Anda di halaman 1dari 40

Konsep Sistem Perkemihan

A. Pengertian Sistem Perkemihan Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana


terjadinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak
dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat
yang tidak dipergunakan lagi oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air
kemih). Sistem perkemihan atau biasa juga disebut Urinary System adalah suatu sistem
kerjasama tubuh yang memiliki tujuan utama mempertahankan keseimbangan internal atau
Homeostatis. Fungsi lainnya adalah untuk membuang produk-produk yang tidak dibutuhkan
oleh tubuh dan banyak fungsi lainnya yang akan dijelaskan kemudian. Susunan sistem
perkemihan terdiri dari: a) dua ginjal (ren) yang menghasilkan urin, b) dua ureter yang
membawa urin dari ginjal ke vesika urinaria (kandung kemih), c) satu vesika urinaria (VU),
tempat urin dikumpulkan, dan d) satu urethra, urin dikeluarkan dari vesika urinaria.

(gambar)

B. Anatomi Sistem Perkemihan


1. Ginjal (Ren)

Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen di belakang peritoneum pada kedua sisi
vertebra thorakalis ke 12 sampai vertebra lumbalis ke-3. Bentuk ginjal seperti biji kacang.
Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri, karena adanya lobus hepatis dexter yang
besar.

a) Fungsi ginjal :
 Memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau racun
 Mempertahankan suasana keseimbangan cairan, osmotic, dan ion,
 Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh,
 Fungsi hormonal dan metabolisme,
 Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan
amoniak.

b) Struktur ginjal.
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat
cortex renalis di bagian luar, yang berwarna cokelat gelap, dan medulla renalis di bagian
dalam yang berwarna cokelat lebih terang dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk
kerucut yang disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri
dari lubang-lubang kecil disebut papilla renalis.
Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya
pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus.. Pelvis renalis berbentuk corong yang
menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga calices renalis majores
yang masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga calices renalis minores.

(gambar)

Struktur halus ginjal terdiri dari banyak nefron yang merupakan unit fungsional ginjal.
Diperkirakan ada 1 juta nefron dalam setiap ginjal. Nefron terdiri dari :

1. Glomerolus

Suatu jaringan kapiler berbentuk bola yang berasal dari arteriol afferent yang
kemudian bersatu menuju arteriol efferent, Berfungsi sebagai tempat filtrasi sebagian air dan
zat yang terlarut dari darah yang melewatinya.

2. Kapsula Bowman

Bagian dari tubulus yang melingkupi glomerolus untuk mengumpulkan cairan yang
difiltrasi oleh kapiler glomerolus.

3. Tubulus, terbagi menjadi 3 yaitu:


 Tubulus proksimal

Tubulus proksimal berfungsi mengadakan reabsorbsi bahanbahan dari cairan tubuli


dan mensekresikan bahan-bahan ke dalam cairan tubuli.

 Ansa Henle

Ansa henle membentuk lengkungan tajam berbentuk U. Terdiri dari pars descendens
yaitu bagian yang menurun terbenam dari korteks ke medula, dan pars ascendens yaitu bagian
yang naik kembali ke korteks. Bagian bawah dari lengkung henle mempunyai dinding yang
sangat tipis sehingga disebut segmen tipis, sedangkan bagian atas yang lebih tebal disebut
segmen tebal. Lengkung henle berfungsi reabsorbsi bahan-bahan dari cairan tubulus dan
sekresi bahan-bahan ke dalam cairan tubulus. Selain itu, berperan penting dalam mekanisme
konsentrasi dan dilusi urin.
 Tubulus distal

Berfungsi dalam reabsorbsi dan sekresi zat-zat tertentu.

4. Duktus pengumpul (duktus kolektifus)

Satu duktus pengumpul mungkin menerima cairan dari delapan nefron yang berlainan.
Setiap duktus pengumpul terbenam ke dalam medula untuk mengosongkan cairan isinya
(urin) ke dalam pelvis ginjal.

b) Persarafan ginjal.

Ginjal mendapatkan persarafan dari fleksus renalis(vasomotor). Saraf ini berfungsi


untuk mengatur jumlah darah yang masuk ke dalam ginjal, saraf ini berjalan bersamaan
dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal.

2. Ureter

Terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke vesika urinaria.
Panjangnya ± 25-30 cm, dengan penampang 0,5 cm. Ureter sebagian terletak pada rongga
abdomen dan sebagian lagi terletak pada rongga pelvis.

Lapisan dinding ureter terdiri dari :

 Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)


 Lapisan tengah lapisan otot polos.
 Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa
 Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltic yang mendorong
urin masuk ke dalam kandung kemih.

3. Vesika Urinaria (Kandung Kemih).

Vesika urinaria bekerja sebagai penampung urin. Organ ini berbentuk seperti buah pir
(kendi). letaknya d belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Vesika urinaria dapat
mengembang dan mengempis seperti balon karet.

Dinding kandung kemih terdiri dari:

 Lapisan sebelah luar (peritoneum).


 Tunika muskularis (lapisan berotot).
 Tunika submukosa.
 Lapisan mukosa (lapisan bagian dalam).

4. Uretra.

Merupakan saluran sempit yang berpangkal pada vesika urinaria yang berfungsi
menyalurkan air kemih ke luar.

Pada laki-laki panjangnya kira-kira 13,7-16,2 cm, terdiri dari:

a. Urethra pars Prostatica

b. Urethra pars membranosa ( terdapat spinchter urethra externa)

c. Urethra pars spongiosa.

Pada wanita panjangnya kira-kira 3,7-6,2 cm (Taylor), 3-5 cm (Lewis). Sphincter


urethra terletak di sebelah atas vagina (antara clitoris dan vagina) dan urethra disini hanya
sebagai saluran ekskresi.

Dinding urethra terdiri dari 3 lapisan:

 Lapisan otot polos, merupakan kelanjutan otot polos dari Vesika urinaria mengandung
jaringan elastis dan otot polos. Sphincter urethra menjaga agar urethra tetap tertutup.
 Lapisan submukosa, lapisan longgar mengandung pembuluh darah dan saraf.
 Lapisan mukosa.

5. Air kemih (urine).

Sifat fisis air kemih, terdiri dari:

 Jumlah ekskresi dalam 24 jam ± 1.500 cc tergantung dari pemasukan (intake) cairan
dan faktor lainnya.
 Warna, bening kuning muda dan bila dibiarkan akan menjadi keruh.
 Warna, kuning tergantung dari kepekatan, diet obat-obatan dan sebagainya.
 Bau, bau khas air kemih bila dibiarkan lama akan berbau amoniak
 Berat jenis 1,015-1,020.
 Reaksi asam, bila lama-lama menjadi alkalis, juga tergantung dari pada diet (sayur
menyebabkan reaksi alkalis dan protein member reaksi asam).
Komposisi air kemih, terdiri dari:

 Air kemih terdiri dari kira-kira 95% air.


 Zat-zat sisa nitrogen dari hasil metabolisme protein, asam urea amoniak ,Elektrolit,
natrium, kalsium, NH3, bikarbonat, fospat dan sulfat.
 Pagmen (bilirubin dan urobilin).
 Toksin

C. Fisiologi Sistem Perkemihan

Pada saat vesica urinaria tidak dapat lagi menampung urine tanpa meningkatkan
tekanannya (biasanya pada saat volume urine kira-kira 300 ml)makam reseptor pada dinding
vesika urinaria akan memulai kontraksi musculus detrussor. Pada bayi, berkemih terjadi
secara involunter dan dengan segera. Pada orang dewasa, keinginan berkemih dapat ditunda
sampai ia menemukan waktu dan tempat yang cocok. Walaupun demikian, bila rangsangan
sensoris ditunda terlalu lama, maka akan memberikan rasa sakit.

Dengan demikian mulainya kontraksi musculus detrussor, maka terjadi relaksasi


musculus pubococcygeus dan terjadi pengurangan topangan kekuatan urethra yang
menghasilkan beberapa kejadian dengan urutan sebagai berikut :

1. Membukanya meatus intemus

2. Erubahan sudut ureterovesical

3. Bagian atas urethra akan terisi urine

4. Urine bertindak sebagai iritan pada dinding urine

5. Musculus detrussor berkontraksi lebih kuat

6. Urine didorong ke urethra pada saat tekanan intra abdominal meningkat

7. Pembukaan sphincter extemus

8. Urine dikeluarkan sampai vesica urinaria kosong

Penghentian aliran urine dimungkinkan karena musculus pubococcygeus yang bekerja


di bawah pengendalian secara volunteer :
1. Musculus pubococcygeus mengadakan kontraksi pada saat urine mengalir

2. Vesica urinaria tertarik ke atas

3. Urethra memanjang

4. Musculus sprincter externus di pertahankan tetap dalam keadaan kontraksi.

Apabila musculus pubococcygeus mengadakan relaksasi lahi maka siklus kejadian


seperti yang baru saja diberikan di atas akan mulai lagi secara otomatis.

Fungsi sistem homeostatis urinaria:

 Mengatur volume dan tekanan darah dengan mengatur banyaaknya air yang hilang
dalam urine, melepaskan eritropoietin dan melepaskan rennin.
 Mengatur konsentrasi plasma dengan mengontrol jumlah natrium, kalium, klorida,
dan ion lain yang hilang dalam urin dan mengontrol kadar ion kalsium.
 Membantu menstabilkan pH darah, dengan mengontrol kehilangan ion hydrogen dan
ion bikarbonat dalam urin.
 Menyimpan nutrient dengan mencegah pengeluaran dalam urin, mengeluarkan produk
sampah nitrogen seperti urea dan asam urat.
 Membantu dalam mendeteksi racun-racun.
 Mekanisme pembentukan urine

Dari sekitar 1200ml darah yang melalui glomerolus setiap menit terbentuk 120 –
125ml filtrat (cairan yang telah melewati celah filtrasi). Setiap harinyadapat terbentuk 150 –
180L filtart. Namun dari jumlah ini hanya sekitar 1% (1,5 L) yang akhirnya keluar sebagai
kemih, dan sebagian diserap kembali. Transpor urin dari ginjal melalui ureter dan masuk ke
dalam kandungan kemih

Tahap – tahap Pembentukan Urine :

a. Proses filtrasi

Terjadi di glomerolus, proses ini terjadi karena permukaan aferent lebih besar dari
permukaan aferent maka terjadi penyerapan darah, sedangkan sebagian yang tersaring adalah
bagian cairan darah kecuali protein, cairan yang tersaring ditampung oleh simpai bowman
yang terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat, bikarbonat dll, diteruskan ke seluruh
ginjal.

b. Proses reabsorpsi

Terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa, sodium, klorida, fosfat dan
beberapa ion karbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal dengan obligator
reabsorpsi terjadi pada tubulus atas. Sedangkan pada tubulus ginjal bagian bawah terjadi
kembali penyerapan dan sodium dan ion karbonat, bila diperlukan akan diserap kembali
kedalam tubulus bagian bawah, penyerapannya terjadi secara aktif dikienal dengan reabsorpsi
fakultatif dan sisanya dialirkan pada pupila renalis.

c. Augmentasi (Pengumpulan)

Proses ini terjadi dari sebagian tubulus kontortus distal sampai tubulus pengumpul.
Pada tubulus pengumpul masih terjadi penyerapan ion Na+, Cl-, dan urea sehingga
terbentuklah urine sesungguhnya. Dari tubulus pengumpul, urine yang dibawa ke pelvis
renalis lalu di bawa ke ureter. Dari ureter, urine dialirkan menuju vesika urinaria (kandung
kemih) yang merupakan tempat penyimpanan urine sementara. Ketika kandung kemih sudah
penuh, urine dikeluarkan dari tubuh melalui uretra.

Urin yang keluar dari kandungan kemih mempunyai komposisi utama yang sama
dengan cairan yang keluar dari duktus koligentes, tidak ada perubahan yang berarti pada
komposisi urin tersebut sejak mengalir melalui kaliks renalis dan ureter sampai kandung
kemih.

D. Proses Miksi (Rangsangan Berkemih).

E. Distensi kandung kemih, oleh air kemih akan merangsang stres reseptor yang
terdapat pada dinding kandung kemih dengan jumlah ± 250 cc sudah cukup untuk
merangsang berkemih (proses miksi). Akibatnya akan terjadi reflek kontraksi dinding
kandung kemih, dan pada saat yang sama terjadi relaksasi spinser internus, diikuti oleh
relaksasi spinter eksternus, dan akhirnya terjadi pengosongan kandung kemih.

Rangsangan yang menyebabkan kontraksi kandung kemih dan relaksasi spinter


interus dihantarkan melalui serabut – serabut para simpatis. Kontraksi sfinger eksternus
secara volunter bertujuan untuk mencegah atau menghentikan miksi. kontrol volunter ini
hanya dapat terjadi bila saraf – saraf yang menangani kandung kemih uretra medula spinalis
dan otak masih utuh.

Bila terjadi kerusakan pada saraf – saraf tersebut maka akan terjadi inkontinensia
urin (kencing keluar terus – menerus tanpa disadari) dan retensi urine (kencing tertahan).
Persarafan dan peredaran darah vesika urinaria, diatur oleh torako lumbar dan kranial dari
sistem persarafan otonom. Torako lumbar berfungsi untuk relaksasi lapisan otot dan kontraksi
spinter interna.

Peritonium melapis kandung kemih sampai kira – kira perbatasan ureter masuk
kandung kemih. Peritoneum dapat digerakkan membentuk lapisan dan menjadi lurus apabila
kandung kemih terisi penuh. Pembuluh darah Arteri vesikalis superior berpangkal dari
umbilikalis bagian distal, vena membentuk anyaman dibawah kandung kemih. Pembuluh
limfe berjalan menuju duktus limfatilis sepanjang arteri umbilikalis.

Jadi,reflex mikturisi merupakan sebuah sikus yang lengkap yang terdiri dari:

1. Kenaikan tekanan secara cepat dan progresif

2. Periode tekanan menetap

3. Kembalinya tekanan kandung kemih ke nilai tonus basal.

4. Perangsangan atau penghambatan berkemih oleh otak.

Pusat – pusat ini antara lain:

1. Pusat perangsang dan penghambat kuat dalam batang otak, terutama terletak di
ponds, dan beberapa pusat yang terletak korteks serebral yang terutama bekerja menghambat
tetapi dapat menjadi perangsang.

2. Refleks berkemih merupakan dasar penyebab terjadinya berkemih, tetapi pusat


yang lebih tinggi normalnya memegang peranan sebagai pengendali akhir dari berkenmih
sebagai berikut:

a) Pusat yang lebih tinggi menjaga secara parsial penghambatan refleks berkemih
kecuali jika peristiwa berkemih dikehendaki.
b) pusat yang lebih tinggi dapat mecegah berkemih, bahkan jika refleks berkemih
timbul, dengan membuat kontraksi tonik terus menerus pada sfingter eksternus kandung
kemih sampai mendapatkan waktu yang baik untuk berkemih.

c) Jika tiba waktu berkemih, pusat kortikal dapat merangsang pusat berkemih sacral
untuk membantu untuk mencetuskan refleks berkemih dan dalam waktu bersamaan
menghambat sfingter eksternus kandung kemih sehingga peristiwa berkemih dapat terjadi.

Berkemih di bawah keinginan biasanya tercetus dengan cara berikut: Pertama,


seseorang secara sadar mengkontraksikan otot – otot abdomennya, yang meningkatkan
tekanan dalam kandung kemih dan mengakibatkan urin ekstra memasuki leher kandung
kemih dan uretra posterior di bawah tekanan, sehingga meregangkan dindingnya.

F. Urine (Air Kemih)

Mikturisi ( berkemih ) merupakan refleks yang dapat dikendalikan dan dapat ditahan
oleh pusat persarafan yang lebih tinggi dari manusia. Gerakannya oleh kontraksi otot
abdominal yang menambah tekanan di dalam rongga dan berbagai organ yang menekan
kandung kemih membantu mengosongkannya. Rata-rata dalam satu hari 1-2 liter, tetapi
berbeda sesuai dengan jumlah cairan yang masuk. Warnanya bening oranye, pucat tanpa
endapan, baunya tajam, reaksinya sedikit asam terhadap lakmus dengan pH rata-rata 6.

1. Sifat – sifat air kemih


 Jumlah eksresi dalam 24 jam ± 1.500 cc tergantung dari masuknya (intake) cairan
serta faktor lainnya.
 Warna bening muda dan bila dibiarkan akan menjadi keruh.
 Warna kuning terantung dari kepekatan, diet obat – obatan dan sebagainya.
 Bau khas air kemih bila dibiarkan terlalu lama maka akan berbau amoniak.
 Baerat jenis 1.015 – 1.020.
 Reaksi asam bila terlalu lama akan menjadi alkalis, tergantung pada diet (sayur
menyebabkan reaksi alkalis dan protein memberi reaksi asam).

2. Komposisi air kemih

Urin atau air seni atau air kencing adalah cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal
yang kemudian akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi. Eksreksi urin
diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam darah yang disaring oleh ginjal dan
untuk menjaga homeostasis cairan tubuh. Namun, ada juga beberapa spesies yang
menggunakan urin sebagai sarana komunikasi olfaktori.

Urin terdiri dari air dengan bahan terlarut berupa sisa metabolisme (seperti urea),
garam terlarut, dan materi organik. Cairan dan materi pembentuk urin berasal dari darah atau
cairan interstisial. Komposisi urin berubah sepanjang proses reabsorpsi ketika molekul yang
penting bagi tubuh, misal glukosa, diserap kembali ke dalam tubuh melalui molekul
pembawa. Cairan yang tersisa mengandung urea dalam kadar yang tinggi dan berbagai
senyawa yang berlebih atau berpotensi racun yang akan dibuang keluar tubuh. Materi yang
terkandung di dalam urin dapat diketahui melalui urinalisis. Urea yang dikandung oleh urin
dapat menjadi sumber nitrogen yang baik untuk tumbuhan dan dapat digunakan untuk
mempercepat pembentukan kompos. Diabetes adalah suatu penyakit yang dapat dideteksi
melalui urin. Urin seorang penderita diabetes akan mengandung gula yang tidak akan
ditemukan dalam urin orang yang sehat.

