Anda di halaman 1dari 25

NAMA : NUR DIAN PRATIWI

NIM : M1A120065

KELAS : KEHUTANAN B

TUGAS : REVIEW BAB 4

ANALISIS SOSICLOGIS HUTAN DAN KEHUTANAN

A. Interaksi Sosial Antar Pengguna Hutan

Ascher (1995) mengemukakan, bahwa mendefinisikan forest users jauh lebih


rumit dibandingkan mendefinisikan pengguna sumberdaya alam yang lain seperti
pengguna irigasi atau perikanan. Meskipun siapa yang menebang pohon sejauh ini
dengan mudah dapat diketahui, tetapi thasth pula terdapat banyak para pengguna
produk pohon itu sendiri (seperti a.d. biji-bijian, buah-buahan, getah-getahan, daun-
daunan, bunga-bungaan, akar-akaran, hijauan, dan kayu bakar) serta produk dari
insekta dan satwa liar yang ada di hutan. Hasil hutan nir-kayu ini dapat diekstraksi
sendiri oleh yang berhak, atau melalui bantuan pihak lainnya, tergantung dari hak
guna yang diakui oleh hukum perundangan (formal) atau hukum adat. Belum lagi bila
membicarakan pihak-pihak yang me ngelola hutan tanaman, baik yang skala besar
(untuk tujuan kayu atau nir-kayu) atau berbagai bentuk hutan-hutan kerakyatan.
Kondisi ini merefleksikan betapa kompleksnya sistem hutan dan berbagai ke
gunaannya yang potensial. Bahkan ditambahkan oleh Ascher (1995) dalam contoh-
contohnya, bahwa petani, peternak, atau petambang yang mengetahui potensi mineral
dalam perut bumi kawasan hutan, paga merupakan atau termasuk pengguna-
penggunia lainnya yang perlu di pertimbangkan

Colfer, dkk: (1999) menggunakan istilah stakeholders bagi pihak pihak yang
berkepentingan terhadap hutan tersebut. Seharusnya di antara mereka yang memiliki
kepentingan berbeda tersebut, memiliki pula perbedaan hak serta kewajiban.
Walaupun bisa saja terjadi per debatan lebih jauh mengenai kesamaan dan pengguna
hutan dan pihak berkepentingan terhadap hutan, akan tetapi menurut hemat saya pada
dasarnya kelompok kedua juga memandang kegunaan sumberdaya hutan bagi suatu
tujuan pemenuhan kebutuhan tertentu (meski tidak selalu kegunaan tersebut dalam
bentuk produk material hutan). Dari hasil penelitian Colfer dan tim penelitiannya di
tiga lokasi terpilih se bagai contoh, yaitu di Kalimantan Timur (Indonesia, tahun
1995), Pantai Gading (Afrika, tahun 1995), dan Bushler Bay (Amerika Serikat, 1970-
1977), para stakeholders dimaksud bervariast.

Bertitik tolak dari uratan di atas dapat disimpulkan Pertama, yang di sebut
pengguna hutan meliputi pihak-pihak berkepentingan terhadap hutan, hasil hutan dan
lahan hutan secara luas dan beragam, bisa terkait dengan lembaga/institust,
kelompok, dan bahkan orang per orang (meskipun merupakan kelompok atau
lembaga), Kedna, walaupun be ragam akan tetapi secara umum dijumpai empat
kelompok pengguna hutan utama, yaitu: Masyarakat (lokal, kecuali seperti kasus di
Bushler Bay), Pemerintah (Aparat Kehutanan), Pengusaha Perkayuan (termasuk
pekerjanya), dan kelompok Pemerhati Lingkungan (umumnya dari kalangan
organisasi non-pemerintah/ornop).

Dalam konteks pengusahaan suatu kawasan hutan di Indonesia, kita bisa


uraikan kepentingan pengguna hutan utama dimaksud sebagai berikut:

1. Maryarakat (lokal) sekitar hutan, merupakan kelompok manusia dengan


pemahaman.

2. Pemerintah (aparat kehutanan) adalah instansi teknis baik di Pusat atanun di


Daerah yang memiliki tugas dan kewenangan resmi dalam hal-hal pengurusan
hutan (perencanaan, inventarisasi dan tata guna hutan), pengelolaan hutan
(termasuk di dalamnya pemanfaatan, per lindungan, penelitian dan pembinaan
sumberdaya manusia), per edaran dan pungutan hasil hutan, pengawasan dan
pengendalian hutan dan hasil hutan, serta pemberdayaan masyarakat di dalam
dan di sekitar hutan.

3. Pengusaha kehutanan, dalam hal ini bisa dalam bentuk pengusaha per kayuan
yang mengusahakan hutan alam (perusahaan HPH) dan hutan tanaman
(perusahaan HPHT).

4. Pemerhati lingkungan, dalam hal ini kita membicarakan tidak hanya me


nyangkut kelompok yang memperhatikan lingkungan biofisik, tetapi juga
sosial budaya (termasuk masyarakat di sekitar hutan).

Sehubungan dengan obyek pemenuhan kepentingan yang sama, maka terjadi


kontak dan komunikasi antar pengguna hutan. Kontak sosial dan komunikasi tersebut
merupakan dasar penting bagi ber langsungnya interaksi sosial, yang menurut
Soekanto (1999) diartikan sebagai bentuk-bentuk yang tampak apabila perorangan
ataupun kel ompok-kelompok manusia mengadakan hubungan satu sama lain ter
utama dengan mengetengahkan kelompok serta lapisan sosial sebagai unsur pokok
struktur sosial. Adapun bentuk interaksi sosial dimaksud secara teoritis bisa bersifat
positif (association) seperti antara lain kerja sama (cooperation) dan akomodasi
(accommodation). Akan tetapi, dapat pula interaksi sosial bersifat negatif
(dissociation) yang persaingan (competition) dan pertikaian (conflict). di antaranya
berupa

Dari kelompok utama pengguna hutan di Indonesia, maka inten sitas interaksi
tertinggi terjadi antara masyarakat lokal dengan pihak pengusaha hutan Tingginya
intensitas interaksi dikarenakan kedua belah pihak berada langsung di lapangan/di
dekat sumberdaya yang diusahakan. Sekali lagi, hal ini bisa berlangsung baik antar
individual, kolektif anggotanya ataupun dalam kelompok besar pengguna hutan
Mengingat banyak faktor yang mempengaruhi bentuk dan arah suaru interaksi sosial
(positif atau negatif-lihat Soekanto, 1990), maka di pertimbangkan untuk
menyederhanakannya ke dalam dua kelompok besar saja, sebagai berikut:
 Toleransi dan Menghargai Perbedaan Kebudayaan.

Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, pengusaha hutan (ter


masuk pekerjanya) yang bekerja di Sumatera dan Kalimantan dapar dikatakan
hampir keseluruhannya berasal dari luar kawasan hutan yang diusahakan.
Bahkan konsep perusahaan konsesi hutan sebagai suat organisasi dan
sekaligus institusi, yang diperkenalkan oleh pemerintah awal tahun 70-an,
merupakan sesuatu yang asing bagi masyarakat lokal atau sangat berbeda
dengan organisasi dan institusi tradisional yang mereka kenal dan miliki. Hal
ini tentu saja terkait dengan aspek fisik, teknologi atau cara; aturan main.
Berbagai perbedaan ini tentu saja memperbesar prasangka dan menuntut
adanya toleransi yang tinggi dan penghargaan budaya atas dasar keterbukaan
dan kesetaraan. Dalam hal ini inisiatif aktif untuk melakukan sosialisasi dan
asimilasi seharusnya datang dari pihak luar atau pihak pengusaha hutan.
Beberapa pen dekatan yang penting dan seharusnya dilakukan adalah: (1)
Upaya untuk mempelajari budaya dan adat istiadat lokal (termasuk norma dan
pantangan, serta peran kepala adat setempat). (2) Melakukan komu nikasi
yang inten guna mempercepat terjadinya asimilasi, serta; (3) Sedapat mungkin
memberikan kesempatan yang besar bagi masyarakat lokal untuk
berpartisipasi dalam kegiatan (keterbukaan), Kesemuanya mi pada dasarnya
merupakan pendekatan sosiologis yang merupakan syarat-syarat penting bagi
terjadinya proses en bentuk interaksi yang positif.

Seringkali dikemukakan oleh para pengusaha hutan, bahwa segala


sesuatu yang dilaksanakannya di lapangan, baik yang menyangkut ke giatan
usaha ataupun aspek sosialnya, pada dasarnya tidak lebih dari aya
melaksanakan aturan atau ketentuan yang telah dibuat atau dipankan oleh
pihak pemberi ijin (dalam hal ini pemerintah atası instansi kehutanan).
Dengan demikian larangan larangan bagi berbagai bentuk aktivitas kehidupan
masyarakat yang terkait dengan sumberdaya butan yang ada di kawasan yang
diusahakan (seperti perladangan dan perburuan) dipertimbangkan menjadi
sah-sah saja, sejauh segala ke wahan yang terkait dengan pemberi ijin merasa
telah dilaksanakan schaik-baiknya. Padahal persoalannya jelas berbeda,
bahwa di lapangan interaksi yang berlangsung bukan dengan negara semata
tetapi justru langsung dengan masyarakat lokal yang tidak bisa dipandang
sebagai warga negara biasa, melainkan sebagai sesama pengguna hutan juga

 Sikap yang terbuka dan pemberian kesempatan yang seimbang di bidang


ekonomi.

Kalau kita coba perhatikan kembali perkembangan politik dan ke


bijakan kehutanan di Indonesia (lihat Bals 3), sebenarnya ijt-in pe mungutan
hasil hutan (IHPHH) bagi masyarakat lokal bukanlah hal yang baru. IHPHH
pernah diberlakukan seiring ijin ijin konsesi peng usahaan hutan pada awal
tahun 70-an. Meskipun tidak berarti bahwa THPHH setara dengan ijin HPH
atau telah memuaskan masyarakat lokal, tapi paling tidak telah
dipertimbangkan untuk memberi ke sempatan berimbang antar pengguna
hutan ketika sumberdaya masih relatif sehat keadaannya. Pemilik ijin konsesi
besar (perusahaan swasta/ BUMN) dan pemilik konsesi kecil (perusahaan
kecil dan masyarakat luas) memiliki peluang sama untuk mengusahakan
hutan. Pemberian kesempatan bagi golongan yang lemah seperti ani (sekali
lagi dilihat dari faktor-faktor kapasitas sumberdaya, seperti finansial,
pendidikan dan teknolog), secara teoritis akan mempercepat proses asimilasi
antar pengguna hutan dimaksud. Akan tetap dengan alasan disalahgunakan
dalam implementasinya maka IHPHH kemudian dihapuskan.
B. Konflik Kepentingan Dan Penghargaan

Telah dibahas pada bab terdahulu, bahwa konflik merupakan salah satu
pencerminan dan interaksi sosial yang bersifat disosiatif. Konflik merupakan cara
pencapaian tujuan dengan melemahkan pihak lawan, tanpa menghiraukan norma dan
nilai yang berlaku (Hartini dan Kanasapotra, 1992) Dalam kaitan ini perlu
ditambahkan apa yang ng dikemukakan oleh Polak (1966), bahwa konflik atau per.
atketaan bisa ditimbulkan dari persaingan (compezion) dengan rasa emosi, rasa benci
dan bahkan rasa marah, sehingga pihak pihak yang bersangkutan ingin menyerang,
melukai, merusak, atau me musnahkan pihak yang lain (aggressions).

Menurut Sockanto (1990), secara teoritis konflik berpotensi timbul dalam


setiap interaksi sosial, tidak hanya disebabkan adanya perjuangan untuk bertahan
hidup dengan keterbatasan ruang/sumberdaya (straggle for limited space/resources),
tetapi juga dikarenakan adanya insting agresif dan kompetitif yang dimiliki oleh
manusia (ennate instinc). Konflik antar kelompok lebih disebabkan oleh perasaan
irasional dan kebutuhan-ke butuhan emosional anggota suatu kelompok daripada
disebabkan oleh kepentingan kebendaan antar kelompok yang berbeda (Taylor, 1987;
mengutip teori ahli psikologi Sigmund Freud, 1921). Dengan kata lain, konflik tidak
semata-mata menyangkut kepentingan fisik tetapi juga berkaitan dengan
penghargaan. Aspek kedua ini yang sering (tetapi juga dapat) menimbulkan konflik
tidak langsung (indirect atau false confirct). Dalam konflik seperti ini memang ada
tiga komponen utama, yaitu: (1) Kepentingan (interests), baik yang bersifat subyektif
ataupun obyektif: (2) Emosi (emotional), yaitu perasaan seperti kemarahan, ketakutan
dan lain lain, dan (3) Nilai (ralines), yang seringkali sulit terukur dan tertanam pada
ide dan perasaan mengenai benar dan salah dalam mengatur perilaku kita (lihat lebih
detil pada Condliffe, 1991).

