Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA ( BPH )

DI SUSUN OLEH :

RARA AYU DIYA KARTIKA B.S.R

1920006

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN SEMESTER V


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAHSURABAYA
2020 - 2021
A. Pengertian BPH
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker,
(Corwin, 2000).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan.
Price&Wilson (2005).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesanan prostat yang jinak
bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atauhiperplasia fibromuskular. Namun orang sering
menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secarahistologi yang dominan adalah
hyperplasia (Sabiston, David C,2004)
BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar
prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan
menyumbat aliran urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi
patologis yang paling umum pada pria. (Smeltzer dan Bare, 2002)
B. Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui.
Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor
lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan Ada beberapa factor
kemungkinan penyebab antara lain :
1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma
dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan
testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel
dari kelenjar prostat.
5. Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit ( Roger Kirby,
1994 : 38 ).
C. Tanda dan Gejala
1. Gejala iritatif meliputi :
a) Peningkatan frekuensi berkemih
b) Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
c) Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda (urgensi)
d) Nyeri pada saat miksi (disuria)
2. Gejala obstruktif meliputi :
a) Pancaran urin melemah
b) Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
c) Kalau mau miksi harus menunggu lama
d) Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
e) Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
f) Urin terus menetes setelah berkemih
g) Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinensia karena
penumpukan berlebih.
h) Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi produk sampah
nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume residu yang besar.

3. Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa
tidak nyaman pada epigastrik.
Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi :
a) Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing tak puas,
frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari
b) Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan mengeluh
waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam bertambah hebat.
c) Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa timbul
aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan dapat
menyebabkan pielonfritis, hidronefrosis.

D. Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari
dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang
dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona,
antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan
periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut
akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di
perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung
pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah
menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar
prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.

Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan
pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang
disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra
daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara
garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika
dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat
akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian
detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan
detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan
sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Pada
hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala
obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga
kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada
akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena
pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung
kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai
hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit
ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi
menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan
obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak
dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi
kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis
urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan
iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks
menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)
Pathway

Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :

a)
S
tadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
Kurang dari 150 cc

b)
S
tadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine
walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak
enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.

c)
S
tadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.

d)
S
tadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes
secara periodik (over flow inkontinen). Tidak keluarnya Urin

Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin
beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati
prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat
mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000)

Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko
urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria.
Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).

H. Penatalaksanaan Medis

Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung


pada stadium-stadium dari gambaran klinis

a. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan
konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan
terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi
tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat
ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.

b. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya
dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)

c. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat
sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya
dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans
vesika, retropubik dan perineal.
d. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi
urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive
dengan TUR atau pembedahan terbuka. Pada penderita yang keadaan umumnya tidak
memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif
dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif
adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.

Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat
dilakukan dengan:

1. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi
kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok
dubur.

2. Medikamentosa

a. Penghambat alfa (alpha blocker)

Prostat dan dasar buli-buli manusia mengandung adrenoreseptor-α1, dan


prostat memperlihatkan respon mengecil terhadap agonis. Komponen
yang berperan dalam mengecilnya prostat dan leher buli-buli secara
primer diperantarai oleh reseptor α1a. Penghambatan terhadap alfa telah
memperlihatkan hasil berupa perbaikan subjektif dan objektif terhadap
gejala dan tanda (sing and symptom) BPH pada beberapa pasien.
Penghambat alfa dapat diklasifikasikan berdasarkan selektifitas reseptor
dan waktu paruhnya
b. Penghambat 5α-Reduktase (5α-Reductase inhibitors)

Finasteride adalah penghambat 5α-Reduktase yang menghambat


perubahan testosteron menjadi dihydratestosteron. Obat ini mempengaruhi
komponen epitel prostat, yang menghasilkan pengurangan ukuran kelenjar
dan memperbaiki gejala. Dianjurkan pemberian terapi ini selama 6 bulan,
guna melihat efek maksimal terhadap ukuran prostat (reduksi 20%) dan
perbaikan gejala-gejala
3. Terapi Kombinasi

Terapi kombinasi antara penghambat alfa dan penghambat 5α-Reduktase


memperlihatkan bahwa penurunan symptom score dan peningkatan aliran
urin hanya ditemukan pada pasien yang mendapatkan hanya Terazosin.
Penelitian terapi kombinasi tambahan sedang berlangsung

4. Fitoterapi
Fitoterapi adalah penggunaan tumbuh-tumbuhan dan ekstrak tumbuh-
tumbuhan untuk tujuan medis. Penggunaan fitoterapi pada BPH telah
popular di Eropa selama beberapa tahun. Mekanisme kerja fitoterapi tidak
diketahui, efektifitas dan keamanan fitoterapi belum banyak diuji

5. Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi
ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih,
hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:

1. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)

Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui


sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.

2. Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada
kandung kemih.

3. Prostatektomi retropubis

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian


bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.

4. Prostatektomi Peritoneal

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara


skrotum dan rektum.

5. Prostatektomi retropubis radikal


Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis
dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian
bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker
prostat.
6. Terapi Invasif Minimal

1.Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)

Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke


kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.

2.Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy


(TULIP)

3.Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)


7. Pemasangan Kateter
Pemasangan kateter urine atau kateterisasi adalah prosedur untuk
memasukkan selang kateter melalui saluran kencing (uretra) menuju
kandung kemih. Di sinilah air kencing ditampung sementara
sebelum dikeluarkan dari tubuh.

I. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien
dengan BPH adalah :

a. Laboratorium
1). Sedimen Urin Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
saluran kemih.

2). Kultur Urin

Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan


sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.

b. Pencitraan

1). Foto polos abdomen

Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan
kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan
tanda dari retensi urin.
2). IVP (Intra Vena Pielografi)

Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau


hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.

3). Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)

Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa


urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.

4). Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika
dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
Konsep Asuhan Keperawatan Post Operasi BPH
1 Pengkajian
1. Anamnese :
a. Identitas : identitas digunakan untuk mengetahui klien yg mengalami BPH yang
sering dialami oleh laki –laki diatas umur 45 tahun (Rendy clevo, 2012)
b. Keluhan Utama : pada klien post operasi BPH biasanya muncul keluhan nyeri,
sehingga yang perlu dikaji untk meringankan nyeri (provocative/ paliative), rasa nyeri
yang dirasakan (quality), keganasan/intensitas (saverity) dan waktu serangan, lama,
(time) (Judha, dkk. 2012)
c. Riwayat penyakit sekarang: Keluhan yang sering dialami klien BPH dengan istilah
LUTS (Lower Urinary Tract Symtoms). Antara lain: hesistansi, pancaran urin lemah,
intermittensi, ada sisa urine pasca miksi, frekuensi dan disuria (jika obstruksi
meningkat).
d. Riwayat penyakit dahulu : tanyakan pada klien riwayat penyakit yang pernah
diderita, dikarenakan orang yang dulunya mengalami ISK dan faal darah beresiko
terjadinya penyulit pasca bedah (Prabowo, 2014)
2. Pemeriksaan fisik (Data Objektif)
a. Vital sign (tanda vital)
1) Pemeriksaan temperature dalam batas normal
2) Pada klien post operasi BPH mengalami peningatan RR (Ackley, 2011)
3) Pada klien post operasi BPH mengalami peningkatan nadi
4) Pada klien post operasi BPH mengalami peningkatan tekanan darah
(Prabowo,2014).
2 Pemeriksaan fisik ( B1-B6 )
Breathing (B1) : Jalan nafas bersih, memakai alat bantu frekuensi 22x/menit, irama
nafas teratur, suara vesicular. tidak nafas.
Blood (B2) : Irama jantung regular, Nadi 69x/ menit, kuat, Tensi Darah 137/62
mmHg, akral hangat CRT < 2 detik, tidak ada edema
Brain (B3) : Kesadaran composmentis, GCS 4,5,6, tidak kejang dan kelumpuhan.
Bladder (B4) : BAK dengan bantuan alat. Terpasang treeway, irigasi: kateter cairan
NaCL 0.9%, , terdapat plester di paha kanan, warna urine kuning, jumlah

urine 1000cc/jam. Terang.

Bowel (B5) : Tidak pernah BAB, tidak ada nyeri tekan, tidak terasa kembung,

tidak tidak terpasang NGT, mukosa rembesan tidak bibir kering,


lidah bersih.

Bone (B6) : Suhu 37oC, turgor baik, Suhu 36,2oC, turgor baik,
Integumen kekuatan otot. kekuatan otot
4 4 5 5

4 4 5 5
3.Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan agen injuri fisik (insisi sekunder pada TURP)
2. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan retensi urin
3. Resiko Infeksi berhubungan dengan prosedur infasiv pembedahan
4. Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi proses