Komposisi air kemih :

 Air kemih terdiri dari kira – kira 95 % air


 Zat – zat sisa nitrogen dari hasil metabolisme protein asam urea, amoniak dan
kreatinin
 Elektrolit, natrium, kalsium, NH3, bikarbonat, fosfat dan sulfat
 Pigmen (bilirubin, urobilin)
 Toksin
 Hormon
Konsep Inkontinensia Urine

A. Definisi Inkontinensia Urine

Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002). Inkontinensia urine
didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak terkendali pada waktu yang tidak
dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, yang mengakibatkan masalah
sosial dan higienis penderitanya (FKUI, 2006). Inkontinensia Urine (IU) atau yang lebih
dikenal dengan beser sebagai bahasa awam merupakan salah satu keluhan utama pada
penderita lanjut usia. Inkontinensia urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam
jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan
sosial. Variasi dari inkontinensia urin meliputi keluar hanya beberapa tetes urin saja, sampai
benar-benar banyak, bahkan terkadang juga disertai inkontinensia alvi (disertai pengeluaran
feses) (brunner, 2011).

Inkontinensia urin (IU) oleh International Continence Society (ICS) didefinisikan


sebagai keluarnya urine yang tidak dapat dikendalikan atau dikontrol, secara objektif dapat
diperlihatkan dan merupakan suatu masalah sosial atau higienis. Hal ini memberikan
perasaan tidak nyaman yang menimbulkan dampak terhadap Oikehidupan sosial, psikologi,
aktivitas seksual dan pekerjaan. Juga menurunkan hubungan interaksi sosial dan
interpersonal. Inkontinensia urine dapat bersifat akut atau persisten. Inkontinensia urine yang
bersifat akut dapat diobati bila penyakit atau masalah yang mendasarinya diatasi seperti
infeksi saluran kemih, gangguan kesadaran, vaginitis atrofik, rangsangan obat–obatan dan
masalah psikologik.

Diperkirakan prevalensi inkontinensia urine berkisar antara 15 – 30% usia lanjut di


masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit 4 mengalami
inkontinensia urine, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat
berumur 65-74 tahun. Masalah inkontinensia urine ini angka kejadiannya meningkat dua kali
lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Perubahan-perubahan akibat proses menua
mempengaruhi saluran kemih bagian bawah. Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi
lansia untuk mengalami inkontinensia, tetapi tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi
inkontinensia bukan bagian normal proses menua.
B. Klasifikasi Inkontinensia Urine

Inkontinensia urine di klasifikasikan menjadi 3 ( Charlene J.Reeves at all ) :

1. Inkontinensia Urine Akut Reversibel

Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet
sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urine
umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat
memicu timbulnya inkontinensia urine fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten,
seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya. Resistensi urin karena obat-
obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia urine. Keadaan
inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin akan memicu
inkontinensia urine.

Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut. Berbagai kondisi yang


menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia urine, seperti glukosuria atau
kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan edema dan nokturia yang
kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia urine nokturnal. Berbagai macam obat juga
dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urine seperti Calcium Channel Blocker, agonist
adrenergic alfa, analgesicnarcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic.

Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urine akut reversible dapat


dilihat akronim di bawah ini :

a. Delirium.

b. Restriksi mobilitas, retensi urin.

c. Infeksi, inflamasi, Impaksi.

d. Poliuria, pharmasi.

2. Inkontinensia Urine Kronik (Persisten)

Inkontinensia urine persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi


anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih
bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis.

Kategori klinis meliputi :


a. Inkontinensia urine stress

Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intra abdominal, seperti
pada saat batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar
panggul, merupakan penyebab tersering inkontinensia urine pada lansia dibawah 75 tahun.
Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada
sfingter urethra setelah pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan
urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.

b. Inkontinensia urine urgensi

Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih.
Inkontinensia urine jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali
(detrusor overactivity). Masalahmasalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia
urine urgensi ini, meliputi stroke, penyakit parkinson, demensia dan cedera medula spinalis.
Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk
berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urine. Inkontinensia tipe urgensi ini
merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi 6
inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu.
Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih
sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urine stress, overflow dan
obstruksi. Oleh karen aitu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai
inkontinensia urine tipe lain sehingga penanganannya tidak tepat.

2. Inkontinensia Aliran Yang Berlebihan ( Over Flow Inkontinensia )

Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih yang
berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor
neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau
tidak berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya
mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.

3. Inkontinensia Urine Fungsional

Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran urin


akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat, masalah
muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan unutk pergi ke kamar
mandi, dan faktor psikologis. Seringkali inkontinensia urine pada lansia muncul dengan
berbagai gejala dan gambaran urodinamik lebih dari satu tipe inkontinensia urine.
Penatalaksanaan yang tepat memerlukan identifikasi semua komponen.

Walaupun begitu, bebrapa perubahan–perubahan berkaitan dengan bertambahnya


usia, dan faktor–faktor yang sekarang timbul sebagai akibat seorang menjadi lanjut usia dapat
mendukung terjadinya inkontinensia (kane, dkk). Faktor–faktor yang berkaitan dengan
bertambahnya usia antara lain :

a. Mobilitas yang lebih terbatas karena menurunnya panca indra dan kemunduran
system lokomosi.

b. Kondisi–kondisi medis yang patologik dan berhubungan dengan pengaturan urin,


misalnya pada penyakit DM, gagal jantung kongestif.

C. Etiologi Inkontinensia Urine

Kelainan klinik yang erat hubungannya dengan gejala inkontinensia urine antara lain :

1. Kelainan Traktus Urinenarius Bagian Bawah

Infeksi, obstruksi, kontraktiltas kandung kemih yang berlebihan, defisiensi


estrogen,kelemahan sfingter, hipertropi prostat.

2. Usia

Seiring bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ
kemih, antara lain : melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan
mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan
air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih,
sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin
berkemih.

3. Kelainan Neurologis

Otak (stroke, alzaimer, demensia multiinfark, parkinson, multipel sklerosis), medula


spinalis (sklerosis servikal atau lumbal, trauma, multipel sklerosis), dan persarafan perifer
(diebetes neuropati, trauma saraf).

4. Kelainan Sistemik
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat
dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa
disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau 8 gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya
penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet.

5. Kondisi Fungsional

Inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena
kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas
dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan
melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan
juga dapat membuat otototot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan
penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya
inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia
menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu
saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor resiko
yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga
beresiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan
mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot
dasar panggul.

6. Efek Samping Pengobatan

Diuretik, antikolionergik, narkotika, kalsium chanel bloker, inhibitor kolinestrase.

C. Etiologi Inkontinensia Urine pada Lansia

Inkontinensia urine khususnya pada lansia dapat merupakan sebuah gejala dari
penyakit lain. Terlebih bila gejala tersebut disertai dengan polyuria, nokturia, peningkatan
tekanan abdomen atau gangguan system saraf pusat.

Beberapa kondisi yang dapat menjadi penyebabnya ialah sebagai berikut :

1. Gagal jantung
2. Penyakit ginjal kronik
3. Diabetes
4. Penyakit paru obstruktif kronik
5. General cognitive impairment
6. Gangguan tidur, misalnya sleep apnea
7. Penyakit neurologis, misalnya stroke dan sclerosis multiple
8. Obesitas

D. Anatomi Fisiologi Inkontinensia Urine

Sistem urinaria adalah suatu system tempat terjadinya proses penyaringan darah
sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat
yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh larut dalam
air dan dikeluarkan berupa urine (air kemih).

1. Ginjal

Ginjal suatu kelenjar yang terletak di bagian belakang kavum abdominalis


dibelakang peritonium pada kedua sisi vertebra lumbalis III, melekat langsung pada dinding
belakang abdomen. Bentuk ginjal seperti biji kacang, jumlahnya ada dua buah kiri dan kanan,
ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari
ginjal wanita.

Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula renalis yang terdiri
dari jaringan fibrus berwarna ungu tua. Lapisan luar terdapat lapisan korteks (substansia
kortekalis), dan lapisan sebelah dalam bagian medulla (substansia medularis) berbentuk
kerucut yang disebut renal pyramid. Puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari
lubang-lubang kecil disebut papilla renalis. Masing-masing pyramid saling dilapisi oleh
kolumna renalis, jumlah renalis 15-16 buah.

Garis-garis yang terlihat pada pyramid disebut tubulus nefron yang merupakan
bagian terkecil dari ginjal yang terdiri dari glomerolus, tubulus proksimal (tubulus kontorti
satu), ansa Henie, tubulus distal (tubuli kontorti dua) dan tubulus urinarius (papilla vateri).
Pada setiap ginjal diperkirakan ada 1.000.000 nefron, selama 24 jam dapat menyaring darah
170 liter. Arteri renalis membawa darah murni dari aorta ke ginjal, lubang-lubang yang
terdapat pada pyramid renal masing-masing membentuk simpul dan kapiler satu badan
malfigi yang disebut glomerolus. Pembutuh aferen yang bercabang mebentuk kapiler menjadi
vena renalis yang membawa darah dari ginjal ke vena kava inferior.

Fungsi ginjal adalah sebagai berikut :


a. Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh. Kelebihan air dalam tubuh akan
diekskresikan oleh ginjal sebagai urine (kemih) yang encer dalam jumlah besar, kekurangan
air (kelebihan keringat) menyebabkan urine yang diekskresikan berkurang dan
konsentrasinya lebih pekat sehingga susunan dan volume cairan tubuh dapat dipertahankan
relative normal.

b. Mengatur keseimbangan osmotic dan mempertahankan keseimbangan ion yang


optimal dalam plasma (keseimbangan elektrolit). Bila terjadi pemasukan/pengeluaran yang
abnormal ion-ion akibat pemasukan garam yang berlebihan/penyakit perdarahan (diare,
muntah) ginjal akan meningkatkan ekskresi ion-ion yang penting (misal Na, K, Cl, Ca dan
Fosfat).

c. Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh bergantung pada apa yang
dimakan, campuran makanan menghasilkan urine yang bersifat agak asam, pH kurang dari 6
ini disebabkan hasil akhir metabolisme protein. Apabila banyak makan sayur-sayuran, urine
akan bersifat basa. pH urine bervariasi antara 4,8-8,2. Ginjal menyekresi urine sesuai dengan
perubahan pH darah.

d. Ekskresi sisa hasil metabolisme (ureum, asam urat, kreatinin) zat-zat toksik, obat-
obatan, hasil metabolisme hemoglobin dan bahan kimia asing (peptisida).

e. Fungsi hormonal dan metabolisme. Ginjal menyekresi hormon renin yang


mempunyai peranan penting mengatur tekanan darah (system renin angiotensin aldesteron)
membentuk eritropoiesis mempunyai peranan penting untuk memproses pembentukan sel
darah merah (eritropoiesis). Disamping itu ginjal juga membentuk hormon dihidroksi
kolekalsiferol (vitamin D aktif) yang diperlukan untuk absorbsi ion kalsium di usus.

E. Proses pembentukan urin

Glomerolus berfungsi sebagai ultrafiltrasi pada simpai Bowman, berfungsi untuk


menampung hasil filtrasi dari glomerolus. Pada tubulus ginjal akan terjadi penyerapan
kembali zat-zat yang sudah disaring pada glomerolus, sisa cairan akan diteruskan ke piala
ginjal terus berlanjut ke ureter. Urine berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk ke
dalam ginjal, darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian plasma darah.

Ada tiga tahap pembentukan urine :

a. Proses filtrasi
Terjadi di glomerolus, proses ini terjadi karena permukaan aferen lebih besar dari
permukaan eferen maka terjadi penyerapan darah. Sedangkan sebagian yang tersaring adalah
bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang tersaring ditampung oleh sampai Bowman
yang terjadi dari 12 glukosa, air, natrium, klorida, sulfat, bikarbonat, dll yang diteruskan ke
tubulus ginjal.

b. Proses reabsopsi

Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar glukosa, natrium, klorida,
fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal dengan obligator
reabsorpsi terjadi pada tubulus atas. Sedangkan pada tubulus ginjal bagian bawah terjadi
kembali penyerapan natrium dan ion bikarbonat. Bila diperlukan akan diserap kembali ke
dalam tubulus bagian bawah. Penyerapannya terjadi secara aktif dikenal dengan reabsopsi
fakultatif dan sisanya dialirkan pada papilla renalis.

c. Proses sekresi

Sisanya penyerapan urine kembali yang terjadi pada tubulus dan diteruskan ke piala
ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter masuk ke vesika urinaria.

2. Ureter Terdiri dari 2 saluran pipa, masing-masing bersambung dari ginjal ke


kandung kemih (vesika urinaria), panjangnya kurang lebih 25-30cm, dengan penampang
kurang lebih 0,5cm. Ureter sebagian terletak dalam rongga abdomen dan sebagian terletak
dalam rongga pelvis. Lapisan dinding ureter terdiri dari :

a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa).

b. Lapisan tengah lapisan otot polos.

c. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa.

Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltic tiap 5 menit sekali


yang akan mendorong air kemih masuk ke dalam kandung kemih (vesika urinaria). Gerakan
peristaltic mendorong urine melalui ureter yang diekskresikan oleh ginjal dan disemprotkan
dalam bentuk pancaran, 13 melalui osteum uretralis masuk ke dalam kandung kemih. Ureter
berjalan hampir vertikal ke bawah sepanjang fasia muskulus psoas dan dilapisi oleh
peritoneum. Penyempitan ureter terjadi pada tempat ureter meninggalkan pelvis renalis,
pembuluh darah, saraf, dan pembuluh limfe berasal dari pembuluh sekitarnya mempunyai
saraf sensorik.

Pars abdominalis ureter dalam kavum abdomen ureter terletak di belakang


peritonium sebelah media anterior psoas mayor dan ditutupi oleh fasia subserosa. Vasa
spermatika/ovarika interna menyilang ureter secara oblique, selanjutnya ureter akan mencapai
kavum pelvis dan menyilang arteri iliaka ekterna. Ureter kanan terletak pada pars desendens
duodenum. Sewaktu turun ke bawah terdapat di kanan bawah dan disilang oleh kolon dekstra
dan vosa iliaka iliokolika, dekat apertum pelvis akan dilewati oleh bagian bawah
mesenterium dan bagian akhir ilium. Ureter kiri disilang oleh vasa koplika sisintra dekat
aperture pelvis superior dan berjalan di belakang kolon sigmoid dan mesenterium. Pars pelvis
ureter berjalan pada bagian dinding lateral dari kavum pelvis sepanjang tepi anterior dari
insisura iskhiadika mayor dan tertutup oleh peritoneum. Ureter dapat ditemukan di depan
arteri hipogastrika bagian dalam nervus obturatoris arteri vasialia anterior dan arteri
hemoroidalis media. Pada bagian bawah insisura iskhiadika mayor, ureter agak miring ke
bagian medial untuk mencapai sudut lateral dari vesika urinaria.

Ureter pada pria terdapat di dalam visura seminalis atas dan disilang oleh duktus
deferens dan dikelilingi oleh pleksus vesikalis. Selanjutnya ureter berjalan obloque sepanjang
2 cm di dalam dinding vesika urinaria pada sudut lateral dari trigonum vesika. Sewaktu
menembus vesika urinaria, dinding atas dan dinding bawah ureter akan tertutup dan pada
waktu vesika urinaria penuh akan membentuk katup (valvula) dan mencegah pengembalian
dari vesika urinaria. Ureter pada wanita terdapat di belakang fossa ovarika dan 14 berjalan
kebagian medial dan kedepan bagian lateralis serviks uteri bagian atas, vagina untuk
mencapai fundus vesika urinaria. Dalam perjalanannya, ureter didampingi oleh arteri uterine
sepanjang 2,5 cm dan selanjutnya arteri ini menyilang ureter dan menuju ke atas di antara
lapisan ligamentum. Ureter mempunyai 2 cm dari sisi serviks uteri. Ada tiga tempat yang
penting dari ureter yang mudah terjadi penyumbatan yaitu sambungan ureter pelvis diameter
2 mm, penyilangan vosa iliaka diameter 4 mm dan pada saat masuk ke vesika urinaria yang
berdiameter 1-5 mm.

4. Vesika Urinaria (kandung kemih)

Vesika urinaria (kandung kemih) dapat mengembang dan mengempis seperti balon
karet, terletak di belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Bentuk kandung kemih
seperti kerucut yang dikelilingi oleh otot yang kuat, berhubungan dengan ligamentum vesika
umbilicus medius.

Bagian vesika urinaria terdiri dari :

a. Fundus yaitu bagian yang menghadap ke arah belakang dan bawah, bagian ini
terpisah dari rectum oleh spatium rectovesikale yang terisi oleh jaringan ikat duktus deferen,
vesika seminalis, dan prostat.

b. Korpus yaitu bagian antara verteks dan fundus.

c. Verteks bagian yang memancung kearah muka dan berhubungan dengan


ligamentum vesika umbilikalis.

Dinding kandung kemih terdiri dari lapisan sebelah luar (peritonium), tunika
muskularis (lapisan otot), tunika submukosa, dan lapisa mukosa (lapisan bagian dalam).
Pembuluh limfe vesika urinaria mengalirkan cairan limfe ke dalam nodi limfatik iliaka
interna dan eksterna.

4. Uretra

a. Uretra Pria Pada laki-laki ureta berjalan berkelok-kelok melalui tengah-tengah


prostat kemudian menembus lapisan fibrosa yang menembus tulang pubis kebagian penis
panjangnya kurang lebih 20 cm. Lapisan uretra laki-laki terdiri dari lapisan mukosa (lapisan
paling dalam) dan lapisan submukosa. Uretra pria mulai dari orifisium uretra interna di dalam
vesika urinaria sampai orifisium uretra ekterna. Pada penis panjangnya 17,5-20 cm yang
terdiri dari bagian-bagian berikut :

1) Uretra prostatia

Uretra prostatika merupakan saluran terlebar, panjangnya 3 cm, berjalan hamper


vertikulum melalui glandula prostat, mulai dari basis sampai ke apeks dan lebih dekat ke
permukaan anterior. Bentuk salurannya seperti kumparan yang bagian tengahnya lebih luas
dan makin ke bawah makin dangkal kemudian bergabung dengan pars membran. Potongan
transversal saluran ini menghadap kedepan. Pada dinding posterior terdapat Krista uretralis
yang berbentuk kulit yang dibentuk oleh penonjolan membran mukosa dan jaringan di
bawahnya dengan panjang 15-17 cm dan tinggi 3 cm. Pada kiri dan kanan krista uretralis
terdapat sinus prostatikus yang ditembus oleh orifisium duktus prostatikus dari lobus lateralis
glandula prostat dan duktus dari lobus medial glandula prostat bermuara di belakang Krista
uretralis.

Bagian depan dari krista uretralis terdapat tonjolan yang disebut kolikus seminalis.
Pada orifisium utrikulus, prostatikus berbentuk kantong sepanjang 6 cm yang berjalan ke atas
dan ke belakang di dalam substansia prostate di belakang lobus medial. Dindingnya terdiri
dari jaringan ikat, lapisan muskularis dan membran mukosa. Beberapa glandula kecil terbuka
ke permukaan dalam.

2) Uretra membranosa

Uretra pars membranasea ini merupakan saluran yang paling pendek dan paling
dangkal, berjalan mengarah ke bawah dan kedepan di antara apeks glandula prostat dan
bulbus uretra. Pars membranasea menembus diafragma urogenitalis, panjangnya kirakira
2,5cm, di bawah belakang simfisis pubis diliputi oleh jaringan sfingter uretra membranasea,
di depan saluran ini terdapat vena dorsalis penis yang mencapai pelvis diantara ligamentum
transversal pelvis dan ligamentum equarta pubis.

3) Uretra kavernosa

Uretra pars kavernosus merupakan saluran terpanjang dari uretra dan terdapat di
dalam korpus kavernosus uretra, panjangnya kirakira 15 cm, mulai dari pars membranasea
sampai ke orifisium dari difragma urogenitalis. Pars kavernosus rata berjalan ke depan dan ke
atas menuju bagian depan simfisis pubis. Pada keadaan penis berkontraksi, pars kavernosus
akan membelok ke bawah dan ke depan. Pars kavernosus ini dangkal sesuai dengan korpus
penis 6 mm dan berdilatasi ke belakang. Bagian depan berdilatasi di dalam gland penis yang
akan membentuk fossa navikularis uretra.

Orifisium uretra eksterna merupakan bagian erector yang paling berkontraksi berupa
sebuah celah vertikal di tutupi oleh kedua sisi bibir kecil dan panjangnya 6 mm. Glandula
uretralis yang akan bermuara ke dalam uretra dibagi dalam dua bagian, yaitu glandula dan
lacuna. Glandula terdapat di bawah tunika mukosa di dalam korpus kavernosus uretra
(glandula pars uretralis). Lacuna bagian dalam epithelium. Lacuna yang lebih besar di
permukaan atas disebut lacuna magma orifisium dan lacuna ini menyebar ke depan sehingga
dengan mudah menghalangi ujung kateter yang dilalui sepanjang saluran.

c. Uretra Wanita
Uretra pada wanita, terletak di belakang simfisis pubis berjalan miring sedikit kearah
atas, panjangnya kurang lebih 3-4 cm. Lapisan uretra wanita terdiri dari tunika muskularis
(sebelah luar), lapisan spongiosa merupakan pleksusu dari vena-vena, dan lapisan mukosa
(lapisan sebelah dalam). Muara uretra pada wanita terletak di sebelah atas vagina (antara
klitoris dan vagina) dan urtra di sini hanya sebagai saluran ekskresi. Apabila tidak berdilatsi
diameternya hanya 6 cm. uretra ini menembus fasia diafragma urogenitalis dan orifisium
eksterna langsung di depan permukaan vagina, 2,5 cm di belakang gland klitoris. Glandula
uretra bermuara ke uretra, yang terbesar diantaranya adalah glandula pars uretralis (skene)
yang bermuara ke dalam orifisium uretra yang hanya berfungsi sebagai saluran ekskresi.

Diafragma urogenitalis dan orifisium eksterna langsung di depan permukaan vagina


dan 2,5 cm di belakang gland klitoris. Uretra wanita jauh lebih pendek daripada uretra pria
dan terdiri lapisan otot polos yang diperkuat oleh sfingter otot rangka pada muaranya
penonjolan berupa kelenjar dan jarongan ikat fibrosa longgar yang ditandai dengan banyak
sinus venosa mirip jaringan kavernosus. E. Epidemiologi Inkontinensia Urine Diperkirakan
prevalensi inkontinensia urine berkisar antara 15–30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30%
pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urine, dan kemungkinan
bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Masalah
inkontinensia urine ini angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita
dibandingkan pria. Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan
dari pada yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot
dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia 18 telah menderita desensus
dinding depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai penderita
dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine yang baik. Perubahan-
perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian bawah. Perubahan
tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia, tetapi tidak
menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan bagian normal proses penuaan.

E. Patofisiologi Inkontinensia Urine

Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain fungsi
sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin. Bisa juga
disebabkan oleh kelainan di sekeliling daerah saluran kencing. Fungsi otak besar yang
terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih. Terjadi hambatan pengeluaran urine
dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas
berlebihan. Inkontinensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi
suprapons dan suprasakral. Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila jaras sensorik
masih utuh, akan timbul sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan kelemahan sfingter
yang dapat bermanifestasi sebagai stress inkontinens dan ketidakmampuan dari kontraksi
detrusor yang mengakibatkan retensi kronik dengan overflow.

Ada beberapa pembagian inkontinensia urin, tetapi pada umumnya dikelompokkan


menjadi 4 :

1. Urinary stress incontinence

Stress urinary incontinence terjadi apabila urin secara tidak terkontrol keluar akibat
peningkatan tekanan di dalam perut. Dalam hal ini, tekanan di dalam kandung kencing
menjadi lebih besar dari pada tekanan pada urethra. Gejalanya antara lain kencing sewaktu
batuk, mengejan, tertawa, bersin, berlari, atau hal lain yang meningkatkan tekanan pada
rongga perut. Pengobatan dapat dilakukan secara tanpa operasi (misalnya dengan kegel 19
exercises, dan beberapa jenis obat-obatan), maupun secara operasi (cara yang lebih sering
dipakai).

2. Urge incontinence

Urge incontinence timbul pada keadaan otot detrusor yang tidak stabil, dimana otot
ini bereaksi secara berlebihan. Gejalanya antara lain perasaan ingin kencing yang mendadak,
kencing berulang kali, kencing malam hari, dan inkontinensia. Pengobatannya dilakukan
dengan pemberian obat-obatan dan beberapa latihan.

3. Total incontinence

Total incontinence, dimana kencing mengalir ke luar sepanjang waktu dan pada
segala posisi tubuh, biasanya disebabkan oleh adanya fistula (saluran abnormal yang
menghubungkan suatu organ dalam tubuh ke organ lain atau ke luar tubuh), misalnya fistula
vesikovaginalis (terbentuk saluran antara kandung kencing dengan vagina) dan/atau fistula
urethrovaginalis (saluran antara urethra dengan vagina). Bila ini dijumpai, dapat ditangani
dengan tindakan operasi.

4. Overflow incontinence
Overflow incontinence adalah urin yang mengalir keluar akibat isinya yang sudah
terlalu banyak di dalam kandung kencing akibat otot detrusor yang lemah. Biasanya hal ini
dijumpai pada gangguan saraf akibat penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang
belakang, atau saluran kencing yang tersumbat. Gejalanya berupa rasa tidak puas setelah
kencing (merasa urin masih tersisa di dalam kandung kencing), urin yang keluar sedikit dan
pancarannya lemah. Pengobatannya diarahkan pada sumber penyebabnya.

F. Manifestasi Klinis Inkontinensia Urine

Gejala yang terjadi pada inkontinensia urine antara lain :

1. Sering Berkemih

Merupakan gejala urinasi yang terjadi lebih sering dari normal bila di bandingkan
dengan pola yang lazim di miliki seseorang atau lebih sering dari normal yang umumnya di
terima, yaitu setiap 3-6 jam sekali.

2. Frekuensi

Berkemih amat sering, dengan jumlah lebih dari 8 kali dalam waktu 24 jam.

3. Nokturia

Malam hari sering bangun lebih dari satu kali untuk berkemih.

4. Urgensi

Keinginan yang kuat dan tiba-tiba untuk berkemih walaupun penderita belum lama
sudah berkemih dan kandung kemih belum terisi penuh seperti keadaan normal.

5. Urge Inkontinensia

Dorongan yang kuat sekali unuk berkemih dan tidak dapat ditahan sehingga kadang–
kadang sebelum sampai ke toilet urine telah keluar lebih dulu.

Orang dengan inkontinensia urine mengalami kontraksi yang tak teratur pada
kandung kemih selama fase pengisian dalam siklus miksi. Urge inkontinensia merupakan
gejala akhir pada inkontinensia urine. Jumlah urine yang keluar pada inkontinensia urine
biasanya lebih banyak dari pada kapasitas kandung kemih yang menyebabkan kandung
kemih berkontraksi untuk mengeluarkan urine. Pasien dengan inkontinensia urine pada
mulanya kontraksi otot detrusor sejalan dengan kuatnya keinginan untuk berkemih, akan
tetapi pada beberapa pasien mereka menyadari kontraksi detrusor ini secara volunter
berusaha membantu sfingter untuk menahan urine keluar serta menghambat kontraksi otot
detrusor, sehingga keluhan yang menonjol hanya urgensi dan frekuensi yaitu lebih kurang 80
%. Nokturia hampir ditemukan 70 % pada kasus inkontinensia urine dan simptom nokturia
sangat erat hubungannya dengan nokturnal enuresis. Keluhan urge inkontinensia ditemukan
hanya pada sepertiga kasus inkontinensia urine.

G. Kompikasi Inkontinensia Urine

Penderita dengan penyakit inkontinensia urine biasanya dapat menyebabkan antara


lain :

1. Infeksi saluran kemih.

2. Ulkus pada kulit.

3. Problem tidur.

4. Depresi dan kondisi medis lainnya..

H. Penatalaksanaan Medik Inkontinensia Urine

1. Latihan otot-otot dasar panggul, latihan penyesuaian berkemih, obat-obatan untuk


merelaksasi kandung kemih dan estrogen, tindakan pembedahan memperkuat muara kandung
kemih.

a. Inkontinen Stres

1) Latihan otot-otot dasar panggul.

2) Latihan penyesuaian berkemih.

3) Obat-obatan untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen.

4) Tindakan pembedahan memperkuat muara kandung kemih.

b. Inkontinensia Urgensi
1) Latihan mengenal sensasi berkemih dan penyesuaianya.

2) Obat-obatan untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen.

3) Tindakan pembedahan untuk mengambil sumbatan dan lain-lain keadaan patologik


yang menyebabkan iritasi pada saluran kemih bagian bawah.

c. Inkontensia Overflow

1) Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten, dan kalau tidak mungkin secara
menetap.

2) Tindakan pembedahan untuk mengangkat penyebab sumbatan.

d. Inkontinensia Tipe Fungsional

1) Penyesuaian sikap berkemih antara lain dengan jadwal dan kebiasaan berkemih.

2) Pakaikan dalam dan kain penyerap khusus lainnya.

3) Penyesuaian/modifikasi lingkungan tempat berkemih.

4) Kalau perlu digaunakan obat-obatan yang merelaksasi kandung kemih.

2. Penatalaksanaan Nonfarmakologis

Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi
pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot dasar
panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai obat-obatan,
stimulasi dan pemakaian alat mekanis.

a. Latihan Otot Dasar Pinggul (Pelvic Floor Exercises)

Kontinensia dipengaruhi oleh aktifitas otot lurik uretra dan dasar pelvis. Fisioterapi
meningkatkan efektifitas otot ini. Otot dasar panggul membantu penutupan uretra pada
keadaan yang membutuhkan ketahanan uretra misalnya pada waktu batuk. Juga dapat
mengangkat sambungan urethrovesikal ke dalam daerah yang ditransmisi tekanan abdomen
dan berkontraksi secara reflek dengan peningkatan tekanan intra abdominal, perubahan posisi
dan pengisian kandug kemih. Pada inkompeten sfingter uretra, terdapat hilangnya transmisi
tekanan abdominal pada uretra proksimal. Fisioterapi membantu meningkatkan tonus dan
kekuatan otot lurik uretra dan periuretra. Pada kandung kemih neurogrik, latihan kandung
kemih (bladder training) telah menunjukan hasil yang efektif. Latihan kandung kemih adalah
upaya melatih kandung kemih dengan cara konservatif, sehingga secara fungsional kandung
kemih tersebut kembali normal dari keadaannya yang abnormal.

b. Bladder Training

Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih)


dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia
diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia
dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya
diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam. Membiasakan
berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia. Promted
voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta
dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan
pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).

3. Penatalaksanaan Farmakologik

a. Alfa Adrenergik Agonis

Otot leher vesika dan uretra proksimal megandung alfa adrenoseptor yang
menghasilkan kontraksi otot polos dan peningkatan tekanan penutupan uretra obat aktif
agonis alfa-reseptor bisa menghasilkan tipe stmulasi ini dengan efek samping relatif ringan.

b. Efedrin

Efek langsung merangsang alfa sebaik beta-adrenoseptor dan juga melepaskan


noradrenalin dari saraf terminal obat ini juga dilaporkan efektif pada inkotinensia stres. Efek
samping meningkatkan tekanan darah, kecemasan dan insomnia oleh karena stimulasi SSP.

c. Phenylpropanololamine

PPA (Phenylpropanololamine) efek stimulasi perifer sebanding dengan efedrin, akan


tetapi dengan efek CNS yang terkecil. PPA adalah komponen utama obat influensa dalam
kombinasi dengan anti histamin dan anti hikholinergik. Dosis 50 mg dua kali sehari. Efek
samping 27 minimal. Didapatkan 59 % penderita inkontinensia stress mengalami perbaikan.

d. Estrogen
Penggunaannya masih kontroversi. Beberapa penelitian menunjukkan efek
meningkatkan transmisi tekanan intra abdominal pada uretra dengan estrogen dosis tinggi
oral dan intravaginal. Estrogen biasanya diberikan setelah tindakan bedah pada inkontinensia
dengan tujuan untuk memperbaiki vaskularisasi dan penyembuhan jaringan urogential,
walaupun belum ada data yang akurat.

4.Stimulasi Elektrik

Metode ini paling sedikit diterima dalam terapi walaupun sudah rutin digunakan
selama 2 dekade. Prinsip stimulasi elektrik adalah menghasilkan kontraksi otot lurik uretra
dan parauretra dengan memakai implant/nonimplant (anal atau vaginal) elektrode untuk
meningkatkan tekanan uretra. Aplikasi stimulasi dengan kekuatan rendah selama beberapa
jam per hari selama beberapa bulan. Terdapat 64 % perbaikan penderita dengan cara implant,
tapi metode ini tidak populer karena sering terjadi efek mekanis dan morbilitas karena
infeksi. Sedang stimulasi non-implant terdiri dari generator mini yang digerakkan dengan
baterai dan dapat dibawa dalam pakaian penderita dan dihubungkan dengan elektrode
anal/vaginal. Bentuk elektrode vaginal : ring, hodge pessary, silindris.

5. Alat Mekanis (Mechanical Devices)

a. Tampon Tampon dapat membantu pada inkontinensia stres terutama bila


kebocoran hanya terjadi intermitten misal pada waktu latihan. Penggunaan terus menerus
dapat menyebabkan vagina kering/luka.

b. Edward Spring Dipasang intravagina. Terdapat 70 % perbaikan pada penderita


dengan inkontinensia stress dengan pengobatan 5 bulan. Kerugian terjadi ulserasi vagina.

c. Bonnas’s Device Terbuat dari bahan lateks yang dapat ditiup. Bila ditiup dapat
mengangkat sambungan urethrovesikal dan urethra proksimal.

6. Penatalaksanaan Pembedahan

Tindakan operatif sangat membutuhkan informed consent yang cermat dan baik pada
penderita dan keluarganya karena angka kegagalan maupun rekurensi tindakan ini tetap ada.
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non
farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya
memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan
terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
Penatalaksanaan stres inkontinensia urine secara operatif dapat dilakukan dengan
beberapa cara meliputi :

a. Kolporafi anterior.

b. Uretropeksi retropubik.

c. Prosedur jarum.

d. Prosedur sling pubovaginal.

e. Periuretral bulking agent.

f. Tension vaginal tape (TVT).

7. Modalitas lain

Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan


inkontinensia urine, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami
inkontinensia urine, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal,
komod dan bedpan.

a. Pampers Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana
pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urine. Namun pemasangan pampers
juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya
tampung pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu
dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.

b. Kateter Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena
dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain kateter
menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk
mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat
mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada
saluran kemih.
Konsep Konstipasi

2.1 Definisi

Pada umumnya konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu
keluhan terdapat variasi yang berlainan antara individu. Penggunaan istilah konstipasi secara
keliru dan belum adanya definisi yang universal menyebabkan lebih kaburnya hal ini.
Biasanya konstipasi berdasarkan laporan pasien sendiri atau konstipasi anamnestik dipakai
sebagai data pada penelitian-penelitian. Batasan dari konstipasi klinis yang sesungguhnya
adalah ditemukannya sejumlah besar feses memenuhi ampul rektum pada colok dubur, dan
atau timbunan feses pada kolon, rektum, atau keduanya yang tampak pada foto polos perut.

Studi epidemiologis menunjukkan kenaikan pesat dari konstipasi terkait dengan usia
terutama berdasarkan keluhan pasien dan bukan karena konstipasi klinis. Banyak orang
mengira dirinya konstipasi bila tidak buang air besar (BAB) tiap hari sehingga sering terdapat
perbedaan pandang antara dokter dan pasien tentang arti konstipasi itu sendiri.

Frekuensi BAB bervariasi dari 3 kali per hari sampai 3 kali per minggu. Secara
umum, bila 3 hari belum BAB, massa feses akan mengeras dan ada kesulitan samapi rasa
sakit saat BAB. Konstipasi sering diartikan sebagai. kurangnya frekuensi BAB, biasanya
kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras, serta kadangkal
disertai kesulitan sampai rasa sakit saat BAB. Orang usia lanjut seringkali terpancang dengan
kebiasaan BABnya. Hal ini mungkin merupakan kelanjutan dari pola hidup semasa kanak-
kanak dan saat masih muda, dimana setiap usaha dikerahkan untuk BAB teratur tiap hari,
kalau perlu dengan menggunakan pencahar untuk mendapatkan perasaan sudah bersih. Ada
anggapan umum yang salah bahwa kotoran yang tertimbun dalam usus besar akan diserap
lagi, berbahaya untuk kesehatan, dan dapat memperpendek usia. Ada pula yang
mengkhawatirkan keracunan dari fesesnya sendiri bila dalam jangka waktu tertentu tidak
dikeluarkan.

Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit 2 dari
keluhan di bawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan :

a. konsistensi feses yang keras;

b. mengejan dengan keras saat BAB;

c. rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB;
d. frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang.

International Workshop on Constipation berusaha lebih jelas memberikan batasan


konstipasi. Berdasarkan rekomendasinya, konstipasi dikategorikan dalam dua golongan :

1) konstipasi fungsional,

2) konstipasi karena penundaan keluarnya feses pada muara rektisigmoid.

Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari feses, sedangkan
penundaan pada muara rektosigmoid menunjukkan adanya disfungsi anorektal. Yang terakhir
ditandai adanya perasaan sumbatan pada anus.

Tabel 1. Definisi Konstipasi sesuai international workshop on constipation


N
Tipe Kriteria
o
Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit
dalam 12 bulan :

1 Konstipasi 1. mengedan keras 25% dari BAB


. Fungsional 2. feses yang keras 25% dari BAB
3. rasa tidak tuntas 25% dari BAB
4. BAB kurang dari 2 kali per minggu

1. hambatan pada anus lebih dari 25% BAB


2 Penundaan pada 2. waktu untuk BAB lebih lama
. muara rektum 3. perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses

Model tinja atau feses 1 (konstipasi kronis), 2 (konstipasi sedang) dan 3 (konstipasi
ringan) dari Bristol Stool Chart yang menunjukkan tingkat konstipasi atau sembelit.

2.2 Patofisiologi

Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang menyertakan
kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer, koordinasi dari sistem
refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk mencapai tempat BAB. Kesukaran
diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi adalah karena banyaknya mekanisme yang terlibat
pada proses BAB normal. Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat
konstipasi.

Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantakan feses ke
rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula dari rektum diikuti
relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk meghindarkan pengeluaran feses yang spontan,
terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang
depersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter
anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan
bantuan kontraksi otot dinding perut. kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut,
relaksasi sfingter dan otot elevator ani. Baik persarafan simpatis maupun parasimpatis terlibat
dalam proses BAB.

Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup beberapa


faktor yang tumpang tindih. Walaupun konstipasi merupakan keluhan yang banyak pada usia
lanjut, motilitas kolon tidak terpengaruh oleh bertambahnya usia. Proses menua yang normal
tidak mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cerna. perubahan patofisiologi yang
menyebabkan konstipasi bukanlah karena bertambahnya usia tapi memang khusus terjadi
pada mereka dengan konstipasi.

Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut yang sehat
tidak mendapatkan adanya perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk aktivitas
motorik dari kolon. Tentang waktu pergerakan usus dengan mengikuti petanda radioopak
yang ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan. Sebaliknya, penelitian pada
orang usia lanjut yang menderita konstipasi menunjukkan perpanjangan waktu gerakan usus
dari 4-9 hari. Pada mereka yang dirawat atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih panjang
lagi sampai 14 hari. Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat jalannya pada kolon
sebelah kiri dan paling lambat saat pengeluaran dari kolon sigmoid.

Pemeriksaan elektrofisiologis untuk mengukur aktivitas motorik dari kolon pasien


dengan konstipasi menunjukkan berkurangnya respons motorik dari sigmoid akibat
berkurangnya inervasi intrinsic karena degenerasi plexus mienterikus. Ditemukan juga
berkurangnya rangsang saraf pada otot polos sirkuler yang dapat menyebabkan
memanjangnya waktu gerakan usus.

Individu di atas usia 60 tahun jug aterbukti mempunyai kadar plasma beta-endorfin
yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiate endogen di usus. Hal ini
dibuktikan dengan efek konstipatif dari sediaan opiate yang dapat menyebabkan relaksasi
tonus kolon, motilitas berkurang, dan menghambat refleks gaster-kolon.

Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot
polos berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan. pasien dengan konstipasi
mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras sehingga
upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat berakibat penekanan pada saraf
pudendus sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut.

Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut. Sebaliknya, pada
mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami 3 perubahan patologis pada rektum :

1. Diskesia Rektum

Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan sensasi rektum,
dan peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih besar regangan rektum untuk
menginduksi refleks relaksasi dari sfingter eksterna dan interna. Pada colok dubur pasien
dengan diskesia rektum sering didapatkan impaksi feses yang tidak disadari karena dorongan
untuk BAB sering sudah tumpul. Diskesia rektum juga dapat diakibatkan karena tanggapnya
atau penekanan pada dorongan untuk BAB seperti yang dijumpai pada penderita demensia,
imobilitas, atau sakit daerah anus dan rektum

1. Dis-sinergis Pelvis

Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus eksterna saat
BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan peningkatan tekanan pada saluran anus
saat mengejan.

1. Peningkatan Tonus Rektum

Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering ditemukan pada kolon
yang spastik seperti pada penyakit Irritable Bowel Syndrome, dimana konstipasi merupakan
hal yang dominan.

2.3 Faktor- faktor risiko konstipasi pada usia lanjut


Dibutuhkan pengenalan faktor-faktor resiko yang berkaitan dengan konstipasi pada
usia lanjut untuk memahami masalah ini. Sebagai contoh, polifarmasi dapat menyebabkan
konstipasi karena beberapa golongan obat mempunyai potensi untuk hal ini. Beberapa
kelainan neurologis dan endokrin-metabolik juga dapat mengakibatkan konstipasi yang berat.

Faktor-faktor resiko konstipasi pada usia lanjut :

1. Obat-obatan

yaitu golongan obat-obatan :

1. Antikolinergik
2. Narkotik
3. Analgesik
4. Diuretik
5. NSAID
6. Kalsium antagonis
7. Preparat kalsium
8. Preparat besi
9. Antasida alumunium
10. Penyalahgunaan pencahar
11. Kondisi neurologis
1. Stroke
2. Penyakit Parkinson
3. Traauma medulla spinalis
4. Neorupati diabetik
12. Gangguan metabolik

1. Hiperkalsemia
2. Hipokalemia
3. Hipotiroid
2. Kausa Psikologis

1. Psikosis depresi
2. Demensia
3. Kurang privasi untuk BAB
4. mengabaikan dorongan BAB
5. konstipasi imajiner
2. Penyakit-penyakit saluran cerna

1. Kanker kolon
2. Divertikel
3. Illeus
4. Hernia
5. Volvulus
6. Irritable Bowel Syndrome
7. Rektokel
8. Wasir
9. Fistula atau Fissura ani
10. Inersia kolon
2. Lain-lain

1. Diet rendah serat


2. Kurang cairan
3. Imobilitas atau kurang olahraga
4. Bepergian jauh
5. Pasca tindakan bedah perut

2.4 Manifestasi klinis

Anamnesis yang terperinci merupakan hal terpenting untuk mengungkapkan adakah


konstipasi dan faktor resiko penyebabnya. Konstipasi merupakan suatu keluhan klinis yang
umum dengan berbagai tanda dan keluhan lain yang berhubungan.

Pasien yang mengeluh konstipasi tidak selalu sesuai dengan patokan-patokan yang
obyektif. Misalnya jika dalam 24 jam belum BAB atau ada kesulitan dan harus mengejan
serta perasaan tidak tuntas untuk BAB sudah mengira dirinya menderita konstipasi.

Beberapa keluhan yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah :

1. Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB


2. mengejan keras saat BAB
3. Massa feses yang keras dan sulit keluar
4. Perasaan tidak tuntas saat BAB
5. Sakit pada daerah rektum saat BAB
6. Rasa sakit pada perut saat BAB
7. Adanya perembesen feses cair pada pakaian dalam
8. Menggunakan jari-jari untuk mengeluarkan feses
9. Menggunakan obat-obatan pencahar untuk bisa BAB

Pemeriksaan fisis pada konstipasi sebagian besar tidak didapatkan kelainan yang jelas.
Walaupun demikian, pemeriksaan fisis yang teliti dan menyeluruh diperlukan untuk
menemukan kelainan-kelainan yang berpotensi mempengaruhi khususnya fungsi usus besar.
Diawali dengan pemerikssaan rongga mulut meliputi gigi gerigi, adanya lesi selaput lendir
mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses menelan.

Pemeriksaan daerah perut dimulai dengan inspeksi adakah pembesaran abdomen,


peregangan atau tonjolan. Selanjutnya palpasi pada permukaan perut untuk menilai kekuatan
otot-otot perut. Palpasi lebih dalam dapat meraba massa feses di kolon, adanya tumor atau
aneurisma aorta. Pada perkusi dicari antara lain pengumpulan gas berlebihan, pembesaran
organ, asietes, atau adanya massa feses. Auskultasi antara lain untuk mendengarkan suara
gerakan usus besar, normal atau berlebihan misalnya pada jembatan usus. Pemeriksaan
daerah anus memberikan petunjuk penting, misalnya adakah wasir, prolaps, fisur, fistula, dan
massa tumor di daerah anus dapat mengganggu proses BAB.

Pemeriksaan colok dubur harus dikerjakan antara lain untuk mengetahui ukuran dan
kondisi rektum serta besar dan konsistensi feses.

Colok dubur dapat memberikan informasi tentang :

1. Tonus rektum
2. Tonus dan kekuatan sfingter
3. Kekuatan otot pubo-rektalis dan otot-otot dasar pelvis
4. Adakah timbunan massa feses
5. Adakah massa lain (misalnya hemoroid)
6. Adakah darah
7. Adakah perlukaan di anus
Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor-faktor resiko
penyebab konstipasi, misalnya glukosa darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia yang
berhubungan dengan keluarnya darah dari rektum, dan sebagainya. Prosedur lain misalnya
anuskopi dianjurkan dikerjakan secara rutin pada semua pasien dengan konstipasi untuk
menemukan adakah fisura, ulkus, wasir dan keganasan.

Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi, terutama yang terjadinya
akut. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adakah impaksi feses dan adanya massa feses yang
keras yang dapat menyebabkan sumbatan dan perforasi kolon. Bila diperkirakan ada
sumbatan kolon, dapat dilanjutkan dengan barium Enema untuk memastikan tempat dan sifat
sumbatan. Pemeriksaan intensif ini dikerjakan secara selektif setelah 3-6 bulan pengobatan
konstipasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusat-pusat pengelolaan konstipasi
tertentu.

Uji yang dikerjakan dapat bersifat anatomik (enema, proktosigmoidoskopi, kolonoskopi)


atau fisiologik (waktu singgah di kolon, cinedefecografi, menometri, dan elektromiografi).
Proktosigmoidoskopi bisanya dikerjakan pada konstipasi yang baru tejadi sebagai pprosedur
penapisan adanya keganasan kolon-rektum. Bila ada penurunan berat badan, anemia,
keluarnya darah dari rektum atau adanya riwayat keluarga dengan kanker kolon perlu
dikerjakan kolonoskopi.

Waktu persinggahan suatu bahan radio-opak di kolon dapat diikuti dengan melakukan
pemeriksaan radioologis setelah menelan bahan tersebut. Bila timbunan zat ini terutama
ditemukan di rektum menunjukkan kegagalan fungsi ekspulsi, sedangkan bila di kolon
menunjukkan kelemahan yang menyeluruh.

Sinedefecografi adalah pemeriksaan radiologis daerah anaorektal untuk menilai evakuasi


feses secara tuntas, mengidentifikasi kelainan anorektal dan mengevaluasi kontraksi serta
relaksasi otot rektum. Uji ini memakai semacam pasta yang konsistensinya mirip feses,
dimasukkan ke dalam rektum. Kemudian penderita duduk pada toilet yang diletakkan dalam
pesawat sinar X. Penderita diminta mengejan untuk mengeluarkan pasta tersebut. Dinilai
kelainan anorektal saat proses berlangsung.

Uji manometri dikerjakan untuk mengukur tekanan pada rektum dan saluran anus saat
istirahat dan pada berbagai rangsang untuk menilai fungsi anorektal. pemerikasaan
elektromiografi dapat mengukur misalnya tekanan sfingter dan fungsi saraf pudendus, adakah
atrofi saraf yang dibuktikan dengan respon sfingter yang terhambat. Pada kebanyakan kasus
tidak didapatkan kelainan anatomik maupun fungsional, sehingga penyebab dari konstipasi
disebut sebagai non-spesifik.

2.5 Komplikasi Konstipasi Pada Usia Lanjut

Walaupun untuk kebanyakan orang usia lanjut, konstipasi hanya sekedar


mengganggu, tetapi untuk untuk sebagian kecil dapat berakibat komplikasi yang serius,
misalnya impaksi feses. Impaksi feses merupakan akibat dari terpaparnya feses pada daya
penyerapan dari kolon dan rektum yang berkepanjangan. Feses dapat menjadi sekeras batu, di
rektum (70%), sigmoid(20%), dan kolon bagian proksimal(10%).

Impaksi feses penyebab penting dari morbiditas pada usia lanjut, menigkatkan resiko
perawatan di rumah sakit dan mempunyai potensi terjadinya komplikasi yang fatal.
penampilannya sering hanya berupa kemunduran klinis yang tidak spesifik. kadang-kadang
dari pemeriksaan fisis didapatkan panas sampai 39,5 o, delirium perut yang tegang, suara usus
melemah, aritmia serta takipnia karena karena peregangan dari diafragma. pemeriksaan
laboratorium didapatkan leukositosis. peristiwa ini dapat disebabkan ulserasi sterkoraseus
dari suatu fecaloma yang keras menyebabkan ulkus dengan tepi yang nekrotik dan meradang.
dapat terjadi perforasi dan penderita datang dengan sakit perut berat yang mendadak.

Impaksi feses yang berat pada daerah rektosigmoid dapat menekan leher kandung
kemih menyebabkan retensio urin, hidronefrosis bilateral, dan kadangh-kadang gagal ginjal
yang membaik setelah impaksi dihilangkan titik. Inkontinensia alvi juga sering didapatkan,
karena impaksi feses di daerah kolorektal.

Volvulus daerah sigmoid juga sering terjadi sebagai komplikasi dari konstipasi.
Mengejan berlebihan dalam jangka waktu lama pada penderita dengan konstipasi dapat
berakibat prolaps dari rektum.

2.6 Penatalaksanaan

Banyaknya macam-macam obat yang dipasarkan untuk mengatasi konstipasi,


merangsang upaya untuk memberikan pengobatan secara simptomatik. Sedangkan bila
mungkin, pengobatan harus ditujukan pada penyebab dari konstipasi. Penggunaan obat
pencahar jangka panjang terutama yang bersifat merangsang peristaltik usus, harus dibatasi.
Strategi pengobatan dibagi menjadi :
1. Pengobatan non-farmakologis

1. Latihan usus besar : melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang
disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya. Penderita
dianjurkan mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk memanfaatkan gerakan
usus besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat
memanfaatkan reflex gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat
menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan
tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.
2. Diet : peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan usia
lanjut. data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat
mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-macam penyakit gastrointestinal
lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal. Serat meningkatkan massa dan
berat feses serta mempersingkat waktu transit di usus. untuk mendukung manfaa serat
ini, diharpkan cukup asupan cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada
kontraindikasi untuk asupan cairan.
3. Olahraga : cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi
konstipasi jalan kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur dan
kemampuan pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan perut untuk memeperkuat otot-
otot dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni pada otot perut

2. Pengobatan farmakologis

Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologis, dan
biasnya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar :

1. memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl selulose,
Psilium.
2. melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan
permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contohnya : minyak
kastor, golongan dochusate.
3. golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan,
misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain : sorbitol, laktulose, gliserin
4. merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini
yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa dipakai
untuk jangka panjang, dapat merusak pleksusmesenterikus dan berakibat dismotilitas
kolon. Contohnya : Bisakodil, Fenolptalein.

Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara-cara
tersebut di atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan. Misalnya kolektomi sub total
dengan anastomosis ileorektal. Prosedur ini dikerjakan pada konstipasi berat dengan masa
transit yang lambat dan tidak diketahui penyebabnya serta tidak ada respons dengan 
pengobatan yang diberikan. Pasa umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau
adanya volvulus, tidak dilakukan tindakan pembedahan.

Anda mungkin juga menyukai