Dengan demikian sebenarnya tinjauan teori konflik bisa luas, di antaranya


didasarkan pada beberapa faktor sebagai berikut:
a) Sifat karakteristik individual (individual characteristics theories), yang
melihat konflik dari sifat-sifat individu yang terlibat;

b) Proses sosial (social process theories), tinjauan konflik sebagai proses


interaksi sosial antara individu-individu atau kelompok-kelompok, serta
mencoba membuat generalisasi tentang sifat dari proses dimaksud;

c) Struktur sosial (social structural theories), yang melihat konflik sebagai


produk dari bagaimana masyarakat dibentuk dan diorganisasikan, hingga;

d) Teon-teori formal (formal theories), yang mencoba memahami konflik sosial


manusia dalam istilah-istilah logis dan matematis (lebih detil lihat
Schellenberg, 1996).

Kolom 4.1. Tujuh Persoalan Mendasar Terkait Karakter Pertentangan Atas Tanah
dan Beberapa Contohnya yang Pernah Terjadi

 Pertama, sengketa tanah karena penerapan fungsi tanah sebagai sumber eks
ploitasi Contoh-contoh: Kasus sengketa tanah yang pernah terjadi antara
masyarakat adat Dayak Bentian dengan pemegang HPH-IFTI di Jelmu
Sibak atau konflik antara masyarakat adat Dayak Bahau dengan pemegang
konsesi HPH di Matalibaq dan sengketa antara masyarakai adat Davak
Benuaq dengan pemegang hak kuasa pertambangan batubara di Muara
Begai. Ke seluruhannya merupakan kasus di Propinsi Kalimantan Timur.

 Kedua, sengketa pertanahan berkaitan dengan proyek revolusi hijau untuk


kepentingan swasembada beras, yang mengakibatkan terkonsertrasinya pe
nguasaan tanah dan meningkatnya jumlah petani tak bertanah. Contoh:
pembangunan sejumlah waduk besar yang menggusur tanah petani (misal
Kedung Ombo dan Saguling di Jawa atau pengembangan Proyek Lahan
Gambut Sejuta Hektar di Propinsi Kalimantan Tengah).
 Ketiga, perkebunan mengambil alih tanah yang seimula dikuasai rakyat
Contoh-contoh: sejumlah kasus penggusuran tanah masyarakat adat Dayak
Benuaq di Tanjung Jaan, Mancong, Tanjung Isuy, Muara Tae di Propinsi
Kalimantan Timur

 Keempat, penggusuran tanah berdalih kepentingan industri jasa untuk pem


bangunan perumahan mewah, hotel dan industri wisata

 Kelima, penggusuran tanah untuk kepentingan program pembangunan.


Contoh-contoh: Pembuatan jalan Trans-Kalimantan di pedalaman atau
proyek listrik masuk desa.

 Keenam, pencaplokan tanah untuk sejumlah pabrik di dalam maupun di


luar kawasan industri. Dalam kasus ini muncul calo spekulan tanah yang
me nekan harga pembelian tanah rakyat dan menjual dengan harga tinggi
pada para pemodal

 Ketujuh, pencabutan hak tamah rakyat atas nama kelestarian lingkungan


Contoh-contoh: penetapan kawasan taman nasional, hutan lindung dan
kawasan suaka margasatwa oleh pemerintah yang mengakibatkan ter
singkirnya masyarakat lokal

Sumber Wagon (1998 dengan beberapa perbulan); LITIN (1998)

Di samping kepentingan yang berhubungan dengan aspek ruang, persoalan


konflik juga terkait dengan perbedaan persepsi atas jangka waktu mengalirnya arus
manfaat antara kedua pihak pengguna tersebut. Idealnya memang sebagai
sumberdaya yang dapat diperbarui (renewable researce) kesinambungan usaha dan ini
berarti juga kelestarian sumberdaya dan hasil di bidang kehutanan bisa dilakukan.
Tetapi tampaknya dapat dikatakan mustahil menemukan perusahaan di bidang
kehutanan di Indonesia yang berpikir idealis seperti yang diharapkan tersebut. Seperti
telah disinggung terdahulu, sebagai pengusaha yang betorientasi pada keuntungan
(profit oriented) mereka sangat rasional dalam memperhitungkan kepastian
kesinambungan usaha. Untuk dilrakat lokal akan dengan disiplin menjaga kelestarian
sumberdaya juga sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang bersifat internal,
misalnya ungkat keeratan mereka dalam memegang norma-norma lokal yang
berlaku), ataupun yang bersifat eksternal (khususnya yang ber kaitan dengan
gempuran sosial, politik, ekonomi dan budaya dari luar sistem mereka). Di antaranya
yang kita telah kemukakan (dan akan kita jumpai pada bahasan lebih lanjut) adalah
keterjamina atau kepastian masa depan mereka dari sumberdaya dimaksud.

Aspek legal formal yang dipegang oleh pengusaha hutan dimulai dari in
konsesi dan perjanjian kehutanan (forestry agreement) yang telah dibuatnya dengan
pemerintah, hingga kepada peraturan serta kebijakan pemerintah (dalam hal ini
instansi kehutanan) yang diterbitkan selama jangka waktu pengusahaan hutan (al.
Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Menteri ataupun Direktur Jenderal, hingga
Surat Edaran). Dengan demikian, kalaupun ada kewajiban yang dibebankan kepada
mereka terkait misalnya dengan kepentingan masyarakat lokal, adalah yang
tercantum dan dipahami--'di atas kertas-kertas' itu saja yang pada umumnya
dilaksanakan (atau kita sebut prinsip minimalis). Sedangkan apa-apa yang tidak diatur
atau tertulis dalam peraturan kebijakan, tidak -atau kalaupun ada sangat jarang--
dilakukan atas inisiatif sendir Pada hal sudah menjadi rahasia umum, bahwa masih
banyak terdapat kele mahan-kelemahan dalam peraturan kebijakan kehutanan atau
pengelo laan sumberdaya alam secara umum di Indonesia. Kelemahan dimaksud
disebabkan antara lain yang terpenting: (1) Tidak tersedianya data dan informasi yang
akurat terhadap sasaran peraturan kebijakan; (2) stansi peraturan kebijakan yang
memang tendensius, karena sangat ber orientasi pada kepentingan negara (bisa
dibaca: Pusat), dan yang tidak kalah pentingnya; (3) Masih kuatnya pengaruh kolusi,
korupsi, dan nepotisme (KKN) di kalangan birokrasi dan pengambil keputusan
khususnya selama tiga dasawarsa pembangunan kehutanan (baca al LATIN, 1998;
Ascher, 1999).
C. Kajian Mengenai Resolusi Konflik

Konflik sosial di bidang kehutanan yang multidimensional (vertikal dan


horisontal), pada dasarnya merupakan inti dari problema sosiologis kehutanan
Indonesia. Kondisi ini dapat menciptakan iklim yang tidak kondusif serta
memperberat upaya-upaya dalam mewujudkan pengelo. lan sumberdaya yang lestan.
Padahal pengelolaan sumberdaya (dan produk) hutan yang lestan merupakan tuntutan
konsumen akan 'pro duk hijau' (green products) yaitu produk yang melalui suatu
proses pro duksi yang ramah lingkungan-yang secara internasional telah disepakati
untuk diterapkan pada awal abad ke-21 ini.

