Anda di halaman 1dari 3

TELAAH KRITIS ARTIKEL PROF.

MUDJIA RAHARDJO
“ANDAI AHOK BELAJAR SOSIOLINGUISTIK”
Oleh: Ach. Rifqiy Al Nabiil
Dalam tulisan ini, penulis menelaah dua artikel Prof. Mudjia Rahardjo, yang ditulis dalam
judul yang sama di blog pribadi beliau yang terdiri dari dua bagian. Sesuai dengan judul
artikel di atas, yang terpublikasikan pada tanggal 24 Maret 2015 (tulisan 1 –
bersambung) dan 9 April 2015 (tulisan 2 – habis).
Latar belakang kejadian adalah ketika pemberitaan media, baik cetak maupun elektronik
(Televisi dan digital) dengan masif memberitakan perseteruan antara Ahok (Basuki
Tjahaja Kusuma) yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota
Jakarta dengan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta yang
berkaitan denga transparansi dana APBD tahun 2015.
Prof. Mudjia memberikan sebuah ilustrasi kejadian yang berangkat dari ideologi gaya
kepemimpinan Ahok yang tegas, lugas, tanpa aling-aling, ceplas-ceplos dan sangat enteng
membuka ke ruang publik untuk mengungkapkan keganjilan dalam temuannya. Dan
pada saat itu, temuannya yang berujung pada statementnya di ruang publik adalah
terdapat “siluman” anggaran dalam APBD DPRD DKI.
Tentunya dengan statement yang dibumbui dengan penyebutan siluman, itu menjadikan
sebuah ikon dalam headline-headline pemberitaan secara masif berskala nasional.
Pembahasan disana sini dengan tambahan keterangan dari pakar-pakar level nasional
yang dihadirkan dalam diskusi publik (disiarkan di TV) membuat perseteruan ini
meruncing.
Pada intinya, Prof. Mudjia memberikan perhatian fokus pada mengapa harus diutarakan
dengan cara yang seperti itu? Kata-kata atau statment pada ruang publik yang cenderung
ke kasar, ceplas ceplos, dengan tambahan kata-kata kasar. Padahal bahasa adalah sebuah
keindahan. Dalam artikel yang saya pahami, harusnya setiap bahasa yang diucapkan
manusia harus yang baik-baik. Teringat potongan hadist Nabi Muhammad SAW yang
berbunyi, “fal yaqul khoiron au liyasmut”, yang artinya hendaklah mengatakan yang baik-
baik, seandainya tidak bisa berkata baik, maka lebih baik diam. Karena setelah bahasa itu
ada di ruang publik, maka tujuh kuda sekalipun tidak dapat menarik kembali bahasa yang
telah terlontar dari ulut. Begitu Prof. Mudjia dalam pemaparannya.
Dan mungkin juga, saya yakini sudah banyak nasehat dan masukan yang masuk ke
telinga pak Ahok waktu itu, tetapi dalam perjalanan kepemimpinannya yang selalu
dibumbui dengan konflik sosial yang berawal dari salahnya dalam berbahasa (etika
berbahasa yang selaras dengan adat ketimuran).
Hal ini berujung pada kasus yang dianggap penistaan agama yang mencatut namanya.
Kejadian di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu pada tanggal 27 September 2016, saat
kunjungan kerja dimana dalam sambutannya yang berujung terlontarnya kutipan dan
penafsirannya tentang Q.S. Al Maidah ayat 51 yang berujung pada penolakan secara
verbal dan masif tentunya oleh mayoritas muslim di Jakarta bahkan juga sampai ke
daerah-daerah se Indonesia. Bahkan Majelis Ulama Indonesia yang pada saat itu diketuai
oleh KH. Ma’ruf Amin (Wakil Presiden RI saat ini) juga memberikan statement resmi yang
intinya tidak menerima dengan cara Ahok masuk dalam ranah penafsiran ayat Alquran
tersebut. Pada tanggal 6 Oktober 2016, berawal dari postingan ahli IT, Buni Yani dalam
laman Facebooknya dengan tagline “Penistaan Agama; karena dibohongi Surat Al Maidah
51”. Postingan ini berhasil memblowup ruang publik untuk berbahasa dalam berbagai
dimensi, para ahli tafsir, ahli bahasa, ahli komunikasi dan para pengamat politik baik pro
maupun kontra semua menjadi ramai dan “mungkin” tertunggangi oleh wacana politik
karena pada saat itu akan dilangsungkannya hajatan pemilihan gubernur DKI di awal
tahun 2017, yang notabene Ahok menjadi petahana yang mencalonkan diri kembali.