4.Intervensi
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional
Keperawatan Hasil
1. Nyeri akut • Pain Level 1. Lakukan 5. Lakukan
berhubun • pain control pengkajian pengkajian
gan agen • comfort level nyeri secara nyeri secara
Injuri Setelah komprehensif komprehensif
fisik dilakukan termasuk termasuk
(insisi tindakan lokasi, lokasi,
sekunder keperawatan karakteristik, karakteristik,
pada selama …. durasi, durasi,
TURP) Pasien tidak frekuensi, frekuensi,
mengalami kualitas kualitas
nyeri, dengan dan faktor dan faktor
kriteria hasil: presipitasi presipitasi
1. Mampu 2. Observasi 6. Observasi
mengontrol reaksi reaksi
nyeri (tahu nonverbal dari nonverbal dari
penyebab ketidaknyamana ketidaknyama
2. nyeri, mampu n nan
menggunakan 3. Bantu pasien 7. Bantu pasien
tehnik dan keluarga dan keluarga
nonfarmakolog untuk mencari untuk mencari
i untuk dan dan
mengurangi menemukan menemukan
nyeri, mencari dukungan dukungan
bantuan) 4. Kontrol 8. Kontrol
3. Melaporkan lingkungan lingkungan
bahwa nyeri yang dapat yang dapat
berkurang mempengaruhi mempengaruh
dengan nyeri seperti i nyeri seperti
4. menggunakan suhu ruangan, suhu ruangan,
5. manajemen pencahayaan pencahayaan
nyeri dan dan
6. Mampu Kebisingan Kebisingan
mengenali 5. Kurangi faktor 5. Kurangi faktor
nyeri (skala, presipitasi nyeri presipitasi nyeri
intensitas, 6. Kaji tipe dan 11. Kaji tipe dan
frekuensi dan sumber nyeri sumber nyeri
tanda nyeri) untuk untuk
7. Menyatakan menentukan menentukan
rasa nyaman intervensi intervensi
setelah nyeri 7. Ajarkan tentang 12. Ajarkan tentang
berkurang teknik non teknik non
8. Tanda vital farmakologi: farmakologi:
dalam rentang napas dala, napas dala,
normal relaksasi, relaksasi,
distraksi, distraksi,
kompres hangat/ kompres hangat/
dingin dingin
8. Berikan analgetik 13. Berikan
untuk mengurangi analgetik untuk
nyeri mengurangi
9. Tingkatkan nyeri
istirahat 14. Tingkatkan
10. Berikan istirahat
informasi tentang 15. Berikan
nyeri seperti informasi
penyebab nyeri, tentang nyeri
berapa lama seperti
nyeri akan penyebab nyeri,
berkurang dan berapa lama
antisipasi nyeri akan
ketidaknyamanan berkurang dan
dari prosedur antisipasi
ketidaknyamana
n dari prosedur