Mengapa dikatakan bahwa konflik menjadi faktor penghambat pe ngelolaan


hutan lestari, bisa ditinjau dari berbagai sisi, yaitu: Pertama, dari sisi ekonomi
khususnya ditinjau dari kacamata pengusaha hutan, konflik mengakibatkan tidak
adanya insentif dan kepastian dalam ber usaha di bidang kehutanan serta mendorong
kepada ketidakpedulian yang semakin tinggi terhadap masa depan sumberdaya yang
dimanfaat kan. Kedua, dari sisi sosial khususnya masyarakat, konflik bisa membawa
pada tuntutan (claiming) atas wilayah, baik per kelompok besar, kecil dan bahkan
individual, yang lebih didasarkan pada pertimbangan historis sehingga seringkali
mempersulit upaya pengelolaan hutan perhatikan aspek bentang alam dan/atau satu
kesatuan ekosistem. yang mem Ketiga, dari sisi ekologis, terkait dengan kedua aspek
tersebut di atas akan secara jelas mengancam daya dukung (carrying capacity)
kawasan hutan, dan akhirnya hanya menyisakan kerusakan sumberdaya yang makin
besar.

Adapun Schellenberg (1996), membagi definisi dalam dua bagian


pemahaman, yaitu definisi secara luas ataupun secara spesifik Secara luas, resolusi
konflik dimaksudkan sebagai reduksi nyata dari suatu kon flik sosial. Resolusi
konflik ini bisa terjadi melalui usaha atas kesadaran sendiri (self-concour efforts)
untuk mencapai kesepakatan atau persetuju an, atau bisa terjadi akibat berbagai
penyebab (a.1. perubahan lingkungan, pengaruh pihak ketiga, kemenangan untuk
salah satu pihak, dan se bagainya). Sedangkan secara lebih spesifik, resolusi konflik
merupakan reduksi nyata dari suatu konflik sosial sebagai hasil dari suatu upaya
membangun kesadaran (conscious settlement) dari permasalahan pertikaian (issues in
dispate). Sehingga dalam definisi kedua resolusi konflik lebih di lihat sebagai suatu
proses atau menumbuhkan kesadaran antar pihak yang bertikai.

Walaupun demikian, dalam kaitannya dengan bahasan kita me nyangkut


konflik kehutanan yang telah diuraikan secara panjang lebar, saya lebih cenderung
menggunakan definisi secara lebih luas dan longgar, termasuk juga tidak mencoba
mempermasalahkan istilah apa kah menggunakan conflict resolution' ataupun
management (lihat juga dalam Sub-bab sebelumnya, saya tidak mempermasalahkan
istilah confir' dan dispate) Dalam hal ini saya memiliki dua pertimbangan, sebagai
berikut Pertama, kita telah memahami bahwa konflik kehutanan bersifat kompleks
(karena multidimensi) dan telah berlangsung lama (karena tidak muncul di
permukaan). Oleh karenanya, mahami resolusi konflik sebagai suatu upaya
menghentikan persengketaan ada lah berlebihan. Sebagaimana dikemukakan oleh
Ross (1993) tidak semua konflik dapat dikelola dengan sukses, karena perbedaan-per
bedaan antara pihak yang bersengketa dipengaruhi oleh intensitasnya, sejarah
hubungan pihak yang bersengketa, serta langkah-langkah pe ngelolaan sengketa yang
dilakukan. Pertikatan antara pihak-pihak yang telah pernah lama menjalin kerjasama
dan siap menerima pihak ketiga untuk berdamai, jauh lebih memberikan harapan
sukses daripada per sengketaan yang telah berlangsung lama (long-term antagonisti)
tapi tanpa bantuan penyelesaian.

Kembali kepada teori resolusi konflik, menurut beberapa pustaka, al.


Condliffe (1991), konflik dapat dikelola melalui tiga dasar penye lesaian, yaitu: (1)
Langsung antar pihak yang bersengketa (One-to-One), dimana masing-masing pihak
yang bersengketa bertindak untuk me nyelesaikannya sendiri; (2) Mewakilkan kepada
pihak lain (Representa tional), dimana pihak-pihak yang bersengketa diwakili pihak
lain seperti pengacara, teman, kolega, asosiasi resmi; dan (3) Menggunakan pihak
ketiga (Third Party), dimana peran pihak ketiga berdasarkan inisiatif mereka sendiri,
atau atas permintaan kedua belah pihak yang ber sengketa, atau karena hak yang
dimilikinya. Pihak ketiga tidak merupa kan bagian dari pihak yang bersengketa.
Adapun alternatif prosedur yang dapat ditempuh secara universal ada delapan butir
dan diuraikan dalam Kolom 4.3. Namun perlu digarisbawahi, bahwa perbedaan ke
delapan prosedur itu tidak hanya dimaksudkan untuk pendefinisian ataupun
pengklasifikasian.

Kolom 4.2 . Delapan Prosedur Umum dalam Rangka Penyelesaian Konflik

1. Lamping it, terkait dengan kegagalan salah satu pihak yang bersengketa
untuk menekankan tuntutannya. Dengan kata lain isu yang dilontarkan
diabaikan (mply ignor) dan hubungan dengan pihak lawan terus ber jalan.
Prosedur ini dilakukan karena penuntut (claimant) kekurangan mformasi
atau akses terhadap hukum dan peraturan yang berlaku dan menganggap
keberhasilan tuntutan akan rendah dan/atau biaya yang dikeluarkan untuk
itu terlalu besar atau udak sebanding dengan pen capaian hasilnya

2. Advoidance atau exit, yaitu mengakhiri hubungan dengan meninggalkan


nya. Berbeda dengan lamping if vang tetap memelihara hubungan (dalam
level yang sama) dan mengabaikan konflik. Di sini dasar pertimbangan nya
adalah pada keterbatasan kekuatan yang dimiliki (powerleriness) salah satu
pihak ataupun alasan-alasan biaya sosial, ekonomi, atau psikologis.