Puncaknya berkumpulnya massa yang dimotori oleh Front Pembela Islam, pimpinan
Habib Rizieq Syihab dan diikuti oleh para habaib dan kyai di jabodetabek beserta seluruh
jama’ahnya, bahkan ada yang berangkat dari luar jawa dengan modal sendiri menaiki
pesawat hanya untuk mengatas namakan aksi bela islam. Yang aksi tersebut puncaknya
pada tanggal 2 Desember 2016 yang dikenal dengan Aksi 212. Mulai saat itu, perpecahan
terjadi tidak hanya dari kalangan elit politik, tapi juga perpecahan dalam tubuh Islam itu
sendiri. Bahkan saya rasa dampaknya hingga saat ini masih terasa dan membekas.
Saya memahami artikel Prof. Mudjia dengan latar waktu saat dipublikasikan dengan
mengangkat perseteruan Ahok dengan DPRD DKI, dengan membayangkan andaikata
Ahok belajar sosiolinguistik, tentunya sudah terbukti nyata efeknya setahun setelahnya
(diposting bulan april 2015, kejadian 27 September 2016, puncaknya 2 Desember 2016).
Betapa disiplin ilmu Sosiolinguistik memegang peranan yang sangat vital bagi kalangan
elit politik atau tokoh publik untuk bisa menjadi filter terdepan agar tidak sampai terjadi
fenomena kegaduhan yang sudah terceritakan di paragraf sebelumnya.
Dalam artikel Prof. Mudjia, dipaparkan bahwa Sosiolinguistik adalah disiplin ilmu yang
merupakan gabungan antara sosiologi dan linguistik. Tentunya pemahaman mendalam
tentang sosiolinguistik ini merupakan sebuah hal yang pokok bahkan wajib dimiliki oleh
pejabat publik, elit politik atau tokoh publik. Tidak hanya dalam ranah pemerintahan saja,
bisa juga masuk ranah dunia hiburan yang di dalamnya banyak artis, penyanyi, komedian,
dll yang mereka juga memiliki basis pengikut besar (fans). Apalagi makin maraknya
digitalisasi (dunia maya), tentunya sosiolinguistik harusnya sudah menjadi sebuah
identitas bangsa dalam berbahasa. Konflik sosial bisa dimulai dari mana saja, kapan saja
dan oleh siapa saja karena hal sepele perkara blunder dalam berbahasa. Terutama dengan
kekuatan medsos, yang hal kecil saja bisa sangat cepat viral. Seperti belakangan hanya
perkara kata “anjay” yang diangkat oleh salah satu artis pendatang baru yang dianggap
ingin mencari perhatian publik saja dan berhasil meramaikan publik jagad maya maupun
nyata. Hal ini menjadikan perkara bahasa ada pada lini yang terdepan di era milenial ini
(menuju revolusi industri 5.0).
Kembali dalam telaah kritis pada artikel yang saya baca, Prof. Mudji memberikan
beberapa kemungkinan-kemungkinan logis nan rasional kenapa Ahok berkomunikasi
dengan cara seperti ini (kasar, blak-blakan dll). Mulai dari kemungkinan akan kurang
tahunya Ahok tentang kekuatan bahasa simbolik, juga mungkin lupa akan fungsi bahasa,
bahkan sampai kemungkinan bahwa Ahok lupa bahwa dirinya adalah tokoh publik
(gubernur). Dan atas dasar alasan ketiga ini juga yang meresahkan diri Prof. Mudji akan
kekhawatiran cara berbahasa yang seperti itu akan mengilhami para simpatisan dan
pengikutnya, dan menjadikan gaya berbahasa seperti itu adalah sebuah hal yang positif.
Juga pada tulisan artikel yang kedua, Prof Mudjia memetakan beberapa pandangan dari
berbagai sudut pandang. Dari ranah sosiolinguitik, bahasa yang terlontar menurut kaum
strukturalis adalah gambaran kegundahan (kekecewaan, kekesalan) dari pengucapnya.
