konsepsi inilah yang secara luas dikenal dengan upaya pem berdayaan masyarakat
tempowering local community). Masyarakat yang ber daya, dalam konteks kita di
sini, adalah yang memiliki kapasitas dalam menetapkan prioritas dan pengendalian
atas sumberdaya hutan yang sangat penting bagi upaya untuk menentukan nasib
mereka sendiri. Sumodiningrat (1997) mengemukakan, bahwa keberdayaan
masyarakat secara umum adalah unsur-unsur yang memungkinkan suatu masyarakat
bertahan hidup dan dalam pengertian yang dinamis mengem hingan dus dan
mencapai tujuan hidup. Dengan keberdayaan tinggi, masyarakat tidak saja akan
mampu mempertahankan hak-haknya (ter mank dalam pengambilan keputusan),
terutama dalam berhubungan dengan pihak luar (misalnya pemerintah ataupun pihak
pengusaha
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat lokal sekitar hutan amat tal penting
adanya suatu kolaborasi antar berbagai pihak. Hal ini meng at tidak saja cukup
luasnya distribusi kelompok sasaran dibanding k dengan keterbatasan sumberdaya
yang dimiliki pemerintah, tetapi juga spesifikasi tantangan yang harus diselesaikan
tidak terlepas dari spesttikast ekologis dan sosio-kultural lokal yang cukup beragam
antara satu tempat dengan tempat lainnya Dengan kata lam, peran pihak swasta
(dalam hal ini terutama pengusaha perkayuan) dan organisasi non-pemerintah (non-
govermental organizations, atan Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM) dalam rangka
bekerjasama dengan pemerintah akan sangat membantu proses pemberdayaan. Hal
yang perlu diperhatikan, bahwa pemberdayaan secara kolaboratif (collaborative
empowerment) ber beda dengan upaya perbaikan masyarakat secara kolaboratif
(collaborative betterment). Pada upaya bettenvent proses dimulai dari luar
masyarakat, dan selanjutnya masyarakat hanya dilibatkan dalam proses yang didesain
dan dikontrol oleh pihak-pihak yang lebih besar. Sedangkan pember dayaan, dimulai
dalam masyarakat dan selanjutnya dibawa keluar ke institusi publik (dalam hal ini
Instansi Kehutanan), pihak swasta (per usahaan) dan lembaga-lembaga lainnya (lihat
Himmelman, 1994).