3. Coernes, yaitu satu pihak yang bersengketa menerapkan hasrat pada pihak
yang lain. Bisa saja penerapannya dilakukan dengan ancaman atau paksaan,
sebagaimana banyak terjadi di masyarakat.

4. Negotiation, yaitu kedua belah pihak menyelesaikan konflik secara ber


sama-sama (mutual settlement) tanpa melibatkan pihak ketiga. Kedua belah
pihak tersebut tidak mencari solusi masalah sesuai peraturan berlaku,
melainkan menciptakan peraturan dimana mereka bisa meng atur hubungan
satu dengan yang lain. Pemahaman mu mencakup pe mecahan masalah
secara kolaboratif (collaborative problem solving) dan negosiast

5. Conciliation, yaitu mengajak (dalam arti menyatukan) kedua belah pihak


yang bersengketa untuk bersama-sama melihat konflik dengan tujuan untuk
menyelesaikan persengketaan. Konsiliator (concillator) tidak selalu
berperan aktif dalam negosiasi selanjutnya, meskipun yang ber sangkutan
dapat saja bertindak demikian dalam kapasitas tertentu atas permintaan
pihak-pihak yang bertikai. Konsiliator seringkali mem berikan konteks
negosiasi, seperti tempat, fasilitas pendukung dan akan bertindak sebagai
perantara (as a go between).

6. Mediation, adalah pihak ketiga yang mengintervensi suatu pertikatan untuk


membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan Mediator
bisa ditunjuk oleh pihak-pihak yang bersengketa atau me wakili otoritas di
luar pihak yang bertikai. Pihak-pihak yang bersengketa menyetuju
intervensi mediator tersebut. Praktek ini dikenal luas di masyarakat.

7. Arbitration, bilamana kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui


intervensi pihak ketiga dan kedua belah pihak sudah harus menyetujui
sebelumnya untuk menerima setiap keputusan pihak ketiga.

8. Adjudication, apabila terdapat intervensi pihak ketiga yang memiliki


otoritas untuk mengintervensi persengketaan dan membuat serta me
nerapkan keputusan yang diambil, baik yang diharapkan ataupun tidak oleh
kedua belah pihak bersengketa. Sistem pengadilan merupakan contoh
terbaik dari ajudikasi.
Perlu ditambahkan bahwa dari kedelapan prosedur penyelesaian konflik
tersebut di atas, maka hanya butir negosiasi, konsiliasi dan mediasi yang merupakan
upaya penyelesaian konflik di luar pengadilan yang dipandang kondusif. Hal ini
karena ketiganya mengandung unsur tawar-menawar, serta dapat diciptakan win-win
solution yang sifatnya lebih langgeng. Sebagaimana disinggung oleh Sardjono
(1990), bahwa penyelesaian konflik melalui jalur legal formal yang akan diperoleh
ada lah 'menang-kalah' atau 'gembira-kecewa'. Oleh karenanya, cara ini hanya akan
ditempuh bila: (1) Upaya penyelesaian melalui perundingan mengalami jalan buntu;
(2) Tingkat pelanggaran/tuntutan telah me lampaui batas toleransi, dan (3)
Merupakan kebiasaan dan kepentingan Guna membahas lebih detil mengenai hal ini,
ada baiknya meng uraikan kembali secara ringkas beberapa program kegiatan
kehutanan yang dapat dipertimbangkan sebagai upaya pendekatan (pencegahan serta
penanggulangan) konflik, sebagai berikut:

1. Kegiatan Bina Desa Hutan (BDH) atau Pembinaan Masyarakat Desa Hutan
(PMDH), yang telah dikemukakan terdahulu dikenakan bagi setiap pengusaha
hutan (diberlakukan sejak tahun 1991). Bila dilihat dan tujuan utamanya yaitu
menyejahterakan masyarakat lokal me rupakan upaya: (a) Menumbuhkan
pandangan positif (positive image) masyarakat atas empati (empathy)
pengusaha hutan; serta (b) Men dorong terjalinnya kerjasama saling
menguntungkan (mutualism coo peration) antara pengusaha hutan dengan
masyarakat di sekitarnya. Tetapi upaya yang didasarkan pada pemikiran top-
down serta asumsi terbatas bahwa program-program 'gaya amal (charity
programs) mampu meredam konflik laten dan bahkan menciptakan kelestarian
hutan, jelas tidak mengarah pada substansi tuntutan yang berkem bang di
masyarakat lokal. Tuntutan dimaksud menyangkut peng akuan penguasaan
dan keamanan akses terhadap sumberdaya hutan. Bahkan ada kesan, bahwa
interdependensi hutan dan masyarakat dicoba untuk dialihkan kepada sumber-
sumber pendapatan non kehutanan, pola dan nilai tradisional dicoba
dimmodernisasikan me lalui program pembangunan desa atau pemberdayaan
masyarakat. Ketidakseriusan sebagian besar pengusaha hutan dalam
melaksana kan kegiatan PMDH dimaksud menambah pandangan negatif dari
masyarakat, karena mereka merasa dibohongi (lihat kembali Wentzel, 1997).

2. Programe Hatan Kemasyarakatan (UKm; sejak tahun 1995), yang juga


dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat sesuai dengan fungsi pokok
hutannya (Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang tidak dibebani hak
pengusahaan lain--sesuai dengan Surat Keputus an Menteri Kehutanan No.
31/2001), meski lebih dekat dengan ke pentingan masyarakat lokal atas
pengelolaan sumberdaya hutan, terapi belum menjamin pengakuan hak
penguasaan sumberdaya dan keamanan kepentingan jangka panjang (long-
term security) daripada manfaat dan fungsi hutan yang dapat dinikmati
masyarakat. Hal ini mengingat sumberdaya hutan yang menjadi obyek
pengusahaan tetap dalam penguasaan negara; perumusan aturan mainnya
dilaku kan lebih dominan oleh pihak pemerintah sendiri, tidak terkecuali
menyangkut pembatasan areal yang dapat dikelola masyarakat. Per masalahan
lain yang menambah ketidakyakinan (pessimism) masya rakat luas atas
alternatif ini oleh karena hingga saat tulisan ini disusun (tahun 2001/2002),
program HKm hanya berubah-ubah di atas meja (dalam arti berganti-ganti
kebijakannya), hanya menjadi ajang per debatan wacana (lihat Raharjo, 2001)
dan belum ada bentuk konkret yang berhasil diterapkan, kecuali dalam skala
uji coba atau proyek. Bahkan ada yang berpandangan sinis (stereotype),
bahwa hutan ke masyarakatan tidak lebih dari upaya memanfaatkan tenaga
masyara kar dalam merehabilitasi dan mengamankan kawasan-kawasan hutan
yang telah tidak produktif lagi