2. • Urinary
Gangguan Urinary Retention Urinary Retention
elimination
eliminai Care Care
• Urinary 1. Monitor intake 1. Monitor
Urine b.d
Contiunence dan output intake dan
Retensi
Setelah dilakukan 2. Monitor output
Urin
tindakan penggunaan 2. Monitor
keperawatan obat penggunaan
selama …. retensi antikolinergik obat
urin pasien teratasi 3. Monitor derajat antikolinergik
dengan kriteria distensi bladder 3. Monitor
hasil: 4. Instruksikan derajat
1. Kandung pada pasien distensi
kemih dan keluarga bladder
kosong untuk mencatat 4. Instruksikan
secarapenuh output urine pada pasien
2. Tidak ada 5. Sediakan dan keluarga
residu urine privacy untuk untuk
>100-200 cc eliminasi mencatat
3. Intake cairan 6. Stimulasi output urine
dalam reflek 5. Sediakan
rentang bladder dengan privacy untuk
normal kompres dingin eliminasi
4. Bebas dari pada abdomen. 6. Stimulasi
ISK 7. Kateterisaai, reflek
5. Tidak ada jika perlu bladder
spasme 8. Monitor tanda dengan
bladder dan gejala ISK kompres
6. Balance (panas, dingin pada
cairan hematuria, abdomen.
seimbang perubahan bau 7. Kateterisaai,
dan konsistensi jika perlu
urine) 8. Monitor
tanda dan
gejala ISK
(panas,
hematuria,
perubahan bau
dan konsistensi
urine)
• Immune
3.
Status
• Knowledge 1. Pertahankan 1. Pertahankan
Resiko
: teknik teknik
Infeksi b.d
Infection control aseptif 2. aseptif
Prosedur
• Risk control 2. Batasi 3. Batasi
invasif
Pembedaha Setelah
pengunjung pengunjung
n dilakukan
bila perlu 4. bila perlu
tindakan
3. Cuci tangan 5. Cuci tangan
keperawatan
setiap sebelum setiap sebelum
selama……
dan sesudah dan sesudah
pasien tidak
tindakan tindakan
mengalami
keperawatan keperawatan
infeksi dengan
4. Gunakan baju, 6. Gunakan baju,
kriteria hasil:
sarung tangan sarung tangan
1. Klien bebas
sebagai alat sebagai alat
dari tanda
pelindung 7. pelindung
dan gejala
infeksi 5. Ganti letak IV 8. Ganti letak IV
2. Menunjukka perifer dan perifer dan
n dressing dressing
kemampuan sesuai dengan 9. sesuai dengan
untuk petunjuk petunjuk
mencegah umum umum
timbulnya 6. Gunakan 10. Gunakan
infeksi kateter kateter
3. Jumlah intermiten intermiten
leukosit untuk untuk
dalam batas menurunkan menurunkan
normal infeksi infeksi
4. Menunjukka kandung kandung
n kencing kencing
perilaku 7. Tingkatkan 11. Tingkatkan
hidup sehat intake nutrisi intake nutrisi
Status imun, 8. Monitor tanda 12. Monitor tanda
gastrointesti dan gejala dan gejala
nal, infeksi infeksi
genitourinari sistemik dan 13. sistemik dan
a dalam lokal lokal
batas normal 9. Pertahankan 14. Pertahankan
teknik isolasi teknik isolasi
k/p k/p
10. Inspeksi kulit 15. Inspeksi kulit
dan dan
membran 16. membran
mukosa mukosa
terhadap 17. terhadap
kemerahan, kemerahan,
panas, panas,
drainase drainase
11. Monitor 18. Monitor
adanya luka adanya luka
12. Dorong 19. Dorong
masukan masukan
cairan cairan
13. Dorong 20. Dorong
istirahat istirahat
14. Ajarkan pasien 21. Ajarkan pasien
dan keluarga dan keluarga
tanda dan tanda dan
4. • Kontrol gejala infeksi gejala infeksi
kecemasan
• Koping
Setelah dilakukan Anxiety 1. Gunakan
asuhan Reduction pendekatan
selama ..................... (penurunan yang
.... klien kecemasan kecemasan) menenangkan
Cemas b.d teratasi dgn kriteria 1. Gunakan 2. Nyatakan
Perubahaan hasil: pendekatan yang dengan jelas
Status 1. Klien mampu menenangkan harapan
Kesehatan mengidentifika 2. Nyatakan dengan terhadap
dan si dan jelas harapan pelaku pasien
Menghadap mengungkapka terhadap pelaku 3. Jelaskan
i Status n gejala cemas pasien semua
Bedah 2. Mengidentifika 3. Jelaskan prosedur dan
si, semua prosedur apa yang
mengungkapka dan apa yang 4. Dirasakan
n dan dirasakan selama selama
menunjukkan prosedur prosedur
tehnik untuk 4. Temani pasien 5. Temani pasien
mengontol untuk untuk
cemas memberikan memberikan
3. Vital sign keamanan dan keamanan dan
dalam batas mengurangi takut mengurangi
normal 5. Berikan informasi takut
4. Postur tubuh, faktual mengenai 6. Berikan
ekspresi wajah, diagnosis, informasi
bahasa tubuh tindakan faktual
dan tingkat prognosis mengenai
aktivitas 6. Libatkan keluarga diagnosis,
menunjukkan untuk tindakan
berkurangnya mendampingi prognosis
kecemasan klien 7. Libatkan
7. Instruksikan keluarga untuk
pada pasien untuk mendampingi
menggunakan klien
tehnik relaksasi 8. Instruksikan
8. Dengarkan pada pasien
dengan penuh untuk
perhatian menggunakan
9. Identifikasi tehnik
tingkat relaksasi
kecemasan 9. Dengarkan
10. Bantu pasien dengan penuh
mengenal situasi perhatian
yang 10. Identifikasi
menimbulkan ttingkat
kecemasan kecemasan
11. Dorong pasien 11. Membantu
untuk pasien
mengungkapkan mengenal
perasaan, situasi yang
ketakutan, menimbulkan
persepsi kecemasan
12. Kelola pemberian 12. Mendorong
obat anti cemas pasien untuk
mengungkapka
n perasaan,
ketakutan,
persepsi
13. Mengelola
pemberian obat
anti cemas
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC

Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Penyakit. Jakarta : Buana Ilmu Populer

Sabiston, David C. 2004. Penyakit Striktur Uretra. Dalam: Sistem Urogenital, Buku Ajar Bedah
Bagian 2, hal.488. EGC. Jakarta

Smeltzer and Bare. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Alih Bahasa Kuncara,
H.Y, dkk, EGC, Jakarta

Wilkinson, Judith.M, 2006, Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil Noc, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai