Anda di halaman 1dari 2

Definisi Sahabat

Hadis merupakan sumber kedua setelah Al-qur’an sebagai hujjah. Namun tidak semua
hadis bisa dijadikan hujjah, tergantung dengan kualitas atau keabsahan hadis itu sendiri.
Untuk menguji kualitas suatu hadis, para ulama mengembangkan ilmu-ilmu hadis. Salah satu
metode yang digunakan dalam melihat kualiatas suatu hadis yaitu dengan ilmu jarh wa ta’dil,
dimana semua periwayat harus dikritik (jarh wa ta’dil) baik dari segi keadilannya,
kedhabitannya, rangkaian gurunya, sampai pada penilaian orang sezamannya, kecuali
sahabat.
Sahabat tidak boleh diceritakan kecuali kebaikannya. Yang mana pandangan imam al-
razi tersebut menjadi acuan dalam menilai hadis. Imam al-Razi dikenal sebagai imam ahli
jarh wa ta’dil , beliau menjadi rujukan oleh para ahli hadis dalam menentukan keabsahan
suatu periwayatan seseorang. Seiring dengan al-Razi, para ahli hadis juga berpandangan
bahwa sahabat adalah manusia-manusia suci, sehingga tidak layak mengkritisi para sahabat,
bahkan lebih jauh lagi menghukum kafir bagi orang yang mengkritisi para sahabat.
‘Adalah al-shahabah (semua sahabat adil), yang kemudian menjadi pondasi
kepercayaan ahlu sunnah atau ahli hadis. Dilihat dari ayat Al-quran mengatakan bahwa ada
Sebahagian sahabat nabi yang tergolong munafik. “ mereka keterlaluan dalam
kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka. Kamilah yang mengetahui
mereka...” at-taubah : 101. Dan juga nabi hampir dibunuh oleh sejumlah sahabat namun gagal
pada malam aqabah sehingga turun ayat “ Mereka bermaksud untuk membunuh Nabi tetapi
tidak berhasil mencapainya.” At-taubah : 74. Dan ketika itu nabi mengetahuinya, sampai-
sampai Umar bin khatab meminta izin untuk membunuh Abdullah bin ubay. Namun nabi
berkata : “biarkan dia karena aku tidak ingin orang nanti mengatakan bahwa Muhammad
membunuh sahabat-sahabatnya”.
Maka dari contoh diatas dapat dipertanyakan “apakah semua sahabat itu adil sehingga
para sahabat tidak bisa dikritis dalam periwayatannya? Dan “siapakah yang disebut sebagai
sahabat? Sebab munculnya pertanyaan demikian dikarenakan setelah wafatnya Rasullullah
terjadinya konflik antar sahabat atau orang-orang muslim pada masa itu. Diantara
konfliknya : perang onta, antara Ali dengan Aisyah dan perang shiffin, antara Ali dengan
Muawiyah.
Pada generasi muslim pertama : Anas bin malik, Abu al-thufail, Said al-musayyab,
dan Hasyim b. Alahwal mendefinisikan sahabat dengan terbatas. Karena tingkat kedekatan
sangat diperhitungkan sehingga yang bisa disebut dengan sahabat juga terbatas. Namun pada
generasi selanjutnya mengalami kesulitan pada defenisi tersebut. Ketika hadis pada masa itu
hendak dibukukan. Pada masa itu di dalam pendefenisian tentang sahabat ini ada dua kubu,
yaitu: ahlu sunnah dan muktazilah. Ahlusunnah memberikan definisi yang cukup luas
terhadap sahabat, yaitu : siapa saja yang pernah bertemu dengan nabi dalam keadaan Islam
dan wafat dalam keadaan Islam”. Sedangkan muktazilah mendefinisikan sahabat lebih sempit
dibandingkan ahlusunah. Menurutnya sahabat adalah orang-orang yang tinggal bersama nabi,
mengikutinya, mengambil hadis darinya, dan meletakkan dirinya atas otoritas nabi. Sehingga
dengan definisi dari muktazilah ini menyebabkan penurunan terhadap jumlah sahabat serta
turun drastisnya jumlah hadis. Sehingga menjadi masalah besar bagi ahli hadis. Oleh sebab
itu ahlusunnah atau ahli hadis tetap mempertahankan definisi sahabat yang luas tadi dalam
upaya melindungi serta mengembangkan hadis.

Anda mungkin juga menyukai