3. Prandany kampesan kepada masyarakat di dalam dan di sekitar hutan (oratoh


SK. Gubernur Kalimantan Timur No. 20/2000 tentang Pe netapan Dana
Kempensasi kepada Masyarakat di Dalam dan Se katar Hutan di Propinsi
Kalimantan Timur. Sebagai catatan bahwa Gubernur Propinsi Irian Jaya
melalm SK No. 13/2000 telah lebih awal menetapkan Standar Kompensasi
bagi Masyarakat Adat atas Kayu yang Dipungut pada Areal Hak Ulayar di
Propinsi Irian Jaya) Penerbitan keputusan ini sebenarnya merupakan upaya
menertibkan besaran kompensasi yang ndak seragam pada saat penyelesaian
konflik oleh masing-masing pengusaha perkayuan dan/atau diwakil oleh
Asosiasi Pengusaha Hutan dengan pihak masyarakat lokal, yang justru
semakin memperluas eskalasi konflik (counter producte. Akan tetapi, karena
dalam penetapannya pihak masyarakat merasa tidak terwakili aspirasinya,
sehingga dana kompensasi yang diterapkan oleh pemerintah Propinsi
dipandang terlalu kecil dan tidak se banding dengan kerugian materiil dan
moril yang dialami sekian lama, maka banyak kelompok masyarakat yang
menolak serta lebih uka untuk mengadakan negosiasi langsung dengan pihak
perusaha an yang menjadi lawan bersengketa. Hal penting yang perlu dike
mulakan, bahwa upaya menyelesaikan kontak dengan cara pem berian
kompensasti, pada dasarnya tidak menyangkut pada akat pet masalahan
konflik itu sendiri, sehingga bersifat sementara (temporary rad atau paling
lama selama durasi kegiatan perusahaan

4. Penerlotan In-gun Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan/atau Penguatan Hutan


skala kecil kepada perorangan ataupun kopenan, dalam hal ini di berikan oleh
banyak pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera dan Kalimantan, dimulai
sejak tahun 2000. Berdasarkan pengalaman di beberapa tempat hanya berhasil
meredam (dalam arti menurunkan intensitas) konflik vernkal sementara waktu
dan justru telah mem perluas konflik horisontal (lihat Bab 3). Kondisi ini
terjadi akibat berbagai faktor antara lau Pertama, masyarakat lokal sebagai
suatu sistemi sosial sebenarnya terbagi atas sub-suls-sistem yang lebih kecil
yang masing masing sub- sistem dan bahkan individu anggotanya bisa
memiliki kepentingan dan latar belakang budaya dalam arti luas, seperti mata
pencaharian, pendidikan, sub etnis, dan lain lain) yang berbeda. Keadaa, pada
dasarnya ikatan kohess yang dimiliki masyarakat

D. Konsep Partisipasi Dan Bekerja Bersama Masyarakat

Secara jujur harus diakui, bahwa konflik sosial yang meletus dan meluas sejak
tuntutan reformasi disampaikan tahun 1998 hanyalah me rupakan satu dari banyak
buah' politik (termasuk politik kehutanan) Pemerintah Orde Baru yang sentralistik
dan otoriter selama kurun waktu yang demikian panjang. Dengan demikian tidaklah
berlebihan apa yang dikemukakan oleh Putra (1999), bahwa politik sentralisasi me
rupakan pangkal dari segala persoalan. Rezim berkuasa yang demikian kuat telah
menutup peluang bagi parapihak kehutanan yang lain ter utama masyarakat lokal di
lapisan bawah (grass roof) untuk turut ber partisipasi dalam proses pembuatan dan
pengambilan keputusan, meskipun kebijakan atau upaya yang akan dilaksanakan
tersebut akan terkait obyek (dalam bahasan kita adalah sumberdaya hutan) yang erat
dengan kehidupan dan masa depan mereka (lihat juga Ross, 1993).

Sementara Körten (1983), berdasarkan pengalaman pembangunan di beberapa


negara berkembang di Afrika, Asia, dan Latin Amerika, me ngemukakan bahwa
sistem pendekatan yang sentralistik memiliki empat kelemahan utama, yaitu:

1. Ketercapaiannya yang terbatas (limited reach). Hampir tidak mungkin bagi


para pekerja pemerintah (government funded and supervised professionals
untuk secara efektif sampai ke seluruh desa, khususnya pada wilayah wilayah
pedalaman yang terpencil. Beberapa pelayanan pemerintah yang diberikan
hanya mampu mencapai 15-20% dari kelompok sasaran, akibat dari
ketidakmampuan pemerintah untuk menyedia kan tenaga dan fasilitas yang
memadai, serta juga ketidakmampuan untuk menjamin pengawasannya secara
efektif. Akhirnya diputuskan untuk menambah tenaga pembantu dari
masyarakat lokal (millage based worker) yang digaji dan diawasi oleh warga
setempat sendiri (contoh diambil dari program pelayanan kesehatan di India);

2. Ketidakmampuan untuk melestarikan aksi-aksi lokal yang diperlukan (lack of


sustained local level action). Proyek-proyek pembangunan secara umum
menyediakan berbagai fasilitas baru tanpa dukungan yang memadai bagi
pengoperasiannya serta perawatannya. Secara umum perencana perencana
proyek beranggapan, bahwa rugas-tugas ini akan diambil alih oleh kelompok-
kelompok lokal. Apabila permasa lahan ini tidak diperhatikan, maka
berdasarkan pengalaman kegiatanan-kegiatan (pengoperasian dan perawatan)
tidak pernah dilakukan Akhirnya disimpulkan pentingnya untuk menyertakan
masyarakat lokal dalam perencanaan dan pembangunan sehingga memungkin
kan pengembangan keterampilan dan menumbuhkan komitmennya guna
pengoperasian dan perawatan fasilitas yang lebih efisien (con toh diambil dari
proyek pembangunan fasilitas irigasi di Filipina);

3. Keterbatasan adaptibilitannya terhadap kondist lokal (limited adaptability to al


arcumstance). Pelayanan pelayanan pemerintah yang secara umum didesain
oleh para perencana di Pusat yang pemahamannya tentang kebutuhan
sesungguhnya dari calon kelompok sasaran sangat terbatas. Apalagi bahwa
kebutuhan semacam itu seringkali beragam antar kelompok masyarakat yang
satu dengan lainnya, dan hal ini seringkali tidak diperhitungkan dalam
perencanaan. Akibat nya seringkali tidak sesuai antara jasa pelayanan yang
dibutuhkan dengan kebutuhan masyarakat lokal, dan berlanjut pada kurang
ber manfaatnya pelayanan (underutilization) serta pemborosan sumber daya
(aaste of resource). Guna mengatasi pengalaman buruk ini, maka berbagai
pelayanan pemerintah pada kawasan desa-desa bertetangga dipusatkan pada
satu atap guna mempermudah koordinasi antar instansi pelayanan dan
berkolaborasi dengan organisasi lokal dalam mengidentifikasi kebutuhan lokal
(contoh diambil dari program modul pelayanan warga masyarakat di
Venezuela);

4. Menciptakan ketergantungan (the creation of dependency). Kemampuan be


berapa kelompok masyarakat miskin untuk dapat bertahan hidup pada kondisi
yang kurang menguntungkan menunjukkan bahwa mereka cukup terampil
dalam mengatasi kebutuhan dasarnya, walau pun untuk ukuran masyarakat
umum hal tersebut di bawah standar hidup yang dapat ditolerir. Seringkali
program program pemerintah yang berusaha memperbaiki kondisi semacam
itu tidak diarahkan pada penguatan kapasitas untuk mandin (self-help action),
melainkan mengerjakan hal yang sama dengan pemerintali sebagai pengambil
keputusan dan penyedia sumberdaya. Akibatnya, masyarakat men jadi sangat
tergantung kepada pemerintah dan kehidupannya jauh lebih sulit daripada
sebelumnya. Berbekal dari pengalaman ini, maka diputuskan untuk membuat
perencanaan pembangunan secara ter desentralisasi agar dapat membawa
contoh dia pembangun an lebih dekat dengan masyarakat (contoh diambil dari
program peningkatan kapasitas kemandirian masyarakat di Tanzania).

Kolom 4.4. Tipe-tipe Partisipasi Masyarakat

1. Partispasi Pasif (Passt Participation), Masyarakat berperan serta de ngan


melalui pemberitahuan/arahan dari satu sisi (penyelenggara pro
yek/program kegiatan a.l. Pemerintah atau perusahaan);

2. Partisipasi dalam Pemberian Informasi (Participation in Information


Giving). Masyarakat berperan serta dengan sekedar menjawab per tanyaan-
pertanyaan yang diajukan kepada mereka sehubungan dengan suatu
kegiatan proyek/program kegiatan;

3. Partisipasi dengan Konsultasi (Participation by Consultation). Berbeda


dengan butir dua di atas, masyarakat di sini berperan serta dengan cara
memberikan saran-saran/pandangan atas permasalahan yang sedang
dihadapi dalam rangka suatu proyek/program kegiatan;

4. Partisipasi untuk Insentif Materi (Participation for Material Incentives),


Masyarakat berparusipasi dengan pemberian kompensasi atas jasa yang
diberikan atas suatu kebutuhan (misal suatu proyek atau program ke
giatan);

5. Partisipasi secara Fungsional (Functional Participation). Masyarakat


berperan serta dengan membentuk kelompok-kelompok kecil guna
meinenuhi tujuan proyek/program kegiatan yang telah ditetapkan:

6. Partisipasi Interaktif (Interactive Participation), Masyarakat berperan serta


dalam analisis bersama pelaksana proyek/program kegiatan me falui upaya
memfungsikan peran kelembagaan yang sudah ada di masya rakat. Tipe
partisipasi ini yang umum dikembangkan saat ini;

7. Mobilisasi secara Mandiri (Self mobilization). Masyarakat berperan serta


dalam suatu proyek/program kegiatan berdasarkan inisiatif sendin tanpa
tergantung dengan pihak luar.

Sumber: IED (1984) dalam Desmond (1996), dengan perubahan.

Guna mengetahui secara detil perbedaan keempat bentuk kerja sama di atas,
kita mencoba menguraikannya satu persatu sebagai berikut (Himmelman, 1994;
dengan beberapa perubahan):

1) Jaringan Kerja (Networking), adalah pertukaran informasi (exchanging


information) yang saling menguntungkan (mutual benefit). Merupakan
pertalian (linkages) antar parapihak/organisasi yang paling informal dan
paling mudah dilaksanakan. Jaringan kerja merefleksikan langkah awal dari
kerpercavaan (trust) dan kesepakatan (commitment) antar
parapihak/organisasi. Bentuknya bisa bermacam-macam, se perti forum,
aliansi, kelompok kerja dan lain-lain,

2) Koordinasi (Coordination), adalah pertukaran informasi dan per ubahan


aktivitas (altering activities) yang bersifat saling menguntung kan serta dalam
rangka mencapai tujuan bersama (common purpose) Dibandingkan dengan
jaringan kerja, maka dalam koordinasi lebih mensyaratkan keterlibatan aktif
secara organisasi;

3) Kerjasama (Cooperation) sedikit berbeda dengan koordinasi, dimana selain


ada pertukaran informasi dan perubahan aktivitas yang saling menguntungkan
juga ada pengkontribusian sumberdaya (haring resources). Kerjasama bahkan
memerlukan komitmen yang lebih besar secara organisasi dibandingkan
koordinasi, serta dalam beberapa kasus memerlukan aspek legal.

4) Kolaborasi (Collaboration) jauh lebih komplit lagi dibandingkan koor dinasi


dan kerjasama, dalam arti di samping ada pertukaran infor masi, perubahan
aktivitas dan pengkontribusian sumberdaya, juga mencakup peningkatan
kapasitas pihak lainnya guna keuntungan bersama serta dalam rangka
mencapai tujuan bersama.

Kolom 4.5. Profil Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM)

FKKM adalah wahana komunikasi antar parapihak (multipihak) dalam


pengembangan kegiatan kehutanan masyarakat (community forestry) di Indo nesia,
didirikan pada bulan September 1997 di Fakultas Kehutanan Univer sitas Gadjah
Mada. Anggota FKKM bersifat perorangan atau mewakili ber bagai organisasi,
dari Departemen Kehutanan, Perguruan Tinggi, Badan Usaha Milik Negara
(Perhutani dan Inhutani), Lembaga Swadaya Masyara kat, (dan selanjutnya) pihak
swasta (BUMS dan Asosiasi) serta masyarakat (adat dan lokal).
Pembentukan FKKM bertujuan untuk: (1) Menjaring dan menyeleksi
informasi tentang kegiatan kehutanan masyarakat, baik yang sudah ada mau pun
yang sedang dalam taraf pembangunan yang tersebar di seluruh Indo nema: (2)
Mengembangkan aspek pemberdayaan kepada masyarakat tradi sional dan asli
(genus) yang secara nyata memiliki sistem nilai sosial ekonomi dan budaya sendin
dalam mengelola hutan secara lestari (3) Me lakukan komunikasi, diskusi, dialog
dan dengar pendapat dengan peme tah melalui Departemen Kehutanan, mengenai
berbagai masalah ke hutanan masyarakat, dengan maksud membahas dan
memberikan masukan untuk menyempurnakan kebyakan dan pelaksanaan
pembangunan kehutan an yang memperhatikan aspirasi masyarakat yang sudah
ada, dan bila dh mungkinkan membuat kebijakan baru yang relevan dengan
kegiatan kehu tanan masyarakat

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut di atas, kegiatan FKKM men cakup


(1) Mengadakan pertemuan secara reguler, (2) Melaksanakan studi banding
(comparative studier) baik di dalam ataupun ke luar negeri, (3) Me laksanakan
lokakarva (workshop) dan semacamnya yang berkaitan dengan kehutanan
masyarakat. (4) Melakukan penelitian bersama, multidisiplin untuk pengembangan
kehutanan masyarakat di Indonesia, (5) Menerbitkan publikasi dalam bahasa
Indonesia dari penerjemahan dan hasil penelitian. dan (6) Melakukan kerjasama
dengan jaringan kerja lainnya.
5) Pemberdayaan Masyarakat Dan Fenguatan Masyarakat Sipil

Berdasarkan studi yang dilaksanakan oleh Organization for Economic


Cooperation and Developer (OECD, l'aris), baliwa elemen kunci dalam pembangunan
partisipauf (parncipatory development) dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu:
Pertama, pelibatan penuh, integrasi dan partisipasi dari seluruh kelompok dalam
proses pembangunan (hal ini sudah di bahas dalam bab terdahulu), serta; Kedua,
memperkuat modal manusia (human capital lihat Taniguchi, 1992).

Konsepsi yang dibangun atas dasar pengalaman tersebut di atas, tentu saja
juga berlaku bagi kegiatan pembangunan kehutanan. Pe nguatan modal manusia
diperlukan agar partisipasi dan kerjasama yang dibangun bersifat setara atau tidak ada
dominasi/penguasaan salah satu pihak kepada pihak yang lain. Mengingar dalam
bidang kehutanan pihak masyarakat lokal yang hingga saat ini dalam kenyataannya
dari sisi kapa sitas tawar (bargaining pour) akibat keterbatasan finansial, pendidikan
dan wawasan-adalah yang paling lemah, maka kapasitas ini harus di tingkatkan
Konsepsi inilah yang secara luas dikenal dengan upaya pem berdayaan masyarakat
tempowering local community). Masyarakat yang ber daya, dalam konteks kita di
sini, adalah yang memiliki kapasitas dalam menetapkan prioritas dan pengendalian
atas sumberdaya hutan yang sangat penting bagi upaya untuk menentukan nasib
mereka sendiri. Sumodiningrat (1997) mengemukakan, bahwa keberdayaan
masyarakat secara umum adalah unsur-unsur yang memungkinkan suatu masyarakat
bertahan hidup dan dalam pengertian yang dinamis mengem hingan dus dan
mencapai tujuan hidup. Dengan keberdayaan tinggi, masyarakat tidak saja akan
mampu mempertahankan hak-haknya (ter mank dalam pengambilan keputusan),
terutama dalam berhubungan dengan pihak luar (misalnya pemerintah ataupun pihak
pengusaha

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat lokal sekitar hutan amat tal penting
adanya suatu kolaborasi antar berbagai pihak. Hal ini meng at tidak saja cukup
luasnya distribusi kelompok sasaran dibanding k dengan keterbatasan sumberdaya
yang dimiliki pemerintah, tetapi juga spesifikasi tantangan yang harus diselesaikan
tidak terlepas dari spesttikast ekologis dan sosio-kultural lokal yang cukup beragam
antara satu tempat dengan tempat lainnya Dengan kata lam, peran pihak swasta
(dalam hal ini terutama pengusaha perkayuan) dan organisasi non-pemerintah (non-
govermental organizations, atan Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM) dalam rangka
bekerjasama dengan pemerintah akan sangat membantu proses pemberdayaan. Hal
yang perlu diperhatikan, bahwa pemberdayaan secara kolaboratif (collaborative
empowerment) ber beda dengan upaya perbaikan masyarakat secara kolaboratif
(collaborative betterment). Pada upaya bettenvent proses dimulai dari luar
masyarakat, dan selanjutnya masyarakat hanya dilibatkan dalam proses yang didesain
dan dikontrol oleh pihak-pihak yang lebih besar. Sedangkan pember dayaan, dimulai
dalam masyarakat dan selanjutnya dibawa keluar ke institusi publik (dalam hal ini
Instansi Kehutanan), pihak swasta (per usahaan) dan lembaga-lembaga lainnya (lihat
Himmelman, 1994).

Pemahaman mengenai konsepsi pemberdayaan secara kolaborasi seperti


ditunjukkan pada Kolom 4.6., kiranya akan memudahkan atau membantu kita dalam
menyikapi tinjauan yang dilakukan oleh Sinyal dan von Gemmingen (2001) terhadap
berbagai bentuk pola kemitraan (partnership) antara masyarakat lokal dengan
perusahaan di bidang kehu tanan dan perkebunan di Sumatera dan Kalimantan.
Menurut hasil tinjauan tersebut, ternyata berbagai pola kemitraan tersebut belumn
mampu memberdayakan masyarakat, dalarn arti meningkatkan kapa sitas tawar
mereka guna mempengaruhi dan memantau aspek-aspek penting dalam kegiatan
(lihat Kolom 4.7.). Padahal pola-pola kemitraan seperti itu diharapkan berpotensi
sebagai alternatif penyelesaian per masalahan konflik lahan yang terjadi saat ini di
bidang kehutanan, ter utama antara perusahaan dan masyarakat lokal (lihat
SFMP/GTZ, 2000).

Anda mungkin juga menyukai