Ditambah dengan gestur yang mengekspresikan dan menguatkan analisis ini. Juga secara
sosiologis, sebagai pemimpin dari kaum minoritas, (disini saya memahami tulisan beliau
bahwa Ahok berasal dari etnis tionghoa, atau juga seorang kepala daerah yang beragama
Nasrani yang notabene penduduk yang dipimpinnya mayoritas muslim) ingin
menunjukkan bahwa dirinya adalah pemimpin sejati, yang pada akhirnya pemahaman
saya ini terjawab di akhir artikel sebagai cara pandang antropolinguistik.
Di akhir telaah kritis saya ini, ingin juga mengangkat fenomena yang menurut saya juga
karena faktor kegagalan atau kealpaan bersosiolinguistik. Habib Rizieq Syihab atau
khalayak menyebut beliau dengan sebutan HRS. Bermula dari perlawanan beliau dengan
basis pengikutnya (FPI) yang masif di Aksi 212, berujung sampai beliau harus “hijrah” ke
Arab Saudi, sampai pada akhirnya beberapa bulan yang lalu kembali ke tanah air di
tengah musim pandemi Covid 19 dengan statment beliau yang menegaskan bahwa
kepulangannya tidak ada sama sekali usaha dari pihak pemerintah dan bahkan
cenderung mensabotase. Disini jelas terjadi sebuah fenomena perseteruan antara HRS
versus pemerintah. Masyarakat bermingggu-minggu tersuguhkan dengan berita-berita
yang serupa seperti kejadian Ahok terdahulu, sampai beredar rekaman viral yang
didalamnya terdapat ujaran cacian dan perlawanan bahkan ejekan kepada simbol negara
(Presiden RI) dan ini disampaikan di ruang publik dalam acara Maulid Nabi Muhammad
SAW. Diluar pelanggaran protokol kesehatan yang dijadikan dasar penangkapan HRS,
saya sebagai seorang muslim sendiri pun sangat menyayangkan dengan bahasa-bahasa
yang terucap dan terlontar dari HRS sendiri atau habaib-habaib lainnya yang diamini oleh
simpatisan yang hadir yang melahirkan embrio konflik sosial. Ini tentu melenceng dari
nilai-nilai keislaman sebagai agama yang damai. Saya hanya membahas dari cara
pandang sosiolingusitik seperti cara Prof. Mudjia memandang kasus Ahok dalam
kasusnya.
Dan menurut saya, terdapat persamaan antara Ahok dan HRS, yaitu: pertama, sama-sama
memiliki basis pengikut yang kuat. Kedua, Sama-sama berada di ujung spektrum
kekuatan politik (Ahok sebagai ikon politik kiri, HRS sebagai ikon politik kanan). Dan
pada tiap masing-masingnya memiliki pengikut atau simpatisan yang besar jumlahnya.
Tidak hanya pengikut secara riil saja, tapi juga masuk pada dunia maya. Bisa jadi,
pengagum HRS dalam medsosnya hanya akan mengikuti akun-akun yang ada
hubungannya dengan HRS dan yang sepaham dengannya. Pastinya akan antipati bahkan
menolak lawannya (politik kiri). Sudah bisa dibayangkan akhirnya bermunculan istilah
twit war, buzzer, dll. Ini adalah efek negatif dari media sosial yang justru membuat kita
menjadi anti sosial. Ketiga, beliau berdua sama-sama tokoh yang kontroversial. Istilah
kontroversial bukan berarti negatif, melainkan setiap tingkah laku, bahasa dan apapun
yang ada hubungannya dengan keduanya selalu tidak luput dari perbincangan publik.
Maka seyogyanya para tokoh publik, elit politik, bahkan selevel Artis yang punya basis
fans yang besar, harus bersosiolinguistik.
Maka telaah ini saya tutup dengan tagline, “Andai seluruh warga Indonesia belajar
sosiolingusitik”. Ini adalah bentuk semangat bahwa sangat penting untuk mempelajari
sosiolinguistik seperti dalam artikel Prof. Mudjia Rahardjo dalam kehidupan berbangsa
setanah air.
Malang, 29 Januari 2021

Anda mungkin juga menyukai